5
A. Kajian Teori
1. Kecemasan Menghadapi Tes Matematika a. Definisi Kecemasan
Beberapa ahli mendefinisikan mengenai kecemasan diantaranya adalah Nevid dkk (2003) yang menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Hal senada juga diungkapkan oleh Chaplin (2002) yang menjelaskan bahwa kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut.
Kaplan, Sadock, dan Grebb dalam Fausiah dan Widury (2005), menyatakan bahwa kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Freud dalam Hall (2000) mendefinisikan kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh. Kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-istilah seperti “kekhawatiran”, “keprihatinan”, dan “rasa takut” yang kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda (Atkinson dkk, 1999).
Berdasarkan beberapa definisi kecemasan menurut para ahli maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan salah satu bentuk emosi yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran dalam menghadapi situasi yang dirasakan mengancam tanpa adanya sebab khusus untuk ketakutan tersebut.
b. Teori Kecemasan
Terdapat beberapa teori tentang pengembangan kecemasan (Stuart, 2006). Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:
1) Teori Psikoanalitis
Kecemasan adalah konflik emosional yang diantaranya ada dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
2) Teori Interpersonal
Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu.
3) Teori Perilaku
Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kecemasan dianggap sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dalam diri untuk menghindari kepedihan. Para ahli meyakini bahwa adanya hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan, yaitu konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan.
4) Teori Keluarga
Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan kecemasan dengan depresi. 5) Teori Biologis
Teori biologis menunjukkan bahwa kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stressor.
c. Macam-macam Kecemasan
Macam-macam kecemasan menurut Freud dalam Atkinson dkk (1999) dibedakan atas dua macam yaitu kecemasan objektif dan kecemasan neurotis. Kecemasan objektif sebagai respons yang realistis terhadap bahaya eksternal, yang maknanya sama dengan rasa takut. Sedangkan kecemasan neurotis, timbul dari konflik tak sadar dalam diri individu, karena konflik itu tidak disadari sehingga individu tidak mengetahui alasan kecemasannya.
Spielberger dalam Slameto (2003) membedakan kecemasan menjadi dua bagian, yaitu kecemasan sebagai suatu sifat (trait anxiety) dan kecemasan sebagai suatu keadaan (state anxiety). Kecemasan sebagai suatu sifat yaitu kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa terancam oleh sejumlah kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya. Sedangkan kecemasan sebagai suatu keadaan yaitu suatu keadaan atau kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dikhayati secara sadar serta bersifat subyektif dan meningginya aktivitas sistem syaraf.
d. Gejala-gejala Kecemasan
Menurut Stuart (2006) menyatakan bahwa kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku.
1) Gejala kecemasan fisiologis, diantaranya adalah kardiovaskular (jantung berdebar dan rasa ingin pingsan), pernafasan (sesak nafas, tekanan pada dada, dan sensasi tercekik), neuromuskular (insomnia, mondar-mandir, dan wajah tegang), gastrointestinal (nafsu makan hilang, mual, dan diare), saluran perkemihan (tidak dapat menahan kencing), dan kulit (berkeringat, wajah memerah, dan rasa panas dingin pada kulit).
2) Gejala kecemasan perilaku yang meliputi kognitif dan afektif. Perilaku kognitif diantaranya adalah perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah memberikan penilaian, hambatan berfikir, kehilangan objektivitas, bingung, takut, dan mimpi buruk. Perilaku afektif diantaranya adalah mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ngeri, khawatir, rasa bersalah, dan malu.
Menurut Sarason dan Sarason dalam Atkinson dkk (1999) ada beberapa gejala kecemasan, yaitu jantung berdebar, gangguan-gangguan kecil pada syaraf yang menjadikan gelisah dan jengkel, tiba-tiba takut tanpa alasan yang tepat, merasa cemas terus-menerus dan putus asa, diserang rasa kelelahan dan keletihan, sulit memutuskan suatu hal, takut akan sesuatu, gugup dan perasa setiap saat, merasa tidak dapat mengatasi kesulitan, serta tegang.
e. Tingkatan Kecemasan
Stuart (2006) menjelaskan ada empat tingkat kecemasan, yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat, dan panik. 1) Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
2) Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapang persepsi individu, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernafasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.
3) Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu dengan kecemasan berat cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
4) Panik
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motoriknya, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian.
