• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. PEMBAHASAN UMUM Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "8. PEMBAHASAN UMUM Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

8. PEMBAHASAN UMUM

Telah dilakukan upaya untuk meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang yaitu dengan meningkatkan kandungan pati resisten (RS) tepung pisang melalui kombinasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan- pendinginan (retrogradasi). Selama fermentasi spontan pisang, BAL tumbuh mendominasi hingga jam ke-24. Dalam rangka optimasi proses modifikasi yang berkaitan dengan jenis starter BAL yang spesifik dan lama fermentasi maka dilakukan isolasi dan identifikasi BAL yang berperan selama fermentasi spontan.

Setelah mendapatkan isolat BAL, selanjutnya diaplikasikan sebagai starter dalam proses fermentasi secara terkendali dan ditetapkan lama fermentasi optimal untuk pembuatan tepung pisang kaya RS. Sifat prebiotik RS tepung pisang dievaluasi, begitu juga dengan nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang yang dievaluasi secara in vivo menggunakan relawan.

Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

Modifikasi proses pembuatan tepung kaya RS yang telah dikembangkan oleh Jenie et al. (2009) ditingkatkan dengan menerapkan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan pada irisan pisang baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan. Proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan kandungan RS tepung pisang hingga empat kali lipat (26.26 – 28.88%) dari tepung pisang kontrol (7.24%). Satu siklus pemanasan bertekanan- pendinginan hanya dapat meningkatkan kandungan RS tepung pisang sekitar dua sampai tiga kali lipat (20.50-24.72%).

Pemanasan bertekanan dengan menggunakan otoklaf merupakan sistem

pemanasan basah (hidrotermal) sehingga mampu menyebabkan terjadinya

gelatinisasi pati akibat pemanasan suhu tinggi oleh uap air. Gelatinisasi pati

menyebabkan struktur granula pati menjadi rusak sehingga tidak terlihat adanya

granula pati pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop serta tidak

(2)

memiliki sifat birefringence atau tidak mampu memendarkan cahaya pada saat pengamatan dengan menggunakan mikroskop polarisasi (Zang et al. 2002;

Santiago et al. 2004).

Kerusakan granula pati ditandai dengan hilangnya sifat birefringence dan menurunnya tingkat kristalinitas tepung pisang akibat proses pemanasan bertekanan-pendinginan baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan. Hizukuri (1961) menjelaskan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kristalinitas adalah struktur kristalin granula pati. Tepung pisang yang dihasilkan dari modifikasi fermentasi spontan memiliki tingkat kristalinitas yang lebih rendah daripada tepung pisang kontrol. Hal ini menunjukkan telah terjadi degradasi pada granula pati selama fermentasi spontan 24 jam yang di antaranya diindikasikan dengan meningkatnya kandungan amilosa pada tepung yang dihasilkan.

Proses pemanasan pada suhu 121

o

C selama 15 menit mendestruksi mikroba yang ada sehingga mencegah degradasi lebih lanjut oleh mikroba. Setelah pemanasan bertekanan, dilanjutkan dengan proses pendinginan (suhu 4

o

C, 24 jam) dengan tujuan agar terjadi restrukturisasi pati yang optimal terutama komponen amilosa untuk membentuk ikatan ganda yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Penyimpanan suhu rendah dapat membantu dalam menghambat pertumbuhan mikroba terutama bakteri meskipun penyimpanan dilakukan selama 24 jam. Proses penyimpanan pada suhu 4

o

C sebelumnya telah diaplikasikan oleh Frie et al (2003) dalam memproduksi nasi teretrogradasi yang memiliki daya cerna dan nilai indeks glikemik rendah.

