• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI MAHASISWA TIDAK BERTATO TERHADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSEPSI MAHASISWA TIDAK BERTATO TERHADA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI MAHASISWA TIDAK BERTATO TERHADAP FENOMENA TATO DI KALANGAN MAHASISWA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Tri Hariyadi Setya Wardhana

Yuyun Agus Riani, S.Pd., M.Sc

Fitri Hariana Oktaviani, SS., SE., M.Commun

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya

Malang

2014

ABSTRACT

Tattoo is one of the manifestations of artifactual communication. Artifactual communication is non-verbal forms of communication that takes place through a variety of artifacts, in this case including tattoos drawn in a person's body. People who see tattoos will receive the

message and perceive people with tattoos in the form of an assessment of his performance. The purpose of this study was to determine the perception of Brawijaya University students who are not tattooed to the tattoo phenomenon among students.

Informant selection techniques used in this study is purposive sampling. Researcher found 8 (eight) main informants from Brawijaya University that were selected according to the criteria. In addition, researchers also gather information from additional informants to be used as comparison. Data collection techniques in this study are observation and interviews. Data analysis technique was selected interactive analysis technique that is suitable to interpretative qualitative approach.

The results of this study reveal that majority of UB students perceive that a student should not use the tattoo because it does not reflect educated individuals. Students who are considered intellectuals are expected to be role models and even the nation's next generation and they are expected not to wear any tattoe because it is still considered taboo by society. In addition, students wearing tattoos are considered difficult to get a job. Students who get tattooed at Brawijaya University are considered to look lazy and exclusive although they do not always behave that way. Religious factors, social environment, cultural factors are also job potencies are the most dominant reasons that affects the informants’ perceptions on tattoed students.

(2)

PENDAHULUAN

Tato merupakan salah satu perwujudan dari komunikasi artifaktual. Komunikasi artifaktual adalah bentuk komunikasi non-verbal yang berlangsung melalui berbagai artefak, dalam hal ini termasuk tato yang digambar dalam tubuh seseorang, yang dapat menyampaikan pesan kepada penglihatnya dan memberikan pernyataan tentang pemakainya (Istiyanto, 2010, h.14). Seseorang yang melihat tato akan mengelola pesan dari objek tato yang dilihat tersebut, lalu mempersepsikan dalam bentuk penilaian terhadap penampilannyakarena tato merupakan pesan yang disampaikan secara tidak langsung untuk merangsang efektivitas komunikasi.

Seperti yang dikemukakan Cangara(2004, h.122)“media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi”. Media massa yang merupakanmedia sekunder dalam sebuah proses komunikasi dapat lebih efisien dalam mencapai komunikan (Effendy, 2005, h.17). Kekuatan media massa dalam membentuk stigma masyarakat terhadap tato ditunjukan dalam pemberitaan kriminal yang ditayangkan dalam berbagai media visual yang umumnya menyorot bagian tubuh yang bertato. Perlakuan ini mengakibatkan munculnya persepsi masyarakat bahwa tato merupakan salah satu sisi dari kriminalitas karenamenurut teori Agenda settingmedia dapat menimbulkan efek bagi publik terhadapsegala isuyang diinformasikan,termasuk kemampuan untuk menciptakan pencitraan-pencitraan kehadapan publik melalui tayangan sebuah berita sehingga timbul asumsi dari publik yang biasanya tidak sesuai dengan realitas yang ada (Effendy,2005, h.288). Seperti yang terjadi pada beberapa liputan berita criminal yang diliput di media yang menunjukkan para tersangka yang mayoritas mempunyai tato di

tubuhnya membuat masyarakat beranggapan bahwasanya para pengguna tato identik dengan tindak kejahatan dan kekerasan.

Terkait dengan hal ini, masyarakat mempunyai persepsi tersendiri terhadap tato dan pengguna tato. Persepsi merupakan bagian keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterapkan pada manusia, subproses psikologis lainnya yang mungkin adalah pengenalan, perasaan, dan penalaran (Sobur, 2003, h.446). Setelah melakukan pengamatan disekitarnya, masyarakat akan menilai bagaimana pendapatnya mengenai tato yang dilihatnya, berdasarkan bentuk tato dan perilaku pengguna tato itu sendiri.Persepsi pada dasarnya terjadi ketika seseorang sedang mengamati orang lain yang sedang mengkomunikasikan sikap maupun perilakunya dalam suatu lingkup. Menurut Mulyana (2004, h.86) persepsi adalah cara menanggapi, cara melihat, daya memahami dan menanggapi terhadap sesuatu hal. Maksudnya adalah persepsi muncul sebagai hasil dari penglihatan, tanggapan, dan pemahaman seseorang terhadap suatu hal di luar dirinya. Selanjutnya dari hasil persepsi ini akan diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan yang nyata (Mulyana, 2004, h.87). Setelah masyarakat mengeluarkan persepsinya, maka akan timbul penilaian akhir yang berkaitan dengan hal-hal yang telah diamati.

(3)

sekarang sedang mengalami perubahan dengan banyaknya mahasiswa yang bertato. Semakin berkembangnya zaman dan dunia seni, semakin beragamnya desain-desain tato dan pengaruh dari media massa membuat tato pada masa sekarang lebih dianggap pada hasil karya seni.

Berdasarkan pengamatan di lingkungan Universitas Brawijaya terdapat banyak mahasiswa yang bertato. Pada perkumpulan-perkumpulan mahasiswa di kampus sering dijumpai mahasiswa yang bertato. Mulai dari tato yang kecil dibeberapa bagian tubuh seperti lengan, kaki sampai tato yang berukuran besar di hampir semua bagian tubuh. Ada yang terang-terangan menunjukkan gambar tatonya dan ada juga yang masih menyembunyikan. Selain itu berdasarkan pengamatan awal di komunitas pencinta tato di Malang, banyak pula anggotanya yang berasal dari Universitas Brawijaya. Menurut hasil wawancara dengan informan pendukung, saudara Yula, yang merupakan seorang Tattoo Artist, ketua Malang Tatto Comunnity (MTC),jumlah anggota MTC mencapai hampir 200 orang yang sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa dari Universitas di Malang, khususnya Universitas Brawijaya. Hal ini menunjukkan bahwasanya banyak mahasiswa Universitas Brawijaya yang bertato.

Penelitian terhadap fenomena tato sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Anwar (2009) di lungkungan Universitas Sumatera Utara.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tato mendapat respon yang baik dari responden. Responden menganggap bahwa simbolik tato merupakan seni keindahan yang menggambarkan bentuk dari ekspresi perasaan penggunanya. Akan tetapi penelitian ini menggunakan subjek persepi mahasiswa terhadap fenomena tato di masyarakat umum dan tidak meneliti bagaimana persepsi mahasiswa jika yang bertato adalah kalangan mahasiswa itu sendiri. Inilah perbedaan penelitian ini dengan penelitian Anwar di atas. Pada penelitian ini lebih menekankan bagaimana persepsi mahasiswa Universitas Brawijaya terhadap

fenomena tato yang terjadi di kalangan mahasiswa dan bagaimana penilaian mereka tentang perilaku mahasiswa yang bertato dalam kehidupan di kampus.

Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana persepsi Mahasiswa yang tidak bertatoterhadap fenomena tato dikalangan MahasiswaUB (Universitas Brawijaya) karena menurut pengamatan pra penelitian peneliti, Mahasiswa bertato di UB semakin banyak, baik yang tergabung dalam komunitas maupun karena keinginan pribadi. Dengan banyaknya pengguna tato dari kalangan Mahasiswa yang notabene adalah kaum intelektual dan panutan bagi masyarakat tersebut, menimbulkan pertanyaan apakah pandangan ke arah tato masih negatif atau justru mendongkrak popularitas tato karena disandang oleh mahasiswa.

TUJUAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang tidak bertato terhadap fenomena tato yang ada dikalangan Mahasiswa.

METODE

(4)

kesimpulan berupa pemahaman umum tentang kenyataan-kenyataan tersebut (Sugiyono, 2011, h.213).

Penelitan ini memiliki sifat deskriptif dengan analisis induktif, seperti disebutkan dalam (Rakhmat, 2009, h.25), bahwa penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan tentang karakterisitik (ciri-ciri) individu, situasi atau kelompok tertentu.