Berikut adalah Gambar 1 rentang respon cemas (Stuart, 2006)
Gambar 1 Rentang Respon Cemas f. Tes Matematika
Sudijono (2008) mendefinisikan tes adalah cara (yang dapat dipergunakan) atau prosedur (yang perlu ditempuh) dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas. Sedangkan menurut Arikunto (2006) tes merupakan alat pengumpul informasi tetapi jika dibandingkan dengan alat-alat yang lain, tes ini bersifat lebih resmi karena penuh dengan batasan-batasan.
Menurut Djiwandono (2002), “Yang dimaksud dengan tes hasil belajar atau achievement test ialah tes yang digunakan untuk menilai
hasil-hasil pelajaran yang telah diberikan oleh guru kepada siswa-siswanya dalam jangka waktu tertentu”. Tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan belajar dapat dicapai (Suharno, 2002).
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tes hasil belajar adalah tes yang dipergunakan untuk menilai hasil-hasil pelajaran yang telah diberikan guru kepada siswa untuk mengetahui seberapa jauh tujuan belajar dapat dicapai.
Berdasarkan pengertian tes di atas, yang dimaksud tes matematika adalah tes yang digunakan untuk menilai hasil pelajaran matematika yang telah diberikan guru matematika kepada siswa untuk mengetahui seberapa jauh tujuan belajar matematika dapat dicapai.
g. Cara Mengatasi Kecemasan
Slameto (2003) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa cara mengatasi kecemasan dalam menghadapi tes, diantaranya adalah: 1) tes harus dimaksudkan untuk diagnosa, bukan untuk menghukum
siswa yang gagal mencapai harapan-harapan guru dan orang tua; 2) menghindari menentukan berhasil atau tidaknya siswa hanya dari
hasil satu tes;
3) membuat catatan pribadi pada setiap lembar jawaban tes yang menyarankan siswa untuk tepat berusaha dengan baik dan harus meningkatkan usahanya;
4) meyakinkan bahwa setiap pertanyaan mengukur hal yang penting yang telah diajarkan kepada siswa;
5) menghindari pelaksanaan tes atau ujian tanpa pemberitahuan; 6) menjadwalkan pertemuan-pertemuan pribadi dengan siswa
sesering mungkin untuk mengurangi kecemasan dan untuk mengarahkan belajar apabila perlu;
7) menghindari membanding-bandingkan siswa, yang dapat menyinggung perasaan;
8) menekankan kelebihan-kelebihan siswa, bukan kelemahan-kelemahannya;
9) mengurangi peranan tes atau ujian yang bersifat kompetitif bila siswa tidak sanggup bersaing;
11) memberikan pada siswa kemungkinan untuk memilih aktivitas-aktivitas yang mempunyai nilai pengajaran yang sebanding.
Djiwandono (2002) menyatakan cara mengatasi kecemasan yaitu menggunakan kompetisi secara hati-hati, memperhatikan situasi siswa, memberikan perintah yang jelas, menghindari menekankan waktu yang tidak penting, dan memindahkan beberapa tekanan dari tes-tes standar yang diperlukan ke tes sehari-hari.
h. Kecemasan menghadapi tes matematika
Berdasarkan definisi kecemasan dan tes matematika di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi tes matematika adalah keadaan atau kondisi emosional pada diri siswa yang ditandai dengan perasaan tegang dan khawatir, bahkan kadang-kadang lepas kendali dan sangat mengganggu pikiran yang dialami siswa pada saat menghadapi tes yang ditujukan untuk menilai hasil tes mata pelajaran matematika yang telah diberikan guru matematika kepada siswa untuk mengetahui seberapa jauh tujuan belajar matematika dapat dicapai.
2. Hasil Belajar Matematika a. Definisi Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Abdurrahman dalam Jihad dan Haris (2008) adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Menurut Dimyati (2002) hasil belajar merupakan hasil dari interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Sedangkan menurut Winkel (2004), mengatakan hasil belajar adalah perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman keterampilan dan nilai sikap yang bersifat konstan menetap. Seseorang yang sudah belajar tidak sama keadaannya dengan saat ketika belum belajar. Para guru dan sekolah juga lebih mengutamakan aspek kognitif dalam pengukuran hasil belajar siswa.
Hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan (Hamalik, 2002). Perubahan dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih
baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi sopan, dan sebagainya. Jihad dan Haris (2008) menyatakan bahwa hasil belajar pencapaian bentuk perubahan perilaku yang cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif dan psikomotoris dari proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu.
