• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN REMAJA TUNARUNGU DI SLB-B BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN REMAJA TUNARUNGU DI SLB-B BANDUNG"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK MENGEMBANGKAN

KEMANDIRIAN REMAJA TUNARUNGU DI SLB-B BANDUNG

Oleh:

IMAS DIANA APRILIA

(2)

ABSTRAK

Guidance and Counseling Model for Developing Autonomy of Adolescents with Hearing Impairment at SLB-B Bandung

Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd.

e-mail: imasdiana@ymail.com Jurusan PLB FIP UPI Bandung Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung

The factors underlying this research are the low level of autonomy of adolescents with hearing impairment and the stagnation in achieving the autonomy.

These are due to lack of supportive, condusive environment for development such as school environment through guidance and counseling services is unable to facilitate adolescents with hearing impairment. This service in SLB-B is provided only based on formal requirement rather than needs of adolescents with hearing impairment.

The research aims to find model of guidance and counseling for children development in the effort to enhance and foster autonomy of adolescents with hearing impairment. The approach used is Research and Development (R&D) from Borg & Gall (1989). The procedure of the research was conducted through three stages of activities, initial data collection, development and validation of the model, testing the model.

The findings are: First, the students with hearing impairment have not reached their developmental stages in autonomy optimally. This is indicated with delayed development of the students. The phenomenon is influenced by un-optimum environment in supporting the students’ development. This is also related to low quality of service on guidance and counseling which has not been managed professionally.

Second, the model of guidance and counseling found includes: background, vision and mission, goals and objectives, and structure of guidance and counseling program. Third, the model found provides positive impact for the development of autonomy among students with hearing impairment; increased knowledge, improved attitude and skills among the teachers; and established cooperation between school personnel to apply the program in the school.

The recommendations are: firstly, the model should be socialized to other SLB- B in accordance with each of the school’s objectives. Secondly, in relation to the model, it is necessary to conduct further study with the focus to improve the quality of guidance and counseling in schools and establishing counseling teacher’s profile in SLB-B.

Keywords: Model of Guidance and Counseling, Autonomy of Adolescents with Hearing Impairment

PENDAHULUAN

Remaja tunarungu dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, seringkali dihadapkan kepada berbagai masalah sehingga dapat menghambat

(3)

perkembangan dirinya. Siswa tunarungu adalah seseorang yang mengalami hambatan dan keterbatasan dalam kemampuan mendengar. Dari keterbatasannya itu seringkali mempengaruhi kehidupannya secara kompleks, karena ketunarunguan membawa dampak terhadap perkembangan bicara dan bahasa, kecerdasan, emosi, maupun perkembangan pribadi dan sosialnya. Permasalahan nyata yang dihadapi remaja tunarungu di lingkungan sekolah tergambarkan dari hasil penelitian Aprilia (2002), bahwa permasalahan yang dihadapi remaja tunarungu, baik permasalahan belajar, pribadi, sosial, dan penyesuaian diri, dan permasalahan-permasalahan lainnya adalah masalah kesulitan belajar, kelanjutan sekolah, pengembangan karier, pengembangan emosi sosial, penyesuaian diri, dan masalah pengisian waktu luang.

Studi awal yang penulis lakukan pada beberapa SLB-B di Kota Bandung menemukan bahwa proses pendidikan belum menyentuh pengembangan kemandirian siswa tunarungu. Penguasaan tugas perkembangan kemandirian yang semestinya siswa tunarungu kuasai kurang terinternalisasi dalam dirinya, seperti rendahnya disiplin, motivasi, tanggungjawab, sulit berkomunikasi, serta kurangnya partisipasi terhadap lingkungan di luar dirinya. Temuan ini memperkuat hasil studi Hiyaroh, (2002), Toyibah (2004), dan Purbandi (2006) pada lokasi penelitian yang berbeda, bahwa penguasaan tugas-tugas perkembangan pada remaja tunarungu masih rendah, motivasi belajar, serta komitmen dan kemampuan eksplorasi diri yang rendah. Permasalahan yang dihadapi siswa tunarungu tersebut, merupakan refleksi belum mantapnya kemandirian remaja tunarungu, serta mengisyaratkan kurangnya layanan pendidikan mengakomodasi kebutuhan mereka dalam upayanya mencapai kemandirian.

Sekolah Luar Biasa untuk Tunarungu (SLB-B) sebagai suatu lembaga pendidikan formal mempunyai tugas pokok yaitu membantu siswa mencapai perkembangan optimal sesuai tingkat dan jenis kebutuhannya. Untuk itu sekolah seyogyanya memberikan pelayanan yang optimal juga melalui tiga komponen pokok yang terintegrasi yaitu proses pengajaran, layanan di bidang administrasi, dan bantuan pribadi program bimbingan dan konseling (Natawidjaja, 1990:8).

Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, layanan BK ditempatkan sebagai suatu layanan untuk membantu peserta didik memahami kepribadian, lingkungan, dan merencanakan masa depannya, dan apabila

(4)

merunut ke belakang maka dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa Bab XII Pasal 28 ayat 1 dinyatakan bahwa: “bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengatasi masalah yang disebabkan oleh kelainan yang disandang, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.

Upaya pendidikan melalui bimbingan di SLB-B tidak sekedar mempersiapkan para siswanya mencapai perkembangan yang optimal sesuai tingkat dan jenis ketunarunguannya, tetapi lebih dari itu adalah untuk mengarahkan siswanya menuju kemandirian, baik itu kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai. Sebagaimana pandangan Steinberg (1993: 286) yang menyatakan: “bagi kaum remaja, menegakkan ketetapan kemandirian adalah sama pentingnya seperti usaha untuk menegakkan identitas. Menjadi pribadi yang mandiri, yakni pribadi yang menguasai dan mengatur diri sendiri, merupakan salah satu tugas perkembangan yang paling mendasar dalam tahun-tahun masa remaja”.

