BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara seperti menjaga keamanan Negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain sebagainya. Namun setelah terbentuknya suatu negara, pajak merupakan iuran wajib rakyat kepada negara. Dari pajak ini yang mana akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan,pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintahan dan pembangunan daerah.1
Pada tahun 1999 pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat terdiri dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Untuk pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri. Dasar dilakukan pemungutan oleh pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mengatakan bahwa Pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah Pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi
mendominasi mereka. Peran Pemerintah Pusat ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Langkah-langkah yang perlu di ambil dengan cara menggali segala kemungkinan sumber keuangannya sendiri sesuai dengan dan dalam batas-batas peraturan perundang-undangan yang berlaku.2
Untuk merealisasikan pelaksanaan Otonomi Daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung pada peranan pendapatan asli daerah. Hal ini diharapkan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu Pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Dengan ini akan semakin memperbesar keleluasaan daerah untuk mengarahkan penggunaan keuangan daerah sesuai dengan rencana, skala prioritas dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, yang terdiri dari : 1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD terdiri dari:
a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan d. Lain-lain PAD yang sah
2. Dana Perimbangan yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.3
Melihat sektor di atas, maka salah satu sektor yang perlu ditingkatkan untuk menunjang penerimaan daerah adalah retribusi daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangganya sebagai badan hukum public.4
Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah mempunyai peran penting dalam pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dimana peranan PAD diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri. Dengan demikian akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang bersifat mandiri.5
Pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi.6 Keadaan
3
Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2008, hal 22
4
Hamdani Aini, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta,1985, hal 196 5
Andrian Sutedi, hukum pajak dan retribusi daerah, Ghalia Indonesia, Bogor 2008, hal 3 6
ini diperlihatkan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh : relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah, perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah dan kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Kondisi yang ada di Kota Medan dengan potensi sumber daya alam yang sangat minim memaksa Pemerintah Kota Medan untuk lebih kreatif mengoptimalkan potensi yang lain. Salah satu potensi yang memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Kota Medan adalah penyelenggaraan retribusi parkir.
Untuk mendukung kegiatan tersebut Pemerintah Kota Medan telah mengeluarkan dua Perda yang khusus mengatur sektor perparkiran ini, yaitu Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang pajak parkir dan peraturan daerah kota medan nomor : 7 tahun 2002 tentang retibusi pelayanan parkir ditepi jalan umum, tempat khusus Parkir dan perizinan pelataran parkir sebagai bagian dari Propinsi Sumatera Utara tentunya memerlukan dana yang cukup besar dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan daerah di berbagai sektor. Salah satu sumber pendapatan asli daerah kabupaten Kapuas adalah retribusi parkir.
berlaku.7 Sedangkan parkir menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Retribusi di Tepi Jalan Umum Pasal 1 huruf g adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Setiap pelayanan penyediaan tempat parkir di tepi jalan umum dipungut tertribusi dengan nama retribusi di tepi jalan umum.
Kondisi keuangan PD Parkir Kota Medan sejak Tahun 2008 sampai 2012 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Namun pada Tahun 2012 target yang meningkat tetapi justru tidak tercapai. Hal ini tergambar dari tabel target dan realisasi pendapatan sebagaimana digambarkan pada tabel di bawah ini :
Tabel 1
Target dan Realisasi Retribusi Parkir Kota Medan Tahun 2008-2012
No. Tahun Target Realisasi %
1. 2008 Rp. 2.763.500.500,00 Rp. 2.974.771.875,00 107,65% 2. 2009 Rp. 3.678.292.500,00 Rp. 3.694.486.150,00 100,44% 3. 2010 Rp. 4.369.300.500,00 Rp. 4.585.913.751,00 104,96% 4. 2011 Rp. 5.550.531.000,00 Rp. 5.617.631.630,00 101,21% 5. 2012 Rp. 7.644.300.600,00 Rp. 6.780.341.550,00 88,69% Sumber : PD. Parkir Medan, 21 Maret 2012 oknum yang tidak bertanggung jawab untuk meraub keuntungan. Merekalah para
7
juru parkir liar yang tidak memiliki surat izin parkir dari PD Parkir Medan. Hal ini
membuat pemungutan jasa retribusi parkir tidak berjalan efektif.
