V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. MODEL PERENCANAAN PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM
1. Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah
Model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah digunakan untuk mengetahui tingkat permintaan benang sutera mentah khususnya pada pasar domestik atau dalam negeri. Untuk melakukan analisis prakiraan permintaan ini dibutuhkan data impor benang sutera mentah dari negara lain ke Indonesia dan data ekspor benang sutera mentah dari Indonesia ke negara lain. Data impor dan ekspor tersebut digunakan untuk mengetahui nilai net impor dari benang produk sutera mentah di Indonesia. Penghitungan nilai net impor benang sutera mentah dilakukan dengan cara mencari selisih nilai impor dan ekspor benang sutera mentah pada periode waktu tertentu. Net impor tersebut digunakan sebagai gambaran kebutuhan benang sutera mentah di Indonesia. Pada program aplikasi Sidi-Kuu data impor dan ekspor benang sutera mentah tersebut dikelompokkan per bulan, dan prakiraan permintaan yang dianalisis dari nilai net impor juga dibuat per bulan. Data impor ekspor benang sutera mentah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Bulan
Tahun
2008 2009
Impor Ekspor Impor Ekspor
JANUARI 719 0 329 0 FEBRUARI 3392 0 300 0 MARET 6490 0 33 0 APRIL 121 0 8511 0 MEI 2930 0 3872 0 JUNI 1183 0 3545 0 JULI 4700 0 9115 0 AGUSTUS 11 0 6212 0 SEPTEMBER 185 0 OKTOBER 716 0 NOVEMBER 50 0 DESEMBER 23 0 Sumber : BPS (2009)
46 a. Masukan model
Data yang digunakan pada model ini adalah data impor dan ekspor benang sutera mentah per bulan. Data impor dan ekspor tersebut dimulai pada bulan Januari 2008 hingga Agustus 2009 . Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data-Data-data impor dan ekspor tersebut berfungsi sebagai data aktual yang harus dipenuhi sebelum dapat memprakirakan nilai net impor pada periode berikutnya. Selain data-data aktual tersebut, untuk dapat memprakirakan nilai net impor pada periode berikutnya diperlukan masukan inisiasi awal diantaranya periode peramalan yang diinginkan, parameter untuk perhitungan metode MA (Moving Average), nilai alpha, dan nilai beta. Nilai inisasi yang digunakan pada program aplikasi Sidi-Kuu terdiri dari nilai periode peramalan sebesar empat periode, parameter MA = 4, nilai alpha dan nilai beta masing-masing sebesar 0,1.
Nilai inisasi yang telah diisi akan dimasukkan ke dalam perhitungan peramalan yang menggunakan lima metode time series untuk menghasilkan nilai prakiraan net impor pada periode berikutnya. Lima metode peramalan yang digunakan yaitu MA, DMA (Double Moving Average), SES (Single Exponential Smoothing), Brown’s Method, dan Holt’s Method.
b. Keluaran Model
Hasil dari perhitungan pada model prakiraan permintaan adalah nilai MAPE dari lima metode prakiraan/peramalan yang digunakan. Kemudian kelima nilai MAPE tersebut dibandingkan untuk menentukan metode terbaik yang digunakan untuk melakukan prakiraan net impor yang menggambarkan prakiraan permintaan pada periode berikutnya. Metode yang dipilih adalah metode yang menghasilkan nilai MAPE terkecil. Nilai MAPE yang dihasilkan dari perhitungan nilai prakiraan permintaan benang sutera mentah oleh masing-masing metode prakiraan dapat dilihat pada Tabel 5.
47 Tabel 5. Nilai MAPE yang dihasilkan dari perhitungan nilai prakiraan
permintaan benang sutera mentah Kriteria
Metode Peramalan
MA DMA SES Brown’s
Method
Holt’s Method MAPE 1622,3 1769,7 1628,3 2087,6 8270,3
Berdasarkan hasil perhitungan, metode yang paling cocok digunakan pada model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah adalah MA. Metode ini menghasilkan nilai MAPE terkecil dibandingkan keempat metode prakiraan/peramalan lainnya. Hasil prakiraan net impor yang didapatkan dengan menggunakan metode MA untuk empat bulan ke depan (September-Desember 2009) sebesar 5.686 kg benang sutera mentah.
c. Tampilan Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah
Tampilan model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah dapat dilihat pada Gambar 14. Tampilan model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah pada program aplikasi Sidi-Kuu menampilkan grafik yang menggambarkan data aktual net impor benang sutera mentah pada bulan Januari 2008 hingga bulan Agustus 2009, serta grafik yang menggambarkan prakiraan dalam net impor yang digunakan sebagai gambaran permintaan benang sutera mentah. Selain itu, dari tampilan model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah akan diketahui nilai rata-rata net impor per bulannya. Nilai rata-rata net impor tersebut didapatkan dengan cara membagi total nilai net impor dengan jumlah data net impor yang ada. Nilai rata-rata net impor yang dihasilkan nantinya akan diolah untuk selanjutnya dipakai dalam menentukan kapasitas produksi pada model analisis kelayakan finansial budiaya dan agroindustri sutera alam.
48 Gambar 14. Tampilan model analisis prakiraan permintaan benang
sutera mentah
2. Model Pemilihan Lokasi Alternatif Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam
Model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam merupakan model yang digunakan untuk menentukan urutan lokasi terbaik budidaya dan agroindustri sutera alam dari sejumlah alternatif lokasi yang ada. Model ini terdiri dari kriteria-kriteria penilaian yang mempengaruhi kelangsungan budidaya dan agroindustri sutera alam. Kedua kegiatan ini dibuat terintegrasi dalam satu kegiatan, sehingga kriteria-kriteria yang dibuat dalam model ini dibuat untuk memenuhi persyaratan lokasi untuk budidaya ulat sutera dan juga agroindustri sutera alam.
a. Masukan Model
Lokasi yang dijadikan alternatif pada program aplikasi Sidi-Kuu adalah 30 kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menentukan pilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam terdiri dari ketinggian tempat, suhu, kelembaban relatif, curah hujan rata-rata, lama penyinaran, kecepatan angin, kemiringan lahan, jenis tanah, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan air, ketersediaan listrik, keadaan jalan, ketersediaan lahan, dan akses pemasaran.
49 1) Kriteria Pembobotan Nilai
Lokasi terbaik ditentukan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang di dalamnya terdapat perhitungan dari bobot setiap alternatif dengan bobot kriteria yang ada. Penentuan lokasi yang paling cocok untuk dijadikan tempat budidaya dan agroindustri sutera alam dilakukan dengan cara pengisian nilai untuk masing-masing alternatif lokasi berdasarkan kriteria yang ada dengan skala 1-5. Nilai 1 merupakan skala terkecil yang diberikan, sedangkan nilai 5 merupakan skala terbesar dari alternatif yang ada. Penjelasan mengenai kriteria dan bobot kriteria alternatif dari masing-masing lokasi adalah sebagai berikut.
