• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Promethee II untuk Sistem Pendukun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Model Promethee II untuk Sistem Pendukun"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PROMETHEE II UNTUK SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN

EVALUASI KINERJA PEMERINTAH DAERAH

PROVINSI SULAWESI BARAT

Taufan Harry Prasetyo

Mahasiswa Magister Teknik Informatika STMIK AMIKOM Yogyakarta Jl Ring road Utara, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta 55281

Email : [email protected])

Abstrak

Evaluasi performa kinerja pemerintah daerah (pemda) dapat memberikan informasi sejauh mana pemerintah daerah telah melaksanakan tugas tugas pemerintah untuk melayani masyarakatnya. Namun mekanisme untuk mengevaluasi kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) belum ada. Kinerja SKPD secara kumulatif nantinya akan membentuk kinerja pemda secara keseluruhan. Sehingga penting dilakukan mekanisme untuk menilai dan mengevaluasi serta merangking kinerja SKPD. Dengan adanya rangking ini maka kepala daerah dapat mengambil keputusan untuk dapat meningkatkan kinerja pemda. Selain itu kepala daerah dapat menerapkan rewards dan punishment yang terukur terhadap hasil evaluasi. Hal ini semata mata dalam upaya meningkatkan kinerja birokrasi.

Paper ini mengusulkan tiga dimensi evaluasi yaitu performa manajerial, keuangan dan integritas organisasi dalam mengukur kinerja SKPD. Dari tiga dimensi tersebut dibagi menjadi tujuh kriteria yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Promethee adalah salah satu model dalam metode outrangking yang dapat menangani keputusan atas banyak kriteria. Dengan menggunakan promethee maka keunggulan komparatif atas tujuh kriteria tersebut dapat diperbandingkan.

Dari penerapan methode promethee untuk penilaian kinerja SKPD diketahui bahwa model outrangking ini dapat memberikan hasil akhir berupa rangking yang juga dapat mempertimbangkan bobot kriteria yang diberikan oleh pengambil keputusan.

Kata kunci: Promethee II, Multi Criteria Decission Support, outrangking, kinerja pemda.

1. Pendahuluan

Penilaian kinerja suatu entitas pemerintahan daerah sangat penting dilakukan. Hal ini mengingat kinerja pemerintah daerah yang baik akan dapat meningkatkan kinerja ekonomi dan dapat mensejahterakan masyarakatnya [1]. Penilaian kinerja pemerintah daerah saat ini telah dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk seluruh pemerintahan daerah baik Kabupaten/Kota, maupun Provinsi. Penilaian yang dilakukan Kemendragri dengan mekanisme Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)

hanya dapat mengukur kinerja pemerintah daerah dan memperbandingkannya dengan pemerintah daerah lainnya. Belum ada mekanisme didalam LAKIP yang dapat mengukur kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dapat dijadikan acuan untuk diperbandingkan kinerjanya.

Hal ini tentunya akan menyusahkan bagi kepala daerah untuk dapat mengambil kebijakan strategis terkait dengan kinerja SKPD dalam jajarannya. Setiap SKPD dipimpin oleh satu orang pejabat eselon II yang dipilih dan diangkat oleh kepala daerah. Sehingga mutlak diperlukan mekanisme untuk dapat mengukur kinerja dari pimpinan SKPD yang dapat dijadikan acuan ataupun pedoman bagi kepala daerah untuk pengambilan keputusan seperti pemberian penghargaan atau hukuman atas kinerja SKPD yang dipimpin.

Dalam paper ini diambil objek penelitian pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan beberapa pertimbangan diantaranya:

1.Kepala daerah memiliki komitmen yang kuat untuk mensejahterakan masyarakat dengan meningkatkan kinerja birokrasi.

2.Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah memiliki mekanisme evaluasi kinerja yang terukur dengan sistem informasi yang bernama SIMAKTABANG. 3.Pengukuran dan perangkingan SKPD dalam

SIMAKTABANG masih dapat ditingkatkan kemampuannya untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik.

(2)

Pengukuran yang yang dijadikan pedoman dalam SIMAKTABANG, hanya terdiri dari tiga aspek yaitu pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, penyerapan anggaran, serta beban pagu anggaran yang dikelola oleh SKPD. Pengukuran terhadap tiga aspek ini baru menyetuh pada kinerja finansial saja, sehingga masih belum dapat memberikan gambaran performa kinerja SKPD secara utuh.