Permasalahan retribusi atau retribusi daerah lebih tepatnya diatur dalam
Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah dimana yang
dimaksud dengan retribusi daerah atau retribusi adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan
atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan. Sedangkan retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau
diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis-jenis retribusi jasa
umum seperti yang diatur dalam PP No 66/2001 antara lain :
1. Retribusi pelayanan kesehatan
2. Retribusi pelayanan persampahan atau kesehatan
3. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil
4. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
5. Retribusi parkir di tepi jalan umum
6. Retribusi pelayanan pasar
7. Retribusi pengujian kendaraan bermotor
8. Retribusi penggantian biaya cetak peta
9. Retribusi pengujian kapal perikanan8
Retribusi parkir di tepi jalan umum yang di kelola oleh pemerintah Kota
Medan merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan
8
merupakan salah satu pendapatan terbesar dari sumber pendapatan lain sehingga
Pemerintah Kabupaten Kapuas mengawasi pelaksanaan retribusi parkir ini.
Seperti halnya di pasar melati yang merupakan pasar terbesar di Kota
Medan, di sana terdapat pilihan tempat parkir yang memakai bahu jalan sebagai
tempat parkir sehingga akan mengganggu penguna jalan ketika melintasi jalur
tersebut. Kompetisi antar tukang parkir ini lah yang sering membuat kemacetan di
sepanjang jalan mahakam ini. Hal yang membuat kecewa adalah ketika mendapati
karcis yang tertera Rp 5.00,00 namun kenyataannya harga yang dibayarkan adalah
Rp 1.000,00 bahkan Rp 2.000,00 (untuk pengguna sepeda motor), belum lagi juru
parkir yang curang yaitu menerbitkan karcis sendiri tanpa persetujuan dari Dinas
Pendapatan Daerah yang terkait. Banyaknya lahan parkir di tepi jalan umum
sekitar pasar Melati, pasar Modern/pertokoan, dan pelabuhan menjadikan tempat
ini sebagai lahan bagi para juru parkir, belum lagi pendapatan yang dihasilkan
oleh juru parkir yang cukup lumayan, belum lagi tingginya tingkat pengangguran
membuat sebagian orang lebih memilih jadi juru parkir. Banyaknya juru parkir
inilah yang membuat persaingan perebutan lahan parkir, sampai kecurangan
dalam menentukan tarif yang seolah-olah juru parkir yang menentukan harga yang
harus dibayarkan, belum lagi karcis yang dipakai lebih dari satu kali, bahkan
sengaja tanpa karcis itu sendiri, padahal mereka terdaftar sebagai juru parkiryang
resmi yang mempunyai kartu identitas dan berseragam juru parkir.9
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut maka penulis merasa
tertarik untuk mencoba menganalisis lebih jauh dengan judul: Tinjauan Yuridis
9
Tentang Pengelolaan Perparkiran Kota Medan Perda No. 10 Tahun 2011 (Studi
Pemko Medan)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka pokok permasalahan yang
dikemukakan adalah :
1. Bagaimana pengelolaan retribusi parkir di kota Medan?
2. Bagaimana pelaksanaan pemungutan pajak parkir daerah kota Medan?
3. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan pajak parkir?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
a. Untuk mengetahui pengelolaan retribusi parkir di kota Medan
b. Untuk mengetahui pelaksanaan pemungutan pajak parkir daerah kota
Medan
c. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan
pajak parkir
2. Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis
1) Hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan
pengetahuan yang ada terutama yang berkaitan dengan Manajemen
Strategi dan Keuangan Daerah.