Ø Ketinggian tempat
Ketinggian tempat merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam. Hal ini dikarenakan ketinggian tempat akan berpengaruh langsung terhadap suhu suatu tempat. Ketinggian tempat akan berpengaruh pada kualitas pemeliharaan ulat sutera dan pertumbuhan tanaman murbei. Ketinggian optimum untuk melakukan budidaya ulat sutera adalah 500-700 meter di atas permukaan air laut. Tabel 6 menyajikan pemberian nilai terhadap ketinggian tempat pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 6. Kriteria ketinggian tempat Ketinggian Tempat
(m.dpl)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif 500-700 5 400-500 4 200-400 3 650-1000 2 1000-1400 1
50 Ø Suhu
Suhu udara suatu tempat dipengaruhi ketinggian tempat tersebut. Semakin tinggi letak suatu lokasi dari permukaan air laut, maka suhu udara di lokasi tersebut akan cenderung lebih rendah. Suhu udara optimum untuk melakukan pemeliharaan ulat sutera dan tanaman murbei adalah berkisar antara 23-27 o
C. Pemeliharaan ulat sutera dan tanaman murbei dapat dilakukan pada tempat yang memiliki suhu udara berbeda dari suhu udara optimum tersebut, namun perlu mendapat beberapa perlakukan dalam pemeliharaan ulat sutera agar tetap bisa mendapatkan hasil panen terbaik. Tabel 7 menyajikan pemberian nilai terhadap suhu pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 7. Kriteria suhu udara Suhu udara
(oC)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif 23-27 5 20-23 4 17-19 3 15-17 2 27-30 1 Ø Kelembaban Relatif
Kelembaban relatif suatu lokasi alternatif akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera dan tanaman murbei. Kelembaban yang tidak sesuai akan mengakibatkan tumbuhnya jamur atau timbulnya penyakit pada ulat sutera maupun tanaman murbei, hal ini akan mengakibatkan menurunnya produktivitas panen kokon. Sehingga akan menyebabkan kerugian bagi petani dan pelaku agroindustri benang. Kelembaban relatif suatu lokasi yang terbaik untuk pertumbuhan ulat sutera dan tanaman murbei adalah berkisar antara 75-85%. Tabel 8 menyajikan pemberian nilai terhadap
51 kelembaban relatif pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 8. Kriteria kelembaban relatif Kelembaban Relatif
(%)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif 75-85 5 70-75 4 65-70 3 60-65 2 85-95 1 Ø Curah hujan
Curah hujan akan berpengaruh pada kualitas daun murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutera. Curah hujan yang optimum membuat kualitas daun murbei menjadi baik, sehingga kualitas kokon yang diperoleh dari ulat sutera juga akan baik. Curah hujan optimum yang baik untuk pemeliharaan ulat sutera dan tanaman murbei adalah berkisar antara 2.000-2.200 mm/tahun. Tabel 9 menyajikan pemberian nilai terhadap curah hujan pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 9. Kriteria curah hujan Curah Hujan
(mm/tahun)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif 2.000-2.200 5 1.500-2.000 4 800-1.500 3 2.200-3.000 2 3000-3500 1 Ø Lama penyinaran
Lama penyinaran suatu lokasi alternatif akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman murbei dan ulat
52 sutera. Lama penyinaran yang optimum akan membuat tanaman murbei dapat cukup mendapatkan waktu untuk terkena sinar matahari sehingga daun yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Sedangkan untuk pemeliharaan ulat sutera, penyinaran yang optimal pada suatu lokasi akan membuat ulat beraktifitas dengan baik sehingga kualitas kokon yang dihasilkan nantinya juga baik. Lama penyinaran optimum untuk pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera adalah 10-11 jam per hari. Tabel 10 menyajikan pemberian nilai terhadap lama penyinaran pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 10. Kriteria lama penyinaran Lama Penyinaran
(jam/hari)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif 10-11 5 9-10 4 8-9 3 6-8 2 5-6 1 Ø Kecepatan angin
Kecepatan angin mempengaruhi pertumbuhan tanaman murbei, khususnya pada awal pertumbuhan tanaman. Kecepatan angin yang tidak baik akan membuat pertumbuhan tanaman murbei terganggu, sehingga daun yang dihasilkan untuk pakan ulat sutera akan berpengaruh dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kecepatan angin optimum untuk pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera adalah 0,8-1,1 meter per detik. Tabel 11 menyajikan pemberian nilai terhadap kecepatan angin pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
53 Tabel 11. Kriteria kecepatan angin
Kecepatan Angin (m/s)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif 0,8-1,1 5 0,5-0,8 4 0,2-0,5 3 1,1-1,6 2 1,6-2,0 1 Ø Kemiringan lahan
Kemiringan lahan akan mempengaruhi keefektifan penanaman tanaman murbei pada awal ingin melakukan budidaya ulat sutera dan juga mempengaruhi keefektifan kerja pada waktu akan memanen daun untuk pakan ulat sutera. Untuk meningkatkan efektifitas kerja pada budidaya ulat sutera dipilih tempat yang memiliki kemiringan lahan yang sesuai. Kemiringan lahan optimum untuk pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera adalah 0-10o. Tabel 12 menyajikan pemberian nilai terhadap lama penyinaran pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 12. Kriteria kemiringan lahan Kemiringan Lahan
(derajat)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif 0-10 5 10-15 4 15-20 3 20-30 2 30-40 1 Ø Jenis Tanah
Jenis tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman murbei. Sebenarnya tanaman murbei cocok tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Akan tetapi, jenis tanah paling baik untuk dijadikan tempat pembudidayaan tanaman murbei adalah latosol. Tabel 13
54 menyajikan pemberian nilai terhadap jenis tanah pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 13. Kriteria jenis tanah
Jenis Tanah Nilai Bobot Kriteria Alternatif Latosol 5 Podsol 4 Mediteran 3 Grumosol 2 Andosol 1
Ø Ketersediaan tenaga kerja
Ketersediaan tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi budidaya dan agroidustri sutera alam. Lokasi pengembangan budidaya dan agroindustri sutera alam sebaiknya memiliki ketersediaan tenaga kerja yang mencukupi untuk dapat bekerja pada usaha pembudidayaan maupun agroindustri sutera alam. Ketersediaan jumlah tenaga kerja yang banyak pada suatu lokasi alternatif akan membuat adanya pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut dan juga berpengaruh positif terhadap perusahaan. Tabel 14 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan tenaga kerja pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 14. Kriteria ketersediaan tenaga kerja Jumlah Pencari Kerja
(tenaga kerja menganggur)
Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat banyak 5 Banyak 4 Cukup 3 Sedikit 2 Sangat sedikit 1
55 Ø Ketersediaan air
Ketersediaan air menggambarkan banyaknya suplai air pada lokasi alternatif. Tanaman murbei memerlukan pasokan air yang cukup untuk dapat menjaga pertumbuhannya dan kualitas daun yang dihasilkannya. Pada agroindustri sutera alam, yaitu industri pembuatan benang sutera mentah memerlukan pasokan air yang cukup banyak pada proses produksinya. Karena kedua hal tersebut maka lokasi yang menjadi alternatif pemilihan harus memiliki pasokan air yang sangat baik sehingga kualitas dari kokon dan benang yang dihasilkan juga baik. Penilaian ketersediaan air dapat dilihat dari saluran irigasi dan daerah aliran sungai (DAS) yang terdapat pada lokasi alternatif. Tabel 15 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan air pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 15. Kriteria ketersediaan air
Ketersediaan Air Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 Ø Ketersediaan listrik
Ketersediaan listrik pada daerah yang akan dijadikan lokasi alternatif perlu mendapat perhatian sebelum memutuskan membuat kegiatan budidaya dan agroindustri sutera alam pada lokasi tersebut. Adanya jaminan ketersediaan listrik yang baik merupakan salah satu aspek yang harus dipenuhi karena akan mempengaruhi keberlanjutan proses produksi. Tabel 16 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan listrik pada model pemilihan lokasi alternatif
56 budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 16. Kriteria ketersediaan listrik
Ketersediaan Listrik Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 Ø Keadaan jalan
Keadaan jalan menggambarkan kemudahan akses memasuki lokasi yang menjadi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam. Keadaan jalan yang kurang baik akan membawa dampak pada saat penetasan telur ulat sutera. Dalam pendistribusian telur ulat sutera diusahakan untuk meminimumkan adanya goncangan yang terjadi. Adanya goncangan selama pendistribusian telur ulat akan mempengaruhi persentase keberhasilan penetasan dan persentase jumlah ulat yang mengokon. Selain dalam hal pendistribusian telur ulat, keadaan jalan juga berpengaruh pada saat pendistribusian ulat instar III kepada petani. Pada saat pendistribusian ulat kepada petani juga diusahakan agar goncangan yang terjadi tidak terlalu banyak sehingga tidak mengganggu pertumbuhan ulat sutera tersebut. Tabel 17 menyajikan pemberian nilai terhadap keadaan jalan pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
57 Tabel 17. Kriteria keadaan jalan
Keadaan Jalan Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 Ø Ketersediaan lahan
Ketersediaan lahan menggambarkan lahan yang masih tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk pendirian kegiatan budidaya dan agroindustri sutera alam. Ketersediaan lahan juga biasanya akan berpengaruh terhadap harga lahan, sehingga kondisi terbaik untuk lokasi budidaya dan agroindustri sutera alam adalah daerah yang memiliki ketersediaan lahan yang sangat banyak. Tabel 18 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan lahan pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 18. Kriteria ketersediaan lahan
Ketersediaan Lahan Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat luas 5 Luas 4 Sedang 3 Sempit 2 Sangat sempit 1 Ø Akses pemasaran
Akses pemasaran menggambarkan kemudahan menjual produk hasil agroindustri sutera alam, yaitu benang sutera mentah dari lokasi agroindustri tersebut. Akses pemasaran ini juga berkaitan dengan akses komunikasi yang akan memperlancar pemasaran produk. Tabel 19 menyajikan pemberian nilai terhadap akses pemasaran pada model
58 pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu.