Proses pemanasan bertekanan-pendinginan juga telah digunakan untuk

melakukan modifikasi pati pisang sehingga kandungan RS meningkat. Siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan dapat mempengaruhi kadar RS yang

dihasilkan. Beberapa penelitian seperti Soto et al. (2004), Saguilan et al. (2005)

dan Soto et al. (2007) mengaplikasikan proses pemanasan bertekanan-

pendinginan pada pati pisang sebanyak tiga siklus. Selain pada pati pisang, tiga

siklus pemanasan bertekanan-pendinginan juga telah diaplikasikan untuk

memodifikasi pati lain seperti pati jagung (Shamai et al. 2003; Zang & Jin 2011),

pati kentang (Leeman et al. 2006), pati singkong (Mutungi et al. 2009), dan pati

(3)

garut (Faridah et al. 2010) dengan lama proses pemanasan bertekanan (otoklaf) yang lebih lama yaitu 30 hingga 60 menit per siklusnya. Proses pemanasanan bertekanan-pendinginan pada pembuatan tepung pisang kaya RS hanya memerlukan dua siklus dengan lama proses yang lebih pendek yaitu 15 menit.

Aplikasi tiga siklus pemanasanan bertekanan menghasilkan keragaan produk tepung pisang yang kurang baik dari mutu sensori terutama warna dan rasa (Jenie et al. 2009). Oleh karena itu tiga siklus pemanasanan bertekanan tidak direkomendasikan dalam proses modifikasi pembuatan tepung pisang.

Proses modifikasi yang dilakukan pada irisan pisang memerlukan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk menghasilkan kadar RS lebih tinggi daripada satu siklus. Modifikasi pada pati pisang memerlukan tiga siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dengan proses pemanasan bertekanan yang lebih lama (30 menit) untuk dapat meningkatkan kadar RS hingga mencapai sepuluh kali (Saguilan et al. 2005). Akan tetapi modifikasi di tingkat pati tentu lebih sulit aplikasinya karena harus mengisolasi pati pisang terlebih dahulu, sedangkan tiga siklus proses pemanasan bertekanan-pendinginan membutuhkan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak seperti energi listrik serta membutuhkan alat pengering yang lebih mahal untuk mengeringkan bubur (slurry) pati seperti drum drying atau freeze drying. Penelitian ini mengaplikasikan proses otoklaf selama 15 menit yang berarti proses modifikasi lebih efesien yaitu dapat mereduksi waktu, energi dan biaya jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang mengaplikasikan proses otoklaf selama 30 menit hingga 1 jam (Saguilan et al. 2005; Soto et al. 2006).

Setelah dilakukan pemanasan bertekanan, proses dilanjutkan dengan pendinginan. Suhu pendinginan juga mempengaruhi kadar RS yang dihasilkan.

Semakin rendah suhu pendinginan maka dapat mempercepat dan meningkatkan

pembentukan RS3. Seperti yang dilaporkan Soto et al. (2007) bahwa untuk

meningkatkan kadar RS pati pisang hingga empat kali melalui tiga siklus

retrogradasi membutuhkan waktu 24 jam pada 4

o

C atau 36 jam pada 32

o

C,

sedangkan pendinginan pada suhu lebih tinggi (60

o

C) selama 48 jam hanya

mampu meningkatkan kadar RS pati kurang dari tiga kali.

(4)

Selama proses pendinginan terjadi pembentukan ikatan ganda (double helix) rantai polimer yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Semakin banyak kandungan amilosa pada pati maka jumlah polimer berikatan ganda juga semakin banyak sehingga jumlah amilosa teretrogradasi juga meningkat yang berarti meningkatkan pula kandungan pati resisten tipe III (RS). Pati resisten tersebut merupakan pati resisten yang terbentuk akibat amilosa yang mengalami retrogradasi berulang sehingga bersifat resisten terhadap enzim pencernaan (Sajilata et al. 2006).

