• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelakuan Sistem Orde Dua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis Kelakuan Sistem Orde Dua"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Program Studi Teknik Telekomunikasi - Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung

Praktikum

Pengolahan Sinyal Waktu Kontinyu

sebagai bagian dari Mata Kuliah ET 2004

Modul 3 :

Analisis Kelakuan Sistem Orde Dua

©Institut Teknologi Bandung Disusun oleh : Irma Zakia 31 Maret, 2017

(2)

2 I. Pendahuluan

Dalam penerapannya, sistem dengan orde tinggi sering diimplementasikan dan direpresentasikan sebagai interkoneksi seri atau paralel dari sistem-sistem orde satu dan orde dua. Dengan demikian, analisis, perancangan, dan pemahaman kelakukan sistem orde tinggi dapat diketahui dengan mengamati kelakuan sistem orde satu dan orde dua. Secara fisis, sistem orde satu memodelkan sistem dengan satu buah elemen penyimpan energi, misalnya induktor pada rangkaian RL atau kapasitor pada rangkaian RC. Sementara itu, sistem orde dua memodelkan sistem dengan dua buah elemen penyimpan energi, misalnya kapasitor dan induktor pada rangkaian RLC.

Kelakuan sistem orde satu, melalui percobaan menggunakan rangkaian RC, telah diketahui dalam hal respons impuls dan respons step (modul 1), serta respons frekuensi (modul 2).

Modul ini fokus pada analisis kelakuan sistem orde dua dalam hal respons step (domain waktu) dan respons frekuensi (domain frekuensi). Sistem orde dua yang digunakan pada percobaan berupa rangkaian RLC seri.

Bergantung dari nilai damping ratio, respons step sistem orde dua menuju keadaan mantap dengan berosilasi dengan amplituda osilasi mengecil (underdamped) atau menuju keadaan mantap secara eksponensial tanpa osilasi (critically damped,overdamped). Untuk menentukan respons frekuensi sistem, sistem diberi sinyal masukan sinus (steady-state). Pada bagian luaran, perubahan amplituda dan fasa pada sinyal sinus luaran digunakan untuk menentukan masing-masing respons magnituda dan respons fasa sistem. Berbeda dengan tampilan respons frekuensi pada modul 2, respons frekuensi pada modul ini ditampilkan dalam diagram Bode.

II. Tujuan

a. Memahami kelakuan sistem orde dua pada domain waktu melalui respons step sistem b. Memahami kelakuan sistem orde dua pada domain frekuensi melalui respons frekuensi

sistem

c. Memahami konsep respons frekuensi dengan diagram Bode

d. Memahami konsep aproksimasi respons frekuensi pada diagram Bode e. Memahami kelakuan sistem orde dua dari lokasi pole dan zero

III. Dasar Teori

III.1. Sifat Sistem Orde Dua dari Nilai Damping Ratio

Setiap persamaan homogen dari sistem orde dua yang dideskripsikan melalui persamaan differensial dapat ditulis dalam bentuk

𝑑2𝑦 (𝑡)

𝑑𝑡2 + 2𝜁𝜔𝑛𝑑𝑦 (𝑡)

𝑑𝑡 + 𝜔𝑛2𝑦 𝑡 = 0 (1)

(3)

3

Adapun 𝜁 menyatakan damping ratio, yang menunjukkan seberapa besar redaman / hambatan pada sistem. Sementara itu, parameter 𝜔𝑛 menyatakan frekuensi alami sistem. Hal ini berarti sistem berosilasi dengan frekuensi 𝜔𝑛 (dengan amplituda osilasi tetap terhadap waktu) jika damping ratio bernilai nol.

Dari persamaan homogen tersebut, lokasi dua buah pole 𝑝1 dan 𝑝2 dapat ditentukan melalui 𝑝1 = −𝜁𝜔𝑛 + 𝜔𝑛 𝜁2− 1 (2) 𝑝2 = −𝜁𝜔𝑛 − 𝜔𝑛 𝜁2− 1 (3) Besarnya nilai damping ratio menentukan lokasi pole serta sifat sistem. Untuk sistem yang stabil, sifat sistem terbagi menjadi underdamped, overdamped, dan critically damped (Tabel 1).

