• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gaya Kepemimpinan. wewenang atau kekuasaan. Berdasarkan wewenang itulah pemimpin akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gaya Kepemimpinan. wewenang atau kekuasaan. Berdasarkan wewenang itulah pemimpin akan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Setiap pemimpin agar bisa melaksanakan tugasnya harus memiliki wewenang atau kekuasaan. Berdasarkan wewenang itulah pemimpin akan membimbing, menggerakkan, dan mengarahkan mereka yang dipimpinnya menuju tujuan bersama. Cara menggunakan wewenang dapat berbeda-beda dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Perbedaan cara penggunaan wewenang ini dapat menciptakan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Reberu dalam Mukoddam (1983) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin membawa diri sebagai pemimpin; cara ia “berlagak” dalam menggunakan kekuasaan.

Gaya kepemimpinan bisa otoriter, artinya sangat memaksakan, sangat mendesakkan kekuasaannya pada bawahan. Bawahan dikendalikan dan diperintah seperti tidak mempunyai martabat manusia yang dapat mempunyai pikiran dan kehendak sendiri. Gaya otoriter menyebabkan seseorang pemimpin mengatur semuanya supaya dikerjakan sesuai dengan kehendaknya. Ia menjadi seorang diktator.

Sebaliknya, seorang pemimpin bisa bergaya demokratis. Ia sadar, bahwa manusia-manusia berderajat sama. Karena itu sang pemimpin tetap berusaha menghormati dan memperhitungkan pendapat dan saran orang lain. Ia akan menghindari hal-hal yang dirasa tidak sejalan dengan martabat manusiawi bawahannya. Pembantu-pembantu terdekatnya, ia perlakukan sebagai rekan dalam iklim persaudaraan dan bawahan yang terendahpun akan ia hormati sebagai subyek yang berhak mempunyai harga diri dan memiliki pendapat sendiri.

(2)

Kepemimpinan paternalistik dapat ditambahkan sebagai salah suatu gaya kepemimpinan. Kepemimpinan paternalistik menganggap bawahan hanya sebagai “anak yang belum dewasa”, karena itu selalu bersikap sebagai seorang bapak. Ia yang mengatur, mengambil prakarsa, merencanakan, dan ia pula yang melaksanakan menurut pahamnya sendiri. Ia tidak bersikap diktator, tetapi ia sangat membatasi kemungkinan anak buahnya untuk turut serta dalam merumuskan kebijaksanaan dan mengambil keputusan. Gaya paternalistik ini masih sering dijumpai di wilayah yang bertradisi feodal, atau bekas wilayah jajahan (Mukoddam, 1983).

Slamet (1978) berpendapat bahwa pada dasarnya semua gaya kepemimpinan itu berada diantara dua kutub ekstrim dari suatu kontinum, yaitu gaya kepemimpinan yang sepenuhnya berorientasi pada tugas yang harus diselesaikan oleh organisasi di satu kutub, dan gaya kepemimpinan yang sepenuhnya pada menjalankan hubungan baik di dalam organisasi, di kutub yang lain. Artinya, gaya kepemimpinan yang banyak kita jumpai sehari-hari adalah gaya kepemimpinan yang merupakan kombinasi antara kedua gaya ekstrim itu dengan perbandingan yang berbeda-beda tergantung kepada situasinya. Baik tidaknya, atau efektif tidaknya suatu gaya kepemimpinan sangat ditentukan oleh situasi organisasi yang bersangkutan. Dengan kata lain gaya kepemimpinan yang terbaik adalah gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi organisasi yang ada.

Setiap pemimpin harus memahami situasi lingkungan atau keadaan, sifat- sifat, dan sikap para anggota yang dipimpinnya untuk bisa menentukan gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk diterapkan. Berkenaan dengan situasi

(3)

kelompok atau organisasi itu, Fiedler (James et al., 1984) menjelaskan adanya tiga faktor utama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari situasi organisasi, yaitu pertama, adalah hubungan antara pemimpin dan anggota, apakah hubungan itu baik, jelek, atau jelek sekali. Kedua, struktur tugas yang dipikul oleh organisasi itu, apakah tugas itu dan apakah cara pelaksanaannya jelas, atau tidak jelas.

Ketiga, adalah kekuasaan yang dimiliki oleh kedudukannya sebagai pemimpin itu kuat atau lemah. Kombinasi dari ketiga faktor utama yang berbeda-beda itu menghasilkan adanya delapan kemungkinan jenis organisasi atau kelompok, seperti terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tipologi Organisasi Berdasarkan Kualitas Hubungan Pemimpin dan Pengikut, Struktur Tugas, dan Kekuasaan Kedudukan

Deskripsi Situasi Jenis

Kelompok/

Organisasi

Hubungan Anggota

dengan Pemimpin

Struktur Tugas

Kekuasaan/

Kedudukan Pemimpin

Gaya Kepemimpinan yang efektif

I Baik Jelas Kuat Berorientasi tugas

II Baik Jelas Lemah Berorientasi

hubungan

III Baik Tidak

Jelas

Kuat Berorientasi tugas

IV Baik Tidak

Jelas

Lemah Berorientasi hubungan

V Jelek Jelas Kuat Berorientasi tugas

VI Jelek Jelas Lemah Berorientasi

hubungan

VII Jelek Tidak

Jelas

Kuat Berorientasi tugas

VIII Jelek Tidak

Jelas

Lemah Berorientasi hubungan

Sumber: Fiedler (James et al., 1984)

Seorang pemimpin akan dapat menentukan gaya kepemimpinan yang tepat dengan memperhatikan dan memperhitungkan secara seksama situasi organisasi berdasarkan tiga faktor utama tersebut. Tabel 1 menunjukkan gaya

(4)

kepemimpinan bagi delapan jenis organisasi. Jenis organisasi yang pertama dapat digunakan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas. Jenis organisasi kedua, hubungan pemimpin dengan anggotanya baik, struktur tugas juga jelas, tetapi pemimpin akan menghadapi masalah dalam pembinaan organisasi karena kekuasaan/kedudukannya yang lemah. Dalam hal ini, penggunaan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan akan lebih tepat. Untuk organisasi yang ketujuh, karena hubungan pemimpin dan anggota jelek, struktur tugas juga tidak jelas, namun karena kekuasaan pemimpin kuat maka gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas akan lebih baik.

Situasi suatu organisasi atau kelompok dapat berubah dari waktu yang satu ke waktu yang lain, disebabkan adanya perubahan yang terjadi pada ketiga faktor utama itu. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin sebaiknya juga dapat diubah-ubah disesuaikan dengan perubahan situasinya.

Berkenaan dengan dua macam orientasi gaya kepemimpinan seperti yang telah diuraikan, James et al. (1984) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas digambarkan oleh perilaku pemimpin yang

”authoritarian” dan untuk yang berorientasi hubungan digambarkan oleh perilaku pemimpin yang ”demokratis”. Secara umum disepakati bahwa pemimpin- pemimpin itu mempengaruhi pengikut-pengikut mereka dengan dua cara: (1) mereka menjelaskan kepada pengikut-pengikutnya apa yang akan dikerjakan dan bagaimana melakukannya, atau (2) mereka mengikutsertakan pengikut- pengikutnya untuk bertanggungjawab dengan mengikutsertakan mereka dalam penyusunan rencana dan pelaksanaannya. Pertama adalah gaya kepemimpinan

“authoritarian” yang tradisional, yang menekankan aktivitasnya pada tugas,

(5)

sebagai akibatnya semua kebijaksanaan ditentukan oleh pemimpin. Kedua adalah, kepemimpinan ”demokratis”, yang lebih bebas dan menekankan aktivitas mereka pada hubungan manusia, karena kebijaksanaan mereka terbuka untuk didiskusikan dan dipertimbangkan kelompok.