Optimasi Proses Fermentasi

Identifikasi BAL Indigenus dalam Fermentasi Pisang

Fermentasi spontan memberikan peran penting dalam meningkatkan kadar RS tepung pisang. Fermentasi spontan pisang selama 24 jam didominasi oleh BAL hingga mencapai 6 log CFU/ml. Abdillah (2010) melaporkan bahwa fermentasi spontan pisang tanduk didominasi oleh BAL hingga mencapai 8 log CFU/ml pada jam ke-100. Fermentasi spontan umumnya kurang dapat terkendali dan sulit mendapatkan kualitas produk yang konsisten sehingga perlu dilakukan isolasi dan identifikasi BAL indigenus yang berperan dalam fermentasi spontan pisang selama 24 jam untuk selanjutnya digunakan sebagai starter. Hasil identifikasi fenotip menunjukkan isolat BAL yang tumbuh dominan (BAL FSnh1) merupakan BAL homofermentatif, sedangkan isolat BAL yang tumbuh kurang dominan (BAL FSnhA) merupakan BAL heterofermentatif yang semuanya memiliki suhu pertumbuhan optimal pada suhu 35

o

C. Uji biokimiawi menunjukkan kedua isolat memiliki kemampuan yang berbeda dalam memfermentasi sumber karbon. Identifikasi lebih lanjut di tingkat molekuler juga dilakukan karena identifikasi dengan menggunakan API 50CHL dan karakteristik biologi belum cukup untuk mengidentifikasi di tingkat strain (Tamang et al.

2008).

Hasil identifikasi genotip menunjukkan bahwa isolat BAL FSnh1 dan

FSnhA merupakan famili Lactobacillaceae dengan genus Lactobacillus. Beberapa

(5)

hasil penelitian melaporkan bahwa strain Lactobacillus banyak ditemukan pada fermentasi bahan berpati seperti singkong (Sanni et al. 2002; Lacerda et al. 2005;

Huch et al. 2008), dan gandum (Robert et al. 2009). BAL tersebut merupakan BAL amilolitik yang mampu menghasilkan enzim amilase. Pisang mentah merupakan bahan pangan berpati dengan kandungan pati lebih dari 60% (Tribess et al. 2009) sehingga strain Lactobacillus bisa tumbuh. Hasil visualisasi pada pohon filogenetik NJplot menunjukkan isolat BAL FSnh1 memiliki homologi dengan L. salivarius sedangkan isolat BAL FSnhA memiliki homologi dengan L.

fructivorans.

L. salivarius merupakan BAL homofermentatif yang dilaporkan mampu menghasilkan senyawa antimikroba seperti bakteriosin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada karkas ayam seperti Campylobacter jejuni (Stern et al. 2006). Strain tertentu dari L. salivarius juga merupakan probiotik yang sudah dikomersialkan seperti L. salivarius ATCC SD5208 dengan merk dagang Lactobacillus salivarius Ls-33

TM

(Danisco 2011). L. fructivorans banyak ditemukan pada buah dan sayur serta produk olahan, beberapa produk salad dan saus tomat (Bjorkroth & Korkeala 1997). L. fructivorans dapat tumbuh dengan baik pada suhu 45

o

C (Dicks & Endo, 2009). Selama 24 jam fermentasi spontan pisang diketahui pertumbuhan L. fructivorans lebih sedikit daripada L. salivarius.

Tersedianya pati dan fruktosa pada pisang memungkinkan kedua spesies BAL tersebut mampu tumbuh secara sinergis. L. salivarius memiliki kemampuan menghidrolisis ikatan glikosida seperti manosa, rhamnosa dan seliobiosa sebagai sumber energi bagi pertumbuhannya (Rogosa et al. 1955), sedangkan L.

fructivorans dapat menggunakan fruktosa buah sebagai sumber energi (Bjorkroth

& Korkeala 1997).

Isolat BAL indigenus L. salivarius FSnh1 yang diisolasi juga dapat dikaji lebih lanjut potensi BAL tersebut sebagai kandidat probiotik. Beberapa hasil penelitian melaporkan strain lain dari L. salivarius merupakan probiotik yang diisolasi dari feses bayi yang mendapat ASI ekslusif dari ibunya (Martin et al.