2) Selain itu karena penelitian ini tentang studi Manajemen Strategi
dan Keuangan daerah maka dapat bermanfaat juga untuk
pengembangan studi Manajemen Strategi dan Keuangan Daerah
b) Secara praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi UPTD Perpakiran Dinas Perhubungan Kota Kota
dalam memecahkan masalah yan berhubungan dengan
implementasi strategi peningkatan retribusi parkir di Tepi jalan
umum.
b. Dari hasil penelitian mengenai tinjauan yuridis tentang pengelolaan
perparkiran kota medan perda no. 10 tahun 2011 ini diharapkan
dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait
dengan implementasi kebijakan ini dan bagi peneliti dapat
menambah pengetahuan dan mempertajam analisis masalah
kebijakan yang berhubungan dengan perparkiran serta bagi peneliti
lain skripsi ini bisa dijadikan acuan dalam melakukan kajian
mengenai implementasi kebijakan parkir tepi jalan umum.
D. Tinjauan Pustaka
1. Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Lahirnya UU No.25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.
mutakhir dari Pusat untuk mengatur pola hubungan keuangan antara Pusat dan
Daerah. Namun yang jelas, UU tersebut dalam ukuran yuridis formal telah
memberikan harapan baru bagi daerah untuk memperoleh kesempatan guna
mewujudkan kemandiriannya dalam mengelola dan memanfaatkan
sumber-sumber pendapatan yang dimiliki dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.10
Berdasarkan UU No.33 tahun 2004 (sebagai pengganti UU No.25 Tahun
1999), sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi meliputi; pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah
bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan daerah
yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Karena penyelenggaraan
pemerintahan di daerah akan terlaksana dengan baik apabila didukung oleh dana
yang memadai, disamping dana yang berasal pusat. Namun demikian meskipun
terdapat bantuan transfer dana dari pusat, daerah diharapkan tidak selalu
bergantung kepada pusat dalam artian daerah harus mampu menggali
sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari daerahnya sendiri. Sumber-sumber-sumber
penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal namun tetap
dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka menggali sumber-sumber keuangan daerah terutama dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah harus berusaha mencari
sumber-sumber keuangan yang potensial yaitu pajak daerah dan retribusi daerah.
10
Kewenangan daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah diatur
dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti
peraturan pelaksananya dengan PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan
PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Pajak daerah dan retribusi
daerah merupkan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.
Pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut,
dilaksanakan dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). UU No.34 Tahun
2000 tersebut memberikan peluang kebebasan kepada Pemerintah Daerah untuk
menyusun Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dampak yang timbul
kemudian adalah banyaknya bermunculan Perda-perda baru tentang Pajak dan
Retribusi Daerah yang meresahkan masyarakat dan pelaku usaha sehingga
menimbulkan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan eekonomi dan
investasi secara nasional. Selain itu, Perda-perda baru tersebut menimbulkan
terjadinya pungutan-pungutan yan pada akhirnya menciptakan ekonomi biaya
tinggi (high cost economy) yang memberatkan ekonomi nasional.11
Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 32 Tahun 2004
Pemerintah c.q. Departemen Keuangan diberikan mandat untuk memonitor dan
mengevaluasi perda DPRD. Pada kenyataannya kewenangan yang diberikan
kepada Daerah tersebut memberikan dampak banyaknya perda tentang pajak
daerah dan retribusi daerah tersebut yang dibatalkan oleh pemerintah, karena
11
Sebagaimana hasil temuan dari Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Departemen Keuangan RI, Evaluasi
dianggap bertentangan dengan undang-undang di atasnya dan mengganggu iklim
investasi dan usaha di daerah sehingga memberatkan pelaku usaha. Ketentuan
tentang penerbitan Peraturan Daerah yang harus mendapatkan pengesahan dari
Pusat dirasakan telah mengurangi makna otonomi daerah sebagai perwujudan
kemadirian daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, sumber-sumber penerimaan daerah
dalam rangka desentralisasi adalah pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan Daerah bersumber kepada :12
a. Pendapatan Asli Daerah
b. Dana Perimbangan
c. Lain-lain pendapatan
Pendapatan asli daerah ini merupakan bagian terpenting dari penerimaan
Daerah. Semakin tinggi sumber PAD akan semakin tinggi kemampuan daerah
dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Pendapatan asli daerah adalah
penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang
dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sejak pelaksanaan otonomi daerah peningkatan PAD selalu menjadi
pembahasan penting termasuk strategi peningkatannya. Hal ini mengingat bahwa
kemandirian daerah menjadi tuntutan utama sejak diberlakukannya otonomi
daerah. Optimalisasi potensi daerah digalakkan untuk meningkatkan PAD. Dalam
era otonomi daerah PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang
12Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan Antara
seharusnya memiliki peranan yang cukup signifikan. Namun kenyataannya peran
PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kabupaten/Kota masih relatif kecil. Rata-rata kontribusi PAD terhadap total
penerimaan sebelum era desentralisasi sebesar 0,2 persen (1998-2000), sedangkan
pada era desentralisasi mengalami penurunan menjadi 8,1 persen (2000-2001).13
Untuk peningkatan PAD terkait dengan peran legislatif daerah dalam hal
ini adalah pada tingkat kebijakan dimana dewan harus menentukan unsur
kelayakan dan kemudahan jenis pungutan serta dapat menjamin keadilan baik
secara vertikal maupun horizontal. Disamping itu dewan juga dapat berpartsisipasi
dalam bentuk pengawasan. Bila dewan benar-benar mampu menjalankan
fungsinya dengan baik dalam kebijakan dan pengawasan, maka optimalisasi PAD
akan benar-benar terwujud.
2. Pajak Daerah
Pengaturan tentang pajak daerah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000
yang merupakan penyempurnaan dari UU No.18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti
peraturan pelaksananya dengan PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Berdasarkan UU dan PP tersebut Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk
melakukan perubahan terhadap masing-masing jenis pajak.14 Untuk itu daerah
diberikan kewenangan memungut 11 jenis pajak.15 Penetapan ini didasarkan pada
dilakukan terhadap orang pribadi atau badan oleh daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
15
pertimbangan bahwa pajak tersebut secara umum dapat dipungut hampir di semua
daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan
pungutan yang baik.
Jenis pajak provinsi bersifat limitatif yang berarti provinsi tidak dapat
memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan. Adanya pembatasan jenis pajak
provinsi tersebut terkait dengan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom yang
terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang
bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu. Provinsi dapat tidak memungut pajak yang telah ditetapkan
tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Besarnya tarif pajak provinsi
berlaku definitif yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur
dalam PP No. 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah.
Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota
diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang
telah ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan
menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan
kriteria yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut. Namun ada
rambu-rambu atau kriteria yang harus diikuti :16
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, (2) Pajak Kabupaten/Kota adalah; pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir.
16
b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya
melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan;
c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek pajak
pusat;
e. Potensinya memadai;
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan;
h. Menjaga kelestarian lingkungan.
Jika ada pajak daerah yang akan dikenakan tidak memenuhi satu saja dari
rambu di atas, maka seyogyanya dipertibangkan untuk dibatalkan pengesahannya.
UU No.34 Tahun 2000 secara tegas telah menyatakan bahwa pemerintah pusat
bisa meminta daerah untuk membatalkan pajak-pajak yang dianggap tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut.
Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota
ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif
maksimum yang telah ditetapkan undang-undang. Dengan adanya pemisahan jenis
pajak yang dipungut oleh provinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota
Kristiadi17, pajak daerah secara teori hendaknya memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain :
a. Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah pusat
b. Sederhana dan tidak banyak jenisnya
c. Biaya administrasinya rendah
d. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat
e. Kurang dipengaruhi oleh “business cycle” tapi dapat berkembang dengan
meningkatnya kemakmuran
f. Beban pajak relatif seimbang dan “tax base” yang sama diterapkan secara
nasional
Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung
pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.
