• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN ORANG JAWA DALAM LAKU PRIHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEPEMIMPINAN ORANG JAWA DALAM LAKU PRIHA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN ORANG JAWA DALAM LAKU PRIHATIN, INVESTASI MENUJU SUKSES.

Oleh: Arfrian Rahmanta (13407141063) Abstrak

Kebudayaan Jawa salah satunya adalah laku prihatin, laku prihatin dalam kehidupan modern ini bersifat eksplisit dan hanya omongan orang tua yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Namun seorang pemimpin asal Jawa, harus mengerti laku prihatin dalam kepemimpinan dan aktivitas kepribadiannya. Dengan laku prihatin yang diamalkan dengan baik, seorang pemimpin dapat dikatakan pemimpin yang sejati dan merakyat. Wahyu keprabon ada pada pemimpin yang melakukan laku prihatin yang baik dan benar tanpa menginginkan nafsu kehidupan duniawi. Ada beberapa pemimpin Jawa yang menerapkan laku prihatin dalam hidupnya, seperti Soeharto dan Soekarno. Sebagai kebudayaan yang baik, laku prihatin perlu dikembangkan dan diwariskan secara turun-menurun, karena merupakan tindakan yang berorientasikan investasi menuju kehidupan sukses.

Kata kunci: Laku prihatin, Kepemimpinan, Jawa.

A. Pendahuluan

Sulit mendefinisikan mengenai siapa yang disebut orang Jawa, atau manusia Jawa. Sebab bukan merujuk pada batas-batas geografi. Melainkan suatu kawasan kebudayaan. Dengan demikian, DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dapat dikatakan sebagai wilayah yang lebih spesifik memuat orang Jawa. Orang Jawa yang terkenal dengan unggah-ungguh-nya mempunyai banyak kebudayaan yang begitu kental dengan hal-hal yang berbau mistik, mitologi dan bercampur dengan spiritual. Orang Jawa sering melakukan hal-hal mistis supranatural yang menurutnya dapat menambah ilmu kanuraga dan kesuksesan di masa depan.

(2)

Semua itu didapatkan dari laku atau proses yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Misalnya, bertapa berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan. Hingga akhirnya mendapat sebuah wahyu. Wahyu keprabon itulah yang menjadi legitimasi pokok bagi penguasa di tanah Jawa. Panembahan Senopati harus bertapa sekian lama untuk mendapatkan wahyu, sehingga beliau mendapatkan legitimasi dari para pengikutnya untuk mendirikan kerajaan.

Laku prihatin telah dijunjung tinggi kebanyakan orang-orang tua Jawa dan para penguasa tanah Jawa jika ingin mendapatkan suatu kesuksesan di masa mendatang, kesuksesan bisa terjadi di masa kehidupannya sendiri atau juga bisa kesuksesan itu turun kepada keturunannya. Laku prihatin memang dilakukan dengan berat, namun jika bersungguh-sungguh pasti mendapatkan suatu wahyu atau ilmu yang dapat mendewasakan manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari sehingga dapat berbuat baik secara lisan ataupun perilaku, perlu diketahui bahwa orang-orang tua dahulu membudayakan laku prihatin dalam kegiatan sehari-harinya dan dengan baik diwariskan secara turun-temurun. Para orang tua di Jawa pada khususnya tak jarang menasehati anak-anaknya agar selalu bekerja keras dan prihatin dulu dalam melaksanakan kegiatan atau proses mencari ilmu agar jika sudah menjadi orang (Orang sukses), mereka akan mengetahui pahit-manisnya kehidupan duniawi selama mereka berproses menuju puncak kejayaan. Dengan mengetahui pahit-manisnya kehidupan duniawi itupula diharapkan jika menjadi pemimpin kelak akan lebih bijaksana dan melaksanakan tugasnya dengan baik untuk kelangsungan hidup orang banyak.

(3)

sering tidak bijaksana dalam membuat sebuah kebijakan, tidak teguh hati atau

plin-plan dan rentan mengambil keuntungan untuk pribadi. Tak salah pula, kenapa para pemimpin masa kini banyak yang melakukan korupsi. Karena itu, budaya baik dan berfalsafah seperti laku prihatin perlu dikembangkan dan diterapkan dalam proses kehidupan maupun kepemimpinan.