Pemberian rangking terhadap SKPD yang dimaksud juga masih berdasar persentase serapan anggaran dan hanya berdasarkan pada pembobotan sederhana. Dalam sistem ini kinerja SKPD dikelompokkan berdasar kinerja dengan kategorisasi sangat memuaskan, memuaskan, kurang memuaskan, mengecewakan. Hal ini yang kemudian dirasa perlu untuk menambahkan kemampuan sistem ini untuk memberikan penilaian dengan memasukan aspek penilaian yang lebih banyak dengan menggunakan Multi Criteria Decission Making (MCDM).

Paper ini akan mencoba untuk memberikan usulan model DSS yang dapat digunakan untuk mengevaluasi SKPD pada pemerintah daerah, baik pemerintah Provinsi Sulawesi Barat maupun pemerintah daerah lainnya di Indonesia.

Kajian Pustaka 1.1

1.1.1 Decission Support Syatem (DSS)

Decission Support Syatem (DSS) adalah sebuah sistem berbasis komputer yang menggunakan proses pengetahuan yang yang menjadikan pengambilan keputusan menjadi lebih produktif, cepat, inovatif, dan lebih berkualitas [2]. DSS berkembang seiring dengan berkembangnya sistem informasi seperti komputasi organisasi bussines), dan perdagangan elektronik (e-commerce). Dalam proses membuat keputusan seseorang membutuhkan pengetahuan baik berupa teori maupun pengalaman. Ketersediaan pengetahuan inilah yang kemudian perlu dikelola agar bermanfaat dalam pengambilan sebuah keputusan [2]. Dalam proses pengambilan keputusan sebuah DSS terdapat proses pemfilteran dan penyusunan ulang informasi dari sekumpulan pengetahuan yang tersedia. Selain itu terdapat juga proses pengkoordinasian antara informasi dan pengetahuan yang diperlukan untuk dikaitkan satu dengan lainnya.Tujuan utama sebuah DSS adalah membantu pengambil keputusan untuk merumuskan kebijakan dalam sebuah organisasi, selain itu penggunaannya dapat mengefisienkan waktu, dan meningkatkan kualitas keputusan yang diambil [3].

1.1.2 Promethee

Promethee merupakan salah satu model dalam metode outrangking yang digunakan untuk mengambil keputusan atas banyak kriteria (Multiple Criteria Decission Support) [6]. Sejak diperkenalkan pertama kali oleh Bernard Roy (1971) penelitian dengan model ini cukup aktif dilakukan dan berkelanjutan [6,7].

Promethee membuat keputusan atas beberapa alternatif dengan memperbandingkan satu alternatif dengan alternatif lainnya (head to head). Keunggulan komparasi atas alternatif satu dengan lainnya pada seluruh kriteria yang telah ditentukan sebelumnya sebagai sebuah keputusan [6].

Promethee memiliki 6 (enam) jenis/tipe preferensi dan dapat dilihat pada Gambar 2 [5]:

Tipe I – (usual criterion) pembuat keputusan membuat preferensi mutlak untuk alternatif yang memiliki nilai lebih baik.

Tipe II – (quasi criterion) pembuat keputusan terlebih dahulu menentukan nilai quasi (q) yang dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan

Tipe III – (linier criterion) pembuat keputusan terlebih dahulu menentukan kecenderungan nilai preferensi (p) yang dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan Tipe IV – (level criterion) pembuat keputusan akan diberikan 3 level keputusan yaitu preferensi yang lemah, preferensi mutlak lebih baik dan lebih buruk.

Tipe V (linier area criterion) pembuat keputusan akan mempertimbangkan kecenderungan peningkatan preferensi secara linear.

Tipe VI – (gausion criterion) criteria ini memiliki syarat gausion

σ

yang berdasar pada distribusi nurmat statistik

Gambar 2 Perbedaan antara 6 tipe preferensi

Usulan Kriteria DSS 1.2

Dalam pengukuran kinerja SKPD ditetapkan 3 (tiga) dimensi yang terkait kinerja pemerintah daerah secara keseluruhan. Dari ketiga dimensi tersebut terdapat tujuh kriteria yang memiliki keterkaitan dengan dimensi yang ditetapkan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.

1.2.1 Performa Manajerial

Dimensi ini untuk mengukur bagaimana keseriusan kepala SKPD dalam mengatur dan mengelola instansinya untuk mencapai peningkatan kinerja SKPD secara keseluruhan. Dimensi ini juga dapat mengukur kemampuan manajerial kepala SKPD.