Untuk itu pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap
menempatkan sesuai dengan fungsinya.18
3. Retribusi Daerah
Menurut UU 34 Tahun 2000, retribusi adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan. Defisini tersebut menunjukkan adanya imbal balik langsung antara
pemberi dan penerima jasa. Hal ini berbeda dengan pajak, yaitu iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
17
Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Op. Cit, hal. 25
18
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan pembangunan daerah.
Retribusi juga dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh
Pemda/pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi/pelayanan yang diberikan
Pemda yang langsung dinikmati secara perseorangan oleh warga masyarakat dan
pelaksanaannya didasarkan atas peraturan yang berlaku19
Sebagaimana halnya pajak daerah, retribusi diharapkan menjadi salah satu
sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah,
untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.
Pasal 1 ayat (28) UU No. 34 Tahun 2000 :
Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka retribusi tidak lain merupakan
pemasukan yang berasal dari usaha-usaha Pemerintah Daerah untuk menyediakan
sarana dan prasarana yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan warga
msyarakat baik individu maupun badan atau koorporasi dengan kewajiban
memberikan pengganti berupa uang sebagai pemasukan kas daerah. Daerah
kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali sumber-sumber keuangannya
19
dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Retribusi dapat digolongkan atas tiga golongan, yaitu Retribusi Jasa
Umum; Retribusi Jasa Usaha; dan Retribusi Perizinan Tertentu.20
a. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan tau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Jenis Retribusi Jasa Umum antara lain; Retribusi Pelayanan Kesehatan;
Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan; Retribusi Penggantian
Biaya Cetak Kartu Penduduk dan Akte Catatan Sipil dan lain-lain.
b. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis retribusi jasa
usaha antara lain; Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; Retribusi
Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; Retribusi Tempat Pelelangan dan
lain-lain.
c. Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu
Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya
alam, sarana, prasarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan
20
Tertentu terdiri dari; Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan; Retribusi Ijin
Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; Retribusi Ijin Gangguan; dan
Retribusi Ijin Trayek.
Berdasarkan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, daerah dapat
menerapkan berbagai jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
dalam undang-undang. Jenis retribusi lainnya, misalnya adalah penerimaan negara
bukan pajak yang telah diserahkan kepada daerah.21 Ketentuan inilah yang
membuka peluang bagi daerah untuk menerbitkan berbagai jenis retribusi yang
pada akhirnya dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena dianggap mengganggu
iklim investasi di daerah dan memberatkan pelaku usaha.
Tim gabungan yang terdiri dari perwakilan Departemen Keuangan dan
Departemen Dalam Negeri, telah membatalkan dan merevisi 111 peraturan daerah
(perda) bermasalah dari 193 perda tentang pajak dan retribusi yang diterima tim
sepanjang 2005. Sejak 2001 tim telah membatalkan dan merevisi total 448 perda
dari 4.574 perda yang diterima. dari total 448 perda itu, yang dibatalkan sebanyak
404 perda dan yang direvisi 44 perda dari berbagai sektor. Sektor yang terbanyak
adalah pertanian dan peternakan (87), industri dan perdagangan (68), dan
perhubungan (66).22
E. Keaslian Penulisan
Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas
masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.
21
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.63
22
Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Tinjauan Yuridis Tentang
Pengelolaan Perparkiran Kota Medan Perda No. 10 Tahun 2011 (Studi Pemko
Medan) belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika
dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan
bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata
dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan
sepenuhnya.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana untuk memperkuat dan mengembangkan
ilmu pengetahuan. Penelitian pada dasarnya merupakan, “suatu upaya pencarian”
bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu obyek yang mudah
terpegang, di tangan.23Untuk itu tujuan utamanya adalah menambah dan
memperluas pengetahuan guna memperkuat teori-teori yang sudah ada atau juga
menemukan teori baru, sehingga sebuah penelitian dilakukan secara sistematis,
konsisten dan metodologis. Secara sistematis adalah berdasarkan suatu sistem,
konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka
tertentu, metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu.
