• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI SD HARAPAN MULIA KABUPATEN BANTUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI SD HARAPAN MULIA KABUPATEN BANTUL"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI SD “HARAPAN MULIA” KABUPATEN BANTUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh :

Prama Dawardani Septi Wanuri NIM: 141134180

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2018

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan berkat dan kasih-Nya selalu, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Skripsi ini akan saya persembahkan kepada:

1. Orang tua saya, Bapak Jarot Joko Suwarno (Alm.) dan Ibu Sri Sumarti yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang.

2. Kakak dan adik saya, Dwi Mariana Lestari dan Wahyu Jalu Pamungkas yang selalu memberikan doa dan semangat.

3. Bapak Rahardi dan Ibu Agustina Niken Rahardi beserta seluruh keluarga besar Satya Widya yang selalu memberikan dukungan, doa, bantuan dan semangat.

4. Seseorang yang spesial dalam hidup saya Raka Bagaskara Wibowo yang selalu setia menemani, menghibur, mendengarkan keluh kesah, memberi semangat dan bantuan.

5. Sahabat-sahabatku dari semester 1 hingga lulus, yang selalu memberikan bantuan dan semangat.

6. Sahabat-sahabatku seperjuangan dalam skripsi yang selalu memberikan semangat.

7. Almamater Universitas Sanata Dharma tempat saya mengenyam ilmu pendidikan dan mengukir kenangan yang indah.

(5)

v

MOTTO

Hidup ini seperti sepeda, agar tetap seimbang Kau harus terus bergerak

-Albert Einstein-

Lakukanlah hal-hal yang kau pikir Tidak bisa kau lakukan

-Eleanor Rooselvelt-

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Mei 2018 Peneliti

Prama Dawardani Septi Wanuri

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Prama Dawardani Septi Wanuri Nomor Mahasiswa : 141134180

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI SD “HARAPAN MULIA” KABUPATEN BANTUL”.

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan ke dalam Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 16 Mei 2018 Yang menyatakan

Prama Dawardani Septi Wanuri

(8)

viii ABSTRAK

PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI SD “HARAPAN MULIA” KABUPATEN BANTUL

Prama Dawardani Septi Wanuri Universitas Sanata Dharma

2018

Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengakomodasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program pendidikan yang sama. Sekolah inklusi yang ideal merupakan sekolah yang memenuhi delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan sekolah inklusi yang dilaksanakan berdasarkan pada delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi kelas bawah di SD “Harapan Mulia” Kabupaten Bantul Yogyakarta pada tahun ajaran 2017/2018.

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Subjek penelitian adalah Guru Kelas I, Guru Kelas II dan Guru Kelas III SD “Harapan Mulia”

Kabupaten Bantul. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara semi terstruktur, observasi non-partisipan, dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara reduksi data, data display, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Uji keabsahan data dilakukan dengan menggunakan uji kredibilitas dengan triangulasi sumber, teknik, dan waktu penelitian serta uji transferabilitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi di kelas bawah, SD “Harapan Mulia” Kabupaten Bantul baru memenuhi dua aspek yaitu: penataan kelas yang ramah anak dan pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif. Permasalahan terkait delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi yang ditemukan peneliti yaitu (1) Pelaksanaan PPDB tidak didampingi oleh Guru Pendamping Khusus (GPK); (2) Kurangnya tenaga pendidik khusus membuat pendampingan siswa berkebutuhan khusus menjadi kurang maksimal; (3) Pelaksanaan identifikasi awal pada PPDB belum maksimal karena ketidakhadiran GPK; (4) Belum adanya pengembangan kurikulum untuk mengakomodasi seluruh peserta didik; (5) Belum adanya rancangan kegiatan pembelajaran dan bahan ajar khusus bagi siswa berkebutuhan khusus; (6) Indikator materi belum disesuaikan dengan kemampuan siswa, terutama bagi siswa berkebutuhan khusus; (7) Sekolah belum melakukan screening secara berkala; (8) Soal evaluasi bagi siswa berkebutuhan khusus masih belum sesuai dengan kemampuan siswa karena bobot soal masih sama untuk seluruh siswa.

Kata Kunci: sekolah inklusi, delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi, permasalahan sekolah inklusi

(9)

ix ABSTRACT

THE DIFFICULTIES OF THE LOWER CLASS OF AN INCLUSIVE ELEMENTARY SCHOOL AT "HARAPAN MULIA" ELEMENTARY

SCHOOL IN BANTUL REGENCY Prama Dawardani Septi Wanuri

University of Sanata Dharma 2018

Inclusive schoos is regular school that accommodate and integrate regular students and students with disabilities within the same education program. Ideal inclusive schools expect to meet the eight aspects of organizing an inclusive school. This study intend to described the inclusive school problem that is implemented based on eight aspects of the implementation of lower grade inclusive schools at "Harapan Mulia" elementary school of Bantul regency of Yogyakarta in academic year of 2017/2018.

The research applied qualitative method. Research subjects are Class I Teachers, Class II Teachers and Class III Teachers SD "Harapan Mulia" Bantul Regency. The data gathering techniques conducted in this study was semi- structured interviews, non-participant observation, and documentation. The obtained data analyzed by data reduction, display, conclusion, and verification.

The validity test of the data is done by using credibility test with sources triangulation, techniques, research time and transferability test.

The research pointed out that from eight aspects of the implementation of inclusion schools, the school fulfilled only two of them: the arrangement of child- friendly class and the procurement and utilization of adaptive learning media.

Problems related to eight aspects of the implementation of inclusion schools found by researchers are (1) Implementation of PPDB did not accompanied by Special Accompaniment Teacher (GPK); (2) Lack of those special educators resulting in less maximum output; (3) Implementation of initial identification to PPDB could not be maximized due to the absence of GPK; (4) The absence of curriculum development to accommodate all learners; (5) The absence of learning activities design and special teaching materials for students with special needs; (6) The indicator of the material has not been adjusted with students ability, especially for students with special needs; (7) Schools have not been screened periodically; (8) Problem evaluation for students with special needs still not in accordance with the ability of students because the weight of the problem still the same for all students.

Keywords: inclusive school, eight aspects of inclusive school implementation, inclusive school problems

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan dengan baik skripsi yang berjudul “Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD “Harapan Mulia” Kabupaten Bantul”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk kelulusan dalam memperoleh gelar sarjana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak karena itu, dengan segenap hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univeritas Sanata Dharma.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas sanata Dharma.

3. Kintan Limiansih, M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas sanata Dharma.

4. Brigita Erlita Tri Anggadewi, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan dengan penuh kesabaran dalam perjalanan skripsi ini hingga selesai.

5. Laurensia Aptik Evanjeli, S.Psi., MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan dengan penuh kesabaran dalam perjalanan skripsi ini hingga selesai.

6. Kepala Sekolah salah satu Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Bantul yang telah mengijinkan penulis untuk mengadakan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

7. Guru Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Bantul yang sudah membantu dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Kedua orang tua, Bapak Jarot Joko Suwarno (Alm.) dan Ibu Sri Sumarti selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

9. Kakak dan adik saya, Dwi Mariana Lestari dan Wahyu Jalu Pamungkas yang selalu memberikan doa dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

(11)

xi

10. Bapak Rahardi dan Ibu Agustina Niken Rahardi beserta seluruh keluarga besar Satya Widya yang selalu memberikan dukungan, doa, bantuan dan semangat sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

11. Seseorang yang spesial dalam hidup saya Raka Bagaskara Wibowo yang selalu setia menemani, menghibur, mendengarkan keluh kesah, memberi semangat dan bantuan dalam mengerjakan skripsi sehingga dapat selesai dengan baik.

