KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM CIVIL LAW DAN COMMON LAW Oleh:
Rony Saputra, S.H., M.H
Pengantar
Sistem merupakan kata yang berasal dari rumpun Bahasa yunani yang disebut dengan
Sistema, yang diartikan sebagai keseluruhan dan terdiri dari macam-macam bagian. Subekti menyebutnya dengan suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lain, tersusun menurut suatu pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan.1 Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas- asas yang mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lainnya.2 Dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut perlu kerja sma antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu.3
Berdasarkan hal tersebut di atas, system hukum dapat dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan kaidah hukum yang berlaku di dunia untuk mencapai tujuan dari hukum di masing-masing negara. Dalam perkembangannya, system hukum didunia setidaknya terdiri dari 5 bentuk, yaitu: civil law, common law, socialist law, islamic law (sebagian juga menyebut Muhammadan law)4, dan Adat law (Costumary Law)5. Dari kelima system hukum tersebut, ada 2 (dua) rumpun besar system hukum dunia, yaitu civil law dengan konsep rechstaat dan common law dengan konsep rule of law.
Civil law dan Common law Dalam Perbandingan
Civil law dimaknai sebagai hukum yang dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang oleh negara diberikan otoritas untuk kepentingan itu, seperti legislative di Indonesia. Sedangkan common law dimaknai sebagai hukum yang dibuat berdasarkan tradisi yang berlaku didalam masyarakat, dan juga berdasarkan putusan-putusan hakim. Pada awalnya common law bukan hukum yang tertulis, melainkan dalam bentuk jurisprudence atas putusan-putusan yang
1 Inu Kencana Syafie, 2003, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 2.
2 SF. Marbun dkk, 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, hlm. 21
3 ibid
4 Werner Menski, 2008, Comparative Law in Global Context, UK: Cambridge University Press, hlm. 385
pernah dibuat. Walau demikian, common law tidaklah dapat disamakan dengan costumary law maupun case law.
System Civil law dalam proses legislasi tidak dapat dihindari dari proses kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Sehingga tidak salah jika Roberto M. Unger menyebutkan bahwa system civil law sebagai undang-undang yang penuh dengan berbagai nilai kepentingan. Antonio Gramsci menyebut civil law sebagai media bagi kaum kapitalisme dan kaum politik liberal dengan cara memasukkan kepentingan-kepentingan dalam peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan-tujuan capital dan kedudukan. Hal ini juga menunjukkan ketidak konsekuensian teori hukum murni yang dikemukakan oleh Hans Kelsen “hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis.6 Pada Prinsipnya Civil law system ini mengikuti konsep filsafat positivisme hukum yang menyatakan bahwa tujuan utama hukum adalah kepastian hukum bukan keadilan atau kemanfaatan, karena filsafat positivisme mengutamakan hal-hal yang sifatnya jelas dan pasti di atas segala-galanya.
Sistem Civil law memberikan konsekuensi para hakim untuk menegakkan hukum sebagaimana yang sudah ada dalam undang-undang hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu (1689-1755), dan mendapat dukungan dari aliran legisme atau aliran kodifikasi hukum, bahwa undang-undang sudah lengkap, tidak perlu mencari hukum di luar undang-undang. Oleh karena itu menurut van Apeldoorn hakim hanyalah sebagai corong undang-undang, hakim bagaikan mesin tanpa akal dan tanpa hati nurani, fungsi hakim yang sedemikian rupa juga mendapat kritik dari aliran hukum bebas dengan didasarkan pada teori hukum kodrat (manusia punya akal dan hati nurani) dan teori sosiologi hukum (dimana ada masyarakat di situ ada hukum, hukum yang ada dalam masyarakat jumlahnya lebih banyak daripada hukum yang ditulis dan dikodifikasikan).7
Prinsip hukum yang utama bagi system civil law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Oleh Frederich Julius Stahl ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu: adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam negara yang didasarkan pada teori trias politika, penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus melanggar hukum. Keempat prinsip di atas diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tersusun sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.
