• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TEKS BHAGAWAN DHOMYA: SENI PENDIDIKAN UNTUK SEPANJANG MASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TEKS BHAGAWAN DHOMYA: SENI PENDIDIKAN UNTUK SEPANJANG MASA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

23

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TEKS BHAGAWAN DHOMYA: SENI PENDIDIKAN

UNTUK SEPANJANG MASA

Oleh

Ni Wayan Purnamiasih (yanasihpriyatama@gmail.com)

Tude Mulyadi

ABSTRACT

Preservation of the legacy of literary works in the form of text is one of the efforts to preserve Indonesian culture to remain steady and maintain the noble values contained in it. The text of Bhagawan Dhomya in the book Ādi Parwa is a prose- shaped literary work with many values of character education as proclaimed by the government. Therefore, this research aims to determine the value of character education contained in the text of Bhagawan Dhomya. This research is a type of qualitative research with data analysis using descriptive - qualitative which includes data reduction, data presentation and conclusion drawing. The method of collecting data uses library research and documentation. The presentation technique of the results of data analysis in this study is to use a description that is clear and directed.

From the results of the research, there are 18 values of character education contained in the text of Bhagawan Dhomya which is an ancient educational art but still relevant throughout the period, including: religious character, honesty, tolerance, discipline, hard work, creative, independent, democratic, curiosity the spirit of nationalism, love of the country, respect for achievement, friendship, peace of mind, love to read, care for the environment, caring for the social and the character of responsibility.

Keywords: value of character education, bhagawan dhomya text

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk mendewasakan anak didik dan memanusiakan manusia. Pendidikan pada hakikatnya sebuah proses pemanusiaan yang hanya dapat dilakukan oleh manusia itu sendiri. Manusia belajar dari sejak kecil terus berlanjut sepanjang hayat (life long education) dalam upaya menemukan hakekat diri sendiri. Pendidikan sebagai suatu usaha untuk menyiapkan peserta didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat, maju dan senantiasa berkembang dari masa ke masa.

Kedudukan pendidikan sebagai sebuah instrumen penting dalam meningkatkan potensi peserta didik agar menjadi generasi bangsa yang kuat dalam membentuk sumber daya manusia (human resource). Melalui pendidikan, seorang anak diharapkan akan menjadi manusia yang bermanfaat dan bermartabat, yaitu

(2)

24

menjadi sosok manusia yang utuh (a fully functioning person). Pendidikan pada umumnya sejalan dengan pendidikan agama Hindu yakni bahwa tujuan pendidikan agama maupun tujuan pendidikan pada umumnya seperti yang dinyatakan oleh Swami Sathya Narayana adalah untuk pembentukan karakter/character building (Titib, 2006). Inilah yang dimaksudkan sebagai tujuan pendidikan yang sangat penting atau bahkan yang terpenting, karena pendidikan tersebut sangat terkait dengan keluaran (output) anak didik atau anak-anak yang suputra seperti yang diharapkan oleh orang tua, guru, masyarakat bangsa dan negara. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah membuat Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 yang bertujuan sebagai berikut:

Membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Tim Penyusun, 2010).

Nilai-nilai luhur Pancasila banyak terdapat dalam karya sastra atau kesusastraan Veda maupun kesusastraan nusantara Indonesia. Sastra memiliki peranan penting dalam rangka pembentukan karakter peserta didik. Dengan mempelajari nilai- nilai karakter yang terkandung dalam karya sastra, merupakan sebuah proses pendidikan sebagai upaya mewariskan nilai-nilai luhur suatu bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara intelektual dengan tetap memelihara kepribadian dan identitas bangsa (Suastika, 2012). Seperti yang diketahui bahwa Maharṣi Hindu telah mewarisi berbagai metode pendidikan agar Veda sebagai sumber ajaran agama Hindu dapat dihayati oleh seluruh umat dalam segala tingkatannya.

Pendidikan agama Hindu telah dimulai sejak jaman Veda. Dalam pendidikan āśrama (gurukula) pelajaran diberikan oleh seorang guru kepada siswa terutama pengetahuan kerohanian selain pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.

Dalam pendidikan āśrama, seorang siswa (brahmacārin) harus benar-benar melaksanakan śīlakramaning aguron-guron (Wiana, 2009). Terkait dengan hal tersebut, dalam Bhagavadgītā, IV. 34 disebutkan mengenai perilaku seorang siswa/peserta didik sebagai berikut:

Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā, upadekṣyanti te jñānaṁ jñāninas tattva-darśinaḥ.

(3)

25 Terjemahan:

Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan; orang-orang bijaksana yang telah melihat kebenaran mengajarmu dalam ilmu pengetahuan (Maswinara, 2008).

Pelestarian warisan karya sastra berupa teks, merupakan salah satu usaha untuk melestarikan kebudayaan Indonesia agar tetap ajeg dan mempertahankan nilai- nilai luhur yang terdapat di dalamnya. Salah satu nilai luhur yang tersirat karya sastra adalah nilai pendidikan karakter. Terkait dengan hal tersebut dalam teks Bhagawan Dhomya sebagai bagian dari Kitab Ādi Parwa merupakan karya sastra berbentuk prosa berbahasa Jawa Kuno yang banyak memuat nilai pendidikan karakter seperti yang dicanangkan oleh pemerintah (Suastika, 2012). Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah Nilai Pendidikan karakter apa yang terdapat di dalam Teks Bhagawan Dhomya? Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam teks Bhagawan Dhomya yang mengandung ajaran seni pendidikan kuno namun tetap relevan sepanjang masa.

METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai nilai pendidikan karakter dalam teks Bhagawan Dhomya merupakan penelitian deskriptif dengan analisis data secara kualitatif yang meliputi reduksi data sekunder (Bungin, 2005). Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan dokumentasi. Dalam hal ini, literatur-literatur yang dicari berhubungan dengan nilai pendidikan karakter dalam teks Bhagawan Dhomya yang termuat dalam kitab Ādi Parwa. Selanjutnya, dalam teknik penyajian data menurut (Zuriah, 2007) bahwa penyajian data setelah dianalisis dilakukan dengan naratif dari masing-masing katagori penelitian dan dijelaskan dengan rinci. Dengan demikian, dalam penyajian hasil analisis data pada penelitian ini dengan menggunakan sebuah pendeskripsian yang jelas dan terarah.

HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN

Hasil diskusi dan sarasehan tentang “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” menghasilkan “Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” untuk berbagai wilayah Indonesia yang terdiri dari 18 nilai (Pengembangan, 2010). Adapun ke-18 nilai karakter yang terkandung dalam teks

(4)

26

Bhagawan Dhomya tetap relevan dengan sistem pendidikan yang sejalan dengan kemajuan dan perkembangan jaman, seperti yang diuraikan di bawah ini:

1. Karakter Religius

Karakter religius perlu dikembangkan dalam diri remaja atau peserta didik.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam teks Bhagawan Dhomya, karakter religius disebutkan sebagai berikut:

...yapwan wang manuntun kuda, Sang Pāñcajanya ikā, nikang kuda Sang Hyang Āgni ikā, ya ika tinunggangan matang yan kita têka usên.

Sangksepanya māsih ikang sarwa Dewatā de ning kaguruśuśrūṣasanta (Ādi Parwa, III. 27).

Terjemahan:

...penuntun kuda itu adalah Sang Pāñcajanya. Sedangkan kuda itu adalah Sang Hyang Agni, itulah yang kau tunggangi sehingga kau dapat tiba dengan segera. Singkatnya, karena bhaktimu kepada guru, maka para dewata menjadi sangat kasihan kepadamu (Zoetmulder, 2005).

Melalui karakter religius yang terdapat dalam teks Bhagawan Dhomya, pembinaan keimanan dan akhlak mulia remaja atau peseta didik dalam proses pembelajaran dapat ditingkatkan. Dengan adanya peningkatan karakter religius tersebut, generasi muda Hindu dapat lebih dewasa secara rohani dan spiritual serta berakhlak mulia di mana pun berada. Sehingga, peserta didik yang cerdas akan menjadi manusia yang berilmu dan bertakwa kepada Tuhan sebagai bentuk manusia yang seutuhnya.

2. Karakter Jujur

Karakter jujur merupakan salah satu nilai yang harus diajarkan oleh seorang pendidik kepada peserta didik sejak dini. Adapun kutipan teks Bhagawan Dhomya yang memuat karakter jujur sebagai berikut:

Ndātan panasi ping rwa pinakopajīwanà nira, ling ning guru. Dadi sira minum irikang kûīra tatúeûa ning lêmbwanusu. Tinakwanan ta sira hàraka nira dening guru, màjar sira yar pamöh tatúeûa ning lêmbwanusu (Ādi Parwa, III. 5).

Terjemahan:

Sang Utamanyu tidak meminta-minta lagi mengikuti perintah gurunya.

Jadilah ia meminum susu sisa dari anak sapi yang telah menyusui. Ketika ditanya oleh sang guru apa yang menjadi makanannya tak kala

(5)

27

memngembalakan lembu, dengan jujur Sang Utamanyu menjawab kalau dirinya meminum susu sisa dari anak lembu.

3. Karakter Toleransi

Sikap hormat merupakan bentuk karakter toleransi. Sikap hormat merupakan sikap dan perilaku yang menghargai orang lain, siapapun itu tanpa memandang kedudukan, kekayaan, dan kekuasaannya. Dalam proses pendidikan yang terdapat pada teks Bhagawan Dhomya, sikap hormat ditemukan dalam beberapa penggalan berikut:

... nàhan ling nira mpu. Manêmbah ta sang Utamanyu. ri sakatambay eñjing mahwan ta sira muwah, tatan pamangan sira (Ādi Parwa, III. 5).

Mangkana ta pawêkas sang Sāwitrī ri sira. Winehakên ira tekang kundala, agirang ta Sang Uṭtangka, mājar ta sira ri maharaja Poṣya. Athêhêr amwit muliha.; sinayutan ta sira, wineh bhojana rumuhun (Ādi Parwa, III.

19).

Udūh anakku Sang Uttangka atyanta dūrlabha ni paweha guruyāga.

Kunang denta bhakti ring guru, mogha kawenang. Hana paweka patakwanta ikang wåṣabha, pinangguhta Āirawata ikā. Kunang sang manunggangi wåṣabha, Sang Hyang Indra ikā, prasiddha mitrangku sira.

Awêlasmanahku tumon I kita (Ādi Parwa, III. 27).

Terjemahan:

...demikianlah kata Beliau Mpu. Menyembah dan menghormatlah Sang Utamanyu kepada sang guru. Pada keesokan harinya kembalilah ia mengembalakan sapi sang guru tanpa makan sedikitpun.

Setelah Dewi Sāwitrī memberikan anting-anting matahari tersebut, maka kembalilah Sang Uttangka ketempat Maharaja Poṣya hendak mohon pamit. Namun, karena maharaja hendak menjamu Sang Uttangka dalam suguhan makanan, maka dicegatlah ia.

Aduh anaku Sang Uttangka, sangat susah engkau mempersembahkan guruyaga kepada istriku. Itu merupakan rasa hormat bhaktimu padaku, bahwa lembu yang engkau dapati itu adalah gajah surgawi bernama Āirawata, sedangkan yang menungganginya adalah sahabat karibku Sang Hyang Indra (Zoetmulder, 1958).

Berkaitan dengan teks Bhagawan Dhomya di atas, dapat diketahui bahwa toleransi merupakan sikap yang adil dan objektif terhadap semua orang yang memiliki perbedaan gagasan, ras, ataupun keyakinan. Karakter toleransi dalam proses

(6)

28

pendidikan bertujuan agar para peserta didik dapat menghormati dan menghargai guru serta sesamanya.

4. Karakter Disiplin

Karakter disiplin dalam teks Bhagawan Dhomya dapat ditemukan dalam penggalan berikut:

Tinunggangan irikang kuda, kṣanika sira tekang āśrama sang gurūpatni.