12. Sahabat-sahabatku dari semester 1 hingga lulus dan sahabat-sahabatku seperjuangan dalam skripsi yang selalu memberikan bantuan serta semangat dalam mengerjakan skripsi sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekaligus menjadi sumber belajar bagi peneliti yang memiliki tujuan mengembangkan pendidikan inklusi.

Hormat saya Yogyakarta, 16 Februari 2018

Peneliti

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Asumsi Penelitian ... 5

F. Definisi Operasional... 5

BAB II LANDASAN TEORI ... 7

A. Kajian Teori ... 7

1. Pendidikan Inklusi ... 7

a. Pengertian Pendidikan Inklusi... 7

(13)

xiii

b. Tujuan Pendidikan Inklusi ... 8

c. Karakteristik Pendidikan Inklusi ... 9

d. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi ... 9

2. Sekolah Inklusi ... 10

3. Anak Berkebutuhan Khusus ... 12

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus... 12

b. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ... 12

4. Aspek-aspek Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ... 17

a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengakomodasi semua anak... 17

b. Identifikasi ... 18

c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel) ... 20

d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak... 21

e. Penataan Kelas yang Ramah Anak ... 22

f. Asesmen ... 23

g. Pengadaan dan Pemanfaatan media pembelajaran Adaptif ... 25

h. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran ... 25

B. Penelitian yang Relevan ... 28

C. Kerangka Berpikir ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. Jenis Penelitian ... 34

B. Setting Penelitian ... 34

C. Desain Penelitian ... 35

D. Teknik Pengumpulan Data ... 38

1. Wawancara ... 38

2. Observasi ... 39

3. Dokumentasi ... 40

E. Instrumen Penelitian... 40

F. Kriedibilitas dan Transferabilitas ... 45

G. Teknik Analisis Data ... 47

(14)

xiv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

A. Hasil Penelitian ... 50

B. Pembahasan ... 67

BAB V KESIMPULAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Keterbatasan Penelitian ... 76

C. Saran ...76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Ijin melakukan penelitian ... 80

Lampiran 2 Surat Keterangan telah melakukan penelitian ... 81

Lampiran 3 Reduksi Data Hasil Observasi ... 82

Lampiran 4 Reduksi Data Hasil Wawancara ... 101

Lampiran 5 Display Data Observasi dan Wawancara ... 138

Lampiran 6 Hasil Dokumentasi ... 157

Lampiran 7 Instrumen Penelitian ... 159

a. Pedoman Wawancara Guru Kelas I, II, dan III ... 159

b. Pedoman Observasi ... 162

c. Pedoman Dokumentasi ... 163

Lampiran 8 Foto ...164

Biodata Peneliti ... 166

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Bantul ... 11 Tabel 2.2 Gejala-gejala yang Dapat Diamati dalam Identifikasi ... 19 Tabel 3.1 Kisi-kisi Pedoman Wawancara Permasalahan Sekolah Dasar

Inklusi Kelas Bawah di SD “Harapan Mulia” ... 41 Tabel 3.2 Kisi-kisi Pedoman Observasi Permasalahan Sekolah Dasar

Inklusi Kelas Bawah di SD “Harapan Mulia” ... 44 Tabel 3.3 Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD “Harapan Mulia” ... 45 Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Observasi ... 50 Tabel 4.2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 50

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, peneliti menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi penelitian, dan definisi operasional.

A. LATAR BELAKANG

Dunia pendidikan di Indonesia saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Sedikit demi sedikit sistem pendidikan mulai ditangani dengan serius guna mencapai tujuan untuk mencerdaskan bangsa. Saat ini, pendidikan di sekolah dapat ditempuh oleh siapa pun dari berbagai kalangan dan golongan tanpa terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu anak- anak yang tergolong penyandang cacat seperti mengalami ketunaan, hambatan belajar dan anak dengan intelegensi tinggi atau berbakat (Anggraini, 2014: 1). Widiati, dkk (2007: 2) mengatakan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan anak yang tidak berkebutuhan khusus. Hal tersebut telah dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Nomor 5 tahun 2003 tentang hak dan kewajiban warga negara bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan, sepanjang hayat termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Dengan begitu, sebagai warga negara yang memiliki hak seluruh masyarakat hendaknya mendapatkan hak yang sama dan merata. Tidak terkecuali bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dianggap memiliki perbedaan dari anak yang tidak berkebutuhan khusus.

Perbedaan ini hendaknya harus mendapat perhatian dari pemerintah dan tidak menjadikan adanya diskriminasi terhadap peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Upaya pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi dalam dunia pendidikan yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan yang tidak membeda-bedakan kelainan dan tingkat kecerdasan

(18)

yang dimiliki peserta didik. Di Indonesia bentuk pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1991. Peserta didik berkebutuhan khusus diberikan fasilitas untuk bisa mengenyam pendidikan dengan didirikannya Sekolah Luar Biasa (SLB), namun pada umumnya SLB lebih banyak didirikan di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah baik itu di kecamatan maupun di desa. Akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus terpaksa tidak di sekolahkan, terutama bagi mereka yang kemampuan ekonomi orangtuanya lemah. Jika anak ingin di sekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu memberikan pelayanan pembelajaran. Sebagian mungkin diterima di SD terdekat namun mereka tidak mendapatkan pelayanan khusus, sehingga beresiko tinggal kelas dan berakhir untuk tidak melanjutkan sekolah atau putus sekolah. Permasalahan ini akan mengakibatkan kegagalan program wajib belajar dari pemerintah.

Berkaitan dengan masalah tersebut, saat ini pemerintah Indonesia telah melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan ini memberikan warna lain dari penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang terperinci dalam Pasal 15 dan 32 tentang pendidikan khusus yang menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat sekolah dasar dan menengah, maka saat ini pemerintah mulai menyelenggarakan pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi yaitu suatu bentuk layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi ini menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan,

(19)

maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PSLB dalam Tarnoto, 2013: 51).

Di Kabupaten Bantul terdapat 45 sekolah dasar yang dianggap mampu menerapkan sekolah inklusi. Sekolah dasar tersebut tersebar di 16 kecamatan di Kabupaten Bantul. Sekolah inklusi yaitu sekolah reguler yang mengakomodasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program pendidikan yang sama (Ilahi, 2013: 87). Dalam melaksanakan program sekolah inklusi, setiap sekolah harus memenuhi 8 aspek penyelenggaraan sekolah inklusi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu a) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengakomodasikan semua anak, b) Identifikasi, c) Adaptasi Kurikulum (Kurikulum fleksibel), d) Merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, e) Penataan kelas yang ramah anak, f) Asesmen, g) Pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan h) Penilaian dan evaluasi pembelajaran.

Penyelenggaraan sekolah inklusi tidak lepas dari suatu permasalahan.