2006). Jika telah diketahui potensi probiotik dari isolat L. salivarius FSnh1 maka

(6)

dapat dikembangkan lebih lanjut untuk diformulasikan sebagai produk sinbiotik bersama dengan tepung pisang modifikasi kaya RS.

Optimasi Lama Fermentasi Terkendali pada Pembuatan Tepung Pisang Kaya RS

Fermentasi terkendali irisan pisang dengan menggunakan L. salivarius FSnh1 sebagai starter dilakukan selama 12 dan 24 jam. Fermentasi pisang selama 12 jam mampu meningkatkan kadar amilosa, sedangkan hasil penelitian Abdillah (2010) menunjukkan bahwa fermentasi spontan pada pisang hingga jam ke-12 tidak meningkatkan kadar amilosa tepung pisang. Kadar amilosa baru mengalami peningkatan setelah fermentasi selama 24 jam. Kandungan amilosa yang tinggi berperan dalam pembentukan RS3 selama proses retrogradasi.

Fermentasi terkendali selama 24 menurunkan kadar amilosa tepung pisang.

Hal ini diduga karena terjadi degradasi amilopektin menjadi amilosa hingga fermentasi jam ke-12, selanjutnya amilosa didegradasi lebih lanjut menjadi glukosa sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan BAL tersebut sehingga kadar amilosa menurun pada fermentasi lebih dari 12 jam (analisis jam ke-24).

Selain mempersingkat waktu fermentasi pisang menjadi 12 jam, penggunaan starter L. salivarius FSnh1 juga mampu meningkatkan produksi asam laktat sehingga memberikan manfaat lebih, tidak hanya bersifat antimikroba akan tetapi juga diduga berperan dalam meningkatkan kadar pati resisten. Gong et al.

(2006) menjelaskan bahwa asam laktat dapat membentuk kopolimer pati-asam

laktat yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan. Proses fermentasi 12 jam

yang dikombinasi dengan dua siklus retrogradasi menghasilkan kadar RS tepung

pisang yang tinggi sekitar empat hingga lima kali lipat dibandingkan tepung

pisang tanpa modifikasi (kontrol).

(7)

Penggunaan kultur starter indigenus dari bahan asalnya memudahkan dalam mengendalikan proses fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang lebih baik dan sesuai dengan karakteristik produk yang diinginkan seperti yang dijelaskan sebelumnya oleh Antara (2010). Konsentrasi L. salivarius FSnh1 yang digunakan mencapai10

6

CFU/ml dan berhasil mencapai target kadar RS tepung pisang yang hampir setara dengan fermentasi spontan 24 jam, bahkan waktu fermentasi dapat dipersingkat menjadi 12 jam.

Isolat BAL L. salivarius FSnh1 memiliki sifat homofermentatif.

Penggunaan BAL homofermentatif sebagai starter lebih menguntungkan dalam prosesnya karena tidak menghasilkan gas berlebih sehingga tidak mengganggu proses fermentasi akibat meluapnya (wash out) starter. Selain itu BAL homofermentatif menghasilkan asam laktat lebih banyak daripada BAL heterofermentasif. Reddy et al. (2008) menjelaskan bahwa BAL homofermentatif mampu menghasilkan sekitar 80% asam laktat dari jumlah glukosa yang dikonsumsinya. Asam laktat berperan dalam meningkatkan kadar RS dari hasil kopolimer pati-asam laktat sehingga pati menjadi lebih resisten terhadap enzim pencernaan karena mengurangi reaktivitas grup hidroksil pada unit glukopiranosa pati yaitu pada C6, C3 dan C2 (Gong et al. 2006). Sajilata et al. (2006) menjelaskan bahwa pati resisten yang terbentuk akibat interaksi pati dengan komponen kimia dikenal sebagai pati resisten tipe IV (RS4). Jenie et al. (2009) melaporkan bahwa modifikasi tepung pisang dengan fermentasi terkendali oleh BAL homofermentatif L. plantarum kik selama 48 jam dan kombinasinya dengan pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS yang lebih tinggi daripada modifikasi dengan fermentasi terkendali oleh BAL heterofermentatif L.