Tabel 19. Kriteria akses pemasaran
Ketersediaan Air Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 2) Pembobotan Kriteria
Pembobotan untuk masing-masing kriteria model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam ditentukan berdasarkan penilaian pakar (expert judment). Narasumber yang dijadikan pakar adalah Ibu Lincah yang merupakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Skala kepentingan dari bobot kriteria mulai dari satu hingga sembilan. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin penting kriteria tersebut dalam penentuan lokasi pendirian budidaya dan agroindustri sutera alam. Hasil pembobotan kriteria yang dilakukan oleh pakar diperlihatkan pada Tabel 20.
Ketinggian tempat merupakan kriteria yang kriteria yang paling penting untuk dipenuhi lokasi yang akan dijadikan alternatif pendirian budidaya dan agroindustri sutera alam. Kriteria ketinggian tempat akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pemeliharaan dan pertumbuhan ulat sutera. Kriteria ketinggian tempat ini juga akan mempengaruhi suhu udara pada suatu tempat, sehingga pemenuhan kriteria ketinggian tempat untuk dapat mendirikan atau mengembangkan budidaya dan agroindustri sutera alam mutlak untuk dipenuhi. Kriteria selanjutnya yang juga memiliki tertinggi setelah kriteria ketinggian tempat adalah kriteria suhu, ketersediaan air,
59 ketersediaan listrik. Akses pemasaran menjadi kriteria yang memiliki tingkat kepentingan yang tidak terlalu tinggi, hal tersebut dikarenakan karena produk sutera alam ini masih memiliki minat pasar yang tinggi, sehingga pada umumnya tidak sulit untuk mencari calon konsumennya.
Tabel 20. Bobot penilaian kriteria lokasi budidaya dan agroindustri sutera alam
No. Kriteria Bobot kriteria
1 Ketinggian tempat 9 2 Suhu 8 3 Kelembaban Relatif 8 4 Curah hujan 8 5 Lama penyinaran 8 6 Kecepatan angin 7 7 Kemiringan lahan 7 8 Jenis Tanah 7
9 Ketersediaan tenaga kerja 8
10 Ketersediaan air 8 11 Ketersediaan listrik 8 12 Keadaan jalan 6 13 Ketersediaan lahan 7 14 Akses pemasaran 7 b. Keluaran Model
Keluaran dari model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam adalah prioritas lokasi untuk pendirian atau pengembangan budidaya dan agroindustri sutera alam. Setelah melakukan proses penilaian pada masing-masing lokasi berdasarkan kriteria yang ada selanjutnya masing-masing lokasi yang dijadikan alternatif tersebut akan mendapatkan total nilai berdasarkan perhitungan menggunakan MPE. Alternatif lokasi yang ada kemudian diurutkan mulai dari lokasi yang memiliki total nilai tertinggi hingga lokasi yang memiliki total nilai terendah. Semakin tinggi total nilai yang diperoleh suatu lokasi maka semakin baik lokasi tersebut untuk dijadikan lokasi pendirian atau pengembangan budidaya dan agroindustri sutera alam. Hasil perhitungan total nilai menggunakan MPE pada semua lokasi alternatif yang dijadikan contoh atau sampel
60 dapat dilihat pada Lampiran 1. Beberapa hasil penilaian lokasi alternatif dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil penilaian beberapa lokasi alternatif
Nama Lokasi Provinsi Total Nilai
Megamendung Jawa Barat 3049271
Parung Panjang Jawa Barat 2593794
Tenjo Jawa Barat 2529822
c. Tampilan Model Pemilihan Lokasi Alternatif Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam
Tampilan model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam dapat dilihat pada Gambar 15. Data lokasi alternatif pada program aplikasi Sidi-Kuu dapat ditambah, dan dikurangi oleh pengguna program aplikasi ini.
Gambar 15. Tampilan model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam
Pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam juga terdapat tampilan report untuk memudahkan pengguna dalam melihat urutan prioritas lokasi alternatif
61 yang menjadi masukan. Tampilan report pada model pemilihan lokasi alternatif disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Tampilan report pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam
3. Model Teknologi Proses
Model teknologi proses merupakan model yang menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan proses produksi dan peralatan yang termasuk di dalam proses produksi tersebut. Penjabaran mengenai proses produksi perlu dilakukan karena pembuatan suatu produk pasti memiliki urutan proses tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Apple (1990) yang mengatakan bahwa pembuatan setiap produk, pemberian jasa atau pelaksanaan setiap kegiatan mandiri, orang yang mengerjakannya mengikuti satu urutan langkah tertentu yang telah ditentukan. Langkah-langkah yang telah ditentukan untuk membuat produk atau jasa secara lebih seragam biasanya disebut operasi. Satu urutan operasi dan peralatan
62 yang dibutuhkan disebut rancangan proses (Apple, 1990). Proses produksi pada agroindustri benang sutera mentah dijabarkan pada Gambar 17.
Gambar 17. Proses produksi pembuatan benang sutera mentah
Kokon segar merupakan kokon yang baru dipanen oleh para petani kokon. Setelah kokon segar ini dipanen, maka akan dilakukan proses pembersihan kokon dari kapas-kapas yang melekat pada kulit kokon. Proses pembersihan ini dinamakan flossing, sedangkan kapas-kapas yang melekat pada kulit kokon dinamakan flossom (Ryu, 2000). Proses ini perlu dilakukan karena kapas-kapas yang melekat pada kokon akan membuat kokon tidak dapat dipintal menjadi benang. Gambar kokon yang belum dipanen dapat dilihat pada Gambar 18, dan gambar kokon yang belum melalui tahap flossing dapat dilihat pada Gambar 19.