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif interpretatif agar mendapatkan suatu kealamiahan data secara utuh, dengan metode deskriptif agar dapat melukiskan segala gejala yang ada dan bisa mengidentifikasi masalah-masalah tersebut.

Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan persepsi yang diteliti lebih spesifik yang mencakup dua hal, yaitu:

Persepsi terhadap objek tato, maksudnya adalah bagaimana persepsi informan terhadap objek tato secara umum, jadi lebih kepada tato bukan individunya.Maksudnya bagaimana persepsi informan mengenai bentuk dari gambar tat itu sendiri. Hal ini bertujuan untuk mengetahui penilaan informan tentang tato secara umum juga atas dasar apa informan berpersepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi.  Persepsi terhadap Mahasiswa bertato, maksudnya

adalah bagaimana persepsi informan terhadap mahasiswa yang memiliki tato ditubuhnya juga bagaimana ketika mahasiswa tersebut ketika berada dalam lingkup Civitas akademika juga ketika berada diantara mahasiswa lainnya.Informan yang dipilih adalah informan yang mempunyai teman mahasiswa yang bertato yang sering berinteraksi baik dalam lingkungan kampus. Hal ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku pengguna tato tersebut ketika berinteraksi sosial.

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang tidak memiliki tato dan mempunyai beberapa teman yang bertato di lingkungan Universitas Brawijaya yang dipilih secara langsung oleh peneliti. Lokasi penelitian dan informan sengaja dipilih di Universitas Brawijaya, selain peneliti sudah menguasai lokasi juga sebelumnya peneliti sudah melakukan pengamatan pra-penelitian bahwasanya memang di UB banyak Mahasiswa bertato walaupun hanya sebagian kecil dari tiap fakultasnya.

Kriteria informan utama yang digunakan adalah:

 Informan tersebut tidak memiliki tato ditubuhnya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan pernyataan murni tanpa ada pembelaan diri bagi dirinya yang bertato. selain juga menurut peneliti jawaban didapat akan lebih luas tanpa melihat batasan yang ingin ditutup-tutupi oleh informan.  Informan tersebut tidak memiliki hubungan khusus

(misalnya kekasih) dengan mahasiswa bertato. Hal ini dimaksudkanuntuk menghindari bias jawaban dari informan yang kesannya nanti apa yang diutarakan adalah dibuat-buat.  Informan tersebut mengenal teman perkuliahan yang bertato di lingkungan kampus. Hal ini dimaksudkan agar informan tahu bagaimana keseharian, perilaku temannya yang bertato ketika berinteraksi sosial.

(5)

 Informan tersebut dari Ras atau Suku yang berbeda diantara informan lainnya, dikarenakan ada kalanya tato merupakan sesuatu kebudayaan pada suku tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban yang lebih variatif dan mengingat adanya keragaman budaya yang ada di Universitas Brawijaya.

Dari informasi yang didapat peneliti mendapatkan 8 (delapan) informan utama yaitu mahasiswa Universitas Brawijaya yang dipilih sesuai kriteria diatas. Selain itu peneliti juga menggali informasi dari beberapa informan pendukung dijadikan bandingan dari informan utama. Informan pendukung yang peneliti pilih adalah Pemilik “Yoe-ink” Tatto Studioyang beroperasi di Jalan Ijen dan Landungsari Kota Malang.Peneliti memilih Yula dikarenakan dia adalah seorangTattoo Artist, ketua Malang Tatto Comunnity (MTC)sekaligus bagian dari pemerhati keragaman Budaya Indonesia khususnya tato yang tergabung dalam Indonesian Sub Culture (ISC)yang sudah dikenal oleh beberapa kelompok mahasiswa bertato di UB. Yula adalah pembuat tato yang pernah mengemban ilmu di perguruan tinggi sehingga dianggap tahu oleh peneliti bagaimana kehidupan di kampus dengan beragam budaya yang dapat mempengaruhi tiap mahasiswanya, seperti tato.

Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur terhadap 8 informan utama dan 1 orang informan pendukungyang bersifat terbuka dimana dalam pelaksanaannya peneliti akan menanyakan beberapa pertanyaan tentang bagaimana informan menyikapi, memaknai dan memberikan tanggapan tentang fenomena tatoyang ada di lingkungan kampus saat ini, juga faktor atau alasan yang mempengaruhi informan dalam berpresepsi selain juga mengetahu sejauh mana pengetahuan informan mengenai tato.Tujuan dari wawancara ini adalah untuk

menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, alasan dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti akan mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan (Sugiyono, 2007, h.74). Wawancara dalam kualitatif pada umumnya tidak dilakukan secara terstruktur ketat dengan pertanyaan tertutup seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dilakukan secara semi struktur. Subyek yang diteliti disini lebih berperan sebagai informan dari pada responden. Selama penelitian, peneliti membutuhkan waktu untuk wawancara rata-rata (30 menit) dari tiap informan.

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis interaktif Miles dan Huberman dalam (Rohendi, 1994, h.20). Teknik analisis ini dipilih berdasarkan kesesuainnya dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Tahapan kerja terbagi menjadi tiga komponen, yaitu :

1. Reduksi Data

(6)

Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan dengan tidak menampilkan semua pernyataan para informan dan hanya menampilkan pernyataan yang berkaitan dengan analisis dalam pembahasannya.

2. Penyajian Data

Merupakan proses penyusunan atau merancang seluruh data secara teratur agar mudah dianalisis. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses penarikan kesimpulan. Dalam proses ini peneliti mengelompokkan hal-hal serupa menjadi kategori atau kelompok. Dalam proses ini data diklasifikasikan berdasarkan tema-tema inti.

3. Menarik Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan menyimpulkan makna-makna yang muncul dari data yang harus diuji kekokohan dan kecocokannya. Selain memberi kesimpulan, peneliti juga akan memberikan saran-saran sebagai rekomendasi tentang studi lanjutan dan kebijakan-kebijakan yang akan datang.

Ketiga komponen diatas merupakan bagian yang saling berinteraksi dengan pengumpulan data sebagai pegangan utama. Apabila data yang dihasilkan belum mencukupi dalam ketiga bagian tesebut, peneliti akan mengumpulkan data kembali dengan menyusun penggalian data yang baru, sehingga diperoleh hasil yang pas (Denzin dan Lincoln, 2009, h.592).

Teknik triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi ”Sumber". Teknik ini dilakukan dengan cara menggali kebenaran informasi melalui berbagai sumber data. Hal ini dapat dicapai dengan cara membandingkan data hasil wawancara dariinforman utama

dengan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi (Moleong, 2007, h.331).

Disini peneliti tetap menggunakan teknik wawancara namun menggali informasi dari sumber informan lain, misalnya informan pendukung. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan data yang diporeleh dari informan utama agar dapat meminimalisir jawaban yang bias sehingga hasil penelitian dapat lebih baik dan kokoh.

Dalam melakukan sebuah penelitian, terdapat aturan yang harus ditaati peneliti agar dalam penelitian tersebut berjalan dengan lancar tanpa adanya pihak yang dirugikan maupun yang dipaksakan. Hal-hal yang dilakukan demi menjaga penelitian adalah:

1. Peneliti harus memperlakukan partisipan dengan baik atau terhormat. Maksudnya dalam meminta jawaban kepada informan, peniliti harus bersikap sopan, santun tanpa adanya ancaman, paksaan maupun perlakuan yang merugikan informan.

2. Menjaga kerahasiaan Identitas dan Informasi dari partisipan. Maksudnya, dalam menggali informasi diharapkan ada kesepakatan antara informan dan peneliti dalam publikasi identitas sumber. Dalam penelitian iniidentitas dan informasi informan ditampilkan berdasarkan persetujuan dari informan.

(7)

untuk efektivitas jawaban nantinya kecuali memang bersifat rahasia (Rahardjo, 2007, h.67).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persepsi Mahasiswa Tidak Bertato Terhadap Tato Secara Umum

Berdasarkan hasil wawancara, (Pedoman Wawancara No. 1) tentang apakah para informan mengetahui tentang tato, para informan mengatakan hal yang hampir sama yaitu semua informan mengetahui tentang tato. Bermacam-macam pendapat yang diutarakan untuk menjelaskan mengenai makna tato. Beberapa informan menganggap bahwa tato adalah sebuah karya seni murni dan gaya hidup masa kini, yaitu Saudara Herman dan Fajar.