Untuk itu dipandang perlu adanya suatu model bimbingan perkembangan yang komprehensip, bersinergi dan memberdayakan sumber daya pendidikan, serta memperhatikan ekologi perkembangan siswa. Model bimbingan dan konseling yang dikemas tersebut, selayaknya diorientasikan kepada upaya membantu siswa mencapai perkembangan yang mandiri secara optimal melalui interaksi yang sehat antara dirinya dengan lingkungannya. Dengan demikian upaya peningkatan yang dimaksud adalah melalui penerapan model bimbingan dan konseling dengan pendekatan perkembangan atau model bimbingan dan konseling perkembangan. Atas dasar tersebut, maka yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini adalah” model bimbingan dan konseling perkembangan bagaimana yang dapat mengembangkan kemandirian remaja tunarungu di SLB-B?”

Sejalan dengan masalah penelitian, maka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pencapaian kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai remaja tunarungu?

2. Bagaimana kondisi lingkungan perkembangan remaja tunarungu?

3. Layanan bimbingan konseling apa yang telah diimplementasikan di SLB-B?

(5)

4. Bagaimana model layanan bimbingan untuk membantu perkembangan kemandirian remaja tunarungu?

5. Bagaimana efektivitas model layanan bimbingan dalam mengembangkan kemandirian remaja tunarungu?

KAJIAN TEORI 1. Model Bimbingan dan Konseling Perkembangan

Bimbingan dan konseling perkembangan (developmental guidance and counseling) didefinisikan sebagai komponen dari semua usaha bimbingan yang memelihara intervensi-intervensi terencana dalam rangkaian program pendidikan dan layanan kemanusiaan lainnya pada semua hal dalam siklus kehidupan manusia untuk secara sungguh-sungguh mendorong dan secara aktif memfasilitasi perkembangan individu secara total dalam semua bidang (aspek personal, sosial, emosi, karir, moral- etika, kognitif, dan estetik) serta meningkatkan integrasi beberapa komponen ke dalam suatu gaya hidup individu (Myrick,1993 dalam Muro dan Kottman, 1995:4).

Model bimbingan dan konseling perkembangan adalah suatu rencana atau pola kegiatan bimbingan dan konseling dalam suatu setting tertentu (Sekolah Luar Biasa) dengan pendekatan perkembangan. Rencana atau pola kegiatan tersebut dijabarkan ke dalam komponen-komponen: (1) prinsip dasar, yang mencerminkan asumsi atau konsep tentang perkembangan siswa atau remaja tunarungu, bimbingan dan konseling perkembangan, visi dan misi bimbingan dan konseling, pengembangan lingkungan, kebutuhan siswa tunarungu, dan hal-hal lainnya yang relevan; (2) tujuan layanan bimbingan dan konseling perkembangan di SLB, (3) isi bimbingan dan konseling perkembangan di SLB, yang meliputi: layanan dasar bimbingan, layanan responsif, layanan perencanaan individual, dan (4) dukungan sistem.

2. Kemandirian Remaja dan Perkembangannya

Istilah kemandirian merujuk pada konsep Steinberg (1993) yang dalam tulisannya menggunakan istilah autonomy, yaitu kemandirian untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain. Individu yang otonomous adalah pribadi yang mandiri.

Steinberg (1993:288) memunculkan tiga jenis kemandirian remaja, yaitu kemandirian emosional, kemandirian tingkah laku dan kemandirian nilai.

(6)

2.1. Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy)

Kemandirian emosional menurut Steinberg (1993:289) adalah aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional antara remaja dengan orangtuanya. Steinberg dan Silverberg, (1986), membagi kemandirian emosional menjadi empat komponen, yaitu:

(1) the extent to which adolescents de-idealized their parent (2) the extent to which adolescents were able to see their parent as people, (3) nondependency or the degree to which adolescents depended on themselves, rather than their parents, for assistance; and (4) the degree to which the adolescent felt individuated within the relationship with his or her parents (Steinberg, 1993:291-292).

2.2. Kemandirian Perilaku

Kemandirian tindakan atau perilaku menunjuk kepada “kemampuan seseorang melakukan aktivitas, sebagai manifestasi dari berfungsinya kebebasan dengan jelas, menyangkut peraturan-peraturan yang wajar mengenai perilaku dan pengambilan keputusan dari seseorang (Sessa & Steinberg, 1991, dalam Sprinthall & Collinns, 1995).

Steinberg, (1993: 296) menyatakan ada tiga domain kemandirian perilaku pada remaja, yaitu: (1) changes in decision-making abilities yaitu perubahan dalam kemampuan untuk mengambil keputusan, (2) changes in compormity and susceptibility to the influence of other yaitu perubahan remaja dalam penyesuaian dan kerentanan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, (3) changes in feelings of self-reliance yaitu perubahan dalam rasa percaya diri.

