commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seni Lesung adalah satu seni tradisional kuno yang hidup dan
berkembang di pedesaan dan banyak dimainkan oleh para petani. Di tengah arus
deras modernisasi ini mulai pudar dimakan zaman, untuk mempertahankan
eksistensi seni khas masyarakat agraris ini. Lesung yang terbuat dari seonggok
kayu dengan beberapa lubang ditengahnya ini menyiratkan suatu simbol dari
perwujudan manusia yakni antara laki-laki dan perempuan. Lesung tak ubahnya
disimbolkan sebagai seorang hawa dan alu disimbolkan sebagai seorang pria. Tak
terpikirkan kesenian yang terlahir secara sederhana yang menggambarkan negara
agraris ini menyimpan nilai keluhuran yang mencerminkan karakter bangsa
Indonesia sesungguhnya.
Kesenian tradisional, khususnya seni pertunjukan rakyat tradisional yang
dimiliki, hidup dan berkembang dalam masyarakat sebenarnya mempunyai fungsi
penting. Hal ini terlihat terutama dalam dua segi, yaitu daya jangkau
penyebarannya dan fungsi sosialnya. Dari segi daya jangkau penyebarannya, seni
pertunjukan rakyat memiliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh lapisan
masyarakat. Dari segi fungsi sosialnya, daya tarik pertunjukan rakyat terletak
pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok.1
Oleh karena itu, seni pertunjukan tradisional itu mempunyai nilai dan fungsi bagi
1
Umar Kayam. Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (ed). Ketika Orang Jawa Nyeni. (Yogyakarta : Galang Press, 2000). Hal. 340.
commit to user
kehidupan masyarakat pemangkunya.
Kesenian tradisional seni lesung yang masih ada dan berkembang salah
satunya adalah kesenian lesung. Sebagai suatu bentuk seni produk
perkembangannya tentunya kesenian lesung telah mengalami
perkembangan-perkembangan melalui proses kreatif. Proses kreatifitas seni yang
sungguh-sungguh bebas dapat menghasilkan seni dan kita menghormati proses kreatif yang
bebas ini.2
Menurut Edy Sedyawati bahwa pada umumnya kesenian yang bukan
primitive tidak lahir semata-mata penemuan baru yang tiba-tiba ada, dalam
waktu yang panjang hal yang baru tersebut senantiasa bertolak dari yang sudah
ada baik yang bersifat tehnik lama diteruskan atau dilawan tetapi merupakan awal
bertolak.3 Dengan demikian sebuah kesenian mengalami perkembangan, bukan
berarti kesenian tersebut merupakan kesenian baru, melainkan karena pengaruh
jaman yang maju, sehingga mengalami penambahan dan pengurangan.
Kesenian lesung hadir karena adanya budaya masyarakat agraris, yaitu
lesung sebagai sebuah alat untuk memproses padi menjadi beras. Lesung
kemudian berkembang menjadi sebuah media yang mempunyai nilai-nilai
simbolik di dalamnya. Oleh karena itu lesung berkaitan dengan kehidupan
masyarakat agraris atau masyarakat petani. Dengan kata lain, pada teknologi
menumbuk padi dengan lesung tercipta pula sebuah permainan yang
dikategorikan sebagai seni musik, yaitu seni lesung. Kesenian dapat tumbuh dan
2
Muchtar Lubis. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. (Jakarta : Yayasan Ober Indonesia, 1980). Hal 15
3
commit to user
berkembang karena dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungan di mana
kesenian itu berada, misalnya kesenian lesung.
Seni tradisional kotekan lesung boleh dikatakan tidak sepenuhnya mati.
Di beberapa daerah, meski frekuensinya tidak terlalu sering masih ada anggota
masyarakat yang berlatih memainkan kotekan lesung, Ketidakmampuan pihak
kelurahan menggerakkan warganya untuk berlatih seni kotekan lesung ini tidak
lain karena minimnya anggaran yang ada. Meskipun demikian, dari tahun ke
tahun, kelurahan tidak pernah kesulitan melakukan alih generasi seniman kotekan
lesung.
Kabupaten Sukoharjo sebelah selatan Kota Surakarta merupakan kawasan
berbasis industri dan pertanian yang menyimpan sumber kekayaan seni tradisi
yaitu karawitan, ketoprak, wayang kulit, wayang orang, musik lesung, pembuatan
gamelan dan lain-lain. Salah satunya musik lesung yang merupakan sebuah
permainan instrumen musik tradisional kerakyatan yang hidup di pedesaan,
memiliki keunikan namun kesenian ini sudah hampir punah. Banyak falsafah
hidup yang bisa ditarik dalam permainan kesenian lesung ini. Lesung memang
lekat dalam alam berpikir masyarakat agraris karena ada filosofi di dalamnya,
seperti ritual lesung masih ada untuk hajatan tertentu. Zaman yang terus bergerak
maju memaksa kotekan lesung untuk mengubah fungsinya mengikuti kebutuhan
masyarakat. Dulu, petani memanfaatkan kesenian ini sebagai hiburan saat
menumbuk padi atau sebagai media penanda saat ada bahaya, seperti bencana
commit to user
menjadi alat untuk memanggil warga agar hadir dalam perhelatan bersih desa dan
upacara panen padi.
Para petani dari warga Desa Kotakan Kecamatan Polokarto Kabupaten
Sukoharjo salah satunya yang masih melestarikan musik tradisional yang dikenal
dengan nama kotekan. Sungguh suatu pertunjukan musik sederhana ala warga
Kotakan Bakalan Sukoharjo.
Suatu kesadaran untuk kembali menghidupkan seni yang berakar dari
pedesaan ini merupakan suatu perwujudan semangat yang patut diapresiasi.
Pasalnya bukan suatu pekerjaan yang gampang, menghadirkan kembali seni yang
nyaris terlupakan, di tengah pesatnya industri hiburan moderen. Dan secara tidak
langsung mereka tengah mengingatkan kepada masyarakat bahwa ini merupakan
saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang dikenal dengan negara agraris.
Keberadaan seni tradisional ini ternyata sudah mengakar sejak zaman
terdahulu dan sudah suatu keharusan untuk tetap dilestarikan, Keberadaan lesung
didalam masyarakat agraris memang tidak bisa dilepaskan dari alam berpikir
masyarakatnya juga filosofi yang terkandung didalamnya. Di desa ini ritual tabuh
lesung sudah ada sejak dulu dan masih digunakan untuk hajatan tertentu.