Upaya untuk mengukur pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar siswa. Bukti dari usaha yang telah dilakukan dalam pembelajaran adalah hasil belajar yang biasa diukur melalui tes. Hasil belajar (achievement) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di pondok pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang di-peroleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu (Hamalik, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, hasil belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dengan menggunakan tes standar sebagai pengukur keberhasilan belajar seseorang. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah hasil yang telah dicapai siswa sebagai tanda atau simbol keberhasilan dari usaha belajar (hasil aktivitas belajar) yang menghasilkan perubahan, pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, dan dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mata pelajaran matematika.
b. Klasifikasi Hasil Belajar
Bloom dalam Winkel (2012) mengklasifikasikan hasil belajar kedalam tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
1) Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal tersebut meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat atau mengenal kembali.
2) Pemahaman (comprehension)
Pemahaman mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari suatu bacaan; mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk lain, seperti rumus matematika ke dalam bentuk kata-kata. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan pengetahuan.
3) Penerapan (application)
Penerapan mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus yang kongkret dan baru. Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu rumus pada persoalan yang belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada pemecahan problem baru. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan pemahaman.
4) Analisis (analysis)
Analisis mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam penganalisaan bagian-bagian pokok atau komponen-komponen dasar, bersama dengan hubungan/ relasi antara semua bagian itu. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan penerapan.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain, sehingga terciptakan suatu bentuk baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam membuat suatu rencana. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan analisis.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu. Kemampuan ini dinyatakan dalam memberikan penilaian
terhadap sesuatu. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan sintesis.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri dari lima aspek yaitu penerimaan, partisipasi, penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup.
1) Penerimaan (receiving)
Penerimaan menunjuk pada kesediaan siswa untuk mengikuti stimulus tertentu. Penerimaan dari aspek pengajaran dapat dilihat dalam mempertahankan dan mengarahkan perhatian siswa. Hasil belajar untuk level ini bergerak dari kesadaran yang sederhana (bahwa sesuatu ada) sampai pada perhatian tertentu. Level ini adalah level yang paling rendah pada ranah afektif.
2) Partisipasi (responding)
Partisipasi menunjukkan pada partisipasi aktif dari siswa. Level ini siswa tidak hanya hadir dan memperhatikan, tetapi juga memberikan reaksi. Hasil belajar pada level ini menekankan pada kesiapan dalam memberikan respon. Level yang lebih tinggi dari kategori ini ialah apa yang disebut dengan minat.
3) Penentuan sikap (valuing)
Level ini berhubungan dengan nilai yang melekat pada siswa terhadap suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Level ini bergerak dari penerimaan yang paling rendah pada suatu nilai sampai kepada level komitmen yang lebih kompleks. Penilaian didasari pada internalisasi seperangkat nilai-nilai tertentu, tetapi tanda-tanda dari nilai itu terlihat pada perilaku siswa yang nyata. Hasil belajar untuk level ini berkenaan dengan perilaku yang konsisten dan stabil dalam membuat nilai, dapat diidentifikasi secara jelas. Kondisi dalam tujuan pembelajaran disebut dengan sikap dan penghargaan.
4) Organisasi (organization)
Organisasi ialah menggabungkan beberapa nilai yang berbeda-beda, menyelesaikan konflik diantara nilai-nilai tersebut, serta membangun sistem nilai yang konsisten secara internal. Penekanannya berada pada membandingkan, menghubungkan, dan mensintesiskan nilai-nilai tersebut. Hasil belajar untuk level ini
berkenaan dengan konseptualisasi nilai atau pengorganisasian sistem nilai. Tujuan pembelajaran pada level ini dikenal dengan pengembangan filsafat hidup.
5) Pembentukan pola (characterization by a value or a value complex) Seseorang pada level ini sudah mempunyai sistem nilai yang mengendalikan perilakunya dalam waktu yang cukup lama sehingga membentuknya menjadi sebuah karakter gaya hidup, sehingga perilakunya bersifat perpasif, konsisten, dan dapat diprediksi. Hasil belajar pada level ini meliputi rentang aktivitas yang banyak, tetapi yang pokok dapat terlihat pada perilaku yang sudah menjadi tipikal atau karakternya.
Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris diantaranya adalah persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.
