• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Kemandirian Nelayan

2.1.1. Umur

Hanafi (1993: 58) menulis bahwa umur seseorang merupakan salah satu karakteristik individu yang besarannya mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Secara kronologis, umur dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu karena relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan (Salkind, 1985: 31).

Terkait dengan masalah umur seseorang dalam melakukan suatu usaha, Staw (dalam Riyanti, 2003: 35) menyatakan bahwa umur ketika seseorang memulai usaha menjadi kurang penting, tetapi apabila sudah ada pelatihan dan persiapan yang memadai, maka semakin awal memulai suatu usaha akan semakin baik daripada menundanya. Hurlock (dalam Riyanti, 2003: 35) berpendapat bahwa perkembangan karir berjalan seiring dengan proses perkembangan manusia. Ia mengelompokkan perkembangan karier manusia menjadi tiga kelompok umur, yaitu umur dewasa awal (umur 18 tahun - 40 tahun), umur dewasa madya (umur 40 tahun - 60 tahun), dan umur dewasa akhir (umur di atas 60 tahun).

2.1.2. Pendidikan Formal

Istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Hasbullah, 2006 ; 1).

Beberapa pengertian pendidikan yang dapat ditemukan, antara lain dikemukakan oleh Hasbullah (2006: 5), bahwa: 1) pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik yang berlangsung terus sampai anak didik mencapai dewasa susila, 2) pendidikan merupakan perbuatan manusiawi yang lahir dari pergaulan antara orang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup, 3) pendidikan merupakan hubungan antar pribadi pendidik dan anak didik, dan 4) tindakan atau perbuatan mendidik menuntun anak didik mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan hal ini tampak pada perubahan-perubahan dalam diri anak didik.

(2)

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Diknas, 2003).

Berdasarkan jenjang dan jenisnya, Undang-Undang tersebut menyatakan adanya jenjang pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sedangkan jenis pendidikannya mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, keagamaan dan khusus.

Pendidikan dasar sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang di atas, merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan, dapat berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Selanjutnya, pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.

2.1.3. Pengalaman Berusaha

Pengalaman adalah hasil dari proses mengalami oleh seseorang yang akan berpengaruh pada informasi yang diterima. Pengalaman akan menjadi dasar pembentukan pandangan individu untuk memberikan tanggapan dan penghayatan (Walker, 1973). Sedangkan menurut Padmowihardjo (1994: 19-20) pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Seseorang akan menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalamannya dalam proses belajar. Seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen, secara psikologis ditentukan oleh pengalaman indera.

Staw (dalam Riyanti, 2003: 37) berpendapat bahwa pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan suatu usaha, terutama bila usaha itu berkaitan dengan pengalaman usaha sebelumnya.

Kebutuhan akan pengalaman mengelola usaha semakin diperlukan dengan meningkatnya kompleksitas lingkungan.

(3)

2.1.4. Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga dimaksudkan sebagai banyaknya anggota keluarga yang ditanggung kehidupannya. Besar kecilnya tanggungan keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang. Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya. Hernanto (1993: 94) mengatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga yang akan menggunakan jumlah pendapatan yang sedikit akan berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja, kecerdasan dan menurunnya kemampuan berinvestasi.

Soekartawi (1986: 113-114) berpendapat bahwa banyaknya tanggungan keluarga akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya.

Dengan demikian, besarnya jumlah tanggungan keluarga akan meningkatkan motivasi seseorang dalam mencari nafkah sebagai bagian tanggungjawab moral dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.

2.1.5. Sifat Perintis Nelayan

Rogers dan Shoemaker (1971; 183) menulis bahwa perintis (innovator) memiliki obsesi petualang (venturesome). Mereka sangat gemar untuk mencari gagasan-gagasan baru. Minat ini mendorong mereka untuk mencari hubungan dengan pihak-pihak di luar sistem, keluar dari lingkaran teman-temannya sendiri.

Berkaitan dengan itu, Littauer (1996; 351) menggunakan istilah adventurous (petualang) yang menunjuk kepada orang yang mau melakukan suatu hal baru dan berani dengan tekad untuk menguasainya.

Rogers dan Shoemaker (1971: 183) selanjutnya menulis bahwa nilai yang paling menonjol pada orang yang berjiwa perintis adalah pemberani dan petualang.

Mereka suka pada hal-hal yang menyerempet bahaya, berani mengambil resiko dan seringkali terburu nafsu. Karena itu, orang yang memiliki sifat ini juga harus siap menerima kemunduran (setback) jika salah satu ide baru yang diadopsinya ternyata tidak berhasil. Minat mereka yang demikian besar untuk mencoba setiap gagasan baru, mendorong mereka untuk mencari hubungan dengan pihak di luar sistem.

(4)

Sifat-sifat di atas merupakan keniscayaan bagi seorang wirausaha yang sukses. Suryana (2006: 34) menulis bahwa wirausaha harus berani mengambil resiko dan belajar untuk mengelolanya. Berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan kunci awal dalam dunia usaha, karena hasil yang akan dicapai akan proporsional dengan resiko yang akan diambil. Cara untuk mengelola resiko dapat dilakukan dengan mentransfer atau berbagi resiko kepada pihak lain seperti bank, investor, konsumen, pemasok, dan lan sebagainya.

Hal seperti ini hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sifat perintis.

Nelayan yang memiliki sifat perintis senantiasa akan merespon setiap teknologi atau cara baru dalam menjalankan usaha penangkapan ikan dan selalu siap menghadapi resiko sebagai akibat dari keputusannya tersebut.

Ringkasan

Umur, pendidikan formal, pengalaman berusaha, jumlah anggota keluarga dan sifat perintis nelayan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan faktor penting untuk diketahui agar gambaran kecenderungan perilaku nelayan dalam menjalankan usaha penangkapan ikan dapat diketahui dengan jelas. Faktor- faktor tersebut melekat pada diri nelayan yang dibentuk oleh faktor biologis dan faktor sosio-psikologis dalam lingkungan sosialnya. Setiap individu nelayan memiliki perbedaan pada faktor-faktor tersebut sehingga berimplikasi pada perbedaan kemandirian dalam menjalankan usaha penangkapan ikan.

Potensi yang dapat dipelajari melalui faktor umur, pendidikan formal, pengalaman berusaha, jumlah anggota keluarga dan sifat perintis nelayan adalah sebagai berikut: (a) Umur akan memberikan gambaran mengenai kematangan mental dan akumulasi pengalaman nelayan, (b) pendidikan formal dapat memberi penjelasan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang dimiliki oleh nelayan, (c) pengalaman merupakan prediktor yang dapat memberi pertimbangan dalam memilih stimulus berdasarkan pengalaman usaha sebelumnya, (d) Jumlah anggota keluarga dapat menjadi beban sekaligus dorongan untuk lebih giat menambah kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, dan (e) sifat perintis menunjuk pada upaya nelayan dalam mencari gagasan, cara atau tempat- tempat penangkapat (fishing ground) baru untuk mengembangkan usahanya.

(5)

2. 2. Kompetensi

Hornby (1995: 115-117) mengartikan kompetensi (competence) adalah “to do something of people having the necessary ability, authority, skill, knowledge; the ability to hold or contain something; the ability to produce, experience, understand and learn something”. Kompetensi berarti kemampuan, kewenangan, pengetahuan, keterampilan, kemampuan memberi isi kepada sesuatu; kemampuan menghasilkan, mengalami dan mengerti tentang sesuatu.

Soesarsono (2002:35) menulis bahwa kompetensi adalah karakteristik mendalam pada seseorang yang terkait dan menyebabkan pemenuhan bahkan melampaui kriteria kinerja pada situasi maupun tugas kerja. Sedangkan batasan kompetensi menurut Kepmen Diknas No. 045/U/2002 tanggal 2 April 2002 (dalam Soesarsono, 2002: 36) adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang tertentu.

Crunkilton (dalam Mulyasa, 2002: 38-39) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Suparno (2001:14) mengartikan kompetensi sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan.