B. Istilah dan Makna Laku Prihatin di Jawa

Laku diambil dari kata perilaku. Perilaku sendiri berarti adalah perbuatan, tindakan, kegiatan, atau aktivitas. Beberapa kalangan berpendapat bahwa arti laku adalah proses.

Ada beberapa kalangan berpendapat kata prihatin di Jawa berasal dari kata ”perih” (pedih/susah) dan “ati” (hati). Sementara lainnya ada yang mengartikan perih di batin. Jadi kalau digabung, artinya orang yang mengalami kepedihan di hati atau keperihan di hati dan batin. Adapun menurut bahasa Indonesia, arti prihatin adalah bersedih hati. Dapat juga diartikan menahan diri, atau bertarak. Sedangkan tarak (bertarak) artinya adalah menahan hawa nafsu, bertapa, mengasingkan diri.1

Jadi laku prihatin adalah seluruh tindak perbuatan manusia (dalam hal ini adalah manusia Jawa) yang dilakukan dengan sengaja sebagai pengamalan ajaran hidup yang dianut (dipercaya) dalam rangka melakukan pengendalian diri terhadap dorongan nafsu (amarah, niat, gembira yang berlebihan) yang akan berpengaruh terhadap moral akhlak, sikap batin, serta perilaku keseharian.

Laku prihatin di Jawa sendiri tidak hanya sebatas puasa, bertapa, nyepi (bersunyi diri), melakukan ritual perjalanan ke makam leluhur atau petilasan yang dikeramatkan. Laku prihatin lebih dari itu. Menjalani kehidupan laku prihatin di Jawa bukanlah insidental atau selama waktu-waktu tertentu saja. Melainkan lebih baiknya adalah seumur hidupnya, semisal salat lima waktu yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Laku prihatin pun memiliki pedoman yang nyata, rasional, dan terukur, sesuai norma-norma adat budaya Jawa yang turun-temurun sejak berabad lalu. Laku prihatin adalah melatih kemampuan batin dan lahir (rohani dan fisik) sebagai bentuk penataan moral akhlak dan tata perilaku (tata krama/budi pekerti).

C. Tujuan Laku Prihatin

1 Iman Budi Santosa, Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses Manusia

(4)

Laku Prihatin di Jawa sendiri tidak hanya seperti “menyengsarakan diri sendiri” atau “memfakirkan diri” tetapi harus memiliki tujuan nyata. Bukan pula seperti penari yang sengaja ingin mempertontonkan ekspresi seni dalam tariannya, atau seorang komik2 yang memukau dengan kata-katanya yang lucu dan jenaka dan membuat penonton bertepuk tangan dalam acara Stand Up Comedy.

Laku prihatin di Jawa bukan semata-mata mewujudkan impian yang terkandung dalam ungkapan pantun: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Artinya, laku prihatin

bukan untuk mencapai kesenang-senangan dalam pemahaman yang dangkal. Karena laku prihatin benar-benar mencangkup dimensi yang sangat luas dan multidimensional.3

Laku prihatin mutlak harus memiliki tujuan jelas, karena tujuan tersebut merupakan titik yang akan dituju, dicapai, dan ingin diwujudkan. Tanpa mengikuti pedoman yang ada serta tujuan jelas, menjalani laku prihatin besar kemungkinan akan sia-sia4. Seorang pemimpin negara pun juga harus melakukan laku prihatin dengan tujuan yang jelas, terarah, dan berguna bagi kehidupan rakyat, bangsa dan negara.

D. Ritualisasi Laku prihatin

Wujud laku prihatin di Jawa sangat beragam, karena pada hakikatnya dilakukan oleh seorang diri. Beberapa metode pengamalan laku prihatin yang banyak dilakukan oleh orang Jawa dan termasuk pemimpin Jawa selama ini, antara lain: 1) berpuasa, 2) menyepi, 3) bertapa, 4) menahan tidur, 5) berpantang, 6) ritual perjalanan, 7) memperbaiki moral dan perilaku.5

Sebagian kecilnya adalah sebagai berikut: 1. Puasa Mutih.