2.3. Kemandirian Nilai

Ahli psikologi (Douvan & Adelson, 1966, dalam Sprinthall & Collins, 1995) menyebutkan, kemandirian nilai menunjuk kepada suatu pengertian mengenai kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan dan menetapkan pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya, daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain. Steinberg, (1993 : 303-304) menjelaskan bahwa perkembangan kemandirian nilai sepanjang remaja ditandai oleh tiga aspek, yaitu: pertama, cara remaja dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin bertambah abstrak (abstract belief); kedua, keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa dasar

(7)

ideologi (principled belief); dan ketiga, keyakinan-keyakinan remaja akan nilai menjadi semakin terbentuk dalam diri mereka sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau orang dewasa lain (independent belief).

3. Konsep Dasar Ketunarunguan

Istilah tunarungu secara implisit mengandung dua pengertian yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Gearhart (1980) yang dikutip Neely (1982:95-96) dalam The Conference of Executives of American Schools for The Deaf, mendefinisikan tunarungu sebagai berikut: “A deaf person is one whose hearing disability is so great that he or she cannot understand speech through the use of the ear alone, with or without a hearing aid. A hard of hearing person is one whose hearing disability makes it difficult to hear but who can, with or without the use of hearing aid, understand speech”.

Moores (1982:6) menyatakan bahwa “ A deaf person in a one whose hearing is disable to an extent (usually 70 dB ISO or greater) that precludes the understanding of speech through the ear alone, with or without the use of a hearing aid. A hard of hearing is one whose hearing disabled to an extent (usually 35 to 69 dB ISO) that make dificult, but does not preclude, the understanding of speech through the ear alone, without or with a hearing aid”.

3.1. Karakteristik Kemampuan Komunikasi Tunarungu

Dampak langsung dari ketunarunguan adalah terbatasnya pemerolehan atau perbendaharaan bahasa (vocabulary) akibatnya mereka mengalami kelambatan dalam perkembangan komunikasi, terhambatnya komunikasi secara reseptif (memahami pembicaraan orang lain) dan secara ekspresif (bicara). Anak tunarungu tidak mampu menangkap kata-kata atau pembicaraan orang lain melalui pendengarannya, sehingga tidak terjadi proses peniruan suara. Proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual atau menangkap pembicaraan orang lain melalui gerak bibir.

3.2. Karakteristik kemampuan Kognitif Tunarungu

Inteligensi seorang tunarungu secara potensial pada umumnya sama dengan orang normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa (Myklebust, dalam Moores, 1982:148). Keterbatasan informasi dan kurangnya daya abstraksi pada seorang tunarungu akan menghambat proses

(8)

pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian perkembangan inteligensi secara fungsionalpun terhambat. Hal ini mengakibatkan seorang tunarungu kadang menampakkan keterlambatan dalam belajar.

3.3. Karakteristik Sosial Pribadi Tunarungu

Keterbatasan dalam berkomunikasi sebagai adanya gangguan pendengaran sering menimbulkan kesulitan sosial dan perilaku. Meadow (1987) yang dikutip Hallahan & Kauffman (1991:71) menyatakan bahwa, “ inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa individu tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian daripada individu normal. Jika individu tunarungu yang tanpa masalah- masalah nyata atau serius diteliti, mereka ternyata menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tanpa kontrol dalam diri, impulsif dan keras kepala”.

4. Kemandirian Remaja Tunarungu

Adanya hambatan pada individu tunarungu membawa berbagai dampak terhadap perkembangan mereka. Hambatan tersebut akan mempengaruhi totalitas dan kualitas eksistensi dia sebagai manusia yang memiliki tanggungjawab didalam melewati tugas perkembangannya. Permasalahan perkembangan pribadi tunarungu yang sangat kompleks tersebut, tidak berarti bahwa pencapaian tugas perkembangan mereka menuju kemandirian menjadi tidak optimal. Hasil penelitian Hiyaroh (2002) menunjukkan bahwa penguasaan tugas perkembangan pada remaja tunarungu umumnya telah tercapai meskipun hanya di lingkungan yang mempunyai karakteristik yang sama dengan remaja tunarungu.

Dalam pengambilan keputusan seringkali remaja tunarungu lebih berorientasi kepada hal-hal yang berlaku dalam kelompok sosialnya (teman-teman sebaya). Dari hasil penelitian yang dilakukan Purbandi (2006:98), ditemukan bahwa siswa tunarungu mempunyai eksplorasi yang terbatas dan membuat keputusan secara dini, tetapi mereka mempunyai keteguhan pendirian atau komitmen terhadap keterampilan yang dipilihnya, untuk meneguhkan keyakinannya, mereka mencari dan memilih temannya yang tunarungu yang sudah bekerja untuk dijadikan figur. Temuan yang sama dilakukan (Aprilia, 2002:81), ada kecenderungan diantara sesama siswa tunarungu untuk lebih berorientasi kepada bidang pekerjaan yang sudah biasa dilakukan oleh kakak-kakak kelasnya yang sudah bekerja. Dalam pemilihan pendidikan selanjutnya, mereka

(9)

cenderung akan masuk ke sekolah dimana ada teman tunarungunya, tanpa mempertimbangkan kemampuan dan potensi dirinya (Aprilia, 2002:78).

5. Bimbingan dan Konseling Kemandirian Remaja Tunarungu

Konsep bimbingan dan konseling pengembangan memberi makna dan arah yang berarti dalam perkembangan remaja tunarungu yang memiliki kebutuhan, permasalahan dan potensi yang beragam. Kebutuhan tersebut di atas dalam suasana pendidikan bagi remaja tunarungu diakomodasi dan dimanifestasikan melalui tujuan institusional umum SLB-B. Penguasaan kemandirian bagi remaja tunarungu merupakan tujuan yang akan dicapai melalui intervensi program layanan bimbingan dan konseling perkembangan.