Soesarsono (2002:36) mengemukakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendalam pada diri seseorang menunjukkan cara berperilaku (behavior) dan berpikir pada berbagai situasi dan bersifat lama. Dalam hal ini terdapat lima tipe kompetensi, sebagai berikut:

a. Motives (motivasi, karsa): hal yang secara konsisten orang pikirkan atau inginkan yang menyebabkan dia melakukan tindakan. Motivasi/karsa itu menggerakkan, mengarahkan dan memilah tingkahlaku menuju tindakan atau tujuan tertentu.

b. Traits (ketangkasan sikap): merupakan karakteristik fisis dan tanggapan konsisten atas informasi atau situasi tertentu.

c. Self concept (kepribadian, sikap mental): menyakut sikap, nilai dan citra diri d. Knowledge (pengetahuan): mengenai informasi yang dipunyai pada bidang

tertentu.

e. Skill (keterampilan): mengenai kemampuan untuk melakukan tugas fisik maupun mental

(6)

Selanjutnya, Gordon (dalam Mulyasa, 2002: 38-39) mengemukakan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut:

a. Pengetahuan (Knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.

b. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki.

c. Kemampuan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

d. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang.

e. Sikap (attitude), yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar.

f. Minat (interest), yaitu kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dalam pengertian kompetensi terdapat adanya pengetahuan dan kecakapan yang memadai, ada kewenangan untuk melakukan suatu tugas, adanya karakteristik yang mendalam dan terukur, adanya perilaku dan situasi kerja tertentu serta seperangkat tindakan cerdas yang penuh tanggungjawab pada diri seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu.

Singkatnya, kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif yang mencakup pengetahuan dan kecakapan pribadi untuk mencapai kinerja yang superior.

2.2.1. Kompetensi yang Perlu Dikuasai oleh Nelayan

Ralph Linton (dalam Depdikbud, 1996:72) menyatakan bahwa alam sekitar di mana suatu masyarakat bermukim banyak mengatur dan menentukan kehidupan mereka, bagaimana mereka mencari nafkah, bagaimana sistem pengetahuan mereka, bagaimana sistem kepercayaan mereka dan bagaimana hubungan- hubungan dan perilaku sosial mereka lainnya.

Masyarakat pesisir, khususnya yang menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan, memiliki sistem pengetahuan kemaritiman dan berbagai aspek yang berkaitan dengan laut. Depdikbud (1996:72-82) telah mengidentifikasi beberapa pengetahuan tradisional nelayan antara lain: a) pengetahuan tentang angin dan hujan didasarkan pada perhitungan bulan hijriyah, b) pengetahuan

tentang bintang-bintang untuk menentukan arah dan daerah yang dituju, c) pengetahuan tentang karang, d) pengetahuan tentang lokasi dan waktu

penangkapan, e) pengetahuan tentang ombak, dan f) pengetahuan tentang hari baik dan hari buruk.

(7)

Selain beberapa pengetahuan tradisional tersebut di atas, terdapat beberapa aspek kompetensi yang perlu dikuasai oleh nelayan dalam kaitannya dengan usaha penangkapan ikan, sebagai berikut:

2.2.1.1. Aspek Perencanaan

Definisi yang sangat sederhana mengatakan bahwa perencanaan adalah kegiatan menetapkan tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi ini cocok untuk perencanaan sederhana yang tujuannya dapat ditetapkan dengan mudah dan tidak terdapat faktor pembatas yang berarti untuk mencapai tujuan tersebut. Namun pada tingkat berikutnya, perencanaan dapat didefinisikan sebagai menetapkan suatu tujuan yang dapat dicapai setelah memperhatikan faktor-faktor pembatas, memilih, serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tesebut (Tarigan, 2006: 1-2)

Begitu pentingnya aspek perencanaan dalam menjalankan suatu usaha, sehingga David H. Bangs, Jr (dalam Alma, 2007: 216) menyatakan bahwa seorang pengusaha yang tidak bisa membuat perencanaan sebenarnya telah merencanakan kegagalan. Oleh karena itu, nelayan yang kompeten adalah nelayan yang dapat menetapkan tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuannya terutama pada aspek modal, produksi, dan pemasaran hasil produksi.

2.2.1.2. Aspek Permodalan

Menurut de Jonge (dalam Kusnadi, 2000: 99-100) kegiatan perikanan sangat padat modal. Modal tersebut digunakan untuk membeli sarana produksi, seperti perahu, jaring, dan mesin. Selain untuk membeli sarana produksi dan biaya peralatan atas kerusakannya setiap saat, persediaan modal juga diperlukan untuk membiayai kebutuhan operasi perahu setiap hari.

Modal usaha dapat bersumber dari modal sendiri, namun pada kegiatan perikanan skala usaha kecil, modal kadang juga bisa bersumber dari pinjaman keluarga dekat atau teman dekat. Bagi usaha yang sudah berjalan, modal juga bisa berasal dari laba yang ditahan untuk cadangan dari keuntungan usaha yang diperoleh selama beberapa periode sebelumnya (Effendi dan Oktariza, 2006: 98)

Sebagian nelayan mencari modal pinjaman (kredit) dari pihak pedagang pengumpul atau dari tukang pembunga uang untuk membiayai usahanya, walaupun dengan tingkat bunga yang tinggi. Pada umumnya sumber kredit yang paling penting bagi nelayan adalah pedagang pengumpul (tengkulak). Biasanya nelayan membayar kredit tersebut dengan hasil produksi atau harus menjual hasil

(8)

produksinya kepada pedagang yang bersangkutan dengan harga yang disetujui bersama. Harga yang disetujui tersebut tidak setinggi harga pasaran yang berlaku setempat, tetapi lebih rendah dan cenderung merugikan pihak nelayan (Hanafiah dan Saefuddin,1983: 178-179).

2.2.1.3. Penentuan Daerah Penangkapan

Nelayan yang kompeten memiliki pengetahuan tentang daerah penangkapan (fishing ground) ikan demersal. Daerah penangkapan ikan demersal dapat diketahui oleh nelayan melalui tanda-tanda atau triangulasi visual yang diwariskan secara turun-temurun, atau melalui pengetahuan tentang letak gugusan ekosistem terumbu karang.

Perubahan daerah tangkapan ke daerah yang lebih jauh dari pantai, akan terjadi pula perubahan kedalaman (depth) perairan, dari perairan dangkal ke perairan yang lebih dalam. Daerah kontinental shelf depth (sampai sekitar 200 m) merupakan fishing ground yang banyak dipakai, tetapi dengan kapal yang lebih besar mungkin dilakukan penangkapan ikan-ikan dasar (demersal) pada depth yang lebih dalam dari 350 m. (Sudirman dan Mallawa, 2004: 6 -7).

2.2.1.4. Penentuan Waktu Menangkap

Nelayan memiliki pengetahuan yang telah diwariskan secara turun temurun dalam menentukan waktu penangkapan yang dapat memberi hasil yang lebih banyak. Waktu di sini dapat berarti musim yang dilalui sepanjang tahun dan dapat pula berarti waktu yang dilalui dalam 24 jam sehari semalam.

Kusnadi (2000: 94) menjelaskan keadaan ikan di perairan pantai pesisir berkaitan dengan kondisi musim setiap tahunnya. Musim kemarau berlangsung pada bulan Mei-Oktober, sedangkan musim hujan berlangsung pada November- April. Musim ikan berlangsung pada musim hujan yang secara efektif hanya selama tiga bulan, yakni Januari, Februari, dan Maret. Pada bulan-bulan tersebut, temperatur panas air laut rendah dan nelayan melakukan operasi penangkapan secara intensif. Sedangkan pada saat musim kemarau ketika temperatur panas air laut cukup tinggi, ikan sulit diperoleh dan tingkat penghasilan nelayan menurun.

Depdikbud (1996: 81) menulis bahwa menurut pengetahuan nelayan, waktu yang sebaik-baiknya untuk melakukan penangkapan ikan ialah pada waktu pagi dan sore hari karena air laut tidak begitu panas sehingga ikan bermain di permukaan. Demikian pula untuk waktu malam, penangkapan ikan dilakukan dalam keadaan bulan redup karena ikan-ikan akan naik ke permukaan.

(9)

2.2.1.5. Aspek Teknologi Penangkapan

Teknologi penangkapan ikan yang banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia, pada umumnya masih bersifat tradisional, meskipun telah banyak perkembangan ke arah teknologi penangkapan yang lebih modern (Sudirman dan Mallawa (2004: 2). Teknologi penangkapan yang telah menjadi bagian dari kehidupan nelayan secara turun temurun maupun teknologi penangkapan yang baru mereka kenal, mengandung unsur kompetensi yang harus dikuasai .

Kompetensi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan dapat diketahui dari alat tangkap yang digunakan. Teknologi penangkapan yang digunakan oleh nelayan telah disebutkan dalam Statistik Indonesia (dalam Sudirman dan Mallawa (2004: 10) seperti trawl, pukat, jaring, pancing dan perangkap (seperti bubu dan sero). Nelayan yang kompeten adalah nelayan yang memiliki pengetahuan tentang alat tangkap tersebut dan dapat menggunakannya sesuai dengan karakteristik ekosistem daerah penangkapan dan jenis ikan yang ditangkap.