Tabel 1. Sifat sistem dan lokasi pole berdasarkan nilai damping ratio

Damping ratio

Sifat Sistem Respons step Lokasi pole

0 < 𝜁 < 1 Underdamped Sistem menuju keadaan mantap dengan berosilasi, dimana amplituda osilasi terhadap waktu perlahan mengecil, dan akhirnya menuju nol

Sepasang pole berkonjugasi kompleks

𝑝1,2 = −𝜁𝜔𝑛 ± 𝑗𝜔𝑛 1 − 𝜁2

𝜁 > 1 Overdamped Sistem menuju keadaan mantap

tanpa osilasi (fungsi eksponensial) Dua buah pole riil

𝑝1,2 = −𝜁𝜔𝑛 ± 𝜔𝑛 𝜁2− 1 𝜁 = 1 Critically

damped Sistem menuju keadaan mantap secepat mungkin tanpa osilasi (fungsi eksponensial)

Dua buah pole riil pada posisi yang sama

𝑝1= 𝑝2 = −𝜔𝑛

Perubahan lokasi pole seiring dengan perubahan damping ratio diilustrasikan pada Gbr. 1.

Untuk menghasilkan sistem yang stabil dan kausal, damping ratio dibatasi pada nilai 𝜁 > 0, atau semua pole berada pada sebelah kiri sumbu imajiner Im{𝑠}. Dengan asumsi sistem domain waktu bersifat riil, pole kompleks memiliki pasangan pole yang bernilai konjugasi kompleks. Pole yang kompleks (0 < 𝜁 < 1) memberikan karakteristik domain waktu berupa respons yang berosilasi dengan amplituda osilasi mengecil. Sementara itu, pole rill (𝜁 ≥ 1) memberikan karakteristik domain waktu berupa respons eksponensial.

III.2. Karakteristik Domain Waktu Sistem Orde Dua

Pada bagian ini, karakteristik domain waktu sistem orde dua LTI kausal, yang dideskripsikan dalam bentuk persamaan differensial, diberikan dalam hal respons step sistem. Sistem orde dua diwakili melalui rangkaian RLC seri, yang diberi masukan berupa tegangan sinyal DC 𝑥(𝑡) (Gbr. 2). Sinyal luaran 𝑦(𝑡) yang diamati adalah tegangan pada kapasitor.

(4)

4

Gbr. 1 Pengaruh Damping Ratio terhadap Lokasi Pole pada Sistem Orde Dua

Gbr. 2. Rangkaian RLC seri dengan tegangan kapasitor sebagai luaran

Untuk analisis luaran 𝑦(𝑡) saat sistem sudah steady-state, maka masukan 𝑥(𝑡) yang berupa unit step (sinyal DC) ekivalen dengan masukan sinus frekuensi nol (𝜔 = 0). Dengan demikian, kapasitor menjadi open-circuit, sedangkan induktor short-circuit. Hal ini berarti dalam keadaan steady-state, respons step sistem sama dengan tegangan sumber, atau 𝑦(𝑡)

= 𝑥(𝑡).

Persamaan differensial rangkaian RLC seri menjadi

𝑑2𝑦 (𝑡) 𝑑𝑡2 +𝑅

𝐿 𝑑𝑦 (𝑡)

𝑑𝑡 + 1

𝐿𝐶𝑦 𝑡 = 1

𝐿𝐶𝑥 𝑡 (4) Dengan melihat korespondensi antara persamaan (1) dengan (4), maka frekuensi alami sistem ditulis sebagai

𝜔𝑛 = 1

𝐿𝐶 (5) dan damping ratio

𝜁 = 𝑅

2𝜔𝑛𝐿 (6) 𝑦(𝑡)

𝑥(𝑡)

(5)

5 Sehingga persamaan (4) dapat ditulis juga

𝑑2𝑦 (𝑡)

𝑑𝑡2 + 2𝜁𝜔𝑛𝑑𝑦 (𝑡)

𝑑𝑡 + 𝜔𝑛2𝑦 𝑡 = 𝜔𝑛2𝑥 𝑡 (7)

Meningkatnya nilai R akan menghasilkan rangkaian yang jika semula bersifat underdamped, menjadi critically damped atau overdamped. Secara fisis, hal ini dapat diartikan, dengan meningkatnya nilai R (damping ratio meningkat), rugi-rugi energi juga meningkat, sehingga osilasi sistem berkurang. Contoh lain adalah pada rangkaian osilator LC ideal: energi ditransfer dari L ke C dan sebaliknya tanpa rugi-rugi rangkaian, sehingga dihasilkan sinyal yang berosilasi selamanya. Jika hambatan R dihubungkan seri dengan rangkaian LC ideal tersebut, maka R bertindak sebagai rugi-rugi. Pada keadaan demikian, R menyebabkan rangkaian berosilasi dengan amplituda menurun bahkan lama-kelamaan menjadi nol.