Selain untuk melestarikan keberadaan seni tradisional ini, dengan adanya
kotekan secara tidak langsung telah membentuk suatu keguyuban antar warga,
guna meminimalisir konflik sosial di desa tersebut. Hal terpenting adalah melalui
seni dan budaya, bisa dibangun sepirit pancasila. Sehingga orang lebih bisa
memahami nilai luhur seni dan budaya yang berakar dari negara agraris.
commit to user
kotekan dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat. Pada zaman terdahulu kesenian ini digunakan sebagai alat
penghibur dikala menumbuk padi. Selain kentongan sebagai alat tradisional yang
digunakan pada zaman dahulu, kesenian ini sekaligus sebagai media untuk
penanda saat ada bahaya seperti bencana alam, gerhana bulan atau gerhana
matahari. Tak hanya itu saja, dengan lesung inilah bisa mengumpulkan
masyarakat saat dilaksanakannya perhelatan bersih desa dan upacara panen padi.
Seperti yang tergambar di desa Kotakan, warga melakukan ritual tabuh
lesung saat dilaksanakannya tanam pohon yang dikerjakan secara bergotong
royong. Ini tentunya untuk menguatkan memori tersebut meski secara aspek
musikal juga mempunyai kekuatan daya panggil dan bisa membawa kegembiraan
bersama.
Dibalik alunan suaranya yang khas, permainan musik kotekan ini
menyimpan nilai kehidupan yakni kesabaran, ikhlas, mituhu dan budi luhur yang
menjadi anutan kehidupan masyarakat jawa. Suara yang ada ini tidak hanya
sekedar asal memukul lesung saja, namun ada gending-gending pakem dan semua
berbicara soal pertanian Salah satu contoh gendhing yang kerap di tabuhkan
adalah gendhing lesung Asu Gencet, artinya anjing kawin. Istilah lesung Asu
Gencet disini adalah tetabuhan dicirikan khusus dua penabuh lesung yang saling
beradu pantat metafor dari posisi anjing kawin. Metafor tersebut membawa pesan
tentang tatanan musim di Jawa yang dikenal dengan istilah pranoto mongso,
Dimana ketika masyarakat sering melihat banyaknya anjing kawin di jalanan
commit to user
istilah mongso ke songo.
Selain itu kesenian lesung ini dilestarikan lebih mendalam dengan
terbentuknya sanggar seni “Sekar Jagad” yang merupakan wadah kesenian bagi
warga Desa Kotakan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Joko Ngadimin
yang merupakan motivator yang membuat wadah kesenian masyarakat desanya
semata-mata bukan karena kepercayaan Diatas. Namun lebih kepada bagaimana
kembali menguatkan kehidupan masyarakat pedesaan yang guyup, rukun serta
mampu mandiri secara ekonomi dan sosial.
Sanggar ”Sekar Jagad” di rintis sejak bulan September 2004 lalu memang
mewadahi warga Kotakan dalam bidang kesenian. Warga yang sebagian besar
petani, sepulang bekerja di sawah atau ladang, malamnya berkumpul menghibur
diri dengan bermain karawitan, lesung, kentongan, maupun wayang. Kegiatan ini
tak hanya diikuti warga Desa Kotakan yang tergabung dalam Sekar Jagad, namun
juga hampir seluruh desa di Kabupaten Sukoharjo. Mereka membentuk
kantong-kantong kesenian baru di desanya masing-masing. Dengan harapan, langkah ini
bisa menyebar hingga seluruh desa di Indonesia bahkan mendunia. Karena jika
semua desa sudah guyup, rukun, dan mandiri tentu tak ada lagi ancaman-ancaman
disintegrasi bangsa. Karena sejatinya masyarakat desa itu hatinya tulus dan jujur.
Hingga saat ini lebih dari 500 warga desa dan seniman yang aktif membangun
komunitas kesenian desa ini, telah bergabung dengan Sekar Jagad. Selain juga
commit to user
memberi modal bagi warga.4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Kelompok sosial mana yang berperan aktif dalam organisasi seni lesung
”Sekar Jagad” di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo
?
2. Bagaimana perkembangan organisasi kesenian lesung sanggar seni ”Sekar
Jagad” tahun 2004-2012 di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten
Sukoharjo ?
3. Bagaimana peranan Kesenian Lesung Sanggar seni ”Sekar Jagad” terhadap
kohesi sosial dengan masyarakat sekitar Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto,
Kabupaten Sukoharjo?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kelompok sosial yang berperan aktif dalam organisasi
keseni an lesung ”Sekar Jagad” di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto,
Kabupaten Sukoharjo.
4
commit to user
2. Untuk perkembangan organisasi kesenian lesung sanggar seni ”Sekar Jagad”
tahun 2004-2012 di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten
Sukoharjo.
3. Untuk mengetahui peranan kesenian lesung sanggar seni ”Sekar Jagad”
terhadap kohesi sosial dengan masyarakat sekitar Desa Kotakan, Kecamatan
Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini mencakup :
1. Manfaat Akademis
a. Dapat mengungkap dan mengetahui nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
kesenian lesung sanggar seni ”Sekar Jagad” di Desa Kotakan, Kecamatan
Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.
b. Untuk memperkaya khasanah keilmuan tentang dinamika kesenian lesung
di masyarakat, khususnya di Kabupaten Sukoharjo.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan peluang bagi para seniman, budayawan dan
masyarakat luas untuk menilik kembali mengenai proses dinamika
masyarakat dalam melestarikan kesenian lesung.
