BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif sampai usia 6 bulan pertama
kehidupan merupakan suatu misi primer dalam program kesehatan masyarakat dunia
yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO). Menurut WHO,
ASI eksklusif berarti pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain
pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Bahkan air putih pun tidak diberikan
dalam tahap ASI eksklusif ini. Pada tahun 2001 World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa ASI eksklusif selama enam bulan pertama hidup bayi adalah yang
terbaik. Dengan demikian, ketentuan sebelumnya bahwa ASI eksklusif itu cukup
empat bulan sudah tidak berlaku lagi.
Mengingat pentingnya pemberian ASI bagi tumbuh kembang yang optimal
baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi, maka pemerintah sangat memberi
perhatian terhadap pemberian ASI eksklusif ini. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 128 disebutkan bahwa
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, kecuali atas indikasi medis, (2) Selama pemberian air susu ibu, pihak
keluarga, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi
secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus, dan (3) Penyediaan
tempat sarana umum (Depkes, 2010). Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan
dapat dilanjutkan sampai usia 2 tahun juga mendapat perhatian serius dari pemerintah
dan kembali dituangkan dalam Kepmenkes RI. No. 450/MENKES/IV/2004.
Pemberian ASI memainkan peran penting dalam survival anak di
negara-negara berkembang dimana ia menyumbang dalam sistem imunitas dan
meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Manfaat pemberian ASI eksklusif sangat
luas dan beragam terutama bagi ibu dan bayi serta keluarga. Bagi ibu dan bayi,
pemberian asi eksklusif akan menumbuhkan jalinan kasih sayang yang mesra antara
ibu dan bayi baru lahir. Hal ini merupakan awal dari keuntungan menyusui secara
eksklusif. Bagi keluarga, pemberian ASI eksklusif akan membawa manfaat dari aspek
ekonomi, psikologi dan kemudahan (Arini, 2012).
Selain dampak negatif yang dapat terjadi pada si ibu, pemberian ASI yang
tidak eksklusif juga memberi dampak yang tidak baik bagi bayi. Adapun dampak
yang dapat terjadi pada bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif memiliki risiko
kematian karena diare 3,94 kali lebih besar dibandingkan bayi yang mendapat ASI
eksklusif (Kemenkes, 2010). Hal ini sejalan dengan hasil riset WHO pada tahun 2005
menyebutkan bahwa 42 persen penyebab kematian balita di dunia yang terbesar
adalah malnutrisi (58%). ''Malnutrisi seringkali terkait dengan asupan ASI, sedangkan
riset WHO pada tahun 2000 menyebutkan bahwa kurang dari 15% bayi di seluruh
dunia diberi ASI eksklusif selama 4 bulan dan seringkali pemberian makanan
pendamping ASI tidak sesuai dan tidak aman. Hal ini sesuai dengan penelitian Sarah
karena faktor pengetahuan ibu tentang resiko pemberian makanan tambahan masih
rendah dan didukung oleh adanya kebiasaan keluarga memberikan makanan
tambahan pada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan.
Dari hasil penelitian United Nation Child’s Fund (UNICEF) dari tahun 2003
hingga 2008 didapati proporsi bayi Indonesia yang mendapat ASI ekslusif selama 6
bulan pertama ialah sebanyak 32% dan didapati 50% anak diberikan ASI sampai usia
23 bulan. Tetapi bila dibandingkan dengan negara berkembang lain seperti
Bangladesh didapati 43% anak diberikan asi eksklusif selama 6 bulan dan 91% anak
mendapat ASI sampai usia 23 bulan(UNICEF, 2008).
Hal senada juga didukung dengan hasil Riskesdas 2010 menunjukkan
persentase bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan hanya
15,3%. Pemberian ASI kurang dari 1 jam setelah bayi lahir tertinggi di Nusa
Tenggara Timur (56,2%) dan terendah di Maluku (13%). Sebagian besar proses
menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1- 6 jam setelah bayi lahir, namun masih ada
11,1 % yang dilakukan setelah 48 jam (Riskesdas, 2010).
Rendahnya cakupan ASI eksklusif di Indonesia dibandingkan dengan negara
berkembang lainnya dan negara-negara ASEAN tentu menyumbang akibat yang
tidak baik bagi kesehatan bayi. Menurut Kemenkes 2010, menyusui dampaknya
sangat signifikan dalam menurunkan angka kematian anak. Oleh karena itu sangat
dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan. Demikian juga
yang diungkapkan oleh WHO (2005) bahwa hampir 90% kematian anak balita terjadi
saluran pernafasan akut yang sebernarnya dapat dicegah dengan pemberian ASI
eksklusif.
Banyak faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi usia
0-6 bulan. Penelitian Syafiq (2010) menyatakan bahwa kegagalan ASI eksklusif adalah
karena faktor predisposisi yaitu pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang dan
faktor pemungkin penting yang menyebabkan terjadinya kegagalan adalah karena
ibu tidak difasilitasi melakukan IMD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pengetahuan dan pengalaman ibu sangat menentukan dalam pemberian ASI eksklusif
pada bayinya.
Hal ini sesuai dengan teori Thought and Feeling yang dikemukakan oleh
WHO (1980) bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah
karena empat (4) alasan pokok, yaitu (1) pemikiran dan perasaan yang terdiri dari
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, penilaian terhadap objek, (2) orang
penting sebagai referensi, (3) sumber-sumber daya, dan (4) budaya (Notoatmodjo,
2010).
Dari hasil penelitian deskriptif terhadap ibu-ibu yang melahirkan di RS
Maldives didapatkan hasil bahwa kelompok yang memberikan ASI eksklusif
memiliki pengetahuan yang adekuat dibanding yang tidak dan bermakna secara
statistik. Kelompok ini juga memiliki sikap yang positif dan dukungan keluarga yang
lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak memberikan ASI secara eksklusif tapi
Mengacu pada teori Behavior Intention yang dikemukakan oleh Snehendu B.
Kar (1980) dalam Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa perilaku kesehatan itu
merupakan fungsi dari (a) niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan
kesehatan atau perawatan kesehatan (b) dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya
seperti suami, istri, orang tua, mertua, (c) ada atau tidaknya informasi tentang
kesehatan atau fasilitas kesehatan (d) Kewenangan atau kebebasan mengambil
keputusan, serta (e) situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak.
Penelitian Josefa (2011), mengemukakan bahwa dukungan sosial, peraturan
tempat persalinan, faktor sosial budaya, maraknya promosi susu formula, faktor
lingkungan dan faktor psikologis ibu memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05)
dengan perilaku pemberian ASI eksklusif, sedangkan pengetahuan (p = 0,537) dan
status pekerjaan (p = 0,091) tidak berhubungan secara signifikan dengan perilaku
pemberian ASI eksklusif.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2011 diketahui
sebanyak 40,21% bayi yang diberikan ASI eksklusif, terjadi peningkatan dari tahun
2010 (28,96%), tetapi dirasakan masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target
pencapaian ASI eksklusif tahun 2012 sebesar 60%. Data dari Dinas Kesehatan Kota
Banda Aceh tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah bayi dengan ASI eksklusif
sebesar 50,06 % dari 7.875 bayi usia 0-6 bulan (Dinkes Aceh Barat, 2011).
Demikian pula halnya dengan Kabupaten Aceh Barat yang merupakan salah
satu dari 23 kabupaten/kota yang ada di wilayah Propinsi Aceh. Berdasarkan
data akurat mengenai cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Aceh Barat (Dinkes Aceh
Barat, 2011) sedangkan untuk tahun 2011 hanya 10,2% bayi yang mendapatkan ASI
eksklusif (Dinkes Aceh Barat, 2012)
Puskesmas Woyla Barat termasuk salah satu Unit Pelaksana Teknik Daerah
(UPTD) di Kabupaten Aceh Barat dan merupakan puskesmas rawat jalan yang berada
paling barat dari wilayah Kabupaten Aceh Barat yang berjarak ± 52 km dari Ibu kota
Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Jaya. Wilayah kerja
puskesmas ini meliputi 24 desa. Cakupan pemberian ASI eksklusif di Wilayah
Puskesmas Woyla Barat untuk tahun 2010 tidak ada laporan sedangkan pada tahun
2011 didapatkan data bahwa dari 172bayi yang berusia 0-6 bulan, tidak ada satupun
yang mendapatkan ASI eksklusif (Dinkes Aceh Barat, 2011). Data yang diperoleh
untuk tahun 2012, terdapat hanya 36 bayi (23%) dari 154 bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif (Dinkes Aceh Barat, 2012).
Hal ini menunjukkan bahwa cakupan ASI eksklusif di Wilayah Kerja
Puskesmas Woyla Barat masih rendah dan jauh dari target yang diharapkan. Oleh
karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif tersebut
melalui perubahan perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Dari berbagai hasil
penelitian tentang determinan pemberian ASI eksklusif, peneliti ingin mengkaji
determinan pemberian ASI eksklusif berdasarkan teori Thought and feeling yang
dikemukakan oleh WHO (1990) dan teori Behavior Intention yang dikemukakan oleh
Survei pendahuluan yang penulis lakukan terhadap 10 orang ibu yang
memiliki bayi usia >6 bulan di wilayah Puskesmas Woyla barat di dapatkan
kenyataan bahwa tidak ada seorang pun ibu yang memberikan ASI secara eksklusif
pada bayinya. Mereka beralasan bahwa sudah menjadi kebiasaan di tempat mereka
bahwa bayi diberi makanan tambahan walaupun usia bayi belum mencapai 6 bulan.
Mereka juga mengatakan bahwa ibu dan ibu mertuanya juga melakukan hal yang
sama di masa lalu. Disamping itu ada kebudayaan yang berlaku dimana saat turun
mandi anak (± usia 40 hari) mereka mencicipkan kepada bayinya berbagai macam
rasa seperti manis, asin, asam dan sebagainya yang berasal dari makanan yang biasa
dimakan orang dewasa.
Kebiasaan lain yang biasanya berlaku adalah berkumpulnya ibu dan ibu
mertua dari sebelum sampai kelahiran si bayi. Setelah bayi lahir maka tugas
pengasuhan ibu dan bayi diambil alih sepenuhnya oleh ibu dan ibu mertua sampai
selesai masa nifas. Pada masa pengasuhan masa nifas inilah ibu dan bayi sering
mendapat tindakan yang salah diantaranya adalah bayi diberikan makanan dan
minuman yang dianggap baik oleh ibu dan ibu mertua namun keliru dari segi
kesehatan. Ibu bayi pun biasanya tidak berdaya menghadapi hal ini, walaupun ada di
antara ibu bayi yang mengetahui bahwa hal ini salah namun mereka tidak berani
menentang karena akan dianggap berdosa atau kualat kepada orang tua dan bila
terjadi apa-apa pada si bayi maka ibu bayi akan di salahkan sebagai efek dari
Di sisi lain, sebenarnya peran suami pun sangat dibutuhkan pada saat ini,
namun ungkapan” anak adalah urusan perempuan” sepertinya masih berlaku di
masyarakat ini. Umumnya para suami belum mau ikut campur dalam hal mengurus
anak termasuk memberikan dukungan untuk memberikan ASI saja sampai usia bayi
mencapai 6 bulan. Peranan suami dirasakan masih sangat rendah dan masih banyak
suami yang menganggap bahwa hal tersebut bukan tanggung jawab suami namun
sepenuhnya merupakan tanggung jawab istri.
Keadaan ini juga didukung oleh pengetahuan ibu sendiri yang kurang
memahami tentang pentingnya ASI eksklusif, hasil wawancara tentang ASI eksklusif
didapatkan bahwa mereka mengatakan bahwa mereka takut kalau ASI saja yang
diberikan tidak mencukupi kebutuhan bayi. Bila anak mereka sakit seperti mencret
mereka malah menghentikan pemberian ASI dan memberi bayinya air tajin (air nasi).
Kenyataan yang terjadi pada ibu-ibu ini merupakan salah satu penghalang tercapainya
program ASI eksklusif. Oleh karena itu perlu upaya untuk meningkatkan pemahaman
dan kemauan ibu dalam memberikan ASI eksklusif pada masa yang akan datang.
Berdasarkan fakta dan data yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk
menganalisis pengaruh faktor yang menentukan (determinan) yang meliputi faktor
dukungan sosial (dukungan suami dan ibu/ibu mertua), keterpaparan informasi,
kewenangan mengambil keputusan (otonomi), situasi untuk bertindak, pengetahuan,
sikap, orang yang menjadi rujukan/panutan dan budaya terhadap pemberian ASI
1.2 Permasalahan
Masih rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi di Wilayah
Kerja Puskesmas Woyla Barat diduga berkaitan erat dengan perilaku ibu dalam
memberikan ASI eksklusif.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh faktor yang menentukan (determinan) yang
meliputi faktor dukungan suami,ibu/ibumertua, keterpaparan informasi, kewenangan
mengambil keputusan, situasi untuk bertindak, pengetahuan, sikap, panutan dan
budaya terhadap pemberian ASI eksklusif pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas
Woyla Barat Kabupaten Aceh Barat.
1.4 Hipotesis
Faktor dukungan suami, ibu/ibu mertua, keterpaparan informasi, kewenangan
mengambil keputusan, situasi untuk bertindak, pengetahuan, sikap, panutan dan
budaya berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif pada bayi di Wilayah Kerja
Puskesmas Woyla Barat Kabupaten Aceh Barat.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai
bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat untuk mengambil
kebijakan dalam rangka merubah prilaku ibu untuk meningkatkan cakupan pemberian