Dengan menggunakan transformasi Laplace, fungsi transfer sistem yang diimplementasikan dengan persamaan (7) adalah

𝐻 𝑠 = 𝜔𝑛2

𝑠2+2𝜁𝜔𝑛𝑠+𝜔𝑛2 = 𝜔𝑛2

(𝑠−𝑝1)(𝑠−𝑝2) (8) Luaran sistem dengan masukan berupa unit step menjadi

𝑌 𝑠 = 𝜔𝑛2

𝑠(𝑠−𝑝1)(𝑠−𝑝2) (9) Respons step 𝑠 𝑡 = ℒ−1(𝑌 𝑠 ). Dikarenakan 𝑌(𝑠) rasional, 𝑠 𝑡 dapat ditentukan melalui ekspansi pecahan parsial dari 𝑌(𝑠).

Untuk 𝜁 ≠ 1, kedua pole tidak berulang (𝑝1 ≠ 𝑝2), sehingga bentuk ekspansi pecahan parsial 𝑌 𝑠 𝜁≠1 =𝐴1

𝑠 + 𝐴2

𝑠−𝑝1 + 𝐴3

(𝑠−𝑝2) (10) Selanjutnya dapat dihitung 𝐴1 = 1, 𝐴2 = 1

2 𝜁2−1−𝜁 𝜁2−1 , dan 𝐴3 = 1

2 𝜁2−1+𝜁 𝜁2−1 .

Sementara itu, untuk 𝜁 = 1, kedua pole berulang (𝑝1 = 𝑝2), sehingga bentuk ekspansi pecahan parsial

𝑌 𝑠 𝜁=1 =𝐵1

𝑠 + 𝐵2

𝑠−𝑝1 + 𝐵3

(𝑠−𝑝1)2 (11) Nilai konstanta dihitung sebagai 𝐵1 = 1, 𝐵2 = −1, dan 𝐵3 = −𝜔𝑛.

Respons step sistem menjadi

(6)

6

Gbr. 3. Respons step rangkaian RLC seri dengan 𝜔𝑛 = 3.1623 . 105 rad/s

𝑠 𝑡 =

1 − 𝑒−𝜁𝜔𝑛𝑡cos 1 − 𝜁2𝜔𝑛𝑡 − 𝜁

1 − 𝜁2𝑒−𝜁𝜔𝑛𝑡sin 1 − 𝜁2𝜔𝑛𝑡 𝑢 𝑡 , untuk 0 <𝜁 < 1

1 − 𝑒−𝜔𝑛𝑡− 𝜔𝑛𝑡𝑒−𝜔𝑛𝑡 𝑢 𝑡 , untuk 𝜁 = 1

1 + 𝑒 −𝜁𝜔𝑛+ 𝜁

2−1𝜔𝑛 𝑡

2 𝜁2− 1 − 𝜁 𝜁2− 1

+ 𝑒 −𝜁 𝜔𝑛𝜁

2−1𝜔𝑛 𝑡

2 𝜁2− 1 + 𝜁 𝜁2− 1

𝑢 𝑡 , untuk 𝜁 > 1

(12) Respons step teoritis untuk berbagai nilai damping ratio diperlihatkan pada Gbr. 3. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tampak bahawa respons transien sistem (berosilasi atau eksponensial) bergantung dari nilai damping ratio.

III. 3. Penentuan dan Aproksimasi Respons Frekuensi dengan Diagram Bode

Spektrum suatu sinyal dan respons frekuensi suatu sistem dapat ditampilkan dalam diagram Bode. Diagram Bode dari spektrum magnituda 𝑋(𝑗𝜔) menampilkan spektrum dalam skala logaritmik 20log10 𝑋(𝑗𝜔) dB terhadap frekuensi skala logaritmik. Sementara itu, diagram Bode spektrum fasa arg⁡(𝑋(𝑗𝜔)) menampilkan spektrum fasa terhadap frekuensi skala logaritmik. Definisi diagram Bode yang demikian berlaku juga untuk respons magnituda 𝐻(𝑗𝜔) dan respons fasa arg⁡(𝐻(𝑗𝜔)) suatu sistem.

(7)

7

Tampilan spektrum magnituda dalam skala logaritmik memiliki beberapa keuntungan, yaitu:

1. Hubungan penjumlahan antara spektrum sinyal masukan dengan respons frekuensi

log 𝑌(𝑗𝜔) = log 𝑋(𝑗𝜔) + log 𝐻(𝑗𝜔) (13) 2. Jangkauan nilai magnituda yang lebih besar memberikan tampilan lebih detil, misalnya

redaman pada daerah stopband lebih terlihat jelas pada skala logaritmik .