2 Komik atau Komika adalah orang yang berbicara monolog dengan tujuan menghibur dan melucu, berbeda dengan pantomim. Seni pertunjukkan ini, kini telah menjadi seni pertunjukkan yang populer di kalangan masyarakat kota.

(5)

Adalah puasa yang tidak diperbolehkan memakan apa-apa selain nasi putih dan air putih, tanpa ada rasa. Buka puasa setelah maghrib dan berpuasa sebelum subuh, dengan kedua-duanya memakan nasi dan air putih, tanpa rasa.

2. Tapa Brata

Dalam konteksnya, yang berarti tapa brata adalah orang yang setia menjalani kegiatan bertapa. Sedangkan apa yang disebut bertapa adalah upaya menyempurnakan batin dan jiwa atau dalam rangka menyampaikan maksud dengan jalan riada. Seperti mengasingkan diri, berendam di air dan lain-lain.6

3. Berpantang

Menjalani berpantang di Jawa sendiri disebut nyirik atau sesirik.

Contohnya, selama hidup laku prihatin tidak memakan daging hewan yang bernyawa, baik hewan darat maupun ikan yang hidup di air.

Tidak hanya dalam soal makanan, kadang nyirik ini juga kepada perbuatan. Seperti pantang untuk berhutang, pantang menolak permintaan orang jika terpaksa, pantang makan dengan sendok (selalu menggunakan tangan telanjang).

Beberapa ritualisasi di atas merupakan sebagian kecil syarat yang dipakai jika seseorang ingin mempunyai ajian dan ilmu kebatinan atau aji-aji kesaktian. Karena itulah, seseorang yang melakukan laku prihatin kadangkala sadar bahwa mereka akan mempunyai ilmu kebatinan semisal:

1. Aji Lembu Sekilan

Aji Lembu Sekilan sangat terkenal sejak zaman nenek moyang. Sebab orang yang memiliki ajian ini bisa selamat dari semua senjata tajam dan peluru (kebal). Bila diamalkan dengan baik, semua serangan lawan tidak akan mengenai tubuh kita.

Persyaratannya:

Berpuasa mutih selama 41 hari, selama puasa jangan sekali-kali menirukan suara sapi (pantangan). Kemudian dilanjutkan Pati Geni7 selama 2 malam.

Mantra yang dibaca:

6Ibid., hlm. 90.

(6)

“ Niyat ingsun matek ajiku, Ajiku Lembu Sekilan, Rasulku lenggah Brahim, Nginep babahan, Karekep barukut, Dadyo tan ana nedhasi, Bedhil buntu, Wisa tawa jati tan turnama, Saking kersaning Alloh, La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah. “8

2. Aji Lalimunan

Orang dapat hilang tubuh wadahnya dari penglihatan mata kita adalah orang yang memiliki ilmu Lelimunan.

Persyaratannya:

Mandi keramas sebelum melakukan puasa mutih 40 hari lamanya. Kemudian Pati Geni selama semalam dilanjutkan dengan ngebleng9 sehari semalam. Selama berpuasa dilarang tidur dengan istri.

Mantra yang dibaca:

“ Bismillahirohmanirrohim, Sang wewe putih gendongen aku, Sang wewe abang anglingana aku, Sang buta ijo ojo ana kono, Sukma toya ono ing mburiku, Landhep kang katon, adoh katingal, Badanku ana ing sajroning wesi, Katutup para Nabi, Kinunci malaekat Jibril, Den reksa para Wali, Landhep tan katon, Kinemulan Illahi, Krono Muhammad Rosul Alloh.”10

E. Investasi pemimpin dalam Laku Prihatin

Setiap pemimpin di Jawa, hampir selalu berhubungan mistis dengan kekuatan di luar dirinya. Mitos selalu menjadi tumpuan gaib para pemimpin Jawa, agar legitimasinya lebih terpercaya.11 Kepemimpinan Jawa pun bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil dari berbagai konsep-konsep agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola

8 Wongso Panji Indrajit., Kumpulan Aji Japa Mantra, (Surabaya: Bintang Timur, 1994), hlm. 12.

9 Puasa Ngebleng sama seperti Pati Geni yaitu tinggal di dalam kamar tidak ada kegiatan apapun, tidak ada penerangan semacam lampu atau cahaya apapun. Tidak boleh berhubungan seksual, makan dan minum, waktu tidur pun harus dikurangi. Masih boleh ke kamar mandi untuk berak dan kencing.