(3)

Sumber Daya Manusia terkait hukuman maupun penghargaan yang diterapkan oleh kepala SKPD.

Ketepatan waktu penyelesaian budgeting – ketepatan penyelesaian budgeting sangat penting untuk menjamin program dan kegiatan SKPD dapat dibiayai dan dilaksanakan. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan kepala SKPD menempatkan orang yang tepat dan kompeten dalam posisi yang terkait program dan penganggaran.

Ketepatan waktu penyelenggaraan lelang – ketepatan penyelesaian lelang sangat bergantung pada manajemen SKPD menyiapkan hal hal kebutuhan lelang seperti kerangka acuan kerja, HPS, dan pejabat pengadaan yang berkompeten dan berpengalaman.

Penyelenggaraan rapat monev - dengan melakukan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan dan komprehensif, maka penyelesaian hambatan dan masalah yang muncul dapat segera dilakukan oleh kepala SKPD.

1.2.2 Performa Keuangan

Tujuan pemerintah daerah adalah mensejahterakan masyarakatnya melalui program dan kegiatan. Program dan kegiatan sangat bergantung pada kemampuannya dalam menyerap anggaran dan melaksanakan program dan kegiatan.

Realisasi keuangan semakin besar realisasi keuangan yang dicapai semakin banyak program dan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam melayani dan mensejahterakan masyarakat.

1.2.3 Integritas Organisasi

Integritas institusi pemerintah mutlak dijalankan dengan menepati seluruh aturan, ketentuan yang mengatur bagimana institusi pemerintahan berjalan seharusnya.

Jumlah temuan audit – integritas para pejabat dalam suatu instansi dapat dilihat dari jumlah temuan audit atas penyelenggaraan program dan kegiatan. Semakin banyak temuan berarti instansi kurang bisa menjaga institusinya untuk patuh dan taat terhadap aturan.

Besar temuan audit – selain jumlah temuan maka besar temuan audit juga dapat dijadikan proxy untuk mengukur integritas organisasi.

Gambar 3 Dimensi dan kriteria kinerja SKPD

K1 persentase (%) kehadiran pegawai memiliki range antara 0% - 100%.

K2 ketepatan waktu penyelesaian proses budgeting dibagi menjadi 3 kategori (0= Sangat tidak tepat waktu, 1= Tidak tepat waktu, 2= Tepat waktu). K3 ketepatan penyelesaian penyelenggaraan lelang

dibagi menjadi 3 kategori (0= Sangat tidak tepat waktu, 1= Tidak tepat waktu, 2= Tepat waktu). K4 penyelenggaraan rapat monitoring dan evaluasi

dibagi menjadi 3 kategori (0= Sangat jarang, 1= Jarang, 2= Sering).

K5 realisasi keuangan memiliki range antara 0% - 100%.

K6 jumlah dan besar temuan audit Inspektorat maupun BPK dibagi menjadi (0= diatas 5 temuan audit, 1= dibawah 5 temuan audit, 3= tidak ada temuan) K7 besarnya temuan audit Inspektorat maupun BPK

dibagi menjadi (0= diatas 500jt, 1= dibawah 200jt, 3= dibawah 30 juta).

Dari seluruh kriteria tersebut diberikan bobot berdasarkan seberapa pentingnya kriteria tersebut terhadap kinerja birokrasi secara keseluruhan. Bobot yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Bobot penilaian kriteria

No Kriteria Bobot (%)

1 Kehadiran pegawai 5

2 Ketepatan waktu penyelesaian budget 10 3 Ketepatan waktu penyelenggaraan lelang 15 4 Penyelenggaraan rapat evaluasi 5

Dalam membangun sebuah DSS untuk mengevaluasi kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terlebih dahulu dipilih metode mana yang akan digunakan dalam DSS. Fungsi utama dari DSS Kinerja SKPD adalah memberikan peringkat pada SKPD berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Kepala Daerah sehingga dapat diketahui kinerja dari masing masing SKPD. Keputusan yang didukung oleh DSS ini adalah SKPD dengan kinerja terbaik dan layak mendapat rewards serta SKPD dengan kinerja buruk dan layak mendapatkan punishment. Sehingga model DSS yang cocok digunakan adalah model yang memiliki kemampuan untuk memberikan bobot penilaian serta memberikan peringkat pada entitas yang dinilai.