fermentum 2B4. Kombinasi kedua BAL tersebut sebagai starter juga menghasilkan RS lebih tinggi pada perbandingan jumlah BAL homofermentatif lebih banyak yaitu rasio 2:1 (2 bagian L. plantarum kik dengan 1 bagian L.

fermentum 2B4) dengan waktu yang lama (72 jam) dibandingkan fermentasi

spontan 24 jam. Oleh karena itu penambahan strain kultur starter BAL yang

berperan selama fermentasi spontan pisang (BAL indigenus) adalah penting untuk

memperoleh kondisi fermentasi yang optimum dengan hasil yang konsisten.

(8)

Evaluasi Sifat Prebiotik dan Indeks Glikemik Tepung Pisang Modifikasi

Penelitian ini mengevaluasi sifat fungsional tepung pisang berdasarkan sifat-sifat prebiotik RS yang dihasilkan dan nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang modifikasi. Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol) mengandung pati resisten tipe II (RS2), sedangkan tepung pisang hasil modifikasi dengan retrogradasi mengandung pati resisten tipe III (RS3) yang bersifat lebih stabil selama pengolahan daripada RS2 sehingga memiliki retensi yang lebih baik jika digunakan sebagai tepung substitusi pada produk pangan.

Jenie et al. (2010) melaporkan retensi RS tepung pisang modifikasi lebih tinggi jika digunakan pada produk pangan yang diolah tanpa penambahan air serta dilakukan pemanggangan seperti pengolahan menjadi cookies. Pengolahan tepung pisang modifikasi menjadi brownies kukus dan roti menghasilkan retensi RS yang lebih rendah karena selama pembuatan brownies, adonan dikukus dan terjadi proses hidrotermal yang memungkinkan uap air ditransfer ke dalam produk, sedangkan adanya proses fermentasi pada adonan roti juga menghasilkan air sebagai hasil metabolisme khamir/yeast sehingga dapat meningkatkan kadar air bahan dan menurunkan retensi RS.

RS yang dihasilkan oleh proses retrogradasi merupakan RS tipe III (RS3) yang terbukti dapat memenuhi beberapa persyaratan sebagai kandidat prebiotik yaitu di antaranya meliputi ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung, mampu menstimulasi pertumbuhan laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan bakteri patogen seperti EPEC dan Salmonella Typhimurium, menghasilkan asam lemak rantai pendek terutama asam butirat dan memiliki indeks prebiotik lebih tinggi daripada RS2 tepung pisang kontrol.

Kestabilan RS terhadap hidrolisis asam lambung artifisial dimaksudkan agar

RS tidak terhidrolisis selama berinteraksi dengan asam lambung dan dapat

mencapai kolon sehingga menjadi satu-satunya sumber nutrisi bagi pertumbuhan

mikroflora terutama probiotik seperti yang disyaratkan FAO (2007). RS3 tepung

pisang modifikasi secara fermentasi spontan yang dikombinasikan dengan dua

siklus retrogradasi relatif lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung (sekitar

(9)

96%) sehingga dapat dikategorikan sebagai kandidat prebiotik berdasarkan ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung. Beberapa polisakarida lain yang dilaporkan sebagai kandidat prebiotik juga memiliki ketahanan yang tinggi terhadap hidrolisis asam lambung artifisial seperti glukooligosakarida yang dihasilkan oleh Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 sebesar 98.4%

(Wichienchot et al. 2006) dan oligosakarida pitaya (buah naga) sebesar 96%

(Wichienchot et al. 2010).

RS3 tepung pisang modifikasi melalui fermentasi spontan dengan dua siklus retrogradasi juga bersifat selektif bagi pertumbuhan Lactobacillus acidophilus.