2.2.1.6. Aspek Pengambilan Keputusan dalam Memecahkan Masalah

G.R. Terry (dalam Syamsi, 2000: 5) memberikan definisi pengambilan keputusan sebagai pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih.

Sedangkan Stoner dan Freeman (1989: 140) mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah proses untuk mengidentifikasi dan menyeleksi seperangkat tindakan untuk memecahkan masalah tertentu.

Pengambilan keputusan terjadi sebagai reaksi terhadap masalah. Artinya terdapat penyimpangan antara keadaan sekarang dan keadaan yang diinginkan, yang menuntut pemikiran mengenai tindakan alternatif. Karena itu, dalam setiap proses pengambilan keputusan diperlukan data dan informasi untuk kemudian ditafsirkan dan dievaluasi. Pengambilan keputusan bisa didasarkan atas intuisi, rasio, fakta, pengalaman, dan wewenang. Keputusan yang didasarkan atas intuisi lebih bersifat subyektif, mudah terkena sugesti, pengaruh luar, rasa lebih suka yang satu daripada yang lain, dan faktor kejiwaan lainnya (Robins, 2006: 180-181).

Wiriadiharja (1987: 169) menulis bahwa dalam proses pengambilan keputusan yang berdasarkan rasio harus melalui langkah-langkah: 1) merumuskan masalah, 2) pengumpulan informasi, 3) memilih pemecahan keputusan yang paling layak, dan 4) melaksanakan keputusan.

(10)

2.2.1.7. Pengendalian Usaha

Pengendalian usaha adalah bagian penting yang selalu harus diperhitungkan oleh nelayan. Perahu atau kapal yang sedang berada di tengah- tengah lautan sangat perlu untuk dikendalikan, demikian pula dengan musim dan semua yang berhubungan dengan fenomena alam yang akan menghambat kegiatan penangkapan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, seperti menunda penangkapan (Sastrawidjaja dan Manadiyanto, 2002: 41-42). Selain itu, pengendalian dapat dilakukan dengan penciptaan alat tangkap seperti bubu yang dapat dipasang meskipun cuaca tidak bersahabat.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengendalian usaha penangkapan ikan adalah mengenai harga produksi. Apabila harga produksi tidak mampu dikendalikan dengan baik, maka boleh jadi nelayan akan rugi atau tidak mendapatkan keuntungan optimal. Oleh karena itu, Hanafiah dan Saefuddin (1983:

92) menulis bahwa dalam rangka pengendalian usaha untuk mendapatkan harga terbaik, maka penjualan hasil produksi harus dibandingkan dengan produk-produk serupa yang dijual oleh pihak pesaing. Dalam pada itulah, penentuan harga jual harus mempertimbangkan trend harga umum apakah meningkat atau menurun. Hal ini penting karena perubahan harga yang fluktuatif pada produk-produk perikanan, karena adanya variasi dalam penerimaan pasar yang kadang-kadang menyolok sekali, maupun karena perubahan sementara dalam permintaan konsumen.

2.2.1.8. Aspek Pemasaran

Jolly dan Clonts (1993: 259), mengemukakan definisi pemasaran yang dikhususkan pada produk akuakultur terutama ikan. Dikatakan bahwa pemasaran produk akuakultur adalah kinerja (performance) dari keseluruhan aktivitas usaha yang dilibatkan dalam aliran produk dan jasa akuakultur sejak dari awal proses produksi hingga berada di tangan konsumen. Pemasaran ikan (fish marketing), bukanlah operasi mekanis maupun otomatis, tetapi merupakan proses yang kompleks di mana produk bentuknya dapat diubah, seperti ikan yang diubah menjadi fish cake

.

Philip Kotler (dalam Kasmir, 2006: 158-160) mengatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dengan mana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara menciptakan serta mempertukarkan produk dan nilai dengan pihak lain melalui mekanisme penawaran dan permintaan.

(11)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran barang atau jasa. Permintaan dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain yang memiliki hubungan, pendapatan, selera, jumlah penduduk, dan faktor khusus (akses). Sedangkan penawaran dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain yang memiliki hubungan, teknologi yang digunakan, harga input (ongkos produksi), tujuan usaha, dan faktor khusus (akses).

Ringkasan

Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif yang mencakup pengetahuan dan kecakapan pribadi untuk mencapai kinerja yang superior. Kompetensi dalam penelitian ini menyangkut kemampuan nelayan pada bidang kognitif dan kecakapan pribadi dalam menyikapi dan menjalankan usaha penangkapan ikan demersal. Kompetensi yang perlu dikuasai oleh nelayan dalam hal ini menyangkut 8 aspek usaha yakni: (1) aspek perencanaan, (2) aspek permodalan, (3) aspek penentuan daerah penangkapan, (4) penentuan waktu menangkap, (5) aspek teknologi penangkapan, (6) aspek pengambilan keputusan dalam memecahkan masalah, (7) pengendalian usaha, dan (8) aspek pemasaran.

2.3. Kemandirian

2.3.1. Pengertian Kemandirian

Seorang penulis dan intelektual Amerika Serikat bernama Ralph Waldo Emerson membuat gerakan transendental pada abad ke 19 yang lebih menekankan intuisi individual dari pada rasionalisme ilmiah (scientific rationalism) sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Dalam konsepnya tentang kemandirian (self reliance) pada tahun 1841, Emerson mengungkapkan optimismenya tentang kekuatan yang dimiliki oleh setiap individual (Encyclopedia, 2004).

Beberapa ungkapan Emerson (1996) dituangkan dalam tulisan yang bernuansa pesan dan bermakna filofis untuk mengantar pembaca dalam memahami self reliance. Emerson, antara lain menulis bahwa: “apa yang harus saya lakukan adalah semua apa yang saya pertimbangkan, bukan apa yang dipikirkan orang lain”. “Sangat penting bagi kita untuk mandiri sesuai dengan apa yang kita yakini. Jika tidak, maka kita tidak mengenal siapa diri kita, dan kita tidak akan mengenal siapapun. Kita harus mengenal diri kita sendiri dan biarkan orang

(12)

mengenal kita”. “Manusia sejati adalah mereka yang berada di tengah-tengah orang banyak dan tetap menjaga independensi atau ketidaktergantungan pada orang lain”. “Tindakan kita yang sesungguhnya dapat dijelaskan dari tindakan- tindakan kita yang lainnya”. Sedangkan “konformitas tidak akan menjelaskan apapun”.

Selain kata self reliance, kata lain tentang kemandirian juga diterjemahkan dari kata autonomy. Menurut Dworkin (dalam Agussabti, 2002: 44) kata autonomy pertama kali dipergunakan oleh bangsa Yunani berkaitan dengan sebuah kota yang penduduknya membuat hukum untuk mereka sendiri supaya bebas dari dominasi pihak asing. Kata autos bermakna self dapat merujuk pada self rule, self determination, dan independence. Kata nomos merujuk pada law, convention, usage atau custom.

Menurut Sutari Imam Barnadib (dalam Mu’tadin, 2002), kemandirian meliputi "perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain”. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (dalam Mu’tadin, 2002) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah “hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri”. Di dalam kemandirian mengandung pengertian sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas- tugasnya, dan bertanggungjawab tetrhadap apa yang dilakukannya.

Kemandirian dalam berwirausaha memiliki keterkaitan dengan kemandirian dan fleksibilitas yang ditularkan oleh orang tua yang melekat dalam diri anak sejak kecil. Meskipun belum ada studi banding dengan wirausaha yang orang tuanya bukan wirausaha, relasi dengan orang tua yang wirausaha tampaknya menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang untuk menjadi wirausaha (Staw dalam Riyanti, 2003: 38).

Seseorang yang mandiri membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Reber (dalam Mu’tadin, 2002) bahwa “kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain”.

(13)

Tingkat kemandirian atau kemampuan untuk “berdiri sendiri” erat hubungannya dengan tingkat kepercayaan diri seseorang. Seseorang yang mempunyai kepercayaan diri yang relatif tinggi akan mampu menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan tanpa harus menunggu perintah atau “bantuan” orang.

Kemandirian terungkap dari segi inisiatif dan kemampuan untuk dapat menolong diri sendiri. Tentu saja kepercayaan diri yang tinggi dan dapat mengangkat tingkat kemandirian seseorang adalah hasil kerja keras yang sistematis selama beberapa minggu, bulan, bahkan beberapa tahun dengan tekun (Soesarsono, 2002; 70).