Otoriter Demokratis

Terpusat pada tugas

Terpusat pada hubungan Penggunaan wewenang oleh pemimpin

Kebebasan yang diberikan pada bawahan Pemimpin

membuat keputusan dan mengumum kannya

Pemimpin menawarkan keputusan kepada anggota kelompok

Pemimpin mengemu kakan keputusan, anggota kelompok boleh bertanya

Pemimpin mengemu kakan rencana keputusan, konsultasi dengan anggota kelompok

Pemimpin mengemuka kan masalah, minta gagasan anggota kelompok, baru membuat keputusan

Pemimpin mengemu kakan masalah, anggota kelompok membuat keputusan

Pemimpin memberi- kan kebebasan sebanyak- banyaknya kepada anggota kelompok untuk menentukan masalah dan mengambil keputusan.

Gambar 1. Jenjang Tingkah Laku Pemimpin

Salah satu usaha untuk mengintegrasikan berbagai perilaku pemimpin telah dilakukan oleh Tannenbaum dan Schmidt (Holt, 1990). Usaha ini mereka gambarkan dalam suatu jenjang perilaku pemimpin yang dapat berpusat pada kepentingan pemimpin “authoritarian” atau pada kepentingan pemimpin

“demokratis” seperti tampak dalam ilustrasi di bawah ini.

Holt (1990) menjelaskan Gambar 1 sebagai berikut. Perilaku pemimpin- pemimpin pada ujung “authoritarian” dari kontinum cenderung berorientasi pada

(6)

tugas dan menggunakan kekuasaan, untuk mempengaruhi pengikut-pengikutnya.

Pemimpin-pemimpin yang ada pada ujung demokrasi cenderung berorientasi pada kelompok dan memberikan pada pengikutnya kebebasan melakukan pekerjaan mereka.

Berkenaan dengan orientasi gaya kepemimpinan “Michigan Leadership Studies” (James et al., 1984) menggunakan konsep gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hasil dengan penjelasan sebagai berikut. Pemimpin-pemimpin yang berorientasi pada pekerja sangat memperhatikan aspek hubungan dalam pekerjaan mereka. Mereka memandang setiap pekerja penting dan memberikan perhatian pada setiap orang, mengakui individualitas dan kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka. Pemimpin-pemimpin yang berorientasi pada aspek produksi dan teknik dari pekerjaan mereka; pekerja-pekerja diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi.

Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dari sejumlah besar penelitian di “Research Center for Group Dynamic”, Zander dan Cartwrigt (1968) menyatakan bahwa tujuan kelompok ialah: (1) tercapainya beberapa tujuan tertentu dari kelompok, dan (2) pemeliharaan atau pemantapan kelompok itu sendiri.

Kategori yang pertama tampaknya sama dengan konsep tugas seperti yang telah dibicarakan di atas, yaitu “Authoritarian Orientation” dan “Productive Orientation”. Sedangkan kategori yang kedua sama dengan konsep hubungan, yaitu “Democration Orientation”, dan “Employe Orientation”.

Mengenai perilaku pemimpin ini Holt (1990) dengan mengacu kepada

“Ohio State Leadership Studies” pada tahun 1950-an menjelaskan bahwa perilaku

(7)

pemimpin ada dalam dua dimensi, yaitu: “Initiating Structure” dan

“Consideration”. “Initiating Structure” menunjukkan perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan anggota-anggota kelompok kerja dan usaha pemimpin untuk menetapkan pola-pola organisasi yang baik, saluran-saluran komunikasi dan metode-metode prosedur. “Consideration” menunjukkan perilaku pemimpin yang memperlihatkan rasa persahabatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan hubungan yang intim antara pemimpin dengan anggota-anggota dari stafnya.

Mengenai keefektifan perilaku kepemimpinan, Harsey dan Blanchard dalam Holt (1990) mengemukakan bahwa: Perilaku yang efektif ditunjukkan oleh skor yang tinggi, baik pada “initiating structure” maupun pada “consideration”.

Sebaliknya perilaku kepemimpinan yang tidak efektif ditandai oleh skor yang rendah pada kedua dimensi itu. Berdasarkan hasil observasi ini, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin yang berhasil harus mendorong kedua tujuan pokok, yaitu: pencapaian tujuan dan pemeliharaan kelompok, atau ia harus mendorong kegiatan kerjasama yang efektif dan efisien. Oleh karena itu “Ohio State Leadership Studies” cenderung untuk menyimpulkan bahwa “high Initiating Structure and High Consideration” adalah perilaku pemimpin yang ideal.

Gaya kepemimpinan yang layak bagi suatu organisasi belum tentu layak bagi organisasi yang lain, karena keefektifan seorang pemimpin tergantung pada kemampuannya menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi organisasi dan kebutuhan pengikutnya. Harsey dan Blanchard (Holt, 1990) berpendapat bahwa semakin sesuai gaya kepemimpinan menejer-menejer dengan situasi dan kebutuhan-kebutuhan pengikut mereka, maka baik tujuan pribadi maupun organisasi akan dapat dicapai dengan lebih baik.

(8)

Harsey dan Blanchard (Holt, 1990) pada saat menjelaskan model-model gaya kepemimpinan, mengatakan ada empat “quadrant” perilaku dasar kepemimpinan yaitu “high relationship and high task; high task and low relationship”, “high relationship and low task”, low task and low relationship”, seperti yang disajikan pada Gambar 2.

(High) Realationship(Low)

High Relationship

and low task”

“High Task and High Relationship”

“Low Task and Low Relationship”

“High Task and Low Relationship”

(High)

(Low) Task Behavior

Gambar 2. Gaya Kepemimpinan Dasar (Basic Leadership Behavior Style)

Empat “quadrant” di atas menggambarkan perbedaan gaya kepemimpinan yang esensial yang perlu mendapatkan perhatian secara mendalam oleh setiap pemimpin. Pada dasarnya tiap pemimpin akan mengambil cara tertentu tergantung pada masalah yang dihadapinya. Setiap gaya kepemimpinan yang dipergunakan akan meliputi kombinasi “task behavior” dan “relationship behavior”. Kedua jenis perilaku “task and relationship” yang menjadi dasar gaya kepemimpinan didefinisikan sebagai berikut: Task Behavior” adalah kewenangan pemimpin-pemimpin untuk mengatur/menetapkan peranan anggota- anggota kelompoknya, menjelaskan kegiatan-kegiatan apa yang harus dikerjakan

(9)

masing-masing, bila, di mana, dan bagaimana seharusnya menyelesaikan tugas- tugas itu; yang ditunjukkan oleh adanya usaha untuk menetapkan pola-pola organisasi yang dirumuskan dengan baik, saluran-saluran komunikasi, cara-cara menyelamatkan pekerjaan. Sedangkan “Relationship Behavior” adalah keleluasaan pemimpin memelihara hubungan pribadi antara pemimpin-pemimpin itu sendiri dengan anggota kelompoknya dengan menyediakan saluran-saluran komunikasi, memberi bantuan sosioemosional, sentuhan-sentuhan psychologis (hal-hal yang dapat membangkitkan semangat) dan kebebasan berperilaku.