Kepala Dinas Pendidikan (Dikdas) Bantul dalam berita “Bantul Kekurangan Guru Khusus Siswa Inklusi” oleh Ariyanti (2014: 1) mengakui jika dinas pendidikan tidak memiliki guru pendamping khusus (GPK). Selama ini, sekolah yang memiliki anak didik berkebutuhan khusus mendatangkan guru dari Sekolah Luar Biasa (SLB). Rombot (2007: 1) mengatakan jika terdapat kendala-kendala yang ditemukan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi. Kendala-kendala tersebut antara lain minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi, dan kurikulum pendidikan yang belum mengakomodasi seluruh peserta didik. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mustikasari (2017: 74) hasil olah data menunjukkan bahwa 66,66% sekolah dasar inklusi di Kabupaten Bantul sudah menerapkan delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi, tetapi belum maksimal, maka peneliti terdorong untuk melanjutkan penelitian tersebut yang dipusatkan pada permasalahan yang dihadapi sekolah dasar dalam pelaksanaan pendidikan inklusi terkait delapan aspek penyelenggaraan

(20)

sekolah inklusi di sekolah dasar di Kabupaten Bantul. Dari latar belakang di atas, peneliti mengangkat judul penelitian “Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD “Harapan Mulia” Kabupaten Bantul”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menentukan rumusan masalah yang akan diteliti. Rumusan masalah penelitian ini adalah “Apa permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di SD “Harapan Mulia”

Kabupaten Bantul?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menentukan dua tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di SD “Harapan Mulia” Kabupaten Bantul.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi sekolah inklusi di sekolah dasar terkait dengan penerapan 8 aspek penyelenggaraan sekolah inklusi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah mendapatkan data tentang permasalahan yang muncul dalam penerapan sekolah inklusi terkait dengan 8 aspek penyelenggaraan sekolah inklusi.

b. Bagi Peneliti

Peneliti dapat mendeskripsikan dan mengetahui permasalahan apa saja yang dihadapi oleh sekolah dasar inklusi terkait dengan pelaksanaan 8 aspek penyelenggaraan sekolah inklusi.

(21)

E. ASUMSI PENELITIAN

Sekolah dasar inklusi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan tingkat dasar yang diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus tanpa adanya diskriminasi atau perbedaan. Pada pelaksanaan sekolah dasar inklusi perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut sehingga diketahui tingkat keberhasilannya. Penyelenggaraan sekolah dasar inklusi diharapkan mampu menerapkan aspek sekolah dasar inklusi dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mustikasari (2017), hanya 66,66%

sekolah inklusi di Kabupaten Bantul yang sudah menerapkan delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi. Salah satu sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi di Kabupaten Bantul adalah SD “Harapan Mulia”. SD “Harapan Mulia” merupakan sekolah dasar inklusi yang paling sedikit melaksanakan delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi. Hal ini menjadi dasar untuk dipilihnya SD “Harapan Mulia” sebagai tempat penelitian. Asumsi penelitian ini adalah terdapat permasalahan terkait dengan delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi di SD “Harapan Mulia”.

F. DEFINISI OPERASIONAL 1. Pendidikan Inklusi

Pendidikan Inklusi adalah bentuk pelayanan pendidikan yang mengikutsertakan seluruh anak untuk belajar bersama tanpa membedakan latar belakang masing-masing, baik menyangkut kondisi fisik, intelekual, sosial, emosional, bahasa dan kondisi-kondisi lainnya.

2. Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah Dasar Inklusi sekolah reguler tingkat dasar yang menerima anak dengan kebutuhan khusus dan anak tidak berkebutuhan khusus untuk belajar dalam satu kelas yang sama.

3. Anak Berkebutuhan Khusus

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak-anak yang memiliki karakteristik yang berbeda dari anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus seperti anak-anak yang mengalami kecacatan atau kelainan (disability), anak dengan intelegensi tinggi atau gifted, dan anak yang mengalami hambatan

(22)

belajar, sehingga memerlukan perlakuan khusus dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya serta membutuhkan bantuan khusus dalam layanan pendidikan.

4. Kelas Bawah

Kelas bawah merupakan pembagian kelas yang terdiri dari kelas I, II dan III pada tingkat pendidikan sekolah dasar dengan rentan usia siswa yaitu 7-9 tahun.

(23)

7 BAB II KAJIAN TEORI

Dalam bab ini, peneliti menguraikan tentang kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir.

A. Kajian Teori 1. Pendidikan Inklusi

a. Pengertian Pendidikan Inklusi

Salamanca Statement (dalam Kustawan, 2013: 8) menyatakan bahwa pendidikan inklusi ramah anak mempunyai arti bahwa pendidikan/sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memperdulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang cacat, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat.

Staub dan Peck (dalam Ilahi, 2013: 27) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler. Pendidikan inklusi mengandung arti bahwa sekolah perlu mengakomodasi kebutuhan pendidikan semua anak dengan tidak menghiraukan kondisi fisik, intelekual, sosial, emosional, bahasa dan kondisi-kondisi lainnya (UNESCO dalam Jamaris, 2014: 88 ).

Dari beberapa pengertian menurut para ahli di atas, pendidikan inklusi dapat diartikan sebagai pelayanan pendidikan yang mengikutsertakan seluruh anak untuk belajar bersama dalam kelas reguler tanpa membedakan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang cacat, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat.

(24)

b. Tujuan Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 38-40) memaparkan bahwa pendidikan inklusi ditujukan pada semua kelompok yang termarginalisasi, tetapi kebijakan dan praktik inklusi anak penyandang cacat telah menjadi katalisator utama untuk mengembangkan pendidikan inklusi yang efektif, fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar. Munculnya suatu paradigma baru dalam sistem pendidikan pasti memiliki tujuan yang hendak membangun optimisme tinggi mengenai landasan pendidikan yang berbasis keadilan dan anti-diskriminasi.

Kustawan (2013: 10) memaparkan bahwa pendidikan inklusi ramah anak bertujuan untuk membangun konsep yang koheren dan kerangka kebijakan yang kontekstual dengan kondisi lingkungan, sehingga tersedia akses pendidikan dasar untuk semua anak. Dengan adanya kerangka kebijakan yang sesuai dengan kondisi lingkungan, tujuan pendidikan inklusi dapat semakin terarah sehingga pendidikan inklusi dapat berkembang secara efektif, fleksibel dan mengakomodasi seluruh anak.

Dalam perkembangan tujuan pendidikan inklusi, Ilahi (2013: 40) menjelaskan terdapat beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan inklusi yaitu:

1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;

2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Menurut pendapat para ahli tersebut, tujuan pendidikan inklusi adalah membangun dan mengembangkan pendidikan inklusi yang mampu mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan seluruh anak sehingga memberikan kesempatan bagi seluruh anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu tanpa adanya diskriminasi.

(25)

c. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 42) mengatakan bahwa pada hakikatnya pendidikan inklusi berupaya memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada setiap anak Indonesia untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang terbaik dan memadai demi membangun masa depan bangsa. Berkaitan dengan layanan bagi anak berkebutuhan khusus, menjelaskan bahwa karakter pendidikan inklusi tentu saja sangat terbuka dan menerima tanpa syarat anak Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan mereka dalam suatu wadah yang sudah direncanakan dengan matang.