Bentuk yang terkodifikasi tersebut pada akhirnya memberikan keterikatan sehingga system civil law tidak bisa fleksibel, hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan hukum. Hakim hanya boleh menafsir peraturan yang ada sepanjang
6 Noor Sa’adah, “Membangun Peradaban Islam: Belajar dari Sejarah Peradaban Barat”, Addin vol. 2 No. 1, Januari-Juli 2008, hlm. 137.
kewenangan yang melekat untuk itu. Putusan hakim dalam satu perkarapun hanya mengikat pihak yang berperkara saja (doctrines res ajudicata).8
Sebagaimana disinggung sebelumnya, dalam system civil law hakim tidak dapat menciptakan hukum. Oleh Lawrence Friedman disebut sebagai system inkuisitorial dalam peradilan. Namun dalam penanganan perkara hakim mempunyai peran yang besar untuk mengarahkan dan memutuskan perkara, hakim aktif menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Lebih lanjut Friedman menjelaskan hakim dalam system civil law berusaha untuk mendapatkan gambara lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. System ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.9
Common law atau dalam sebutan lainnya Anglo Saxon atau Anglo Amerika merupakan system hukum yang berinduk kepada system hukum Inggris yang kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara-negara bekas jajahannya. Kata “Anglo Saxon” berasal dari nama bangsa yaitu bangsa Angel-Sakson yang pernah menyerang sekaligus menjajah Inggris yang kemudian ditaklukan oleh Hertog Normandia, William. William mempertahankan hukum kebiasaan masyarakat pribumi dengan memasukkannya juga unsur-unsur hukum yang berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental.10
Berbeda dengan Civil law, Common Law merupakan system hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Common Law lebih cenderung mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dengan kata lain, system common law lebih fleksibel dalam berhukum, tanpa harus tergantung pada peraturan-peraturan yang terkodifikasi. Pembentukan hukum melalui putusan-putusan pengadilan dengan system jurisprudensi dianggap lebih baik, karena hukum akan lebih berjalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan dan dirasakan nyata oleh masyarakat.11
Dalam system common law, hakim diberikan peran yang sangat luas dalam pembentukan hukum. Hakim tidak saja berfungsi untuk menetapkan dan menafsikan hukum, tetapi juga berwenang luas dalam membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim bisa menciptakan hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk menyelesaikan perkara sejenis.
Sistem hukum ini menganut doktrin yang dikenal dengan nama ”the doctrine of precedent / Stare Decisis”. Doktrin ini pada intinya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya pada
8 Dedi Soemardi, 1997, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Indhillco, hlm. 73.
9 Jeremias Lemek, 2007, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Galang Press, hlm. 45.
10 Sundari Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, hlm. 73.
prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden).12
Prinsip kunci dalam system common law adalah system hukum yang berbasis perkara (case) yang berfungsi sebagai penalaran logis, menganut doktrin preseden yang hirarki, sumber hukumnya dari undang-undang dan perkara, memiliki institusi berupa trust, estoppel, dan agency, dan tidak ada pembedaan antara hukum privat dengan hukum public secara struktura atau substantive seperti yang terdapat di system civil law.13
Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon Rule of Law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga tolok ukur, yaitu: Supremasi hukum (supremacy of law), Persamaan dihadapan hukum (equality before the law), dan Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights).
Kelebihan system common law yang tidak tertulis, lebih memiliki sifat yang fleksibel dan sanggup menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya, karena hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum tidak tertulis (Common law), hakim pun mempunyai ruang yang lebih luas untuk melakukan penemuan dan pembentukan hukum. Kelemahannya, unsur kepastian hukum kurang terjamin dengan baik, karena dasar hukum untuk menyelesaikan perkara/masalah diambil dari hukum kebiasaan masyarakat/hukum adat yang tidak tertulis.
