• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI ISLAM"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

Ida Zahara Adibah

Undaris Semarang

email: idazaharaadibah_undaris@yahoo.com

Abstract

The importance of the sociological approach to understanding religion is understandable because many religious teachings related to social problems. Jalaluddin Rahmat has shown how much attention to religion in this case is Islam against social problems. But today, the sociology of religion studying how religion affects the community, and may be religion maysrakat affect the concept of religion. Sociological Approaches have a very important role in efforts to understand and explore the true meanings intended by the Koran. Besides caused by Islam as a religion that prefers things that smelled of social rather than individual evidenced by the many verses of the Koran and the Hadith concerning muamalah affairs (social), it also caused a lot of stories in the Qur'an less can be understood properly unless with a sociological approach.

Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Jalaludin Rakhmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial. Namun dewasa ini, sosiologi agama mempelajari bagaimana agama mempengaruhi masyarakat, dan boleh jadi agama maysrakat mempengaruhi konsep agama. Pendekatansosiologi memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha untuk memahami dan menggali makna-makna yang sesungguhnya dikehendaki oleh al-Qur’an. Selain disebabkan oleh Islam sebagai agama yang lebih mengutamakan hal-hal yang berbau sosial daripada individual yang terbukti dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang berkenaan dengan urusan muamalah (sosial), hal ini juga disebabkan banyak kisah dalam al-Qur’an yang kurang bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan pendekatan sosiologi.

Kata Kunci: paradigma; sosiologis; Islam

A. Pendahuluan

(2)

Tingkat perkembangan agama dan kepercayaan di suatu masyarakat di pengaruhi oleh tingkat perkembangan peradaban masyarakat tersebut. Agama-agama masyarakat primitif di suatu tempat bersesuaian dengan ting-kat kehidupan dan peradaban bangsa itu (Dadang Kahmad, 2006: 23).

Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercaya-an ykepercaya-ang diwujudkkepercaya-an dalam prilaku sosial tertentu (Henri L. Tischler, 1990: 380). Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu mau-pun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait

dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu

dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.

Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragamanya. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah per-wujudan sikap dan perilaku yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang berasal dari hal-hal yang bersifat ghaib. Kalau kita mencoba menggambarkannya dalam pendekatan sosiologi, maka fenomena-fenomena keagamaan itu berakumulasi pada perilaku manusia dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi dan ditunjang bersama-sama (Dwi Narwoko, 2007:3).

Beragama sangat terkait dengan kepedulian kita kepada lingkungan sekitar. Sebagai contoh dalam al-Qu’ran kata-kata wahai orang-orang beriman selalu diiringi dengan aktivitas beramal shaleh. Ini menunjukkan bahwa disaat orang menyatakan dirinya beriman ia juga harus beramal shaleh, selalu concern dengan kondisi sekitarnya. Pertanyaan yang pantas diajukan adalah apakah ada hubungan sosiologis antar aktivitas beriman dengan beramal shaleh serta aktivitas bermasyarakat sebagai standar keimanan? (Taufik Abdullah, 1989: xiii-xv)

B. Pembahasan

1. Persoalan dan Perdebatan

(3)

tran-senden (Peter Connoly, 2002: 268). Di samping mengajukan pertanyaan “apakah Tuhan ada”, sosiolog mendekati perilaku keagamaan dengan per-tanyaan seperti berikut ini: model keyakinan dan ritual keagamaan apa yang terus bertahan dalam lingkungan kehidupan tertentu dan mengapa? Apakah kaitan antara lingkungan personal dan konteks sosial tertentu dengan yakinan mengenai tuhan atau tuhan-tuhan? Apakah pengaruh penjelasan ke-agamaan mengenai penderitaan terhadap upaya-upaya sosial untuk mem-perbaiki penderitaan itu?