Pendidikan inklusi memiliki empat karakteristik makna yang tertulis dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi, 2013: 43) antara lain, yaitu:

1) Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu;

2) Memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar;

3) Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya;

4) Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

Menurut pernyataan-pernyataan di atas, karakteristik pendidikan inklusi merupakan layanan pendidikan yang yang memberikan kesempatan kepada semua anak dengan potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan secara bersama-sama dengan anak pada umumnya. Proses pendidikan tersebut hendaknya berjalan terus menerus untuk menemukan cara-cara dalam merespon keragaman individu, memperdulikan hambatan- hambatan anak dalam belajar, dan diperuntukan bagi anak-anak eksklusif dan membutuhkan layanan khusus dalam belajar.

d. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 48-49) menjelaskan bahwa prinsip pendidikan inklusi berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi anak Indonesia

(26)

untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Prinsip dasar pendidikan inklusi sebagai sebuah paradigma pendidikan menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi menjamin akses dan kualitas yang terintegrasi tanpa terkecuali, sesuai dengan tujuan utama inklusi yaitu mendidik anak berkebutuhan khusus di kelas reguler bersama dengan anak- anak lainnya.

Dalam dokumen internasional, yang sesuai dengan pernyataan Salamanca Statement pada Pendidikan Kebutuhan Khusus dinyatakan beberapa poin penting berkaitan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Prinsip dasar yang pertama yaitu semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang latar belakang mereka.

Pada dasarnya pendidikan inklusi dapat dikatakan sebagai pendidikan yang berusaha untuk mengakomodasi seluruh perbedaan peserta didik, baik itu peserta didik yang berkebutuhan khusus maupun peserta didik yang tidak berkebutuhan khusus tanpa memandang latar belakang, perbedaan sosial, perbedaan emosional, perbedaan kultur maupun bahasa. Jadi intinya, pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan peluang yang sama untuk setiap anak yang agar dapat ditampung dalam layanan pendidikan yang memadai dan berkualitas.

2. Sekolah Inklusi

Salamanca Statement (dalam Ilahi, 2013: 85) menyatakan bahwa kelas khusus, sekolah khusus atau bentuk-bentuk lain pemisahan anak penyandang cacat dari lingkungan regulernya hanya dilakukan jika hakikat atau tingkat kecacatannya sedemikian rupa sehingga pendidikan di kelas reguler dengan menggunakan alat-alat bantu khusus atau layanan khusus tidak dapat dicapai secara maksimal. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk menerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusi memberikan pendidikan

(27)

yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.

Salamanca Statement and Framework for Action (dalam Kustawan, 2013:

9) menjelaskan bahwa sekolah reguler yang berorientasi inklusi adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat inklusif dan mencapai cita-cita pendidikan untuk semua. Ilahi (2013: 87) mengatakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengakomondasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama.

Dari beberapa pengertian menurut para ahli tersebut, sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang menerima anak dengan kebutuhan khusus maupun anak tidak berkebutuhan khusus untuk belajar dalam satu kelas yang sama serta menyediakan suatu layanan pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan setiap peserta didik. Berikut ini merupakan tabel daftar nama sekolah inklusi tingkat dasar yang berada di Kabupaten Bantul.

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Bantul No. Nama Sekolah Dasar Kecamatan

1. SD Jolosutro Piyungan

2. SD I Petir Piyungan

3. SD II Petir Piyungan

4. SD Muhammadiyah Krangturi Banguntapan

5. SD Muhammadiah Banguntapan

6. SDIT Salsabila 3 Banguntapan

7. SD I Jambidan Banguntapan

8. SD II Jambidan Banguntapan

9. SD Kepuhan Sewon

Berdasarkan tabel 2.1 diketahui bahwa di Kecamatan Piyungan terdapat tiga sekolah penyelengara inklusi yaitu SD Jolosustro, SD I Petir dan SD II Petir. Di Kecamatan Banguntapan juga terdapat lima sekolah dasar inklusi yaitu SD I Jambidan, SD II Jambidan, SD Muhammadiah, SD Muhammadiyah Krangturi, dan SDIT Salsabila 3. Di Kecamatan Sewon terdapat satu sekolah dasar inklusi yaitu SD Kepuhan. Sekolah-sekolah tersebut ditetapkan oleh pemerintah Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul sebagai penyelenggara sekolah inklusi.

(28)

3. Anak Berkebutuhan Khusus

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Ilahi (2013: 138) mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Kebutuhan ini mungkin disebabkan karena kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah tekanan ekonomi, sosial, emosional, politik dan perilaku yang menyimpang. Anak berkebutuhan khusus juga diartikan sebagai anak yang membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan segala hambatan dan kebutuhan masing-masing individu.

Directgov (dalam Thompson, 2010: 2) menjelaskan bahwa istilah ABK merujuk pada anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang membuatnya lebih sulit untuk belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan kebanyakan anak seusianya. Muhammad (2008: 36-38) juga menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat didefinisikan sebagai anak-anak yang berbeda dari anak-anak biasa dalam hal ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, kemampuan komunikasi, tingkah laku sosial, ataupun ciri-ciri fisik. Anak yang termasuk berkebutuhan khusus yaitu tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, cerebral palsy, gangguan emosi, kurang daya pemahaman, autis, dan perkembangan lambat.

Dari beberapa pengertian menurut para ahli tersebut, anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar antara lain anak tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, cerebral palsy, gangguan emosi, kurang daya pemahaman, autis, dan perkembangan lambat, di mana anak-anak tersebut membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan segala hambatan dan kebutuhan masing-masing individu.

b. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Hurlock (dalam Ilahi, 2013: 140) mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan perkembangan akibat langsung karena kecacatan atau bawaan sejak lahir, misalnya pada anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa,

(29)

tunagrahita, lamban belajar, anak berbakat, anak berkesulitan belajar, anak yang mengalamai gangguan komunikasi, tunalaras atau gangguan emosi dan perilaku.

Muhammad (2007: 92-140) menjelaskan beberapa kategori anak berkebutuhan khusus, yaitu:

a. Cacat mental

Anak-anak yang mengalami cacat mental adalah anak-anak yang mengalami keadaan perkembangan daya pikir yang kurang atau tidak lengkap, termasuk kecacatan dalam fungsi inteektual dan sosial.

Berdasarkan uji IQ (Intelliegence Quatient), anak-anak yang mengalami cacat mental dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

1) Ringan – skor IQ 50 hingga 75 2) Sedang – skor IQ 30 hingga 50 3) Serius – skor IQ 30 ke bawah b. Autisme

Autisme memiliki makna keadaan yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri. Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan adanya ganguan dalam komunikasi, interaksi sosial, gangguan indriawi, pola bermain, dan perilaku emosi. Gejala autisme mulai terlihat sebelum anak-anak berumur tiga tahun.

c. Cerebrum/Cerebral Palsy

Cerebrum/Cerebral Palsy berkaitan dengan ketidakmampuan fungsi kontrol motorik, terutama pengontrolan otot dan koordinasi. Tergantung pada bagian otak yang rusak, satu atau beberapa hali dari kondisi berikut dapat terjadi, yaitu:

1) Ketegangan otot

2) Pergerakan yang tidak bisa dikontrol 3) Gangguan dalam mobilitas

4) Sensasi dan presepsi yang abnormal

5) Kecacatan dalam penglihatan, pendengaran dan penuturan bahasa 6) Sakit secara tiba-tiba

(30)

d. Down Syndrome

Down Syndrome disebabkan oleh kromosom yang abnormal dan ini adalah penyebab terjadinya cacat mental. Anak-anak penderita down syndrome mempunyai 47 kromosom, melebihi 1 kromosom daripada kromosom orang normal. Anak-anak penderita down syndrome dapat dikenali sejak lahir karena fisik mereka yang jelas menunjukkan hal tersebut.