Hal ini dibuktikan dengan persentase pertumbuhan L. acidophilus yang lebih tinggi dibandingkan persentase pertumbuhan EPEC dan S. Typhimurium.

Persentase pertumbuhan yang tinggi dalam waktu inkubasi yang sama menunjukkan pertumbuhan bakteri tersebut lebih cepat yang berarti memiliki waktu generasi lebih singkat. Salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan mikroba lebih cepat di antaranya adalah ketersediaan nutrisi yang cocok bagi pertumbuhan sel. Hal ini menunjukkan RS3 lebih selektif hanya dapat digunakan oleh L. acidophilus daripada EPEC dan S. Typhimurium. Sifat selektif terhadap pertumbuhan mikroba juga menjadi salah satu kriteria dari suatu kandidat prebiotik (Salminen et al. 2004; Roberfroid 2007; FAO 2007).

Kemampuan RS3 dalam memodulasi mikroflora yang menguntungkan ditunjukkan dengan nilai IP yang positif yang berarti RS pisang mampu menstimulasi pertumbuhan probiotik (bifidobakteria dan laktobasili) daripada pertumbuhan bakteri klostridia maupun bakteroides. Hal ini juga dapat mempengaruhi produksi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) yang dihasilkan selama fermentasi kultur fekal pada media yang mengandung RS3. Bullock dan Norton (1999) melaporkan bahwa feses tikus percobaan mengandung asam lemak rantai pendek dua kali lebih banyak pada tikus yang diberi konsumsi 20% RS3 daripada tikus yang diberi konsumsi glukosa 20% pada pakannya.

RS3 tepung pisang modifikasi mampu menghasilkan asam butirat,

sedangkan RS2 tepung pisang kontrol tidak mampu menghasilkan asam tersebut.

(10)

Asam butirat merupakan salah satu senyawa aktif yang diperlukan tidak hanya sebagai sumber energi bagi sel-sel mukosa gastrointestinal, akan tetapi juga diperlukan untuk meningkatkan fungsi sel (pro-diferensiasi), mencegah pertumbuhan sel abnormal (anti-proliferasi) dan menghambat pertumbuhan pembuluh darah baru (anti-angiogenik) (Hovhannisyan et al. 2009). Oleh karena itu dengan mengkonsumsi RS3 diharapkan dapat meningkatkan produksi asam butirat dalam usus besar sehingga dapat mencegah kanker terutama kanker kolon.

Selain kandungan RS lebih tinggi dan sifat prebiotik lebih baik, modifikasi proses dengan dua siklus retrogradasi mampu menurunkan daya cerna tepung pisang. Daya cerna lebih rendah dihasilkan oleh dua siklus retrogradasi (Tabel 4.3). Evaluasi indeks glikemik secara in vivo dengan menggunakan relawan menunjukkan nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang menurun akibat dua siklus retrogradasi dari IG sedang (61 – 66) menjadi IG rendah (52) dan kombinasinya dengan fermentasi spontan mampu menurunkan nilai IG yaitu menjadi 46 meskipun masih masuk kategori IG rendah. Nilai IG yang rendah disebabkan oleh meningkatnya kandungan RS sehingga lebih banyak pati yang tidak dapat dicerna dan tidak terjadi peningkatan glukosa darah secara drastis setelah 2 jam mengonsumsi tepung pisang tersebut. Proses dua siklus retrogradasi berperan dalam meningkatkan RS. Di samping itu proses pendinginan yang dilakukan pada suhu rendah 4

o

C juga mempercepat pembentukan RS. Frie et al. (2003) melaporkan penyimpanan suhu rendah 4

o

C selama 24 jam dapat menurunkan IG nasi Bagoean dari IG tinggi (93.2) menjadi IG sedang (65.7).