b. Dapat menjadi wacana bagi pemerintah daerah akan perlunya perhatian
ekstra dalam pengembangan kesenian lesung yang hampir punah
keberadaannya sehingga lebih ditradisikan lagi sebagai kesenian
commit to user
c. Dapat memberi sumbangan pengetahuan dan tambahan referensi
kepustakaan bagi penelitian sejenis di masa mendatang
E. Tinjauan Pustaka
Diperlukan studi pustaka guna memperoleh kerangka pikiran dan
melengkapi hal-hal yang belum tercakup di dalam sumber dokumen dengan cara
meninjau buku-buku yang relevan dengan tema atau rumusan masalah dalam
penelitian ini. Terdapat beberapa karya yang membahas atau sedikitnya
menyinggung tentang seni pertunjukan Kesenian Lesung ”Sekar Jagad” yang
sekiranya dapat dipergunakan sebagai acuan pokok dalam ini. Adapun buku-buku
yang dijadikan referensi dalam penelitian ini diantaranya adalah :
Dalam buku karya Edy Sedyawati (1981) yang berjudul Pertumbuhan Seni
Pertunjukan dipaparkan sebuah kajian kesenian yang dipandang dari sudut
antropologis dan sosiologis. Kajiannya yang mendalam tentang konsep-konsep
seni, sejarah seni pertunjukan Indonesia, perkembangan seni pertunjukan
tradisional dan pada akhirnya bermuara kepada pelestarian budaya bangsa dibahas
secara lugas. Buku ini memberikan gambaran perkembangan seni pertunjukan
Indonesia yang sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist). Secara umum buku ini
merupakan kumpulan artikel yang menggambarkan sejarah seni pertunjukan
Indonesia seperti seni tari, seni teater dan seni musik. Secara khusus, Edy
Sedyawati menjelaskan tentang seni tradisional yang sesuai dengan tradisi dan
mempunyai suatu pola erangka ataupun aturan yang selalu berulang dalam
commit to user
kerangka apapun.18 Meskipun terdapat perbedaan antara seni tradisional dan seni
tidak tradisional, namun dalam bukunya Edy Sedyawati mengungkapkan bahwa
terdapat sebuah kesulitan untuk membedakan keduanya apabila melihat suatu
pertunjukan yang nyata. Lebih lanjut Edy Sedyawati menjelaskan bahwa untuk
menyebutkan suatu pertunjukan tradisional atau tidak, perlu dibedakan
dataran-dataran wilayahnya, apakah yang dimaksud unsur-unsur dasarnya ataukah
unsure-unsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap dan pola konversi penyajian
atau ketiga-tiganya.
Dalam bukunya Triyono Bramantyo, yang berjudul Revitalisasi Musik
Tradisi dan Masa Depan dalam “Mencari Ruang Hidup Seni Tradisi” , (2000).
Buku ini membahas tentang keberadaan musik tradisi ini hampir punah. Musik
tradisional pada saat ini makin hari makin menyusut, kepunahan seni musik tradisi
dalam era transformasi budaya dari masyarakat agraris ke semi industrial terutama
akibat minimnya kesempatan genre ini untuk eksis menjadi bagian yang dulu
seolah tak terpisahkan dari masyarakat pendukungnye. Seperti contohnya
kesenian lesung/kotekan pada saat ini telah jarang terdengar. Baik di desa apalagi
di kota. Jika kita bertanya pada masyarakat tentang musik lesung/ kotekan ada
sebagian yang tahu tetapi lebih banyak yang tidak tahu. Dan dalam buku ini
Bramantyo, menawarkan dalam menghidupkan dan mengembangkan musik
tradisional yang memiliki persfektif kemasa depan yaitu melalui transmisi formal
dan pelaksanaan program penelitian besar-besaran dalam kesinambungan yang
terpadu (integratid continuity). Proses ini sekaligus akan mendorong dunia
18
commit to user
penciptaan karya seni dengan teknik yang lebih sophisticated (canggih), dan
sekaligus akan diikuti landasan estetika yang lebih raesonable.15
Buku karya Umar Kayam dkk, berjudul Ketika Orang Jawa Nyeni (2000)
yang disunting oleh Heddy Shri Ahimsa Putra memuat beberapa karangan
mengenai fenomena kesenian dengan menggunakan sudut pandang (perspektif)
sosio kultural. Berbagai hal mengenai fenomena kesenian dipahami sebagai
bagian dari suatu realitas sosio kultural, yakni suatu realitas yang terkait dengan
berbagai macam fenomena sosial budaya diluar kesenian itu sendiri. Ada
pemikiran atas suatu keprihatinan bersama di kalangan penulis dan seniman yakni
mengenai kemungkinan memudarnya berbagai jenis kesenian tradisional di
Indonesia, yang sangat mungkin berakhir pada kepunahan sebagai akibat adanya
perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Timbul tenggelamnya suatu kesenian
dalam masyarakat tidak bisa terlepas dari kehidupan seniman pendukungnya dan
masyarakatnya sendiri, baik penggemarnya maupun juga institusi-institusi tertentu
yang terkait.5
Atot Rasoma, Sejarah Kebudayaan, (1971). Berisi tentang perjalanan
perkembangan seni disetiap wilayah etnis yang telah banyak mempengaruhi
perkembangan seni di Indonesia. Pergeseran fungsi-fungsi seni tradisi mempunyai
suatu bentuk seni pertunjukan maupun masuknya pengaruh luar sebagai unsur
asing yang mengakibatkan timbulnya beberapa kemungkinan. Misalnya,
meningkatnya nilai-nilai estetika seni tanpa mempengaruhi fungsi perilaku atau
15
Triyono Bramantyo. Revitalisasi Musik Tradisi dan Masa Depan dalam “Mencari Ruang idup Seni Tradisi.(Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), 2000). Hal. 28
5
commit to user
hilangnya pangkal tolak makna dari seni karena hilangnya fungsi seni dalam
masyarakat tersebut.6
Buku yang berjudul Abangan, Santri, Priayi Dalam Masyarakat Jawa,
(1989) karangan Clifford Geert. Dalam buku ini menjelaskan tentang hubungan
antara sruktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan
pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol dan bagaimana para anggota
masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara
mengorganisasian dengan simbol-simbol tertentu. Perbedaan yang nampak
diantara struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat hanyalah bersifat
komplementer. Keberadaan folklor dalam hal ini terutama mitos, melegitimasi
sistem religi didalam masyarakat. Kepercayaan terhadap folklor dalam bentuk
sesaji, upacara ritual, slametan, perilaku religius tertentu ditempat-tempat yang
sakral, dan praktek magis yang ditunjukan bagi tokoh-tokoh yang dikeramatkan
dalam cerita-cerita folklor dengan satu tujuan tertentu. Prinsip ini menyangkut dua
hal, yaitu eksistensi dan tempat manusia itu dalam alam semesta beserta segala isi
dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Dengan buku ini
penulis dapat memahami tentang simbol-simbol dalam masyarakat beserta arti dan
maknanya.7
Joko Suryo, Soedarsono, RM dan Djoko Sukiman, Gaya Hidup Jawa di
Pedesaan ; Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya, (1985). Referensi ini
membahas tentang pengaruh budaya yang dianggap ebagai budaya moern yang
mampu memberikan respon terhadap gejala pembaharuan yang datang dari luar,
6
Atot Rasoma. Sejarah Kebudayaan. (Magelang : Yayasan Indonesiatera, 1971). Hal. 89 7Clifford Geert. Abangan, Santri, Priayi Dalam Masyarakat Jawa..