FRESH COCOON FLOSSING DRYING SELECTION COOKING REELING RE-REELING INSPECTION RAW SILK SELECTION
63 Gambar 18. Kokon yang belum dipanen
Gambar 19. Kokon yang belum diflossing
Setelah proses flossing selesai dilakukan, maka perlu dilakukan seleksi terhadap kokon-kokon tersebut. Selain menyeleksi hasil proses pembersihan kokon yang sudah dilakukan pada proses sebelumnya, seleksi juga dilakukan terhadap kualitas kokon. Seleksi terhadap kualitas kokon dimaksudkan untuk memisahkan antara kokon yang berkualitas baik (layak dipintal) dengan kokon cacat. Untuk membedakan kualitas kokon ini dilakukan secara manual. Orang yang melakukan seleksi ini harus mampu membedakan kokon yang dapat dipintal dan yang tidak dapat dipintal. Indikator kokon berkualitas baik menurut Ryu (2000) adalah kokon dalam keadaan bersih, bagian dalam kokon (pupa) tidak rusak atau hancur, dan bagian kulit kokon (lapisan serat-serat sutera) keras. Kokon yang tidak memenuhi kriteria tersebut dinyatakan sebagai kokon cacat dan tidak layak untuk dipintal. Ryu (2000) menambahkan bahwa kokon cacat secara lebih jelas dapat dibedakan menjadi kokon berlubang (perforated cocoons), kokon kotor dalam (inside soiled cocoons), kokon kotor luar (outside soiled cocoons), kokon kembar (double cocoons), kokon ujung tipis (thin end cocoons), kokon kulit tipis (thin shell cocoons), kokon bentuk aneh (deformed cocoons), kokon berbulu (flosy cocoons), kokon
64 kulit berlapis (double layerad cocoons), kokon berlekuk (thin middle cocoons), kokon tercetak, kokon berjamur (musty cocoons).
Kokon yang telah diseleksi selanjutnya dikeringkan. Proses ini dinamakan proses pengeringan (drying). Kokon yang sudah didapatkan dari para petani tidak semuanya langsung dapat diproses saat itu juga, sehingga agar kokon-kokon tersebut bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama dibutuhkan proses pengeringan kokon. Pada prinsipnya proses pengeringan kokon dilakukan untuk mengurangi kandungan air di lapisan sutera dan pupa, selain itu pengeringan juga bertujuan untuk mencegah berkembangnya pupa menjadi kupu-kupu (Ryu, 2000). Pengeringan kokon dilakukan di dalam lemari pengering dengan suhu sekitar 118oC dalam waktu enam jam. Kapasitas mesin pengeringan ini adalah sekitar 150 kg kokon. Rendemen yang dihasilkan adalah sekitar 60%. Gambar mesin pengering kokon disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Mesin pengering kokon
Kokon yang akan diolah pada proses selanjutnya kembali akan melakukan tahapan seleksi. Tahapan seleksi ini dilakukan untuk melihat apakah ada kokon yang rusak selama tahap pengeringan dan penyimpanan. Pemasakan (cooking) merupakan proses yang dilakukan sebelum benang dapat dipintal. Tujuan proses pemasakan ini adalah untuk menguraikan filamen sutera pada kokon. Filamen sutera tidak dapat langsung terurai karena adanya protein serisin yang menempel pada kokon. Menurut Jumaeri (1997) di dalam Purwaningrum (2007) protein serisin adalah protein yang tidak mengandung belerang, dan merupakan protein yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak di dalam air
65 panas. Untuk melunakkan protein tersebut dari kokon perlu dilakukan proses pemasakan. Dengan adanya proses pemasakan maka kulit kokon akan mengembang, menjadi lunak, dan memungkinkan filamen sutera diurai dan dipintal (Atmosoedarjo et al., 2000). Proses pemasakan kokon ini menggunakan panci alumunium yang dipanaskan di atas kompor. Kokon dimasak pada suhu sekitar 50oC-99oC. Proses pemasakan kokon dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Proses pemasakan kokon
Kokon yang sudah dimasak selanjutnya akan dipintal untuk menghasilkan benang. Proses pemintalan benang ini dinamakan proses reeling. Proses pemintalan benang ini dilakukan dengan menggunakan mesin pintal. Pada prinsipnya, proses ini bertujuan untuk menyatukan beberapa filamen sutera dari beberapa kokon. Jumlah filamen sutera yang disatukan berbeda-beda tergantung ukuran dari benang (Atmosoedarjo et al., 2000). Mesin pemintal kokon yang digunakan terdiri dari enam bak yang dioperasikan oleh enam orang per mesin. Benang sutera mentah yang dapat dihasilkan oleh satu set mesin ini adalah 6 kg benang sutera mentah per hari. Pada proses pemintalan ini, filamen sutera dililitkan pada gulungan kecil. Gambar mesin pintal benang sutera dapat dilihat pada Gambar 22.
66 Gambar 22. Mesin pintal benang sutera
Setelah dilakukan proses pemintalan, maka benang sutera mentah harus melalui proses pemintalan ulang atau yang lebih dikenal dengan proses rereeling. Proses pemintalan ulang ini bertujuan untuk memindahkan benang sutera mentah dari gulungan kecil ke gulungan besar yang memiliki keliling 150 cm (Atmosoedarjo et al., 2000). Benang sutera mentah perlu dipindahkan dari gulungan kecil ke gulungan besar untuk tujuan penjualan atau pemasaran. Gulungan benang harus memiliki keliling sebesar 150 cm sesuai dengan standar internasional. Alat yang digunakan pada proses ini adalah mesin pemintalan ulang. Mesin ini terdiri dari delapan gulungan. Dalam sehari mesin ini dapat memproses 6 kg benang sutera mentah. Gambar mesin pintal ulang dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Mesin pintal ulang benang sutera
Sebelum dapat benar-benar dikatakan sebagai benang sutera mentah, benang yang sudah dipintal kembali tersebut perlu diseleksi untuk terakhir kalinya. Seleksi dilakukan untuk melihat apakah benang-benang tersebut sudah terproses secara baik dan apakah ada bagian-bagian benang yang terputus. Setelah dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap benang,
67 maka benang dikatakan sebagai benang sutera mentah. Rangkuman proses produksi dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Proses produksi dan alat yang digunakan pada proses pembuatan benang sutera mentah
Proses Alat Spesifikasi
Pengeringan (drying)
Mesin pengering
· Kapasitas produksi 150 kg kokon per enam jam (satu kali proses pengeringan)
Pemasakan (cooking)
Kompor · Kapasitas produksi 60 kg kokon per hari
Pemintalan (reeling)
Mesin pintal · Terdiri dari 60 gulungan kecil per mesin
· Kapasitas produksi 6 kg benang per hari
Pemintalan ulang (rereeling)
Mesin pintal ulang
· Terdiri dari delapan gulungan besar per mesin
· Kapasitas produksi 6 kg benang per hari
4. Model Perencanaan Tata Letak Pabrik
Perencanaan tata letak pabrik merupakan salah satu bagian dari perencanaan produksi. Tata letak yang efisien akan menekan biaya yang berkaitan dengan penanganan bahan, mengurangi kebutuhan personil dan peralatan, serta memberikan kenyamanan dan keamanan kerja. Menurut Purnomo (2004) pada dasarnya tujuan utama perancangan tata letak adalah optimisasi pengaturan fasilitas-fasilitas operasi sehingga nilai yang diciptakan oleh sistem produksi akan maksimal.