10Ibid., hlm. 22-23.

(7)

pikir Islam yang disadap dari ajaran-ajaran sufi yang mengedepankan wara’

(menjauhi kemewahan dunia) dan hidup sederhana sebagaimana para sufi yang meninggalkan kehidupan duniawi untuk menuju kebahagiaan sejatinya.

Laku prihatin yang kerap dikatakan sebagai ilmu kejawen memang benar adanya. Dan nilai-nilai kejawen sudah semakin luntur. Pemimpin yang memegang teguh konsep tapa brata, sudah dipertentangkan dengan agama. Anggapan minir pada pemimpin yang gemar bertapa, di tempat sepi, serta tirakat di gunung-gunung, juga dianggap remeh. 12

Pemimpin harus menerapkan landasan pokok tepa selira dalam kehidupan memimpin bangsa dan negara. Tepa berarti mengukur dan selira artinya badan sendiri. Tubuh menjadi barometer atau dilakukan atas dasar ukuran diri. Ketika pemimpin merasa bahwa dirinya itu juga orang biasa, pernah menjadi wong cilik,

tentu berbeda dengan pemimpin yang begitu lahir dari orang besar. Pemimpin yang mampu merasakan sebagai wong cilik, akan terasa getaran tepa seliranya. Pemimpin yang berideologi tepa selira jauh lebih disegani dibanding yang sebaliknya, yaitu pemimpin berideologi kesewenang-wenangan.

Sikap pemimpin dari Soertono (2006:198-205) yang disadur dari Endraswara (2013:196-202) ada sepuluh biasa disebut dengan dasa darma raja. Dari sepuluh hal itu, ada yang sejalan dengan konsep watak pemimpin Jawa. Watak seorang pemimpin adalah bagian psikologis yang perlu dikuasai siapa saja, agar hubungan hubungan antara atasan dan bawahan semakin akrab. Perwatakan pemimpin Jawa termaksud sebagai berikut.

Pertama, pemimpin harus selalu bersedekah, tidak hanya dalam konteks memberikan kepada orang miskin, namun lebih dari itu, harus diwujudkan dalam tindakan beramal demi kebahagiaan umat. Watak ini mau tidak mau harus dilakukan sebagai keharusan. Setelah itu mengembangkan sikap bersedekah dan beramal dalam kehidupan sehari-harinya.

Kedua, pemimpin harus berwatak tapa. Dalam kehidupan masyarakat Jawa tempo dahulu yang masih menganut paham tradisi, sering diceritakan adanya orang yang melakukan tindakan tapa atau bertapa (dalam bahasa Jawa disebut laku). Tindakan bertapa harus dipahami sebagai tindakan sebagai ritual pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam posisi bertapa, seseorang

(8)

tidak lagi memikirkan hal-hal yang bersifat kesenangan duniawi. Sebaliknya seorang yang bertapa harus melepaskan semua keinginan duniawi untuk mencapai derajat manusia yang bijak dan arif.

Kata tapa juga berarti kesederhanaan dan bersahaja. Kesederhanaan seorang pemimpin harus dipandang sebagai keluhuran budi pemimpin. Kesederhanaan merupakan cerminan dari semangat pengabdian terhadap bangsa dan negaranya. Sebaliknya, bukan pada tempatnya bagi seorang pemimpin untuk bergaya hidup mewah. Terlebih lagi, sangatlah naif jika seorang pemimpin hidup mewah di antara kehidupan rakyatnya yang menderita. Kesederhanaan dan kesahajaan hidup harus terpancar dari perilakunya, banyak pemimpin yang bisa dekat dengan rakyat, akan tetapi jarang sekali ada pemimpin yang memiliki kepribadian senasib dan sependeritaan dengan rakyat. Oleh sebab itu, pribadi pemimpin yang berwatak tapa akan mendasari perilakunya dalam segala hal bingkai kesederhanaan kehidupannya.

Ketiga, pemimpin harus berwatak susila. Pemimpin disebut memiliki watak susila jika mampu menampilkan dirinya sebagai sosok yang berperilaku luhur-mulia. Karena berposisi sebagai sosok yang sentral dicermati berbagai pihak, seorang pemimpin perlu memperhatikan moralnya.