Ayodele & Erema (2010) melaporkan tepung pisang jenis plantain memiliki

IG sedang (65) dan menurun menjadi 57 akibat penyangraian. Nilai IG yang

rendah pada suatu bahan pangan dapat direkomendasikan sebagai asupan

karbohidrat bagi penderita diabetes atau diet gula. Pangan yang memiliki nilai IG

sedang maupun tinggi dapat direkomendasikan untuk dikonsumsi oleh individu

normal yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misalnya anak-anak),

sedangkan olahragawan yang akan bertanding memerlukan konsumsi pangan

yang memiliki IG tinggi (Widowati 2007; Astawan & Widowati 2011). Hal ini

menunjukkan proses pengolahan dapat mempengaruhi ketersediaan pati yang

(11)

dapat dicerna serta IG suatu bahan pangan sehingga pemilihan proses pengolahan menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam konstribusinya sebagai penyedia energi atau sifat fungsional tertentu bagi tubuh.

Tepung modifikasi yang dihasilkan memiliki kandungan RS yang cukup tinggi dan memiliki IG rendah. Oleh karena itu tepung pisang tersebut dapat dikembangkan menjadi pangan fungsional. Hasil penelitian Jenie et al. (2010) menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi yang dihasilkan dari fermentasi spontan 24 jam dengan satu siklus retrogradasi dapat diaplikasikan sebagai tepung komposit pada pembuatan produk pangan seperti roti, brownies dan cookies.

Aplikasi tepung tersebut dapat mencapai 20 % pada roti, 40% pada brownies dan 60% pada cookies dengan tingkat kesukaan panelis yang cukup tinggi.

9. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Modifikasi proses pembuatan tepung pisang melalui fermentasi spontan 24 jam dan pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi komposisi kimia tepung pisang dan sifat birefringence granula pati. Fermentasi mampu meningkatkan kadar amilosa yang selanjutnya melalui proses pemanasan bertekanan-pendinginan menjadi amilosa teretrogradasi membentuk pati resisten tipe III (RS3). Siklus pemanasan bertekanan-pendinginan berperan dalam meningkatkan kadar RS. Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dapat meningkatkan kadar RS lebih tinggi daripada yang satu siklus.

Fermentasi spontan 24 jam didominasi oleh pertumbuhan bakteri asam

laktat (BAL). Hasil identifikasi menunjukkan BAL yang tumbuh dominan (isolat

BAL FSnh1) dan BAL yang tumbuh kurang dominan (isolat BAL FSnhA)

merupakan famili Lactobacillaceae genus Lactobacillus. Visualisasi kedua isolat

pada pohon filogenetik menunjukkan isolat BAL FSnh1 memiliki similaritas

dengan L. salivarius sedangkan isolat BAL FSnhA memiliki similaritas dengan

L. fructivorans. Proses fermentasi pisang secara terkendali menggunakan BAL

Referensi

Dokumen terkait

Tahap selanjutnya adalah melakukan proses analisis kecukupan area produksi untuk mengetahui apakah area produksi masih mencukupi untuk penambahan line produksi ,

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperoleh dari hasil uji coba produk pengembangan modul pembelajaran.

Menjawab hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapatlah peneliti jelaskan bahwa peran humas dalam mempromosikan pariwisata di Kabupaten Bolaang

Berdasarkan hasil dari penelitian adapun saran yang dapat diajukan peneliti yaitu penerapan metode bermain dalam latihan mengirirng bola memiliki pengaruh pada peningkatan

Hasil perhitungan dengan kondisi penurunan harga jual sebesar 25% dan kenaikan produktivitas sebesar 25% menunjukkan bahwa usahatani kopi robusta di Desa Harjokuncaran layak

Informasi yang ada dalam database pada server hanya informasi mengenai data barang yang masuk area warehouse (pada saat penerimaan barang) dan data barang yang keluar

Masalah utama yang dialami keluarga Bapak Darma Wijaya adalah

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan jenis media paling efektif, yang dapat digunakan untuk mem- peroleh calon mahasiswa baru bagi per- guruan tinggi. Tujuan