Menurut Apple (1990), analisis tata letak pabrik diawali dengan membuat diagram alir produksi, kemudian bagan keterkaitan antar kegiatan dan diagram keterkaitan antar kegiatan. Pembuatan bagan keterkaitan antar kegiatan didasarkan pada hubungan antar kegiatan dengan memberikan derajat keterkaitan yang dinyatakan sebagai berikut : A (Absolut), menunjukkan hubungan keterkaitan antar kegiatan yang satu harus saling berdekatan dengan kegiatan yang lain dan bersebelahan. E (Especially Important), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan harus berdekatan
68 O (Ordinary), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan tidak harus saling berdekatan
U (Unimportant), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan bebas dan tidak saling terikat
X (Undiserable), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan tidak boleh saling berdekatan.
Faktor dasar dalam menentukan derajat keterkaitan antar satu kegiatan dengan kegiatan lain yaitu :
1. Urutan aliran kerja, aliran bahan, penggunaan peralatan, efisiensi waktu dan jarak, dan pencatatan yang sama.
2. Aspek personalia, seperti menggunakan pekerja yang sama, tingkat kontak antar pekerja, kemudahan pengawasan dan kemudahan pergerakan.
3. Aspek aliran informasi serta persyaratan khusus, seperti masalah kesehatan, dan kenyamanan.
Derajat keterkaitan antar satu kegiatan dengan kegiatan lainnya ditentukan atas dasar alasan-alasan yang disimbolkan dengan angka sebagai berikut :
1. Urutan kerja
2. Penggunaan peralatan yang sama 3. Efisiensi waktu dan jarak
4. Kontak antar pekerja
5. Penggunaan pekerja yang sama 6. Pengawasan
7. Adanya komunikasi lisan atau tertulis 8. Menimbulkan bau, bising, asap, atau debu
Bagan keterkaitan antar kegiatan pada agroindustri benang sutera mentah dapat dilihat pada Gambar 24. Setelah membuat bagan keterkaitan antar kegiatan, selanjutnya disusun lembar kerja untuk diagram keterkaitan antar kegiatan. Lembar kerja untuk diagram keterkaitan antar kegiatan agroindustri benang sutera mentah dapat dilihat pada Tabel 23. Lembar
69 kerja ini berfungsi untuk mempermudah penyusunan diagram keterkaitan antar kegiatan (Apple, 1990).
Menurut Apple (1990), sementara bagan keterkaitan antar kegiatan berfungsi untuk perencanaan dan penganalisaan keterkaitan kegiatan, informasi yang dihasilkan hanya berguna jika diolah ke dalam suatu diagram. Inilah yang menjadi tujuan dari diagram keterkaitan kegiatan. Diagram keterkaitan antar kegiatan ini digunakan sebagai gambaran prosedur tata letak. Diagram kerterkaitan kegiatan pada agroindustri benang sutera dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 24. Bagan keterkaitan antar kegiatan pada agroindustri benang sutera mentah
70 Tabel 23. Lembar kerja untuk diagram keterkaitan kegiatan
Kegiatan Derajat Kedekatan
A E I O U X
Kebun murbei - - - 2,10,11 3,4,5,6,7,8,9 - Rumah ulat kecil - - - 1,3,8 4,7 5,6,9,10,11
Pengeringan - 4 - 2,5,6,7,9 1,8,10 11
Ruang bahan baku 5 3 - 6,7,8,9,10 1,2,11 - Ruang Pemasakan 4,6 - - 3,7 1,8,10,11 2,9 Ruang pemintalan 5,7 - - 3,4,8,9 1,10,11 2 Ruang pemintalan ulang 6 8 - 3,4,5,9 1,2,10,11 - Ruang penyimpanan benang - 7 9,10 2,4,6 1,3,5,11 - Kantor - - 8 3,4,6,7,10 1 2,5,8,11 Mess Karyawan - - 8 1,4,9 3,5,6,7 2,11 Ruang penanganan limbah - - - 1 4,5,6,7,8 2,3,9,10
Gambar 25. Diagram keterkaitan antar kegiatan
5. Model Kelembagaan Usaha
Model kelembagaan usaha yang tidak tepat dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan suatu kegiatan usaha tidak berjalan dengan baik dan benar, hal inilah yang juga membuat agroindustri sutera alam di Indonesia tidak dapat berkembang sampai saat ini. Pemilihan suatu model kelembagaan usaha harus diperhatikan dengan baik, karena kelembagaan
71 usaha tersebut nantinya akan mempengaruhi perkembangan suatu kegiatan usaha baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Model kelembagaan usaha yang paling tepat untuk kegiatan agroindustri sutera alam adalah kemitraan usaha. Kemitraan usaha pertanian sendiri terdiri dari beberapa pola. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 tahun 1997, kemitraan usaha pertanian dapat berupa pola inti plasma, pola subkontrak, pola dagang umum, dan pola keagenan. Pola kemitraan inti plasma adalah hubungan kemitraan antara kelompok mitra sebagai plasma dengan industri selaku perusahaan inti. Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar dimana usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya. Pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar dengan cara memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra (Hafsah, 2000).
Dari penjabaran di atas, maka pola kemitraan yang dirasa paling tepat untuk pengembangan agroindustri sutera alam adalah pola kemitraan inti plasma. Pemilihan pola kemitraan inti plasma ditunjang dengan pendapat Hafsah (2000) yang menyatakan bahwa salah satu keunggulan dari pola kemitraan inti plasma adalah dapat memberikan manfaat timbal balik antara pengusaha besar atau menengah sebagai inti dengan usaha kecil sebagai plasma. Manfaat tersebut diperoleh melalui cara pengusaha besar atau menengah memberikan pembinaan serta penyediaan saran produksi, bimbingan, pengolahan hasil serta pemasaran, dengan begitu perusahaan besar telah membagi risiko hasil serta pemasaran, dengan begitu pengusaha besar telah membagi risiko dan peluang bisnis dengan pengusaha kecil sebagai plasma.
72 Pertimbangan adanya manfaat timbal balik diantara perusahaan inti dengan kelompok plasma sangat penting untuk diperhatikan. Disamping kurangnya data dan informasi mengenai kegiatan budidaya ulat sutera pada tingkat petani, minimnya keuntungan kegiatan budidaya ulat sutera yang dirasakan petani juga membuat agroindustri sutera alam tidak dapat berkembang. Petani cenderung meninggalkan kegiatan budidaya ulat sutera karena masih banyak komoditas lain yang dianggap lebih ekonomis oleh petani.
Pola kemitraan inti plasma pada dasarnya melibatkan tiga unsur, yaitu petani/kelompok tani, pengusaha besar atau eksportir, dan bank (Plantus, 2008). Pola kemitraan inti plasma yang dilakukan pada agroindustri sutera alam secara teknis melibatkan para petani atau kelompok tani kokon dengan perusahaan agroindustri sutera alam. Petani atau kelompok tani berperan sebagai kelompok plasma dan perusahaan agroindustri sutera alam berperan sebagai perusahaan inti.
Perusahaan inti memiliki beberapa tugas dan tanggung jawab, yaitu berkewajiban membeli telur ulat dari produsen telur, menetaskan telur dan memelihara ulat sutera sampai instar III (dikenal dengan istilah ulat kecil), mendistribusikan ulat kepada para petani atau kelompok tani kokon, dan membeli hasil panen kokon dari para plasma. Sedangkan kelompok plasma bertangguang jawab dalam pemeliharaan ulat sutera selama instar IV sampai V (dikenal dengan istilah ulat besar), dan menjual hasil panen kokon prusahaan inti.