Ruang Hukum Islam dalam Civil Law dan Common Law
Sebagai pendatang akhir dalam peradaban agama-agama Tuhan, Islam menunjukkan kesadaran bawaan terhadap adanya system-sistem peraturan dan agama-agama lainnya yang juga mengklaim validitas universal.14 Glenn menekankan bahwa “pada saat Muhammad …. Mulai mendengar sabda Tuhan, ada banyak jenis hukum di sekelilingnya”, Islam pada awalnya menghadapi persoalan keragaman ini dengan mengklaim keunggulan atas segala sesuatu yang datang sebelumnya, namun sekarang Islam telah menjadi bagian dari proses globalisasi. Sehingga ada sejumlah globalisasi yang tengah berjalan. Ia bukan hanya persebaran teknologi barat, pasar terbuka dan HAM, tetapi juga globalisasi dalam bentuk islamisasi.15 Islamisasi dipandang sebagai bentuk persebaran islam ke seluruh penjuru dunia dan pertumbuhan jumlah penganutnya, serta perluasan penyebaran hukum islam itu sendiri.
Hukum islam menegaskan diri melalui banyak jurubicara dan ahli-ahli hukum islam dari berbagai sudut pandang, sebagai yang pertama dan terutama hukum agama yang
12 Fajar Nurhardianto, “Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia”, Jurnal TAPIs, Vol. 11 Januari-Juni 2015, hlm. 40.
13 Peter de Cruz, 1999, Comparative Law in a Changing World, London-Sidney: Chavendiss Publishing Limited, hlm. 146.
14 H. Patrick Glenn, 2004, Legal Traditional of The World, Oxford: Oxford University Press, hlm. 170.
didasari atas wahyu tuhan. Namun klaim ini tentu mendapatkan perdebatan dari kalangan yuris barat, yang memperdebatkan “jika Tuhan yang membuat semua hukum, dimanakah ruang bagi pembuatan hukum manusia?”16 dalam tataran filsafat, sebenarnya perdebatan tersebut selesai, karena hukum islam dipandang sebagai tema filsafat hukum alam, ia bukan merupakan bentuk positivisme hukum yang berasal dari negara. Analisis konseptual tentang hukum islam awalnya nyaris tidak menemukan adanya negara, karena kaum muslim lazimnya berada dalam bentuk komunitas yang mengarahkan diri untuk tunduk pada Tuhan bukan negara.
Dalam perkembanganya, hukum islam melalui yurisprudensi muslim memungkinkan munculnya manifestasi sekuler dengan menggunakan istilah tersendiri, qanun untuk menyebutkan hukum buatan negara, pengadilan mazalim sekuler untuk menangani masalah-masalah duniawi. Coulson menjelaskan bahwa hukum islam adalah sekumpulan peraturan tentang ekspresi praktis dari keyakinan religious dan aspirasi muslim. Ketundukan total tanpa syarat kepada kehendak Tuhan adalah ajaran fundamental islam, hukum diasosiasikan dengan agama merumuskan kehendak Tuhan melalui kode komprehensif perilaku, meliputi semua aspek kehidupan. Semua aspek kehidupan yang diatur dalam hukum barat dianggap sebagai hukum. Hukum dalam islam, membentuk jalan perilaku yang mutlak yang digariskan Tuhan untuk membimbing Muslim menunaikan keyakinan religiusnya.17
Dalam kerangka system hukum yang dikenal luas didunia, hukum Islam lebih mendapat ruang dalam system civil law, karena salah satu sumber dari system civil law adalah hukum agama yang berlaku dan dianut luas oleh masyarakat. Selain itu, Alquran sebagai salah satu sumber utama dalam hukum islam, adalah terjemahan bentuk tertulis dari hukum itu sendiri. Untuk melihat keterkaitannya, dalam islam, dikenal kasus pewarisan dalam perkara Sa’d, seorang tentara yang tewas dalam perang. Janda Sa’d telah mengeluh kepada Nabi bahwa saudara suaminya, selaku saudara pria terdekat, sesuai norma adat lokal, telah mengklaim segenap harta milik mendiang dan tidak menyisakan apapun baginya dan kedua anak perempuannya. Nabi, dengan mengacu pada ketentuan Alquran tentang pembagian harta waris, memutuskan bahwa ahli waris menurut Alquran itulah yang dapat mengklaim harta milik mendiang, bukan saudara pria terdekat seperti yang dimaksud dalam hukum lokal, dan dengan begitu mendudukkan peraturan Alquran di atas tradisi lokal. Ia memerintahkan sesuai alquran, bahwa si janda menerima seperdelapan bagian, anak perempuan dua pertiga, dan selebihnya menjadi hak saudara terdekat Sa’d.18
Selain Alquran, hukum islam tersebar juga dalam hadist Nabiullah dan ijma/kesepakatan/ konsensus ulama (dalam perkembangan terbaru hukum islam)
16 Werner Menski, Op. Cit. hlm. 387.
17 Noel J. Coulson, 1964, A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, hlm. 54.
menjadi sumber yurisprudensi islam yang terpenting.19 Ijma sebagai consensus komunitas yang didasarkan atas rujukan teks-teks yang otoritatif.