Gaya Kepemimpinan dan Komunikasi

Tannenbaum dan Massarik (Dahnke dan Clatterbuck, 1990), menyatakan kepemimpinan adalah pengaruh seseorang (individu) dalam suatu situasi yang secara langsung, melalui proses komunikasi, yang bertujuan untuk sesuatu hasil yang ingin dicapai secara spesifik. Menurut konsep ini maka yang dimaksud kepemimpinan substansinya lebih kepada proses saling mempengaruhi. Artinya proses saling mempengaruhi ini dapat saja berganti tergantung pada derajat hubungan yang sedang dilakukan yang mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Proses yang terjadi dilakukan melalui suatu aktivitas komunikasi.

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain yang diarahkan sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Proses ini secara alamiah membutuhkan penggunaan keahlian komunikasi yang efektif. Namun demikian pemimpin yang efektif haruslah lebih dari sekedar seorang komunikator, tapi seseorang yang mampu menyampaikan makna sehingga dapat melaksanakan upayanya dalam melaksanakan tujuan tertentu (Gibson dan Hudgetts, 1991).

(10)

Tinggi

Supporting Coaching

Tingkat Komunikasi

Delegating Directing

Rendah Tinggi

Tingkat Pengarahan

Gambar 3. Empat Gaya Dasar Kepemimpinan

Sebagaimana diuraikan di atas Gibson dan Hodgetts (1991) menyatakan bahwa empat gaya kepemimpinan ini akan mempengaruhi gaya komunikasi yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Pertama, pemimpin otoriter menyuruh bawahannya apa yang harus dikerjakan. Kedua, pemimpin paternalistik hampir sama dengan tipe pemimpin otoriter tetapi masih memberikan kesempatan untuk berdiskusi terhadap suatu masalah serta menyediakan ruang untuk timbal balik kepada bawahannya. Pemimpin kedua ini cenderung berlaku sebagai seorang bapak. Ketiga, pemimpin partisipatif yang mengijinkan bawahannya untuk berkomunikasi dan mendukung dan menghargai gagasan dari semua anggota.

Dalam hal ini terdapat suasana dengan berkembangnya gagasan secara bebas.

Keempat, kepemimpinan laissez-faire yang mana setiap bawahan dapat melakukan komunikasi antara satu dengan yang lain dan melakukan aktivitas, sementara pemimpinan memegang peranan yang sangat pasif.

(11)

Gibson dan Hodgetts (1991) menyatakan bahwa selain komunikasi yang dilakukan seorang pemimpin berbeda akibat dari empat gaya kepemimpinan (yaitu kepemimpinan otoriter, kepemimpinan paternalistik, kepemimpinan partisipatif, serta kepemimpinan laissez-faire), maka komunikasi juga berbeda bila dilihat dari konsekuensi posisi seorang pemimpin. Posisi yang dimaksudkan adalah apakah berada pada level manajemen tingkat bawah, level manajemen menengah, ataukah level manajemen tingkat atas (top level management). Hal ini amat erat kaitannya bahwa perbedaan level seorang pemimpin pada posisi manajemennya berkonsekuensi dengan penguasaan teknis pada kegiatan tertentu maupun kemampuan berpikir. Secara umum penguasaan teknis atau kemampuan berpikir konseptual akan berbeda secara proporsional pada ketiga tingkatan manajemen di mana seorang pemimpin berada. Konsekuensinya komunikasi yang dilakukan oleh seorang pemimpin diorientasikan pada keberhasilan tugasnya, pada posisi mana ia berada pada level manajemen.

Beebe dan Masterson (1994) memandang gaya kepemimpinan lebih sederhana, yaitu terdapat tiga gaya kepemimpinan. Gaya-gaya tersebut antara lain otoritarian, demokratis, dan leissez-faire. Pemimpin yang otoritarian umumnya sangat superior pada anggota kelompok. Gaya demokratis lebih memberikan peluang kepada anggota kelompok untuk memberikan sharing dalam rangka mengambil keputusan. Sementara kepemimpinan leissez-faire memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk mampu mengarahkan dirinya sendiri.

Gaya kepemimpinan yang terdapat suatu kelompok akan memberikan implikasi secara psikis pada anggota. Kelompok dengan pemimpin yang demokratis memberikan tingkat kepuasan yang lebih besar daripada gaya kepemimpinan yang

(12)

leissez-faire. Hal ini juga terjadi pada kelompok yang memiliki pemimpin otokratik, umumnya lebih produktif bila dibandingkan dengan gaya kepemimpinan leissez-faire. Perlu dicatat bahwa tingkat produktivitas kelompok dengan pemimpin otokratik akan meningkat, umumnya hanya jika terdapat kehadiran pemimpin.

Komunikasi

Pengertian komunikasi dapat dilihat dari dua model, yaitu model linier dan model konvergen. Model linier misalnya dikemukakan oleh Laswell (1948), komunikasi adalah “siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan efek apa”. Demikian pula yang dikemukakan oleh Rogers dan Shoemaker (1981), komunikasi adalah proses pengoperan pesan-pesan dari sumber kepada penerima, dengan kata lain komunikasi adalah pemindahan ide-ide dari sumber dengan harapan akan merubah tingkah laku penerima. Sedangkan komunikasi menurut model konvergen yang dikemukakan oleh Kincaid dan Schramm (1977) adalah komunikasi merupakan suatu proses dimana partisipasi antar-peserta menciptakan dan memberikan informasi kepada yang lain untuk mencapai saling pengertian.

Barlund (Liliweri, 1994) menyatakan proses komunikasi dimaksudkan sebagai serial gerakan yang memberi dan menerima pesan yang bermanfaat untuk mencapai tujuan akhir. Paling tidak terdapat enam proposisi dalam proses komunikasi, yaitu komunikasi merupakan sesuatu yang dinamis, berkelanjutan, berputar dalam fungsi, tidak dapat diulangi secara persis/tepat, tidak dapat dibalik, bersifat kompleks.

(13)

Pada kenyataannya elemen-elemen dalam proses komunikasi dapat disebutkan antara lain: Sumber Komunikasi, Encoder, Pesan, Saluran, Decoder, dan Penerima Komunikasi. Dalam proses komunikasi terdapat maksud komunikasi yang dapat disebutkan yaitu maksud yang bersifat kognitif yang bersifat imbauan pada pikiran, maksud bersifat atau berhubungan persuasive yang bersifat imbauan emosi, serta maksud hiburan (entertainment) yang bersifat menyenangkan. Sebagai sebuah proses, maka komunikasi adalah aktivitas dinamis yang dapat disebut tak berujung dan berpangkal. Aktivitas komunikasi yang dijalankan dan akibat sebagai dampak komunikasi tidak dapat bersifat balik atau irreversible. Elemen-elemen komunikasi saling berinteraksi dan membentuk pengertian tertentu sebagai substansi yang diterima oleh komunikator maupun komunikan (Berlo, 1960).