(4)

komparasi antar seluruh alternatif pada seluruh kriteria yang ada sehingga keputusan yang dihasilkan merupakan keunggulan komparatif secara keseluruhan baik alternatif maupun kriteria. Terdapat 7 (tujuh) langkah dalam mengimplementasikan model ini yaitu [4]:

1.Melakukan normalisasi matrix keputusan agar nilai nilai yang memiliki skala yang berbeda bisa memiliki nilai baru dengan skala yang sama yaitu nilai minimum 0 (nol) dan maksimal 1(satu). Normalisasi ini menggunakan rumus sebabai berikut:

(Eq1) Dimana:

Rij = Nilai baru i dalam kriteria j yang sudah dinormalisasi.

Xij = Nilai lama dari alternatif i dalam kriteria j. Min(Xj) = Nilai minimum dalam kriteria j.

Max(Xj) = Nilai minimum dalam kriteria j.

2.Mengevaluasi perbedaan alternatif i terhadap alternatif yang lain i’. Ini berarti bahwa perbedaan dalam nilai kriteria antara berbagai alternatif harus ditentukan berpasangan.

3.Memilih dan menghitung fungsi preferensi, Pj (i, i '). Metode Promethee II menginduksi fungsi preferensi untuk menggambarkan perbedaan keputusan antara preferensi pasangan alternatif pada setiap kriteria. Dalam paper ini tipe preferensi yang digunakan adalah Tipe 1 dimana pembuat keputusan membuat preferensi mutlak untuk alternatif memiliki nilai yang lebih baik.

(Eq2)

Gambar 4 Preferensi keputusan tipe II

4.Menentukan agregat fungsi preferensi sesuai dengan bobot kriteria yang ditetapkan. Perhitungan agregat preferensi menggunakan persamaan:

(Eq3)

5.Setiap alternatif dapat berhubungan dengan (n - 1) alternatif mengakibatkan arus outranking positif atau negatif. Setelah itu, perlu untuk menghitung leaving flow dan entering flow.

(Eq4)

(Eq5)

6.Menentukan net flow outranking

(Eq6)

7.Setelah Net Flow ditemukan maka penentuan ranking untuk SKPD sudah dapat dilakukan. Alternatif dengan Net Flow tertinggi adalah alternatif yang lebih baik.

2. Pembahasan

Untuk mengaplikasikan metode Promethee II ini digunakan sample 7 (tujuh) alternatif SKPD yang memiliki keragaman kriteria dan kemudian diberikan identitas A1–A7. Tabel 2 merupakan rekapitulasi data masing masing alternatif dengan kriterianya.

Tabel 2 Alternatif SKPD yang dinilai

ALT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7

Setelah data alternatif yang akan dibuatkan rangking dipersiapkan maka tahapan yang pertama dilakukan adalah menyiapkan data dengan melakukan normalisasi matriks keputusan. Hal ini perlu dilakukan mengingat masing masing kriteria memiliki skala pengukuran yang berbeda. Contoh pada K1 dimana skalanya 0%–100% sedangkan K2 skalanya 0–2. Dengan normalisasi matriks maka seluruh kriteria yang ada akan memiliki skala yang sama dengan skala 0–1. Normalisasi dilakukan dengan menggunakan persamaan (Eq1) dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Matriks keputusan yang sudah dinormalisasi

ALT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7

Setelah matriks keputusan di normalisasi maka langkah selanjutnya adalah memasangkan alternatif A1-A7 satu persatu sehingga akan diperoleh 42 pasangan alternatif dari 7 alternatif yang ada. Setelah seluruh alternatif dipasangkan maka langkah berikutnya adalah membuat preferensi atas alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan preferensi tipe 1 (Eq2). Contohnya P(A1,A2) dimana A1<A2 maka nilai preferensi A1

0 d

H(d)

1

(5)

adalah 0. Namun jika A1>A2 maka nilai preferensi A1 adalah 1. Langkah ini dilakukan terhadap ke-42 pasang alternatif yang dapat ditabulasikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Preferensi berpasangan dari seluruh alternatif

No P referensi K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7

Setelah nilai preferensi atas seluruh pasangan alternatif diketahui, seluruh preferensi akan di agregasi dengan menggunakan persamaan (Eq3) dimana dalam proses agregasi ini bobot masing-masing kriteria dalam Tabel 1 juga dipertimbangkan. Preferensi pada Tabel 4 di agregasi dan menghasilkan nilai baru yang ditampilkan pada Tabel 5.