1989. (Indonesia and the Malay World,Volume 35, Issue 101, Maret 2007, terj. Noor Cholis
commit to user
baik dalam bentuk adaptasi maupun adopsi unsur-unsur baru. Adanya sifat elastis
dan dinamis pada masyarakat pedesaan memungkinkan penerimaan
perubahan-perubahan yang terjadi, tetapi dilain pihak tetap berusaha mempertahankan pola
kehidupan yang telah ada sebelumnya. Referensi ini membantu untuk mengupas
mengenai masyarakat pedesaan.8
Koentowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (1987). Buku ini mengupas
tentang kajian perkembangan masyarakatdan kebudayaan. Memuat tentang
masyarakat pada masa transisi dari masyarakat tradisional agraris menjadi
masyarakat industri. Buku ini membantu dalam memberikan tafsiaran tentang
perubahan masyarakat dan kebudayaan ikut pula dalam menentukan kedudukan
suatu seni pertunjukan.9
Singgih Wibisono, Membangun Lagi Tari Rakyat (2000). Buku ini
menguraikan tentang dinamika kehidupan keenian yang senantiasa dipengaruhi
oleh masyarakat pendukung dan jiwa jaman, apakah kesenian tersebut mampu
bertahan hidup dengan alih generasi lebih kreatif atau kesenian itu menjadi bagian
dari sistem sosial budaya masyarakat pendukungnya. Selain itu juga membahas
tentang masyarakat tradisional yang secara turun temurun memelihara,
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang sudah ada di dalam
kultur nenek moyang.10
Buku yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (1983).
Karangan Koentjaraningrat dijelaskan bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga
8
Joko Suryo, Soedarsono, RM dan Djoko Sukiman. Gaya Hidup Jawa di Pedesaan ;
Poloa Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya. (Bandung : Pusataka Jaya, 1985). Hal. 65
9
Koentowijoyo. Budaya dan Masyarakat. (Yogyakarta : Penerbit Arti, 1987). Hal. 24 10
commit to user
wujud ialah : wujud ideal, wujud kelakuan dan wujud fisik. Adat adalah wujud
ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat disebut adat tata kelakuan,
karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah
aturan sopan santun untuk memberi uang sumbangan kepada seseorang yang
mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat
tingkat ialah : tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan
tingkat aturan khusus.11
Buku yang berjudul Folklor Indonesia, (1984) karangan James
Danandjaja. Dalam buku ini menjelaskan mengenai pengertian folklore yang
berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang
yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Namun yang lebih penting lagi
adalah mereka sudah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang diwarisi
secara turun-temurun. Sedangkan lore adalah tradisi folk yang telah diwariskan
secara turun menurun dengan cara lisan maupun melalui suatu contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Dalam buku ini
dijelaskan bentuk- bentuk folklor menurut tipenya antara lain adalah folklor lisan
(verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), folklor bukan
lisan (non verbal folklore), buku ini bermanfaat untuk penulis dalam referensi
bentuk-bentuk folklor secara rinci.12
11
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta : Bentang Budaya, 1983). Hal. 51
12
commit to user
Buku yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra.
Karangan Ateeuw, (1988), dalam buku ini menjelaskan disisi lain folklor
merupakan bentuk dari karya sastra lisan tradisional dari kelompok masyarakat,
maka untuk menginterpretasikan makna atau nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya perlu dikaji secara hermenutis. Dari pendekan hermenutis akan
diperoleh suatu makna dan nilai-nilai dari suatu folklor. Dalam buku tersebut
menjelaskan bahwa Hermenutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasikan
karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas. Dalam praktek
interpretasi sastra lingkaran hermenutik dipecahkan secara dialetik, bertetangga,
dan bersifat spiral. Dari pendekatan hermenutik ini akan diperoleh suatu
interpretasi makna yang total dan bagian-bagian yang optimal.13
Buku yang berjudul Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia.
Karangan Claire Holt, (2000), buku ini merupakan buku yang memeriksa secara
kritis dan menyeluruh tentang khasanah seni di Indonesia. Buku ini menulis
tentang perpaduan yang hampir lengkap mengenai seni serta pengetahuan secara
arkeologis dan rasa bahasa yang tajam, hingga Claire Holt berhasil menampilkan
rujukan penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Melalui pendekatan
multidisiplin, buku ini membahas dengan cerdas berbagai perkembangan seni
kontemporer serta hubungannya dengan tradisi lokal ; mulai dari arkeologi, seni
commit to user
Menurut Umar Kayam dalam bukunya Seni tradisi, Masyarakat (2000),
diuraikan mengenai seni rakyat adalah seni pedesaan yang masih akrab, homogen
dan berfungsi untuk mengikat solidaritas komunitas. Berlainan dengan seni
adiluhung yang penuh sofistikasi, seni rakyat umumnya bersahaja, spontan dan
responsip, dan bentuk maupun nada dan melodinya sederhana. Dalam hal ini seni
pertunjukan rakyat iramanya pun sederhana namun dinamik, berulang-ulang dan
cenderung cepat. Pertunjukan musik selalu tergantung pada konteks dan setiap
pertunjukan selalu ada improvisasi. Kehidupan kesenian tidak lepas dari fungsi
dan peran dalam masyarakatnya.16 Banyak istilah untuk menyebut musik yang
berkembang di masyarakat. Khususnya pada masa kerajaan sebagai pusat
pemerintahan dalam kesenian lebih disebut sebagai kesenian adiluhung atau
tradisi termasuk di dalamnya musik atau gamelan. Anggapan demikian masih
sampai dengan saat ini, pada masyarakat Jawa musik tradisi diasumsikan dengan
musik gamelan atau karawitan. Sehingga masyarakat di luar Jawa enggan
dikatakan musiknya adalah musik karawitan atau gamelan. Di luar musik tradisi
masyarakat mengenal dengan istilah musik rakyat, yaitu musik yang tumbuh dan
berkembang pada masyarakat itu sendiri. Jenis musik rakyat sangat beragam
sesuai dengan kehidupan masyarakatnya. Musik rakyat, yaitu musik yang
berkembang di lingkungan pedesaan di luar lingkar istana atau pusat-pusat
kesenian yang bisa menopang timbulnya budaya agung atau budaya adiluhung.