Pola kemitraan inti plasma juga akan berpengaruh pada analisis-analisis model-model yang terdapat pada program aplikasi Sidi-Kuu. Pemilihan pola kemitraan ini berpengaruh pada model pemilihan lokasi, dan model analisis kelayakan finansial. Pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam, kriteria-kriteria yang dipilih dan ditetapkan mempertimbangkan kelangsungan kegiatan budidaya ulat sutera maupun agroindustri sutera alam. Sedangkan pada model analisis kelayakan finansial, analisis dilakukan pada perusahaan initi dan juga pada kelompok plasma.
73 6. Model Analisis Kelayakan Finansial Budidaya dan Agroindustri
Sutera Alam
Model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam adalah model yang digunakan untuk mengetahui kelayakan pendirian budidaya dan agroindustri sutera alam dari sisi finansialnya. Kelayakan finansial dianalisis berdasarkan beberapa parameter kelayakan untuk melakukan penilaian investasi, yaitu NPV, PI, PBP, ROI, dan BEP. Model ini diharapkan mampu memberikan penilaian kelayakan penilaian finansial yang objektif terhadap rencana investasi budidaya dan agroindustri sutera alam.
Model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam yang terdapat di dalam program aplikasi Sidi-Kuu terdiri dari model analisis kelayakan finansial yang ditujukan untuk perusahaan inti dan yang ditujukan untuk pelaku budidaya ulat sutera yaitu petani atau kelompok tani. Pada model analisis kelayakan finansial ini digambarkan bagaimana kelayakan suatu pendirian atau pengembangan suatu agroindustri sutera alam yang menggunakan pola kemitraan inti plasma.
Analisis kelayakan finansial pada pendirian atau pengembangan agroindustri sutera alam yang menggunakan pola kemitraan inti plasma menunjukkan bahwa suatu investasi yang akan dilakukan nantinya tidak hanya dimanfaatkan untuk menguntungkan perusahaan inti saja, namun juga berusaha menguntungkan para petani atau kelompok tani yang berperan sebagai plasma terhadap perusahaan inti tersebut.
a. Masukan model
Masukan model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam terdiri dari biaya operasional yang dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel, dana investasi, serta nilai-nilai asumsi yang digunakan dalam analisis. Masukan model analisis kelayakan finansial agroindustri sutera alam secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 2 hingga lampiran 7.
74 Pada model analisis kelayakan finansial perusahaan inti, masukan total dana investasi adalah sebesar Rp. 616.850.000. Total biaya operasional adalah sebesar Rp. 1.142.547.000 per tahunnya (ketika persentase produksi sudah 100%). Beberapa asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial agroindsutri sutera alam pada perusahaan inti dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial pada perusahaan inti
Asumsi Nilai Satuan
Harga telur ulat 65.000 Rp/boks
Harga jual ulat instar III 170.000 Rp/boks
Harga beli kokon 20.000 Rp/kg
Harga jual benang 350.000 Rp/kg
Umur proyek 10 Tahun
Pada model analisis kelayakan finansial budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh petani pada tingkat plasma, masukan total dana investasi adalah sebesar Rp. 45.104.000. Total biaya operasional adalah sebesar Rp. 17.060.000 per tahunnya (ketika persentase produksi sudah 100%). Beberapa asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial agroindsutri sutera alam pada kelompok plasma dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial pada kelompok plasma
Asumsi Nilai Satuan
Luas lahan murbei 1 Ha
Kapasitas pemeliharaan ulat 5 boks/periode
Hasil panen kokon 40 kg/boks
Harga jual kokon 20.000 Rp/kg
Umur proyek 10 Tahun
b. Keluaran Model
Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial berdasarkan beberapa parameter kelayakan untuk melakukan penilaian investasi pada perusahaan inti dapat dilihat pada Tabel 26.
75 Tabel 26. Hasil perhitungan penilaian investasi agroindustri benang
sutera mentah pada perusahaan inti
Parameter Kelayakan Nilai
Keuntungan bersih per tahun Rp. 227.069.940,60
NPV Rp. 167.415.828,02
ROI 14,34%
PI 1,10
BEP 2.853,00 kg
PBP 5,09 tahun
Dari Tabel 26 dapat disimpulkan bahwa agroindustri sutera alam pada perusahaan inti layak dijalankan atau dilaksanakan. Hal ini terlihat dari nilai-nilai parameter kelayakan investasti yang mengindikasikan bahwa usaha tersebut layak dijalankan atau dilaksanakan. Hasil perhitungan model analisis kelayakan finansial pada perusahaan inti menunjukkan bahwa perusahaan inti akan mendapatkan rata-rata keuntungan bersih per tahun sebesar Rp. 227.069.940,60. Keuntungan bersih ini merupakan keuntungan yang didapat setelah dikenakan pajak. Pada hasil perhitungan NPV didapatkan nilai yang posistif, yaitu sebesar Rp. 167.415.828,02. NPV merupakan salah satu parameter kelayakan penilaian investasi yang digunakan untuk menunjukkan apakah suatu investasi atau suatu usaha layak untuk dijalankan. NPV yang bernilai positif mengindikasikan bahwa suatu usulan investasi layak untuk dijalankan. Nilai PI menggambarkan perbandingan antara nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang dengan nilai sekarang investasi. PI yang memiliki nilai lebih besar dari satu (PI >1) menggambarkan bahwa suatu usulan investasi layak untuk dijalankan, sehingga usaha agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti layak untuk dijalankan. BEP digunakan untuk menghitung titik impas dari investasi yang dijalankan. Nilai BEP yang dihasilkan adalah 2.853 kg, artinya bahwa titik impas agroindsutri sutera alam pada perusahaan inti akan tercapai ketika penjualan benang sutera mentah mencapai 2.853 kg.
76 Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial berdasarkan beberapa parameter kelayakan untuk melakukan penilaian investasi pada kelompok plasma dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Hasil perhitungan penilaian investasi budidaya ulat sutera pada kelompok plasma
Parameter Kelayakan Nilai
Keuntungan bersih per tahun Rp. 7.851.240,00
NPV Rp. 24.127.825,45
ROI 14,03 %
PI 1,39
BEP 584,00 kg
PBP 4,92 tahun
Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa budidaya sutera alam yang dijalankan oleh petani pada tingkat plasma layak dijalankan atau dilaksanakan. Hal ini terlihat dari nilai-nilai parameter kelayakan finansial yang mengindikasikan bahwa usaha tersebut layak dijalankan atau dilaksanakan.
Dari lahan murbei seluas 1 Ha, rata-rata keuntungan bersih yang akan didapatkan kelompok plasma setiap tahunnya adalah sebesar Rp. 7.851.240,00. Nilai NPV sebesar Rp. 24.127.825,45 menunjukkan bahwa kegiatan budidaya ulat sutera pada kelompok plasma layak untuk dijalankan. Nilai PI dari hasil analisis finansial budidaya ulat sutera pada kelompok plasma adalah sebesar 1,39. Titik impas dari investasi pada kegiatan budidaya ulat sutera di tingkat plasma akan didapat ketika sudah berhasil menjual kokon hasil panen sebanyak 584,00 kg. Investasi yang dilakukan pada kegiatan budidaya ulat sutera di tingkat plasma diperkirakan akan kembali setelah kegiatan ini berlangsung selama 4,92 tahun atau sekitar 4 tahun 11 bulan.