“Menurut saya, Tato itu sebuah karya seni yang dipermanenkan

dengan media tubuh seseorang.” (Herman, wawancara : 10-06-2013)

“Tato itu kalau menurut saya adalah hasil sebuah seni melalui media

tubuh untuk mengekspresikan diri seseorang yang membuatnya.” (Fajar, wawancara : 15-06-2013)

Dalam memaknai tato, faktor lingkungan tempat tinggal sekitar juga dapat mempengaruhi seseorang dalam mengenal tentang tato. Komang yang berasal dari Bali mengatakan bahwa banyaknya kawasan wisata di Bali membuat tato selain dijadikan sebagai kesenian juga dijadikan sebagai ladang bisnis yang cukup menjanjikan. Seperti pendapat Komang berikut ini:

“Di Bali dekat tempat tinggal saya banyak sekali pembuat tato. Kalau

pendapat saya sih tato adalah gambar yang diabadikan ke bagian tubuh tertentu yang mencerminkan kepribadian seseorang selain juga dapat dijadikan pekerjaan seorang seniman untuk mendapatkan uang.” (Komang, wawancara 07-06-2014)

Menurut Komang, memang di sekitar tempat tinggalnya khususnya bagi penduduk asli Bali. Tato bukan sekedar untuk gaya-gayaan atau tren tetapi lebih kepada menunjukkan kelompok Ormas atau geng individu tersebut.

Beberapa informan memiliki pandangan yang berbeda mengenai makna tato antara jaman dahulu dibandingkan dengan jaman sekarang. Jika dahulu tato identik dengan premanisme dan kejahatan, tapi mereka menganggap tato adalah perwujudan karya seni yang tidak selalu berkaitan dengan kejahatan.

“Saya tahu tato kalau di daerah saya ada yang bertato dahulu identik dengan preman dan kejahatan, tapi setelah saya kuliah di Malang banyak yang menilai tato sekarang lebih ke hasil karya seni. Dahulu tato itu identik dengan para preman Mas, banyak berita-berita kriminal yang meliput kejahatan dengan pelakunya yang bertato. Tapi sekarang nggak semua orang bertato itu jahat, contohnya para artis, mereka bertato tapi tidak jahat. Jadi tato sebagai wujud mereka dalam mengapresiasi seni ke dalam tubuh mereka”,” (Azizah, wawancara 07-06-2014)

Menurut Azizah, berdasarkan pengalamannya melihat tato, tato lebih menekankan kepada penilaian berdasarkan perilaku dan hati seseorang tanpa memandang remeh tampilan fisik seseorang apakah dia itu memiliki tato atau tidak.

Ada juga yang menilai bahwa tato adalah salah satu identitas kelompok tertentu. Terutama dalam suku Dayak di Kalimantan, bahwa tato merupakan salah satu suatu tanda kebudayaan yang sangat bernilai dan dimiliki oleh sebagian besar suku Dayak asli. Dan tentu saja memiliki arti dan makna tersendiri bagi suku tersebut. Davin, yang berasaldari Dayak berkata demikian:

(8)

Dan tentu saja memiliki arti dan makna tersendiri.” (Davin, wawancara 17-06-2013)

Informan pendukung yang merupakan ketua komunitas tato di Malang, Saudara Yula menganggap tato adalah karya seni yang digambarkan ke dalam tubuh seseorang.

“Tato itu seni. Jadi sekarang banyak orang yang tertarik dengan seni merajah tubuh. Belakangan berkembang tato sebagai karya seni yang

dinikmati banyak orang. “banyak kok Mas orang yang justru senang

melihat tato yang tergambar di tubuh seseorang. Dulu ada yang menghampiri saya dan bertanya mengenai tato yang ada di tubuh saya itu gambar apa, menunjukkan makna apa. Dia kelihatan sangat menikmati hasil seni yang tergambar lewat tato” (Yula, wawancara 14-06-2013).

Tidak semua orang yang bertato itu jahat. Bahkan menurutnya, komunitas tato di Malang juga sering mengadakan kegiatan amal. Jadi tidak semua hal yang berkaitan dengan tato itu menunjukkan hal yang tidak baik.

Kesimpulannya, semua informan mengetahui apa itu pengertian tato dan terjadi pergeseran persepsi jika dahulu identik dengan premanisme maka sekarang cenderung mengarah ke karya seni. Dalam hal ini terdapat respon positif dari narasumber terhadap fenomena tato karena objek tato disini masih bersifat umum dan memaknainya sebagai seni.

Tato merupakan suatu bentuk Komunikasi Artifaktual yang dapat dimaknai sesuai dengan pemahaman yang menilainya. Seseorang dapat berkomunikasi melalui simbol atau objek-objek lain (Artifak), seperti misalnya tato. Konsep komunikasi Artifaktual mengacu pada bagaimana seseorang memberikan pemaknaan kepada orang lain yang dilihat dari penampilannya secara fisik.Tatodapat mewarnai persepsi seseorang dalam mengintrepretasi sebuah pesan melalui penampilan fisik orang

lain. Beberapa informan menganggap bahwa tato adalah sebuah karya seni murni dan gaya hidup masa kini. Seperti pendapat Andri yang mengatakan pada masa sekarang banyak orang yang bertato supaya terlihat lebih trendi dan gaya.

Berdasarkan hasil wawancara, (Pedoman Wawancara No. 2) tentang dimana dan bagaimana pendapat informan ketika pertama kali melihat tato, ada beberapa informan yang kurang suka melihat tato danada juga yang suka jika tatonya sederhana saja.

Berdasarkan hasil wawancara, semua informan pertamakali melihat tato ketika berada di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka seperti di pasar dan pusat perbelanjaan. Selain itu juga ada yang melihatnya di media televisi.

Komang mengaku tidak suka ketika pertama kali melihat tato. “Kurang suka. Nggak baik buat kesehatan, terlihat kotor juga. Pertama kali melihat di sekitar rumah.” (Komang, wawancara 07-06-2014).Sedangkan Zizahdan Andri mempunyai pengecualian, mereka menganggap jika tatonya sedikit, dan gambarnya bagus, dia suka, akan tetapi jika tatonya penuh di sekujur tubuh, dan gambarnya tidak jelas, mereka tidak suka, karena hal itu cenderung tidak enak dilihat dan terkesan urakan.

“Di sekitar rumah dan di pasar-pasar dulu banyak yang tatoan. Kalau

sedikit dan bentuknya baik suka. Rapi dilihatnya. Tapi kalau penuh gak suka. Soalnya kelihatan ga tertata banget. Juga kelihatan kumuh. Sejak kecil saya suka gambar, tapi yang simple-simpel saja gambarnya, jadi kalau lihat tato Cuma suka yang simple saja. ” (Azizah, wawancara 07-06-2014)

“Pertamakali aku ngelihatnya di sekitaran rumah Mas, lumayan Suka

(9)

Azizah dan Andri menganggap dalam semua hal, termasuk tato, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Azizah yang meskipun tinggal di Pesantren, sejak kecil dia suka menggambar dan melihat gambar-gambar yang sederhana. Sehingga ketika melihat tato, dia cukup suka kalau tatonya juga bergambar simple, tidak penuh seluruh tubuh. Membuat tato memang dilarang agama, tapi melihat hasil karya seni seperti tato tidaklah dilarang.

Beberapa informan mengaku menyukai ketika pertamakali melihat tato. Salah satunya adalah Herman,berikut ini :

“Pertama kali melihat dari orang tua karena orang tua saya bertato.

Pertama kali melihat perasaanya Tato cukup menarik, mungkin karena masih kecil jadi suka dengan gambar-gambar. Dulu juga sering bertanya tentang apa maksud dari gambar yang ada di tato orang tua Tato cukup menarik dan memiliki makna, orang yang menggambar tato di tubuhnya pasti memiliki kenangan tertentu mengenai sebuah kejadian, jadi mereka mengabadikannya di tubuh mereka sebagai pengingat kejadian tersebut. Selain itu saya suka main

game Tekken. Para pemainnya punya tato yang keren.” (Herman,

wawancara : 10-06-2013)

Dari pernyataan Herman yang berasal dari Batak dapat diambil garis tengah bahwa faktor lingkungan mempengaruhi dia dalam memberikan pandangan sebuah tato karena berasal dari keluarga yang mengenakan tato. Sehingga sudah terbiasa melihat tato dari kecil dan unsur kedekatan terhadap tato cukup erat. Selain faktor tersebut pandangan herman terhadap tato juga dipengaruhi game kesukaanya semasa kecil yaitu Tekken dimana banyak tokoh dalam game tersebut yang bertato sehingga membentuk pola pikirnya dalam memaknai tato.Oleh karena itu dalam memandang tato Herman lebih menekankan pada sisi seni dan memori makna yang tergambar dalam sebuah tato.