Musik rakyat meupakan seni yang bersahaja, spontan dan jujur. Contohnya musik
patrol, kentrung, musik ronda dan sebagainya. Disamping gamelan di masyarakat
16
commit to user
juga berkembang kesenian rakyat yang kemunculannya banyak dilatarbelakangi
oleh kepentingan masyarakat. Dari perangkat kerja tradisional kita jumpai
permainan lesung sebagai alat penumbuk padi yang selanjutnya dikenal dengan
nama Kothekan (Jawa). Para petugas ronda memainkan kenthongan dengan
berbagai irama pukulan sehingga menimbulkan orkes-kentongan. Di Jawa Timur
bahkan merupakan gamelan lengkap. Banyak alat tradisionalnya yang diangkat
dari perangkat alat kerja sehari-hari seperti: Gowangan, Tudung-punduk,
Caping-buyuk dan sebagainya. Tradisi dipandang sesuatu yang kolod (ketinggalan jaman)
kadaluarsa, monoton dan mungkin juga tidak memiliki daya tarik, tidak ada daya
rangsang dalam menarik simpati anak-anak remaja. Kita masih ingat ketika lagu
campursari muncul disambut hangat oleh masyarakat bahkan sempat buming
dalam pasar industri rekaman dan melahirkan penyanyi, musisi baru. Kehadiran
campursari menimbulkan daya tarik dari segala kalangan usia untuk ikut
menikmati, bahkan populasi para penyanyi, musisi, pencipta lagu bahkan sampai
dengan menjamurnya grup-grup baru yang ikut meramaikan kahadiran
campursari. Apabila kita amati bahwa sumber penciptaan atau lagu dalam
campursari berangkat dari seni tradisi. Terciptanya satu ensambel musik rakyat
yang ada sekarang adalah merupakan proses pengembangan dari musik rakyat
yang telah ada. Wilayah Madura misalnya yang saat ini sedang booming dengan
musik daulnya bahkan dalam setiap tahunnya mengadakan festival musik tradisi
yang dominasinya adalah musik Daul. Lagu rakyat (folk song) Banyuwangi
dijadikan inspirasi dalam penciptaan lagu-lagu berbau orkes melayu, dalam hal ini
commit to user
tersendiri. Musik tradisi di Banyuwangi masih nampak kental pada pijakan tradisi
dan yang diperkuat oleh kekuatan budaya osing. Sementara kekentalan tradisi
yang mampu bertahan menumbuhkan daya kreativitas yang tinggi. Sumber materi
pada tradisi tetapi dengan pengolahan atau penggarapan penuh kreatif maka akan
menghasilkan hasil karya seni yang bersifat inovatif.
Seni tradisi juga harus menyesuaikan dengan aspek pariwisata
sebagaimana gagasan teori yang di sampaikan oleh Soedarsono, Industri
Pariwisata: sebuah Tantangan dan Harapan Bagi Negara berkembang dalam
Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa (1993), bentuk mini, bentuk tiruan,penuh
variasi, tidak sakral, pendek pelaksanaannya, dan murah harganya menurut
konsep wisatawan. Sangat penting untuk dipikirkan bagaimana konsep
pertunjukan musik tradisi dalam berbagai kepentingan. Tentu saja dengan
dilakukan penyesuaian situasi dan kondisi di mana seni musik rakyat itu
berkembang. Untuk mewujudkan pengembangan seni atau musik tradisi
diperlukan daya kreativitas pada para pendukungnya dan selalu bereksis dengan
pertunjukan-pertunjukannya sebagai wadah ekspresi dalam pengembangan seni
tradisi atau seni tradisional.17 Jika diartikan, seni tradisional adalah unsur
kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu bangsa tertentu.
Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan
dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun
bisa musnah karena ketidakmauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut.
17
Soedarsono. Industri Pariwisata: sebuah Tantangan dan Harapan Bagi Negara
berkembang dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Ed. Tjok Rai Sudharnata, et.al.
commit to user
Secara harfiah, tradisional artinya sikap dan cara berpikir maupun bertindak yang
selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun
temurun. Jadi dalam konsep ini ada acuan waktu. Selain masalah waktu, konsep
ini mengabaikan batasan norma dan adat kebiasaan mana yang diacu.
Pijakan karya seni yang dilandasi nilai-nilai tradisi merupakan satu
kebangkitan bagi musik rakyat atau juga disebut sebagai musik tradisi kerakyatan.
Semestinya sesuatu akan mengalami sesuatu yang berubah, dari tradisi menjadi
inovatif, dari ritual menjadi pertunjukan atau hiburan. Perubahan fungsi yang
terjadi pada seni tradisional berjalan besama-sama dengan perubahan
masyarakatnya. Sebagaimana pada saat ini dalam kepentingan hiburan terkait
dengan pengembangan pariwisata, seni tradisi memiliki peluang untuk andil
dalam program pengembangan pariwisata. Fleksibilitas seni tradisi yang mampu
menyatu dalam berbagai kepentingan masyarakat seperti pada aspek pariwisata.
Sebagai timbal baliknya pariwisata ikut mendukung eksistensi musik traidisi.
Selanjutnya, buku karya Edy Sedyawati (1981) yang berjudul
Pertumbuhan Seni Pertunjukan dipaparkan sebuah kajian kesenian yang
dipandang dari sudut antropologis dan sosiologis. Kajiannya yang mendalam
tentang konsep-konsep seni, sejarah seni pertunjukan Indonesia, perkembangan
seni pertunjukan tradisional dan pada akhirnya bermuara kepada pelestarian
budaya bangsa dibahas secara lugas. Buku ini memberikan gambaran
perkembangan seni pertunjukan Indonesia yang sesuai dengan jiwa zaman
(zeitgeist). Secara umum buku ini merupakan kumpulan artikel yang
commit to user
dan seni musik. Secara khusus, Edy Sedyawati menjelaskan tentang seni
tradisional yang sesuai dengan tradisi dan mempunyai suatu pola erangka ataupun
aturan yang selalu berulang dalam kerangka tertentu. Kesenian yang tidak
tradisional tidak terikat kepada suatu kerangka apapun.18 Meskipun terdapat
perbedaan antara seni tradisional dan seni tidak tradisional, namun dalam
bukunya Edy Sedyawati mengungkapkan bahwa terdapat sebuah kesulitan untuk
membedakan keduanya apabila melihat suatu pertunjukan yang nyata. Lebih
lanjut Edy Sedyawati menjelaskan bahwa untuk menyebutkan suatu pertunjukan
tradisional atau tidak, perlu dibedakan dataran-dataran wilayahnya, apakah yang
dimaksud unsur-unsur dasarnya ataukah unsure-unsur yang mempunyai cara-cara
berhubungan tetap dan pola konversi penyajian atau ketiga-tiganya.