1) Persepsi (perception)
Level persepsi berkenaan dengan penggunaan organ indra untuk menangkap isyarat yang membimbing aktivitas gerak. Kategori ini bergerak dari stimulus sensori (kesadaran terhadap stimulus) melalui pemilihan isyarat hingga penerjemahan.
2) Kesiapan (set)
Level kesiapan menunjukkan pada kesiapan untuk melakukan tindakan tertentu. Kategori ini meliputi perangkat mental, perangkat fisik, dam perangkat emosi. Persepsi terhadap isyarat menempati prasyarat yang penting untuk level ini.
3) Gerakan terbimbing (guided response)
Level gerakan terbimbing merupakan tahapan awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks. Kategori ini meliputi peniruan dan trail and eror. Kelayakan kinerja oleh instruktur atau oleh seperangkat kriteria yang cocok.
4) Gerakan terbiasa (mechanical response)
Level gerakan ini berkenaan dengan kinerja dimana respon siswa telah menjadi terbiasa dan gerakan-gerakan dilakukan dengan penuh keyakinan dan kecakapan. Hasil belajar level ini
berkenaan dengan keterampilan berbagai tipe kinerja, tetapi tingkat kompleksitas gerakannya lebih rendah dari level berikutnya. 5) Gerakan kompleks (complex response)
Level gerakan kompleks merupakan gerakan yang sangat terampil dengan pola-pola gerakan yang sangat kompleks. Keahliannya terindikasi dengan gerakan yang cepat, lancar, akurat, dan menghabiskan energi yang minimum. Kategori ini meliputi kemantapan gerakan dan gerakan otomatik.
6) Gerakan pola penyesuaian (adjustment)
Level gerakan ini berkenaan dengan keterampilan yang dikembangkan dengan baik sehingga seseorang dapat memodifikasi pola-pola gerakan untuk menyesuaikan tuntutan tertentu atau menyesuaikan situasi tertentu.
7) Kreativitas (creativity)
Level terakhir ini menunjukkan pada penciptaan pola-pola gerakan baru untuk menyesuaikan situasi tertentu atau problem khusus. Hasil belajar untuk level ini menekankan kreativitas yang didasarkan pada keterampilan yang sangat hebat.
c. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan atas dua jenis yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa (Winkel, 2004).
1) Faktor dari dalam diri siswa yang terdiri dari:
a) faktor psikis intelektual, yang meliputi taraf intelegensi, motivasi belajar, sikap, perasaan, minat, kondisi akibat keadaan sosio kultural atau ekonomis;
b) faktor psikis non intelektual, yang meliputi perasaan seperti puas, gembira, simpati, takut, cemas, rasa benci, rasa takut, dan lain sebagainya;
c) faktor fisik yang meliputi keadaan fisik. 2) Faktor dari luar siswa yang terdiri dari:
a) faktor-faktor proses belajar di sekolah, yang meliputi kurikulum pengajaran, disiplin sekolah, teacher efectiveness, fasilitas belajar, dan pengelompokkan siswa;
b) faktor-faktor sosial di sekolah yang meliputi sistem sosial, status sosial, serta interaksi guru dan siswa;
c) faktor situasional, yang meliputi keadaan politik, ekonomi, keadaan waktu dan tempat serta musim iklim.
Memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, ternyata keberhasilan belajar siswa ditentukan oleh faktor-faktor yang ada pada diri siswa sendiri juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Kedua faktor ini mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas dua jenis yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa. Faktor dari dalam diri siswa, diantaranya adalah faktor fisik dan faktor psikis, faktor psikis diantaranya adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap, bakat, dan kecemasan. Faktor eksternal adalah semua faktor yang berasal dari luar diri siswa.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian ini relevan dengan beberapa penelitian diantaranya adalah penelitan yang dilakukan Phrativi Dian Puspita Anggraini (2012) yang berjudul “Pengaruh Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Tes terhadap Prestasi Belajar Matematika” yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi tes dan ada tidaknya pengaruh kecemasan siswa dalam menghadapi tes terhadap prestasi belajar matematika. Hasil penelitiannya adalah ada pengaruh yang signifikan kecemasan menghadapi tes terhadap prestasi belajar matematika, yang artinya adalah semakin nilai bertambah tinggi, semakin tinggi pula tingkat kecemasan siswa pada siswa kelas X semester 1 SMA Negeri 4 Tegal tahun pelajaran 2011/2012.