Kala nira telah madyus, mangunakên payas. Katon sang Uttangka mawatakên ikang kuṇḍala ri sira sanyasāmbêk niragālāng, sumapa sang Uttangka ri wyārthan nikang diwasa samaya. Amênangi pwa kala, harṣa tang gurūpatni, pinalaku nira ikang kuṇḍala (Ādi Parwa, III. 26).

Terjemahan:

Kuda itu kemudian dinaikinya, dalam sekejap mata ia sudah tiba di pasraman gurunya dengan segera. Tibanya Sang Uttangka di pasraman bertepatan saat gurpatni tengah melakukan pasucian. Dilihatlah sang gurupatni tengah selesai mandi dan mengenakan pakaian yang indah.

Disanalah Sang Uttangka melihat sang gurupatni dan kemudian mempersembahkan anting-anting matahari tersebut. Sangat senanglah hati sang gurupatni karena Sang Uttangka tepat waktu dalam mempersembahkan anting-anting tersebut.

Karakter disiplin yang ditampilkan oleh sosok Sang Uttangka merupakan bentuk disiplin waktu dan ucapan. Disiplin jika dilaksanakan dan diterapkan dengan sepenuh hati maka akan mendapatkan kesuksesan. Sebab, disiplin merupakan substansi esensial yang harus dimiliki oleh semua orang dan juga oleh peserta didik, agar senantiasa memiliki kontrol diri untuk berperilaku yang senantiasa taat moral.

5. Karakter Kerja Keras

Karakter kerja keras merupakan perilaku yang menunjukan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya yang diwujudkan dengan perilaku yang selalu menggebu-gebu dalam melakukan sesuatu dan tidak kenal lelah sampai akhir pekerjaan (Titib dan Sapariani, 2004). Karakter kerja keras dalam teks Bhagawan Dhomya terdapat dalam penggalan berikut:

An mangkana ling sang manuntun kuda, tan wihang Sang Uttangka, tinulup nira ta silit nikang kuda, mijil āgni saking sarwe indriya saha dumanarawata humibêki naga lokā, hārohare kang naga Takṣaka. Datêng humahakên ikang kuṇḍala, ri Sang Uttangka tahêr angupasama:

(7)

29

tinanggap Sang Uttangka ikang kuṇḍala. Inangên-angên ira tikang diwasa; tan dadi kawat wênginya ta ya (Ādi Parwa, III. 24).

Terjemahan:

Adapun demikian kata penuntun kuda tersebut, maka Sang Uttangka segera meniup pantat kuda tersebut, maka keluarlah asap dari wajahnya, maka hal tersebut membuat takut dan ribut Sang Hyang Takṣaka di Naga Loka. Maka keluarlah beliau membawakan anting-anting yang dicurinya itu. Kemudian anting-anting itu dilempar dan diambil oleh Sang Uttangka.

Akan tetapi kini ia teringat akan batas waktu yang telah diberikan oleh gurupatni akan segera habis.

6. Karakter Kreatif

Kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Titib dan Sapariani, 2004). Sejalan dengan pendapat tersebut, sikap kreatif bertujuan untuk melangkah maju dan mengembangkan ide-ide baru, memanfaatkan segala media yang ada dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

Dalam teks Bhagawan Dhomya, karakter kreatif tersirat dalam penggalan berikut:

Yatna ta sang Àruóikàgulaha, sakramaning masawah ginawayakên ira.

Sêdêng ahayu tuwuh nikang wīja, têka tang wah saha wåûþipàta hudan adrês. Alah ta galêng nikang sawah. Saka ri wêdi nira n kahibêkana toya ikang pari, tinambak nira ta ya, tapwan asowe ikang wway. Alah teka tambak nikà, muwah tinambak nira. Tan wring deya nira, i wêkasan tinambakakên tàwak nireng wway manglêóðö, tarmolah irikang rahina wêngi (Ādi Parwa, III. 1-2).

Terjemahan:

Berhati-hatilah Sang Ᾱruṇika dalam melaksanakan tugas mengolah sawah yang diberikan oleh gurunya tersebut. Ketika biji yang ditanam sedang tumbuh dengan baiknya, terjadilah hujan dengan lebatnya disertai dengan air bah yang menyebabkan pematang sawah tersebut menjadi hancur berantakan. Khawatir akan padinya yang tergenang air bah maka Sang Ᾱruṇika memperbaiki tanggul tersebut, namun apadaya setiap diperbaiki tanggul tersebut jebol kembali dan kejadian itu terus terulang untuk kesekian kalinya hingga akhirnya Sang Ᾱruṇika kehabisan daya, karena bhaktinya kepada guru serta bertanggung jawab kepada tugas yang diembannya maka Sang Ᾱruṇika menjadikan dirinya sebagai pengganti dari pematang sawah yang jebol tersebut dan tidak bergerak sedikitpun siang dan malam dari tempat itu.

Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan IPTEK, proses pendidikan yang aktif, kreatif dan inovatif akan sangat menunjang pembentukan karakter peserta didik sepanjang masa.

(8)

30 7. Karakter Mandiri

Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang lebih mengandalkan kesadaran akan kehendak, kemampuan, dan tanggung jawab diri sendiri tanpa tergantung kepada orang lain. Hal ini diwujudkan dalam perilaku yang inisiatif dan bertanggung jawab secara konsekuen atas segala tindakan yang telah diperbuat(Titib dan Sapariani, 2004). Sikap mandiri tersirat dalam teks Bhagawan Dhomya sebagai berikut:

Tumùt sang Weda pinarikûa nira. Kinon ira tamolaheng padangan, kumawwatakêna tadah nira sari-sari. Sakha ri bhakti nira sang Weda ring guru, tumùtaken ike panês tīs nira mpu dang hyang (Ādi Parwa, III. 11).

Terjemahan:

Kemudian Sang Weda diuji dengan tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan, semua yang terbaik Ia persembahkan kepada gurunya itu, Ia selalu mengikuti jejak gurunya meski yang terburuk sekalipun dan segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik oleh Sang Weda.