Perdebatan utama dalam sosiologi agama kontemporer adalah antara pembela dan penentang tesis sekularisasi yang mendominasi teori-teori sosial sejak Comte dan Durkheim. Sekulerisasi mengacu pada proses dimana agama kehilangan dominasi atau signifikansi sosial dalam masyarakat. Mundurnya pengaruh agama dapat diamati dengan indikator-indikator sebagai berikut: a) Kemunduran partisipasi dalam aktivitas dan upacara-upacara keagamaan; b) Kemunduran keanggotaan organisasi-organisasi keagamaan; c) Kemun-duran pengaruh institusi keagamaan dalam kehidupan dan institusi-institusi sosial; d) Berkurangnya otoritas yang dimiliki dan menurunnya ke-yakinan terhadap ajaran-ajaran keagamaan; e) Berkurangnya ketaatan privat, doa dan keyakinan; f) Kemunduran otoritas tradisional yang didukung oleh nilai-nilai moral secara keagamaan; g) Berkurangnya signifikansi sosial dan profesional keagamaan, kekurangan lapangan pekerjaan; h) Privatisasi atau sekularisasi internal terhadap ritual-ritual dan sistem keyakinan keagamaan (Peter Connoly: 2002: 299).

2. Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam

(4)

dalam Islam ialah adanya kenyataan apabila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan Muamalah yang penting, maka ibadah boleh di-perpendek atau ditangguhkan, melainkan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat perorangan. Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan apabila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Kelima, dalam Islam terdapat ajar-an amal baik dalam bidang Kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah Sunnah.

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalistis, atau penelitian filosofis. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya me-rupakan hidayah Allah dan meme-rupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.

Jika menggunakan pendekatan yang berbeda tentunya akan diperoleh hasil yang berbeda pula, tetapi hal itu tidak dipermasalahkan selama masih sesuai dengan standar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan dikritisi secara empiris. Dalam studi Islam terdapat 3 epistimologi dalam pen-dekatan sosialnya, yaitu bayani, irfani dan burhani yang nantinya masing-masing menghasilkan studi Islam yang berbeda.

3. Pendekatan Sosiologi

(5)

penge-tahuan (https://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi). Ungkapan ini dipublikasi-kan diungkapdipublikasi-kan pertama kalinya dalam buku yang berjudul Cours de

Philo-sophie Positive karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak

defi-nisi tentang sosiologi, namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu penge-tahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala sosial, struktur sosial, perubahan sosial dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Sosiologi memiliki berbagai paradigma untuk mengkaji suatu masalah, sehingga sosiologi merupakan ilmu sosial yang berparadigma ganda. Adapun struktur paradigma di dalam sosiologi adalah sebagai berikut.

Paradigma sosiologi lahir dari teori-teori sosiolog dari masa klasik hingga era modern ini. Menurut Thomas Khun mengatakan bahwa paradigma sosio-logi berkembang secara revolusi bukan secara kumulatif seperti pendapat sosiolog sebelumnya. Khun menyekemakan munculnya paradigma sebagai berikut: Paradigma I → Normal Science → Anomalies → Crisis → Revolus I→ Paradigma II. Sehingga paradigma sosiologi dapat berkembang sesuai dengan fakta sosial. Pradigma inilah yang akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji studi Islam, dalam pengkajian studi Islam peneliti bebas memilih paradigma yang ada di dalam sosiologi untuk mengkaji masyarakat Islam. George Ritzer mengetengahkan bahwa paradigma-paradigma dalam sosiologi walaupun hasilnya berbeda namun tidak ada perselisihan di antara paradigma tersebut selama masih sejalan dengan hukum ilmiah. Meskipun begitu umumnya para-digma itu memiliki keunggulan pada masing-masing masalah yang dikajinya.

Sosiologi pada hakikatnya bukanlah semata-mata ilmu murni (pure

science) yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi

usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi bisa juga men-jadi ilmu terapan (applied science) yang menyajikan cara-cara untuk mem-pergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi. (Dwi Narwoko, 2007: 3). Saat ini banyak definisi resmi mengenai sosiologi. Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli:

(6)

ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.

2) Roucek dan Warren:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.

3) William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf:Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.

4) J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers:Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang ber-sifat stabil.

5) Max Weber: Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.

6) Allan Jhonson: Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.

Dari berbagai definisi sosiologi di atas dapat disimpulkan bahwa Sosiologi

adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum. Kaitannya dengan pendekatan sosiologi. Minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam penelitian, yaitu: teori fungsional, teori interaksional, dan teori konflik. Tapi ada juga yang menambahkan dua teori lainnya, yaitu teori peranan dan teori kepentingan.

a. Teori Fungsional

(7)

lain memiliki fungsi yang berbeda. Karena perbedaan pada bagian-bagian tadi maka perubahan fungsi pada bagian tertentu bisa juga mempengaruhi fungsi kelompok lain. Meskipun demikian masing-masing kelompok dapat dipelajari sendiri-sendiri. Maka yang menjadi kajian penelitian agama dengan pendekat-an sosiologi dengpendekat-an teori fungsional adalah dengpendekat-an melihat atau meneliti feno-mena masyarakat dari sisi fungsinya.

Adapun teori yang berhubungan dengan teori fungsi adalah teori peran. Peran disini maksudnya adalah, seperangkat tindakan yang diharapkan yang akan dimiliki seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan berarti bertindak atau bermain sebagai. Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan sesorang dalam suatu peristiwa. Hubungan peran dan status, bahwa peran tidak dapat dipisahkan dari status. Adapun pengertian status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial se-hubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut. Ada dua jenis status atau kedudukan: 1) Ascribe status, status yang didapat seseorang secara otomatis, tanpa usaha atau tanpa memperhatikan kemampuan. Misalnya status bangsawan, atau kasta yang diperoleh sejak lahir dari orang tua. 2)

Achieve status, status yang diperoleh seseorang dengan usaha yang disengaja

sesuai dengan kemampuannya.

Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam menggunakan teori fungsional. Yaitu, membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik, mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi objek pe-nelitian, serta mengidentifikasi konsekuen langkah-langkah yang diperlukan dalam menggunakan teori fungsional. Yaitu, membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik, mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi objek penelitian, serta mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.

b. Teori Interaksional

(8)

dikembang-kan oleh teori interaksional adalah; bagaimana individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada di lingkungan sekitarnya, memberikan makna pada fenomena tersebut berdasarkan interaksi sosial yang dijalankan dengan individu yang lain, makna tersebut difahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretasi atau penafsiran yang berhubungan dengan hal-hal yang dijumpainya.

c. Teori Konflik

Teori konflik adalah teori yang percaya bahwa manusia memilki ke-pentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan manusia. Menurut pemegang teori ini nilai dan gagasan-gagasan selalu digunakan untuk melegitimasi kekuasaan.

Perubahan sosial dalam Islam dapat dikaji menggunakan pendekatan sosiologi. Dengan menggunakan teori ini Islam dapat diketahui perkembang-an dperkembang-an kemajuperkembang-annya dari masa ke masa, sehingga nperkembang-antinya dapat digunakperkembang-an untuk mengembangkan masyarakat Islam.

d. Teori Evolusi

Teori ini sebenarnya adalah hasil pemikiran Frederick Hegel, namun di-kenalkan oleh August Comte sebagai teori sosial. Menurut Comte, perubahan atau perkembangan manusia melewati tiga tahap. Fase teologis diteruskan dengan fase metafisik, selanjutnya diteruskan dengan fase ilmiah atau positif, yaitu dengan memahami hukum eksperimen ilmiah. Pengetahuan ilmiah dapat direncanakan, oleh Herbert Spencer disebut rekayasa sosial, juga di-sebut Darwinisme Sosial. Dalam aplikasinya teori ini menjelaskan tentang perubahan masyarakat yang dimulai dari masyarakat non industri atau masyarakat primitif, akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih kom-pleks dan berkebudayaan.

1) Teori Fungsional Struktural

(9)

sampai rumah tangga). Masing-masing bagian terus mencari keseimbang-annya (equilibrium) dan harmoni.

2) Teori Moderenisasi

Teori ini lahir tahun 1950-an. Menurut Huntington (1976) moderenisasi dianggap sebagai jalan menuju perubahan. Proses moderenisasi adalah re-volusioner, kompleks, sistematik, global, bertahap, dan progresif.

3) Teori Sumber Daya Manusia

Teori ini dikembangkan oleh Theodore Shulz (1961), menurutnya ke-terbelakangan masyarakat dianggap bersumber pada faktor interen negara atau masyarakat itu sendiri. Karena itu, untuk peningkatannya diperlukan investasi masing-masing.

4) Teori Konflik

Hegel adalah orang pertama memberi perhatian untuk menjadi teori perubahan. Bagi Hegel perubahan adalah sebuah dialektik, yakni berasal dari proses tesis, antitesis, dan sintesis. Teori ini memengaruhi teori Kalr Marx. Menurut Marx masyarakat terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu ber-tentangan, yaitu, kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang tereksploitasi. Contoh konflik adalah revolusi, eksploitasi, kolonialisme, ketergantungan, konflik kelas, dan rasial.

5) Teori Ketergantungan

Teori ini menekankan pada hubungan dalam masyarakat, misalnya masalah struktur sosial, kultural, ekonomi, dan politik.

6) Teori Pembebasan

(10)

Sebagai tambahan dalam kaitannya agama Islam sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Awalnya sosiologi agama hanya mempelajari hubungan- hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Namun dewasa ini, sosiologi agama mempelajari bagaimana agama mepengaruhi masyarakat, dan boleh jadi agama masyarakat mem-pengaruhi konsep agama. Dalam kajian sosiologi ini, agama dapat sebagai independent variabel, yaitu Islam mepengaruhi faktor atau unsur lain. agama juga dapat sebagai dependent variabel, berarti agama dipengaruhi faktor lain. Sebagai contoh, Islam sebagai dependent variable adalah, bagaimana budaya masyarakat Yogyakarta memengaruhi resepsi perkawinan Islam (muslim Yogyakarta). Sedangkan contoh Islam sebagai independent variable adalah, bagaimana Islam memengaruhi tingkah laku muslim Yogyakarta.

Al-Ghazali secara substansial telah merumuskan kajian sosiologi ini dalam kajian hukum Islam. Menurutnya penelitian hukum Islam secara garis besar ada dua, yakni, penelitian hukum deskriptif (washfi) dan penelitian hukum normatif/perspektif (mi’yari). Penelitian deskriptif menekankan pada pen-jelasan hubungan antara variabel hukum dengan non hukum, baik sebagai variabel independen ataupun variable dependen.

Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, sosiologi menyoroti-nya dari sudut posisi manusia yang membawamenyoroti-nya kepada perilaku itu, dan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia (Taufik Abdullah, 1989: 1).

(11)

4. Perkembangan Sosiologi

Awal mula perkembangan sosiologi bisa dilacak pada saat terjadinya revolusi Perancis dan revolusi industri sepanjang abad ke-19 yang menimbul-kan kekhawatiran, kecemasan dan sekaligus perhatian dari para pemikir di waktu itu tentang dampak yang ditimbulkan dari perubahan dahsyat di bidang politik dan ekonomi kapitalistik di masa itu. Para tokoh yang dianggap mencetuskan ide-ide sosiologi yang dikenal dengan teori klasik diantaranya adalah Durkheim, Weber, Simmel, Marx, Spencer, dan Comte di Eropa; dan Summer, Mead, Cooley, Thomas, dan Znaniecki di Amerika. Sedangkan para sosiologi masa kini diantaranya seperti Merton, Parsons, Homans, Blau dan Goffman, atau aliran-aliran teori sosiologi masa kini seperti fungsionalisme, interaksionalisme simbol, teori konflik/teori kritis, teori pertukaran, pen-dekatan fenomonologis atau etimonologis (Robert M.Z, 1994: 4).

Semenjak kelahirannya, sosiologi concern dengan studi agama, meskipun perhatian sosiologi terhadap agama menguat dan melemah. Karya-karya

founding fathers sosiologi, termasuk Comte, Durkheim, Marx, dan Weber,

sering mengacu pada wacana-wacana teologis atau studi perilaku dan sistem keyakinan keagamaan. Namun demikian, di pertengahan abad ke-20, para sosiolog baik di Eropa maupun Amerika Utara, melihat bahwa agama me-miliki signifikansi marginal dalam dunia sosial, dan sosiologi agama bergerak dalam garis tepi studi sosiologis. Seiring dengan datangnya apa yang oleh se-bagian orang disebut dengan postmodernitas, dan sese-bagian lainnya me-nyebutnya dengan modernitas tinggi atau terkini (high or late modernity) dan bangkitnya agama dalam beragam kontek global, agama kembali memperoleh signifikansi sosiologis baik dalam masyarakat yang sedang berkembang, maupun di Eropa, dan Amerika Utara. Konsekuensinya, studi sosiologis terhadap agama mulai keluar dari garis tepi disiplinnya dan me-manifestasikan tumbuhnya minat pada mainstream sosiologis yang mem-fokuskan perhatiannya di sekitar persoalan ekologi dan perwujudan, gerakan sosial dan protes sosial, globalisasi, nasionalisme, dan postmodernitas (Peter Connolly, 2002: 269-270).

(12)

societas berarti masyarakat dan logos berarti pengetahuan) diciptakan oleh Comte. Selain itu, dia juga telah memberikan sumbangan paling besar dalam ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip, dan metode yang sekarang di-pakai dalam sosiologi berasal darinya (Dwi Narmoko, 2007: 4).

5. Karakteristik Dasar Pendekatan Sosiologis

Secara epistemologis, ilmu sosial, dalam perkembangannya lebih ber-kiblat pada tradisi ilmu alam dari pada humaniora. Hal ini berakibat pada pendekatan-pendekatan kuantitatif dan bahkan matematik statistikal dengan parameter yang terukur juga dipakai untuk mengamati objek sosial. Berangkat dari pendekatan positivisme dan empirisisme, mereka meman-faatkannya untuk tujuan melakukan rekayasa sosial, sama seperti ilmu alam. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ilmu sosial memperlihatkan ada-nya kecenderungan pada ilmu-ilmu humaniora. Hal ini disebabkan karena para ahli sosiologi sendiri akhirnya menyadari bahwa objek yang diteliti bukanlah benda-benda organik maupun non-organik yang dapat dihitung, diukur, maupun diotak-atik sesuai keinginan peneliti. Akan tetapi, objek ilmu sosial adalah manusia, yang selain merupakan bagian dari alam fisik, manusia juga memiliki keinginan, nafsu, akal budi, perilaku dan keyakinan yang kompleks. Dari sini, jelas kajian sosiologis tidak bisa dilakukan dengan pendekatan ilmu-ilmu alam.

Teorisasi sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifi-kansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi: a) Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas. b) Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia. c) Pola organisasi sosial meliputi politik, pro-duksi ekonomis sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi. d) Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi. (Peter Connoly, 2002: 279).

(13)

memiliki pengaruh kuat dalam sosiologi agama. Parsons memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang dapat disamakan dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sistem sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik yang memberi kontribusi terhadap kesehatan dan vitalitas sistem sosial dan menjamin kelangsungan hidupnya (Peter Connoly, 2002: 279).

Sedangkan bagi Bryan Wilson, agama memiliki fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifesnya adalah memberikan keselamatan identitas personal dan jiwa bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan fungsi latennya adalah memberdayakan personal dan spiritual dalam menghadapi gangguan emosional inner, kondisi spiritual dan upaya untuk menghadapi ancaman keimanan dan penyembahan. Untuk mendapatkan gambaran dari persoalan-persoalan yang di kaji, para sosiolog menggunakan dua corak metodologi penelitian, yaitu kuantitatif dan kualitatif.

Penelitian kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survey terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktik kehadiran di gereja. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Rodney Stark dan William Bainbridge dalam The Future of Religion saat mengumpulkan sejumlah besar database statistik nasional dan regional tentang kehadiran di gereja dan keanggotaan peribadatan dalam upaya menghasilkan teori sosial yang telah direvisi mengenai posisi agama dalam masyarakat modern. Sedangkan penelitian kualitatif terhadap agama disandarkan pada komunitas atau jama’ah keagamaan dalam skala kecil dengan menggunakan metode seperti pengamatan partisipan atau wawancara mendalam. Metode ini diprakarsai oleh Max Weber dan kemudian disempurnakan oleh Ernst Troeltsch dari Jerman. Jelasnya bahwa dua metode tersebut (kuantitatif dan kualitatif) dapat digunakan untuk meneliti agama melalui pendekatan sosiologi.

Adapun paradigma yang dikembangkan dalam penelitian sosial-agama dikategorikan dalam 3 macam: a) Paradigma Positivistik, yaitu dengan me-nempatkan fenomena sosial dipahami dari perspektif luar (other perspective)

(14)

dipahami oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang ada dan didialogkan dengan pemahaman subjek yang diteliti (data empirik). Paradigma ini sering digunakan dala penelitian filsafat, bahasa, agama (ajarannya) dan komunikasi yang menggunakan metode semantik, filologi, hermeneutika adan conyent analysis. (Sahiron Syamsudin, 2007: 51).

Sedangkan dalam sosiologi agama mempelajari aspek sosial agama. Objek penelitian agama dengan pendekatan sosiologi menurut Keith A. Robert (1994: 21) memfokuskan pada: a) Kelompok-kelompok dan lembaga ke-agamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya, dan pembubarannya). b) Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi stasus keagamaan dan perilaku ritual). c) Konflik antar kelompok.

Sedangkan menurut M. Atho Mudzhar (2002: 43) pendekatan sosiologi agama dapat mengambil beberapa tema atau objek penelitian, seperti: a) Stu-di tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. b) StuStu-di tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran atau konsep keagamaan. c) Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat. d) Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim. e) Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menjunjung kehidupan beragama.

Setiap tema yang dikaji, setidaknya tetap relevan dengan teori sosiologi, baik teori fungsionalisme, konflik maupun interaksionalisme. Teori fungsio-nalisme dan konflik bekerja dengan cara analisis makro sosiologi yaitu memfokuskan perhatiannya pada struktur sosial. Adapun teori interaksional-isme dengan cara analisis mikro, yaitu lebih memfokuskan perhatiannya pada karakteristik personal dan interaksi yang terjalin antar individu.

6. Aplikasi Pendekatan Sosiologis dalam Penelitian Living Qur’an

(Konteks Penafsiran)

(15)

urusan muamalah (sosial), hal ini juga disebabkan banyak kisah dalam al-Qur’an yang kurang bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan pendekatan sosiologi. Sebagai contoh, kisah Nabi Yusuf yang dulunya budak lalu akhirnya menjadi penguasa di Mesir dan kisah nabi Musa yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Nabi Harun. Kedua kisah itu baru dapat dimengerti dengan tepat dan dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial.

Selain itu, dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah mengharapkan adanya suatu umat yang menjadi saksi atas manusia (syuhada ‘ala al-nas). Fungsi ini, antara lain dapat diwujudkan melalui penelitian empiris. Tema-tema tentang keadilan, taqwa, musyawarah, tolong menolong, amal saleh, dan lain sebagainya dapat diteliti sampai sejauh mana tema-tema tersebut dipraktekkan dalam masyarakat.

Salah satu rumusan penelitian al-Qur’an yang diidentifikasikan dengan istilah living Qur’an adalah salah satu paradigma dalam menempatkan al-Qur’an sesuai dengan masyarakat pembacanya. Definisi living al-Qur’an sebagai studi tentang al-Qur’an, tetapi tidak bertumpu pada eksistensi tekstualnya, melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir terkait dengan kehadiran al-Qur’an dalam wilayah geografi tertentu dan mungkin masa tertent (Sahiron Syamsudin, 2007: 39).

Upaya tentang penelitian living Qur’an dengan akar pendekatan sosiologis adalah semata-mata tidak untuk mencari kebenaran positivistik yang selalu melihat konteks, tetapi semata-mata melakukan “pembacaan” objektif terhadap fenomena keagamaan yang menyangkut langsung dengan al-Qur’an. Kalau Living Qur’an ini dikategorikan sebagai penelitian agama dengan kerangka penelitian agama sebagai gejala sosial, maka desainnya akan menekankan pentingnya penemuan keterulangan gejala yang diamati se-belum sampai pada kesimpulan(Atho Mudzhar, 2002: 68).

Living Qur’an sebagai penelitian yang bersifat keagamaan (religious

(16)

(pe-nafsiran) akan tetapi bagaimana al-Qur’an itu disikapi dan direspon masya-rakat Muslim dalam realitas kehidupan sehari-hari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial. Dalam penelitian model Living Qur’an yang dicari bukan kebenaran agama lewat al-Qur’an atau bersifat menghakimi (judgment) se-kelompok agama tertentu dalam Islam, tetapi lebih mengedepankan penelitian tentang tradisi yang menggejala (fenomena) di masyarakat dilihat dari perspektif kualitatif. Meskipun al-Qur’an terkadang dijadikan sebagai simbol keyakinan (symbolic faith) yang dihayati yang kemudian diekspresikan dalam perilaku keagamaan; maka dalam Living Qur’an ini diharapkan dapat menemukan segala sesuatu dari hasil pengamatan (observasi) yang cermat dan teliti atas perilaku komunitas muslim dalam pergaulan sosial keagamaan-nya hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadikeagamaan-nya perilaku itu melalui struktur luar dan struktur dalam (deep structure) agar dapat ditangkap makna dan nilai-nilai (meaning and values) yang melekat dari sebuah fenomena yang diteliti (Sahiron Syamsudin, 2007: 50).

7. Pemikiran-Pemikiran Arkoun

a. Wahyu dan teks al-Qur’an

Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan

anggitan wahyu, pertama, wahyu sebagai firman Allah yang transenden, tidak

terbatas dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini, biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfuzh atau Umm al-Kitab.

Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas

sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bible (Taurat dan Zabur), Injil dan Qur’an. Berkenaan dengan al-Qur’an, realitas yang ditunjuk adalah firman Allah yang diwahyukan kedalam bahasa arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan ketiga, wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata meng-hilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan (sementara asbab al-nuzul ternyata belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam kedalam tulisan) (Meuleman, 1996: 63).

Pencatatan al-Qur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus official clos

(17)

memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun kemudian ditutup dengan adanya dua “ pembakuan”. pembakuan tersebut adalah pertama oleh Abu bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan al-Qur’an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia.

Penyebaran dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkanya kembali persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan

Qur’anic fact dengan Islamic fact. Kenyataan Qur’ani memiliki sifat transenden,

transhistoris, dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami memiliki sifat historis dan merupakan peng-ejawantahan dari salah satu garis makna yang terkandung di dalam kenyataan Qur’ani. Kenyataan islami lahir melalui penafsiran manusia (ahli kalam dan fiqh) terhadap kenyataan Qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, corak pemikiran, seperti Sunni, Syi’i, Khariji yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu, walaupun sebenar-nya merupakan gerakan politik (Putro, 1998: 33-34).

Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus

interpretus (corpus-corpus penafsir) yang lahir sebagai produktivitas teks dan

bukan sebagai produktivitas wacana. Ternyata, ke semua itu kemudian disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia(Makhasin,:3-4).

b. Pembacaan al-Qur’an

Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks al-Qur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Nalar grafis telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian

(prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professional). Selain itu juga

(18)

apa yang diujarkan orang dan merupakan manifestasi individu dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah adalah untuk mengerti ko-munikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna (Meuleman, 1996: 65-66).

Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan al-Qur’an.

Pertama, secara liturgis yaitu memperlakukan teks secara ritual yang

di-lakukan pada saat-saat shalat dan doa-doa tertentu. Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada ujaran yang termaktub di dalam mushaf.

Ketiga, memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh

ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.

Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan bahkan saling memberikan sumbangan untuk memahami teks-teks illahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia (Meuleman, 1996: 68).

C. Penutup

Kecenderungan para sosiolog yang selama bertahun-tahun mengabaikan signifikansi sosial agama dengan cepat mengakui berkembangnya peran agama dalam gerakan-gerakan kultural dan resistensi etis dalam masyarakat yang belum atau postmodern, di dunia yang telah maupun yang sedang ber-kembang. Nasib agama di dunia yang belum modern sama sekali tidak pasti, tetapi tidak diragukan bahwa ulasan-ulasan sosiologis mengenai dunia ke-hidupan umat beriman dan komunitas keagamaan, dan pandangan-pandangan sosiologis tentang peran ideologi dan organisasi keagamaan dalam masyarakat kontemporer, memberikan petunjuk penting tentang perjalanan agama dan upaya penelitian agama.

Penelitian seputar Living Qur’an sebagai sebuah tawaran paradigma alternatif yang menghendaki bagaimana hubungan timbal balik (feedback)

(19)

tentang kisah Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan lain-lain, serta pelbagai pesan moral dan sosial dalam ayat-ayat keadilan, ketaqwaan, keimanan dan lain-lain; memerlukan pendekatan sosiologis sehingga makna dan kandungan ayat dapat diaktualisasikan sebagaimana pesan Living Qur’an.[]

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Betty R. Scharf, 1995, Kajian Sosiologi Agama,(terj), Yogyakarta: Tiara Wacana Kahmad, Dadang, 2006, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Agama, Bandung

Remaja Rosdakarya.

Horton, Paul B, & Chester L.Hunt, 1991, Sosiologi, 6thedition (terj), Jakarta:

Erlangga.

http://id.wikipedia.org/wiki/sosiologi

http://nie07independent.wordpress.com/teori-sosiologi-dan-antropologi/ J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed.), 2007, Sosiologi Teks Pengantar &

Terapan, Jakarta: Kencana, cet. 3.

Johnson, Doyle Paul, 1994, Sociological Theory Classical Founders and

Contemporary Perspektive, (terj) Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi

Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia, cet.3.

Johan Hendrik Mouleman, 1996, Kemodernan dan metamodernisme,

Mem-perbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Jogjakarta: KKIS, cet. II.

Mudzhar, H.M.Atho DR, 2002, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan praktek,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. IV.

Middleton, John, The Religious System dalam Raul Naroll (ed), 1973, A

Honbook of Method in Cultural Anthropology, New York: Columbia

University Press.

Mulyanto Sumardi, 1982, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan), cet.1.

Peter Connoly (ed.), 2002, Approach to the Study of Religion, diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul, Aneka Pendekatan

(20)

Robertson, Roland, (ed), 1994, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi

Sosiologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet.iv

Richard C. Martin, 2001, Pendekatan kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta, Muhammadiyah University Press.

Suadi Putro, 1998, Muhammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, cet. I.

Syamsuddin, Sahiron DR.Phil.(ed.), 2007, Metodologi Penelitian Living Qur’an

dan Hadis, Yogyakarta: Teras, cet. I.

Taufik Abdullah-M.Rusli Karim (ed), 1989, Metodologi Penelitian Agama:

Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Yusuf, Moh.Asror (ed), 2006, Agama sebagai Kritik Sosial di tengah arus

Referensi

Dokumen terkait

Kepala Kejaksaan Negeri Kudus yang menerima Surat Kuasa Khusus memberikan Surat Kuasa Subtitusi kepada Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Kudus sebagai Kuasa

1) Siswa secara individu melakukan kegiatan mengamati berbagai jenis tumbuhan dan hewan di lingkungan rumah dan mendokumentasikan dalam bentuk foto masing-masing

Dengan dilakukan pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memberikan informasi tentang sistem dan dari situ informasi-informasi dapat digali untuk mendapatkan

Penambahan kadar gula terhadap berat semen dapat semakin memperlama waktu pengerasan semen hingga pada kadar tertentu (dalam penelitian ini pada kadar 0,15%),

Dengan adanya berbagai latar belakang di atas, interaksi yang dilakukan mahasiswa entrepreneur dalam menjalin hubungan antar sesama mahasiswa entrepreneur, konsumen, dan

Meningkatnya kebutuhan hidup, peningkatanharga bahan bakar minyak, serta semakin berkurangnya sumber dayaalam yang tidak dapat diperbarui, menuntut untuk mencari

4 Kegiatan Belajar Bahan Belajar 5 Proses belajar peningkatan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik 7a Dampak Pengajaran 7 Hasil Belajar 7b Dampak Pengiring.