Kebanyakan anak-anak down syndrome mengalami cacat mental baik ringan maupun sedang, mereka juga rata-rata mempunyai kondisi kondisi wajah yang hampir sama, kulit yang berlipat dibagian dalam mata, muka yang hampir rata, dan terkadang lidahnya menjulur keluar.

e. Diskalkulia

Anak-anak yang mengalami masalah dalam matematika secara umum dan khususnya dalam penghitungan matematika. Tanda-tanda masalah diskalkulia, yaitu:

1) Sulit menyusun nomor berdasarkan orientasi ruang dan tidak bisa membedakan antara kanan dan kiri.

2) Sulit memahami konsep matematikan dalam kalimat.

3) Keliru mengenali nomor yang berbentuk hampir sama, seperti 7 dengan 9, dan 3 dengan 8.

4) Mengalami masalah dalam menggunakan kalkulator.

5) Tidak memiliki masalah dalam membaca dan biasanya pintar dalam mata pelajaran ilmu pasti (yang tidak membutuhkan kemampuan matematika) dan seni.

6) Sulit menginngat dan memahami konsep waktu dan arah, serta sulit mengingat nama orang lain.

7) Tidak dapat mengingat konsep matematika, rumus, faktor dasar dalam operasi matematika.

8) Kemampuan matematika rendah dan memiliki kesulitan dalam aktivitas yang berhubungan dengan penghitungan uang.

f. Disgrafia

Masalah pembelajaran spesifik yang berdampak pada kesulitan dalam menyampaikan hal yang ada dalam pikiran dalam bentuk tulisan, yang

(31)

akhirnya menyebabkan tulisannya menjadi buruk. Anak-anak dengan masalah disgrafia biasanya mempunyai masalah seperti menulis secara terbalik, tidak menulis dalam susunan yang benar, bentuk tulisannya buruk, sulit memahami huruf dan penjelasan lisan yang berurutan, akibatnya mereka harus menulis dengan perlahan dan lambat, sulit membaca struktur tulisan (ejaan, tanda baca, dsb).

g. Disleksia

Ketidakmampuan dalam memperoleh pengetahuan dari proses pembelajaran akibat kesulitan dalam menafsirkan kalimat. Anak-anak dengan disleksia adalah anak-anak yang menghadapi kesulitan dalam membaca, menulis, dan mengeja. Anak-anak dengan disleksia tidak dapat mengimbangi daya ingat akan huruf dengan perkataan dan mengahadapi masalah dalam mengingat bentuk huruf (misalnya huruf b dan d), bunyi huruf, dan gabungan kata.

h. Genius dan Berbakat

Anak-anak yang memiliki potensi ataupun kemampuan yang tinggi dalam bidang akademik, selain itu juga dapat membuat suatu kreasi yang unik, kreatif, dan mengagumkan.

i. Attention Deficit Hyperaktivity Disorder (ADHD)

Thompson (2010: 22-24) menjelaskan anak-anak attention deficit hyperaktivity disorder merupakan gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas, terdapat tiga kategori diagnosis yaitu:

1) Tidak perhatian, yaitu anak-anak memiliki kesulitan berkonsentrasi pada tugas-tugas sekolah dan cenderung berpindah dari satu tugas ke tugas yang lainnya, serta cepat kehilangan motivasi jika merasa tugas tersebut membosankan.

2) Impulsif, yaitu anak ADHD sering dianggap “nakal” karena mereka bertingkah tanpa membayangkan atau memikirkan akibatnya. Contoh misalnya saat bermain anak ADHD sulit menunggu gilirannya dan akan “mendahului” yang lain, berusaha mencari perhatian dan saat diskusi suka meneriakkan jawabannya.

(32)

3) Hiperaktivitas

Anak ADHD sering menunjukkan tanda-tanda hiperaktivitas, termasuk tingkah laku seperti mengetuk-ngetuk tangan/kaki, bicara berlebihan, dan sulit duduk diam lebih dari beberapa detik.

j. Tunagrahita (hambatan intelektual)

Anak yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengn ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Tunagrahita diklasifikasikan menjadi tiga golongan yaitu:

1) Tunagrahita ringan, mereka memiliki IQ antara 69-55 dan masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.

2) Tunagrahita sedang, mereka memiliki IQ antara 54-40 dan dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.

3) Tunagrahita berat, mereka memiliki IQ antara 39-25 dan yang sangat berat memiliki IQ di bawah 24, mereka memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan dan lain- lain.

k. Tunanetra (hambatan indra penglihatan)

Anak yang mengalami hambatan penglihatan. Tunanetra terbagi menjadi dua golongan yaitu buta total yaitu anak yang tidak mampu melihat sama sekali dan low vision yaitu anak yang memiliki kelainan penglihatan sedemikian rupa, tetapi masih dapat membaca huruf yang dicetak tebal dan besar baik menggunakan alat bantu penglihatan maupun tidak.

l. Slow Learner (lambat belajar)

Anak yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit di bawah rata-rata dari anak pada umumnya, namun bukan tergolong anak keterbelakangan mental. Jika dilakukan tes IQ mereka menunjukkan skor antara 70-90.

(33)

4. Aspek Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 49) mengatakan bahwa dalam sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektifitas suatu pendidikan. Kustawan (2013: 61) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan sekolah inklusi, terdapat aspek penyelenggaraan sekolah inklusi sekolah yang dapat mengakses seluruh anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Aspek-aspek tersebut adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengakomodasikan semua anak, identifikasi, asesmen, kurikulum fleksibel, merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, serta penilaian dan evaluasi pembelajaran.

a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang Mengakomodasikan Semua Anak

Kustawan (2013: 90-92) mengatakan bahwa pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SD/MI pada setiap tahun pelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah. Sumber daya yang dimiliki sekolah antara lain:

1) Sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, 2) Sumber daya sarana dan prasarana, dan

3) Sumber daya biaya

Dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru, sekolah dapat membentuk tim atau kepanitiaan yang terdiri atas guru pendidik khusus dan/atau konselor yang sudah memahami tentang pendidikan inklusi dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Sekolah yang memiliki psikolog maupun Guru Pendamping Khusus (GPK) juga dapat bekerjasama untuk membantu dalam kepanitiaan penerimaan peserta didik baru dan ikut serta dalam pelaksanaan.

Salah satu persyaratan PPDB bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang dicantumkan dalam pedoman PPDB yaitu setiap calon peserta didik baru yang akan mendaftar harus membawa atau melampirkan hasil pemeriksaan dokter umum atau dokter spesialis, misalnya bagi peserta didik

(34)

tunanetra atau gangguan penglihatan dapat menyertakan hasil pemeriksaan dari dokter mata, bagi peserta didik tunarungu dapat menyertakan hasil pemeriksaan dari dokter THT atau bagi peserta didik yang memiliki hambatan/gangguan kecerdasan (tunagrahita) dan anak dengan potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat melampirkan hasil pemeriksaan Tes IQ dari psikolog

Sekolah dasar inklusi yang menerima peserta didik berkebutuhan khusus, hendaknya mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah dan mengalokasikan kursi atau quota bagi peserta didik berkebutuhan khusus.

kursi bagi peserta didik (quota) paling sedikit terdapat 1 peserta didik yang berkebutuhan khusus dalam satu rombongan belajar yang akan diterima dan biasanya terdapat 1-3 peserta didik berkebutuhan khusus dalam satu kelas.