Harapannya adalah visi dan misi bimbingan dan konseling perkembangan dapat memberdayakan dan mengoptimalkan potensi remaja tunarungu menuju kemandirian yang terintegrasi dan komprehensip.

Bidang isi bimbingan dan konseling perkembangan dirumuskan ke dalam tiga komponen utama, yaitu layanan dasar bimbingan, layanan responsif, dan layanan perencanaan individual. Layanan dasar bimbingan adalah layanan bimbingan yang bertujuan membantu seluruh siswa mengembangkan perilaku efektif dan meningkatkan keterampilan-keterampilan hidupnya. Layanan responsif merupakan layanan bantuan bagi para siswa yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera. Layanan perencanaan individual dapat diartikan sebagai layanan bantuan kepada semua siswa agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahan dirinya. Dukungan sistem merupakan komponen layanan dan kegiatan manajemen yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada siswa, atau memfasilitasi kelancaran perkembangan siswa (Yusuf, 2005:31).

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian dan Pengembangan (Research and Development). Borg & Gall (1989:624) menyatakan bahwa “Educational research and development (R&D) is a process used to develop and validate educational products”. Borg & Gall (1989:626) mengemukakan empat tahap utama penelitian dan

(10)

pengembangan, yaitu studi pendahuluan; pengembangan dan validasi model; uji keefektifan model; dan diseminasi/distribusi model. Pada tahap pertama dan kedua, desain yang digunakan adalah kualitatif, sementara untuk tahap ketiga menggunakan desain kuantitatif. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam prosesnya menggunakan desain campuran kualitatif-kuantitatif (Mixed Methods Design) yaitu exploratory mixed methods research design (Creswell, 2008:561). Desain ini diaplikasikan untuk mengeksplorasi suatu fenomena, mengidentifikasi tema-tema, merancang suatu instrument, dan selanjutnya mengujinya.

Secara umum langkah-langkah penelitian dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

TAHAPAN KEGIATAN HASIL Studi Studi Pustaka & Model Pendahuluan Survei Lapangan Hipotetik

Validasi Isi

Pengembangan Validasi Empirik Model Dan Validasi Revisi/Pengembngan Operasional Model

Uji Lapangan Uji Efektifitas Model Operasional Revisi/pengembangan Teruji Model Rekomendasi

Artikel Jurnal Ilmiah

Diseminasi dan Buku Teks Publikasi Distribusi Seminar/Lokakarya Ilmiah Model

Bagan 1: Langkah Penelitian dan Pengembangan

Responden dalam penelitian ini adalah remaja tunarungu yang bersekolah di SLB-B pada jenjang SMLB yang ada di Kota Bandung berjumlah tujuh orang, orangtua siswa tunarungu, kepala sekolah, guru pembimbing, dan wali kelas/guru mata pelajaran.

Pengumpulan data menggunakan angket (kuesioner), observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain gabungan kuantitatif-kualitatif (Mixed Methods Designs).

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tingkat Kemandirian Remaja Tunarungu

Kemandirian remaja tunarungu didasarkan kepada tiga tingkat kemandirian, yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai.

Kemandirian emosional yang dicapai siswa tunarungu sebagian besar berada pada kategori rendah, yaitu pada aspek individuated, non dependency, parent as people.

Sementara untuk aspek De Idealized menunjukkan hasil tinggi atau mandiri. Demikian juga kemandirian perilaku yang dicapai remaja tunarungu pada umumnya berada pada kategori rendah yaitu pada aspek perubahan dalam kemampuan pengambilan keputusan, dan perubahan penyesuaian dan kerentanan pengaruh luar. Untuk aspek kemampuan dalam rasa percaya diri, menunjukkan pencapaian yang tinggi. Data tentang kemandirian nilai memperlihatkan umumnya berada pada kategori tinggi, yaitu aspek Abstract Belief dan Principled Belief dan kategori rendah yaitu Independent Belief.

2. Lingkungan Perkembangan a. Lingkungan Keluarga

Data tentang lingkungan perkembangan remaja tunarungu di rumah mengindikasikan bahwa gambaran yang terjadi baik yang berhubungan dengan iklim psikososial, sosial ekonomi, kehidupan beragama atau pola interaksi yang terjadi, berlangsung dalam situasi kondusif, artinya bahwa dengan didasarkan kepada komitmen, pemahaman atau pola berpikir orangtua yang positif terhadap anak-anaknya memungkinkan mereka berkembang sesuai tugas perkembangan.

b. Lingkungan Sekolah

Data tentang lingkungan perkembangan sekolah, menunjukkan bahwa masing- masing sekolah sudah berupaya memfasilitasi perkembangan siswa tunarungu berdasarkan kemampuan dan kapasitas sekolah tersebut. Gambaran yang paling nyata adalah minimnya kondisi fisik sekolah serta kelengkapan sarana belajar serta sumber daya manusia yang ada terutama kualitas gurunya. Guru lebih memprioritaskan kepada fungsinya sebagai pengajar yang lebih memfokuskan kepada pengembangan akademik (kognitif) dibandingkan kepada pengembangan afektif dan psikomotor. Dalam orientasi pemberian materi pelajaran, guru-guru lebih memprioritaskan kepada pemberian materi keterampilan.

(12)

3. Implementasi Layanan Bimbingan dan Konseling Aktual

Implementasi layanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah untuk siswa tunarungu (SLB-B) belum dilaksanakan dengan baik. Kurang optimalnya layanan bimbingan dan konseling karena belum adanya guru pembimbing yang mampu melaksanakan layanan dengan baik. Layanan bimbingan dan konseling tidak memiliki arah yang jelas serta tidak terjalinnya kesinambungan antara kegiatan bimbingan dengan program yang ada. Pandangan personel sekolah tentang visi dan misi layanan bimbingan dan konseling, bahwa layanan lebih diarahkan kepada salah satu aspek yaitu pengembangan karir sementara aspek dari tugas perkembangan remaja lainnya tidak terakomodasi ke dalam program yang ada. Berhubungan dengan kebijakan, kepala sekolah sebagai fasilitator kurang leluasa didalam menjalankan tugasnya. Belum adanya kesadaran dari pihak yayasan terhadap pentingnya layanan bimbingan konseling serta banyaknya tugas pengajaran yang harus dilaksanakan berpengaruh terhadap kinerja guru pembimbing dan penyediaan fasilitas dan pengadministrasian. Ruang bimbingan dan konseling beserta fasilitas lainnya kurang representatif.

4. Model Bimbingan dan Konseling Kemandirian

Model bimbingan dan konseling kemandirian terdiri dari pedoman/panduan, komponennya yaitu dasar pemikiran, visi dan misi, landasan dan tujuan, serta struktur program bimbingan dan konseling. Model ini dilengkapi dengan program operasional dan satuan layanan, baik layanan dasar bimbingan, layanan responsif, maupun layanan perencanaan individual.

A. Dasar pemikiran

Siswa tunarungu dalam kapasitasnya sebagai remaja umumnya adalah individu yang memiliki kebutuhan dalam pencarian identitas diri. Sebagai remaja yang memiliki hambatan dalam pendengaran, kondisi tersebut berdampak terhadap kemampuan berkomunikasi yang rendah, mereka mengalami keterbatasan dalam penerimaan informasi dari luar. Mereka juga mengalami kesulitan dalam mengembangkan emosi, sosial, akademik dan kepribadiannya. Kondisi atau karakteristik itulah yang menjadikan remaja tunarungu mengalami kompleksitas permasalahan dan kesulitan dalam mengaktualisasikan potensi kemandirian dirinya.

(13)

Proses pencapaian kemandirian siswa tunarungu tidak dapat dilepaskan dari lingkungan siswa. Lingkungan perkembangan siswa tunarungu merupakan peristiwa atau kondisi di luar dirinya yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangannya, baik berupa lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Untuk itu pengembangan lingkungan yang kondusif, merupakan alternatif yang paling tepat. Dengan pengembangan lingkungan yang proporsional dimungkinkan memberi dampak positif terhadap proses dan hasil pencapaian kemandirian. Pemberian layanan bimbingan dan konseling perkembangan kepada siswa tunarungu di sekolah merupakan salah satu wujud pengembangan lingkungan yang proporsional tersebut. Asumsi dasar bimbingan dan konseling perkembangan adalah bahwa perkembangan kepribadian khususnya kemandirian individu yang optimal, dicapai melalui interaksi yang sehat antara individu tersebut dengan lingkungannya (Blocher, 1974:5). Asumsi dasar ini mengandung implikasi bahwa perkembangan kemandirian individu siswa tunarungu merupakan tujuan bimbingan, sementara interaksi yang sehat antara individu siswa dengan lingkungannya termasuk dengan guru pembimbing di sekolah harus diciptakan oleh guru pembimbing tersebut maupun pihak-pihak lainnya yang terkait. .

Dengan demikian, layanan bimbingan dan konseling perlu memiliki berbagai bentuk intervensi yang membantu siswa menjadi pribadi mandiri dan bertanggungjawab untuk mewujudkan diri (self actualization) dan pengembangan kapasitasnya (capacity development) yang dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan melalui bimbingan dan konseling yang memandirikan. Merujuk kepada harapan-harapan dan idealisme di atas, maka upaya meningkatkan kemandirian siswa-siswa tunarungu dan meningkatkan kualitas layanan bimbingan dan konseling di SLB-B, dikembangkan dan diterapkan suatu model layanan bimbingan dan konseling yang dapat memfasilitasi perkembangan kemandirian siswa-siswa tunarungu secara optimal.

Model bimbingan ini bertolak dari beberapa asumsi, yaitu: (1) perkembangan merupakan tujuan bimbingan dan konseling; (2) perkembangan yang sehat terjadi melalui interaksi yang sehat antara individu dengan lingkungannya; (3) hakekat bimbingan terletak pada keterkaitan lingkungan belajar dengan perkembangan individu;

(4) Klien adalah seorang pribadi yang unik, dan berharga yang berjuang untuk

(14)

mengembangkan dirinya; (5) konselor tidak bersifat netral atau a moral, dan memiliki nilai-nilai, perasaan, dan komitmen kepada dirinya.

Berdasarkan dari beberapa asumsi tersebut, maka pendekatan yang relevan untuk model bimbingan ini adalah pendekatan yang berorientasi kepada pengembangan (developmental Educational) - Preventive. Penerapan model ini didasarkan kepada pemikiran bahwa layanan bimbingan dan konseling harus terintegrasi dalam program melalui perencanaan sistematis guna membantu semua siswa tunarungu mengembangkan kompetensi pribadinya terutama pengembangan kemandiriannya, sehingga memiliki kepribadian yang efektif (human effectiveness) melalui upaya menciptakan lingkungan yang memberi kemudahan, kesempatan atau peluang kepada individu untuk belajar dan berkembang sebagai manusia yang utuh dan mandiri.

B. Visi dan Misi Layanan Bimbingan dan Konseling di SLB-B

Visi bimbingan dan konseling di SLB-B adalah pengembangan potensi dan kemampuan kemandirian siswa tunarungu seoptimal mungkin melalui proses belajar secara terintegratif. Misi bimbingan dan konseling adalah memberi kemudahan kepada siswa tunarungu mengembangkan seluruh dimensi kemandiriannya seoptimal mungkin, mengembangkan pemahaman diri dan lingkungannya, bertanggungjawab dan memperoleh keterampilan sebagai bekal hidupnya.

C. Landasan Bimbingan dan Konseling

Landasan penyelenggaraan bimbingan dan konseling didasarkan kepada :

1) Yuridis formal, yang berkaitan dengan perundang-undangan yang menjelaskan kedudukan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan nasional, dan penerapan bimbingan dan konseling di SLB. Perundang-undangan itu meliputi:

Undang-undang No. 20 Tahun 2003, Undang-undang No. 14 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22, 23, 24 Tahun 2006, dan Pedoman Pelaksanaan Kurikulum SLB-B Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan Tahun 1987.

2) Filosofis, yaitu bahwa dalam menyelenggarakan program bimbingan dan konseling perlu memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah negara.

(15)

3) Pedagogis, yaitu bahwa layanan bimbingan dan konseling mengacu kepada perkembangan siswa tunarungu menuju kedewasaan dan kemandirian dengan menekankan pada kegiatan belajar, normatif dan integratif.

4) Psikologis, berkaitan dengan aspek pribadi siswa tunarungu sebagai subjek yang menjadi kepedulian utama bimbingan dan konseling untuk dibantu perkembangannya dengan memperhatikan berbagai latar belakang dan latar depannya.

5) Sosiologis, yang menyangkut kondisi perkembangan masyarakat.

D. Tujuan Bimbingan dan Konseling

Layanan bimbingan dan konseling di SLB-B bertujuan mengembangkan kemandirian secara emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai, memiliki kesadaran tentang diri dan lingkungannya (pendidikan, sosial budaya, agama dan pekerjaan). Secara khusus tujuan layanan bimbingan dan konseling di SLB-B adalah:

(1) memiliki pandangan yang sewajarnya (objektif) terhadap orangtuanya; (2) mengembangkan kemampuan untuk memandang orangtua sebagai orang dewasa umumnya; (3) memiliki kemampuan bersandar pada kemampuan sendiri; (4) mengembangkan perilaku bertanggungjawab; (5) memiliki kemampuan menentukan pilihan dan pengambilan keputusan yang tepat; (6) memiliki kekuatan dan kemampuan penyesuaian terhadap pengaruh luar; (7) memiliki rasa percaya diri; (8) mampu menimbang berbagai kemungkinan; (9) memiliki prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan; (10) memiliki keyakinan diri dan kesadaran akan nilai-nilai E. Komponen Program Bimbingan dan Konseling

Lingkup program layanan bimbingan dan konseling di SLB-B difokuskan kepada tiga komponen, yaitu layanan dasar bimbingan, layanan responsif, dan layanan perencanaan individual.

1. Layanan Dasar Bimbingan

Layanan dasar bimbingan merupakan pelaksanaan bantuan yang diberikan kepada semua siswa tunarungu dengan sistematis dalam rangka pengembangan potensi diri secara optimal. Bertujuan membantu siswa dalam memenuhi kebutuhan secara nyata, memperoleh perkembangan kemandirian, dan memperoleh keterampilan dasar hidupnya. Fungsi layanan dasar bimbingan adalah pengembangan dan preventif. Isi

(16)

materi layanan menyangkut aspek belajar, pribadi sosial, dan karir. Materi layanan dikembangkan kepada kompetensi siswa tunarungu dalam kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai.

Dalam bidang layanan dasar bimbingan ini, peneliti bersama guru pembimbing melaksanakan bimbingan informatif tentang aspek-aspek kemandirian siswa secara kelompok dan klasikal. Layanan ini diberikan kontinyu dan disesuaikan dengan jadwal pelajaran, dimana kegiatannya dapat dilakukan di dalam kelas dan di luar kelas.

2. Layanan responsif

Layanan responsif merupakan layanan bantuan yang diberikan kepada siswa secara sistematis sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang mendesak. Fungsi layanan ini adalah kuratif dan preventif. Tujuan layanan responsif adalah untuk membantu siswa memenuhi tuntutan kebutuhan yang dirasakan saat ini. Lingkup atau aspek yang mendapat layanan responsif adalah bidang pribadi, bidang sosial, karier, dan belajar.

3. Layanan perencanaan individual

Layanan perencanaan individual merupakan proses layanan yang diberikan kepada semua siswa tunarungu secara sistematis untuk dapat memiliki pemahaman diri, perencanaan diri, dan pengembangan potensi secara optimal. Fungsi layanan ini adalah pengembangan dan preventif. Tujuannya adalah membantu siswa-siswa tunarungu baik individual maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Materi layanan perencanaan individual berkaitan dengan materi yang diberikan pada layanan dasar bimbingan. Untuk itu kegiatan para siswa difokuskan kepada upaya sebagai berikut: 1) Menganalisis dan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki siswa menyangkut pencapaian kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai. 2) Merumuskan tujuan dan perencanaan kegiatan yang menunjang pengembangan kemandirian siswa tunarungu. 3) Melaksanakan kegiatan yang telah disesuaikan dengan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan. 4) Mengevaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan.

F. Dukungan sistem

Pengembangan model layanan bimbingan dan konseling sangat menghendaki adanya dukungan sistem untuk memfasilitasi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Dukungan sistem memiliki peran membantu kelancaran pelayanan terhadap

(17)

siswa tunarungu guna memenuhi tuntutan pencapaian kemandirian. Untuk itu perlu ditopang dengan rangkaian-rangkaian kegiatan manajemen yang meliputi: (1) pengembangan program, (2) pengadaan dan pengembangan staf, (3) pemanfaatan sumber daya masyarakat, (4) pengembangan dan penataan kebijakan.

(1) Pengembangan Program

Kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan program layanan adalah: (a) Menyamakan visi dan misi tentang program bimbingan dan konseling yang akan dikembangkan. (b) Merumuskan tujuan program bimbingan dan konseling yang berorientasi kepada pengembangan kemandirian siswa tunarungu. (c) Mengintegrasikan program bimbingan dan konseling ke dalam program pendidikan di SLB-B secara keseluruhan baik dalam pelaksanaan program intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun kegiatan pendidikan lainnya. (d) Merumuskan bidang isi dan jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling agar relevan dengan perkembangan kemandirian siswa tunarungu. (e) Menetapkan jenis layanan bimbingan yang menunjang program layanan.

(f) Melengkapi sarana yang memadai. (g) Mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan.

(2) Pengadaan dan Pengembangan Staf

Deskripsi kerja untuk kepala sekolah, meliputi : (a) mempelajari kelayakan atau keberterimaan isi dan komponen model bimbingan dan konseling yang diajukan, (b) menjaga konsistensi pengembangan visi dan misi layanan bimbingan dan konseling melalui penerapan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan dalam rangka tercapainya tujuan pendidikan, (c) mengkoordinasikan program bimbingan dan konseling bersamaan dengan program pendidikan lainnya, sehingga pelaksanaannya menjadi satu kesatuan yang terpadu, (d) memahami posisi program bimbingan dan konseling sebagai salah satu komponen pendidikan yang harus dilaksanakan di sekolah, (e) melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap guru pembimbing dalam melaksanakan kegiatan layanan bimbingan dan konseling (f) menyediakan tenaga, fasilitas dan berbagai keperluan lain yang berhubungan dengan layanan bimbingan konseling.

Deskripsi kerja untuk guru pembimbing, meliputi: (a) memahami konsep-konsep bimbingan dan konseling serta konsep ilmu pendukung lainnya, (b) memahami karakteristik pribadi siswa dan kebutuhan perkembangan kemandirian siswa, serta

(18)

memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya (c), melaksanakan program layanan bimbingan dan konseling (d) mengembangkan materi dan format-format yang diperlukan dalam pelaksanaan program layanan, (e) mengevaluasi program layanan baik proses (keterlaksanaan kegiatan), maupun hasil (perubahan sikap dan perilaku mandiri siswa), (f) menindaklanjuti hasil yang telah dievaluasi (g) bekerjasama dengan unsur- unsur terkait di sekolah, (h) menjadi konsultan bagi guru atau orangtua siswa, (i) menampilkan sikap, pribadi, kemauan, kemampuan sebagai seorang konselor (guru pembimbing) profesional, dan (j) membuat laporan kepada kepala sekolah.

(3) Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat

Guru pembimbing dapat bekerjasama dengan pihak-pihak seperti (a) instansi pemerintah (Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Pendidikan), (b) Organisasi profesi (APPKhI, ABKIN), Dewan Nasional Indonesia Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC), Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN), Federasi Nasional Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (FNKTRI) (c) perusahaan-perusahaan, Home Industri, lembaga penyelenggara kursus atau les (d) para ahli bidang tertentu (psikolog, dokter THT), dan orangtua.

(4) Pengembangan Kebijakan Sekolah

Kebijakan-kebijakan relevan yang dapat dilakukan kepala sekolah, yaitu: (a) Menata struktur organisasi, (b) Rekruitmen tenaga pembimbing profesional dan pengembangan staff bimbingan, (c) Memberikan waktu khusus (penjadwalan) bagi guru pembimbing untuk melaksanakan layanan bimbingan yang bersifat klasikal dan individual, (d) Mengalokasikan biaya operasional bimbingan dan konseling, (e) Mengembangkan kualitas guru pembimbing untuk dapat bekerja secara profesional, melalui keikutsertaan dalam kegiatan penataran, lokakarya, pelatihan (in service training) (f) Menyediakan sarana dan prasarana memadai untuk kelancaran proses bimbingan dan konseling, (g) Membangun kerjasama yang baik dengan unsur-unsur terkait secara resmi dalam kaitannya dengan kebutuhan layanan bimbingan dan konseling.

(19)

5. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling

Hasil uji efektivitas model tentang perkembangan kemandirian emosional, kemandirian perilaku maupun kemandirian nilai siswa atau remaja tunarungu terjadi peningkatan. Nilai yang didapat dari hasil pra uji (pre test) sebesar 1492, sementara nilai pasca uji (post tes) sebesar 1680. Ada perubahan atau peningkatan skor sebesar 188 (12,6%). Untuk rata-rata skor kemandirian remaja sebelum diberikan layanan bimbingan dan konseling sebesar 99,47 dan rata-rata skor setelah diberikan layanan bimbingan dan konseling sebesar 112. Demikian juga berdasarkan sebaran tingkat kemandirian siswa tunarungu, terjadi perubahan sebaran yang asalnya cenderung berada pada kategori rendah meningkat kepada kemandirian pada tingkat kualifikasi tinggi.

Dengan demikian, model ini memberi efek positif yang ditandai dengan peningkatan kemandirian dan terjadi perubahan yang berarti.

Berdasarkan temuan dalam penelitian ini tampak personel sekolah cukup mampu menciptakan lingkungan perkembangan siswa tunarungu, dan dampak dari penciptaan lingkungan ini adanya perubahan kemampuan siswa tunarungu pada hampir seluruh aspek perkembangan kemandiriannya. Adanya efektivitas penerapan model bimbingan terlihat dari penilaian yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru pembimbing dan guru bidang studi) terhadap dampak pelaksanaan model bimbingan di SLB-B dan memberi penilaian yang cukup terhadap perilaku kemandirian siswa tunarungu.

KESIMPULAN

Secara umum, studi ini telah mencapai tujuannya, yakni menemukan model bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kemandirian siswa/remaja Tunarungu di SLB-B. Model ini meliputi beberapa komponen, yaitu : dasar pemikiran, visi dan misi, landasan dan tujuan, dan struktur program layanan. Secara spesifik, kesimpulan- kesimpulan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

Pertama, para siswa tunarungu di SLB-B belum mencapai perkembangan kemandirian (kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai) secara utuh dan optimal. Terjadinya diskontinuitas perkembangan ini disebabkan oleh iklim atau atmosfir lingkungan keluarga, dan sekolah yang belum berfungsi secara

(20)

optimal sebagai lingkungan perkembangan siswa tunarungu. Program layanan bimbingan dan konseling di sekolah yang diharapkan mampu menciptakan iklim yang memfasilitasi perkembangan siswa, ternyata belum tertata secara profesional.

Kedua, model yang ditemukan merupakan representasi dari upaya penataan lingkungan perkembangan yang dirancang sebagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan siswa tunarungu secara optimal, dan mencegah terjadinya diskontunuitas perkembangan siswa. Melalui proses uji kelayakan, model ini terbukti telah memberikan dampak positif terhadap pengembangan kemandirian siswa tunarungu dan peningkatan kualitas layanan bimbingan di SLB-B.

Ketiga, model ini mempunyai ciri-ciri (1) program bimbingan dirancang berdasarkan pengkajian konseptual, dan penelitian tentang kondisi objektif lapangan, baik menyangkut ketercapaian perkembangan kemandirian, lingkungan perkembangan, maupun implementasi layanan bimbingan dan konseling di SLB-B; (2) tujuan bimbingan diarahkan untuk menata lingkungan yang memfasilitasi atau memberikan peluang kepada siswa tunarungu untuk mengembangkan tugas kemandiriannya; (3) struktur layanan bimbingan terdiri atas layanan dasar bimbingan, layanan responsive, layanan perencanaan individual, dan layanan dukungan sistem; (4) guru pembimbing berperan sebagai psikoedukator, perekayasa lingkungan, dan ahli dalam tugas perkembangan kemandirian; dan (5) program bimbingan merupakan bagian terpadu dari program pendidikan di sekolah, sehingga pelaksanaanya dilakukan oleh semua personel sekolah sesuai dengan kinerja dan kapasitasnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, I. D. (2002). Program Bimbingan dan Konseling bagi Siswa Tunarungu. Tesis.

Bandung: Program Pascasarjana UPI.

Blocher, D. H. (1997). Development Counseling. (second ed). New York: John Wiley &

Sons.

Borg, R. W & Gall, M. D. (1989). Educational Research; An Introduction, Fifth Edition: New York/London: Longman Inc.

Bowers, J. L. & Hatch, P. A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. Washington DC: American School Counselor Association Press.

(21)

Creswell, J.W. (2008). Educational Research: Planning, Constructing, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Moores, D. F. (1982). Educating The Deaf, Psychology, Principles, Practices. Boston:

Houghton Mifflin Company.

Muro, J. S & Kottman, T. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle School A Practical Approach. Iowa: WmC. Brown Communication, Inc.

Natawidjaja, R. (1990). Fungsi dan Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Pendidikan pada FIP IKIP Bandung.

Neely, M. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Student. Illionis:

The Dorsey Press Homewood.

Shretzer, B. & Stone, S.C. (1982). Fundamental of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sprinthall, N. A. & Collins, W. A. (1995). Adolescent Psychology: A Developmental View Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Steinberg, L. (1993). Adolescence. International Edition Third Edition. New York:

McGraw-Hill, Inc.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Yusuf , Syamsu. (1998). Model Bimbingan dan Konseling dengan Pendekatan Ekologis.

Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana, UPI Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar Kawasan Tahura adalah hasil hutan bukan kayu yaitu bambu regen, bambu bulak, 130 jenis tumbuhan

memerlukan perencanaan dan pelaksaan yang cukup rinci terutama pada analisis tugas, sehingga dengan demikian pada pembelajaran langsung dapat: 1) merumuskan tujuan

Namun sayangnya Guiness Book Record dunia mencatatkan bahwa Indonesia adalah sebuah Negara dengan laju pengurangan luas hutan terbesar di Dunia yang berkurang selaus 1,8 juta Ha

(hakim konstitusi) pada saat memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

[r]

It has been argued that learners of English must be made consciously aware of the differences in certain speech acts when used by a native speaker of English and by a second

Murid yang mengikuti kurikulum standard RBT akan lebih terdedah kepada aspek mereka bentuk dan menggunakan bahan serta teknologi semasa menghasilkan projek.. Proses

12 Tahun 2012 tentang Pendidkan Tinggi Penjaminan mutu dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan (PPEPP) standar Pendidikan