Seorang wirausaha yang mandiri, memiliki tiga jenis modal utama yang harus dimiliki sebagaimana yang dikemukakan oleh Suryana (2006; 34), yaitu:

1) sumberdaya internal, misalnya kepandaian, keterampilan dan kemampuan

menganalisis dan menghitung resiko, serta keberanian atau visi jauh ke depan, 2) sumberdaya eksternal, misalnya sumber modal usaha dan modal kerja, jaringan

sosial serta jalur permintaan/penawaran, dan lain sebagainya, dan 3) faktor x, misalnya kesempatan dan keberuntungan.

2.3.2. Unsur-Unsur Kemandirian

Havighurst (1972) mengemukakan beberapa aspek yang terdapat dalam kemandirian, yaitu: a) emosi, yang ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua, b) ekonomi, yang ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua, c) intelektual, yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, d) Sosial, yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.

Ismawan (2003) menulis bahwa konsep kemandirian tidak hanya mencakup pengertian-pengertian kecukupan diri (self sufficiency) di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur- unsur penemuan diri (self discovery) berdasarkan kepercayaan diri (self confidence). Karena itu, kemandirian merupakan sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri dengan pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Artinya, bahwa dalam pengertian sosial, kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (self organization) atau manajemen diri (self management) yang saling terkait dan saling melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan yang akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya.

(14)

Faktor manusia secara pribadi sangat menentukan kemandiriannya dalam menjalankan suatu usaha, termasuk dalam upayanya mempertahankan kemandirian secara ekonomi. Faktor ini dapat diketahui dari beberapa aspek penting yang membangun kemandirian seseorang, seperti: kepercayaan diri (self- confidence), manajemen diri (self-management), kemandirian emosional (emotional self-reliance), kemandirian intelektual (intellectual self-reliance), dan kemandirian sosial (social self-reliance).

Unsur-unsur kemandirian yang dielaborasi sebagai variabel konsekuen dalam penelitian ini adalah pada aspek kemandirian intelektual, kemandirian emosional, kemandirian ekonomi, dan kemandirian sosial. Pemahaman lebih jauh tentang beberapa aspek yang terdapat dalam kemandirian tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3.2.1. Kemandirian Intelektual

Kemandirian intelektual (Intellectual Self-Reliance) penekanannya terletak pada kemandirian berpikir (independent thinking). Presley (1995) menulis bahwa kemandirian berpikir sama pentingnya dengan kemandirian dalam sistem pendidikan yang berupaya menemukan cara bagi anak didik untuk berpikir mandiri dan menjadi pemikir kritis.

Selanjutnya, Presley mendasarkan pandangannya pada kamus Oxford Unabridged bahwa yang termasuk dalam kemandirian (independent) itu adalah ketidaktergantungan seseorang dari pengaruh otoritas maupun pembentukan opini dari pihak lain. Namun demikian, dalam kemandirian selalu membutuhkan data dan informasi relevan yang mendasari opini tersebut. Cara mendapatkan informasi dan bagaimana menerapkannya akan menentukan seseorang itu mandiri atau tidak.

Cara mendapatkan informasi menurut Suparno (2001: 107) dapat bersifat auditif, visual, kinestetik atau merupakan kombinasi dari ketiganya.

2.3.2. 2. Kemandirian Emosional

Emosi (emotion ) adalah satu rangkaian interaksi yang kompleks antara faktor-faktor subyektif dan obyektif yang dimediasi oleh sistem syaraf/hormonal, sehingga dapat membangkitkan pengalaman-pengalaman afektif seperti munculnya perasaan senang dan tidak senang. Selain itu, aspek emosi juga akan menghasilkan proses kognitif seperti pengaruh persepsi yang relevan secara

(15)

emosional dan penaksiran terhadap suatu obyek, sehingga menimbulkan perilaku tertentu. Perilaku tersebut dapat ditunjukkan secara ekspresif, mengarah pada suatu tujuan, dan bersifat adaptif (Kleinginna and Kleinginna dalam Richins, 1997).

Selanjutnya Holbrook and O´Shaughnessy (dalam Richins, 1997) menulis bahwa emosi adalah serangkaian reaksi terhadap situasi lingkungan sekitar.

Beckert (2005) menggunakan istilah emotional autonomy untuk kemandirian emosional yang menunjuk kepada kemampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya sendiri. Penelitian tentang kemandirian emosional ini lebih sering difokuskan pada masa remaja awal karena perubahan-perubahan biologis, sosial dan emosional yang terjadi selama periode tersebut sangat signifikan. Steinberg dan Silverberg (dalam Beckert, 2005) membuat skala pengukuran kemandirian emosional yang disebutnya sebagai Emotional Autonomy Scale (EAS). Asumsi dari kedua peneliti tersebut adalah bahwa dengan menjauhkan seseorang dari pengaruh orang tua, maka orang tersebut akan membangun kemandiriannya.

Hoffman (1984) memandang kemandirian emosional sebagai pemisahan psikososial (psychosocial separation) dan menggunakan istilah emotional independence untuk itu.

Hurlock (1980: 249-250) menulis bahwa masa dewasa dini (umur sekitar 18 hingga 40 tahun) merupakan masa ketegangan emosional dan sering merupakan masa ketergantungan. Apabila ketegangan emosi terus berlanjut sampai umur tigapuluhan, umumnya hal ini nampak dalam bentuk keresahan yang berkaitan dengan masalah-masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian masalah itu. Kekhawatiran- kekhawatiran utama mungkin terpusat pada pekerjaan mereka, antara lain karena mereka merasa tidak mengalami kemajuan secepat yang mereka harapkan. Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan hubungan emosional seseorang dengan orang tua atau pendahulu mereka.

Sejumlah teoritis dan penelitian kontemporer menyatakan bahwa otonomi [kemandirian] yang baik itu berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan suportif. Hubungan ini memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif yang membantu perkembangan kompetensi sosial dan otonomi [kemandirian] secara bertanggungjawab (Desmita, 2006: 218). Hasil penelitian Lamborn dan Steinberg (dalam Desmita, 2006: 218) menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan baik dalam lingkungan keluarga yang secara simultan memberikan dorongan dan kesempatan

(16)

bagi remaja untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap tergantung secara emosional pada orang tuanya terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri, dan kurang berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan remaja yang mencapai kebebasan emosional (Dacey dan Kenny, dalam Desmita, 2006: 218). Kemandirian secara emosional dapat diketahui dari diri sendiri apakah kita tergolong orang yang cukup sensitif melihat sesuatu yang menuntut kita untuk bergerak melakukannya ataukah merupakan orang yang

“cuek” dan tidak menghiraukan keadaan sekitar (Suparno, 2001: 107).

2.3.2.3. Kemandirian Ekonomi

Kemandirian ekonomi (Economic Self Reliance) adalah kemampuan dari suatu entitas untuk menopang kesejahteraannya. Entitas di sini dapat berupa individu, keluarga, komunitas, negara, daerah, maupun bangsa. Kemandirian ekonomi merupakan tujuan antara (intermediate end) yang memfasilitasi suatu entitas untuk mengejar visi mereka pada kehidupan yang lebih baik (Godfrey, 2003).

Selanjutnya, Godfrey mengemukakan bahwa unsur-unsur dari kemandirian ekonomi itu terletak pada kemampuan suatu entitas untuk: 1) menyimpan surplus sumberdaya yang dihasilkan, dan 2) penataan ekonomi kehidupan agar tidak rentan terhadap goncangan. Dengan kata lain bahwa kemandirian ekonomi merupakan fungsi dari surplus generation dan economic vulnerability. Surplus itu sendiri diartikan sebagai kelebihan sumberdaya ekonomi dari yang sesungguhnya dibutuhkan (excess of subsistence). Mereka yang hidup pada keadaan subsisten atau berada di bawah level subsisten tidak dapat dikatakan sebagai orang yang mandiri. Demikian pula dengan mereka yang tidak memiliki cara untuk menata sumberdaya agar tidak rentan terhadap goncangan ekonomi.

Kemandirian ekonomi sangat dipengaruhi oleh budaya ekonomi subordinasi yang mempertahankan hegemoni ekonomi dan menumbuhkan dependensi baru.