Beranjak dari kutipan di atas, bahwa Sang Weda melaksanakan segala perintah gurunya dengan mandiri. Mandiri dalam hal menyediakan hidangan yang terbaik bagi sang guru, dan selalu dapat menyelesaikan masalah melalui pengalaman yang telah didapat. Walaupun baik maupun buruknya pengalaman yang diperoleh dari ujian tersebut, sehingga dari hal itu Sang Weda dapat mandiri dan lulus dalam melaksanakan ujian. Hal ini mengajarkan supaya peserta didik biasa mandiri dalam menghadapi tantangan jaman di era milenial saat ini.

8. Karakter Demokratis

Karakter demokratis dalam teks Bhagawan Dhomya terdapat ujian sebelum menerima ilmu pengetahuan. Semua murid mendapatkan ujian sesuai karakter yang dimunculkan oleh para murid. Dalam ujian tersebut, tidak ada pilih kasih atau tebang pilih dalam pemberian ujian, sebab dengan sikap demokratis yang diberikan oleh seorang guru akan menjadi panutan bagi muridnya kelak. Persamaan antara hak dan kewajiban dalam sistem aguron-guron pada teks Bhagawan Dhomya tersirat dalam kutipan berikut:

Kapwa pinarīkûa nira, yan tuhu guruúuúrùûa gurubhakti. kramanya de nira marīkûa: sang Àruóika kinon ira yàsawaha rumuhun, kamênà nira wehana ri sang hyang Dharmaúàstra (Ādi Parwa, III. 1).

Terjemahan:

(9)

31

Ketiga muridnya itu akan diuji ketaatan dan bhaktinya kepada sang guru, dengan cara ujiannya berupa; kepada Sang Ᾱruṇika disuruh untuk mengolah sawah sang guru sebelum dianugrahi ilmu Dharma.

Kutipan teks di atas mengajarkan bagaimana sistem pendidikan yang demokratis sangat sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia. Menghadapi perkembangan jaman, sikap demokratis akan senantiasa diterapkan.

9. Karakter Rasa Ingin Tahu

Karakter rasa ingin tahu merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan luas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar. Sikap rasa ingin tahu dapat dilakukan dengan bertanya kepada orang yang dianggap lebih tahu atau mengetahui hal yang hendak dipelajari. Sikap rasa ingin tahu dalam teks Bhagawan Dhomya dapat ditemukan dalam penggalan berikut:

Udūh anakku Sang Uttangka atyanta dūrlabha ni paweha guruyāga.

Kunang denta bhakti ring guru, mogha kawenang. Hana paweka patakwanta ikang wåṣabha, pinangguhta Āirawata ikā. Kunang sang manunggangi wåṣabha, Sang Hyang Indra ikā, prasiddha mitrangku sira.

Awêlasmanahku tumon I kita. Yapwan ikang purisa mwang yeh ikang wåṣabha, pinanganta āmrta ika. Ikang strī ra nênun katon denta, Sang Dhata Widhata ika. Ikang lawe tenunnya irêng lawan putih. Rātri diwasa tattwanya. Kunang rare nêmang siki sadkåtu ika, ikang cakra dwādasara rasi katattwanya. Kunang ikang pinutêrnya, sambatsara tattwanika.

Yapwan wang manuntun kuda, Sang Pāñcajanya ika, nikang kuda Sang Hyang Āgni ikā, ya ika tinunggangan matang yan kita têka usên.

Sangksepanya masih ikang sarwa Dewata de ning kaguruśuśruṣasanta (Ādi Parwa, III. 27).

Terjemahan:

Aduh anaku Sang Uttangka, sangat susahnya engkau mempersembahkan guruyaga kepada istriku. Itu merupakan bhaktimu padaku, sekarang akan ku jawab rasa ingin tahumu, ku beritahu engkau, bahwa lembu yang engkau dapati itu adalah gajah surgawi bernama Āirawata, sedangkan yang menungganginya adalah Sang Hyang Indra, sahabat karibku. Aku kasihan melihat engkau, sedangkan kotoran yang engkau makan dan air kencing yang engkau minum itu adalah amrta. Dua orang wanita yang tengah menenun itu adalah Sang Hyang Dhata dan Sang Hyang Widhata.

Benang yang ditenunnya hitam dan putih merupakan waktu siang dan malam. Enam orang anak kecil itu adalah enam waktu, dan cakra yang diputarnya itu tidak lain merupakan dua belas bulan. Sedangkan orang menuntun kuda itu adalah Sang Hyang Pāñcajanya, dan kuda yang ditungganginya itu adalah Sang Hyang Agni. Itulah sebabnya engkau bisa

(10)

32

tiba tepat waktu dan selamat. Pendek kata seluruh dewata merasa kasihan dan asih kepadamu karena bhaktimu terhadap guru sangat tulus dan suci 10. Karakter Semangat Kebangsaan

Karakter semangat kebangsaan merupakan suatu sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh setiap warga negara untuk lebih nasionalis dan patriotis yang lebih mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan diri ataupun golongannya.

Adanya sikap ini bertujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta mengantisipasi ancaman terhadap negara, baik yang dari luar maupun dari dalam negara itu sendiri. Semangat kebangsaan harus diimbangi dengan nilai-nilai religius dan pengendalian diri agar nantinya tidak timbul perpecahan di internal bangsa tersebut. Karakter semangat kebangsaan dalam teks Bhagawan Dhomya dapat ditemukan dalam penggal berikut:

Kaûyacittva aha kalasya, pira ta kunang lawas nira makaśiṣya ri sang Uttangka. Pininang ta sira milwa ring yajña de maharaja Janamejaya, parêng lawan paminang maharaja Poṣya sang ratu ri Ᾱyodhyā (Ādi Parwa, III. 12).

Terjemahan:

Ketika Sang Uttangka menjadi murid Bhagawan Weda, maka segala bentuk tugas dan pelajaran diberikan untuk mengasah Sang Uttangka.

Kemudian datanglah permintaan dari Maharaja Janamejaya dan Maharaja Posya yang memerintah di negeri Hastina dan Ayodhya untuk menjadi yajamana dalam sebuah upacara yajña.

Beranjak dari kutipan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kedua maharaja dari masing masing negeri yaitu Maharaja Posya dan Maharaja Janamejaya akan melakukan upacara yajña. Semangat kebangsaan tercermin dari cara Maharaja Posya yang selalu gemar berdoa dan beryajña demi bangsa dan negara.