Pemimpin berwatak susila jika segala tindakannya tidak menjatuhkan martabat kemanusiaan diri dan bangsanya. Kedudukannya selaku pemimpin dipandangnya sebagai amanah untuk menjaga keluhuran moral bangsa dan rakyatnya.

Keempat, pemimpin harus memiliki watak beramah-tamah. Pemimpin harus selalu ramah kepada siapa saja. Jiwa ramah-tamah ini diharapkan mampu menempatkan seorang pemimpin sebagai abdi bangsa, atau pelayan masyarakat. Pemimpin dituntut harus ramah kepada bawahan, bukan sebaliknya bawahan yang dituntut ramah dan menghargai pemimpinnya.

(9)

melakukan keputusan sepihak. Pada dasarnya semua persoalan harus dikelola dengan kepala yang dingin, bukan sikap emosional.

Keenam, pemimpin harus memiliki sikap sabar dalam mengelola kepemimpinannya. Dalam dinamika kepemimpinan, pastilah seorang pemimpin dihadapkan oleh persoalan yang tidak dikehendakinya. Dalam kondisi tersebut, pemimpin harus tetap memiliki hati yang sabar. Kesabaran menuntut konsekuensi, bahwa pemimpin harus berhati-hati, cermat, dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil dan menetapkan keputusan atas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Untuk memahami pemimpin dan laku prihatin-nya, kita harus kembali kepada konsep hubungan kawula Gusti, yang mempunyai makna khas dalam kebudayaan Jawa. Sebab dalam hal itu, kawula Gusti merupakan konsep pemahaman makna mistik. Dalam kebudayaan Jawa, tujuan tertinggi manusia adalah pencapaian “kesatuan” akhir dengan Tuhan, salah satu caranya adalah dengan laku prihatin.

Kenapa pun harus orang Jawa, adanya perkataan orang tua yang dianggap benar dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa sendiri walaupun sedikit

etnosentrisme, yaitu seng dadi Pemimpin (Presiden) lemah lan segara-ne nusantara iki kudu wong Jawa, ojo seng liya. Itu ada benarnya, terbukti dari enam Presiden Republik Indonesia hanya Habibie yang bukan orang Jawa, hasilnya adalah keputusan yang mencoreng muka dan harga diri Indonesia di pentas dunia internasional dengan melepaskan Timor Leste, dia pun hanya bertahan satu tahun empat bulan di kursi Presiden Indonesia.

Pemimpin Jawa masa depan adalah sosok yang dapat menjadi suri tauladan. Terkikisnya kepercayaan rakyat kepada pemimpin dewasa ini, karena hilangnya contoh. Rakyat yang sudah semakin kritis ini, membutuhkan contoh pemimpin yang peduli pada nasibnya. Pemimpin yang mampu menghayati proses “jika aku menjadi” adalah contoh istimewa. Pemimpin yang demikian, di masa depan akan mendapat apresiasi luar biasa dari rakyat.13

F. Laku prihatin para tokoh pemimpin di Jawa 1. Perjuangan Soekarno

(10)

Salah satu wujud laku prihatin yang Soekarno adalah perjuangannya menggapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Keluar-masuk penjara, bertahan hidup dari tanah pembuangan ke tanah pembuangan lainnya. Bertahun-tahun tokoh proklamasi Indonesia ini menghabiskan waktunya di balik kesunyian sel tahanan, tanah pembuangan yang sunyi jauh dari keramaian, serta todongan senjata tentara Belanda.