Swasono (2003) menjelaskan bahwa hubungan ekonomi subordinasi tuan hamba dan taoke-koelie atau juragan-buruh yang merupakan suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel, secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Hal ini ditujukan untuk menghindari keterdiktean, ketertundukan, ketakmandirian dan ketergantungan ekonomi.

(17)

Suatu budaya ekonomi subordinasi sebagaimana dijelaskan di atas, akan memberi dampak pada keadaan hidup yang subsisten, di mana seseorang yang tersubordinasi akan sulit mencapai surplus generation dan economic invulnerability.

Dengan kata lain, kemandirian ekonomi sulit dicapai pada budaya ekonomi subordinasi.

2.3.2.4. Kemandirian Sosial

Kemandirian Sosial (Social Self Reliance) dapat dipahami lebih jauh dari penjelasan Emerson (1996) yang menyatakan bahwa untuk menjadi mandiri, seseorang seharusnya tidak konformis (nonconformist). Apa yang akan dilakukan seharusnya adalah apa yang telah dipertimbangkan sendiri, bukan dari apa yang dipikirkan oleh orang lain. Emerson menekankan adanya kesadaran sendiri dan melakukan penarikan diri dari masyarakat (withdrawal from society) sehingga masyarakat dapat menerimanya apa adanya. Masyarakat telah membentuk gagasan tentang apa yang harus dilakukan oleh setiap individu dalam ikatan yang sangat kuat sehingga seseorang dapat meyakininya sebagai sesuatu yang pantas.

Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat menghalangi individu untuk mandiri, karena adanya kesan yang diciptakan oleh orang-orang di sekitar mereka.

Oleh karena itu, Emerson menekankan pentingnya sikap nonconformist dalam masyarakat untuk dapat mengembangkan kemandirian seseorang. Namun demikian, seseorang yang mandiri secara sosial haruslah orang yang mudah bergaul dan cakap bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai cita-citanya pada masa yang akan datang (Suparno, 2001: 107-108).

Tubbs dan Moss (2001: 70-71) menulis suatu kritik mengenai penelitian konformitas, bahwa para subyek jarang mempertahankan cara pandang mereka terhadap pendapat mayoritas. Kelompok yang tinggi tingkat kepaduannya cenderung melakukan tekanan-tekanan konformitas yang kuat. Selanjutnya, Hare (dalam Tubbs dan Moss, 2001: 71) menyampaikan sejumlah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang berkompromi cenderung untuk: 1) lebih menyerah atau bergantung, 2) amat membutuhkan persetujuan sosial dan kurang membutuhkan kemandirian, 3) lebih sering wanita dari pada pria, dan 4) rasa percaya dirinya kurang.

(18)

Ringkasan

Kemandirian merupakan perilaku yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah tanpa harus tergantung pada pihak lain, termasuk dalam membina kemungkinan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Unsur-unsur kemandirian yang dielaborasi dalam penelitian ini adalah: a) Kemandirian intelektual, penekanannya terletak pada pentingnya kemampuan pikir seseorang dan terlepas dari pembentukan opini pihak lain.

Seseorang yang mandiri secara intelektual, perlu mendapatkan data dan informasi relevan yang mendasari opini dan kemampuan pikirnya tersebut, b) Kemandirian emosional, penekanannya terletak pada kemampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya sendiri dan berani melepaskan ketergantungan dari berbagai pihak yang ada di lingkungannya, c) Kemandirian ekonomi, lebih menekankan pada kemampuan suatu entitas untuk menopang kesejahteraannya.

Unsur-unsur kemandirian ekonomi terletak pada kemampuan suatu entitas untuk menyimpan surplus sumberdaya yang dihasilkan dan menata ekonomi kehidupan agar tidak rentan terhadap goncangan, d) Kemandirian sosial, lebih menekankan pada kemampuan seseorang untuk tidak konformis pada setiap gagasan yang ditetapkan oleh komunitasnya. Orang yang mandiri secara sosial mendasarkan diri pada keyakinan sendiri dalam membina hubungan sosial dan dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya secara akrab sebagai salah satu strategi adaptasi.

2.4. Kemandirian Nelayan pada Usaha Penangkapan Ikan Demersal :

2.4.1. Kemandirian Intelektual

2.4.1.1. Merencanakan Usaha Penangkapan

Iqbal dan Simanjuntak (2004) mengemukakan bahwa perencanaan usaha adalah suatu set rangkaian dari rencana kegiatan yang akan dilakukan untuk menjalankan suatu usaha pada periode tertentu, mencakup: pengelolaan usaha, produk atau jasa yang dijual, pasar dan pemasaran, serta proyeksi keuangan.

Rencana usaha dibuat dengan tujuan yang berbeda-beda, umumnya dimaksudkan untuk: mendirikan sebuah usaha baru; mendapatkan tambahan modal dari investor atau lembaga keuangan; dan menjadi alat manajemen bagi usaha yang sudah

(19)

berjalan. Rencana usaha yang baik harus mudah dibaca dan dipahami, isi dan urutannya logis, realistis untuk dicapai, merupakan prospektif ke depan, singkat dan jelas sesuai dengan keperluan usaha yang akan dijalankan.

Umumnya, perencanaan usaha mencakup tiga hal pokok, yakni perencanaan modal usaha, perencanaan produksi, dan perencanaan pemasaran hasil. Effendi dan Oktariza (2006: 96) menulis bahwa sebelum memulai usaha, seorang pengusaha perikanan harus menyusun perencanaan modal, baik dari modal sendiri maupun dari modal luar. Sedangkan perencanaan produksi disusun untuk memberikan arahan bagi pelaksanaan produksi sehingga bisa berlangsung sesuai dengan yang dikehendaki. Selanjutnya perencanaan pemasaran dibutuhkan karena menyangkut aspek teknis, sistem dan strategi pemasaran. Ketiga komponen tersebut merupakan aspek-aspek perencanaan yang harus dikuasai oleh nelayan yang mandiri.

2.4.1.2. Menentukan Daerah Penangkapan

Kebanyakan komunitas nelayan, individu jarang memiliki daerah penangkapan ikan khusus seperti yang terjadi pada usaha pertanian. Hak-hak komunal sering ditemukan, tetapi juga sering terjadi pembatasan daerah penangkapan seperti yang banyak terjadi pada taman nasional. Pollnac (1988: 247) menulis bahwa apabila tidak ada pengakuan resmi atas hak-hak pengakuan laut, maka daerah-daerah penangkapan ikan seringkali merupakan rahasia. Pollnac mencontohkan bahwa di Arembe, Brazilia, nelayan memandang laut sebagai suatu sumberdaya yang terbuka untuk umum (open acces), tetapi tempat-tempat penangkapan ikan yang bagus harus dirahasiakan. Lokasi penangkapan ikan dibuat dengan menggunakan triangulasi visual, dan pengetahuan tentang ikan diwariskan dari ayah ke putranya, dari generasi ke generasi. Kesulitan dalam mempertahankan batas-batas, karena nelayan berprinsip “siapa yang datang duluan, akan dapat duluan” (first-come, first-serve).

Penggunaan triangulasi visual sebagaimana disebutkan di atas didasakan pada sifat-sifat yang dimiliki oleh ikan demersal. Rivai et al. (1983) menulis tentang sifat-sifat yang dimiliki ikan demersal antara lain adalah aktifitasnya rendah dan gerak perpindahannya tidak jauh, mempunyai gerombolan yang relatif kecil bila dibandingkan dengan ikan pelagis, pertumbuhannya lambat tetapi perkembang- biakannya stabil, demikian pula dengan daerah dan musim pemijahannya.

(20)

Berdasarkan hal tersebut, maka nelayan dapat menentukan sendiri daerah penangkapan sesuai dengan pengalamannya selama berinteraksi dengan ekosistem di mana ikan-ikan demersal itu berada. Nelayan akan menggunakan tanda-tanda atau triangulasi visual dalam menentukan daerah tangkapan yang dianggapnya akan memberi hasil yang lebih banyak.

2.4.1.3. Menentukan Cara Berproduksi

Produksi (production) merupakan transformasi dari berbagai input atau sumberdaya menjadi output berupa barang dan jasa yang merujuk pada keseluruhan aktifitas yang terlibat dalam memproduksi barang dan jasa, dari meminjam untuk membangun atau melakukan ekspansi fasilitas produksi, menyewa tenaga kerja, membeli bahan mentah, menjalankan pengendalian mutu, akuntasi biaya, dan lain-lain (Salvatore, 2001: 240-241). Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi, seperti manusia (tenaga kerja), modal (uang atau modal seperti mesin), sumber daya alam (SDA), dan skill (teknologi) Hubungan antara faktor-faktor produksi (input) dengan hasil produksi (output) disebut dengan fungsi produksi. Bila faktor produksi tidak ada, maka tidak ada produksi (Putong, 2003: 100).