Dalam bukunya Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Edy Sedyawati (1981)
juga mengungkapkan mengenai teori modulasi kesenian yang menyebutkan
bahwa seni pertunjukan yang berasal dari lingkungan tradisional atau lebih
mendapatkan perkembangannya justru apabila ditempatkan di daerah perkotaan,
dimana terdapat tempat pagelaran kesenian, sistem imbalan jasa, dasar
kesepakatan harga sebagai landasan pagelaran kesenian dan kecenderungan
pengkhususan dalam memilih bidang kegiatan. Modulasi-modulasi yang
dijelaskan dalam karya Edy Sedyawati pada dasarnya ditimbulkan oleh tata
kehidupan kota, pada gilirannya bisa saja menyerbu ke daerah, ke desa dengan
suatu tampang bahwa itulah ciri-ciri kemodernan. Berdasarkan unsur-unsur
dasarnya atau unsure-unsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap dan
18
commit to user
pola konvensi penyajian, kesenia Lesung saat ini merupakan salah satu kesenian
pertunjukan yang bersifat tradisional. Dalam hal ini pertunjukan, sesuai dengan
teori modulasi yang dipaparkan Edy Sedyawati, sepertinya kesenian Lesung saat
belum menunjukkan adanya perkembangan ke arah sana, hal ini tidak lain karena
pengelolaan atau manajemennya yang tidak profesional.
Selain itu dalam buku Edy Sedyawati (1981) yang berjudul Pertumbuhan
Seni Pertunjukan, dipaparkan bahwa pengkajian mengenai upaya kualitatif dan
kuantitatif. Upaya kuantitatif adalah mengembangkan seni pertunjukan Indonesia
berarti membesarkan volume penyajiannya, meluaskan wilayah pengenalannya.
Berbeda dengan pengertian sebelumnya, sedangkan yang dimaksud dengan upaya
kualitatif adalah mengolah memperbarui wajah dan penampilan kesenian
tersebut. Edy Sedyawati (1981) juga memaparkan bahwa pengembangan seni
pertunjukan tradisional selain secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan juga
sarana dan prasarana serta karyanya tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat
banyak. Dalam konteksnya seni pertunjukan Indonesia berangkat dari
lingkungan etnik ini terdapat suatu kesepakatan yang turun temurun mengenai
perilaku, wewenang untuk menentukan bangkitnya seni pertunjukan.
Kajian-kajian yang membahas tentang kesenian Lesung sudah dilakukan oleh beberapa
orang. Secara keseluruhan penulisan mengenai kesenian Lesung mencoba
menggambarkan keberadaan kesenian Lesung sebagai kesenian asli masyarakat
jawa yang tidak dapat dilepaskan dengan sebuah realitas social dan karakter
commit to user
Sudarsono dalam bukunya Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa.(1999),memaparkan mengenai berbagai fungsi seni pertunjukan dalam
kehidupan masyarakat. Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa fungsi seni
pertunjukan adalah sebagai sarana ritual, hiburan, pribadi dan sebagai presentasi
estetik.19 Lebih lanjut lagi jelaskan seni pertunjukan sebagai komoditi industry
pariwisata di Era Globalisasi.Menurut Soedarsono di Negara-negara berkembang
fungsi seni pertunjukan sebagai presentasi estetis berkembang dengan pesat
adalah seni pertunjukan yang dipresentasikan kepada para wisatawan.
Soedarsono juga memaparkan konsep-konsep pariwisata dan seni pertunjukan
untuk dijual kepada wisatawan. Disebutkan juga dalam buku Soedarsono bahwa
seni yang sudah mengalami metamorphosis akan mengalami proses akulturasi.
Akulturasi itu terjadi antara selera estetika seniman setempat dengan selera
wisatawan. Berdasarkan pada klasifikasi jenis seni pertunjukan di atas, seni lesung
merupakan jenis seni pertunjukan tradisional serta seni pertunjukan rakyat yang
telah lama hidup, tumbuh dan berkembang pada sebuah masyarakat jawa yang
keberadaannya telah menjadi bagian dari aspek kebudayaan masyarakat setempat.
Sedangkan apabila dilihat berdasarkan fungsinya, seni lesung merupakan seni
yang berfungsi sebagai sarana ritual. Seiring perjalanannya seni Lesung ini
mengalami perkembangan dengan adanya perubahan fungsi dari sarana ritual
menjadi sarana hiburan pribadi bagi masyarakat yang menikmatinya. Di dalam
suatu lingkungan (environment) akan muncul suatu teknologi yang sesuai dengan
lingkungannya dan berpengaruh dalam kehidupan sosialnya (social structure).
19
commit to user
Teknologi dilakukan oleh beberapa orang sehingga menimbulkan sebuah interaksi
sosial (socio environment).Di sinilah terbentuk sebuah hubungan sosial individu
dengan masyarakat lingkungan dalam suatu waktu.Kemudian pada sebuah pesan
dilekatkan masyarakat terhadap kesenian kothek lesung. Meskipun kondisi
lingkungan tidak mutlak artinya sebuah kesenian atau budaya adalah sebagai
implikasi dari sebuah lingkungan.
Seperti dikatakan oleh Abdul Karim Nafsin dan Mita Lidya Alfiandani
dalam bukunya berjudul Perempuan Sutradara Kehidupan, di Tangan Dia Masa
Depan Dunia, dijelaskan bahwa di dalam teori ekologi kebudayaan tidak dapat
meninggalkan hal-hal yang berkenaan dengan ciri dari budaya masyarakatnya,
yang berpengaruh pada pemahaman masyarakat terhadap kebudayaan (periperol).
Di dalam beberapa hal, kesenian yang ada di Jawa selalu dihubungkan dengan
keberadaan mitos-mitos, di mana di dalamnya terdapat relasi mitos yang
menjadikan sebuah budaya ada.Seperti halnya terdapat mitos-mitos yang
menyertai adanya permainan kothek lesung sebagai sebuah bentuk kesenian
tradisional masyarakat agraris tersebut. Permainan lesung merupakan sebuah
media di mana para perempuan bertemu untuk menumbuk padi beramai-ramai
sambil bersendau gurau dan saling curhat, tetapi adanya kothek lesung juga
sebuah simbolisasi dari para perempuan yang selamanya dianggap kaum lemah,
ternyata punya kekuatan yang mampu menandingi kekuatan kaum pria. Hal ini
inipun banyak mitos-mitos yang menyertai sejarah atau cerita mengenai asal-usul
tentang lesung tersebut. Selain itu permainan lesung merupakan sebuah
commit to user
ketika para perempuan menumbuk padi, maka dengan sekuat tenaga dikerahkan
sehingga biji padi benar-benar terpisah dari kulit arinya menjadi beras.20
Menurut Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono21 dalam bukunya
berjudul
Waria dan Tekanan Sosial, yaitu bahwa komunitas Bissu atau lelaki yang
berpenampilan perempuan tersebut, sebagai manusia yang tergolong dalam
kategori:
1. Kaum transgender yaitu kaum yang menentang konstruksi gender yang
diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki dan perempuan saja. Pengertian ini adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki atau laki-laki-laki-laki yang suka berpenampilan perempuan dan cenderung
menyukai sesama jenisnya atau kaum homoseksual atau kaum transeksual.