Menurut sejarah, Soekarno adalah alumni penjara Sukamiskin, Bandung. Pernah pula mendekam di pembuangan Boven Digoel (Papua) yang penuh dengan nyamuk malaria (1932). Kemudian dibuang lagi ke Ende (Flores) tahub 1934-1938. Dari Ende pindah ke Bengkulu (1938-1942). Pada Agresi Belanda II, beliau dibuang lagi ke Brastagi, Tanah Karo, Sumatera Utara. Beberapa waktu kemudian dipindah ke Prapat, tepi Danau Toba, lalu ke Pangkalpinang di Pulau Bangka. Namun, dengan semangat pantang menyerah, dengan laku olah prihatin yang tinggi dengan cara yang khas, Soekarno berhasil mengatasi tekanan penjajah terhadap pribadinya. Penjara dan pembuangan tidak membuatnya hancur, melainkan malah menjadikan beliau kokoh tegak sebagai pemimpin bangsa. Soekarno memang dipenjara dan dibuang di daerah yang sunyi (dikekang), namun pikiran beliau selalu bebas dan merdeka.14

Beberapa nilai laku prihatin Soekarno selama menghuni penjara dan rumah pembuangan semasa penjajahan Belanda, antara lain:

1. Tidak menyerah dan tidak mau kalah terhadap situasi apapun. Betapa buruknya keadaan yang dihadapi (diterima), beliau terus bertahan karena yakin akan kebenaran perjuangan memerdekan Indonesia yang ditempuhnya. Dan hasilnya, Soekarno bukannya lemah dan hancur, melainkan tambah kuat dan perkasa.

2. Selama di penjara, Soekarno terus belajar. Waktunya dihabiskan untuk membaca, bukan menyesali diri atas kejadian yang dialami.

3. Soekarno bertindak sabar dan penuh perhitungan dalam memerdekakan Indonesia.

4. Meskipun berkali-kali masuk penjara, Soekarno tidak kehilangan cita-cita, ideologi, agama, serta semangat nasionalisme yang diyakini. Artinya,

(11)

Soekarno tidak pernah kehilangan arah tujuan yang ingin dicapai (didambakan).15

2. Fenomena Soeharto

Soeharto terkenal dengan jiwa militernya yang kuat, ahli strategi, sekaligus anak desa yang menjadi presiden kedua Indonesia. meskipun selama menjabat presiden maupun setelah lengser, banyak kritik yang ditujukan kepadanya, namun harus diakui belilaulah presiden Indonesia yang sempat mempraktikkan filosofi dan pandangan kejawen dengan terang-terangan pada masa pemerintahannya. Kalau dicermati, hampir seluruh nilai kehidupan orang Jawa nyaris diusung dan dijabarkan ke dalam kebijakan pribadi dan kenegaraan yang ditempuhnya.

Di masa modern, kepercayaan-kepercayaan tradisi dan mistik masih mewarnai arena kekuasaan. Khususnya apabila yang berkuasa dalam pemerintah nasional adalah seseorang yang berasal dari Jawa. Mantan Presiden RI, Soeharto, memiliki sejumlah penasihat spiritual untuk melanggengkan kedudukannya di kursi kepresidenan. Para penasihat spiritual itu bertugas membentengi Soeharto dari segala macam serangan yang akan menggoyahkan kedudukaannya. Dibandingkan dengan presiden-presiden lain dalam sejarah Indonesia, Soeharto adalah yang dikenal paling dekat dengan dunia perdukunan dan supranatural. Dan mengakui bahwa akrab dengan ilmu kebatinan dan kejawen.16

Soeharto memang tumbuh besar dari kehidupan wong cilik di Jawa. Lahir di desa Kemusuk, Argomulyo, Godean, Yogyakarta, 8 Juni 1921. Dikisahkan pada biografinya, bahwa Soeharto pada masa kecil banyak mengalami pahit getirnya kehidupan. Ayah dan ibunya berpisah ketika Soeharto masih bayi, gara-gara ibunya menjalani laku tirakat ngebleng sampai kesehatannya menurun, sang ibu jadi tidak dapat menyusuinya, sehingga Soeharto kecil terpaksa dibawa dan diasuh oleh neneknya.

Tahun 1929, Soeharto dibawa ayah kandungnya ke Wuryantoro, Wonogiri diikutkan bibinya. Di sana ia melanjutkan sekolah rendahnya, dan

15Ibid., hlm. 171.

(12)

masuk kelas tiga. Dia sempat berpindah ke Kemusuk lagi, lalu balik ke Wonogiri setelah diboyong oleh paman dan bibinya dan melanjutkan bersekolah rendahnya hingga tamat di sana. Selanjutnya ia masuk sekolah lanjutan (vakshool) di Wonogiri. Umur limabelas tahun, Soeharto tinggal bersama Pak Harjowiyono, di sana ia ikut membantu keluarga itu yang telah menanggung biaya seluruh kehidupannya. Di sana pula Soeharto remaja kenal dengan Kiai Daryatmo, yang merupakan guru mengajinya. Olehnya pula, Soeharto mengenal dunia kejawen, spiritualisme atau kebatinan, bahkan klenik, hingga perdukunan.