Dalam melakukan analisis kelayakan finansial suatu penilaian investasi perlu dilakukan pengujian terhadap tingkat sensitivitasnya. Pengujian dilakukan pada tiga kondisi yang berbeda pada masing-masing kegiatan yaitu pada perusahaan inti dan pada tingkat plasma.
77 Pada perusahaan inti agroindustri sutera alam, skenario pertama adalah kondisi saat terjadi kenaikan harga bahan baku utama yaitu kokon sebesar 5% dari harga pembelian normal. Skenario kedua adalah kondisi saat terjadi penurunan harga jual produk yaitu benang sutera mentah sebesar 3% dari harga penjualan normal. Skenario ketiga adalah saat terjadi penurunan kualitas kokon yang mengakibatkan perubahan rendemen kokon, yang pada kondisi normal 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 10 kg kokon akan berubah menjadi setiap 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 11 kg kokon. Hasil perhitungan analisis sensitivitas untuk agroindustri sutera alam yang dilakukan oleh perusahaan inti dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Hasil analisis sensitivitas agroindustri sutera alam yang dilakukan oleh perusahaan inti.
Parameter Kelayakan Kenaikan Harga Kokon (5%) Penurunan Harga Jual Benang (3%) Perubahan Rendemen Keuntungan
bersih per tahun Rp. 194.037.492,60 Rp. 194.737.332,60 Rp. 162.375.953,40 NPV Rp. -36.723.417,00 Rp. -10.642.379,25 Rp. -265.974.248,54
ROI 12,01 % 12,29% 9,6 %
PI 0,98 0,99 0,86
BEP 3.135,00 kg 3.150,00 kg 3.788,00 kg
PBP 5,67 tahun 5,59 tahun 6,46 tahun
Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan pada skenario pertama dimana terjadi kenaikan harga beli kokon sebesar 5% dari harga normal (dari harga awal Rp. 20.000/kg menjadi Rp. 21.000/kg) menunjukkan bahwa agroindustri sutera alam yang dilakukan pada perusahaan inti tidak layak untuk dijalankan atau dilaksanakan. Hal ini dikarenakan jika terjadi kenaikan harga beli kokon sebesar 5% dari harga normal, maka parameter-parameter yang digunakan untuk menilai kelayakan agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti menunjukkan hasil yang mengindikasikan bahwa agroindutri tersebut tidak layak untuk dijalankan. Hasil perhitungan NPV mengindikasikan agroindustri ini tidak layak dijalankan karena nilai NPV negatif, yaitu sebesar Rp. -36.723.417,00. Hasil perhitungan PI semakin
78 mengindikasikan bahwa kegiatan agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti tidak layak dijalankan, karena nilainya yang kurang dari satu, yaitu sebesar 0,98.
Analisis sensitivitas pada skenario yang kedua adalah analisis yang dilakukan dengan asumsi terjadi penurunan harga jual benang sebesar 3% dari harga jual normal, yaitu terjadi perubahan harga jual benang sutera mentah dari harga awal Rp. 350.000,00 per kg menjadi Rp. 339.500,00 per kg. Adanya penurunan harga jual benang sutera mentah tersebut akan membuat agroindustri sutera alam pada perusahaan inti tidak layak untuk dijalankan atau dilaksanakan. Ketidaklayakan tersebut ditunjukkan dari nilai NPV yang bernilai negatif, yaitu sebesar Rp. -10.642.379,25 dan nilai PI yang bernilai 0,99.
Penurunan harga jual benang sutera mentah yang terjadi dapat ditanggulangi sehingga tidak menyebabkan agroindustri ini tidak layak untuk dijalankan. Cara yang dapat dilakukan untuk tetap membuat agroindustri ini layak untuk dijalankan walaupun terjadi penurunan harga jual benang sutera mentah adalah dengan menurunkan harga beli kokon dari kelompok plasma. Hal ini dapat dilakukan karena terdapat keterkaitan antara perusahaan inti dengan kelompok plasma, karena jika perusahaan inti tidak dapat berjalan maka kelompok plasma juga tidak dapat menjual hasil panennya. Namun demikian, penurunan harga beli kokon yang dilakukan oleh perusahaan inti terhadap kelompok plasma tidak boleh menyebabkan kelompok plasma ini menjadi rugi (kegiatan budidaya ulat sutera pada kelompok plasma harus tetap layak untuk dijalankan). Setelah dilakukan analisis maka diketahui untuk menanggulangi penurunan harga jual benang sutera mentah sebesar 3%, dilakukan penurunan harga beli kokon dari kelompok plasma sebesar 1% dari harga kokon normal (dari harga awal Rp. 20.000,00 per kg menjadi Rp. 19.800,00 per kg). Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 29.
79 Tabel 29. Pengaruh penurunan harga kokon akibat terjadi penurunan
harga jual benang
Parameter Kelayakan Penurunan Harga Jual Benang (3%)
Setelah dilakukan Penurunan Harga
Kokon (1%) Keuntungan bersih per tahun Rp. 194.737.332,60 Rp. 201.343.822,20 NPV Rp. -10.642.379,25 Rp. 30.185.469,75
ROI 12,29% 12,76%
PI 0,99 1,02
BEP 3.150,00 kg 3.089,00 kg
PBP 5,59 tahun 5,47 tahun
Analisis sensitivitas pada skenario yang ketiga adalah analisis yang dilakukan dengan asumsi terjadi penurunan rendemen kokon. Jika pada awalnya 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 10 kg kokon, maka terjadi penurunan rendemen sehingga setiap 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 11 kg kokon. Adanya penurunan nilai rendemen kokon akan membuat agroindustri sutera alam pada perusahaan inti tidak layak untuk dijalankan atau dilaksanakan. Ketidaklayakan tersebut ditunjukkan dari nilai NPV yang bernilai negatif, yaitu sebesar Rp. -265.974.248,54 dan nilai PI yang bernilai 0,86.
Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap usaha budidaya ulat sutera pada tingkat plasma juga dilakukan dengan tiga skenario. Skenario pertama adalah kondisi saat terjadi kenaikan harga ulat instar III sebesar 53%, skenario kedua adalah kondisi saat terjadi penurunan harga jual kokon sebesar 14%, dan skenario ketiga adalah kondisi saat terjadi penurunan hasil panen menjadi 34 kg kokon per boks. Hasil perhitungan analisis sensitivitas untuk usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh pada tingkat plasma dapat dilihat pada Tabel 30.
Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario pertama yaitu pada saat terjadi kenaikan harga beli ulat instar III sebesar 53% dari harga normal (dari harga awal Rp. 170.000,00 per boks menjadi Rp. 260.100,00 per boks) akan mengakibatkan kegiatan budidaya ulat sutera pada kelompok plasma menjadi tidak layak dijalankan atau dilaksanakan. Kenaikan harga beli ulat instar III sebesar 53% mengakibatkan parameter NPV menjadi bernilai negatif, yaitu sebesar
80 Rp. -292.489,07, dan nilai parameter PI menjadi kurang dari satu, yaitu sebesar 0,99.
Tabel 30. Hasil analisis sensitivitas usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh petani pada tingkat plasma.