Sedangkan Davin meskipun berasal dari Suku Dayak, dia tidak menyukai tato. Alasan yang diungkapkannya karena dia adalah seorang Muslim, tato dilarang agama serta kedua orang tuanya juga tidak bertato. Kedua orang tuanya meskipun berasal dari Suku Dayak, sudah tinggal agak jauh dari pemukiman orang Dayak, jadi mereka tidak terpengaruh dengan keinginan membuat tato.

“Saya pertama kali lihat waktu masih kecil. Karena saya berasal dari suku dayak, maka tato bukan hal yang asing lagi karena memang tato sudah menjadi sebuah ciri khas dan bahkan menjadi sebuah identitas bagi suku dayak dan tiap suku yang ada mempunyai motif yang berbeda-beda juga disesuaikan dengan tingkat kedudukan seseorang di masyarakat. Tapi jujur saya kurang suka dengan tato karena saya muslim, kedua orang tua saya meskipun dari dayak tetapi mereka tidak bertato, karena sejak kecil saya orang tua tinggal agak jauh dari perkampungan Dayak, jadi mereka tidak terpengaruh membuat tato.” (Davin, wawancara 17-06-2013)

Fajar berpendapat ketika pertama kali melihat tato dia cukup kagum apabila dilihat dari segi keindahan gambarnya. Sedangkan Putra dan Dina berpendapat tato memiliki makna untuk sebuah karya seni yang bernilai tinggi. Putra yang memiliki hobi touring dan suka berkumpul dengan teman-temannya membuatnya lebih terbuka dalam memaknai arti sebuah tato.

“Pertama kali melihat d lingkungan sekitar.Mengagumkan jika dilihat dari sisi keindahan bentuk tato. Ada pesan-pesan tersembunyi dibalik

gambar tato.” Fajar, wawancara : 15-06-2013)

(10)

sayapembuatan tato membutuhkan keahlian yang khusus. Dan Memiliki tingkat seni yang tinggi. (Dina, wawancara 07-06-2014)

“Lihat pertama kali di lingkungan sekitar tempat tinggal, di televisi

juga. Unik, memiliki nilai seni yang indah.” (Putra, wawancara 15-06-2013)

Saudara Yula sebagai informan pendukung, mengaku pertama kali melihat tato di rumahnya sendiri, karena orang tuanya sendiri memiliki tato.

“Orang tuaku tatoan. Jadi udah dari kecil sudah mulai tau dan melihat tato sehari-harinya. Memang karena kebiasaan dari kecil melihat gambar tato yang lumayan bagus, akhirnya jadi suka banget sama tato. Nyaman dilihat, bentuknya bagus-bagus.” (Yula, wawancara 14 -06-2013).

Ketika pertama kali melihatnya dia merasa nyaman dan mempunyai makna yang indah. Dengan kondisi lingkungan yang mendukung dengan pembuatan tato, Yula akhirnya sangat menyukai tato dan mempunyai keinginan suatu saat akan membuat tato di tubuhnya.

Lingkungan dan mengenai bentuk tato yang pertamakali mereka lihat akan mempengaruhi persepsi seseorang mengenai pandapat mereka saat melihat tato. Jika di lingkungan tempat tinggal sudah terbiasa dengan pemandangan orang-orang yang bertato, maka pendapatnya ketika melihat tato biasa-biasa saja. Pemahaman informan mengenai tato mereka dapat ketika berada di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang besar terhadappola pikir informan karena secara tidak langsung membentuk persepsimereka dalam memaknai sebuah tato. Kebanyakan mereka melihat tato di pasar dan pusat perbelanjaan, bahkan ada yang melihatnya di dalam lingkup keluarga yaitu Orang tuanya sendiri.

Dijelaskan dalam(Ardianto, 2007, h.126) bahwa interaksi simbolik adalah segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol baik benda mati maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal, dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu. Oleh karena itu intrepretasi para informan mengenai tato banyak dipengaruhi oleh faktor tempat dimana mereka sering berinteraksi dan mengenal tato yang dapat membentuk stigma negatif pada tiap individu bahwa tato banyak dikenakan preman, gangster ataupun komunitas yang selalu menggunakan atribut tato ditubuhnya misalnya komunitas punk. Tetapi tidak semua informan memiliki pandangan negatif pada tato karena menurut mereka tato merupakan sesuatu yang indah apabila teratur dan tidak asal-asalan. Sehingga dalam mengintrepetasikan tato kembali lagi pada siapa yang menilai juga siapa yang mengenakan tato tersebut.

(11)

seni.Seperti apa yang dikatakan informan bernama Putra yang melihat tato pertama kali di televisi dan menurutnya tato itu unik bernilai seni.

Faktor agama juga mempengaruhi apakah seseorang suka atau tidak dalam melihat tato. Agama yang melarang menggambar tato di tubuh membuat beberapa informan tidak suka ketika melihat tato. Selain faktor agama, faktor keindahan seni yang tercermin dalam tato juga mempengaruhi suka tidaknya seseorang dalam melihat tato. Jika seseorang sudah menyukai seni sejak kecil, ada yang merasa kagum melihat tato.

Berdasarkan hasil wawancara, (Pedoman Wawancara No. 3) tentang apakah informan pernah memiliki keinginan memiliki tato atau tidak, hanya satu informan yang sempat mempunyai keinginan memlilki tato, yaitu Saudara Fajar.

“Dulu mas, pernah ingin membuat tato mas, pertamakali melihat band-band luar negeri yang keren-keren dengan tatonya. Akhirnya pada saat study tour di Bali, kan banyak penyedia jasa pembuatan tato temporer yang bisa dihapus itu, akhirnya coba buat. Bagus sih hasilnya, tapi begitu sampai di rumah dimarahi orang tua katanya dilarang agama, disuruh menghapus. Ternyata yang temporer aja hapusnya susah, apalagi yang permanen ya. Akhirnya sejak itu saya kapok dan gak mau buat tato lagi.” (Fajar, wawancara : 15-06-2013)

Dalam hal ini, Fajar adalah satu-satunya informan yang sempat berkeinginan mengenakan tato. Selain karena dia memandang tato sebagai seni dan dipakai artis artis luar negeri juga karena dia dasarnya memang anak komunitas vespa, sehingga banyak rekan-rekannya yang bertato. Faktor keluarga yang melarang dia bertato membuat fajar berhenti untuk tidak berkeinginan lagi untuk melakukan seni dekorasi tubuh yaitu tato.

Mayoritas jawaban yang diberikan responden tentang apakah pernah berkeinginan memiliki tato adalah tidak pernah. Bermacam-macam alasan yang dikemukakan.

“Gak mau ah buat tato, kan pake jarum buatnya. Jika jarumnya gak

steril ntar gak baik buat kesehatan”. (Herman, wawancara :

10-06-2013)

“Gak kepengen buat tato. Nanti saya gak bisa jadi PNS mas kalau punya tato. Soalnya syarat buat CPNS mencantumkan tidak boleh bertato, bertindik dan lain-lain. ” (Davin, wawancara 17-06-2013)

“Nggak pingin lah mas, saya lebih suka melihat punya orang lain saja,

biar macam-macam gambar tato yang saya lihat nantinya. Kalau untuk buat sendiri, nggak mau apalagi saya cewek nanti saya gak terlihat lembut lagi malah terlihat garang.” (Dina, wawancara 07-06-2014)

Herman mengaku tidak berkeinginan membuat tato karena menganggap tidak baik bagi kesehatan dantakut apabila penggunaan jarum tato yang tidak steril. Ada juga yang lebih suka melihat punya orang lain saja, tanpa harus memiliki tato sendiri. Alasan akan sulit mencari pekerjaan dikemukakan para informan. Persyaratan pencarian kerja yang mengharuskan calon pelamar tidak memiliki tato menyebabkan mereka sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memiliki tato. Selain itu, ada juga yang takut dianggap urakan oleh masyarakat, seperti pendapat Andri.