Sementara itu, tampilan frekuensi dalam skala logaritmik memiliki keuntungan sebagai berikut:

1. Jangkauan frekuensi yang lebih besar.

2. Kemudahan dalam menampilkan aproksimasi Bode diagram dengan menggunakan nilai asimptotik frekuensi.

Secara umum, respons frekuensi dari sistem dengan fungsi transfer rasional dapat ditulis sebagai

𝐻 𝑗𝜔 = 𝑏 (𝑗𝜔 −𝑧𝑘)

𝑀 𝑘=1

(𝑗𝜔 −𝑝𝑘) 𝑁𝑘=1

= 𝑏 𝑗𝜔 −𝑧1 𝑗𝜔 −𝑧2 …(𝑗𝜔 −𝑧𝑀)

𝑗𝜔 −𝑝1 𝑗𝜔 −𝑝2 …(𝑗𝜔 −𝑝𝑁) (14) dengan 𝑧𝑘 dan 𝑝𝑘 masing-masing menyatakan lokasi zero dan pole, sedangkan 𝑏 menyatakan konstanta. Diasumsikan sistem kausal dan stabil, sehingga semua pole berada di sebelah kiri bidang s.

Penggambaran respons frekuensi dengan diagram Bode dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu:

1. Pole dan zero riil

2. Pasangan pole dan zero berkonjugasi kompleks Pole dan Zero Riil

Tanpa mengurangi maksud secara umum, diasumsikan terdapat 𝐿 buah zero pada titik pusat, yaitu 𝑧𝑘 = 0, 𝑘 = 1,2, … , 𝐿, sehingga respons frekuensi menjadi

𝐻 𝑗𝜔 = 𝑏 (𝑗𝜔)𝐿 𝑗𝜔 − 𝑧𝐿+1 𝑗𝜔 − 𝑧𝐿+2 … (𝑗𝜔 − 𝑧𝑀) 𝑗𝜔 − 𝑝1 𝑗𝜔 − 𝑝2 … (𝑗𝜔 − 𝑝𝑁)

= 𝐵 (𝑗𝜔 )

𝐿 1− 𝑗𝜔

𝑧𝐿+1 1− 𝑗𝜔

𝑧𝐿+2 …(1−𝑗𝜔 𝑧𝑀) 1−𝑗𝜔

𝑝 1 1−𝑗𝜔

𝑝 2 …(1−𝑗𝜔

𝑝 𝑁) (15) dengan

𝐵 = 𝑏 𝑀𝑘=𝐿+1(−𝑧𝑘)

(−𝑝𝑘) 𝑁 𝑘=1

(16)

(8)

8

Respons magnituda dalam dB dan respons fasa, masing-masing ditulis sebagai 𝐻(𝑗𝜔) 𝑑𝐵 = 20log10 𝐵 + 𝐿20log10 𝜔 + 20log10 1 −𝑗𝜔

𝑧𝑘

𝑀

𝑘=𝐿+1

− 20log10 1 −𝑗𝜔 𝑝𝑘

𝑁

𝑘=1

(17) dan

arg 𝐻 𝑗𝜔 = arg 𝐵 + 𝐿 90°+ arg⁡ 1 −𝑗𝜔

𝑧𝑘

𝑀𝑘=𝐿+1 − arg⁡ 1 −𝑗𝜔

𝑝𝑘

𝑁𝑘=1 (18)

arg 𝐵 = 0, if 𝐵 ≥ 0

±𝜋, if 𝐵 < 0 (19)

Persamaan repons magnituda dan respons fasa tersebut menunjukkan terdapat beberapa faktor yang dijumlahkan dan dikurangkan. Faktor yang menjadi perhatian khusus adalah faktor yang masih mengandung pole dan zero, yang masing-masing disebut sebagai faktor pole dan faktor zero.

Tanpa mengurangi maksud secara umum, penjelasan berikut hanya melihat respons akibat faktor pole.

Misal terdapat sebuah pole pada lokasi 𝑝1 = −𝛼, 𝛼 ∈ ℛ. Magnituda dan fasa akibat faktor pole, masing-masing menjadi

20log10 1 +𝑗𝜔

𝛼 = 20log10 1 + 𝜔

𝛼

2 (20)

dan

arg⁡ 1 +𝑗𝜔

𝛼 = tan−1 𝜔

𝛼 (21) Besarnya magnituda dan fasa diaproksimasi menggunakan asimptot frekuensi, yang masing- masing terlihat pada Tabel 2 dan 3.

Karena faktor pole berada pada bagian penyebut dari 𝐻(𝑗𝜔), maka kontribusinya negatif dari nilai magnituda dan fasa yang masing -masing telah diberikan pada Tabel 2 dan 3. Hal sebaliknya berlaku untuk faktor zero.