11. Karakter Cinta Tanah Air

Karakter cinta tanah air merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan politik bangsa. Sejalan dengan hal tersebut, Tuhan Yang Maha Esa menyatakan bumi atau tanah air kita adalah ibu kita dan warga negara adalah putra-putrinya (Titib, 2003). Bumi disebut juga sebagai kerabat dan langit (atmosfir) disebut sebagai ayah. manusia hendaknya mencintai dan

(11)

33

menghormati tanah air seperti menghormati ibu sendiri. Karakter yang mencerminkan sikap cinta tanah air dalam teks Bhagawan Dhomya terdapat dalam kutipan berikut:

Sang Ᾱruṇika kinon ira yasawaha rumuhun, kamena nira wehana ri sang hyang Dharmaśāstra. Yatna ta sang Ᾱruṇikagulaha, sakramaning masawah ginawayaken ira (Ādi Parwa, III. 1).

Terjemahan:

Sang Ᾱruṇika disuruh untuk mengolah sawah sang guru sebelum dianugrahi ilmu Dharma. Dengan bermacam cara dan sangat berhati-hati dalam melaksanakan tugas mengolah sawah yang diberikan oleh gurunya tersebut.

Mengolah sawah merupakan karakter cinta tanah air, dikarenakan budaya agraris sangat kental di masyarakat khususnya Indonesia. Manusia bergantung kepada alam, sebab semua kebutuhan manusia bersumber dari alam, dengan menjaga kelestarian alam melalui sikap cinta tanah air sama halnya dengan menjaga dan menghormati ibu sendiri. Jika sikap dan perbuatan tersebut dapat dilaksanakan tentu kemakmuran senantiasa mengikuti. Selain itu, karakter cinta tanah air juga merupakan sebuah ungkapan yang berarti kecintaan pada negeri tempat kita menjalani kehidupan dari lahir hingga akhir hayat. Oleh sebab itu, sebagai peserta didik, karakter cinta tanah air dapat dilakukan dengan senantiasa bangga sebagai bangsa Indonesia, sehingga akan senantiasa pula berusaha nama baik bangsa di mana pun berada, baik melalui prestasi, melestarikan kebudayaan nasional, senantiasa menjaga kelestarian lingkungan dan lain sebagainya.

12. Karakter Menghargai Prestasi

Menghargai prestasi dapat dilakukan dengan memberikan pujian dan hadiah (reward) atas prestasi yang dicapainya. Dengan adanya pujian, hadiah, dan penghargaan adalah penguatan-penguatan agar individu-individu bersangkutan tetap konsisten dengan tindakannya yang sudah baik itu, bila perlu bisa ditingkatkan lagi (Pidarta, 2009). Terkait dengan hal tersebut, sikap menghargai prestasi dalam teks Bhagawan Dhomya dapat ditemukan dalam kutipan berikut:

Śreyo’vāsyasi yo siddhiḥ

Astwa anemwa kita sukha, siddhimantra wākbajra kita (Ādi Parwa, III. 3).

(12)

34

Manganugrahani ta sira sastra siddhi lawan tatan keneng tuhatah rupa ny anaku, nahan ta ling bhagawan Dhomya manganugrahe sire (Ādi Parwa, III. 10).

Sakha ri bhakti nira sang Weda ring guru, tumùtaken ike panês tīs nira mpu dang hyang, yatna ri sapakon ira, inanugrahan ta sira sarwawidyà saha wedamantra mwang kasarwajñànan, muwah kasiddhyan ing mantra paweh nira (Ādi Parwa, III. 11).

Tathā sūkham upālabhyate” matangyan ikang suka kapanggih denta. Ulih tanakku, huwus sīddhimantra kita. Mangkana ling Bhagawān Weda danugraha de Sang Uttangka (Ādi Parwa, III. 28).

Terjemahan:

Śreyo’vasyasi yo siddhih, anaku Sang Ᾱruṇika, semoga engkau mendapatkan kebahagiaan, berhasil; dalam mantra dan kata-katamu berguna serta bertuah.

Kepada Sang Utamanyu, sang guru menganugrahi kesuksesan dalam sastra dan tidak pernah tua tau awet muda, demikianlah anugrah Bhagawan Dhomya kepadanya.

Karena bhaktinya Sang Weda kepada gurunya, maka ia selalu menuruti perintah gurunya, baik dan buruk pengalaman yang didapatkan selalu ia syukuri. Sang Weda selalu mengikuti jejak gurunya meski yang terburuk sekalipun dan segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik oleh Sang Weda, karenanya Ia dianugrahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Weda dan kecerdasan serta mantra yang sempurna.

Karenanya sukalah yang akan engkau dapati sekarang anaku, pulanglah engkau sekarang karena sudah siddhi, dan mantramu sempurna.

Demikianlah kata dan anugrah BhagawanWeda pada Sang Uttangka.

Karakter menghargai prestasi dalam teks Bhagawan Dhomya menunjukan pengertian bahwa seorang peserta didik harus meningkatkan kualitas diri dan prestasinya yang positif sepanjang masa sejalan dengan kemajuan dan perkembangan IPTEK. Dengan adanya peningkatan prestasi tersebut, akan sangat layak mendapatkan penghargaan. Beranjak dari kutipan teks di atas, dapat diketahui jika karakter menghargai prestasi berlangsung disetiap proses pendidikan yang diberikan oleh sang guru, baik oleh Bhagawan Dhomya ataupun oleh Bhagawan Weda.

(13)

35 13. Karakter Bersahabat/Komunikatif

Karakter bersahabat ditunjukan oleh Maharaja Poṣya yang dengan keramahan menerima kehadiran Sang Uttangka serta ingin menjamunya. Karakter tersebut dapat dilihat dalam penggalan berikut:

Datêng ta sirê ry Ᾱyodhyā. Sadatêng nira tumamêng kadatwan sira maharaja poṣya. Mangasirwādha ta sira ri ṣri maharaja, umaritranêkang kundala. Atyanta sadara maharaja Poṣya; kino ta sira tumamêng kabinihyan umalakwa kundala ri sang Sāwitrī (Ādi Parwa, III. 17).