Produksi yang diperoleh dalam perikanan tangkap meliputi penangkapan ikan dan proses penanganan atau pengolahannya sebelum dijual. Penangkapan ikan sangat terkait dengan alat tangkap dan teknik penangkapan, sedangkan proses penanganan ikan hasil tangkapan mencakup proses pengeringan, pengasinan dan perebusan, dan pendinginan.

Jika ditinjau dari segi prinsip teknik penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Indonesia akan terlihat bahwa telah banyak pemanfaatan tingkah laku ikan untuk tujuan penangkapan ikan. Tingkah laku dimaksud antara lain adalah arah ikan berenang, penggunaan lampu dengan tujuan untuk menarik ikan, penggunaan rumpon, sifat ikan besar yang senantiasa memangsa ikan kecil, dan pemanfaatan warna cahaya (Sudirman dan Mallawa, 2004: 4).

Salah satu ciri penting dari produksi perikanan adalah berlangsung musiman (seasonal production) yang kadang-kadang, bahkan sering terjadi panen berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Produksi musiman ini terjadi karena pengaruh cuaca dan ikim yang antara lain berdampak pada perubahan harga dan pengalihan usaha pada usaha alternatif (Hanafiah dan Saefuddin,1983: 82-84).

(21)

2.4.1.4. Mengambil Keputusan dalam Memecahkan Masalah

Dasar pengambilan keputusan sangat tergantung dari permasalahan yang dihadapi dan tergantung juga pada individu yang membuat keputusan tersebut.

Keputusan dapat diambil berdasarkan perasaan atau intuisi semata-mata, dan dapat pula diambil berdasarkan rasio. Mungkin suatu keputusan harus dipecahkan secara intuisi, dan mungkin lebih tepat jika keputusan tersebut didasarkan pada rasio (Syamsi, 2000: 16).

Wiriadiharja (1987: 176-177) menulis tentang adanya konsep pengambilan keputusan secara tradisional dan praktis. Pengambilan keputusan seperti ini dimaksudkan sebagai tindakan untuk “memutuskan sendiri” yang didasarkan atas sifat, hakekat dan situasi masalahnya. Permasalahan dalam masyarakat semakin lama semakin kompleks, sehingga ada individu yang menghendaki semua informasi untuk membuat “keputusan yang bermutu”, dan ada pula yang karena kompleksnya situasi, malahan membagi-bagi pendapatnya kepada kelompok.

Berdasarkan hal tersebut, maka nelayan mandiri adalah nelayan yang mampu mengambil keputusan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya tanpa harus bergantung kepada pihak lain. Adapun interaksinya dengan pihak lain dijadikan sebagai bagian untuk memperoleh informasi yang dapat mendukung keputusan yang akan diambilnya.

2.4.1.5. Mengambil Keputusan Pemasaran

Sistem tata niaga atau pemasaran hasil laut yang menguntungkan bagi semua pihak dapat dilakukan dengan mengakomodir kepentingan dari masing- masing pihak yang terlibat. Penetapan harga dan sistem tata niaga yang lain hendaklah mencitrakan rasa keadilan bersama antarpelaku usaha perikanan. Untuk itu, hendaknya nelayan dapat mengambil peran sebagai pemasar. Kehadiran mereka jelas akan memberikan sumbangan tersendiri dalam pengambilan kebijakan pasar sehingga kebijakan yang diambil dapat memenuhi rasa keadilan bersama. Semakin dominan peran nelayan di pasar, kebijakan akan banyak berpihak pada nelayan (Wijaya, 2007).

Ada beberapa golongan pedagang perantara yang terlibat dalam pemasaran hasil perikanan rakyat. Mereka itu adalah: 1) tengkulak desa, yang aktif membeli ikan dari nelayan dengan mendatangi unit-unit usaha di mana produsen menjual ikannya, 2) pedagang pengumpul di pasar lokal, yang membeli ikan

(22)

terutama dari tengkulak desa dan kadang-kdang dari produsen di pasar lokal, 3) pedagang besar (grosir), yang aktif di pasar-pasar pusat kota dan menerima kiriman terutama dari pedagang pengumpul pasar lokal, 4) agen, yang aktif membeli ikan di unit-unit usaha perikanan atau di pasar-pasar lokal atas perintah dan untuk pedagang besar (eksportir), dan 5) eksportir, yang hanya ditemukan dalam perdagangan hasil perikanan bernilai ekspor (Hanafiah dan Saefuddin, 1983:

173-174).

Pengambilan keputusan untuk memasarkan produk ikan berbeda antara nelayan tradisional dengan nelayan kapal motor. Pada nelayan tradisional, lazimnya proses pelelangan dilakukan di tepi pantai pada tahap pertama. Pada saat ini biasanya pedagang pengumpul sudah menunggu untuk melakukan tawar menawar dan harga ikan dapat berubah dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Sedangkan pada nelayan dengan kapal motor, biasanya yang berfungsi sebagai tauke adalah pemilik kapal dan akan membawa langsung hasil produksi ke tempat pelelangan (Mulyadi, 2005: 84-185). Dengan demikian, maka nelayan yang mandiri adalah nelayan yang dapat mengambil keputusan sendiri untuk memasarkan hasil produksinya.

2.4.2. Kemandirian Emosional

2.4.2.1. Melepas Ketergantungan dari Otoritas Keluarga

Istilah otoritas (authority) menunjuk kepada kekuatan yang telah melembaga dan dikenal oleh individu yang bersangkutan. Pada umumnya, sosiolog menggunakan istilah ini dalam kaitannya dengan legitimasi kekuasaan melalui pengakuan atau pemilihan kedudukan (Schaefer, 1989: 386).

Umumnya, anak laki-laki tertua dalam masyarakat patriarkhal memegang otoritas yang lebih besar (Schaefer, 1989: 323, Popenoe, 1989: 361). Laki-laki (patriark) tersebut bisa kakek atau paman dalam struktur keluarga besar (extended family) atau ayah dalam keluarga inti (nuclear family). Patriark ini merupakan pengambil keputusan dalam keluarga mengenai tempat tinggal, penggunaan alat, termasuk penentuan pernikahan bagi anak-anak (Popenoe, 1989: 361).

Hurlock (1980: 279) menulis bahwa banyak orang dewasa muda yang tidak tertarik pada jenis pekerjaan yang selama ini telah ditekuni oleh orang tua atau sanak keluarganya. Meskipun dalam kenyataannya menunjukkan bahwa ada orang

(23)

yang memperoleh pekerjaan pertamanya mirip atau ada hubungannya dengan pekerjaan ibu, bapak atau sanak saudara mereka, namun kecenderungan umum ini tidak terjadi apabila orang dewasa muda tersebut memiliki tingkat pendidikan dan pelatihan yang jauh lebih tinggi dari pada orang tuanya. Namun demikian, masih banyak orang dewasa yang masih bingung tentang apa yang akan dikerjakan dalam hidupnya.

Santrock (dalam Desmita, 2006: 218-219) menulis bahwa keterikatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, antara lain seperti tercermin dalam penyesuaian emosional. Remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua mereka, memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik. Sebaliknya, ketidakdekatan (detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan

perasaan-perasaan akan penolakan dengan orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantis yang dimiliki diri sendiri.

2.4.2.2. Melepas Ketergantungan dari Ikatan Patron-klien

Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron klien merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian.

Hubungan patron-klien ini umumnya merupakan ikatan emosional friendship sekaligus instrumen friendship (Satria, 2002:32).

Hubungan patron-klien dalam komunitas nelayan umumnya terjadi antara nelayan buruh dengan juragan. Mulyadi (2005: 80-81) menyatakan bahwa pada awalnya hubungan patron-klien bersifat mutualisme. Namun hubungan ini pada akhirnya bersifat eksploitatif. Misalnya kasus ikatan patron-klien di Labuan Maringgai (Lampung), di mana sekelompok Juragan mengikat hampir semua nelayan dengan ikatan utang. Mereka tidak diharuskan mengangsur utangnya bahkan cenderung ditambah terus sehingga jumlah utang klien makin bertambah.

Sebagai imbalannya ada hak mutlak untuk membeli udang hasil tangkapan nelayan dengan harga yang ditetapkan sepihak. Selain itu, semua surat-surat berharga, terutama surat tanda kepemilikan perahu dan mesin disimpan sebagai jaminan.