“Tidak mau punya tato. Saya kan perempuan, gak pantes di mata

(12)

Seperti pendapat Komang, Dina dan Andri sebagai seorang perempuan yang nantinya dijadikan teladan oleh anak-anaknya, dia tidak mau memberikan contoh yang tidak baik nantinya. Gender mempengaruhi dalam hal persepsi dan keinginan membuat tato. Di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai budaya timur, masyarakat cenderung memandang wanita tidak pantas jika bertato, karena wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dalam keluarga, yang dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Selain itu wanita juga merupakan simbol kelembutan, kesopanan, sehingga tidak pantas menggunakan tato yang identik dengan kekerasan dan ketidaksopanan. Sedangkan Azizahyang beragama Islam dan hidup lama di lingkungan Pesantren, mengakui bahwasanya membuat tato dilarang oleh agama, makanya tidak punya keinginan membuat tato, dia hanya senang melihatnya saja. “Gimana ntar saya wudhunya mas, kalau di tubuh saya misalkan tangan ada tatonya. Kan jadi nggak sah nanti sholatnya apalagi saya berjilbab kan aneh hehe.” (Azizah, wawancara 07-06-2014)

Sedangkan informan pendukung memang sejak pertama kali melihat tato mempunyai keinginan untuk membuat tato. Hal ini bisa dikarenakan lingkungan sosial yang sangat mendukung jika dia memiliki tato di tubuhnya.

“Sejak kecil saya memang udah punya keinginan untuk bikin tato yang banyak di badan. Keren soalnya melihat tubuh yang digambari dengan gambar-gambar yang menarik. Walaupun sampai sekarang tato saya juga belum banyak hehe” (Yula, wawancara 14-06-2013)

Keinginan dan bakat Yula dalam hal ditato dan mentato memang sudah ada dari kecil. Hidup dalam Keluarga yang menyukai seni tato membuat Yula senang dengan gambar-gambar yang menarik dan berkeingan tidak hanya untuk ditato tetapi juga menjadi seorang Tattoo Artist karena menurutnya tato itu keren.

Jadi, beberapa faktor yang mempengaruhi keinginan atau tidaknya seseorang membuat tato diantaranya faktor keluarga, faktor agama, faktor kepribadian dan faktor norma sosial di masyarakat (dianggap orang yang tidak baik-baik di masyarakat) juga masalah pekerjaan.

Berdasarkan hasil wawancara, (Pedoman Wawancara No. 4) mengenai fenomena tato pada saat ini, kecenderungan fenomena tato saat ini adalah sebuah tren yang mengikuti para orang-orang terkenal dan idolanya. Tato sekarang menjadi tren tersendiri di masyarakat yang banyak dipengaruhi media hiburan yang banyak menampilkan artis-artis dan para public figure lain yang mempunyai tato. Kebanyakan dari mereka yang bertato menganggap akan bertambah gaya jika bertato.

“Banyak yang buat tato itu sekarang kebanyakan mengikuti para

public figure dan para idola yang memiliki tato. Kan banyak itu artis-artis yang tatoan. Namanya juga artis-artis, pasti banyak yang niru.” (Fajar, wawancara : 15-06-2013)

“Tato sekarang sudah menjadi tren, akan tetapi masih dianggap negatif. Contohnya saat saya dulu buat tato temporer. Saya dimarahin orang tua. Mana ada orang tua yang mau anaknya berbuat yang nggak

baik.” (Putra, wawancara 15-06-2013)

Davin yang berasal dari suku Dayak sebelumnya pernah mengungkapkan bahwasanya tato merupakan budaya di Dayak atau pedalaman Kalimantan. Motif tato bisa menunjukkan status sosial seseorang di Suku Dayak. Davin mempunyai pandangan mengenai fenomena tato sekarang dengan jawaban:

“Saya sering lihat di perempatan jalan, di mall-mall banyak yang

(13)

Jadi menurutnya banyak orang yang sengaja menunjukkan tatonya kepada orang lain untuk mendapatkan perhatian yang lebih. berbeda dengan tato yang dimiliki orang perkampungan dayak yang menunjukkan status sosial mereka. Ada juga yang berpendapat tato masih dianggap negatif karena cenderung identik dengan kejahatan dan premanisme, seperti Herman dan Dina.

“Tato sekarang cukup Bernilai seni, tetapi imej Tato yang identik dengan preman sulit dirubah di mata masyarakat. Orang-orang tua banyak yang menganggap orang yang tatoan itu banyak gak

benernya.”(Herman, wawancara : 10-06-2013)

“Tato itu masih negatif imejnya bagi masyarakat timur seperti kita. Orang yang bertato kebanyakan menurut masyarakat adalah

orang-orang yang punya kepribadian tidak baik”. (Dina, wawancara

07-06-2014)

Sedangkan menurut Yula, informan pendukung, fenomena tato sudah mulai bergeser, dahulu identik dengan kejahatan, sekarang lebih kepada tren seni. Informan pendukung yang berprofesi sebagai pembuat tato dan juga merupakan pengurus di komunitas tato Kota Malang ini menilai, tidak semua orang yang bertato itu kriminal.

“Kalau menurut saya tentang fenomena tato, Sudah mulai bergeser,

dahulu identik dengan kejahatan, sekarang lebih kepada tren seni jadi sah sah aja orang mau bertato dimana saja. (Yula, wawancara 14-06-2013)

Contohnya dalam komunitas tato Kota Malang yang banyak juga terdiri dari kalangan-kalangan terpelajar seperti Mahasiswa yang sudah cukup terbuka dengan fenomena tato saat ini.

Persepsi muncul sebagai hasil dari penglihatan, tanggapan, dan pemahaman seseorang terhadap suatu hal di luar dirinya. Dari pengertian sehari-hari persepsi sering diartikan sebagai pandangan,

tanggapan, respon atau pendapat seseorang atas suatu perbuatan yang disadari bermula dari timbulnya persepsi apakah baik atau tidak menarik. Selanjutnya dari hasil persepsi ini akan diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan yang nyata (Mulyana, 2004).Bermacam-macamnya pendapat mengenai fenomena tato pada saat ini dikarenakan diantaranya pengaruh dari pihak luar (idola, public figure, dll) sehingga banyak sekali orang yang membuat tato, imej yang terlanjur melekat pada tato yang dahulu dianggap bagian dari premanisme dan kejahatan, dan perubahan pendapat para kaum muda yang menilai tato berdasarkan hasil karya seni yang indah.

Beberapa informan mengaku tidak suka ketika pertama kali melihat tato. Sedangkan para informan lainnya mempunyai pengecualian, mereka menganggap jika tatonya sedikit, dan gambarnya bagus, mereka suka, akan tetapi jika tatonya penuh di sekujur tubuh, dan gambarnya tidak jelas, mereka tidak suka, karena hal itu cenderung tidak enak dilihat dan terkesan urakan. Hal ini sesuai dengan konsep persepsi (Muchlas, 2008, h.119) yang menerangkan bagaimana pikiran/otak menerima informasi, mengolahnya, dan menggunakannya. Dengan melihat tato, para informan memiliki persepsi yang beragam terhadap tato. Ada yang terlanjur memiliki mindset bahwasanya tato cenderung urakan, identik dengan kenakalan dan kejahatan. Ada juga yang menilai tato dari sudut pandang yang lainnya, seperti dilihat dari sisi karya seni.

(14)

Berdasarkan hasil wawancara, (Pedoman Wawancara No. 5) mengenai apakah saat ini tato merupakan gaya hidup/tren, mayoritas menjawab tato sudah merupakan gaya hidup pada masa sekarang. Menurut mereka yang setuju tato adalah hasil dari pergaulan masa kini dan pandangan mengenai tato pada masa sekarang lebih mengarah kepada gaya hidup/tren masa kini yang banyak dipengaruhi oleh media massa terutama televisi yang banyak menampilkan para artis yang bertato. Tato juga dianggap sebuah cara untuk membuat penampilan seseorang berbeda dengan yang lainnya dan lebih gaya.