(9)

9

Tabel 2. Magnituda faktor pole untuk pole riil

Aproksimasi Frekuensi Magnituda dari Faktor Pole 𝟐𝟎𝐥𝐨𝐠𝟏𝟎 𝟏 + 𝝎

𝜶

𝟐

Frekuensi rendah 𝜔

𝛼 ≪ 1 ≈ 0 dB

Frekuensi tinggi 𝜔

𝛼 ≫ 1 ≈ 20log10 𝜔

𝛼  gradien 20 dB/decade

Frekuensi corner 𝜔

𝛼 = 1 ≈ 0 dB

Tabel 3. Fasa faktor pole untuk pole riil

Aproksimasi Frekuensi Fasa dari Faktor Pole 𝐭𝐚𝐧−𝟏 𝝎

𝜶

Frekuensi rendah 𝜔

𝛼 ≪ 1 ≈ 0°

Frekuensi tinggi 𝜔

𝛼 ≫ 1 ≈ 90°

𝜔

𝛼 = 1 = 45°

Frekuensi pertengahan 0.1 <𝜔

𝛼 < 10 tan−1 0.1 = 53° ≈ 0° tan−1 10 = 84.7° ≈ 90°

 garis dengan gradien 45°/decade

Pasangan Pole dan Zero Berkonjugasi Kompleks

Fungsi transfer yang terdiri dari pasangan pole berkonjugasi kompleks diekspresikan sebagai 𝐻 𝑠 = 𝜔𝑛2

𝑠2+2𝜁𝜔𝑛𝑠+𝜔𝑛2 = 1

1++2 𝜁 𝜔 𝑛𝑠+𝑠2

𝜔 𝑛 2

(22)

Respons magnituda dalam dB dan respons fasa, masing-masing ditulis sebagai 𝐻(𝑗𝜔) 𝑑𝐵 = −20log10 1 − 𝜔2

𝜔𝑛2 2

+ 4𝜁2 𝜔2

𝜔𝑛2 (23) dan

arg⁡ 𝐻(𝑗𝜔) = −tan−1 2𝜁

𝜔 𝜔 𝑛 1−𝜔 2 𝜔 𝑛 2

(24)

Sementara untuk pasangan zero berkonjugasi kompleks, respons magnituda dan respons fasanya adalah negatif dari respons persamaan (23) dan (24).

(10)

10

Tabel 4. Respons magnituda untuk pasangan pole berkonjugasi kompleks Aproksimasi Frekuensi Respons Magnituda 𝑯(𝒋𝝎) 𝒅𝑩

Frekuensi rendah 𝜔

𝜔𝑛 ≪ 1 ≈ 0 dB

Frekuensi tinggi 𝜔

𝜔𝑛 ≫ 1 ≈ −40log10 𝜔

𝜔𝑛  gradien - 40 dB/decade

Frekuensi corner 𝜔

𝜔𝑛 = 1 ≈ 0 dB

Tabel 5. Respons fasa untuk pasangan pole berkonjugasi kompleks

Aproksimasi Frekuensi Respons Fasa 𝐚𝐫𝐠⁡ 𝑯(𝒋𝝎)

Frekuensi rendah 𝜔

𝜔𝑛 ≪ 1 ≈ 0°

Frekuensi tinggi 𝜔

𝜔𝑛 ≫ 1 ≈ −90°

𝜔

𝜔𝑛 = 1 = −45°

Frekuensi pertengahan 0.1 < 𝜔

𝜔𝑛 < 10 garis dengan gradien −90°/decade Besarnya respons magnituda dan respons fasa diaproksimasi menggunakan asimptot frekuensi, yang masing-masing divisualisasikan pada Tabel 4 dan 5.

III.4. Respons Frekuensi Sistem Orde Dua dengan Diagram Bode

Pada modul ini, penentuan respons frekuensi dilakukan terhadap sistem orde dua. Seperti yang diperlihatkan pada Gbr. 1, perubahan damping ratio pada sistem orde dua mengakibatkan perubahan lokasi pole. Sistem dapat memiliki dua buah pole yang riil (𝜁 ≥ 1) atau sepasang pole berkonjugasi kompleks (0 < 𝜁 < 1). Dengan demikian, penentuan respons frekuensi dalam diagram Bode mengikuti kondisi yang sama, yaitu apakah pole bernilai riil atau kompleks, seperti yang telah disampaikan pada III.3.

Respons magnituda dan respons fasa sistem orde dua dalam diagram Bode untuk berbagai nilai damping ratio diperlihatkan masing-masing pada Gbr. 4 dan 5. Tampilan diagram Bode pada sumbu horizontal adalah terhadap frekuensi ternormalisasi 𝜔

𝜔𝑛 = 1.