Pengaturan ini dalam upaya memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kekuatan sekolah dan dalam upaya pemerataan penyebaran peserta didik di wilayah/daerahnya masing-masing.

Ilahi (2013: 182-183) mengatakan bahwa peserta didik adalah seseorang yang terdaftar dalam satu jalur, jenjang, dan jenis lembaga pendidikan yang selalu ingin mengembangkan kemampuan akademik maupun non-akademik.

Di samping itu peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga memerlukan pendidikan khusus, yaitu: 1) peserta didik dengan kecerdasan luar biasa, 2) peserta didik dengan kreativitas luar biasa, 3) peserta didik dengan bakat seni dan/atau olah raga luar biasa, dan 4) gabungan dari dua atau lebih jenis-jenis di atas.

b. Identifikasi

Muhammad (2008: 50-51) menjelaskan bahwa dalam menangani anak berkebutuhan khusus, terdapat dua prinsip utama yang harus diikuti yaitu mengenali gejala kecatatan sedini mungkin dan melakukan intervensi awal berdasarkan masalah yang dihadapi. Peranan pihak sekolah dari tahap pengenalan awal, yaitu:

1) Guru kelas harus peka jika anak-anak kurang memberi perhatian dan kurang baik dalam pembelajaran.

(35)

2) Guru kelas harus sadar bahwa di antara siswa-siswa terdapat siswa yang mengalami masalah dalam pembelajaran.

3) Anak-anak yang baru memulai masa sekolahnya di tahun pertama harus diseleksi untuk mengenali masalah pembelajaran yang spesifik jika ia ternyata belum bisa menulis namanya sendiri.

4) Menyerahkan anak-anak pada tim kesehatan sekolah atau klinik kesehatan terdekat untuk pemeriksaan yang lebih rinci.

5) Mengetahui tanda-tanda awal masalah pembelajaran pada anak.

Glazzard, dkk (2016: 146) mengatakan bahwa tanggung jawab untuk mengidentifikasi ABK dan memenuhi kebutuhan siswa secara individu tidak hanya dilakukan oleh Guru Pendamping Khusus tetapi dilakukan oleh semua guru. Kustawan (2013: 93) menjelaskan bahwa identifikasi merupakan upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menemukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan atau kelainan atau ganguan baik secara fisik, mental, emosi, dan sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan. Dalam pelaksanaan identifikasi, guru dapat melaksanakannya dengan melihat gejala yang nampak dengan melakukan observasi ataupun pengamatan. Gejala-gejala tersebut meliputi gejala fisik, perilaku dan hasil belajar anak.

Tabel 2.2 Gejala-gejala yang Dapat Diamati dalam Identifikasi

No. Hambatan Gejala yang Dapat Diamati

1. Fisik

1.1. Gangguan penglihatan 1.2. Gangguan pendengaran 1.3. Gangguan bicara/wicara 1.4. Gangguan fungsi gerak 1.5. Gangguan fisik

1.6. dsb.

2. Perilaku 2.1. Emosi yang labil (Emosional/Temperamental) 2.2. Perilaku sosial yang tidak baik atau negatif (suka membolos, sering bertengkar, sering membolos, malas, dsb.)

2.3. Perilaku sosial yang tidak sesuai dengan norma yang

(36)

berlaku di masyarakat.

3. Hasil belajar 3.1. Prestasi belajar anak yang rendah 3.2. Prestasi belajar yang sesuai standar

3.3. Prestasi belajar yang tinggi (di atas standar) c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)

Guru diwajibkan untuk menyusun perencanaan pembelajaran bagi siswanya. Perencanaan pembelajaran ini harus benar-benar memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki oleh anak dan berpusat pada anak (Kustawan, 2013: 105). Untuk memenuhi kebutuhan seluruh siswa, kurikulum yang digunakan harus merupakan kurikulum yang fleksibel.

Kurikulum yang dibuat secara nasional hendaknya memberikan kebebasan kepada pihak sekolah untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan sesuai dengan perbedaan kemampuan dan minat yang diiliki oleh masing-masing anak

Fleksibilitas kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus dapat diimplementasikan dalam Program Pembelajaran Individu (PPI). PPI ini merupakan program pembelajaran yang disusun sesuai kebutuhan individu dengan bobot materi yang berbeda-beda dari kelompok dalam kelas dan dilaksanakan dalam seting klasikal. Penyesuain kurikulum ini dilakukan oleh Tim pengembangan kurikulum di sekolah yang terdiri dari Kepala Sekolah, Guru Kelas, Guru Mata Pelajaran, Guru Pendamping Khusus (GPK), Orang Tua dan Ahli lainnya sesuai dengan kebutuhan seperti psikolog atau terapis.

Muhammad (2008: 29) mengatakan bahwa siswa dengan kebutuhan khusus diberi pendidikan menggunakan kurikulum yang sama dengan siswa lainnya dan penyesuaian kurikulum dibuat di dalam kelas dan didukung dengan pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang terbaik agar siswa mampu meraih pencapaian optimal. Ilahi (2013: 171) menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah rerguler atau kurikulum nasional yang dimodifikasi atau disesuaikan dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat perkembangan anak.

Menurut pernyatan-pernyataan di atas, ruang lingkup kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus adalah kurikulum sekolah reguler yang dalam hal-

(37)

hal tertentu dilakukan penyesuaian dan modifikasi sesuai dengan hambatan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Penyesuaian dan modifikasi tersebut meliputi cara, media, materi dan penilaian pembelajaran.

d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak

Syaodih (dalam Ilahi, 2013: 172) menjelaskan bahwa salah satu komponen dalam kurikulum yang harus dimodofikasi salah satunya adalah materi atau bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik dan sub-sub topik tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan yang ditetapkan.

Bagi anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di atas normal materi dapat diperluas atau diperdalam atau ditambah dengan materi baru yang penting bagi anak tersebut. Kemudian bagi anak yang memiliki intelegensi di bawah normal (anak lambat belajar/tunagrahita) materi dapat diturunkan tingkat kesulitan materi atau dihilangkan pada bagian tertentu.

Kustawan (2013: 111) mengatakan bahwa bentuk penyesuaian dalam kegiatan pembelajaran yaitu pembelajaran dibuat lebih interaktif sehingga mampu mengundang setiap anak untuk berpartisipasi secara penuh. Bahan ajar atau materi pembelajaran yang fleksibel atau ramah anak secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari anak berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya atau hambatannya dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Dalam kegiatan pembelajaran, guru hendaknya merencanakan pembelajaran dengan baik sehingga tujuan dalam kegiatan pembelajaran dapat tercapai. Untuk itu, guru juga harus menyusun strategi pembelajaran yang dapat mengakomodasi seluruh siswa.