Soeharto akhirnya pulang kembali ke Kemusuk dan melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Muhammadiyah di kota Yogyakarta. Meskipun begitu, Soeharto tetap menjadi seseorang yang kekurangan dalam hal ekonomi. Soeharto tidak memakai sepatu padahal waktu itu sekolah menetapkan semua murid harus bercelana panjang dan bersepatu. Tahun 1939, Soeharto tamat dari sekolah menengah. Namun keinginannya melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi pupus, karena ayahnya tidak punya uang untuk membiayainya.

Lepas sekolah menengah, Soeharto kembali ke Wuyantoro dan berusaha melamar pekerjaan. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya dia diterima bekerja sebagai pembantu klerek bank desa (Volksbank). Namun tidak bertahan lama karena merobekan kain yang dipinjam dari bibinya untuk keperluan

dresscode pekerjaannya.

(13)

Waktu Jepang menyerah dan kemerdekaan RI diproklamasikan, kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Yogyakarta, Soeharto sempat dipercaya sebagai wakil komandan. Dari sini karier Soeharto terus melaju. Pada Agresi Militer II di Yogyakarta, Soeharto sudah menjadi komandan resimen dengan pangkat Letnan Kolonel.

Kisah singkat di atas menunjukkan bahwa Soeharto di masa kecil telah mengalami kesusahan hidup yang panjang. Sebagai anak, hidupnya nyaris tidak pernah mapan. Berkali-kali ia harus kecewa, menumpang hidup sambil bekerja kepada orang lain. Bermacam peristiwa pahit pun dilalui dengan tabah. Dan akhirnya ia berhasil lolos dari batu ujian yang terus-menerus menghadang hingga mencapai puncak karirnya sebagai presiden kedua Indonesia. Dalam kepemimpinannya sebagai Presiden RI pun Soeharto tetap menjalankan kejawennya. Soeharto sering mengunjungi tempat-tempat keramat para leluhurnya, itu memang hal biasa. Banyak tempat keramat yang dikunjungi Soeharto, antara lain adalah Jambe Pitu Cilacap dan Gunung Selok di sekitar Gunung Srindil. Selain itu juga disebut-sebut nama Gunung Kemukus, Gunung Arjuno, dan lain-lain.

Apa yang dilakukannya di tempat-tempat seperti itu? Tentunya ia melakukan tapabrata, nyepi alias semedi. Ia berkomunikasi dengan kekuatan supranatural dengan tujuan mendapat dukungan agar maksud dan keinginannya bisa terlaksana, untuk membantu Soeharto menjaga kekuasaannya di bumi Indonesia.17 Nyatanya kekuasaannya awet hingga 32 tahun.

Beberapa laku prihatin beliau yang layak diteladani antara lain:

1. Dalam kondisi apa pun senantiasa patuh dan taat pada perintah, arahan, serta nasihat orangtua (baik orang tua sendiri maupun orang tua angkat) serta orang yang dipertuakan olehnya (guru, kiai, atasan dalam bekerja). 2. Terus belajar menuntut ilmu lahir batin. Ilmu lahir dari sekolah formal,

ilmu batin dari agama, budaya atau adat tradisi kejawen. Selain itu mau menjadikan pengalaman hidupnya sebagai pedoman untuk memperbaiki hidupnya ke depan.

3. Berusaha sabar, rendah diri, jujur, hidup sederhana, dan bertindak apa adanya sesuai nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

(14)

4. Memiliki cita-cita yang kukuh untuk menjadi manusia yang baik, berguna, serta mandiri kelak kemudian hari. Tabah di dalam mengatasi segala macam tantangan dan kesulitan hidup yang dialami sejak kecil.