Jika tabel agregasi telah diperoleh maka langkah berikutnya adalah mengihung Leaving Flow (LF) dengan menggunakan persamaan (Eq4), setelah itu menghitung Entering Flow dengan persamaan (Eq5).

Tabel 6 Leaving Flow, Entering Flow, Net Flow dan Rangking Alternatif dengan menggunakan persamaan (Eq6) yaitu pengurangan antara LF dengan EF. Semakin besar NF maka dapat diambil keputusan bahwa alternatif tersebut lebih baik dari pada alternatif dengan NF yang lebih kecil. Dengan begitu proses perengkingan telah dapat dilakukan dengan mengurutkan nilai NF dari terbesar hingga terkecil.

Dari tujuh alternatif yang disediakan maka ditemukan fakta bahwa alternatif ke-lima A5 adalah alternatif terbaik dengan nilai NF sebesar 0,4750 sedangkan A1 adalah alternatif terburuk dengan nilai NF sebesar -7,250.

3. Kesimpulan dan Saran

(6)

SKPD terbaik adalah A5. Evaluasi kinerja ini baru melibatkan tujuh SKPD dari empat puluh dua SKPD yang ada, Dengan menggunakan DSS niscaya akan mudah untuk mengevaluasi kinerja ke-42 SKPD yang ada di lingkup Pemprov Sulawesi Barat.

Dalam metode Promethee II ini seluruh alternatif telah diperbandingkan satu dengan lainnya sehingga keputusan yang diambil akan lebih baik dalam penilaian SKPD. Promethee II memberikan keputusan mutlak atas dua alternatif dimana salah satunya yang lebih baik. Dalam metode outrangking terdapat model lainya yaitu Electre yang juga dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini, sehingga perlu dilakukan penerapan metode tersebut untuk kemudian hasilnya dapat diperbandingkan dengan hasil penelitian ini.

Daftar Pustaka

[1] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. "Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah." (2008).

[2] Holsapple, Clyde W. "Decisions and knowledge." Handbook on Decision Support Systems 1. Springer Berlin Heidelberg, 2008. 21-53.

[3] Bennet, Alex, and David Bennet. "The decision-making process in a complex situation." Handbook on Decision Support Systems 1. Springer Berlin Heidelberg, 2008. 3-20.

[4] Amaral, Thiago M., and Ana PC Costa. "Improving decision-making and management of hospital resources: An application of the PROMETHEE II method in an Emergency Department." Operations Research for Health Care3.1 (2014): 1-6.

[5] Kilic, Huseyin Selcuk, Selim Zaim, and Dursun Delen. "Selecting “The Best” ERP system for SMEs using a combination of ANP and PROMETHEE methods." Expert Systems with Applications 42.5 (2015): 2343-2352.

[6] Olson, David L. "Multi-criteria decision support."Handbook on Decision Support Systems 1. Springer Berlin Heidelberg, 2008. 299-314.

[7] Fernández-Castro, A.S. and M. Jiménez, “PROMETHEE: An Extension Through Fuzzy Mathematical Programming,” J Oper Res Soc, 56(1), 2005, 119฀122.

Biodata Penulis

Gambar

Gambar 1 Tampilan aplikasi SIMAKTABANG
Gambar 2 Perbedaan antara 6 tipe preferensi
Tabel 1 Bobot penilaian kriteria
Tabel 3 Matriks keputusan yang sudah dinormalisasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berangkat dari fenomena di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana penerapan metode eksperimen pada mata pelajaran IPA pokok bahasan cahaya

Tujuan kegiatan ini adalah percepatan pembangunan garis segmen batas desa yang definitif seluruh Indonesia khususnya Kabupaten Bandung Barat,

Untuk STIE PERBANAS SURABAYA yang telah menjadi wadah selama menempuh ilmu hingga saya menjadi

Soft candy adalah sejenis gula-gula (confectionary)/makanan berkalori tinggi yang pada umumnya berbahan dasar gula , air , dan sirup fruktosa atau juga

sehubungan dengan adanya penambahan kegiatan pada Alokasi Dana Desa yang mengakibatkan pergeseran terhadap besaran penggunaan alokasinya, maka dalam rangka tertib

Pada hipotesis pertama yang berbunyi “ada pengaruh positif orientasi pasar terhadap inovasi produk pada UMKM Jenang di Kudus”, terbukti dengan hasil uji t hitung sebesar

Sebagai negara yang juga memiliki kelas menengah terdidik yang cukup besar, akar kultural yang mapan, masa lalu yang penuh kisah kejayaan, dan rasa nasionalisme