Mangkana ta pawêkas sang Sāwitrī ri sira. Winehakên ira tekang kundala, agirang ta Sang Uttangka, mājar ta sira ri maharaja Poṣya. Athêhêr amwit muliha.; sinayutan ta sira, wineh bhojana rumuhun (Ādi Parwa, III.

19).

Terjemahan:

Tibalah Sang Uttangka di kerajaan Ayodhya. Ia kemudian masuk kedalam istana dan bertemu dengan Maharaja Poṣya, kemudian menyatakan permintaannya kepada maharaja dan langsung dipersilahkan masuk ke dalam ruangan Dewi Sāwitrī.

Setelah Dewi Sāwitrī memberikan anting-anting matahari tersebut, maka kembalilah Sang Uttangka ketempat Maharaja Poṣya hendak mohon pamit. Namun karena Maharaja Poṣya hendak menjamu Sang Uttangka dalam suguhan makan, maka dicegatlah Sang Uttangka, bahwa hendak diberikan makanan.

14. Karakter Cinta Damai

Kedamaian adalah sesuatu yang dicari oleh setiap orang, akan tetapi hal itu tidak akan pernah diperoleh dari dunia luar (Takwan, 2010). Tenang dan tidak ada yang menggangu secara psikologi maupun fisik adalah impian dan tujuan semua mahluk di dunia. Karakter cinta damai merupakan sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Selain itu, karakter cinta damai sebagai sikap yang mampu menghargai perbedaan yang diiliki oleh setiap individu atau kelompok lainnya. Dalam teks Bhagawan Dhomya, sikap damai tersirat dalam kisah Maharaja Posya dan Sang Uttangka dapat ditemukan dalam penggalan beriku:

An mangkana pānapa mahaja Poṣya, ri Sang Uttangka. Huwus nira napa, mangupakṣama ta sira, mojar ta sang Uttangka: Tan dadi kadi kami mīchyacapa; andhā pwa kita “naśiåat ca paṭham mama”, ndatan masowe

(14)

36

kita wuta, kadyaangganin mamin watêk sapa ri kita, mangkana ta kitan watêk sapānta ri kami (Ādi Parwa, III. 21).

Terjemahan:

Demikianlah kutuk Maharaja Poṣya, setelah ia mengutuk Sang Uttangka, maka minta maaflah Maharaja Poṣya. Lalu Sang Uttangka menjawab:

tidak dapat saya membatalkan kutuk yang telah dijatuhkan, tetapi engkau tidak akan lama menderita buta. Karena kutukku padamu, seperti kutukmu padaku.

Penggalan teks di atas menyiratkan sikap damai dari kedua belah pihak, baik Sang Uttangka dan Maharaja Poṣya. Dengan meminta maaf dan saling memaafkan maka kedamaian akan dapat terealisasi. Sikap damai ini merupakan hubungan timbal balik, jika mampu memberikan kedamaian dan bersikap damai kepada orang lain, maka hal yang sama akan didapatkan.

15. Karakter Gemar Membaca

Karakter gemar membaca merupakan suatu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Dengan rajin membaca maka wawasan dan ilmu pengetahuan akan bertambah. Membaca dan belajar merupakan kebiasaan seseorang yang berkemauan untuk mengisi diri dan mengentaskan diri dari kebodohan. Demikian pula yang terdapat dalam teks Bhagawan Dhomya, walau tidak diterangkan secara langsung sikap gemar membaca, namun dari proses pembelajaran tersebut tersirat karakter seorang guru yang memiliki jñāna yang sangat tinggi.

Tokoh Bhagawan Dhomya adalah seorang tokoh yang mempunyai jñāna tinggi. Dikatakan demikian karena bisa bersahabat dengan para dewa dan mampu memberikan anugerah kepada para murid berupa mantra Veda serta sarvajñāna atau segala ilmu pengetahuan. Sebagai seorang guru yang siddhi, tentu mempunyai kepandaian, keahlian, kebijaksanaan, dan kearifan dalam mendidik murid-muridnya.

Sifat gemar membaca memang tidak tersurat dalam teks Bhagawan Dhomya. Para tokoh memang tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai seseorang yang gemar membaca, tetapi para tokoh dengan jelas dinyatakan memiliki jñāna yang tinggi, keahlian, kebijaksanaan, dan kearifan dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.

Orang yang demikian tentu adalah seorang yang gemar belajar dan membaca. Berikut

(15)

37

kutipan teks Bhagawan Dhomya sebagai contoh sifat atau sikap sang tokoh cerita yang menggambarkan niat untuk belajar atau gemar belajar.

Hana ta úiûyan nira tigang siki, ngaran ira sang Utamanyu, sang Àruóika, sang Weda. Kapwa pinarīkûa nira, yan tuhu guruúuúrùûa gurubhakti (Ādi Parwa, III. 1).

Terjemahan:

“Bhagawan Dhomya mempunyai śiṣya atau murid yang berjumlah tiga orang yaitu : Sang Utamanyu, Sang Ᾱruṇika dan Sang Weda. Ketiga muridnya itu akan diuji ketaatan dan bhaktinya kepada sang guru”

Kutipan teks di atas menyiratkan keinginan murid dari Bhagawan Dhomya yaitu Sang Utamanyu, Sang Ᾱruṇika dan Sang Weda untuk menimba ilmu pengetahuan. Namun, sebelum mendapatkan ilmu pengetahuan Veda, semuanya diuji bhakti dan ketaatan kepada ajaran dan sang guru. Setelah melalui ujian ketaatan tersebut, barulah sang guru akan memberikan anugerah berupa mantra utama kepada murid. Hal tersebut dapat ditemukan dalam penggalan berikut:

Saka ri karunya bhagawan Dhomya wineh ta sang Utamanyu mantra Aświnodewarajany uccaranakena nira, matang yan marya wuta (Ādi Parwa, III. 9).

Terjemahan:

Karena kasihan Bhagawan Dhomya kepada Sang Utamanyu, maka diberikanlah ia mantra obat Dewa Aświno, disuruhlah Sang Utamanyu membacanya, agar kebutaan pada matanya dapat sembuh seperti sedia kala.

Mencermati penggalan teks di atas, terlihat Sang Utamanyu disuruh untuk membaca dan melafalkan mantra Dewa Aświno agar matanya sembuh dari kebutaan.

Sifat gemar membaca diajarkan oleh sang guru kepada Sang Utamanyu, dengan harapan dari membaca maka akan mendapatkan ilmu pengetahuan baru. Dalam dunia pendidikan saat ini, budaya literasi sejak dini mulai dari tingkat dasar akan mampu membuka wawasan dan jendela dunia peserta didik.

16. Karakter Peduli Lingkungan

Karakter peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitar, dan mengembangkan

(16)

38

upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi. Terkait dengan hal tersebut, dalam teks Bhagawan Dhomya mengenai pentingnya lingkungan dan sikap peduli terhadap lingkungan diperlihatkan dalam proses pembelajaran yang diberikan sang guru kepada para muridnya antara lain sebagai berikut:

Kramanya de nira marīkûa: sang Àruóika kinon ira yàsawaha rumuhun, kamênà nira wehana ri sang hyang Dharmaúàûtra (Ādi Parwa, III. 1).

Tumùt sang Utamanyu pinarikûa nira. Ya ta kinon ira mahwana ng lêmbu.

Yatna tingkah nira n pahwan irikang goh (Ādi Parwa, III. 4).

Datêng Bhagawān Weda, katon ta halêp nikang patapān, mwang wåðhi nikang puspa de sang Uṭtangka. Apan niwêkas-wêkas, harṣa tāmbêk nira matang yan manganugrahe Sang Uṭtangka kasīddhiyan ing māntra (Ādi Parwa, III. 13).

Terjemahan:

Caranya oleh Bhagawan Dhomya menguji: Sang Ᾱruṇika disuruh untuk menolah sawah sang guru, sebelum diberikan ilmu pengetahuan Dharma.

Kemudian ujian dilanjutkan kepada Sang Utamanyu, sang Utamanyu disuruh untuk mengembalakan lembu atau sapi. Maka dengan berhati- hatilah Sang Utamanyu mengerjakan perintah gurunya dalam mengembalakan lembu atau sapi itu.

Ketika tiba saatnya Bhagawan Weda pulang, maka tampaklah olehnya pasraman yang indah dan asri penuh dengan bunga yang mekar. Ini semua karena pemeliharaan Sang Uttangka yang dikerjakannya siang dan malam.

Senanglah Bhagawan Weda, maka dianugrahilah Sang Uttangka agar sempurna dan berhasil dalam segala mantra.

Berkaitan dengan kutipan teks di atas, tersirat pendidikan karakter peduli lingkungan yang diajarkan oleh Bhagawan Dhomya kepada para muridnya sangat relevan dengan konsep Tri Hita Kāraṇa yang sudah dilaksanakan oleh umat Hindu.

17. Karakter Peduli Sosial

Karakter peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap peduli sosial yang ditanamkan sedari dini pada perserta didik bertujuan untuk menumbuhkan empati dan rasa tolong menolong kepada sesama mahluk hidup yang membutuhkan.

Dalam teks Bhagawan Dhomya, sikap peduli sosial diperlihatkan oleh Bhagawan Weda setelah lulus menimba ilmu kepada sang guru yaitu Bhagwan Dhomya.

(17)

39

Kepedulian sosial Bhagawan Weda yaitu tidak akan memberatkan murid dengan menghaturkan guruyāga atau dakṣinaguru dan tidak akan memberlakukan ujian kesetiaan. Selain itu, bentuk kepedulian sosial juga terlihat saat Sang Uttangka meminta anting-anting matahari kepada Dewi Sāwitrī, adapun penggalan teks tersebut sebagai berikut:

Ri huwus sang Weda kåtànugraha, mulih ta sire patapan ira. Wruh pwa sira duákha ning sewaka, mangên-angên ta sira: Yan hanà úiûyangku dlàha, wehêngku juga sang hyang mantra, haywa pinalakwan guruyàga nguniweh pamarīkûa ni guruúuúrùûanya. Mangkana angên-angên ira (Ādi Parwa, III. 11).

katon teka sang Sāwitrī de nira makābhusana ikang kundala mapakêna guruyāga. Ling sang Uttangka mapinta kuṇḍala. Mojar ta Sang Sāwitrī;

sojar êmpu, mahābáara ikung kuṇḍala, apan wīśeṣa ning sarwa ratna ike (Ādi Parwa, III. 18).

Terjemahan:

Setelah Sang Weda menerima anugrah itu kembalilah ia ke pertapaannya, tahulah Ia betapa sulitnya untuk menerima ilmu pengetahuan tersebut berkatalah Ia dalam hatinya “kalau nanti saya mempunyai murid saya tidak akan meminta upah darinya, terlebih untuk ujian kesetian kepada guru tidak akan saya berlakukan” demikianlah angan-angan Sang Weda.

.Sekarang tampaklah oleh Sang Uttangka paras Dewi Sāwitrī yang sangat suci. Mengenakan anting-anting matahari yang sangat bercahaya.

Kemudian memohonlah Sang Uttangka kepada Dewi Sāwitrī bahwa dirinya ingin meminta anting-anting tersebut sebagai guruyāga yang akan dipersembahkan kepada gurunya. Maka berkatalah Dewi Sāwitrī: baiklah, kuberikan anting-anting ini, ini merupakan anting-anting terbaik yang terbuat dari ratna utama.

18. Karakter Tanggung Jawab

Definisi tanggung jawab atau bertanggung jawab adalah sikap dan perilaku yang berani menanggung segala akibat dari perbuatan atau tindakan yang telah dilakukan (Titib dan Sapariani, 2004). Dalam teks Bhagawan Dhomya sikap dan tindakan tanggung jawab diperlihatkan oleh sang guru dalam mendidik siswa atau peserta didik. Sang guru tidak hanya mampu memberikan ujian, akan tetapi mampu memberikan solusi dari permasalahan yang didapatkan oleh peserta didiknya ketika mendapatkan kendala. Sikap ini dapat ditemukan dalam penggalan berikut:

Saka ri kàruóya bhagawàn Dhomya wineh ta sang Utamanyu mantra Aúwinodewaràjany uccàraóàkêna nira, matangyan marya wuta. apan

(18)

40

sang hyang Aúwino dewàbhiûak sira, pinakawalyan ing dewatà. an panêmu wyàdhi, niyata hetu ning swastha mary anghidêp lara ikang wwang bhakti ri sira. Nàhan Matangyan wineh Aúwinodewantra de sang guru. Ndatan madwa sang hyang mantra, datêng ta sang hyang Aúwinodewa maweh anugraha tumpihangin kinonakên wurungan wuta.

Yata panganên ira pinakoûadhà ni laranya, niyata warasa. Pinangan ira pwa ya ta, cakûur arogyaý bhavati, muwah ta sira paripurna indra ning mata nira, tan hana kawikàra ning akûi wêkasan (Ādi Parwa. III. 9-10).

Terjemahan:

Mendengar perkataan muridnya Bhagawan Dhomya merasa kasihan dan menganugrahi mantra obat Dewa Aświno agar Sang Utamanyu membacanya dan dengan demikian dapat mengobati matanya itu dari kebutaan. Demikianlah Sang Utamanyu dianugrahi mantra Dewa Aświno yang juga dewabhiṣak dokternya para dewa, bagi yang memuja beliau akan dianugrahi kesehatan dan terlepas dari kesengsaraan. Sang Hyang Aświno dipercaya mampu memberikan tuah tumihangin (nama makanan) yang dipakai sebagai penyembuh buta agar kembali melihat, maka dimakanlah itu oleh Sang Utamanyu Cakṣur arogyam bhawati, biji matanya sempurna kembali dan tidak cacat sedikitpun. Sangat senanglah Bhagawan Dhomya melihat Sang Utamanyu.

Mencermati kutipan teks di atas, terlihat tanggung jawab seorang Bhagawan Dhomya kepada murid yaitu Sang Utamanyu yang mengalami kebutaan dikarenakan mengikuti segala perintah guru sebagai bentuk bhakti dan kesetiaan kepada sang guru.

Setelah mengetahui sebab kebutaan Sang Utamanyu, maka sebagai guru yang bertanggung jawab Bhagawan Dhomya memberikan anugerah berupa mantra Dewa Aświn agar mata Sang Utamanyu dapat sembuh seperti sediakala. Begitu pula hendaknya saat ini hingga di masa mendatang, sikap tanggungjawab seorang guru bukan sekedar mentransfer ilmu semata, tetapi lebih kepada tanggungjawab moral yaitu pembentukan karakter dengan cara mendidik, mengarahkan serta turut serta dalam memberikan solusi bagi peserta didik.

KESIMPULAN

Pelestarian warisan karya sastra berupa teks merupakan salah satu usaha untuk melestarikan kebudayaan Indonesia agar tetap ajeg dan mempertahankan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Teks Bhagawan Dhomya yang sebagai bagian dari Kitab Ādi Parwa merupakan karya sastra berbentuk prosa yang memuat nilai pendidikan karakter seperti yang dicanangkan oleh pemerintah. Adapun ke-18 nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam teks Bhagawan Dhomya yang merupakan

(19)

41

seni pendidikan kuno namun tetap relevan sepanjang masa termasuk era milenial saat ini. Adapun ke-18 nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam teks Bhagawan Dhomya antara lain: karakter religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan karakter tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B. (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenada Media.

Maswinara, I. W. (2008). Śrīmad Bhagavadgītā dalam Bahasa Sanskṛta, Inggris dan Indonesia. Surabaya: Paramita.

Pengembangan, T. (2010). Desain Induk Pengembangan Karakter Bangsa Tahun 2010-2015. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Pidarta, M. (2009). Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Suastika, I. M. (2012). Sastra Jawa Kuna sebagai Sumber Nilai-nilai Karakter Bangsa. Denpasar: Cakra Press.

Takwan, I. (2010). Dasar-dasar Budi Pekerti dan Keterpaduan Keteladanan.

Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun. (2010). Kebijakan Nasional Pembinaan Karakter Bangsa Tahun 2010-2015. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Titib, I. M. (2003). Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:

Paramita.

Titib, I. M. (2006). Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak (Perspektif Agama Hindu). Denpasar: Pustaka Bali Post.

Titib, I. M. dan N. K. S. (2004). Pendidikan Budhi Pekerti dan Keutamaan Manusia.

Surabaya: Paramita.

Wiana, I. K. (2009). Cara Belajar Agama Hindu. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Zoetmulder, P. J. (1958). Adi Parwa. Jogjakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zoetmulder, P. J. (2005). Ādiparva Bahasa Jawa Kuna dan Indonesia. Surabaya:

Paramita.

Zuriah, N. (2007). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana bentuk lingual atau hierarki linguistik yang terdapat dalam teks sambutan gubernur Jawa Tengah pada acara kedinasan yang mengandung pendidikan

Dari segi pengimplementasian ke dalam empat ketrampilan berbahasa pada materi ajar Cerdas Berbahasa Indonesia untuk SMA/MA kelas X karya Engkos Kosasih terbitan Erlangga

Semoga karya ilmiah ini yang berjudul Hikayat Ali Kawin: Suntingan Teks dan Nilai-nilai Religi dalam Teks serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah dapat

bahagian yang integral dari karya atau teks sastra etnik, tetapi juga dianggap dalam. hubungan dengan unsur-unsur lain, maka ambiguitas dan makna

Pengkajian sastra Jawa Pesisiran meliputi sejarah perkembangannya, ciri- ciri, baik prosa maupun puisi (tembang dan singir) dan pembahasan beberapa karya

Cerita Bambang Ekalawiya merupakan penggalan dari cerita besar Maha Bharata termasuk pada Adi Parwa adalah salah satu produk budaya dalam bentuk karya sastra seakan

Tutur Bhuwana Kosa merupakan salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa, tergolong naskah tua dan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa

Latar Belakang Sastra merupakan pencerminan masyarakat.Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya.Karya