• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan dalam kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi ( Notoatmodjo, 2007).

2.1.2 Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket (kuesioner) yang menanyakan tentang materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Dalam penggunaan kuesioner sebagai alat ukur, maka pengetahuan dikategorikan sebagai berikut :

1. Pengetahuan baik, apabila nilai yang diperoleh responden berkisar 75%-100%.

2. Pengetahuan cukup, apabila nilai yang diperoleh responden berkisar 50%- 75%.

3. Pengetahuan kurang, apabila nilai yang diperoleh responden < 50%.

(2)

2.1.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan dan Perilaku Kesehatan tahun 2003, Notoatmodjo menjelaskan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi pengetahuan:

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya.

Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal dan lingkungan. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut.

(3)

b. Sumber informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

c. Pengalaman

Pengalaman merupakan sesuatu yang pernah dialami oleh seseorang dan mempengaruhi kehidupannya. Dengan pengalaman, seseorang dapat memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih baik, khususnya pengetahuan tentang kesehatan. Dalam pekerjaan selalu mendapat tuntutan perubahan kebutuhan yang cepat akan keterampilan dan pengetahuan diperlukan untuk memegang pekerjaan yang mengarah ke sistem kerja yang otomatis. Untuk memenuhi tuntutan, dibutuhkan informasi yang lengkap dan cepat, maka orang yang berpengalaman akan memiliki akses yang lebih baik tentang berbagai informasi.

(4)

d. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.

2.2 Imunisasi Ulangan 2.2.1 Pengertian

Imunisasi ulangan adalah revaksinasi dari imunisasi dasar yang diberikan pada waktu-waktu tertentu dan juga diberikan bila terdapat suatu wabah yang berjangkit atau bila terdapat kontak dengan penyakit bersangkutan. Imunisasi ulangan dapat meninggikan secara cepat kadar zat antibodi dalam tubuh (Prasetyawati, 2011).

Biasanya diberikan melalui BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) yaitu:

imunisasi lanjutan pada anak SD yang dilaksanakan pada bulan Nopember setiap tahunnya. Imunisasi yang diberikan berupa vaksin Polio dan vaksin Campak

(5)

untuk anak kelas 1 SD atau sederajat, vaksin Difteri Tetanus (DT) pada anak kelas 2, vaksin Tetanus Toksoid (TT) dan Tetanus difteri (Td) pada anak kelas 3 SD atau sederajat dan vaksin TT dan vaksin Polio pada anak kelas 6 SD atau sederajat. Pada tahun 2011, secara nasional imunisasi vaksin TT untuk kelas 3 SD atau sederajat ditambah dengan Antigen difteri (vaksin Td).

Pemberian imunisasi ini sebagai ulangan untuk mengantisipasi terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Perubahan pemberian imunisasi dari vaksin TT ditambah dengan vaksin Td ini sejalan dengan rekomendasi dari Komite Ahli Penasehat Imunisasi Nasional atau Indonesia Technical Advisory Group on Immunization. Hal ini disebabkan adanya perubahan trend kasus infeksi difteri pada usia anak sekolah dan remaja (Sundoro, 2011).

2.2.2 Jenis-jenis

Imunisasi ulangan ada lima jenis, meliputi DT, TT, Td, campak dan polio. Di bawah ini merupakan penjelasan masing-masing penyakit dan vaksinnya (Ranuh, dkk, 2008).

1. Penyakit difteri

Difteri adalah salah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini diperkenalkan pertama kali oleh Hipokrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke- 6 oleh Aetius. Bakteri tersebut pertama kali diisolasi dari pseudomembran pasien penderita difteria pada tahun 1883 oleh Klebs, sedangkan anti-toksin ditemukan pertama kali dibuat pada akhir abad ke-19 sedangkan toksoid difteria mulai dibuat sekitar tahun 1920. Cara penularan terjadi apabila terdapat kontak

(6)

langsung dengan penderita difteri atau dengan pasien carrier difteri. Kontak langsung melalui percikan ludah (saat batuk, bersin dan berbicara), eksudat dari kulit yang terinfeksi atau kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku maupun mainan yang terkontaminasi.

Gambaran klinis, masa inkubasi difteri umumnya 2-5 hari pada difteri kulit masa inkubasi adalah 7 hari setelah infeksi primer pada kulit. Pasien akan mengalami gejala seperti demam dan terkadang menggigil, kerongkongan sakit dan suara parau, perasaan tidak enak, mual, muntah, sakit kepala, hidung berlendir kadang-kadang bercampur darah, serta dapat teraba adanya benjolan dan bengkak pada daerah leher (bull neck).

2. Vaksin difteri

Anti-toksin difteri pertama kali digunakan pada tahun 1891 dan mulai dibuat secara massal tahun 1892. Anti-toksin difteri ini terutama digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahan diragukan.

Pemberian anti-toksin dini sangat mempengaruhi angka kematian akibat difteri.

Kemudian dikembangkanlah toksoid difteri yang ternyata efektif dalam pencegahan timbulnya difteri. Untuk imunisasi primer terhadap difteri digunakan toksoid difteri yang kemudian digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Untuk imunisasi rutin anak dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah. Beberapa penelitian serologis membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan (booster) pada masa anak usia sekolah.

(7)

3. Penyakit Tetanus

Tetanus (lockjaw/kejang otot pada rahang dan wajah) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh tetanospasmin sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit ini sudah mulai dikenal sejak abad ke-5 SM tetapi baru pada tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien tetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone.

Clostridium tetani adalah bakteri yang sensitif terhadap suhu panas dan

tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Bakteri ini banyak terdapat pada kotoran, debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, anjing serta kucing.

Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka sehingga mampu menginfeksi sistem urat saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Gejala utama penyakit ini timbul kontraksi dan spastisitas otot yang tidak terkontrol, kejang, gangguan saraf otonom, dan rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak). Perawatan luka merupakan pencegahan utama terjadinya tetanus di samping imunisasi pasif dan aktif.

4. Vaksin Tetanus

Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasatol (1889) dan Nocard (1897) yang menunjukkan efek dari transfer pasif suatu anti-toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif selama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan oleh Descombey

(8)

pada tahun 1924 dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada perang dunia II.

Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bersama dengan toksoid difteria dan vaksin pertusis. Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian berkesinambungan untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat.

Efektifitas vaksin ini cukup baik, ibu yang mendapatkan toksoid tetanus 2 atau 3 dosis memberikan proteksi bagi bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal.

KIPI terutama reaksi lokal sangat dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan dan adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.

5. Vaksin DT (Difteri Tetanus) dan Td (Tetanus difteri)

Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap vaksin pertusis. Sedangkan vaksin Td (adult type) mengandung toksoid difteri yang lebih rendah daripada vaksin DPT tetapi toksoid tetanusnya sama. Vaksin ini dianjurkan untuk anak umur lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kemungkinan KIPI karena toksoid difteri. Efek samping yang mungkin terjadi adalah demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung selama 1-2 hari.

6. Penyakit Campak

Penyakit Campak (measles) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus paramiksovirus Gejala dari penyakit ini ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan

(9)

ruam kulit. Penyakit ini penularan infeksi karena menghirup percikan ludah penderita campak. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada.

Kontra indikasi pemberian vaksin campak adalah pada kondisi dengan infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38°C, gangguan sistem kekebalan, pemakaian obat imunosupresan, alergi terhadap protein telur, hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin, wanita hamil.

7. Vaksin campak

Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak yaitu: 1) vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B), 2) vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan. WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan. Untuk negara maju, imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur 12-15 bulan dan diulang pada umur 4-6 tahun.

Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,5°C terjadi pada 5-15%

kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung 2-4 hari.

8. Penyakit Polio

Polio bisa menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk menelan sehingga bisa menyebabkan kematian.

(10)

Kontra indikasi pemberian vaksin polio adalah pada kondisi dengan diare berat, gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid) dan kehamilan.

Efek samping yang mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang- kejang. Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada tingkat yang tertinggi.

9. Vaksin Polio

Terdapat 2 macam vaksin polio:

a. IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan, jarang diberikan di Indonesia.

b. OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan.

Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV)efektif melawan 1 jenis polio. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun). Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1ml) langsung ke mulut anak.

Referensi

Dokumen terkait

Erpala-pala kalak ras mpekeri gegeh ndarami kesalahen Daniel guna iaduken ku raja. Si menarik maka labo lit idat kesalahenna guna banci iaduken seyakatan arah

Berdasarkan hasil dari analisa data, dapat diambil kesimpulan bahwa hasil sesuai hipotesa dimana ada pengaruh pemberian metode NDT terhadap perkembangan motorik

Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan, hasil hipotesis 3 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor tes akhir hasil belajar keterampilan

Sesuai Pasal 443 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penjatuhan sanksi pidana kepada korporasi dapat dibebankan kepada pengurusnya yaitu pidana penjara dan

Menimbang, bahwa dalil-dalil yang mendasari gugatan Penggugat pada pokonya rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun dan damai hanya sampai degan akhir tahun

agglomerans LAS-2b yang berasal dari Sumber Air Panas Lejja, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, dengan tahapan peremajaan bakteri, pembuatan medium inokulum dan medium

Pengendalian motor induksi tiga fasa ini dapat dilakukan denan mengatur kecepatan putar motor secara bertahap (soft starting) sampai mencapai kecepatan

Keragaman genetika yang cukup tinggi dapat di- deteksi dari empat belas aksesi kentang yang diguna- kan dalam penelitian ini.. Sebanyak 60 alel terdeteksi berdasarkan 12