Dalam perkembangan peradaban Islam, Turki Usmani sebagai salah satu negara islam telah mencoba mengkodifikasi dan mengundangkan unsur-unsur hukum Islam sebagai hukum negara. Yang diundangkan sebagai “Ottoman Civil Code pada tahun 1877 yang meliputi hukum kontrak dan prosedur sipil. Hal ini bertujuan untuk memberikan statement otoritatif tetang doktrin hukum islam kepada tribunal yang baru diciptakan dan untuk menghindari penyanderaan kepada karya-karya jurisprudensi islam.20
Ottoman Civil Code menjadi titik temu konseptual hukum syari’ah sebagai hukum positif di dunia muslim dengan civil law dunia barat. Schacht mencatat bahwa hukum islam yang ketat pada dasarnya tidak cocok untuk dikodifikasi karena ia memiliki karakter otoritatif hanya sejauh apabila ia diajarkan dengan cara tradisional oleh salah satu mashab yang diakui.21 Pernyataan Schacht tersebut dapat dibenarkan, karena sepanjang sejarah Islam, setidaknya ada 4 mazhab besar yang diakui, dan keempat mazhab tersebut terdapat beberapa perbedaan, walaupun memang pada tingkat ajaran utama, semisal hukum waris, dalam islam tidak ada perdebatannya. Artinya sepanjang dalam Alquran dan Hadist nabi dijelaskan secara tegas, maka karakter otoritatifnya berlaku universal.
Penutup
Perbedaan system civil law dengan common law terdapat pada sumber dari hukumnya, dan pelaksanaan dari hukum itu sendiri. Civil law lebih menegaskan pada konsep rechtstaat, hukum tertulislah sebagai hukum yang mengatur, sedangkan common law dengan konsep rule of law yang mengedepankan kebiasaan sebagai sumber hukum yang berlaku. Dalam kedua bingkai system hukum tersebut, hukum islam/Islamic law yang pada satu sisi diakui sebagai salah satu system hukum yang berdiri sendiri, namun ia mendapatkan tempat lebih besar pada system civil law, karena memiliki ciri-ciri yang hampir mirip, yaitu sumber otorotatif yang tertulis, namun berlaku universal.
19 Ahmad Hasan, 1984, The Doctrine of Ijma’ Islam, Reprint, Islamabad: Islamic Research Institute, hlm. 76.
20 Joseph Schacht, 1984, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Oxford University Press, hlm. 92.
REFERENSI
Ahmad Hasan, 1984, The Doctrine of Ijma’ Islam, Reprint, Islamabad: Islamic Research Institute.
Budiman Ginting, 2000, “Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam Pembangunan Hukum Nasionalnya”, (Makalah), Medan: Universitas Sumatera Utara.
Dedi Soemardi, 1997, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Indhillco.
Fajar Nurhardianto, “Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia”, Jurnal TAPIs, Vol. 11 Januari-Juni 2015.
Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
H. Mustaghfirin, “Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmonis”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011.
H. Patrick Glenn, 2004, Legal Traditional of The World, Oxford: Oxford University Press. Inu Kencana Syafie, 2003, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI),
Jakarta: Bumi Aksara.
Jeremias Lemek, 2007, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Galang Press.
Joseph Schacht, 1984, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Oxford University Press. Noel J. Coulson, 1964, A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press. Noor Sa’adah, “Membangun Peradaban Islam: Belajar dari Sejarah Peradaban Barat”,
Addin vol. 2 No. 1, Januari-Juli 2008.
Peter de Cruz, 1999, Comparative Law in a Changing World, London-Sidney: Chavendiss Publishing Limited.
Sundari Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni.
SF. Marbun dkk, 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press.