5. Memiliki pedoman hidup kokoh yang dipungut dari ajaran agama serta nilai-nilai kebudayaan Jawa yang membesarkannya.

G. Simpulan

Laku prihatin merupakan salah satu kebudayaan Jawa yang harus dikembangkan dan diwariskan secara turun-temurun ke generasi mendatang. Kebudayaan Jawa yang dirasa memudar harus dipupuk kembali agar bisa menjadi sebuah kebiasaan yang baik dan benar. Laku prihatin perlu dibiasakan pada anak muda zaman sekarang agar kelak menjadi orang yang andhap asor dan tepa selira. Para pemimpin pun juga harus mempunyai kepribadian dan kebiasaan laku prihatin yang ajeg, bagi orang Jawa, laku prihatin tidak dikerjakan asal-asalan, insidental, sehari dua hari, tetapi sepanjang hidup. Selama hidup, manusia Jawa mengolah cita-cita berlandaskan laku prihatin yang tidak pernah berhenti, karena konsep investasi yang dijalankan bukan investasi instan, dan sukses yang didambakan adalah sukses dalam pemaknaan yang jauh lebih luas dan mendalam.

Pemimpin yang laku prihatin otomatis dia akan melayani rakyatnya dengan baik dan ramah. Menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengeluh, hidup dengan kesederhanaan dan bertanggung jawab penuh terhadap kekuasaan yang dipegangnya. Sikap Asah asih asuh pun juga muncul dalam kepemimpinannya. Pemimpin inilah yang menjadi pemimpin sejati dan dambaan rakyat yang telah berpikir kritis.

Soekarno dan Soeharto telah menunjukkan bagaimana sistem laku prihatin

itu berjalan. Dengan berbagai cobaan dan tantangan hidup, mereka dapat menjadi orang yang berpengaruh dalam kehidupan bernegara RI.

(15)

secara detil, adil dan lugas untuk masing-masing pilihan manusia tersebut.18 Itu semua pasti akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Kata orang Jawa Yen Kowe seng nandur, mesti Kowe seng metik buahe.

DAFTAR PUSTAKA

Ageng Pamungkas, Rahasia Supranatural Soeharto, Yogyakarta: Narasi, 2007. http://ekasatriazamani.blogspot.com/2013/04/makna-laku-prihatin.html.

Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:02 WIB.

http://isnen-widiyanti.blogspot.com/2013/10/rahasia-pemimpin-idaman.html. Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:04 WIB.

http://wongjowo86.blogspot.com/2009/02/berbagai-laku-prihatin-untuk.html. Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:00 WIB.

https://sabdalangit.wordpress.com/2011/01/19/kritik-terhadap-laku-prihatin. Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:04 WIB.

https://sabdalangit.wordpress.com/tag/laku-prihatin. Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:01 WIB.

18

(16)

Iman Budi Santosa, Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses Ala Manusia Jawa,

Yogyakarta: Memayu Publishing, 2011.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1979.

Suwardi Endraswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2013. Wongso Panji Indrajit, Kumpulan Aji Japa Mantra, Surabaya: Bintang Timur,

Referensi

Dokumen terkait

Judul Kegiatan : MIE RUMPUT LAUT SEBAGAI MAKANAN RINGAN SEHAT BERGIZI TANPA PENGAWET. Alamat Rumah dan No

pembelajaran, dan 6% siswa yang tidak serius dalam pembelajaran. Kemudian tingkat partisipasi siswa adalah 80% siswa yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran, 14%

Nilai rasio diatas menunjukkan predikat kesehatan Bank Muamalat Syariah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan kesimpulan

LANSIA YANG MENGALAMI HIPERTENSI DI POSBINDU DUKUHTURI KECAMATAN BUMIAYU KABUPATEN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan motivasi belajar pada siswa SMP Islam Kader Bangsa Bekasi, dengan mengunakan tipe

Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia pun dikenal adanya ancaman untuk pelaku tindakan penghilangan hak hidup manusia, dalam hal ini seperti pembunuhan

The data is categorized into tabulation to measure the level position of each brand of Low Cost Green Car (LCGC) in brand awareness: top of mind, brand recall, brand recognition

Resolusi Konflik Pertanahan Studi Kasus Strategi Ulama Bassra Dalam Mengelola Konflik Pertanahan Pembangunan Jambatan Suramadu, Tesis Uniersitas Gadjah Mada.. Sudjana,