Ilahi (2013: 173-174) mengatakan bahwa perencanaan pembelajaran hendaknya dibuat berdasarkan hasil asesmen dan dibuat bersama antara guru kelas dan guru khusus dalam bentuk Program Pembelajaran Individual (PPI).

Pelaksanaan pembelajaran juga lebih mengutamakan metode pembelajaran kooperatif dan partisipatif, memberi kesempatan yang sama kepada siswa

(38)

yang lain, menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara kolaborasi antara guru khusus dan guru kelas, serta menggunakan media, sumber daya, dan lingkungan yang beragam sesuai dengan keadaan. Pada proses pembelajaran, hendaknya guru juga menjaga suasana kelas agar tetap efektif dan kondusif. Dengan suasana kelas yang kondusif, bahan ajar/materi yang disampaikan oleh guru dapat diterima oleh anak dengan baik.

e. Penataan Kelas yang Ramah Anak

Dalam pengelolaan kelas, guru juga harus bisa menata bentuk kelas agar nyaman bagi siswa dalam belajar. Kelas harus dirancang agar memiliki suasana yang menyenangkan, nyaman dan aman serta dapat menimbulkan motivasi peserta didik untuk belajar. Kustawan (2013: 114) mengatakan bahwa pengaturan ruang kelas bisa berdasarkan pada tujuan pembelajaran, waktu yang tersedia dan kepentingan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM). Penataan meja dan kursi dapat diatur dan dengan mudah dipindahkan untuk mempersiapkan kerja kelompok.

Papan tulis bisa disediakan lebih dari satu, ada papan panjang, dan tempat pemajangan hasil karya anak serta adanya pojok belajar. Kelas hendaknya juga memiliki pencahayaan, suhu dan ventilasi udara yang baik. kelas dicat dengan warna yang indah, bisa bermacam-macam warnanya namun tidak menyilaukan.

Friend dan Bursuck (2015: 270) menjelaskan bahwa upaya seorang guru dalam memajukan ketertiban dan mendorong para siswa untuk ikut serta dalam proses pembelajaran di sebuah ruang kelas disebut pengelolaan kelas yang meliputi:

1) Penataan unsur fisik (penggunaan dinding, lebar lantai, dan pencahayaan).

2) Rutinitas ruang kelas (untuk kegiatan akademis dan nonakademis).

3) Iklim ruang kelas (sikap terhadap perbedaan individu) 4) Pengelolaan perilaku (peraturan kelas dan pemantauannya)

5) Pemanfaatan waktu (untuk kegiatan pengajaran dan nonpengajaran)

Guru-guru juga menggunakan berbagai macam pengaturan pengelompokan ruang kelas, di mana guru akan mengajar seisi kelas dalam

(39)

satu waktu dan adakalanya guru akan menerapkan kelompok kecil atau pengajaran satu hadap satu.

Kustawan (2013: 115) menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penataan ruang kelas yaitu:

1) Ukuran dan bentuk kelas.

2) Bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik.

3) Jumlah anak didik dalam kelas.

4) Jumlah anak didik dalam setiap kelompok.

5) Jumlah kelompok dalam kelas.

6) Komposisi anak didik dalam kelompok (seperti anak didik pandai dengan anak didik kurang pandai, terdapat siswa laki-laki dan perempuan).

f. Asesmen

Jamaris (2014: 45-48) menjelaskan bahwa asesmen merupakan proses yang dilakukan dalam kegiatan secara sitematis dalam rangka mengumpulkan informasi tentang perkembangan anak dan kemajuan belajar yang dicapainya.

Asesmen mencakup kegiatan screening (pengukuran), diagnosis dan evaluasi yang ditujukan untuk memperoleh informasi tentang perencanaan, pelaksanaan program dan evaluasi keberhasilan program. Asesmen terhadap anak yang mengalami kesulitan belajar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1) Asesmen formal, menggunakan alat asesmen yang telah baku seperti Tes Intelegensi dan Tes Pencapaian Hasil Belajar.

2) Asesmen informal, menggunakan alat asesmen yang belum baku, seperti alat asesmen yang dikembangkan oleh guru. Asesmen informal dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu mengobservasi kekuatan dan kelemahan kemampuan siswa dalam belajar, melakukan pretes dan postes, memeriksa hasil kerja siswa, dan lain-lain.

Kustawan (2013: 97) menjelaskan bahwa kegiatan asesmen dilakukan dengan menfokuskan perhatian pada proses pembelajaran siswa yang terjadi di rumah, sekolah dan lingkungan belajar lain serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses pembelajaran siswa, sehingga kegiatan asesmen ini

(40)

diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi kelainan seseorang meskipun sifatnya sulit terlihat dengan jelas. Seorang guru yang hendak melakukan asesmen harus memperhatikan tentang hal-hal sebagai berikut.

1) Menyadari kegiatan-kegiatan asesmen yang sedang dilakukannya.

2) Memiliki bekal yang cukup dalam melakukan asesmen.

3) Memiliki alat instrumen yang baik untuk menelaah data yang diperolehnya.

4) Memiliki kemampuan untuk menganalisa dan menginterpretasikan data yang sudah diperoleh.

Friend dan Bursuck (2015: 210-217) menjelaskan bahwa para guru pendidikan umum berkontribusi dalam proses asesmen informasi pada enam ranah penting pengambilan keputusan berikut ini, yaitu:

1) Screening

Screening meliputi keputusan untuk menentukan proses kemajuan seorang peserta didik yang dianggap cukup berbeda dengan peserta didik lainnya sehingga patut untuk menerima perubahan pengajaran, atau asessmen yang lebih mendalam untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas. Jamaris (2014:

102) menjelaskan Screening merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi apakah pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usia atau sesuai dengan yang seharusnya.

2) Diagnosis

Keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut pada kelayakan atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan ketentuan hukum bahwa peserta didik dianggap layak untuk dianggap menyandang disabilitas atau tidak

3) Penempatan program

Bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima peserta didik, seperti di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber, atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah.

(41)

4) Penempatan kurikulum

Penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level apa yang akan dipilih untuk memulai pengajaran peserta didik. Informasi mengenai penempatan kurikulum ini juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi guru untuk mengetahui sejauh mana peserta didik penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum.

5) Evaluasi pengajaran

Keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan guru pada peserta didik.

6) Evaluasi program

Keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus bagi seorang siswa.

g. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif

Kustawan (2013: 117-118) mengatakan bahwa media pembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan khusus hakikatnya adalah media yang dirancang, dibuat, dipilih dan digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat bermanfaat atau berguna dan cocok dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan, tujuan materi, kemampuan dan karakteristik anak agar menunjang efisiensi dan efektivitas proses dan hasil belajar.

Syaodih (dalam Ilahi, 2013: 175) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa. Terdapatnya anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah reguler (SD/MI), maka guru hendaknya menyesuaikan media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.

h. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran

Kustawan (2013: 118) mengatakan bahwa Kriteria Kentuntasan Minimal (KKM) kriteria paling rendah yang digunakan sebagai acuan dalam penilaian

(42)

hasil belajar anak, baik anak berkebutuhan khusus maupun anak tidak berkebutuhan khusus. Setiap SD/MI harus menetapkan KKM sebelum awal tahun pelajaran baru. Dalam seting pendidikan inklusi, penilaian dapat diartikan sebagai proses pengumpulan data dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian prestasi belajar peserta didik setelah selesai mengikuti pembelajaran. Hasil dari penilaian digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap ketuntasan belajar anak, efektivitas proses pembelajaran dan umpan balik.

Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan secara berkesinambungan guna memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar yang bersifat akademik dan nonakademik.

Muhammad (2008: 189) menjelaskan bahwa bagi siswa berkebutuhan khusus penilaian sangat penting untuk membantu memastikan pemenuhan kebutuhan mereka. Dua aspek penting dalam penilaian adalah:

1) Penilaian dan proses ujian adalah untuk memantau kemajuan siswa.

2) Cara bagaimana sekolah melakukan penangananterhadap perkembangan siswa dengan kebutuhan khusus, termasuk penanganan ujian wajib.

Penilaian hasil belajar oleh SD/MI bertujuan untuk menilai pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk kelompok mata pelajaran, kekhususan dan vokasional dengan mempertimbangkan hasil penilaian anak oleh guru (Kustawan, 2013: 126). Berikut beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan guru di SD/MI yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, yaitu:

1) Tes tertulis adalah teknik penilaian yang menuntut jawaban secara tertulis, baik berupa tes objektif dan uraian, bentuk instrumennya antara lain pilihan ganda, menjodohkan, isian singkat dan uraian.

2) Observasi adalah teknik penilaian yang dilakukan dengan cara mencatat hasil pengamatan terhadap objek tertentu. Pelaksanaan observasi ini dilakukan dengan cara menggunakan instrumen yang sudah dirancang sebelumnya sesuai dengan jenis perilaku yang akan diamati dan situasi yang akan diobservasi, misalnya di dalam kelas, waktu istirahat atau ketika bermain.

(43)

3) Tes kinerja adalah teknik penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan kemahirannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari misalnya berupa kemahiran mengidentifikasi alat-alat yang diperlukan untuk melakukan kinerja tertentu, bersimulasi, ataupun melakukan pekerjaan yang sesungguhnya. Contohnya bagi anak tunanetra dapat mendemonstrasikan kemahiran membaca dan menulis huruf braille. Bagi anak tunarungu dapat mendemonstrasikan kemahiran menggambar, menari, mengetik dan menggunakan komputer, membuat kue, dan menjahit pakaian. Bagi anak tunagrahita dapat mendemonstrasikan kemahiran mengancingkan baju, menyisir rambut, menyanyi, menjalankan mesin jahit dan mesin tenun.

4) Penugasan adalah suatu teknik penilaian yang menuntut peserta didik mengerjakan tugas di luar kegiatan pembelajaran di kelas. Penugasan dapat diberikan dalam bentuk individual atau kelompok dalam bentuk pekerjaan rumah atau projek.

5) Tes lisan dilaksanakan oleh peserta didik melalui komunikasi langsung tatap muka antara peserta didik dengan seorang guru atau beberapa guru.

Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan dan spontan. Bentuk instrumen tes lisan berupa daftar pertanyaan.

6) Portofolio merupakan penilaian yang dilakukan dengan cara menilai hasil karya anak. Portofolio juga berarti kumpulan karya-karya anak dalam bidang tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan, prestasi atau kreativitas anak.

Anak berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan yang mengikuti pendidikan di SD/MI memiliki hambatan berlajar yang bervariasi. Dalam melakukan penilaian hasil belajar kepada anak berkebutuhan khusus diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian yang sesuai dengan jenis hambatan belajar yang dialami, yang meliputi:

a. Penyesuaian waktu

Penyesuaian waktu adalah penambahan waktu yang dibutuhkan oleh seorang anak yang berkebutuhan khusus dalam mengerjakan tes, ulangan, ujian dan tugas lain. Contoh anak tunanetra memerlukan waktu lebih lama

(44)

untuk mengerjakan ujian baik dibacakan oleh orang lain maupun dengan huruf braille. Penyesuaian waktu dapat terjadi pada anak berkebutuhan khusus lainnya sesuai kebutuhan masing-masing.

b. Penyesuaian cara

Penyesuaian cara adalah modifikasi cara yang dilakukan oleh guru dalam memberikan tes ulangan, ujian dan tugas lainnya. Contohnya adalah anak tunadaksa yang mengalami kesulitan motorik tangan hampir tidak mungkin mengerjakan soal-soal ujian yang jawabannya dalam bentuk tertulis maka ujian dapat dilakukan secara lisan dengan alat bantu tertentu. Penyesuaian cara dapat terjadi pada anak berkebutuhan khusus lainnya sesuai kebutuhan masing-masing.

c. Penyesuaian materi/isi

Penyesuaian materi/isi adalah penyesuaian tingkat kesulitan bahan dan penggunaan bahan dalam soal yang berhubungan dengan hasil belajar anak berkebutuhan khusus. Sebagai contoh yaitu anak autis yang sulit untuk mengikuti pelajaran yang tingkat kesulitannya sama dengan anak lainnya, maka materi dapat disesuaikan dengan masing-masing anak. Penyesuaian materi/isi dapat terjadi pada anak berkebutuhan khusus lainnya sesuai kebutuhan masing-masing.

B. Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung penelitian ini, berikut disajikan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang pertama di lakukan oleh Kumal Faudi pada tahun 2011 dengan judul Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di Provinsi DKI Jakarta. Pada penelitian yang ditulis peneliti mengatakan bahwa metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian yaitu studi kasus serta menggunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam atau tidak terstruktur dan dokumentasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Provinsi DKI Jakarta dan bagaimana implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Provinsi DKI Jakarta.

Gambar

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Bantul  No.  Nama Sekolah Dasar  Kecamatan
Tabel 2.2 Gejala-gejala yang Dapat Diamati   dalam Identifikasi
Gambar 1. Literatur map penelitian yang relevan
Tabel 3.1 Kisi-kisi Pedoman Wawancara Permasalahan Sekolah Dasar  Inklusi Kelas Bawah di SD “Harapan Mulia”
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada pemilihan pose atau gerakan tentu tidak sembarang, selain bersumber dari para ahli, gerakan asanas juga harus memiliki kebermanfaatan yang sesuai dengan penyakit yang

Berdasarkan hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing DNA terhadap tiga sediaan gummy yang diuji dapat disimpulkan bahwa sediaan gummy A mengandung DNA

While the second part of questionnaire assessed project success that was influenced by stakeholder psychological empowerment and there were 5 variabel indicators;

Jadi mekanisme yang dilakukan oleh Rahima adalah perekrutannya itu seperti system gugur, saya beruntung pada saat itu ketika pertama kali rahima mengadakan

Oleh sebab itu, maka topik penelitian ini adalah bagaimana membuat sebuah model pemilihan vendor software ERP dengan memperhatikan tiga perspektif (Perspektif Bisnis,

Hasil data yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu jumlah keseluruan modals yang ditemukan dalam novel Jungle Nurse karya Roberts sebanyak 750 kali, dan yang

Pelaksanaan diare tidak berjalan dengan maksimal serta Mengadakan Pelatihan tentang Penyakit Diare kepada tenaga kesehatan dalam monitoring pelaksanaan program

Berdasarkan uraian diatas, maka judul penelitian ini adalah “ ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DENGAN CORPORATE