“Tato merupakan tren dari pergaulan masa kini. Dari awal-awal

melihat, lama-lama banyak yang kepingin bertato” (Davin, wawancara 17-06-2013)

“Banyak artis dan anggota band yang bertato, jadi banyak yang

ikut-ikutan apalagi di Bali banyak pendatang-pendatang yang bertato sampai jadi tukang tatonya, tato penduduk asli bali pada kalah,hehehe” (Komang, wawancara 07-06-2014)

Komang informan yang berasal dari Bali, dimana di daerah asalnya sudah terkenal sebagai tempat para ahli dalam membuat tato ikut mempengaruhi pandangannya tentang tato sebagai sebuah gaya hidup. Banyaknya wisatawan dan pendatang yang berkunjung di Bali membuat bisnis tato sangat pesat perkembangannya. Dengan kondisi lingkungan daerah asalnya yang sudah sangat terbiasa dengan tato membuat komang berpendapat bahwasanya tato pada zaman sekarang merupakan sebuah gaya hidup yang sudah diikuti banyak kalangan. Hanya satu informan yang menganggap tato bukan merupakan gaya hidup. Dinamenganggap bahwa gaya hidup orang itu berbeda-beda. Tidak harus diwujudkan dengan tato.

”Kalau dianggap sebagai gaya hidup sih enggak juga. Saya juga punya gaya hidup dan pecinta seni, tapi nggak saya wujudkan dengan tato. gaya hidup orang berbeda-beda. Ada yang suka seni, permainan,

olahraga dan sebagainya. Jadi penggunaan tato itu bergantung kepada

penggunanya sendiri.” (Dina, wawancara 07-06-2014)

Menurut informan pendukung, saudara Yula, Tato membuat para penggunanya tampil beda dibandingkan dengan yang lainnya. “Tato membuat para penggunanya tampil beda dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga banyak diminati dan banyak ditiru. Bukan semata-mata untuk bergaya tapi tato memiliki unsur seni dan makna yang indah” (Yula, wawancara 14-06-2013). Tato membuat seseorang atau komunitas tertentu merasa mempunyai identitas diri yang mereka lukiskan melalui tato. Dengan semakin maraknya para pencinta komunitas tato membuat pergeseran opini masyarakat tentang tato.

Jadi, fenomena tato pada saat ini lebih menjurus kepada tren/gaya hidup seseorang. Seseorang yang bertato ada kemungkinan lebih percaya diri dengan menunjukkan keindahan tatonya kepada orang lain. Selain itu faktor adanya perkumpulan orang-orang yang bertato sudah cukup membuktikan bahwasanya tato sudah menjadi gaya hidup di masa sekarang.

Pada awalnya para mahasiswa yang menjadi informan cenderung menilai negatif terhadap orang yang menggunakan tato, disebabkan karena pengguna tato pada umumnya digunakan oleh orang-orang yang dinilai memiliki pandangan yang tidak baik dimata masyarakat, diantaranya preman dan pelaku tindak kejahatan seperti yang disiarkan oleh beberapa stasiun telivisi. Hal ini berhubungan dengan persepsi visual dimana terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Sehingga timbunan peristiwa mental sebelumnya turut membentuk pola persepsi (Setyanto, 2009, h.76).

(15)

menimbulkan pandangan/persepsi mahasiswa terhadap tanda-tanda/simbolik yang dimunculkan oleh fenomena tato. Komunikasi terjadi ketika seseorang pengguna tato mengkomunikasikan sebuah informasi lewat lambang/simbol tato kepada semua orang yang melihatnya. Ketika itulah persepsi muncul yang membentuk seseorang dapat menilai apakah tato merupakan sebuah seni, lambang, maupun ekspresi perasaan yang menggunakannya.

Persepsi Mahasiswa tidak Bertato Terhadap Mahasiswa yang Bertato

Berdasarkan hasil wawancara, (Pedoman Wawancara No. 6) mengenai persepsi terhadap mahasiswa yang bertato, tidak seharusnya mahasiswa mempunyai tato ditubuhnya karena tidak mencerminkan sebagai seorang mahasiswa dan orang yang berpendidikan.Menurut Herman, mahasiswa seharusnya tidak bertato. Karakteristik orang Batak yang berwatak tegas dan keras tercermin melalui pendapat Herman ini.

“Masak sebagai mahasiswa yang nantinya akan menjadi pemimpin

bangsa, bertato. Apa bedanya dengan para preman di pasar Mas? Macam mana pula Indonesia ini nanti jadinya kalo preman sama Mahasiswanya gak bisa dibedakan.’ (Herman, wawancara : 10-06-2013)

Sedangkan menurut Komang dan Andri, Mahasiswa yang bertato juga dipandang negatif oleh dosen dan masyarakat. Para mahasiswa yang bertato bisa kehilangan respek dari dosen.

“Kalau dosen tahu ada mahasiswanya yang bertato, dosen akan tidak senang, kebanyakan dosen nggak respek sama mahasiswa yang bertato. Saya dulu pernah ada teman yang bertato, sama dosen diincer

terus”.(Komang, wawancara 07-06-2014)

“Nggak baik. Mereka akan kehilangan respek dosen dan orang-orang

kampus.Kalau Mahasiswa bertato pasti nantinya akan dipandang negatif oleh para dosen, wong punya rambut gondrong saja sudah gak

baik pandangan dari dosen, apalagi bertato.” (Andri, wawanacara

19-06-2013)”

Fajar berpendapat seharusnya sebagai mahasiswa bisa berfikir tentang efek negatif bertato bagi masa depannya, seperti kesulitan mendapatkan pekerjaan.

“Seharusnya sebagai mahasiswa bias berfikir tentang efek negatif bertato bagi masa depannya, seperti kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tetapi tergantung merekanya juga sih, kalo pecinta seni sih biasanya kreatif semoga saja pandai berwirausaha sehingga dapat membuat lapangan pekerjaan baru.”(Fajar, wawancara : 15-06-2013)

Menurut Zizahdan Davin, mahasiswa adalah orang yang terpelajar. Dan tidak sepantasnya orang yang terpelajar mempunyai tato. Sebagai agen perubahan, seharusnya mahasiswa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat dalam berperilaku, salah satunya dengan tidak bertato karena tato masih dipandang negatifoleh masyarakat.

“Mahasiswa sebaiknya gak punya tato. Tidak mencerminkan sebagai

orang yang berpendidikan. Mending kuliah yang rajin, cepet lulus dan cepet dapet kerja.” (Davin, wawancara 17-06-2013)

“Mahasiswa itu orang yang terpelajar. Orang yang terpelajar tidak akan merusak tubuh sendiri. Biarlah orang lain saja yang bertato.” (Azizah, wawancara 07-06-2014)

(16)

kalangan Mahasiswa. Menurutnya semua orang berhak memilih dan memutuskan apa saja hal yang akan dilakukannya.

“Setiap orang berhak memutuskan masa depannya sendiri-sendiri

dan tato jika dilihat dari sisi nilai seninya juga terlihat indah. saya suka melihatnya tapi tak ingin memiliki.” (Dina, wawancara 07-06-2014)

Yula sebagai informan pendukung yang beranggapan bahwasanya seorang mahasiswa pantas-pantas saja bertato dan dia menganggap bahwasanya setiaporang berhak mengekspresikan diri sendiri sesuai dengan keinginan dan orang yang bertato merupakan pencinta seni.

“Tergantung gimana cara kita memandangnya saja. Orang yang

bertato merupakan pencinta seni dan bukan berarti orang bertato itu tidak baik karena baik tidaknya seseorang itu dinilai dari kepribadian sikap dan perilakunya bukan fisiknya. Kalo jadi mahasiswa bertato bisa lebih prestatif dibanding yang lain kenapa tidak?? hehe”(Yula, wawancara 14-06-2013)

Menurut para informan, beraneka ragam tato yang mereka lihat berdasarkan bentuk, warna, dan letaknya. Mereka juga mengatakan bahwa mahasiswa yang memiliki tato di lingkungan kampus kebanyakan di dominasi kaum pria.