Secara teoritis terdapat beberapa teori yang berkenaan dengan proses komunikasi. Sarbaugh (Mulyana, 2000) menyatakan terdapat beberapa prinsip berkenaan dengan proses komunikasi. Prinsip pertama, komunikasi adalah suatu sistem sandi bersama yang terdiri dari dua aspek –verbal dan nonverbal. Prinsip kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak dan berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi yang berbeda untuk memberikan respon. Prinsip ketiga, adalah tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Bukanlah sekedar pengetahuan mengenai perbedaan yang menimbulkan masalah melainkan tingkat penerimaan dari orang yang melakukan komunikasi.

(14)

Komunikasi Efektif dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Komunikasi dapat digolongkan sebagai yang efektif tergantung pada tujuan komunikasi yang ditentukan. Sedangkan ketepatan komunikasi sangat erat kaitannya dengan hambatan yang muncul dalam komunikasi. Meningkatkan ketepatan berarti mengeliminasi hambatan yang muncul. Sebaliknya meningkatnya hambatan komunikasi akan mengeliminasi ketepatan komunikasi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi ketepatan komunikasi bila dilihat dari sumber maupun penerima pesan adalah: Keahlian komunikasi; sikap; tingkat pengetahuan; pemahaman terhadap struktur sosial (Berlo, 1960).

Komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Dengan kata lain komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima (Tubbs dan Moss, 1996). Sebagaimana dinyatakan oleh Goyer (1970), diacu dalam Tubbs dan Moss (1996) bila S adalah pengirim atau sumber pesan dan R penerima pesan, maka komunikasi disebut mulus dan lengkap bila respons yang diinginkan S dan respons yang diberikan R identik:

R = Makna yang ditangkap penerima S = Makna yang dimaksud pengirim = 1

Dari formulasi di atas nilai = 1 yang menunjukkan kesempurnaan penyampaian dan penerimaan pesan, dan nilai ini jarang diperoleh.

Menilai keefektifan komunikasi hanya dapat dilakukan apabila diketahui tujuan dari komunikasi. Dengan kata lain yang diinginkan dari hasil komunikasi itulah yang dapat menjadi ukuran keefektifan komunikasi. Umumnya keefektifan

(15)

komunikasi dapat diukur dari: tingkat pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. Selanjutnya pemahaman sering diartikan sebagai tambahan informasi. Kesenangan yang dimaksud sebagai salah satu tujuan komunikasi antara lain hasil yang diharapkan dari proses komunikasi untuk meningkatkan dan mempertahankan hubungan insani serta memberikan nuansa hiburan. Pengaruh pada sikap dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi atau mempersuasi seseorang untuk merubah sikap. Selanjutnya yang dimaksud hubungan yang makin baik adalah komunikasi dilakukan untuk memperbaiki hubungan dan saling pengertian sehingga dapat menunjang kepercayaan. Sedangkan tindakan merupakan kemauan melaksanakan dengan sesungguhnya apa yang dipesankan dalam komunikasi (Tubbs dan Moss, 1996).

Gibson dan Hudgetts (1991) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah sebuah tritunggal atau “Triad” yang terdiri dari pemimpin, para anggota, dan lingkungan tempat mereka melakukan aktivitas. Pemimpin adalah seseorang yang dapat membangun sebuah lingkungan kerja sehingga kelompok dapat ditingkatkan perannya. Para anggota dalam kelompok memegang peranan sebagai elemen kritis dalam komunikasi yang efektif. Bagaimanapun bagusnya peran seorang ketua atau pemimpin tanpa dukungan para anggota, akan menjadi sia-sia. Bagian ketiga dari tritunggal ini adalah lingkungan. Lingkungan yang tepat akan memberikan suatu motivasi melaksanakan tugas yang lebih baik. Tim atau kelompok dapat ditingkatkan perannya apabila lingkungan dapat dipolakan sesuai kebutuhan yang mempermudah pencapaian tugas.

(16)

Keefektifan Komunikasi dalam Kelompok

Cathcart dan Samovar (1974) mengatakan bahwa beberapa ahli mendefinisikan kelompok berdasarkan karakter-karakter sebagai berikut:

(1) Persepsi dan kognisi dari anggota kelompok. Maknanya menyatakan, persepsi anggota kelompok yang didasarkan pada asumsi pemikiran (alasan) bahwa para anggota seharusnya sadar akan hubungan diantara mereka, dan konsekuensinya setiap individu mengakui eksistensi anggota yang lain.

(2) Kepuasan motivasi dan kebutuhan. Didasari pada pemikiran akan adanya kepercayaan pemenuhan beberapa kebutuhan.

(3) Tujuan kelompok. Pertemuan antara beberapa orang adalah dengan tujuan tertentu sehingga pertemuan itu menjadi bermakna.

(4) Organisasi kelompok. Pertemuan antara dua orang atau lebih dalam sebuah unit sosial kemudian mengikatkan diri dalam norma tertentu untuk mengatur hubungan itu.

(5) Interdependensi dari anggota kelompok. Konsekuensi dari kelompok tersebut kemudian akan terjalin saling kebergantungan antara anggota yang satu dengan yang lainnya.

(6) Interaksi. Hakekat dari kelompok adalah adanya interaksi, yang kemudian membedakannya dengan agregat (Shaw dalam Cathcart dan Samovar 1974).

Beebe dan Masterson (1994) mendefinisikan kelompok kecil sebagai suatu kelompok yang memungkinkan berlangsungnya proses komunikasi tatap muka di antara orang-orang yang memiliki tujuan bersama, orang-orang yang merasa menjadi bagian kelompok, dan orang-orang yang ada di dalamnya saling mempengaruhi satu dengan lainnya.

(17)

Secara rinci definisi di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Komunikasi tatap muka sebagai konsekuensi kelompok kecil, maka komunikasi verbal dan non verbal sebagai bagian emosional untuk saling memahami.

(2) Pertemuan dengan sebuah tujuan yang dikehendaki/ditetapkan karena adanya tujuan kolektif yang terus dijaga sampai terwujud.

(3) Perasaan memiliki (bagian) dari kelompok tersebut berimplikasi pada munculnya kepemilikan identitas pada kelompok.

(4) Saling mempengaruhi/saling terkait pada tanggungjawab masing-masing anggota sehingga anggota merasa bertanggung jawab atas perencanaan yang disepakati untuk mencapai tujuan.

Dahnke dan Clatterbuck (1990) mendefinisikan bahwa kelompok kecil adalah kumpulan dari dua atau lebih individu yang berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan saling pengaruh mempengaruhi. Lebih jauh dinyatakan bahwa variabel-variabel seperti dua orang atau lebih serta saling pengaruh- mempengaruhi adalah variabel yang menentukan eksistensi sebuah kelompok kecil. Sedangkan variabel lain seperti motivasi, tujuan, struktur organisasi menjadi suatu pendukung terhadap variabel utama yang telah disampaikan sebelumnya.

Beberapa perspektif tersebut dapat disimpulkan bahwa jika kelompok cukup eksis, anggotanya akan sangat termotivasi untuk bergabung, serta mereka menyadari akan eksistensinya. Sehingga hal yang esensial dalam kelompok adalah tujuan kelompok, yang menyuratkan secara eksplisit bahwa motivasi dari kelompok sangat mungkin adalah sebuah bentuk kelompok, eksistensi kelompok

(18)

artinya penerimaan terhadap anggota dan organisasi (yang merupakan formasi dan interrelasi dari aturan, status, dan norma) menjadi sebuah konsekuensi dari proses kelompok.

Dahnke dan Clatterbuck (1990) menyatakan komposisi kelompok merujuk pada cara berperilaku, kemampuan, keahlian, latar belakang, karakteristik personal (seperti usia, gender, kemampuan, dan atribut berupa kepribadian, dan karakteristik bagaimana antar yang satu berelasi dengan yang lain. Prosesnya (proses kelompok) dipengaruhi oleh dua hal: (1) Karakteristik anggota dan bagaimana mereka bereaksi terhadap yang lain. (2) Kombinasi dari anggota ini akan mempengaruhi kemampuan performansi kelompok sebagai sebuah keseluruhan unit. Lebih lanjut dijelaskan ukuran kelompok berpengaruh terhadap kedekatan, bentuk hubungan dan pengambilan keputusan. Disamping itu secara umum anggota yang lebih heterogen akan memberikan keuntungan terhadap peningkatan/sumbangan karena kemampuan, keahlian, pengetahuan yang dibawanya, dibanding kelompok yang sangat homogen.

Deutsch, diacu dalam Hare (1962) menemukan, bahwa dibandingkan kelompok yang tidak bersaing, maka kelompok yang bekerjasama, memiliki karakteristik:

(1) Motivasi individu yang lebih kuat.

(2) Pembagian divisi pekerjaan yang jelas dan terkoordinasi.

(3) Lebih efektif dalam komunikasi antar anggota.

(4) Lebih bersahabat (Friendliness) dalam suasana pertemuan-pertemuan yang dilakukan.

(5) Mempunyai tingkat produktivitas yang lebih baik.

(19)

Suatu pemikiran tentang sistem kelompok secara konsepsional diajukan oleh Stogdill (1959) direvisi dan diperluas oleh Bass, B.M (1981). Ia memiliki keyakinan bahwa prestasi kelompok dapat dicapai dengan bentuk-bentuk linier yang diajukannya secara berurutan, yaitu masukan (input), penengah media- (throughput), hasil (output). Masukan kelompok (group input) termasuk di dalamnya antara lain, karakteristik pada anggota kelompok, seperti kepribadian.

Hare (1962) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan yang kuat bahwa kelompok akan lebih produktif jika mereka terdiri dari anggota-anggota kelompok yang:

(1) mempunyai jenis kelamin yang sama.

(2) kohesivitas yang tinggi.

(3) ukuran relatif kecil.

(4) mempunyai jaringan komunikasi dengan feedback yang maksimum.

(5) dan mempunyai pemimpin yang ahli (mempunyai keterampilan).

Superioritas kelompok atas individu berkenaan dengan produktivitas, biasanya lebih besar pengaruhnya (hubungannya) pada masalah-masalah manual daripada kegiatan (tugas) intelektual. Kelompok akan kehilangan akurasi dan efisiensi jika: (1) Tidak ada pembagian divisi tugas yang jelas; (2) Masalah kontrol yang begitu besar; (3) Kelompok mengembangkan standar produktivitas yang lebih rendah daripada kemampuan individu sebenarnya (Hare, 1962).

Anggota-angota kelompok bekerjasama untuk mencapai dua tujuan:

melaksanakan tugas kelompok dan memelihara moral anggotanya. Tujuan pertama dapat diukur dari hasil kerja kelompok, sedangkan tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (Rakhmat, 1989).

(20)

Mc David dan Harari (Cathcart & Samovar, 1974) menyatakan bahwa sifat utama organisasi yang didefinisikan sebagai kelompok adalah fungsi yang seragam keterkaitan antar elemen dan mekanisme pengaturan. Mc David and Harari mendefinisikan kelompok sebagai sebuah kelompok secara psikologi sosial adalah sebuah sistem yang terorganisasi dari dua atau lebih individu yang saling terkait dalam fungsi-fungsi dengan seperangkat hubungan peran antar anggotanya dan seperangkat norma yang mengatur fungsi-fungsi kelompok dan anggotanya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa efektifitas komunikasi kelompok adalah proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok dipengaruhi oleh interaksi anggota kelompok yang memiliki karakteristik yang khas, proses atau fasilitasi oleh pemimpin, serta beberapa faktor eksternal lainnya, sehingga komunikasi tersebut dapat dicapai sesuatu yang menjadi tujuan dari kelompok sekaligus memiliki dimensi terpenuhinya kebutuhan angota kelompok.

Ada beberapa faktor yang saling berinteraksi dalam suatu kelompok sehingga menimbulkan sebuah suasana (atmosphere) dan perasaan (feeling) kelompok. Suasana dan perasaan tersebut menerangkan bagaimana para anggota kelompok berkomunikasi, dengan siapa mereka berkomunikasi, dan seberapa sering mereka berkomunikasi mempengaruhi kepuasan mereka demikian juga (sama halnya) dengan produktivitas. Hal ini dapat dijelaskan, ketika komunikasi yang bebas dan terbuka, dan setiap individu berpartisipasi, kesemua anggota (kelompok) cenderung untuk merasakan daya tarik terhadap kelompok dan konsekuensinya menerima kepuasan secara personal. Kondisi yang demikian dapat digunakan oleh kelompok sebagai daya kekuatan bagi kelompok untuk

(21)

menyelesaikan masalah (konflik) secara konstruktif, karena keterbukaan dan kepercayaan antara sesamanya. Pada akhirnya dengan mengembangkan dan memelihara sebuah iklim kelompok yang “positif” akan mempengaruhi produktivitas. Di dalam iklim kelompok yang positif terdapat komitmen personal pada kelompok, kebergantungan personal pada kelompok, kekuatan kelompok yang mengatasi individu dalam kelompok. Kondisi yang terbentuk seperti ini akan memunculkan dengan dirasakannya kepuasan individual yang lebih besar serta dimungkinkan produktivitas kelompok yang lebih besar pula (Beebe dan Masterson, 1994).

Beberapa variabel yang berinteraksi membentuk iklim kelompok dapat disebutkan antara lain:

(1) Cara Berkomunikasi antar anggota kelompok dapat meliputi pola respon meliputi respon defensive ataukah supportive, respon kofirmasi ataukah diskonfirmasi, memperhatikan dengan mendengar, analisis ataukah empati.

(2) Kohesivitas Kelompok, yang dapat diukur dengan kualitas komunikasi dan intensitas komunikasi interpersonal, menyangkut tingkat keseringan antar anggota kelompok berkomunikasi secara interpersonal.

(3) Jaringan Komunikasi, akan menunjukkan saluran komunikasi jaringan yang berpengaruh pada iklim kelompok demikian juga produktivitas kelompok.

Dalam konteks komunikasi dalam kelompok, terdapat beberapa hal yang berpengaruh antara lain jaringan komunikasi dan ukuran kelompok.

(4) Ukuran Kelompok, yang mempunyai konsekuensi bagaimana peran untuk berpartisipasi terdistribusi yang selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat kepuasan setiap anggota kelompok. Ukuran kelompok (jumlah individu yang

(22)

ada dalam kelompok) membawa implikasi pada jumlah hubungan yang terjadi dalam kelompok (Beebe dan Masterson, 1994).

Karakteristik Individu

Secara garis besar terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku manusia, yaitu faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis berhubungan dengan aspek fisik dan biologis personal. Sedangkan aspek sosiopsikologis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga komponen yaitu komponen afektif, komponen kognitif, dan komponen konatif (Rakhmat, 1989).

Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam melakukan strategi untuk menghasilkan komunikasi efektif antara lain:

(1) Variabel personal, di dalamnya termasuk pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan orang tua, kemampuan pengelolaan, kesehatan, umur maupun sikap.

(2) Variabel situasional, yakni ukuran lahan, kualitas tanah, suplai air, kelompok sosial, kebijakan pemerintah, suplai tenaga kerja, kebiasaan cara berpikir dan aktivitas, dan standar untuk menyatakan baik atau benar.

(3) Variabel antara, yang termasuk disini antara lain informasi, fasilitas, tranportasi, kebijakan pemerintah, program penyuluhan, tujuan-tujuan personal dari anggota kelompok, serta tujuan kelompok itu sendiri.

(4) Variabel perilaku maupun variabel dampak, di antaranya adopsi terhadap varietas bibit baru, implementasi praktek budidaya yang baru, serta praktek- praktek bertani yang baru.

Bettinghaus (1973) menyatakan dalam hubungannya dengan perilaku komunikasi dan adopsi inovasi, ada beberapa peubah karakteristik sosial ekonomi

(23)

yang berhubungan dengan perilaku komunikasi antara lain karakteristik demografi seperti: umur, pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan.

Ichwanudin (1998) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa karakteristik individu seperti pendidikan, pendapatan dan jumlah tanggungan keluarga, berhubungan nyata dengan perilaku komunikasi dalam hal ini perilaku mencari informasi. Umur dan pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, berhubungan nyata dengan perilaku komunikasi dalam hal menyebarkan informasi.

Lebih lanjut komposisi kelompok sesungguhnya merupakan atau merujuk pada individu-individu yang berada dalam kelompok, menyangkut karakteristik personal, kebiasaan berperilaku, serta bereaksi atau memberi respon terhadap stimulasi individu lain. Ini berarti komposisi kelompok menyangkut karakteristik dari anggota kelompok, sedangkan yang lain adalah berkenaan dengan kombinasi dari karakteristik anggota yang variatif tadi menimbulkan resultante tertentu dalam kelompok sebagai keseluruhan. Selanjutnya karakteristik personal yang penting dalam konteks interaksi dalam kelompok dapat disebutkan antara lain umur, jenis kelamin, dan kemampuan (pengetahuan atau intelektual). Beberapa karakteristik ini akan mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku dalam kelompok (Dahnke dan Clatterbuck, 1990).

Perilaku Komunikasi

Gould dan Kolb, diacu dalam Hapsari (1994) menyatakan perilaku merupakan padanan dari kata behavior dalam bahasa Inggris. Pengertian yang sangat umum, perilaku menunjukkan tindakan atau respon dari sesuatu atau sistem apapun dalam hubungan dengan lingkungan atau situasi.

(24)

Perilaku komunikasi adalah tindakan atau kegiatan dalam melakukan proses komunikasi seperti mencari, menerima, atau menyebarkan informasi.

Peubah perilaku komunikasi menurut Rogers (1983) antara lain: keterdedahan terhadap saluran komunikasi, interpersonal, keterdedahan terhadap media massa dan partisipasi sosial, keterhubungan dengan sistem sosial dan mencari informasi tentang inovasi.

Berlo (1960) menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang akan menjadi kebiasaan pelakunya. Mengamati perilaku komunikasi, seyogyanya dipertimbangkan bahwa pada dasarnya seseorang akan melakukan kegiatan komunikasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhannya berdasarkan penalaran sendiri.

Perilaku komunikasi dapat dideskripsikan dalam porsi yang dapat dipertimbangkan yaitu sebagai permainan, perilaku alat, sebagian lagi sebagai perilaku egosentris. Beberapa aspek komunikasi yang penting menurut Kinchaid

& Schramm (1977) perlu mendapat perhatian bagi seseorang dalam menggunakan komunikasi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya dan disesuaikan dengan fungsinya, yaitu aspek keluar dan aspek kedalam. Tabel 2 menunjukkan aspek- aspek komunikasi.

Tabel 2. Aspek-aspek Komunikasi

Fungsi Aspek ke luar Aspek ke dalam

Radar Sosial Mencari informasi, Memberi informasi

Menerima informasi Manipulasi,

Manajemen keputusan

Persuasi, Komando

Interpretasi

Instruksi Mencari pengetahuan, Mengajar

Belajar

Hiburan Menghibur Menikmati

Sumber: Kinchaid & Schramm, 1977

(25)

Berlo (1960), membagi perilaku komunikasi dalam 4 level (jenjang) kedalaman, yaitu: (1) hanya sekedar berbicara (only talk), pembicaraan bersifat umum; (2) saling ketergantungan (interdependent), pembicaraan yang lebih intensif dan serius; (3) empati (empathy), ditunjukkan dengan kemampuan untuk menyampaikan saran-saran atas materi yang sedang dibicarakan; (4) interaktif (interactive), ditunjukkan dengan kemampuan saling berdiskusi atau berargumentasi tentang materi yang sedang dibicarakan. Dalam berkomunikasi, seseorang tidak harus memulai dari level pertama, tetapi bisa saja langsung pada level kedua, ketiga atau keempat (Kinchaid & Schramm, 1977).

Peubah perilaku komunikasi menurut Rogers (1983), antara lain:

keterdedahan terhadap saluran komunikasi interpersonal, keterdedahan terhadap media massa dan partisipasi sosial, keterhubungan dengan sistem sosial, kosmopolit, kontak dengan agen pembaharu, mencari informasi tentang inovasi, pengetahuan, dan kepemimpinan kepemukaan pendapat.

Terdapat beberapa pengaruh dasar dari kelompok terhadap perilaku komunikasi individu. Pengaruh pada perilaku komunikasi ini pada individu disebut dengan pengaruh sosial. Pengaruh sosial ini antara lain adalah konformitas, fasilitasi sosial, dan polarisasi. Konformitas adalah adanya kecenderungan untuk melakukan hal yang sama apa yang dilakukan oleh kelompok. Fasilitasi sosial adalah kemudahan bagi seorang individu dalam melakukan aktivitas komunikasi karena dipengaruhi oleh kelompok. Polarisasi adalah proses peneguhan terhadap persepsi tertentu individu karena interaksi dalam kelompok. Dengan demikian pengaruh sosial ini secara nyata mempengaruhi perilaku individu dalam berkomunikasi (Rakhmat, 1999).

(26)

Pelaksanaan Koservasi Tanah dan Air di DAS Ciliwung Hulu

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu agro-ekosistem, di mana jasad hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik. Kegiatan-kegiatan manusia di dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia, dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan DAS yang cepat dan sering menimbulkan dampak yang negatif yang berupa kerusakan DAS.

Pengelolaan DAS yang baik adalah suatu sistem yang komprehensif dari suatu DAS, di mana semua sumber daya alam terutama tanah, air, vegetasi di atasnya menjadi lebih baik produktif dan terjaga kelestariannya (Eren dalam DPKT, 1996). Dengan demikian pengelolaan DAS yang baik berarti pengunaan tanah dan air secara rasional untuk mendapat manfaat yang optimum dan lestari dengan bahaya kerusakan yang sekecil-kecilnya (Tejwani dalam DPKT, 1996).

Reksowardoyo (1985), diacu dalam Pellokila (2002) menyatakan

“…dalam pelaksanannya, pengelolaan DAS mencakup: pengelolaan lahan, pengelolaan air, pengelolaan vegetasi, dan pembinaan aktivitas manusia dalam penggunaan sumberdaya alam”. Sejajar dengan ini hasil rumusan lokakarya DAS terpadu (1985) yang berlangsung di Yogyakarta mendefinisikan bahwa pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya alam terbarui, yaitu vegetasi, tanah dan air agar dapat memberikan manfaat yang maksimal dan berkesinambungan.

Memperhatikan rumusan ini, maka konsep DAS diletakkan sebagai ruang dan/atau wilayah yang di dalamnya terjadi hubungan-hubungan hukum karena adanya interaksi (perbuatan-perbuatan hukum) antara berbagai pihak (subyek- subyek hukum) yang berkepentingan terhadap pengurusan dan/atau pengelolaan

(27)

(perbuatan hukum) sumberdaya alam (obyek hukum) di suatu DAS. Konsep ini sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (KEPDIRJEN RRL) Nomor 058/Kpts/V/1994.

DAS Ciliwung adalah salah satu DAS di Indonesia yang sangat penting keberadaannya. DAS Ciliwung membentang dari bagian hulu yang terletak di daerah Bogor, Puncak sampai bagian DAS Ciliwung Hilir yang terletak di kawasan DKI Jakarta. Daerah Hulu DAS Ciliwung memiliki kondisi biofisik diantaranya terdapat kanopi daun yang cukup lebat yang ditopang dari Hutan Pangrango, seresah dan bahan organik yang masih tebal memberikan kemampuan daya simpan air yang cukup besar. Dengan demikian air hujan tidak hanya sekedar mengalir di permukaan atau run off melainkan mampu tersimpan menjadi air tanah.

Seiring dengan perkembangan waktu, tekanan terhadap daerah ini dari waktu ke waktu semakin besar. Tekanan yang dimaksud menyangkut tekanan akibat perkembangan dan pertumbuhan penduduk. Pada perkembangannya pemanfaatan lahan di sekitar DAS Hulu Ciliwung berubah fungsi baik untuk keperluan pemukiman, pertanian, peternakan, maupun perindustrian (Badri, 2002).

Beberapa masalah sosial ekonomi muncul akibat tekanan penduduk, antara lain berubahnya fungsi daerah yang semestinya menjadi daerah tangkapan air menjadi lahan pertanian. Sebagaimana dilaporkan bahwa karena tekanan ekonomi kebanyakan lahan pertanian telah berubah fungsi pula menjadi perumahan-perumahan mewah yang umumnya dimiliki oleh penduduk di luar daerah hulu DAS Ciliwung. Kondisi ini akan sangat rentan terhadap terjadinya

(28)

bencana alam. Fenomena paling nyata dapat diamati antara lain: terjadinya banjir bila musim penghujan tiba, serta adanya kecenderungan kekeringan pada daerah aliran sungai bila musim kemarau datang (Juhara, 2002).

Kondisi yang memprihatinkan ini harus diatasi di antaranya dengan melakukan penghijauan kembali lahan kritis, pola pertanian berwawasan konservasi, serta upaya-upaya lain yang konsisten dengan wawasan konservasi.

Upaya-upaya yang dilakukan ini pada dasarnya dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi di bagian hilir DAS Ciliwung. Dengan pelaksanaan penghijauan pada lahan-lahan pertanian di bagian hulu, dampak positif di daerah hilir sangat diharapkan. Dampak positif tersebut dapat terjadi pada aspek biofisik, ekonomi sosial, budaya dan kelembagaan.

Masyarakat di sekitar DAS Ciliwung menjadi faktor yang sangat penting, dalam rangka menunjang upaya di atas, karena mereka berinteraksi secara langsung dengan lingkungan biofisik DAS. Mereka menggunakan lingkungan DAS Ciliwung Hulu sebagai mata pencaharian terutama dalam mengupayakan budidaya pertanian.

Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar adalah salah satu kelompok yang berada di DAS Hulu Ciliwung. Seperti karakteristik kelompok tani di dataran tinggi lainnya, para anggota kelompok tani melakukan budidaya sayuran, kerena lingkungan biofisik yang mendukung. Dalam perkembangan selanjutnya banyak anggota kelompok tani terpaksa menjual lahannya kepada penduduk dari luar daerah tersebut karena alasan kebutuhan uang tunai yang mendesak, terutama untuk membeli barang-barang konsumtif seperti mobil dan peralatan elektonik

(29)

rumah tangga. Sejalan dengan berubahnya pemilikan lahan tersebut, fungsi lahan juga berubah fungsi menjadi tempat peristirahatan atau villa-villa mewah.

Adanya pergeseran perubahan fungsi lahan tersebut, Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar adalah salah satu kelompok tani yang memiliki kepedulian terhadap pengelolaan atau penjagaan lingkungan DAS Ciliwung Hulu. Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar telah terbentuk pada tahun 1992 di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor merupakan pengembangan dari kelompok Tani Suka Sirna yang dibentuk pada tahun 1985 dan Kelompok Tani Cempaka yang dibentuk pada tahun 1989. Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar pada saat ini telah beranggotakan 60 petani (Pemerintah Kabupaten Bogor, 2002).

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya, Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar mengalami perkembangan bidang kegiatannya. Saat ini Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar memiliki kegiatan antara lain budidaya jamur kayu, pengelolaan kebun bibit desa, penghijauan dan reboisasi, pengamatan stasiun curah hujan dan stasiun pengamat arus serta kegiatan pelatihan dan penyuluhan. Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar juga melakukan kegiatan pengamanan hutan, yang kegiatannya diantaranya adalah mengamankan kayu hasil curian, pencegahan perambahan kawasan hutan produksi dan hutan lindung, pembuatan pos jaga hutan. Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar juga melakukan pengamanan penjarahan batu kali sungai Citamiang, ikut serta dalam program kali bersih, pembuatan sabuk pengaman (green belt), pelaksanaan reboisasi , serta pembuatan sumur resapan (Badri, 2002).

Selama ini pelaksana kegiatan konservasi tanah dan air (penghijauan) di tingkat lapangan khususnya DAS Hulu Ciliwung dilakukan oleh kelompok tani,

(30)

yakni suatu institusi di tingkat akar rumput (grass root) yang tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat pelaku kegiatan konservasi tanah dan air (penghijauan) di wilayah di mana kegiatan tersebut berlangsung. Dengan demikian keberhasilan kegiatan konservasi tanah dan air (penghijauan) akan sangat ditentukan oleh tingkat dinamika kelompok tani tersebut. Semakin dinamis suatu kelompok tani akan semakin produktif dalam menjalankan kegiatan konservasi tanah dan air dan sebaliknya.

Para anggota kelompok tani sebagian telah memperoleh fasilitasi peningkatan sumber daya manusia (SDM). Peningkatan SDM ditempuh melalui pelatihan yang berkenaan dengan budidaya yang berwawasan lingkungan, khususnya kesesuaiannya dengan tujuan pemeliharaan DAS.

Sistem usaha tani konservasi pada dasarnya adalah usaha tani yang mengupayakan peningkatan hasil pertanian (pangan, sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman industri/perkebunan, kayu-kayuan, pakan) yang terpadu dengan kegiatan peternakan, dengan melaksanakan teknologi budidaya tanaman dan ternak serta menerapkan kaidah konservasi tanah dan air. Teknik konservasi dengan cara vegetatif, selain dimaksudkan untuk melindungi lahan dari daya degradasi juga dimaksudkan untuk pelestarian fungsi lahan dan meningkatkan produktivitas lahan. Sehingga penganjuran jenis tanaman yang dapat ditanam, didasarkan atas pertimbangan kesesuaian lahan menurut zona agroklimat, keinginan dan kebiasaan petani, produktivitas tanaman di wilayah yang bersangkutan, serta untuk memberi nilai ekonomis. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan teknologi usaha tani konservasi antara lain: pola pengaturan tanaman, pergiliran

(31)

tanaman, pola tanam ganda, penanaman dalam strip, tanaman lorong, maupun mulsa (DPKT, 1996).

Kegiatan konservasi tanah dan air di kawasan DAS Ciliwung Hulu tidak hanya dilakukan oleh Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar [Tugu Utara] saja, namun juga dilakukan oleh kelompok tani yang ada di desa sekitarnya seperti;

Kelompok Tani Bunga Wortel [Desa Citeko]; Kelompok Tani Kali Cimandala [Desa Batulayang]; dan Kelompok Tani Ganda Manah [Tugu Selatan].

Beberapa Kasus Mengenai

Kegiatan Konservasi Tanah dan Air dan Kelompok Tani

Hernawati (1992) menemukan bahwa terdapat pengaruh yang nyata antara beberapa tehnik konservasi dengan tingkat erosi. Dalam hal ini lebih lanjut diungkapkan bahwa tehnik konservasi dengan pola pergiliran tanaman dapat mengendalikan aliran permukaan dan erosi. Demikian juga sistem pertanaman dalam strip, dalam hal ini strip kacang tanah dan rumput dapat menurunkan aliran permukaan tanah dan erosi serta lebih jauh mampu menekan kehilangan hara. Hal ini berarti tehnik konservasi tertentu berkenaan dengan pola tanam, efektif dalam mengurangi kerusakan atau pengikisan tanah.

Sembiring (1995), menemukan bahwa vegetasi tertentu dalam prakteknya sangat efektif dalam menurunkan fluktuasi debit sungai. Lebih jauh Saifudin (1997), melaporkan tindakan konservasi berupa rumput penguat teras dan rumput saluran yang digunakan dalam usaha tani semusim dapat mengurangi jumlah erosi yang terjadi pada lahan berteras bangku. Disamping itu bahwa sistem usaha tani tanaman semusim di lahan kering akan memberikan pendapatan usaha tani yang

(32)

lebih tinggi pada lahan dengan tindakan konservasi yang lebih baik dan pemilihan jenis tanaman yang tepat. Kondisi seperti ini akan menurunkan tingkat erosi.

Praktek usaha tani konservasi tanah dan air tidaklah mudah dalam pelaksanaannya. Seperti dinyatakan Sasmita (2001) sebagai hasil penelitiannya pada DAS Cimanuk Hulu, bahwa meskipun kesesuaian lahan berperan mempengaruhi pola penggunaan sawah dan tegalan, akan tetapi peranannya masih terbatas pada aspek-aspek yang terkait dengan kecocokan tanaman, sedangkan aspek yang terkait dengan masalah lingkungan seperti bahaya erosi serta kelongsoran masih belum diperhatikan.

Kelompok tani sebagai pelaksana dan pelaku utama kegiatan konservasi tanah dan air, diharapkan mampu berperan lebih efektif. Kenyatannya kehidupan dalam kelompok sangat berpengaruh terhadap seberapa jauh para anggota melakukan aktivitas konservasi tanah dan air sebagai ide yang diadopsi.

Demikian juga kelompok tani penghijauan memiliki tingkat dinamika tertentu dalam kaitannya dengan komunikasi. Megawati (2001) melaporkan bahwa dalam pelaksanaan bantuan modal bergulir oleh pemerintah kepada kelompok tani penghijauan di Cianjur, menunjukkan bahwa kelompok akan kondusif terhadap program bila memiliki tujuan kelompok yang jelas, kekompakan kelompok, suasana kelompok dan kepemimpinan yang mendukung. Kemampuan kelompok tani penghijauan dalam beradaptasi dengan program lebih ditentukan dalam kaitannya dengan karakteristik individu anggota kelompok yang meliputi pendidikan formal dan pendidikan nonformal, tingkat pendapatan, dan tingkat penguasaan lahan.

(33)

Hasil penelitian Kardiwiyati (2004) di Sub DAS Citarik menunjukkan bahwa beberapa karakteristik petani yang berhubungan dengan aktivitas komunikasi antara lain: (1) tingkat pendidikan formal; (2) tingkat pendidikan nonformal; (3) luas lahan garapan; dan (4) kejelasan tujuan kelompok. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas interaksi anggota dengan kelompok ternyata semakin intensif perilaku petani dalam kegiatan teknik sipil. Demikian pula semakin intensif pencarian informasi tentang inovasi yang dilakukan oleh petani penghijauan semakin intensif perilaku produktif petani penghijauan.

Berbagai studi mengenai konservasi daerah aliran sungai dan kelompok tani di atas perlu dilengkapi dengan studi yang memfokuskan pada hubungan antara gaya komunikasi pempimpin kelompok tani dan keefektifan kelompok tani dalam melaksanakan program konservasi tanah dan air (KTA).

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah petani bukan anggota di wilayah nagari/desa yang sama adalah merupakan potensi penerapan teknologi jagung seperti anggota gapoktan, bila modal menjadi kendala

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru pamong/informan tentang persepsi guru pamong terhadap keterampilan mengajar maka dapat di simpulkan bahwa mahasiswa PPL khususnya program

Penelitian ini bertujuan untuk mengarnati pengaruh besaran pulsa pada struktur kristal lapisan tipis nickel molybdenum yang terbentuk dengan menggunakan difraksi

8. Harus tetap body sedan/hatchback yang ada di pasaran. Tamiya Subaru Legacy TIDAK diperbolehkan. Khusus untuk FF, diperbolehkan menggunakan ban karet merk lain dengan

Abraham menyampaikan firman iman kepada Ishak, ketika dia mengatakan, ‘Elohim yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya.’ Ketika kita bersatu dengan

Selain itu kerja monoton yang dilakukan secara repetitif juga berpeluang menimbulkan keluhan pada otot (keluhan muskuloskeletal). Perlu diterapkan istirahat pendek setiap satu

Secara umum, kondisi keuangan di Nagari Kunangan Parik Rantang tiga tahun terakhir ini (2013-2015) terus mengalami peningkatan, baik itu dari segi Pendapatan Asli

Simpulan dari penelitian ini adalah sensitivitas bakteri aerob penyebab OMSKBA terhadap beberapa antibiotik pada tahun 2008 dan 2012 didapatkan hasil adanya