Untuk 𝜁 = 1, diagram Bode respons magnituda (Gbr. 4) dan respons fasa (Gbr. 5) menyerupai aproksimasi asimptotik yang diberikan masing-masing pada Tabel 2 dan 3. Perlu

(11)

11

diingat bahwa untuk 𝜁 = 1, terdapat dua buah pole riil dan sama, yaitu 𝑝1 = 𝑝2 = −𝜔𝑛, sehingga gradien garis untuk frekuensi 𝜔

𝜔𝑛 ≫ 1 adalah -40 dB/decade.

Begitu pula untuk 0 < 𝜁 < 1, diagram Bode respons magnituda (Gbr. 4) dan respons fasa (Gbr. 5) menyerupai aproksimasi asimptotik yang diberikan masing-masing pada Tabel 4 dan 5. Hanya saja, pada frekuensi corner 𝜔

𝜔𝑛 = 1, nilai magnituda dipengaruhi secara signifikan oleh besarnya damping ratio. Kesalahan magnituda pada frekuensi corner 𝜔

𝜔𝑛 = 1 dapat ditulis sebagai

20log10(2𝜁) (25)

Gbr. 4 Respons Magnituda 𝐻(𝑗𝜔) 𝑑𝐵 Sistem Orde Dua

Gbr. 5 Respons fasa arg⁡(𝐻 𝑗𝜔 ) Sistem Orde Dua

(12)

12

Seperti yang telah dilakukan pada modul 2, penentuan respons frekuensi suatu sistem dilakukan dengan melihat perubahan amplituda dan fasa sinyal luaran saat sinyal masukan sinus diubah-ubah frekuensinya. Formulasi penentuan respons magnituda dan respons fasa dapat dilihat pada modul 2 persamaan (18) dan (19). Pada modul ini, respons magnituda diubah ke dalam dB, atau

𝐻(𝑗𝜔) 𝑑𝐵 = 20log10 𝐻(𝑗𝜔) (26) Selain itu, pada modul ini, respons frekuensi ditampilkan dalam diagram Bode, sehingga skala frekuensi yang dipakai adalah skala logaritmik. Dengan demikian, sinyal masukan yang dibangkitkan berada pada rentang beberapa dekade sebelum dan sesudah frekuensi alami 𝜔𝑛. Setelah melalui pengamatan, sinyal masukan cukup dibangkitkan pada rentang

0.1 𝜔𝑛 ≤ 𝜔 ≤ 10𝜔𝑛 (27) Percobaan penentuan respons frekuensi dilakukan dengan menggunakan rangkaian RLC seri (luaran pada tegangan kapasitor) sesuai Gbr. 2. Untuk rangkaian tersebut, besarnya frekuensi alami dan damping ratio dapat ditentukan masing-masing melalui persamaan (5) dan (6).

Sementara besarnya frekuensi osilasi dalam kedaan underdamped dinyatakan sebagai

𝜔𝑛 1 − 𝜁2 (28) Frekuensi osilasi keadaan underdamped digunakan sebagai nilai teoritis yang nantinya akan dibandingkan dengan salah satu hasil pada percobaan V.1 ( penentuan respons step).

IV. Persiapan Percobaan IV.1. Peralatan yang Diperlukan

Pada percobaan ini, diperlukan peralatan sebagai berikut:

1. Modul Edibon M2 2. Generator sinyal 3. Osiloskop

4. Kabel probe sebanyak 3 buah 5. Kabel jumper

6. Flash Disk, disiapkan oleh praktikan 7. Desktop PC yang terinstal Matlab 8. Kalkulator

(13)

13 IV.2. Setting Trigger pada Osiloskop

Tabel 6. Setting trigger pada osiloskop

Jenis Trigger Keterangan

Mode Edge

Coupling untuk masukan sinyal DC (unit step)

DC coupling Coupling untuk masukan sinyal sinus AC coupling

Slope Positive

Source selector Ch 1 (sinyal masukan)

IV.3. Switch pada Modul Edibon M2

Pastikan semua switch pada modul berada pada posisi 1, sehingga modul bebas dari sinyal gangguan yang disengaja.

V. Percobaan V.1. Respons step

Percobaan berikut dilakukan untuk berbagai nilai damping ratio yang mewakili sistem underdamped dan critically damped . Nilai damping ratio menentukan besarnya nilai R yang harus diambil seperti diilustrasikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai resistor untuk damping ratio tertentu

Damping ratio 𝜻 R Edibon M2 Keadaan

0.052 330 Ω R18 underdamped

0.16 330 Ω + 680 Ω R18 seri R12 underdamped

1.0 680 Ω + 1 kΩ + 4.7 kΩ R12 seri R14 seri R11 critically damped Langkah-langkah percobaan:

1. Buatlah rangkaian seperti Gbr. 2 dengan nilai L = 10 mH dan C = 1 nF (L1 dan C11 pada Edibon), dan nilai R sesuai Tabel 7.

2. Hitung frekuensi alami 𝜔𝑛 yang dihasilkan dari nilai L dan C tersebut. Selanjutnya, besar perioda osilasi alami dapat ditentukan.

3. Untuk tiap nilai resistor, bangkitkan tegangan DC berupa unit step bernilai 1 V. Hal ini dilakukan dengan membangkitkan sinyal kotak periodik frekuensi 2 kHz, duty cycle 60%

(pembangkitan unit step yang demikian, memudahkan dalam melihat bagian transien dari respons). Nilai tegangan 1 V diperoleh melalui tegangan peak-to-peak 1V dan offset DC 500 mV. Pengamatan sinyal masukan dan luaran nantinya cukup dilakukan untuk satu periode.

4. Gunakan skala tegangan dan waktu pada Ch 1 dan Ch 2 osiloskop sebagai berikut:

Skala tegangan 500 mV/div ? Skala waktu 50 𝜇𝑠/div ?

(14)

14

5. Lihat sinyal luaran pada osiloskop. Dalam keadaan underdamped, tentukan frekuensi osilasi. Hal ini dilakukan dengan mengukur beberapa periode osilasi, lalu diambil nilai rata-rata periodenya. Bandingkan dengan perhitungan frekuensi osilasi teoritis sesuai persamaan (28).

6. Simpan data tegangan luaran pada Flash Disk. Gunakan ekstensi file .csv. Dengan demikian, file .csv memuat 2 buah informasi yaitu waktu dan tegangan luaran (Ch 2).

7. Jangan ubah skala osiloskop, termasuk referensi waktu 𝒕 = 𝟎. Dengan nilai L dan C yang sama, ulangi langkah 1-6 untuk nilai R lainnya pada Tabel 7.

8. Lakukan analisis pengaruh resistansi R terhadap ada/tidaknya dan kuat/lemahnya amplituda osilasi pada tegangan luaran.

9. Pindahkan data dari Flash Disk ke perangkat lunak Matlab pada desktop PC. Simpan data pada folder baru berlokasi di C:\Users\radartelkom_1\Desktop\Praktikum S1\Praktikum PSWK\Semester 2 2016 2017\Modul 3\nama folder (misal nama kelompok).

10. Pastikan jendela utama Matlab tertaut pada lokasi folder yang telah Anda buat.

11. Panggil file .csv (sebanyak 3 file), yang masing-masing berisi tegangan luaran untuk tiap nilai damping ratio. Simpan hasil pembacaan tiap file .csv pada suatu matriks/variabel.

Gunakan perintah:

nama_matriks = dlmread ′nama file. csv,,, 2,0 ;

Pada matriks tersebut, kolom 1 dan 2 masing-masing berisi waktu dan tegangan luaran.

Gunakan informasi ini untuk melakukan pengolahan terhadap isi matriks.

12. Tampilkan ketiga gambar tegangan luaran untuk tiap damping ratio dengan perintah:

plot nama_matriks_aa : ,2 , hold on;

plot nama_matriks_bb(: ,2), ′red′ , hold on;

plot nama_matriks_cc(: ,2), ′black′ ; Keterangan:

nama_matriks_aa adalah matriks yang memuat sinyal luaran dengan damping ratio tertentu, kurva diberi warna biru (warna default)

nama_matriks_bb adalah matriks yang memuat sinyal luaran dengan damping ratio tertentu, kurva diberi warna merah

nama_matriks_cc adalah matriks yang memuat sinyal luaran dengan damping ratio tertentu, kurva diberi warna hitam

13. Simpan gambar dalam bentuk .jpg atau .bmp untuk dianalisis pada laporan.

14. Berikan analisis terhadap perbedaan hasil respons step dari percobaan dengan nilai teoritis sesuai persamaan (12).

V.2. Respons Frekuensi dalam Diagram Bode Langkah-langkah percobaan:

1. Buatlah rangkaian seperti Gbr. 2, dengan nilai dengan nilai L = 10 mH dan C = 1 nF (L1 dan C11 pada Edibon), dan nilai R sesuai Tabel 7.

(15)

15

2. Bangkitkan sinyal masukan berupa sinus tegangan +3 sampai -3 V. Tegangan +3 sampai -3 V diperoleh dengan memasukkan tegangan peak-to-peak 6 V dan offset DC 0 V.

3. Variasikan frekuensi sinus dari 5.033 kHz s.d. 503.3 kHz. Untuk tiap dekade frekuensi, gunakan frekuensi normalisasi 𝜔

𝜔𝑛 ke- 1, 2, 4, 6, 8.

4. Dengan menggunakan osiloskop, catat nilai-nilai berikut pada logbook:

tegangan maksimum pada sinyal masukan Ain

tegangan maksimum pada sinyal luaran Aout

waktu saat sinyal masukan memotong sumbu waktu dengan gradien positif 𝑡𝑖𝑛

titik pertama setelah 𝑡𝑖𝑛, saat sinyal luaran memotong sumbu waktu dengan gradien positif. Titik tersebut terjadi pada waktu 𝑡𝑜𝑢𝑡.

5. Dengan nilai L dan C yang sama, ulangi langkah 1-4 untuk nilai R lainnya pada Tabel 7.

6. Hitung besarnya respons magnituda dan respons fasa dari tampilan yang dihasilkan.

Gunakan persamaan (18) dan (19) pada modul 2. Lakukan konversi respons magnituda ke dalam dB sesuai persamaan (26). Catat nilainya pada logbook.

7. Tentukan diagram Bode respons magnituda (dB) dan respons fasa teoritis sesuai persamaan (17), (18) untuk 𝜁 = 1 dan persamaan (23), (24) untuk 𝜁 = 0.052 dan 𝜁 = 0.16. Catat nilainya pada logbook.

8. Gambarlah diagram Bode respons magnituda (dB) dan respons fasa yang dihasilkan dari percobaan dan yang diperoleh secara teoritis. Tampilkan juga aproksimasi asimptotik dari diagram Bode respons magnituda (dB) dan respons fasa. Jelaskan perbedaan diagram Bode yang didapat antara hasil percobaan, hasil teoritis, dan hasil aproksimasi asimptotik.

9. Apa pengaruh damping ratio terhadap jenis filter yang dihasilkan rangkaian (low-pass, high-pass, band-pass, band-stop) ?

VI. Tugas pada Laporan

Hal-hal yang harus terdapat pada laporan:

1. Semua pertanyaan yang ada pada langkah-langkah percobaan.

2. Perbandingan antara hasil percobaan dengan nilai teoritis pada percobaan penentuan respons step.

3. Perbandingan diagram Bode respons magnituda dan respons fasa antara hasil percobaan, hasil teoritis, dan hasil aproksimasi asimptotik.

VII. Referensi

1. Alan V. Oppenheim, Alan S. Willsky, with S. Hamid, Signals and Systems, 2nd edition, Prentice-Hall, 1996.

2. Simon Haykin, Barry Van Veen, Signals and Systems, 2nd edition, John Wiley & Sons, Inc., 2004.

3. P Sannuti, Steady State Frequency Response Using Bode Plots, Rutgers University, Dec.

16, 2005.

Gambar

Tabel 1. Sifat sistem dan lokasi pole berdasarkan nilai damping ratio
Tabel 2. Magnituda faktor pole untuk pole riil
Tabel 4. Respons magnituda untuk pasangan pole berkonjugasi kompleks  Aproksimasi  Frekuensi  Respons Magnituda
Tabel 6. Setting trigger pada osiloskop

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi yang dilakukan dalam Tugas Akhir ini adalah identifikasi secara buta pada sistem MIMO, khususnya pada dua masukan dan dua keluaran.Sistem ini dapat ditemukan

IDENTIFIKASI SECARA BUTA PADA SISTEM MIMO DALAM DOMAIN FREKUENSI BERDASARKAN STATISTIK ORDE.. YANG LEBIH TINGGI DARI DUA Irwan Tanadi

Simulasi yang dilakukan untuk melihat kinerja sistem proteksi relai OCR dari gangguan 3 fasa yang diberikan, dengan luas penampang yang digunakan pada feeder Singapure Gardu Induk

Dalam karya tulis ini akan diteliti pengaruh perubahan konstanta PID pada sistem hibrid ( hybrid ) PID Controller dan Fuzzy Logic Controller terhadap tanggapan waktu sistem

Pengujian tingkat keberhasilan sistem akan memperlihatkan hasil seleksi saham dan keakuratannya dalam menganalisis pergerakan saham berdasarkan sinyal beli dari garis Lower

Dalam sistem tenaga listrik yang melayani beban secara kontinyu sebaiknya tegangan dan frekuensi harus tetap konstan, namun apabila terjadi gangguan pada salah satu

Laporan Ekuitas melacak perubahan ekuitasa atas catatan atas Laporan Keuangan CaLK Atas dasar temuan penelitian yang telah dilakukan, maka dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem

Pada sistem komunikasi spread spectrum dilakukan proses penebaran spreading pro- cess lebar bidang frekuensi bit informasi oleh sebuah deretan sinyal penebar yang di- kenal dengan