Transeksual adalah manusia yang cenderung merubah penampilannya seperti
lawan jenisnya, baik itu perempuan ataupun laki-laki. Namun kaum homoseksual atau lesbian tidak selalu cenderung merubah penampilannya.
2. Kaum tranvestitisme adalah sebuah nafsu yang dimiliki oleh manusia untuk
memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya atau orang yang hanya akan mendapatkan kepuasan seksualitas, jika memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Jenis ini dibedakan ada dua, yaitu laki-laki tulen atau prempuan tulen, yang mempunyai kepuasan berpakaian dan berdandan seperti
perempuan. Kaum tranvestitisme ini juga termasuk kaum heteroseksual,
karena dapat berbuat normal sebagai lelaki sehingga ketika tertarik dengan lawan jenisnya dan menikah maka mereka akan mendapatkan keturunannya.
Penelitian Devung22 (1997) pada Seni Pertunjukan di dataran tinggi
Mahakam menjelaskan tentang situasi seni pertunjukan pada masa sekarang
dengan melihat factor-faktor apa yang memberi kontribusi terhadap situasi seni
pertunjukan tersebut, serta mendiskusikan beberapa isu seni pertunjukan saat ini,
dan mengajukan beberapa prospek yang mungkin dan potensial di masa
20
Alfiandani Mita Lidya, Nafsin Abdul Karim. Tiga Jejak Seni Pertunjukan Indonesia. (Jakarta: MSPI, 2005). Hal. 39
21
Sugeng Pujileksono. Waria dan Tekanan Sosial, ( 2005). Hal. 9-10 22
Devung, G. Simon. Seni Pertunjukan Tradisional di Dataran Tinggi Mahakam: Situasi
commit to user
mendatang bagi seni pertunjukan disana. Ia mengaitkannya dengan perkembangan
turisme, dan pengaruhnya terhadap konservasi lingkungan di daerah dataran tinggi
Mahakam. Seni pertunjukan di kebanyakan kebudayaan biasanya sangat berkaitan
dengan musik, tari, drama dan upacara. Fenomena seperti ini dijelaskan pada seni
pertunjukan yang terdapat di dataran tinggi Mahakam, seperti hudo’, dangday,
belian, atau pertunjukan ngugu tautn. Di masa lalu seni pertunjukan kebanyakan
terkait dengan ritual religius local yang terkait dengan agrikultur, siklus kehidupan
dan upacara pengobatan. Seiring dengan perubahan yang telah terjadi dalam
beberapa aspek ke’tradisionalan’ seni pertunjukan maka ia mengemukakan
pertanyaan penelitian apa yang telah terjadi pada seni pertunjukan tradisional
sebagai akibat perubahan kepercayaan religius dan pola hidup dalam beberapa
dekade ini? Pertanyaan ini diarahkan pada beragam praktek di masa lalu, situasi
masa kini, dan prospek masa depan dari seni pertunjukan tradisional.23 Jika
dilihat dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan Devung, menurut saya
kurang didukung oleh data yang cukup. Dia hanya menulis refleksi singkat
tentang beberapa jenis seni pertunjukan di Mahakam dan menggambarkan situasi
sekarang dan prospek masa depan. Artinya pembahasannya kurang mendalam,
karena ia hanya melihat perubahan seni pertunjukan tersebut dari tampilan luar
yang terkait dengan komoditi pariwisata. Padahal jika dikaitkan dengan
pertanyaan penelitiannya seharusnya penjelasannya lebih terfukus kepada
perubahan religus dan pola hidup.
23
commit to user
Penelitian yang lain misalnya adalah Hutajulu (2002) yang meneliti
Dampak Pariwisata terhadap Upacara Tradisional pada Masyarakat batak
Toba.24 Dalam tulisannya ini (meskipun tidak tersurat) namun dapat difahami
bahwa yang dia maksud sebagai teks adalah opera batak, yaitu lagu-lagunya yang
secara spesifik berkaitan dengan fenomena gender dan perempuan pada
masyarakat Batak Toba. Namun isu gender yang dikemukakan dalam tulisan ini
adalah sebatas inspirasi bagi para kaum laki-laki dalam menciptakan lagu-lagu
yang dipakai dalam opera tersebut (132 lagu). Lagu-lagu opera sering sekali
diciptakan setelah mendengar keluhan dari pemain perempuan opera batak atau
penonton/anggota yang mengadukan problema serta pengalaman hidupnya.
Namun jika dikaji secara menyeluruh dari lagu-lagu terebut ia menunjukkan
fenomena ketidaksetaraan gender dan status perempuan yang subordinate di
masa-masa gemilang dimana opera batak berkembang.
Setiap seni itu memiliki nilai-nilai dasar yang sama. Nilai dasar-dasar
inilah yang membedakan apakah sesuatu termasuk karya seni, karya ilmiah, atau
karya filsafat. Memang ada 4 lembaga nilai yang ada dalam hidup manusia,yakni
ilmu agama, ilmu filsafat, seni dan ilmu pengetahuan. Masing-masing nilai tadi
mempunyai dasar, aturan, bentuk dan fungsinya sendiri dalam hidup manusia.
Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan dijelaskan lebih lanjut seni lesung
merupakan seni rakyat. Nilai spontanitas, kejujuran, kepolosan dan
kesederhanaan dijunjung tinggi. Individualitas dihindari. Karya seni pada
mulanya bersifat individual, tetapi lantas menjadi milik masyarakatnya, diubah,
24
Hutajulu, Rithaony. Dampak Pariwisata terhadap Upacara Tradisional pada Masyarakat
commit to user
ditambah, dikembangkan dan dibentuk menjadi format yang diakui sebagai seni
oleh masyarakat rakyat ini. Dalam seni rakyat ada nilai-nilai spontan dan
kesegaran serta autentik yang amat dihargai pula oleh kaum budaya elit. Inilah
sebabnya tak jarang kaum budaya elit sering mengambil dan mengembangkan
karya seni rakyat. Tetapi, kaum budaya elit tidak pernah peduli pada seni popular
dan seni massa karena kedua jenis seni tersebut banyak mengacu dan meniru seni
budaya elit, tetapi dengan mereduksi sejumlah nila yang justru oleh masyarakat
elit ini dianggap penting.25
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalarn penulisan skripsi ini adalah
met`ode sejarah, yaitu proses pengujian dan penganalisaan secara kritis rekaman
dari pengalaman masa lampau.26 Metode sejarah mempunyai empat tahap yaitu
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografidimana masing-rnasing tahap saling
berkaitan satu sama lain.