“ Yang saya kenal temen saya yang tatoan itu cowok, kalo cewek saya

ga pernah liat, entah kalo gak keliatan. Gambarnya pedang dan tulisan nama pacarnya letaknya di tangan. Warnanya item, bagus sih tapi yang bikin gak suka itu kok ditulis nama pacar, padahal belum tentu dinikahin.” (Herman, wawancara 12-06-2014)

“ Cowok mas temen saya, gambarnya tengkorak dan model setan setan gitulah soalnya dia anak band. Menurutku bagus sih gambarnya menarik, warnanya black n’ Grey. Tatonya ada di tangan juga di leher

jadinya kelihatan. Saya suka sih liatnya, apalagi kalo pas dia tampil di panggung menambah keindahan perform-nya’. (Dina, wawancara 12 -06-2014)

“ Yang bertato cowok mas, gambarnya naga ada di lengan sampai pergelangan tangannya. Bagus sekali soalnya kalo malam bisa nyala gambarnya soalnya pake tinta fosfor. Warnanya itu yang bikin indah. Kalo temen cewe diluar ada yang pake tato, kalo di kampus UB gak

perna liat, tetep aja mas gapantes cewe tatoan”. (Davin, wawancara 12

-06-2014)

Selain itu semua informan tetap bersikukuh bahwa bagaimanapun bentuk keindahan dari tato tidak mempengaruhi persepsi mereka apabila tato tersebut dikenakan oleh seorang mahasiswa yang tidak sepantasnya mengenakan dekorasi tubuh seperti itu. Berikut pernyataan informan mengenai hal tersebut :

“Saya suka tato dilihat dari seninya Cuma sebenernya kalo liat mahasiswa dikampus tatoan itu risih, soalnya mencolok sendiri diantara temen yang lain. Gak peduli pria atau wanita kalo tatoan di kampus itu gak pantes”. (Fajar, Wawancara 12-06-2014)

“ Sebagus apapun gambarnya tidak mempengaruhi penilaian saya mas selama dia masih berstatus mahasiswa. Kalo diluar sana sih terserah. Saya taunya cowok mas, kalo cewek gak pernah liat. Menurutku sama aja mas ga pantesnya apalagi dia cewe cenderung dinilai rendah”. (Andri, wawancara 12-06-2014)

(17)

dia sudah memperhitungkan masa depan juga efek dari keputusannya tersebut.

“Kebanyakan mahasiswa yang bertato pada saya itu cowok, walaupun cewek juga gak sedikit. Gambar paling diminati itu realis, tengkorak, naga, koi, bunga, kartun, juga tulisan yang mengandung arti bagi pribadinya. Letaknya kebanyakan di bagian lengan, punggung, dan dada. Berbeda dengan cewe yang suka tato di bagian perut, pinggang dan leher. Menurut saya entah itu mahasiswa cewe atau cowok yang bertato, pantas-pantas saja mas, toh mereka yang tatoan kebanyakan dari keluarga yang berkecukupan, pecinta seni selain itu juga sudah

memperhitungkan masa depannya nanti”. (Yula, wawancara

12-06-2014)

Sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh, Persepsi seseorang mengenai mahasiswa yang bertato dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sosial dan kebudayaan, faktor agama, dan faktor pendidikan. Keadaan sosial masyarakat yang cenderung memandang negatif orang yang bertato mambuat persepsi terhadap mahasiswa yang bertato menjadi tidak baik. Agama yang memang melarang menggambar tato di tubuh membuat persepsi terhadap mahasiswa yang bertato juga negatif. Karena agama mengajarkan supaya umatnya menunaikan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Citra mahasiswa sebagai orang yang berpendidikan tidak cocok dengan tato yang menurut masyarakat negatif. Sehingga banyak yang menganggap mahasiswa sebagai orang yang berpendidikan tidak sepantasnya bertato.

Bisa diperhatikan jika pada pertanyaan sebelumnya, banyak informan yang cukup menyukai tato, akantetapi mereka cenderung tidak menyukai mahasiswa yang bertato. Mereka menganggap sebagai seorang mahasiswa yang kelak dijadikan sebagai pemimpin bangsa seharusnya lebih memikirkan kegiatan kuliah daripada sibuk dengan

membuat tato. Selain itu juga seharusnya bisa memikirkan resiko dari tato itu sendiri terhadap masa depannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan (Pedoman Wawancara No. 6), mengenai perilaku mahasiswa yang bertato di lingkungan kampus dan masyarakat, perilaku mahasiswa yang bertato di lingkungan kampus ada yang berpendapat tidak berbeda dengan mahasiswa lainnya, suka bergaul, gampang bersosialisasi. Ada juga yang berpendapat bahwasanya mahasiswa yang bertato adalah mahasiswa yang pemalas, jarang kuliah, tertutup dan lebih akrab dengan teman-teman sepergaulannya saja.

“Saya ada teman bertato, dia suka banget bercanda dengan teman-teman, akrab sekali, suka berkumpul, pintar sosialisasinya. Pokoknya terbuka sekali dia. Di masyarakat juga ga beda dengan yang lain, perilakunya juga baik-baik saja, masih dalam batas kewajaran”. (Herman, wawancara : 10-06-2013)

Menurut Andri, orang yang bertato cenderung tertutup, dan hanya sering berkumpul dengan teman-teman sepergaulannya saja, biasanya yang satu komunitas. Jarang berkumpul dengan teman-teman sekelas lainnya.

“Cenderung tertutup. Saya punya teman di perkumpulan yang suka

travelling. Ada yang bertato juga, tapi suka menyendiri, gak terlalu akrab dengan yang lainnya” (Andri, wawancara 19-06-2013)

Andri tentunya sangat memahami bahwa orang yang bertato memiliki kepribadian yang tertutup karena Andri merupakan orang yang sangat pandai bergaul dan memiliki banyak teman.

(18)

“Di kampus mereka sama seperti yang lain, gak ada yang yang berbeda dengan yang lainnya. Yang membedakan Cuma satu, badannya ada gambarnya mas hehe. Di masyarakatpun baik kok.” (Dina, wawancara 07-06-2014)

“Perilakunya sama saja di kampus dengan lainnya. Kurang tau juga sih

kalau perilaku di luar kampus dan menurutku biasa juga kok. Kalo anaknya asik, baik saya juga pasti senang berteman dengannya.”(Putra, wawancara 15-06-2013)

“Di kampus dan di masyarakat biasa saja. Saya melihat perilaku tergantung kepada kepribadian orang, bukan pada orang itu bertato apa

nggak” (Azizah, wawancara 07-06-2014)

Sedangkan informan pendukung mengatakan tidak semua orang bertato itu urakan. Ada juga yang tidak bertato malah lebih urakan. Itu semua bergantung kepada kepribadian masing-masing personal.

“Gak semua yang punya tato itu urakan, ada juga yang baik. Di kampus pun kebanyakan gampang sosialisasi, percaya diri. Dan perilaku di masyarakat normal-normal saja, masih sesuai dengan norma-norma

dan nilai sosial di masyarakat.” (Yula, wawancara 14-06-2013)

Jadi tidak bisa diambil kesimpulan bahwa kalau orang yang bertato itu tidak baik. Perilakunya di masyarakat juga sama saja dengan yang lainnya, tidak berbeda jauh, sama-sama masih patuh terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat.Perilaku mahasiswa yang bertato baik di lingkungan kampus maupun di masyarakat harus dapat menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai seorang mahasiswa, di lingkungan kampus peranannya adalah belajar. Dan di lingkungan masyarakat harus bisa mematuhi nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Jawaban mayoritas responden yang mengatakan mahasiswa yang bertato tidak berbeda dengan mahasiswa lainnya dalam lingkungan kampus dan masyarakat menunjukkan mahasiswa yang

bertato dapat menempatkan dirinya sesuai dengan lingkungannya dengan baik.

Menurut Makmuri Muchlas (2008, h.119) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi. Pertama, pelaku persepsi, penafsiran seorang individu pada saat suatu objek yang dilihatnya akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya sendiri, diantaranya sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan pengharapan. Kebutuhan atau motif yang tidak dipuaskan akan merangsang individu dan mempunyai pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Misalnya, seorang modifikator mobil akan lebih memperhatikan kecantikan mobilnya dari pada hal yang lain. Citra mahasiswa yang seharusnya sebagai kaum intelektual, calon pemimpin masa depan yang menurut mereka tidak pantas jika bertato membuat para mahasiswa memandang negatif jika ada mahasiswa yang bertato di lingkungan kampus.

Kedua, yaitu target atau objek persepsi. Objek persepsi cenderung akan dipandang sama jika mereka berasal dari kelompok atau golongan yang sama. Persepsi awal bahwasanya orang yang bertato identik dengan kejahatan, premanisme dan segala hal yang tidak baik membuat para mahasiswa yang bertato di lingkungan kampus dipersepsikan serupa. Kebanyakan menganggap mahasiswa yang bertato cenderung pemalas, jarang kuliah, jarang bersosialisai dengan mahasiswa yang lainnya jika bukan dari kelompok anggotanya.