Selanjutnya penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erny Retno Agustiningsih (2010) yang berjudul “Pengaruh Pemberian Motivasi Belajar dari Orang Tua, Minat Belajar dan Kecemasan Menghadapi Tes Matematika terhadap Prestasi Belajar Matematika” yang salah satu tujuannya adalah untuk mengidentifikasi ada tidaknya pengaruh kecemasan menghadapi tes matematika terhadap prestasi belajar matematika. Hasilnya menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan kecemasan menghadapi tes matematika
terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP Negeri 7 Surakarta kelas VIII semester I tahun ajaran 2009/ 2010.
Penelitian yang dilakukan oleh Eliza Widyastuti (2007) pada siswa kelas X semester II SMA As-Salam Sukoharjo tahun 2005/ 2006 yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Awal, Motivasi Belajar, dan Kecemasan dalam Menghadapi Tes Matematika terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa”, yang salah satu tujuannya adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan antara kecemasan menghadapi tes matematika terhadap prestasi belajar matematika. Hasilnya menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai kecemasan menghadapi tes matematika tinggi lebih buruk dibandingkan dengan siswa yang mempunyai kecemasan menghadapi tes matematika rendah.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Tingkat Kecemasan ketika Menghadapi Ujian dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Haurgeulis-Indramayu”, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan ketika menghadapi ujian dengan prestasi belajar siswa kelas VII SMP Negeri 1 Haurgeulis tahun ajaran 2010/2011.
Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Leonard dan Supardi (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Konsep Diri, Sikap Siswa pada Matematika, dan Kecemasan Siswa terhadap Hasil Belajar Matematika” menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh positif dan signifikan antara kecemasan siswa terhadap hasil belajar matematika. Hasil ini membuktikan kecemasan siswa tidak memberikan pengaruh bagi peningkatan hasil belajar matematika.
Kirkland dalam Slameto (2003) membuat suatu kesimpulan mengenai hubungan antara tes, kecemasan, dan hasil belajar. Tingkat kecemasan yang sedang biasanya mendorong belajar, sedangkan tingkat kecemasan yang tinggi mengganggu belajar. Siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang rendah lebih merasa cemas dalam menghadapi tes dari pada siswa-siswa yang pandai. Bila siswa cukup mengenal jenis tes yang akan dihadapi, maka kecemasan akan berkurang. Siswa yang sangat cemas memberikan hasil yang lebih baik dari pada siswa yang kurang cemas pada tes-tes yang mengukur daya ingat. Sedangkan pada tes yang membutuhkan cara berfikir yang fleksibel, siswa yang
sangat cemas hasilnya lebih buruk. Kecemasan terhadap tes bertambah bila hasil tes dipakai untuk menentukan tingkat-tingkat siswa.
Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang sebelumnya yaitu variabel yang digunakan lebih spesifik dengan satu variabel bebas yaitu kecemasan siswa dalam menghadapi tes matematika. Selain itu, variabel terikatnya dilihat dari hasil belajar matematika. Subjek penelitiannya pun juga berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan siswa dalam menghadapi tes matematika mempunyai hubungan yang signifikan dengan hasil belajar matematika. Dengan demikian hasil temuan-temuan tersebut semakin mendukung penelitian yang dilakukan dengan judul ”Hubungan antara tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi tes matematika dengan hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Tengaran”.
C. Kerangka Berfikir
Kecemasan menghadapi tes matematika adalah keadaan atau kondisi emosional pada diri siswa yang ditandai dengan perasaan tegang dan khawatir, bahkan kadang-kadang lepas kendali dan sangat mengganggu pikiran yang dialami siswa pada saat menghadapi tes yang ditujukan untuk menilai hasil mata pelajaran matematika yang telah diberikan guru matematika kepada siswa untuk mengetahui seberapa jauh tujuan belajar matematika dapat dicapai.
Kecemasan merupakan bagian faktor yang mempengaruhi hasil belajar dari segi psikologis. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dengan menggunakan tes standar sebagai pengukur keberhasilan belajar seseorang.
Berdasarkan beberapa teori mengenai kecemasan dan hasil belajar maka terdapat suatu gagasan atau pendapat. Gagasan tersebut bila disajikan akan tampak seperti bagan berikut:
Gambar 2 Bagan Kerangka Berfikir D. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara (Arikunto, 2002). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada hubungan antara tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi tes matematika dengan hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Tengaran”.
Kecemasan siswa dalam menghadapi tes
matematika