Parameter Kelayakan
Kenaikan Harga Ulat Instar III
(53%) Penurunan Harga Kokon (14%) Penurunan Hasil Panen Kokon (34 Kg per boks) Keuntungan
bersih per tahun Rp. 4.283.280,00 Rp. 3.819.240,00 Rp. 3.531.240,00 NPV Rp. -292.489,07 Rp. -1.748.170.40 Rp. -3.596.455.82
ROI 7,24 % 6,83 % 6,311 %
PI 0,99 0,97 0,94
BEP 690,00 kg 721,00 kg 624,00 kg
PBP 6,50 tahun 6,60 tahun 6,81 tahun
Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario kedua yaitu pada saat terjadi penurunan harga jual kokon sebesar 14% dari harga jual normal (dari harga awal Rp. 20.000,00 per kg menjadi Rp. 17.200,00 per kg) menunjukkan bahwa kegiatan budidaya ulat sutera pada tingkat plasma tidak layak untuk dijalankan atau dilaksanakan. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai NPV yang bernilai negatif, yaitu sebear Rp. -1.748.170.40 dan nilai PI yang bernilai kurang dari satu yaitu sebesar 0,97.
Penurunan harga jual kokon yang terjadi dapat ditanggulangi sehingga tidak menyebabkan kegiatan budidaya ini tidak layak untuk dijalankan. Cara yang dapat dilakukan untuk tetap membuat kegiatan budidaya ini layak untuk dijalankan walaupun terjadi penurunan harga jual kokon adalah dengan menurunkan harga beli ulat instar III dari perusahaan inti. Penurunan harga beli ulat instar III yang dilakukan oleh kelompok plasma terhadap perusahaan inti tidak boleh menyebabkan perusahaan inti ini menjadi rugi (agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti harus tetap layak untuk dijalankan). Setelah dilakukan analisis maka diketahui untuk menanggulangi penurunan harga jual kokon sebesar 14%, dilakukan penurunan harga beli ulat instar III dari perusahaan inti sebesar 4% dari harga ulat instar III
81 normal (dari harga awal Rp. 170.000,00 per boks menjadi Rp. 163.200,00 per boks). Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Pengaruh penurunan harga kokon akibat terjadi penurunan harga jual benang
Parameter Kelayakan Penurunan Harga Kokon (14%)
Setelah dilakukan Penurunan Harga Ulat Instar III (4%) Keuntungan bersih per tahun Rp. 3.819.240,00 Rp. 4.088.520,00
NPV Rp. -1.748.170.40 Rp. 94.872.20
ROI 6,83 % 7,34 %
PI 0,97 1,00
BEP 721,00 kg 711,00 kg
PBP 6,60 tahun 6,41 tahun
Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario ketiga yaitu pada saat terjadi penurunan kuantitas hasil panen kokon pada kelompok plasma. Jika pada awalnya 1 boks ulat instar III yang dibeli oleh kelompok plasma dari perusahaan inti akan menghasilkan 40 kg kokon pada saat di panen, saat ini diasumsikan bahwa setiap 1 boks ulat instar III akan menghasilkan 34 kg kokon. Hasil analisis pada skenario ketiga menunjukkan bahwa penurunan hasil panen kokon dari 40 kg per boks menjadi 34 kg per boks akan membuat kegiatan budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh kelompok plasma menjadi tidak layak untuk dijalankan. Hasil perhitungan NPV ialah sebesar Rp. -3.596.455.82, dan parameter PI memiliki nilai sebesar 0,94.
c. Tampilan Model Analisis Kelayakan Finansial Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam
Tampilan model analisis kelayakan finansial pada perusahaan inti dapat dilihat pada Gambar 26, dan tampilan model analisis kelayakan finansial pada tingkat plasma dapat dilihat pada Gambar 27.
Pada model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam terdapat tampilan report yang menggambarkan kelayakan finansial pada perusahaan inti dan pada kelompok plasma.
82 Tampilan report kelayakan finansial pada perusahaan inti disajikan pada Gambar 28, sedangkan tampilan report kelayakan finansial pada kelompok plasma disajikan pada Gambar 29.
Gambar 26. Tampilan model analisis kelayakan finansial pada perusahaan inti
Gambar 27. Tampilan model analisis kelayakan finansial pada tingkat plasma
83 Gambar 28. Tampilan report kelayakan finansial pada perusahaan inti
Gambar 29. Tampilan report kelayakan finansial pada kelompok plasma
B. VERIFIKASI MODEL
Verifikasi dilakukan untuk memeriksa dan memastikan bahwa model simulasi yang dibentuk berjalan dengan tepat sesuai harapan. Menurut Didi (2002), verifikasi adalah proses pemeriksaan apakah logika operasional model (program komputer) sesuai dengan logika digram alir, kalimat sederhananya adalah mengecek apakah ada kesalahan dalam program. Menurut Maarif (2006) di dalam Sahar (2007) verifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni (1) Melakukan tes data, yaitu mengevaluasi setiap kejadian yang mungkin, mempersiapkan data masukan dengan khusus dan kemampuan program pada kondisi ekstrim; (2) Tulis dan debug program
84 dalam modul-modul atau subprogram-subprogram; (3) Diuji oleh banyak orang; (4) Run pada asumsi penyederhanaan dimana model simulasi dapat dihitung dengan mudah; (5) Lihat hasil simulasi.
Pengujian hasil perhitungan model yang dibuat pada program aplikasi Sidi-Kuu dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah hasil keluaran hasil dari program aplikasi Sidi-Kuu sama dengan hasil keluaran perangkat lunak Microsoft Office 2007.
1. Model Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah
Perbandingan hasil perhitungan program aplikasi Sidi-Kuu dengan yang dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 pada model prakiraan permintaan benang sutera mentah ditampilkan pada Tabel 32.
Tabel 32. Hasil verifikasi model prakiraan permintaan benang sutera mentah menggunakan Microsoft Excel 2007
Metode Nilai MAPE
Microsoft Excel 2007 Sidi-Kuu
SMA 1.622,30 1.622,275
DMA 1.769,70 1.769,682
SES 1.628,30 1.628,247
Browns 2.087,60 2.087,649
Holts 8.270,30 8.270,336
Hasil verifikasi pada model prakiraan permintaan benang sutera mentah menunjukkan bahwa nilai prakiraan yang dihasilkan program aplikasi Sidi-Kuu sama dengan nilai prakiraan yang dihasilkan Microsoft Excel 2007.
2. Model Analisis Kelayakan Finansial Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam
Perbandingan hasil perhitungan pada model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam dapat dilihat pada Tabel 33 dan Tabel 34.
85 Tabel 33. Hasil verifikasi model analisis kelayakan finansial budidaya dan
agroidustri sutera alam pada perusahaan inti menggunakan Microsoft Excel 2007
Parameter Kelayakan Hasil Perhitungan
Microsoft Excel 2007 Sidi-Kuu Keuntungan bersih (Rp) 2.270.699.406,00 2.270.699.406
NPV (Rp) 167.415.828,02 167.415.828.02
ROI (%) 14,34 14,34
PI 1,095 1,095
BEP (kg) 2.853 2.853
Tabel 34. Hasil verifikasi model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroidustri sutera alam pada kelompok plasma menggunakan Microsoft Excel 2007
Parameter Kelayakan Hasil Perhitungan
Microsoft Excel 2007 Sidi-Kuu Keuntungan bersih (Rp) 78.512.400,00 78.512.400
NPV (Rp) 24.127.825,45 24.127.825,44
ROI (%) 14,03 14,03
PI 1,388 1,388
BEP (kg) 585 584
Hasil verifikasi pada model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam menunjukkan bahwa hasil perhitungan parameter kelayakan yang terdiri dari NPV, ROI, PI, BEP, dan keuntungan bersih yang dihasilkan program aplikasi Sidi-Kuu sama dengan hasil perhitungan yang dihasilkan Microsoft Excel 2007.