Tahap pertama heuristik adalah suatu proses pengumpulan bahan atau
surnber sejarah. Dalam penelitian ini data dicari di bagian arsip sanggar seni
”Sekar Jagad”. Misal mengenai surat keterangan terdaftar di Kementerian Dalam
Negeri, Direktorat Jendral Pajak dan lainnya serta arsip Desa Kotakan Kecamatan
Polokarto Kabupaten Sukoharjo, dalam hal ini berupa data monografi Desa
Bakalan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Serta buku-buku
perpustakaan untuk mencari dan mengumpulkan dokumen-dokumen atau
25
Jakob Sumardjo. Filsafat Seni. (Bandung : Penerbit ITB,2000). Hal. 232 26
commit to user
laporan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Tahap kedua adalah kritik. Kritik terdiri dari dua macarn, kritik intern dan
kritik ekstern. Kritik intern adalah kritik yang mernbuktikan bahwa isi suatu
surnber ini memang dapat dipercaya. Kritik ekstern adalah kritik untuk mencari
keaslian surnber.
Tahap ketiga adalah Interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan merangkainya sedemikian rupa
sehingga terbentuk suatu konstruksi peristiwa sejarah yang dimaksud dalam
penelitian ini.
Tahap keempat historiografi adalah penyusunan kesaksian yang dapat
dipercaya tersebut menjadi suatu kisah atau penyajian yang saling berhubungan
dengan tetap mengutamakan aspek kronologis.
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan
pula.27 Wawancara dilakukan dalam rangka untuk memperoleh informasi
atau pandangan terhadap informan yang mengetahui dan berpartisipasi
dalam suatu peristiwa. Dalam penelitian ini, wawancara dengan para
narasumber (informan) yang meliputi :
1) Joko Ngadimin, S.Sn selaku Pendiri sanggar seni Sekar Jagad”
27
commit to user
2) Wiwik Winarno, Maimunah & Tyas selaku Pelaku/pemain kesenian
lesung sanggar seni ”Sekar Jagad”
3) Hadi, Rakib & Maksum sebagai masyarakat umum
4) Muh. Jaelani, S.Sos selaku tokoh masyarakat Desa Bakalan
Studi dokumen adalah kegiatan mencari data dari sumber dokumen
untuk menambah informasi bagi penelitian ini. Dokumen sangat penting
dalam studi ilmu sejarah, karena di dalam dokumen tersimpan sumber
utama. Dokumen dibedakan menjadi dua macam, yaitu dokumen dalam
arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Dokumen dalam arti sempit
adalah kumpulan data-data verbal dalam bentuk tulisan seperti laporan,
catatan harian, suratkabar, dan lain-lain. Dokumen dalam arti luas berupa
artefak, foto-foto, monumen-monumen dan sebagainya.28 Pada penelitian
ini dokumen yang digunakan antara lain :
1) Dokumen pendirian sanggar seni ”Sekar Jagad”
2) Susunan pengurus sanggar seni ”Sekar Jagad”
3) Legalitas Lembaga ”Sekar Jagad” dari Direktorat Jenderal Pajak
28
commit to user
4) Jadwal kegiatan rutin sanggar seni ”Sekar Jagad”
5) Surat keterangan domisili lembaga kesenian lesung sanggar seni
”Sekar Jagad”.
c. Studi Pustaka
Dalam penelitian ini, studi pustaka perlu dilakukan untuk
melengkapi secara konseptual data-data yang diperoleh. Studi pustaka
dilakukan dengan membaca buku, majalah, jumal dan sumber sekunder
lainnya yang akan membantu penulis untuk memahami topik
permasalahan yang, berkaitan dengan objek yang diteliti. Studi Pustaka
dilakukan di Perpustakaan FSSR UNS, Perpustakaan Pusat UNS,
Perpustakaan Wilayah Propinsi Jawa Tengah serta Perpustakaan Daerah
Kabupaten Sukoharjo.
2. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan proses pengorganisasian data yang
telah dikumpulkan ke dalam pola, kategori dan satuan uraian, sehingga dapat
ditemukan kerangka pemikiran yang dapat dirumuskan. Pada tahap ini
data-data dikerjakan dan diolah sedemikian rupa sampai berhasil menemukan
kebenaran yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang diajukan.
Analisis yang digunakan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala
commit to user
tertentu antara gejala dan gejala yang lainnya dalam masyarakat.29 Analisis
dilakukan setelah data-data terkumpul kemudian diinterpretasikan, ditafsirkan,
dan dianalisis dengan mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena
sosial pada cakupan dan tempat tertentu.30
G. Sistematika Penulisan
Untuk rnemberikan garnbaran yang jelas tentang penulisan skripsi ini
maka penulis menyusun sistematika penulisan yang menyajikan permasalahan
dalam bab per bab. Tulisan ini dibagi menjadi lima bab.
Bab I Pendahuluan, berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Hasil Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian dan Sistematika Penuliasan.
Bab II, Membahas mengenai deskriptif lokasi penelitian, yang berisi
mengenai selayang pandang Kabupaten Sukoharjo, keadaan geografis Desa
Bakalan Kec. Polokarto, keadaan demografis Desa Bakalan Kec. Polokarto dan
susunan organisasi pemerintahan Desa Bakalan Kec. Polokarto.
Bab III, Kesenian Lesung Sanggar Seni Sekar Jagad Dusun Kotaka Desa
Bakalan Kec. Polokarto Kab. Sukoharjo. Berisi mengenai gambaran umum dusun
Kotakan Desa Bakalan Kec. Polokarto Kab. Sukoharjo, kelompok sosial yang
berperan aktif dalam organisasi Sanggar Seni Lesung ”Sekar Jagad”,
29
Koentjaraningrat. Metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta : Gramedia, 1994). Hal. 86 30
commit to user
perkembangan organisasi kesenian lesung sanggar seni ”Sekar Jagad” tahun 2004
-2012.
Bab IV Pembahasan. Berisi mengenai analisa peranan Kesenian Lesung
Sanggar seni ”Sekar Jagad” terhadap kohesi sosial dengan masyarakat sekitar
Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo
Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan pembahasan sebelumnya