Solihin et al. (2005: 141-142) merangkum beberapa hasil penelitian yang dilaporkan oleh Nasikun bersama rekan-rekan (1996) di daerah Muncar Jawa Timur, Elfiandri (2002) di pantai barat Sumatera Barat, dan Iwan (2002) di daerah

(24)

Kelurahan Nipah I dan Nipah II Kabupaten Tanjung Jabung. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan sebuah kesimpulan yang substansinya sama bahwa akibat penetrasi kapitalisme dalam aktivitas nelayan di daerah tersebut telah menciptakan ketergantungan dan menyebabkan kelompok nelayan buruh lebih cepat terseret dalam kemiskinan.

2.4.2.3. Menyikapi Ritual Kepercayaan Lokal

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan sangat beresiko, baik resiko kegagalan maupun resiko yang berkaitan dengan keselamatan jiwa. Oleh karena itu, pada umumnya nelayan melakukan ritual yang dipercaya dapat menghindarkan diri dari resiko-resiko tersebut.

Nelayan memandang laut memiliki penguasa yang harus dihormati. Hal ini sebagaimana yang dilaporkan oleh Kusnadi (2000: 78) bahwa nelayan Madura mempercayai adanya penguasa di Selat Madura yakni Nabi Khidir as. Oleh karena itu senantiasa dilakukan upacara petik laut menjelang musim ikan setiap tahunnya untuk menghormati Nabi Khidir as. Dengan melakukan ritual ini, nelayan meminta keselamatan selama melaut dan agar diberi rezeki hasil tangkapan yang berlimpah.

Di Kirdowono, Jawa Tengah, para nelayan berpegang pada beragam pantangan dan perawatan magis untuk perahu. Pantangan ditunjukkan antara lain ketika melewati muara Kirdowono, para pandega harus diam tak bersuara, sementara sang jurumudi berkonsentrasi membaca mantra minta izin kepada danyang muara agar perahu mereka diperbolehkan lewat. Di laut, mereka tidak boleh bersiul karena bisa mengundang badai, demikian pula mereka tidak boleh menyebut nama hewan-hewan liar seperti anjing, babi hutan, monyet, buaya dan kata-kata yang berarti lepas, lolos, dan bolong karena dipercaya tidak akan ada ikan yang tertangkap. Perawatan magis untuk perahu dilakukan dengan air cucian beras yang direndam dengan daun pinang (Areca cathecu), alang-alang (Imperata cylindrica), daun galing (Vitis trifolia), abu merang padi ketan hitam, dan berlian.

Setelah itu badan perahu dilumuri dengan ramuan rempah-rempah yang terbuat dari lempuyang (zingiber spp.), kunir (Curcuma domestica), adas pulasari (Foeniculum vulgare) dan Jahe (Piper retrofractum). Setelah itu dilakukan selamatan kecil di geladak perahu dengan kemenyan dibakar dan berdoa kepada danyang tertentu agar perahu miliknya terlindungi dari bahaya dan membawa rejeki besar (Juwono, 1998: 53-55).

(25)

Masyarakat Bajou memiliki beberapa jenis ritual yang lazim dilakukan dalam kaitannya dengan kegiatan penangkapan ikan dan pelayaran, antara lain adalah 1) maccerak lopi, adalah jenis upacara selamatan atas perahu nelayan yang baru pertama kali digunakan untuk melaut, dengan melumuri darah ayam pada badan perahu, 2) maccerak masina, dengan melumuri darah ayam pada mesin atau motor penggerak, 3) pappasabbi ri nabitta adalah upacara selamatan pada saat tibanya musim penangkapan ikan, dengan tujuan semoga usaha mereka mendapat berkat dan memperoleh rezeki yang banyak, dan 4) pappasabbi ri puanna tasik yang berarti penyaksian kepada penguasa lautan. Melalui upacara tersebut nelayan Bajou yakin unsur penguasa lautan tidak akan menurunkan bencana dan mereka optimis akan beroleh hasil tangkapan yang melimpah (Depdikbud, 1996: 154-156).

2.4.2.4. Mengatasi Sikap Fatalistik

Fatalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu apapun secara aktual. Pandangan ini dapat dibahas dalam berbagai cara, yakni melalui: 1) fatalisme logis (logical fatalism) atau dalam beberapa hal juga disebut dengan fatalisme metafisis (metaphysical fatalism), 2) fatalisme teologis (theological fatalism) menyangkut eksistensi Ketuhanan, dan 3) determinisme kausal (causal determinism) yang umumnya tidak menunjuk pada fatalisme secara total (Encyclopedia, 2006)

Sikap kurang rasional dalam diri seseorang akan merlahirkan pandangan fatalistik atau menyerahkan segala hal dan urusan pada kekuatan di luar manusia.

Hikmat (2007: 6) menjelaskan bahwa sikap yang cenderung fatalistik dari sebagian komunitas lokal dalam menjalani kehidupannya merupakan kondisi yang merefleksikan lemah karsa. Kondisi ini telah menjadi budaya dan mengakibatkan sulitnya melepaskan mereka dari lingkaran kemiskinan, karena ada kecenderungan pada titik kritis tertentu mereka melakukan penyimpangan perilaku dan destruktif terhadap kemajuan lingkungan sekitarnya. Huraerah (2006) menjelaskan bahwa untuk mengatasi kemiskinan maka hendaknya diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti adanya sikap fatalistik.

Sebagai suatu komunitas yang terdiri dari berbagai latar belakang sosio- psikologis, komunitas nelayan memiliki kecenderungan pada sikap fatalistik tersebut. Hal ini disinyalir karena masyarakat nelayan selalu diidentikkan dengan kemisikinan. Nelayan yang mandiri secara emosional adalah nelayan yang dapat mengatasi sikap fatalistik dan dapat melepaskan diri dari stigma kemiskinan.

(26)

2.4.2.5. Mengembangkan Kerjasama dalam pemanfaatan laut

Sumberdaya pesisir dan laut bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang terbuka bagi setiap orang (open access). Istilah common property lebih mengarah pada kepemilikan di bawah kendali dan tanggungjawab pemerintah dan pada sifat sumberdaya itu sendiri yang merupakan public domain.

Kemungkinan konflik dan kerjasama dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut merupakan bagian penting yang perlu ditelaah.

Upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut antara lain dapat dilakukan dengan model pengelolaan yang kolaboratif, yaitu memadukan unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang dikenal dengan co-management. Model pengelolaan hendaknya menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya (Rudyanto, 2004). Model pengelolaan yang melibatkan kerjasama berbagai stakehorlder tersebut dapat menghindari kemungkinan konlik pemanfaatan sumberdaya laut.

Satria (2002: 72) mengidentifikasi paling tidak ada empat macam konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang dapat dikategorikan ke dalam berbagai macam bentuk berdasarkan faktor-faktor penyebabnya, yakni: 1) konflik kelas, yang terjadi antarkelas sosial nelayan, misalnya seperti yang terjadi antara nelayan trawl dan nelayan tradisional, 2) konflik orientasi, terjadi antara nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, 3) konflik agraria, terjadi akibat perebutan fishing ground, dan 4) konflik primordial, terjadi akibat perbedaan identitas, etnik, asal daerah atau lainnya.

2.4.3. Kemandirian Ekonomi

2.4.3.1. Nilai Aset

Aset menunjuk kepada pemilikan kekayaan. Aset seorang individu dapat berupa uang tunai, deposito bank, saham, hak pensiun, rumah dan segala isinya.

Aset dapat dikategorikan menjadi: 1) current asset adalah aset yang dapat diubah ke dalam bentuk tunai dalam jangka waktu satu tahun, seperti: uang tunai, penerimaan, dan barang dagangan, 2) fixed asset, adalah aset yang digunakan dalam periode waktu yang lama, seperti: tanah, bangunan, dan mesin-mesin, dan 3) liquid asset, adalah aset dalam bentuk tunai atau yang dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk tunai (Meyer dalam Encyclopedia, 2004).

(27)

Asset yang dimiliki oleh nelayan adalah semua peralatan dan armada tangkap, termasuk uang tunai yang digunakan untuk menjalankan kegiatan penangkapan ikan. Mulyadi (2005: 85-86) menulis bahwa nilai aset (inventaris) tetap/tidak bergerak dalam satu unit penangkapan juga disebut sebagai modal.

Pada umumnya untuk satu unit penangkapan modal terdiri dari: alat-alat penangkapan, sampan atau armada tangkap, alat-alat pengolahan atau pengawet di dalam kapal, dan lain-lain.