Soerjono Sukanto, penelitian secara ilmiah artinya suatu metode yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan jalan
menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
23
fakta tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut.24
Sedangkan penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya.25 Metodologi menjadi cukup penting karena metode pada
prinsipnya memberikan pedoman tentang cara peneliti untuk mempelajari dan
menganalisa permasalahan yang dihadapi.
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan yuridis normatif.26 Penelitian hukum normatif yang
merupakan studi dokumen, menggunakan pendekatan perundang-undangan.
Dalam penelitian ini yang diteliti adalah sampai sejauh mana hukum positif
tertulis yang ada itu sinkron atau serasi satu sama lain. Hal ini dapat dilakukan
melalui 2 (dua) jalur, yaitu :
a. Vertikal, melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan berlaku bagi
suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan
yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada.
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2007, hal 2. 25
Ibid, hal 43 26
b. Horisontal, apabila yang ditinjau adalah peraturan perundang-undangan yang
berkedudukan sederajat dan yang mengatur bidang yang sama.27
Kegiatan dalam penelitian hukum normatif meliputi :
a. Memilih pasal-pasal yang bersifat norma hukum.
b. Menyusun sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan
klasifikasi tertentu.
c. Menganalisis pasal-pasal tersebut dengan menggunakan asasasas hukum yang
ada.
d. Menyusun suatu konstruksi dengan persyaratan :
1) Mencakup semua bahan hukum yang diteliti
2) Konsisten
3) Memenuhi syarat-syarat estetis
4) Sederhana28
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yakni
suatupenelitian yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum
dan mengkajinya atau menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan daripenelitian
ini.
3. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari : Data Sekunder. Data
sekunder diperoleh dari bahan pustaka dan dokumentasi merupakan data dasar
27
Bambang Sunggono, Op. Cit. hal 94 - 96. 28
dalam penelitian hukum normatif, yang menjadi pijakan untuk menjawab
permasalahan dan tujuan penelitian. Apabila dilihat dari sisi kekuatan
mengikatnya data sekunder di bidang hukum dapat dibedakan menjadi :
1) Bahan-bahan hukum primer, meliputi : Perubahan Undang-undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Daerah.
2) Bahan-bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah diteliti pada
bahan-bahan hukum pimer, meliputi, bahan-bahan hukum yang diperoleh dari teks, jurnal,
kasus-kasus, desertasi, hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Studi Kepustakaan. Dalam hal ini, alat pengumpul data kepustakaan
dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder, dapat dilakukan dengan
melihat dan memperoleh buku-buku referensi mengenai pajak daerah,
laporan-laporan hasil penelitian terdahulu, karyakarya ilmiah lainnya.
6. Teknik Analisa Data
Dalam melakukan analisa data, maka data yang diperoleh dianalisa secara
kualitatif atau bersifat analisis data kualitatif normatif atau studi dokumenter
dengan menggunakan buku-buku literatur yang berhubungan dengan sistem
pemungutan pajak dalam era otonomi daerah. Data yang telah dianalisis ini
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Pengelolaan
Perparkiran Kota Medan Perda No. 10 Tahun 2011 (Studi Pemko Medan),
sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang, Perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode
penelitian
BAB II PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR DI KOTA MEDAN
Bab ini akan membahas tentang Konsep Pengelolaan, Fungsi
Manajemen, Konsep Keuangan Daerah dan Konsep Retribusi Daerah
dan Retribusi Parkir
BAB III PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR DAERAH
KOTA MEDAN
Pada bagian ini akan membahas mengenai Perparkiran Umum, Dasar
Hukum Perparkiran Umum dan Jenis – jenis Pajak di Indonesia serta
Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah untuk melaksanakan
pembangunan daerah menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004
BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM
PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR
Pada bab ini berisikan Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala Dalam
Pelaksanaan Pemungutan Pajak Parkir dan Pajak Parkir Terhadap
Pendapatan Asli Daerah Kota Medan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN