• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Ag

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Ag"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2

Pengantar Redaksi ... 4 Agama, Hak-hak Minoritas, dan Problem Perlindungan Negara

Ahmad Fuad Fanani

Artikel Utama

Minoritas, Legal Jihad, dan Peran Negara ... 12 Ismatu Ropi

Masalah Intoleransi, Toleransi, dan Kebebasan Beragama

di Indonesia ... 27 Philips J. Vermonte dan Tobias Basuki

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia ... 43 Ahmad Najib Burhani

Jalan Panjang Pemenuhan Hak Atas Kebebasan Beragama

dan Berkeyakinan ... 56 Veryanto Sitohang

Pekerjaan Berat Meliput Minoritas ... 71 Imam Shofwan

Ketika Keseharian Pemegang Pikukuh Menjadi Tontonan:

Pengaruh Industri Pariwisata Terhadap Suku Baduy-Banten ... 86 Radjimo S. Wijono

Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga dalam Perubahan ... 104 Amin Mudzakkir

Kebhinekaan Orientasi Seksual dan Identitas Gender

dalam Kemanusiaan Indonesia yang Adil dan Beradab ... 117 Dédé Oetomo

Minoritas Perantara, Kambing Hitam dan Absennya

Perlindungan Negara: Kasus Tionghoa di Indonesia ... 128 Didi Kwartanada

Masyarakat Syiah Indonesia: Antara Pembauran Sosial

dan Perlindungan Negara ... 146 Syafinuddin Al-Mandari

(2)

Ekky O Sabandi

Belenggu Diskriminasi pada Kelompok Minoritas Baha’i

di Indonesia dalam Perspektif HAM ... 172 Amanah Nurish

Problem Minoritas Kristen di Indonesia/Asia ... 183 Martin Lukito Sinaga

Tantangan yang dihadapi oleh Gereja Yesus Kristus

dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir di Indonesia ... 192 Chad F. Emmett

Riset

Kontestasi Muslim Puritan: Relasi Minoritas-Mayoritas

Muslim Model Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) ... 201 Mutohharun Jinan

Etnis Tionghoa dalam Negara Orde Baru ... 221 Yosep Adi Prasetyo

Khazanah Lokal

Teologi Harapan Romo Kirdjito ... 247 David Krisna Alka dan Khelmy K. Pribadi

Pustaka

Sejarah dan Dinamika Islamisasi Masyarakat Jawa ... 261 Ilham Mundzir

(3)

43

Tiga Problem Dasar

dalam Perlindungan Agama-agama

Minoritas di Indonesia

Ahmad Najib Burhani

‘Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?... Sudah tentu tidak!... bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”’

—Soekarno, Lahirnya Pancasila, 1947, 7—

‘Dasar Ketuhanan Yang Mahaesa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik… Ketuhanan Yang Mahaesa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran persaudaraan’

—Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 1977, 18—

Abstrak

Meski Indonesia telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama terhadap agama-agama minoritas dalam konstitusi dan perundang-undangan yang lain, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak beragama kelompok minoritas. Karena itu, pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah permasalahan ideologis atau teologis apa yang menghambat pelaksanaan hak-hak pemeluk agama-agama minoritas? Tulisan ini berargumen bahwa ada tiga persoalan dasar yang bersifat ideologis yang menghambat kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Ketiga hal itu adalah sila pertama Pancasila, paradigma tentang agama yang berkembang di masyarakat Indonesia, dan adanya penetapan bahwa subyek perlindungan adalah agama itu sendiri, bukan pemeluk agama.

(4)

Pendahuluan

Dalam konteks international, perlindungan terhadap hak-hak minoritas, termasuk di dalamnya agama minoritas, itu dijamin oleh pasal 27 dari Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa, “Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.” Peraturan yang berlaku sejak 23 Maret 1976 ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada 23 Februari 2006. Dengan meratifikasi aturan ini, seperti tercantum dalam pasal 18 dari ICCPR, maka Indonesia secara otomatis wajib menjamin kelompok agama minoritas untuk menjalankan hak-hak dan keyakinannya.

Sebetulnya, sebelum meratifikasi ICCPR itu, secara resmi Indonesia telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama dan beribadah dalam UUD 1945, pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Amandemen UUD 19451, kebebasan beragama ini juga tercantum dalam pasal 28E: “(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Perlindungan kebebasan beragama ini juga tercantum dalam Undang-undang no. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, terutama pasal 22.

Meski Indonesia telah meratifikasi ICCPR dan mencantumkan kebebasan beragama dalam konstitusi, pada kenyataannya masih banyak pelanggaran kebebasan beragama, terutama terhadap agama-agama yang

(5)

45

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

Ahmad Najib Burhani

masuk kategori minoritas.2 Mengenai definisi minoritas ini, umumnya para sarjana sepakat dengan definisi yang diberikan oleh Francesco Capotorti, mantan pakar di the UN Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (Memisoglu 2007, 4; Ghanea 2012, 4). Menurut Capotorti, yang disebut minoritas adalah, “a group, numerically inferior to the rest of the population of a State, in a non-dominant position, whose members – being nationals of the State – possess ethnic, religious or linguistic characteristics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language” (Ghanea 2012, 4-5).

Mengikuti definisi dari Capotorti tersebut, maka dalam konteks Indonesia, yang disebut dengan agama minoritas tidak hanya merujuk kepada institusi yang menyatakan dirinya sebagai agama dengan jumlah pemeluk yang kecil seperti Madraisme, Permalim, Tolotang, Petuntung, Perbegu, Aluk To Dolo, dan Kaharingan, namun juga merujuk kepada komunitas-komunitas keagamaan kecil dalam agama besar seperti Syi‘ah dan Ahmadiyah di tengah komunitas Sunni Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, keyakinan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dianggap menodai Islam yang meyakini tiadanya nabi setelah Nabi Muhammad. Untuk melindungi ‘kesucian’ agama Islam, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri lantas mengeluarkan Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahamdiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Intinya, SKB ini melarang warga Ahmadiyah menjalankan dan menyebarkan ajaran agama yang mereka anut.

Ulasan tentang perlakukan terhadap agama-agama minoritas dan penyebab berkembangnya intoleransi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998 telah banyak dilakukan sarjana (mis. Noorsalim, Mashudi, dan al-Makassary 2007; Suaedy dan Rumadi 2007). Beberapa peneliti mempersoalkan lemahnya pemerintah, kurang

(6)

berpengalamannya polisi dalam menangani kerusuhan, menyebarnya pemahaman keagaman yang radikal, dan sebagainya (Bertrand 2004; Sidel 2006; van Klinken 2009; Varshney 2010). Banyak pula yang mempersoalkan aturan-aturan hukum di Indonesia yang sering menjadi dasar sikap diskriminatif terhadap agama-agama minoritas (mis. Alfitri 2008; Colbran 2010; Crouch 2012). Karena itu tulisan ini tidak akan mengulang pembahasan itu, sebaiknya ia akan membahas tiga persoalan ontologis yang menjadi hambatan bagi Indonesia untuk berpihak atau melindungi agama-agama minoritas. Persoalan pertama berkaitan dengan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Persoalan kedua berkaitan dengan pemahaman konsep “agama”. Persoalan ketiga berkaitan dengan konsep ortodoksi dan heterodoksi.

Problem pada Sila “Ketuhanan yang Maha Esa”

Dalam berbagai perdebatan tentang sila pertama Pancasila, isu yang paling sering diangkat adalah penghapusan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada pemeluk-pemeluknya”. Kata-kata yang pada awalnya muncul dalam Piagam Jakarta itu kamudian dihapus karena protes dari kelompok non-Muslim dan kalangan nasionalis. Sebagai gantinya, sila pertama itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Sepanjang sejarah Indonesia, sepengetahuan penulis, hampir tidak ada tokoh nasional yang mempermasalahkan kata-kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama itu meskipun banyak yang tahu kalau kata-kata itu bias kepada agama-agama monotheis, terutama Islam. Buya Syafii Maarif yang sangat menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun menyatakan bahwa, “Atribut ‘Yang Maha Esa’ sesudah ‘Ketuhanan’ dalam sila pertama jelas sekali menunjukkan bahwa konsep Ketuhanan dalam Pancasila bukanlah semata fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari ajaran tauhid” (Maarif 2006, 111). Tentu saja sila ini sangat sesuai dengan Islam, tapi mengorbankan pemeluk agama minoritas seperti Hindu dan Buddha.

(7)

47

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

Ahmad Najib Burhani

1987, 177; Hasani dan Naipospos 2011, 12). Untuk bisa diakui sebagai agama, Hindu dan Buddha harus melakukan modifikasi dan rasionalisasi keyakinan sehingga mirip dengan keyakinan agama-agama monotheis. Hindu, misalnya, menetapkan “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tak terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara agama Buddha menyepakati untuk menganggap tokoh Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa Kuno, sebagai Tuhan Yang Esa (Howell 2005, 478). Padahal Hindu dikenal bukan sebagai agama monotheis, tapi polytheis, sementara Buddha adalah agama non-theis. Setelah melakukan penyesuaian, barulah dua agama ini mendapat pengakuan dari negara. Agama Hindu, misalnya, bisa mendapat tempat di Departemen Agama pada tahun 1958 setelah berjuang sejak 1952 (Picard dan Madinier 2011, 13-4).

Sebetulnya kata-kata “Yang Maha Esa” itu sempat dipersoalkan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ketika ia menerjemahkan sila pertama Pancasila itu ke dalam Bahasa Inggris. Kata-kata yang dipilih Gus Dur adalah “belief in the Almighty God” (Wahid 2001, 28 n. 1), bukan “belief in a singular God” seperti yang dilakukan oleh Robert W. Hefner (2000, 42). Penerjemahannya juga berbeda dari umumnya terjemahan Bahasa Inggris untuk sila ini, yaitu “belief in One and Only God”. Kata-kata “the Almighty God” lebih dekat kepada makna “Tuhan Yang Maha Kuasa”, meski bisa juga diterjemahkan sebagai “Tuhan Yang Maha Esa”.

Problem pada Konsep “Agama”

Ketika para pendiri bangsa ini menyebut istilah “agama” dalam konstitusi Indonesia, yang mereka pahami dengan istilah itu sepertinya mengacu pada konsep “din”, dalam Bahasa Arab, dan konsep “religion”, dalam Bahasa Inggris.3 Dalam konteks ini, apa yang disebut agama, sebagaimana ditetapkan oleh Departemen Agama, adalah sesuatu yang mesti berasal dari Tuhan melalui wahyu, dibawa oleh nabi, ditulis dalam kitab suci, berisi aturan perilaku, hukum, dan ibadah yang rapi (Picard and Madinier 2011, 13). Istilah agama atau religion itu, mengikuti Picard dan

(8)

Madinier, “neither a descriptive nor an analytical term but a prescriptive and normative one” (2011, 1). Dalam definisi ini, maka agama lokal seperti Kaharingan, Aluk To Dolo, Agama Djawa Sunda, dan Perbegu tidak bisa dikategorikan sebagai agama karena tidak memiliki kitab suci atau tidak memiliki nabi atau tidak memiliki konsep teologi yang setara dengan Islam atau Kristen. Secara bahasa, istilah ‘agama’ itu juga telah berubah dari definisi awalnya yang mencakup adat, moralitas, dan tradisi secara umum menjadi sangat khusus dengan menganggap agama-agama lokal yang telah lama ada di Indonesia sebagai kepercayaan primitive atau animisme/dinamisme (Atkinson 1987, 175).

Tentu saja definisi di atas berbeda dari definisi seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz. Bagi Geertz agama adalah: “(1) A system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic” (Geertz 1973, 90). Jika mengikuti definisi Geertz ini, maka agama-agama lokal akan masuk kategori agama, bukan kultus (cult) atau tradisi atau budaya semata. Sebetulnya pemahaman agama yang prescriptive dan normative seperti yang dipakai oleh Departemen Agama itu tidak jauh berbeda dari cara berpikir misionaris-misionaris Barat ketika datang ke Asia dan Afrika. Dengan menyebut berbagai daerah itu sebagai “unoccupied areas”, tokoh missionaries Samuel Marinus Zwemer (1930) menganggap para pemeluk agama asli di Asia dan Afrika itu sebagai orang yang tak beragama. Pemerintah kolonial Belanda juga memiliki keyakinan yang sama. Mereka memperbolehkan misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Sumatera Utara karena masyarakat sana dianggap belum beragama, meski di sana sudah ada agama lokal yang bernama Perbegu. Penganut keyakinan lokal itu dianggap sebagai orang-orang pagan semata.4 Cara pandang seperti ini adalah warisan dari “Victorian mind” yang sangat percaya dengan teori evolusi dan menganggap monotheisme sebagai puncak evolusi dari perjalanan keagamaan manusia sementara polytheisme, animism, dinamisme, dan paganisme adalah tahapan belum sempurna dari agama.

(9)

49

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

Ahmad Najib Burhani

Setelah Indonesia merdeka, cara pandang yang dipakai oleh pemerintah kolonial ini diteruskan oleh orang-orang Indonesia. Para pemeluk agama lokal boleh dijadikan rebutan oleh para misionaris agama-agama besar seperti Islam dan Kristen. Bahkan pemerintah pada tahun 1970-an menerapkan kebijakan untuk mengembalikan agama dan kepercayaan lokal ke agama yang dianggap sebagai induknya. Kaharingan dan Tolotang, misalnya, diupayakan untuk kembali ke Hindu. Sementara Wettu Telu di Sasak, Nusa Tenggara Barat, diupayakan untuk dikembalikan ke Islam. Karena dianggap sebagai bagian dari agama Buddha, maka agama Bodhe di Yogyakarta selatan dan di pegunungan Nusa Tenggara Barat selalu dijadikan sasaran Buddhaisasi.5 Meminjam kalimat Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (1987, 23), “Although the people who do not ‘yet’ have agama do not face coercive pressures to convert, the government’s message about religion surely do encourage conversion”.

Pendefinisian agama yang sangat prescriptive dan pembatasan kategori agama hanya terbatas pada agama-agama besar itu berakibat sangat buruk setelah peristiwa pemberontakan September tahun 1965. Karena dianggap tidak beragama atau belum beragama, para pemeluk agama lokal itu sering dianggap sebagai komunis atau pendukung PKI. Pandangan ini disimpulkan dengan mengambil perbandingan orang-orang abangan di Jawa yang banyak bergabung dengan PKI (Atkinson 1987, 178). Karena dianggap dekat dengan komunis, maka banyak pemeluk agama lokal itu yang menjadi korban pengganyangan PKI. Ini, misalnya, terjadi pada pemeluk Kaharingan. Menurut Ibnu Qoyim (2004, 2), ekses politik dari peristiwa 1965 dan pergolakan ideologi politik ketika itu telah mendorong terjadinya konversi agama di kalangan para penganut agama lokal. Bahkan beberapa agama lokal lantas meleburkan diri ke dalam agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah. Kalau mereka tetap pada keyakinan agama lokalnya, meminjam kalimat dari Kipp dan Rodgers (1987, 23), pemerintah terus memandang mereka dengan curiga. Hanya sedikit yang bisa bertahan dan kemudian mendapat pengakuan sebagai agama, seperti yang terjadi pada Aluk To Dolo dan Kaharingan. Setelah proses yang panjang, Aluk To Dolo di Toraja akhirnya diakui sebagai agama pada tahun 1969, sementara Kaharingan di Kalimantang Tengah mendapat pengakuan sebagai agama pada 1980 (Atkinson 1987, 268, n. 5).

(10)

Dengan melihat pemahaman tentang konsep agama di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh orang-orang di pemerintahan, Jane Atkinson (1978, 177-8) lantas menyimpulkan bahwa peraturan di Indonesia mengenai agama memiliki makna berbeda terhadap komunitas yang berbeda. Peraturan itu cenderung berpihak kepada agama mayoritas dan memberikan banyak sensor dan kecurigaan terhadap agama-agama minoritas.

Selain definisi “agama”, ada persoalan lain yang berkaitan dengan definisi, yaitu pengkategorian agama di Indonesia menjadi “agama resmi” dan “agama tidak resmi” atau “agama yang diakui” dan “agama yang tidak/belum diakui”. Istilah ini, misalnya, dipakai pada UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pada awal kemerdekaan, hanya ada tiga agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Islam, Kristen atau Protestan, dan Katolik. Lantas pada tahun 1950an, agama Hindu dan Buddha masuk dalam daftar agama yang diakui. Pada UU No. 1/ PNPS1976, ada enam agama yang diakui, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

Pada PenPres 1/1965 dan UU No. 5/1969, agama Kong Hu Cu dikeluarkan dari daftar agama yang diakui karena ketegangan hubungan Indonesia dan China yang Komunis ketika itu (Howell 2005, 474 dan 478). Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Kong Hu Cu kembali dimasukkan dalam daftar agama resmi berdasarkan Keputusan Presiden No. 6/2000. Nasib yang serupa dengan agama Kong Hu Cu dialami oleh agama Baha’i. Pada 1962, pemerintah melarang keberadaan kelembagaan agama Baha’i di Indonesia. Pada tahun 1972, larangan ini ditingkatkan; tidak hanya Baha’i sebagai organisasi, tapi agama Baha’i itu sendiri dilarang di Indonesia (Alfitri 2008, 12). Tapi pada tahun 2000, larangan ini dicabut oleh Gus Dur dengan Keputusan Presiden No. 69/2000.

(11)

51

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

Ahmad Najib Burhani

etnis China dan agama Kong Hu Cu juga mengalami hambatan untuk hidup. Begitu agama ini kembali diakui oleh pemerintah, maka perayaan Imlek mendapat dukungan pemerintah dan Seni Barongsai juga bisa ditampilkan dimana saja.

Problem pada Ortodoksi dan Heterodoksi

Dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama disebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan-kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Dalam Pasal 4, UU ini menyebutkan bahwa mereka yang melanggar aturan ini akan dijerat dengan KUHP Pasal 156a. Seperti banyak diulas oleh sarjana dan aktivis, UU ini secara jelas menyebutkan bahwa perlindungan ditujukan kepada agama, bukan umat beragama. Padahal, seperti diulas oleh Ismail Hasani dan Bonar Naipospos (2011, 11), “agama bukanlah subyek hukum. Seharusnya yang wajib dilindungi adalah warga negara.” Persoalan lainnya yang berkaitan dengan UU itu adalah berkaitan dengan siapa yang memiliki hak untuk memberikan penafsiran yang benar terhadap agama, konsep teologi Islam misalnya. UU itu seakan berasumsi adanya tafsir tunggal yang disepakati secara bulat oleh seluruh umat Islam di Indonesia, tidak ada penentangan dan perbedaan. Asumsi ini tentu saja berangkat dari lahirnya UU ini pada tahun 1965. Seperti dipaparkan oleh Nicola Colbran (2010, 681), UU ini lahir ketika tensi politik antara Partai NU dan PKI cukup panas. Untuk menjaga keutuhan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) dan demi keamanan nasional, maka pemerintah harus menghentikan ketegangan di masyarakat akibat adanya berbagai pelecehan agama. Dalam penjelasan UU ini juga dijelaskan bahwa tumbuh berkembangnya berbagai aliran kepercayaan dan kebatinan. Dan untuk mencegahnya maka UU ini perlu lahir. Menteri Agama ketika itu, Saifuddin Zuhri, adalah yang mendesak Presiden Soekarno untuk menyetujui UU ini.

(12)

berbagai aliran kepercayaan. Dan sepertinya umat Islam ketika itu sepakat. Namun konteks sekarang ini menjadi sangat berbeda. Banyak pemikiran baru yang sering dituduh sebagai penodaan agama, padahal ia dimaksudkan pelakunya sebagai konsep pembaruan. Ini misalnya yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla.

Kembali ke persoalan siapa yang berhak menjadi penentu kebenaran sebuah penafsiran Islam atau penentu apakah sebuah ajaran orthodoks atau tidak, Islam memiliki karakter yang sangat berbeda dari Katolik (Asad 1986; Calder 2000; Jackson 2002). Islam tidak memiliki sistem ala gereja atau sinod. Islam, terutama Sunni, juga tidak memiliki pemimpin tertinggi seperti Paus. Pendeknya, tidak ada institusi dalam Islam yang mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan mana penafsiran agama yang benar dan mana yang salah. Pada awal abad ke-20, misalnya, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah saling menuduh bahwa kelompok lawan memiliki pemahaman keagamaan yang sesat, bahkan kafir. Sekarang dua kelompok ini disebut sebagai dua model ajaran ortodoks dalam Islam di Indonesia (Saleh 2001). Untuk saat ini, asumsinya, penafsiran agama yang benar adalah yang disetujui oleh institusi-institusi agama besar seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis). Tapi dalam kenyataannya, dalam banyak kasus mereka berbeda satu sama lain. Dalam kasus Syi‘ah, misalnya, NU Jawa Timur menyebut Syi‘ah sesat sementara NU Pusat menyebut NU tidak mengakui yang demikian itu. Pada tahun 1984, MUI Pusat menghimbau umat Islam agar waspada terhadap paham Syi‘ah, tapi MUI tidak menyebutnya sebagai ajaran sesat. Berbeda dengan MUI Pusat, pada tahun 2012 MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Syi‘ah adalah “sesat dan menyesatkan”. Pendeknya, karena Islam tidak mengenal institusi resmi yang bisa memberikan kata akhir tentang benar atau salahnya penafsiran keagamaan atau paham teologi seseorang, maka sebuah penafsiran akan selalu menjadi subyek perdebatan.

(13)

53

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

Ahmad Najib Burhani

Kesimpulan

Indonesia telah berupaya menjamin kebebasan beragama dan melindungi hak-hak pemeluk agama minoritas. Selain menegaskan i’tikad itu dalam konstitusi dan perundang-undangan yang lain, pemerintah juga meratifikasi aturan hukum internasional, seperti ICCPR, yang melindungi pemeluk agama-agama minoritas. Namun masih banyak perilaku diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas, terutama pada dekade terakhir ini. Ada tiga persoalan dasar yang bersifat ideologis yang menjadi penyebab masih berlangsungnya pelanggaran hak-hak beragama kelompok minoritas. Pertama adalah sila pertama Pancasila. Kedua adalah paradigm berpikir tentang agama yang diskriminatif. Ketiga adalah pemihakan pemerintah terhadap pemahaman agama ortodok.

Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sila yang bias kepada agama monotheis, terutama Islam, dan mengeluarkan dari sila itu agama-agama non-monotheis seperti Hindu dan Buddha. Konsep tentang “agama” yang biasa dipahami masyarakat Indonesia, terutama pelaku pemerintahan, banyak dipengaruhi Victorian mind yang percaya pada evolusi agama dan tidak menganggap sebagai agama keyakinan-keyakinan lokal seperti Kaharingan dan Permalim. Lebih lanjut dari itu, dikotomi antara “agama resmi” dan “agama tidak resmi” atau “agama yang diakui” dan “agama yang tidak/belum diakui” menyebabkan perlakukan yang berbeda antara pemeluk dua jenis agama itu. Terakhir, perlindungan pemerintah kepada agama, dan bukan pemeluk agama, menjadikan pemerintah berpihak pada keyakinan yang diakui sebagai ortodok atau benar dan mengorbankan pemahaman atau keyakinan yang dianggap heterodok.

vvv

Daftar Pustaka

Alfitri. “Religious Liberty in Indonesia and the Rights of “Deviant” Sects”.

Asian Journal of Comparative Law. 3.1 (2008): 1-27.

Asad, Talal. The idea of an anthropology of Islam. Washington, D.C.: Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, 1986.

(14)

Bertrand, Jacques. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2004.

Boyle, Kevin, and Juliet Sheen. Freedom of religion and belief: a world report. London: Routledge, 1997.

Braun, Willi, and Russell T. McCutcheon. Guide to the study of religion. London: Cassell, 2000.

Calder, Norman. The limits of Islamic orthodoxy. In Intellectual traditions in Islam, ed. Farhad Daftary, 66-86. London: I.B. Tauris in association with the Institute of Ismaili Studies, 2000.

Colbran, Nicola. “Realities and Challenges in Realising Freedom of Religion or Belief in Indonesia”. The International Journal of Human Rights. 14.5 (2010): 678-704.

Colbran, Nicola. “Indigenous Peoples in Indonesia: At Risk of Disappearing as Distinct Peoples in the Rush for Biofuel?” International Journal on Minority and Group Rights. 18.1 (2011): 63-92.

Crouch, Melissa. “Judicial Review and Religious Freedom: The Case of Indonesian Ahmadis”. Sydney Law Review, 34.3 (2012): 545-572. Davy, Barbara Jane. Paganism. London: Routledge, 2009.

Geertz, Clifford. The interpretation of cultures: selected essays. New York: Basic Books, 1973.

Ghanea, N. 2012. “Are Religious Minorities Really Minorities?” Oxford Journal of Law and Religion. 1.1 (2012): 57-79.

Gilani, S. Zulfiquar. “Ahmedis and the problem of national identity in Pakistan.” In Religious minorities in South Asia: Selected essays on post-colonial situations, eds. Monirul Hussain and Lipi Ghosh, 129-46. New Delhi: Manak Publications, 2002.

Hasani, Ismail and Bonar Tigor Naipospos. Mengatur kehidupan beragama; Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011. Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila: pidato peringatan lahirnya Pancasila,

tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Jakarta: Idayu Press, 1977.

Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2000.

Higginbotham, Joyce, and River Higginbotham. Paganism: an introduction to earth-centered religions. St. Paul, Minn: Llewellyn Publications, 2002. Howell, Julia. “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia:

(15)

55

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

Ahmad Najib Burhani

Jackson, Sherman A. On the boundaries of theological tolerance in Islam: Abû Hâmid al-Ghâzalî’s Fayshal al-Tafriqa bayna al-Islâm wa al-zandaqa. Karachi: Oxford University Press, 2002.

Klinken, Gerry Van. Communal Violence and Democratization in Indonesia Small Town Wars. Routledge, 2009.

Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila sebagai dasar negara: studi tentang perdebatan dalam konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006.

Memisoglu, Fulya. “The European Union’s Minority Rights Policy and Its Impact on the Development of Minority Rights Protection in Greece.” Paper prepared for the 3rd Hellenic Observatory PhD Symposium on Contemporary Greece: Structures, Context and Challenges Hellenic Observatory, European Institute, LSE, June 14-15, 2007.

Noorsalim, Mashudi, M. Nurkhoiron, and Ridwan Al-Makassary. Hak minoritas: multikulturalisme dan dilema negara bangsa. Lenteng Agung, Jakarta: Interseksi Foundation, 2007.

Picard, Michel, and Rémy Madinier. The politics of religion in Indonesia:

syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali. Abingdon, Oxon: Routledge, 2011.

Qoyim, Ibnu. Agama Lokal dan Pandangan Hidup: Kajian tentang Masyarakat Penganut Religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Parmalim), Saminisme dan Agama Jawa Sunda. Jakarta: PMB-LIPI, 2004.

Saleh, Fauzan. Modern trends in Islamic theological discourse in 20th century Indonesia a critical study. Leiden: Brill, 2001.

Sidel, John Thayer. Riots, pogroms, jihad: religious violence in Indonesia. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 2006.

Suaedy, Ahmad, and Rumadi. Politisasi agama dan konflik komunal: beberapa isu penting di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute, 2007.

Sukarno. Lahirnya Pantjasila: pidato Bung Karno, sekarang P.J.M. Presiden R.I. pada tanggal 1 Djuni 1945 dimuka sidang jang pertama Badan Penjelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Jakarta: Departemen Penerangan R.I. Penerbitan Khusus nomor 153, 1947.

Varshney, Ashutosh (ed.). Collective violence in Indonesia. Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2010.

Wahid, Abdurrahman. “Indonesia’s Mild Secularism”. SAIS Review. 21.2 (2001): 25-28.

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD merupakan semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah

Algoritma Genetika digunakan untuk mencari parameter filter daya aktif (APG) untuk meminimalkan prosentase THD dari Arus sumber (Is) setelah kompensasi.. Sesuai dengan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk menganalisis pengaruh umur dan jumlah tanggungan

Sehingga diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan jenis agen pengendap alami yang dapat digunakan dalam pembuatan tahu, mengurangi penggunaan agen pengendap

Ekspor Vanila Indonesia ke Prancis meningkat pesat dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2014) dari nilai expor sebesar 3.000 $ menjadi 455.000 $, peningkatan

Hingga pada pagi harinya kedua belas murid Tuhan Yesus mengikuti perjalanan Sang Guru menuju ke sebuah bukit sambil memanggul batu yang cukup besar di pundak mereka,

Sehubungan dengan faktor kurangnya pengendalian bahan baku makanan yang terdapat pada general store pada Banana Inn Hotel Bandung pada total biaya persediaan, maka

4 Efisiensi Perombakan Zat Warna pada Variasi Lama Waktu Inkubasi Sebanyak 1 mL suspensi bakteri dimasukkan ke dalam tabung ulir ukuran 10 mL yang 1/3 bagiannya berisi media