Penilaian terhadap aset nelayan dapat dilakukan dalam tiga cara. Pertama, didasarkan pada nilai alat-alat yang baru, yaitu berupa ongkos memperoleh alat- alat tersebut menurut harga yang berlaku sekarang. Kedua, berdasarkan harga pembelian atau pembuatan alat-alat sesuai dengan investasi awal yang telah dilakukan dengan memperhitungkan penyusutan aset tiap tahun. Ketiga, dengan menaksir nilai alat pada waktu sekarang yakni harga yang akan diperoleh apabila alat-alat tersebut dijual (Mulyadi, 2005: 86).

2.4.3.2. Biaya Operasional

Pembiayaan berarti mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi sampai sektor konsumsi (Hanafiah dan Saefuddin, 1983: 15). Beberapa alternatif yang dapat dilakukan usaha kecil untuk mendapatkan pembiayaan yang dijadikan modal dasar maupun untuk langkah-langkah pengembangan usahanya, yaitu melalui kredit perbankan, pinjaman lembaga keuangan bukan bank, modal ventura, pinjaman dari dana penyisihan sebagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hibah, dan jenis-jenis pembiayaan lainnya (Anoraga, 1997: 48).

Jumlah biaya yang dibutuhkan dalam usaha perikanan sangat bervariasi, tergantung jenis dan skala usahanya. Para pelaku usaha perikanan di Indonesia terutama skala usaha menengah dan kecil, mengembangkan usahanya dengan modal sendiri atau pinjaman dari bakul atau pedagang ikan tanpa dukungan dari pihak perbankan. Di beberapa daerah, nelayan memperoleh pinjaman modal dalam bentuk biaya operasi penangkapan atau untuk pembelian alat tangkap dan mesin dari para bakul dan pedagang ikan. Namun pemberian tersebut tidak cuma-cuma karena nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada bakul tersebut dengan harga yang lebih rendah (Effendi dan Oktariza (2006: 97).

(28)

2.4.3.3. Diversifikasi Usaha

Diversifikasi usaha merupakan strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dengan mengkombinasikan pekerjaan untuk menghadapi ketidakpastian.

Pada masyarakat tribal dan pertanian, kegiatan menangkap ikan jarang menjadi pekerjaan yang eksklusif. Oleh karena itu kegiatan penangkapan ikan selalu dikombinasikan dengan pekerjaan lain seperti bertani. Kegiatan menangkap ikan dilakukan secara bergantian dengan pekerjaan lain atau berpindah-pindah dari satu jenis penangkapan (metode dan peralatan tangkap) ke jenis penangkapan ikan lainnya, yang berbeda obyek dan karakteristiknya (Kusnadi, 2000: 197-198)

Suryana (2006: 156) menggunakan istilah perluasan cakupan usaha untuk diversifikasi usaha. Perluasan usaha bisa dilakukan dengan menambah jenis usaha baru, produk, dan jasa yang berbeda dari yang sekarang diproduksi, serta dengan teknologi yang berbeda. Dengan demikian, lingkup usaha ekonomis dapat didefinisikan sebagai suatu diversifikasi usaha ekonomis yang ditandai oleh total biaya produksi gabungan (joint total production) dalam memproduksi dua atau lebih jenis produk secara bersama-sama lebih kecil dari pada penjumlahan biaya produksi masing-masing produk itu bila diproduksi secara terpisah. Perluasan cakupan usaha ini bisa dilakukan jika wirausaha memiliki permodalan yang cukup.

2.4.3.4. Pendapatan

Tujuan pokok dijalankannya suatu usaha adalah untuk memperoleh pendapatan, di mana pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kelangsungan hidup usaha tersebut. Pendapatan yang diterima adalah dalam bentuk uang, dimana uang adalah merupakan alat pembayaran atau alat pertukaran (Samuelson dan Nordhaus, 1997: 36)

Selanjutnya, pendapatan menunjukan jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), pendapatan terdiri dari upah, atau penerimaan tenaga kerja, pendapatan dari kekayaan seperti sewa, bunga dan deviden serta pembayaran transfer atau penerimaan dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asuransi pengangguran”

(Samuelson dan Nordhaus, 1997: 258 ). Sedangkan Winardi (1981: 11) menulis bahwa pendapatan seseorang dapat didefinisikan sebagai nilai benda-benda serta jasa-jasa yang selama periode tertentu akan dikonsumir olehnya, tanpa ia bertambah kaya atau bertambah miskin (oleh karenanya).

(29)

Pendapatan bisa dalam bentuk tunai (cash) atau tidak tunai (non-cash).

Dalam bentuk tunai termasuk pembayaran yang diterima dari hasil penjualan komoditi (ikan), sedangkan pendapatan dalam bentuk tidak tunai mungkin dapat diperoleh dalam bentuk barang-barang atau jasa. Salah satu bentuk pendapatan yang tidak tunai adalah produk ikan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga (Jolly dan Clonts, 1993: 156-157).

Sebagai salah satu elemen penentuan laba rugi suatu perusahaan, pendapatan belum mempunyai pengertian yang seragam. Hal ini disebabkan pendapatan biasanya dibahas dalam hubungannya dengan pengukuran dan waktu pengakuan pendapatan itu sendiri. Secara garis besar konsep pendapatan dapat ditinjau dua segi, yaitu menurut ilmu ekonomi dan menurut ilmu akuntansi (Rustam, 2002). Menurut ilmu ekonomi pendapatan adalah nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula. Pengertian tersebut menitikberatkan pada total kuantitatif pengeluaran terhadap konsumsi selama satu periode. Dengan kata lain, pendapatan adalah jumlah harta kekayaan awal periode ditambah keseluruhan hasil yang diperoleh selama satu periode, bukan hanya yang dikonsumsi. Sedangkan ilmu akuntansi, menekankan pengertian pendapatan pada arus masuk penambahan lain atas aktiva suatu entitas atau penyelesaian kewajiban-kewajibannya atau kombinasi keduanya yang berasal dari penyerahan atau produksi barang, pemberian jasa atau kegiatan-kegiatan lain yang merupakan operasi inti.

2.4.3.5. Jumlah Tabungan

Istilah tabungan kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sama dengan istilah investasi. Namun para ekonom yang menghitung pendapatan nasional menggunakan kedua istilah ini secara berhati-hati untuk dua pengertian yang berbeda (Mankiw, 2001: 208). Yudiantoro (2007: 87) membedakan istilah tabungan dengan investasi dari sisi berkembangnya dana yang tersimpan atau memang diserupakan dalam bentuk yang lain.

Selanjutnya, Mankiw (2001: 208) membedakan antara tabungan swasta (private saving) dan tabungan publik (public saving). Tabungan swasta adalah jumlah pendapatan yang tersisa setelah rumah tangga membayar pajak dan membayar konsumsi mereka, sedangkan tabungan publik adalah jumlah pendapatan pajak yang tersisa pada pemerintah setelah dipotong belanja

Referensi

Dokumen terkait

Bank Aceh sebagai bank milik Pemerintah Aceh dan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh, tentu menginginkan adanya peningkatan kinerja yang lebih baik lagi, dalam

Kesulitan intrinsik dalam pendeteksian wajah adalah kenyataan bahwa adanya wajah merupakan kejadian langka di dalam citra, dan juga classifier yang sangat baik mungkin

Selanjutnya KBI Semarang melakukan identifikasi potensi komoditas sapi potong, kelompok peternak, potensi kredit dari bank sekaligus bantuan teknis yang dapat

Sementara pengalaman komunikasi tidak menyenangkan yang dialami oleh perempuan pelaku perkawinan usia dini di Kecamatan Tapung Hulu yakni menjadi buah bibir di

Pada langkah awal menggambar bersamaan garsi lurus, siswa berkemampuan sedang sudah melakukan langkah yang benar yaitu menentukan titik yang dilalui grafik persamaan

Guru dapat menerapkan semua itu dalam pembelajaran sastra, sehingga pembelajaran sastra tidak hanya berkutat pada teori, namun lebih mengajak siswa untuk dapat mengapresiasi

Iklim komunikasi merupakan fungsi kegiatan yang terdapat dalam perusahaan untuk menunjukkan kepada anggota perusahaan bahwa perusahaan tersebut mempercayai mereka

Jumlah tercatat liabilitas pajak kini Kelompok Usaha pada akhir periode pelaporan adalah Rp16,2 miliar dan Rp30,1 miliar masing-masing untuk tahun yang berakhir pada