(19)

ilmu bagi para calon pemimpin bangsa di masa depan, sehingga para mahasiswa seharusnya dapat menjaga penampilan dan perilakunya. Menurut para informan, tidak seharusnya di lingkungan kampus mahasiswa bertato karena tidak mencerminkan sebagai seseorang yang berpendidikan, dipandang negatif oleh para dosen dan nantinya akan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Sehingga mahasiswa yang bertato cenderung mendapatkan penilaian negatif dari civitas akademika yang ada di lingkungan kampus.

SIMPULAN

Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian ini, beberapa hal yang berkaitan dengan Persepsi Mahasiswa tidak bertato terhadap Fenomena Tato di kalangan Mahasiswa , dapat disimpulkan sebagai berikut:

 Menurut pandangan mahasiswa tidak bertato, mahasiswa yang menggunakan tato tidak mencerminkan seorang yang terpelajar dan berpendidikan. Mahasiswa yang notabene adalah kaum intelek yang menjadi panutan dan calon penerus bangsa justru dipandang negatif karena mengenakan tato karena masih dianggap tabu oleh masyarakat. Selain itu Mahasiswa yang mengenakan tato dianggap susah mendapatkan pekerjaan.  Menurut pandangan mahasiswa tidak bertato, mahasiswa yang

bertato di Universitas Brawijaya cenderung terlihat pemalas, jarang kuliah, tertutup dan lebih akrab ke teman sepergaulannya saja walaupun tidak semuanya berperilaku sama seperti itu.  Faktor-faktor dominan yang berperan dalam bagaimana informan

mempersepsikan tato dikalangan mahasiswa adalah Faktor Agama, lingkungan sosial, budaya juga faktor pekerjaan.

 Tato yang dulunya dianggap identik dengan tindak kejahatan kini mengalami pergeseran makna menjadi sebuah seni sebagai tren atau gaya hidup yang dipengaruhi oleh budaya pop. Namun ketika yang memakai adalah mahasiswa, tato dianggap tidak baik karena pengguna berada dalam lingkup universitas yang mana merupakan tempat untuk belajar.

 Lingkungan sosial dan Media massa khususnya televisi memiliki peran penting dalam perkembangan dan pemaknaan mengenai tato baik dari segi positif dan negatif.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut:

1) Untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan observasi lebih jauh dalam melakukan penelitian. Observasi dapat dilakukan dengan cara mengamati sikap dan perilaku mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang memiliki tato dan mengamati tanggapan mahasiswa lain yang tidak bertato terhadap fenomena mahasiswa yang bertato di lingkungan kampus.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, R. (2009). Persepsi mahasiswa universitas Sumatera Utara terhadap fenomena tato. (Skripsi, Universitas Sumatera Utara,

2009). Diakses pada 14 Juni 2013 dari

www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14837/1/10E00

024.pdf

Ardianto, E. (2007). Komunikasi massa suatu pengantar. Bandung: Simbosa Rekatama Media.

Arikunto, S. (1998). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Cangara, H. (2004). Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada.

Denzin, N. K & Lincoln, Y. S. (2009).Handbook of qualitative research. (Dariyanto, Dkk, Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Effendy, O.(1989).Kamus komunikasi. Bandung: Mandar Maju. Effendy, O. (2005). Ilmu komunikasi teori dan praktek. Bandung: PT.

Rosdakarya.

Faturokhman, M. R. (2000). Pola komunikasi verbal dan nonverbal anak jalanan dialun-alun kota bandung. (Skripsi, Universitas Padjajaran. 2000). Diakses pada 12 Mei 2013, dari

www.sbektiistiyanto.files.wordpress.com/2008/02/komunikasi-artifaktual.pdf

Fikri, A. (2011). Makna pesan tato sebagai bentuk non verbal dikalangan pengguna tato di kota bandung. (Skripsi, Universitas Komputer Indonesia, 2011). Diakses pada 11 Mei 2013, dari www.elib.unikom.ac.id/download.php?id=139053

Hasan, I. (2002). Pokok-pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Helmy, M. (2012) .Persepsi masyarakat terhadap keberadaan komunitas punk bekonang (studi kasus di dusun sentul, desa bekonang, kecamatan mojolaban). (Thesis, Universitas Negeri Semarang, 2012). Diakses pada 26 Mei 2013, dari

www.dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=30386

Iskandar, S. (2007). Pembentukan persepsi visual pada iklan televisi. Jurnal Visualita DKV Unikom Indonesia, 3 (1). 1-21.

Istiyanto, S. B. (2010). Pentingnya Komunikasi Artifaktual dalam keberhasilan modifikasi Komunikasi Antar Manusia. Jurnal Acta Diurna, (6). 2.

Juliastuti, N. (2000). Teori sosiologi modern. Jakarta: Kencana.

(21)

Malang, 2010). Diakses pada 23 Februari 2013, dari

www.lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/fullchapter/06410016.pdf

Kriyantono, R. (2007). Teknik praktis riset komunikasi. Jakarta: Kencana.

Liliweri, A. (1994). Komunikasi verbal dan non verbal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Matsumoto, D. (2004). Pengantar psikologi lintas budaya., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Moleong, L. J (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung PT Rosdakarya.

Muchlas, M. (2008). Perilaku organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada. Mulyana, D. (2004). Ilmu komunikasi: suatu pengantar. Bandung: PT.

Rosdakarya.

Mulyana, D. (2008). Komunikasi efektif. Bandung: PT. Rosdakarya. Olong, HA. K. (2006). Tato. Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara. Pujileksono, S. (2006). Petualangan antropologi: sebuah pengantar

ilmu antropologi. Malang: UMM Press.

Rahardjo, M. (2007). Metode pengumpulan data penelitian kualitatif. Diakses pada 13 Agustus 2013, dari http://mudjiarahardjo.uin-

malang.ac.id/materi-kuliah/288-metode-pengumpulan-data-penelitian-kualitatif.html

Rajah. (2013). Diakses pada 23 November 2013, dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Rajah

Rakhmat, J. (2007). Psikologi komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, J. (2009). Metode penelitian komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rosa, A. (2000). Eksistensi tato sebagai salah satu karya seni rupa tradisional. Diakses pada 13 Februari 2014, dari http://books.google.co.id/books?id=iGZkuAEuShIC&pg

Ruslan, R. (2003). Metode penelitian PR dan komunikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Ruslan, R. (2008). Manajemen public relatoins & media. komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Setyanto, D. W. (2009, 15 Maret). Psikologi persepsi dan desain komunikasi visual. pesan ditulis di

http://daniarwikan.blogspot.com/2009/02/bahan-kuliah-psikologi-persepsi.html

(22)

Strinati, D. (2003). Popular culture pengantar menuju teori budaya populer. Yogyakarta: Bentang.

Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumardjo, J. (2000). Filsafat seni. Bandung: ITB Press.

Suyono, S. J. (2002). Tubuh yang rasis: telaah kritis michel foucault atas dasar-dasar pembentukan diri kelas menengah eropa. Yogyakarta: Lanskap Zaman dan Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian yang dikemukakan di atas telah berhasil disusun suatu tenik in-service inspection penukar panas reaktor riset, yang meliputi : penentuan kualifikasi

To examine the hypothesis that children who exhibit bed-wetting during childhood were less likely to be breastfed during infancy compared with normal controls, we needed 56 case

o Mempelajari dan memahami Tujuan Pemeliharaan SUTT/SUTET o Membantu melaksanakan berbagai jenis Pemeliharaan SUTT/SUTET o Membantu melaksanakan Prosedur Pemeliharaan SUTT/SUTET

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti semakin tertarik untuk mengaji permasalahan tersebut ke dalam sebuah penelitian yang berjudul “PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA

[r]

Manfaat dari ini adalah penulis dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana efisiensi faktor-faktor produksi mempengaruhi dan meningkatkan produksi usaha peternak

Dalam penelitian ini hipotesis yang digunakan adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara Inflasi, Tingkat Suku Bunga Deposito dan IHSG terhadap Expected Return.. Dalam

Argumentasi di atas, dikuatkan oleh pandangan Strauss and Carbin dalam Sukidin (2003:1) yang menandaskan bahwa penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan