• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL SKRIPSI POLA ASUH KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SOPAN SANTUN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DESA MANGUREKSO. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROPOSAL SKRIPSI POLA ASUH KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SOPAN SANTUN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DESA MANGUREKSO. Oleh"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

POLA ASUH KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SOPAN SANTUN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DESA MANGUREKSO

Oleh

NUR AFIPAH TANIA DWI SAFITRI NIM 201833069

PROGRAM STUDI PENDIDIKA GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUA DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS 2022

(2)

ii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II ... 8

KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1 Deskripsi Konseptual ... 8

2.1.1 Pola Asuh ... 8

2.1.2 Karakter Sopan Santun ... 17

2.1.3 Implementasi Karakter Sopan Santun ... 23

2.2 Kajian Penelitian Relevan ... 24

2.3 Kerangka Berpikir ... 29

BAB III ... 31

METODOLOGI PENELITIAN ... 31

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2 Subjek Penelitian ... 31

3.3 Pedekatan dan Jenis Penelitian ... 33

3.4 Peranan Peneliti ... 34

3.5 Data dan Sumber Data ... 35

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 36

3.7 Instumen Penelitian ... 38

3.8 Keabsahan Data ... 40

3.9 Analisis Data ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(3)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang paling utama dan pertama (Munib, 2012: 72). Peran orang tua dalam keluarga sangat penting karena anak pertama kali mendapatkan bimbingan atau pendidikan dari orang tua. Dalam perhitungan waktu anak lebih lama berada di rumah dibandingkan di sekolahan. Keluarga memerankan komponen yang penting dalam mengambil peran sebagai media sosialisasi yang pertama bagi seorang anak terutama orang tua. Pemimpin yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap perkembangan seorang anak adalah orang tua.

Tugas orang tua menurut Daradjat (2008: 36) ialah sebagai pendidik atau guru yang pertama dan utama untuk anak-anak dalam mengembangkan dan menumbuhkan karakter bagi anak. Seluruh kewajiban yang diterapkan kepada anak dalam pembentukan kepribadian dan karakter yang telah disesuaikan dengan acuan norma-norma dan nilai agama yang ada dalam masyarakat. Maka dari itu, orang tua memiliki peran yang penting dalam memberikan cerminan yang baik dengan upaya mengenalkan nilai-nilai dasar penting melalui pembiasaan. Pembiasaan-pembiasaan tersebutlah salah satu bentuk dari pola asuh. Cara orang tua dalam membimbing dan mendidik anak ialah bentuk dari pola pengasuhan orang tua.

Pola asuh adalah sikap orang tua dalam membimbing, berinteraksi, mendidik, serta membina anaknya dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan anak-anaknya menjadi anak yang sukses dalam menjalani kehidupan. Djamarah (2014: 51) mengemukakan bahwa pola asuh yaitu orang tua yang melakukan kebiasaan dalam menjaga, membimbing dan memimpin anak secara konsisten yang telah dilakukannya sejak lahir sampai remaja dan membentuk perilaku

(4)

anak sesuai dengan kehidupan masyarakat serta sesuai dengan norma dan nilai yang baik. Dalam hal ini berkaitan dengan pendapat Euis (2004: 18) pola asuh adalah serangkaian interaksi yang intensif, orang tua memfokuskan anak untuk memiliki kecakapan hidup. Bentuk-bentuk pola asuh dalam keluarga dapat memberi pengaruh panjang kepada perkembangan emosi dan fisik anak. Pola asuh keluarga yang diterapkan pada anak dapat memberikan dampak positif maupun negatif

Santrock (2002: 257-258) pola asuh ada tiga macam yaitu pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, dan pola asuh premisif: Pola asuh demokrasi, yaitu pola asuh ini orang tua yang mendorong anak-anaknya agar mandiri tapi memberikan batas-batas dalam pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.

Musyawarah verbal dimungkinkan dengan adanya keharmonisan keluarga dan kasih sayang yang dapat diperlihatkan. Keluarga yang demokratis biasanya anak tersebut memiliki harga diri, kercayaan diri yang tinggi dan menunjuk perilaku yang terpuji. Pola asuh otoriter merupakan pola asuh jenis yang menuntut agar anak tunduk dan patuh kepada semua perintah maupun aturan yang telah dibuat orang tua tanpa ada kebebasan untuk mengemukakan pendapat sendiri maupun bertanya. Sedangkan pola asuh premisif adalah pola asuh dimana orang tua sangat berpengaruh dalam kehidupan anak-anaknya, tapi hanya menetapkan sedikit batas maupun kendali kepada anak mereka. Orang tua lebih cenderung membiarkan anak-anaknya melakukan apa yang mereka mau, sehingga perilaku anak tidak mampu dikendalikan atau tidak mampu untuk menaruh hormat kepada orang lain. Jadi dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh yaitu upaya atau bentuk cara orang tua dalam memberikan perlakuan, perhatian, serta mendidik anak dalam lingkungan keluarga yang dapat memberikan dampak terhadap seorang anak akan terbentuknyan karakter dan pengetahuan sesuai dengan pola asuh yang telah diterapkan oleh orang tua.

(5)

Setiap keluarga memiliki pola asuh dan cara yang berbeda dalam membimbing dan mendidik anak. Oleh karena itu, perlakuan orang tua sangat berpengaruh untuk anak sejak dini pada perkembangan karakter anak di masa dewasanya. Perkembangan karater inilah yang akan menubuhkan sikaf, watak, dan sikap anak nantinya. Akan tetapi ada beberapa faktor lain, bukan hanya bagaimana orang tua mendidik di dalam lingkungan keluarga, namun di lingkungan masyarakat mereka tinggal juga berdampak dalam keberhasilan pola asuh (Yusuf, 2008: 59). Tidak menjadi hal yang tabu lagi kalau lingkungan pergaulan cukup berkontribusi pada perkembangan karakter seorang anak.

Dalam hal inilah sangat pentingnya pola asuh keluarga yang seharusnya diperluhkan aturan yang benar serta memiliki kekuatan kemudian dapat mengikat seluruh anggota keluarga dalam melaksanakan dan mematuhinya dengan baik.

Pola asuh keluarga adalah dasar dalam membekali generasi muda dengan budi pekerti luhur sehingga manusia yang berkarakter serta pondasi dalam pembentukan manusia di masa depan. Akan tetapi seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan zaman diera ini, menjadikan nilai-nilai karakter yang telah diterapkan sejak dini mulai pudar, bahkan menghilang dan tergantikan dengan budaya dari luar atau budaya yang tidak seharusnya di terapkan. Salah satunya ialah penyimpangan budaya, terutama pada budaya sopan santun.

Sopan santun adalah perwujudan budi pekerti luhur yang didapatkan melalui pendidikan, teladan, dan pengalaman dari orang tua, guru, serta tokoh- tokoh masyarakat lainnya. Sopan santun ialah tata karma dalam kehidupan sehari-hari atau kebiasaan sebagai gambaran kepribadian dan budi pekerti luhur. Suwandi (2013: 105) mengemukakan bahwa kesantunan (politeness) atau kesopan santunan atau etiket adalah cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Sopan santun yang diterapkan yaitu sopan santun dalam bertingkah laku, sopan santun dalam berbicara, dan sopan santun dalam

(6)

berbicara. Contohnya seperti anak dibimbing dan dididik untuk menghormati orang yang lebih tua, bersikap ramah dengan tetangga, menyayangi yang lebih muda dan berbicara dengan menggunakan Bahasa yang sopan santun. Menurut pendapat Adisusilo (2014: 54) bahwa sopan santun merupakan peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok orang. Sopan santun ialah sebutan dari bahasa jawa yang berarti sebagai perilaku seorang yang menjunjung nilai- nilai unggah-ungguh. Sedangkan menurut Zuriah (2007: 139) mengemukakan bahwa sopan santun adalah norma tidak tertulis yang mengatur bagaimana seharusnya berperilaku dan bersikap. Sopan santun terwujud oleh kebiasaan masyarakat di daerah tertentu namun pada umunya tidak tertulis, akan tetapi menjadi kebiasaan yang lisan, yang kalau dilanggar akan mendapatkan cemooh atau kritikan dari masyarakat, namun jika diikuti maupun ditaati akan mendapatkan pujian dari masyarakat.

Dari beberapa peneliti yang telah dilakukan sebelumnya, dapat diketahui bahwa penelitian dari anita pada tahun 2019 yang berjudul Pola Asuh Orang Tua Dalam Mendidik Anak Di Desa Sumber Agung Kecamatan Rimbo Ilir Kabupaten Tebo. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa bentuk pola asuh orang tua di Desa Sumber Agung menggunakan pola asuh permisif dan kekerasan, dan cara orang tua mendidik anak-anak mereka dengan melepaskan semua urusan Pendidikan ke lembaga saja tanpa di bantu dengan didikan di rumah. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Sarifah Inayah pada tahun 2019 yang berjudul Upaya Guru Kelas Dalam Membentuk Karakter Sopan Santun Siswa Kelas II Di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kota Jambi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan guru kelas dua MIN kota Jambi dalam pembentukan karakter sopan santun adalah memberi pengertian untuk selalu menghargai orang yang lebih tua, menegur anak yang berbicara tidak sopan, memberikan contoh tindakan sopan santun, kepada siswa sebelum pelajaran dimulai. Hambatan yang dihadapi guru dalam pembentukan karakter adalah kurang rasa percaya diri pada siswa, kurang perhatian dari orang tua dan

(7)

guru harus lebih sabar dalam menghadapi siswa. Solusi yang dilakukan guru kelas yakni mengajari anak dengan penuh kasih saying dan perhatian karena sebagai guru sudah sewajarnya menjadi contoh yang baik bagi siswanya.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada hari kamis 6 januari 2022 oleh peneliti di Desa Mangunrekso, tugas keluarga dalam membentuk karakter sopan santun anak masih rendah atau kurang maksimal. Dalam hal ini terbukti dengan adanya beberapa anak usia sekolah dasar yang kurang menghormati atau menghargai guru maupun orang yang lebih tua. Anak-anak semakin tidak bisa berbicara dengan menggunakan bahasa yang baik atau belum bisa bertutur kata dengan baik serta mereka cenderung bersikap acuh tak acuh atau cuek.

Ketika mereka berjumpa dengan gurunya maupun bertemu dengan tetangganya yang lebih tua, anak cenderung bersikap pura-pura tidak melihat atau cuek dan tidak mau menyapa. Namun tidak banyak juga ada anak yang berani bersalaman dan menyapa sambil mengucap” Assalamualaikum bu, selamat siang bu, sedang apa bu?”. Ada juga beberapa anak ketika sedang berjalan melewati orang yang lebih tua asal nyelonong saja atau asal lewat saja tanpa tahu sikap apa yang harus dilakukan. Misalnya ketika melewati orang yang lebih tua kita harus membungkukkan badan sambil berbicara “ Amit pak, bu atau permisi”.

Sebagian besar pekerjaan orang tua di Desa Mangunrekso yaitu petani, pedagang, kuli bangunan, Pegawai Negeri Sipil, dan perantauan. Dengan alasan pekerjaan inilah membuat orang tua tidak dapat maksimal dalam membimbing dan mengasuh anak mereka. Tidak sepenuhnya pengasuhan orang tua itu menjadikan anak mudah terpengaruh oleh lingkungan pergaulannya. Setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda, karena itu pola asuh orang tua setiap keluarga yang berbeda juga. Jika karakter anak telah diterapkan sejak usia dini, ketika anak dewasa tidak mudah terpengaruh meskipun banyak rayuan maupun godaan. Apabila anak sedang diluar rumah, anak akan terbiasa dengan karakter yang telah ditanamkan sejak dini oleh orang tuanya di rumah.

(8)

Dalam melahirkan anak yang memiliki jiwa sosial emosional yang baik membutukan waktu dan proses yang lama tidak mungkin dapat terbentuk dalamwaktu yang singkat. Maka dari itu, mendidik anak membutukan kesabaran dan orang tua harus mempunyai kepekaan terhadap anak (Djamarah, 2014: 29).

Nilai karakter yang didapatkan oleh anak dari pola asuh keluarga akan menjadikan pondasi dan dikembangkan pada kehidupan yang akan datang.

Kepribadian atau perilaku orang tua sangat berdampak terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak mereka, salah satunya pada karakter sopan santun anak.

Pola asuh keluarga menjadi persoalan yang penting dan mendasar yang perlu kita perhatikan. Sehingga hal inilah yang mendorong peneliti ingin melakukan penelitian yang berjudul “Pola Asuh Keluarga dalam Pembentukan Karakter Sopan Santun pada Anak Sekolah Dasar di Desa Mangunrekso”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis akan merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pola asuh keluarga dalam pembentuk karakter sopan santun pada anak sekolah dasar di Desa Mangunrekso?

2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh dalam pembentukan karakter sopan santun pada anak sekolah dasar di Desa Mangunrekso?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis pola asuh keluarga dalam pembentukan karakter sopan santun pada anak sekolah dasar di Desa Mangunrekso.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh dalam pembentukan karakter sopan santun pada anak sekolah dasar di Desa Mangunrekso.

(9)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan serta informasi terhadap pentingnya pola asuh keluarga dalam pembentukan karakter sopan santun pada anak yang diterapkan sejak dini.

2. Manfaat Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan mampun memberikan manfaat praktis bagi orang tua, anak usiasekolah dasar dan bagi peneliti lain.

a. Bagi Anak Usia Sekolah Dasar

Diharapkan dapat memberikan efek positif untuk anak-anak agar menjadi manusia yang berkarakter, terutama pada karakter sopan santun yang mulai pudar dikarenakan pengaruh kemajuan zaman.

b. Bagi Orang tua anak

Penelitian ini dapat dijadikan tujuan orang tua dalam memberikan pengasuhan terhadap anak mereka. sehingga dapat menjadikan bahan acuan untuk mengarahkan anak ke hal yang lebih baik. Orang tua dapat mengetahui bagaimana upaya menerapkan pola asuh anak sejak kecil sehingga dapat menwujudkan generasi yang berkarakter sopan santun dan unggul.

c. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan mampu memberikan wawasan serta referensi pengetahuan tentang pola asuh dalam keluarga untuk membentuk karakter sopan santun pada anak.

(10)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Konseptual

Dalam deskripsi konseptual ini akan diuraikan mengenai (1) pola asuh (2) karakter sopan santun (3) implementasi karakter sopan santun pada anak usia dini.

2.1.1 Pola Asuh

2.1.1.1 Pengertian Pola Asuh

Pola asuh terdiri atas dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pola berarti model, sistem, atau cara kerja. Sedangkan asuh berarti “menjaga, merawat, mendidik, membimbing, membantu, melatih, dan mengasuh. Agustiawati (2014: 35) mengemukakan bahwa: “Pola asuh sendiri memiliki definisi bagaimana orang tua memperlakukan anak, membimbing, mendidik, dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan, hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya”.

Pola asuh menurut Sunarty (2016) yaitu diartikan sebagai perlakuan orang tua terhadap anak dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar, mendidik, membimbing, melatih, yang terwujud dalam bentuk pendisiplinan, pemberian tauladan, kasih sayang hukuman, ganjaran, dan kemimpinan dalam keluarga melalui ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang tua. Euis (2004: 18) mengemukakan bahwa pola asuh merupakan serangkaian interaksi yang intensif, orang tua mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup. Hal ini berkaitan dengan pendapat Maccoby (2007: 38) mengatakan istilah pola asuh orang tua untuk menggambarkan interaksi orang tua dan anak-anak yang di dalamnya orang tua mengekspresikan sikap-sikap atau perilaku, nilai-nilai, minat dan harapan-harapannya dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

(11)

Menurut pendapat Hasan (2009: 21) pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua, yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan non fisik (seperti perhatian, empati, kasih sayang dan lain-lain. Sedangkan pola asuh menurut Gunawan (2005: 55) bahwa pola pengasuhan adalah proses memanusiakan atau mendewasakan manusia secara manusiawi, yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta perkembangan zaman.

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh yaitu perlakuan khas atau selaga bentuk ekspresi orang tua dalam membimbing, memelihara, mengawasi, menjaga, serta mendidik anak- anaknya sehingga dapat mempengaruhi kehidupan bermasyarakatnya maupun jiwa sosial emosional anak sejak dini hingga dewasa nantinya.

2.1.1.2 Macam-Macam Pola Asuh

Pola asuh yang ditanamkan oleh setiap orang tua memiliki ciri masing- masing. Hamzah B. Uno (2006: 70) mengatakan bahwa para peneliti yang mempelajari reaksi orang tua terhadap anak-anaknya menemukan ada tiga gaya umum dalam menjalani perannya sebagai orang tua yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif.

Santrock (2002: 257-258) mengemukakan bahwa ada tiga macam-macam bentuk pola asuh meliputi otoriter, demokratis, permisif dan penelantaran sebagai berikut:

1) Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter merupakan suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sendiri, anak dijadikan sebagai miniatur hidup dalam pencapaian misi hidupnya menurut pendapat Santrock (2002: 257-258).

Rosyadi (2013: 23-24) pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anakya dengan aturan-aturan yang ketat, sering kali

(12)

memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Adek (2008) pola asuh otoriter dapat mengasilkan karakteristik anak yang penakut, tertutup, pendiam, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

Janet Kay ( 2013: 44) mengatakan bahwa orang tua yang otoriter mempunyai harapan yang sangat tinggi pada anak-anaknya. Batasan perilaku sangat jelas namun cenderung ditentukan secara sepihak oleh orang tua tanpa melalui proses berdiskusi dengan anak. Hukuman kerap diterapkan dan bahkan digunakan sebagai metode yang kasar dan keras. Orang tua cenderung kurng tanggap dan hangat dalam merespon kebutuhan anak.

Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh otoriter merupakan bentuk pola asuh orang tua yang memegang penuh kendali tanpa adanya diskusi maupun bertanya kepada anaknya yang berarti anak tidak mempunyai kebebasan dalam mengemukakan pendapatnya sendiri.

2) Pola Asuh Demokratis

Edwards (2012: 216) mengemukakan bahwa pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak-anaknya, kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu bergantung terhadap orang tua. Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan dan mencukupi anak-anaknya dengan mempertimbangkan faktor kepentingan dan kebutuhan. Pola asuh orang tua jenis ini juga memberikan sedikit kebebasan terhadap anak dalam memilih apa yang diinginkan dan apa yang dikehendaki yang terbiak untuk dirinya, anak di dengarkan dan diperhatikan jika berbicara dan apabila anak berpendapat, orang tua mau mendengarkan pendapatnya, anak dilibatkan dalan pembicaraan terutama menyangkut kehidupan anak itu sendiri.

Menurut Shapiro (1999: 28) mengatakan “Dalam hal belajar orang tua demokratis menghargai kemandirian, memberikan dorongan dan pujian. Hal ini

(13)

sejalan dengan pendapat Helmawati (2014: 139) pola asuh demokratis menggunakan komunikasi dua arah. Kedudukan antara orang tua dan anak dalam berkomunikasi yang sejajar. Sesuatu keputusan yang diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberikan kebebasan dalam bertanggung jawab. Jadi berarti, apa yang dilakukan anak tetap ada di bawah pengasuhan oang tua dan dapat dipertanggung jawabkan.

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh demokratis yaitu pola asuh yang dimana orang tua memberikan kesempatan terhadap anak-anaknya dalam memilih atau menentukan yang terbaik untuk kehidupannya akan tetapi orang tua tetap bertanggung jawab.

Dengan demikian anak akan merasa aman, nyaman serta penuh kasih sayang.

3) Pola Asuh Permisif

Edwards (2012: 216) pola asuh permisif yaitu aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apapun yang dilakukan anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menurut seluruh kemauan anak, anak lebih cenderung semena-mena, tanpa batasan dan pengawasan orang tua. Anak bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Sisi negatif dari pola asuh ini, anak kurang disiplin dengan aturan sosial yang berlaku di masyarakat. Apabila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seseorang yang kreatif, mandiri dan inisiatif.

Anak yang diasuh secara permisif mempunyai kecenderungan kurang berorientasi pada prestasi, egois, suka memaksakan keinginannya, kemandiriannya rendah, serta kurang bertanggungjawab menurut Lutvita (2008).

Sedangkan menurut Shapiro (1999: 127-128) mengatakan bahwa orang tua permisif berusaha menerima dan mendidik anaknya sebaik mungkin tapi cenderung sangat pasif ketika sampai pada masalah penetapan batas-batas atau menanggapi tindakan patuhan.

Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh permisif merupakan pola asuh orang tua yang memberikan

(14)

kebebasan penuh kepada anak dimana orang tua berharap hal yang baik untuk anaknya namun malah cenderung kurang memperhatikan tingkah laku anak- anaknya dalam kehidupan sosialnya.

2.1.1.3 Kelebihan dan Kekurangan Tipe Pola Asuh

Pola asuh yang ditanamkan keluarga dalam mengasuh anak tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan pada setiap tipe pola asuh. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan tipe-tipe pola asuh:

1) Kelebihan dan Kekurangan Tipe Pola Asuh Otoriter

 Kelebihan tipe pola asuh otoriter

a. Anak benar-benar patuh terhadap orang tua dan tidak berani melanggar peratura yang telah ditentukan dan digariskan orang tua sehingga apa yang diperintahkan orang tua selalu dilaksanakan.

b. Anak benar-benar disiplin.

c. Anak memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap orang tua.

d. Anak memiliki tanggung jawab karena takut dikenai hukuman.

 Kekurangan tipe pola asuh otoriter

a. Sifat pribadi anak biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, dan ragu-ragu dalam semua Tindakan.

b. Anak memiliki sifat pasif karena takut salah dan dikenai hukuman.

c. Pemalu dan ketinggalan pergaulan dengan teman-temannya (Ahmad, 1991: 112).

Dari pendapat ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa kelebihan tipe pola asuh otoriter yaitu anak menjadi bertanggung jawab, patuh terhadap orang tua, mematuhi aturan-aturan yang telah diterapkan orang tua, serta anak menjadi disiplin. Sedangkan kekurangan tipe pola asuh otoriter yakni anak merasa tertekan atau terkekang dikarenakan anak tidak diberi kebebasan sama sekali dan bersikap pasif.

(15)

2) Kelebihan dan Kekurangan Tipe Pola Asuh Demokratis

 Kelebihan tipe pola asuh demokratis

a. Sikap pribadi anak lebih dapat menyesuaikan diri b. Mau menghargai pekerjaan orang lain.

c. Menerima kritik dengan terbuka.

d. Aktif di dalam hidupnya.

e. Emosi lebih stabil.

f. Mempunyai rasa tanggung jawab.

 Kekurangan tipe pola asuh demokratis

a. Pada saat anak berbicara, anak kadang lepas control dan terkesan kurang sopan terhadap orang tuanya.

b. Kadang-kadang antara anak dan orang tua terjadi perbedaan sehingga lepas kontrol yang menimbulkan suatu percekcokan (Ahmad, 1991:

112).

Dari pendapat ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa kelebihan tipe pola asuh demokratis yaitu anak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri sehingga anak akan merasa nyaman dan menjadikan pribadi yang menyenangkan. Sedangkan kekurangannya yaitu ketika anak merasa terlalu nyaman, anak dapat lepas kontrol sehingga tidak menutup kemungkinan anak akan bersikap kurang sopan.

3) Kelebihan dan Kekurangan Tipe Pola Asuh Laisses Faire

 Kelebihan tipe pola asuh Laisses Faire

a. Anak tidak memiliki rasa takut terhadap orang tua, dikarenakan orang tua jarang memberikan hukuman atau teguran, sehingga memiliki kreasi dan inisiatif untuk mengurus dirinya sendiri.

b. Anak memiliki sifat mandiri, tidak tergantung oleh orang tua

c. Kejiwaan anak tidak mengalami goncangan atau tekanan sehingga mudah bergaul dengan sesamanya.

(16)

 Kekurangan tipe pola asuh Laisses Faire

a. Anak sering bersikap manja, malas-malasan, nakal, dan berbuat semaunya.

b. Karena anak selalu diberikan kelonggaran, sehingga seringkali disalahgunakan dan disalahartikan dengan berbuat sesuai keingginannya.

c. Hubungan antara anggota keluarga sering terkesan kurang adanya perhatian.

d. Anak senantiasa banyak menuntut fasilitas kepada orang tua.

e. Terkadang anak menyepelekan perintah orang tua (Munandar, 1992: 99) Dari pendapat ahli tersebut, maka peneliti akan menyimpulkan bahwa kelebihan tipe pola asuh laisses faire yaitu anak memiliki kebebasan penuh sehingga anak akan bersikap mandiri dan anak tidak mengalami tekanan.

Sedangkan kekurangannya yaitu hubungan seorang anak dan orang tua terkesan kurang harmonis karena anak kurangnya perhatian dengan demikian anak akan bersikap malas-malasan, dan anak akan menjadi nakal akibat diberinya kelonggaran atau kebebasan penuh.

2.1.1.4 Fungsi dan Peran Serta Orang Tua

Jannah (2017) mengemukakan bahwa bimbingan pola asuh orang tua menentukan perkembangan sosial dan emosionalnya, kedekatan orang tua sangat mempengaruhi bagaimana anak bersosialisasi dengan orang lain, berakhlak, mengendalikan emosi, menyelesaikan masalah, bertanggung jawab, mandiri, serta bagaimana anak bertindak dan bertingkah laku yang sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut pendapat Shochid (2014: 21) bahwa ketelibatan orang tua dalam bimbingan dan pendidikan anak sangat diperlukan. Peran orang tua yang dapat diberikan pada usia dini yaitu:

1. Melatih anak-anak dalam suatu hal.

(17)

2. Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan norma.

3. Perlu adanya kontrol orang tua untuk mengembangkannya.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa fungsi dan peran orang tua sangat penting dalam mendidik dan membimbing anak dikarenakan anak dibiasakan untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

2.1.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan pola asuh orang tua. Suwandi (2013: 22) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam menerapkan pola asuh kepada anak-anaknya, meliputi:

a. Usia orang tua

Pasangan orang tua yang masih usia muda lebih cenderung dalam menerapkan pola asuh demokratis dan permisif kepada anak-anaknya.

Dalam hal ini orang tua muda lebih bisa terbuka dan berdialog dengan baik pada anak-anaknya. Pasangan dengan usia yang lebih tua biasanya cenderung lebih keras dan bersikap otoriter terhadap anak-anaknya, dimana orang tua lebih dominan dalam mengambil keputusan karena orang tua merasa sangat berpengalaman dalam memberikan pengasuhan dan penilaian pada anak-anak mereka.

b. Status ekonomi keluarga

Kondisi ekonomi keluarga kelas menengah ke bawah cenderung lebih keras terhadap anaknya dan lebih sering menggunakan hukuman fisik. Keluarga ekonomi kelas menengah cenderung lebih memberikan pengawasan dan perhatian sebagai orang tua. Sementara keluarga ekonomi kelas atas cenderung lebih sibuk untuk urusan pekerjaannya sehingga anak sering terabaikan.

c. Tingkat Pendidikan

(18)

Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan mengikuti kursus dalam mengasuh anak lebih menggunakan teknik pengasuhan yang demokratis dibandingkan dengan orang tua yang tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam mengasuh anak.

d. Usia anak

Orang tua cenderung otoriter terhadap anak yang sudah remaja disbanding anak yang masih kecil karena pada umumnya anak kecil masih begitu patuh terhadap orang tua, disbanding remaja yang mendesak untuk mandiri sehingga menyebabkan kesulitan dalam pengasuhan.

e. Jenis kelamin anak

Orang tua cenderung bersikap protektif terhadap anak perempuan. Remaja perempuan lebih mudah terpengaruh dari lingkungan yang buruk dan banyak bahaya yang mengancam.

Menurut pendapat Hurlock (1997: 234) ada beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi pola asuh orang tua, antara lain:

a. Kepribadian orang tua

Kepribadia orang tua yaitu bagaimana pengalaman pola asuh yang telah didapatkan orang tua.

b. Jumlah anak

Jumlah anak akan menentukan pola asuh yang telah diterapkan orang tua.

Orang tua yang memiliki banyak anak (keluarga besar) cenderung mengasuh dengan pola asuh yang berbeda-beda. Sedangkan orang tua yang hanya memiliki sedikit anak, maka orang tua akan cenderung lebih intensif dalam mengasuh.

Dalam hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2002) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola asuh orang dalam keluarga , meliputi:

a. Penurunan metode pola asuh yang didapatkan sebelumnya

Orang tua menerapkan pola asuh kepada anak berdasarkan pola pengasuhan yang didapatkan sebelumnya.

(19)

b. Perubahan budaya

Dalam hal pengasuhan seperti nilai, norma serta adat istiadat antara dahulu dan sekarang.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua kepada anaknya, yakni tergantung dari dasar keluarga itu sendiri yang diantaranya pendidikan orang tua, keadaan sosial ekonomi, lingkungan masyarakat sekitar dan perubahan zaman.

2.1.2 Karakter Sopan Santun 2.1.2.1 Pengertian Karakter

Secara etimologis, istilah karakter berasal dari Bahasa Yunani yaitu Kharassein atau Bahasa Latin yaitu Kharakter yang artinya memberi tanda (to mark), atau bahasa perancis karakter, yang artinya membuat tajam. Nuryanti (2008: 19) mengatakan dalam bahasa inggris yaitu character, memiliki arti watak, karakter, sifat, peran, dan huruf. Menurut pendapat Azzet (2011: 16) karakter berarti a distinctive differentiating mark ( tanda atau sifat yang membedakan seseorang dengan orang lain).

Karakter tidak diwariskan, namun sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, dan tindakan demi tindakan. Asmani (2014: 41) mengatakan bahwa karakter yakni sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter ada dua pengertian yaitu yang pertama bersifat deterministik yang berarti sekumpulan kondisi rohaniah pada diri kita yang sudah di anugerahi sejak lahir (given), yang kedua bersifat dinamis yaitu sebagi tingkat kekuatan atau ketangguhan seorang dalam upaya mengatasi kondisi rohaniah yang sudah given menurut pendapat Saptono (2011: 18).

(20)

Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa karakter yaitu cara berpikir dan berperilaku yang dimikili setiap individu yang terbentuk dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Dapat juga diartikan sebagai watak atau ciri khas seseorang yang sudah melekat dalam diri yang dapat membuatnya bersikap dan bertindak secara otomatis.

2.1.2.2 Macam-Macam Karakter Anak

Menurut Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9-10), macam-macam bentuk karakter sebagai berikut:

1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan agama lain.

2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3) Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4) Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5) Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagi hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6) Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8) Demokratis adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya serta orang lain.

9) Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, serta didengar.

(21)

10) Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri serta kelompoknya.Percaya diri adalah sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.

11) Cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, serta berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, maupun politik bangsa.

12) Menghargai prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13) Bersahabat atau komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14) Cinta damai adalah sikap, perkataan, atau tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15) Gemar membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif adalah berpikir serta melakukan sesuatu berdasarkan kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara baru dari apa yang telah dimiliki.

16) Peduli lingkungan adalah sikap atau tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, serta mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17) Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18) Tanggung jawab adalah sikap atau perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara maupun Tuhan Yang Maha Esa.

(22)

Berdasarkan pendapat tersebut disimpulkan bahwa karakter setidaknya memiliki delapan belas macam. Delapan belas karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Dari karakter-karakter tersebut harus diterapkan atau ditanamkan pada setiap individu sehingga akan berdampak positif pada kehidupan sehari-hari.

2.1.2.3 Pengertian Sopan Santun

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sopan santun berasal dari dua kata yakni sopan dan santun. Sopan yang berarti hormat dengan tak lazim (akan, kepada) tertib menurut adab yang baik. bisa juga dikatakan sebagai cerminan kognitif (pengetahuan). Sementara itu santun artinya halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya), sopan sabar, dan tenang. Bisa juga diartikan cerminan psikomotorik (penerapan pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan).

Sunarty (2016: 143) sopan santun bermakna bahwa seseorang bukan saja tidak menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain, melainkan mengganggap orang lain lebih baik dari dirinya.

Sopan santun merupakan peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok seseorang menurut pendapat Adisusilo (2014: 54). Sopan santun bisa terbentuk dari pembiasaan masyarakat di daerah tertentu yang pada umumnya tidak tertulis, namun menjadi kebiasaan lisan, jika mana dilanggar akan mendapat cemooh dari masyarakat, namun bila ditaati akan mendapat pujian dari masyarakat. Sejalan dengan pendapat Oetomo (2012: 20) sopan ialah sikap hormat dan beradap dalam perilaku, santun dalam tutur kata, budi bahasa dan kelakuan yang baik sesuai dengan adat istiadat dan budaya setempat yang harus kita lakukan. Sementara menurut pendapat Mustari (2014: 129) santun ialah sifat yang halus dan baik hati dari sudut pandang tata bahasa maupun tata

(23)

perilakunya ke semua orang. Kesantunan bisa mengorbankan diri sendiri demi masyarakat atau orang lain. Demikian karena orang-orang itu sudah mempunyai aturan solid, yang setiap kita hanya kebagian untuk itu saja. Itulah inti bersifat santun, yaitu perilaku interpersonal sesuai tata norma dan adat istiadat setempat.

Zuriah (2007: 71) mengemukakan bahwa sopan santun yakn suatu tata cara atau aturan yang turun-temurun dan berkembang dalam suatu budaya masyarakat, yang bermanfaat dalam pergaulan dengan orang lain, agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian , hormat-menghormati menurut adat yang telah ditentukan. Istilah dalam bahasa jawa sopan santun memiliki arti yaitu perilaku seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai ungah-ungguh.

Dari beberapa pendapat-pendapat ahli disimpulkan bahwa sopan santun ialah perilaku atau sikap seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai, menghargai, menghormati dan berakhlak mulia yang biasanya sebagai norma tidak tertulis namun mengatur bagaiman kita bersikap dan berperilaku. Sopan santun merupakan sifat lemah lembut yang di miliki seseorang yang dapat dilihat dari sudut pandang tingkah laku maupun bahasa yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-harinya.

2.1.2.4 Indikator Sopan Santun

Wahyudi dan I made Arsana (2014: 295) mengemukakan bahwa karakter sopan santun ialah sikap dan perilaku yang tertib sesuai dengan adat atau norma- norma yang berlaku di dalam masyarakat. Norma sopan santun adalah suatu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan sekelompok orang. Norma kesopanan bersifat relatif, yang berarti apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda diberbagai tempat, waktu, dan lingkungan.

Contoh beberapa norma kesopanan atau yang sering dinamakan dengan indikator karakter sopan santun menurut pendapat Wahyudi dan I made Arsana (2014: 295), meliputi:

(24)

1. Menghormati orang yang lebih tua.

2. Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.

3. Menerima segala sesuatu selalu dengan menggunakan tangan kanan.

4. Tidak meludah disembarang tempat.

5. Memberikan salam setiap berjumpa dengan guru.

6. Menghargai pendapat orang lain.

Dalam kehidupan bersosialisasi antar sesama manusia sudah tentu memiliki norma-norma dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Sehingga hal ini sopan satun dapat memberikan banyak pengaruh maupun manfaat yang baik terhadap diri sendiri serta kehidupan orang lain. Menurut pendapat Suryani (2017: 119) indikator sopan santun sebagai berikut:

1. Berbicara tidak lantang atau keras.

2. Bersikap baik pada saat bersama orang lain saat bertingkah laku maupun berbicara.

3. Tidak berkata kotor.

4. Tidak menyela saat orang lain sedang berbicara.

5. Penggunaan bahasa yang baik dan benar.

Jadi dapat di simpulkan bahwa indicator sopan saantun dalam penelitian ini ialah menhargai dan menghormati orang lebih tua, jika bertemu dengan tentangga maupun guru bertegur sapa sambil tersenyum, jika menerima segala sesuatu menerimanya dengan tanggan kanan, makan dan minum menggunakan tanggan kanan, menyayangi yang lebih muda, berbicara dengan menggunakan kata-kata yang baik atau tidak berkata kotor, jika berjalan melewati orang yang lebih tua harus sambil membungkukkan badan dan mengucapkan “amit pak/bu atau permisi”, serta dapat berbicar dengan unggah-ungguh dengan orang lebih tua. Baik buruknya sikap seseorang juga dapat mempengaruhi perilaku sopan santun orang lain. Perilaku sopan santun dapat memperlihatkan pribadi yang baik serta menghormati siapa saja. Apalagi dari cara tutur bicaranyapun orang bisa

(25)

melihat kesopanan itu. Untuk itu sikap sopan santun harus diterapkan sejak dini pada setiap diri individu, akan tetapi tergantung cara mereka dalam mengembangkan.

2.1.3 Implementasi Karakter Sopan Santun

2.1.3.1 Implementasi Karakter Sopan Santun pada Anak Usia Dini

Cara membiasakan perilaku sopan santun supaya menjadi bagian dari pola hidup setiap individu dapat dicermikan melalui perilaku dan sikap sehari-hari.

Seorang anak dapat berperilaku sopan santun dengan berbagai cara. Menurut pendapat Sukmawati (2017: 55) bahwa implementasi perilaku sopan santun pada anak usia dini dengan cara sebagai berikut:

a. Kebiasaan anak berdoa dengan tertib

Dalam mengajarkan kebiasaan berdoa dengan tertib kepada anak, guru dapat mengajak anak untuk berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran, dan sebelum maupun sesudah makan dan minum.

b. Kebiasaan anak mengucapkan salam

Upaya mengajarkan kebiasaan mengucapkan salam kepada anak yakni dengan menyambut kedatangan anak digerbang sekolah sambil mengucapkan salam.

c. Kebiasaan anak bertingkah laku yang baik

Menerapkan sikap dan perilaku yang baik kepada anak, guru dapat melakukannya dengan membiasakan anak mencium tangan orang yang lebih tua Ketika berjabat tangan, menerima sesuatu menggunakan tangan kanan, mengucapakan terima kasih Ketika diberi sesuatu serta mengucapkan permisi Ketika liwat di depan orang yang lebih tua.

d. Kebiasaan anak bertutur kata yang baik

Agar anak dapat berbicara dengan tutur kata yang baik, maka guru mengajarkan mengucapkan terima kasih, memberikan teguran atau

(26)

bimbingan ketika anak mulai berkata kasar maupun berteriak ketika dalam proses belajar maupun lagi bermain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa implementasi karaker sopan santun ialah upaya pembiasaan berilaku sopan santun yang ditanamkan pada anak usia dini yang dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak dalam bertingkah laku yang baik, membiasakan anak mengucapkan terima kasih jika di beri sesuatu, meminta maaf jika melakukan kesalahan, membiasakan anak mengucapkan salam, membiasakan anak berbicara dengan tutur kata yang baik atau dengan unggah-ungguh dan yang terpenting menerapkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

2.2 Kajian Penelitian Relevan

Berdasarkan studi dan penelitian yang sejenis dengan pokok permasalahan dalam skripsi yang telah diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Pada bagian konsep teoritik ini, akan dijelaskan objek penelitian dan hasil penelitian.

Penelitian-penelitian terdahulu yang digunakan dalam konsep teoritik ini sebagai berikut.

Penelitian yang pertama dilakukan oleh Gita Angga Sari (2020) yang berjudul “Pembentukan Karakter Sopan Santun Melalui Pembiasaan Berbahasa Jawa Krama”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa penerapan berbahasa jawa krama di SD Negeri Tanggulrejo 1 Tempura dilaksanakan seitap hari Kamis. Selain hari Kamis pembiasaan berbahasa Jawa krama dilaksanakan saat ada mata pelajaran Berbahasa Jawa di kelas. Siswa yang sudah menerapkan pembiasaan berbahasa Jawa krama dengan baik memiliki karakter sopan santun yang baik. Permasalahan pembiasaan berbahasa Jawa krama di SD Negeri Tanggulrejo 1 Tempuran diantaranya adalah sekolah terletak dikawasan industri banyak siswa pindahan dari luar Jawa yang mengakibatkan masih sulitnya para siswa dalam menggunakan Bahasa Jawa krama dan kebiasaan keluarga dirumah yang masih berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Pembentukan

(27)

karakter sopan melalui pembiasaan berbahasa Jawa krama di SD Negeri Tanggulrejo 1 Tempura Kabupaten Magelang berjalan dengan baik. Walaupun begitu masih membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar terciptanya suasana sekolah yang kondusif dan penanaman nilai karakter tertanam dengan baik oleh seluruh siswa dan warga sekolah.

Kedua, Anita (2019) yang berjudul “Pola Asuh Orang Tua Dalam Mendidik Anak Di Desa Sumber Agung Kecamatan Rimbo Ilir Kabupaten Tebo”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa bentuk pola asuh orang tua di Desa Sumber Agung menggunakan pola asuh permisif dan kekerasan, dan cara orang tua mendidik anak-anak mereka dengan melepaskan semua urusan Pendidikan ke lembaga saja tanpa di bantu dengan didikan di rumah, sedangkan kendala yang dihadapi orang tua dalam mendidik anak-anak yaitu ekonomi dan pekerjaan yang menyita waktu orang tua.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Nurfaidah (2021) yang berjudul

“Pola Asuh Orang Tua Nelayan Dalam Pembentukan Karakter Mandiri Anak Usia 5-6 Tahun Di Kelurahan Mattiro Sompe Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep”. Dalam hasil penelitian ini menunjukan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua nelayan di Kelurahan Mattiro Sompe Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep adalah pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Pola asuh otoriter yaitu dengan hasil wawancara bahwa orang tua selalu memaksakan kehendaknya, mengontrol kemauan anak dan orang tua menuntut anak untuk harus menuruti semua peraturan yang telah dibuat. Pola asuh demokratis yang ditunjukkan dengan hasil wawancara orang tua memberi kebebasan kepada anak, akan tetapi orang tua tetap mengawasi dan mengontrol anak sedangkan pola asuh permisif dengan hasil wawancara orang tua memanjakan anaknya sehingga anak tersebut belum mandiri.

Sarifah Inayah (2019) yang berjudul “Upaya Guru Kelas Dalam Membentuk Karakter Sopan Santun Siswa Kelas II Di Madrasah Ibtidaiyah

(28)

Negeri Kota Jambi”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan guru kelas dua MIN kota Jambi dalam pembentukan karakter sopan santun adalah memberi pengertian untuk selalu menghargai orang yang lebih tua, menegur anak yang berbicara tidak sopan, memberikan contoh tindakan sopan santun, kepada siswa sebelum pelajaran dimulai. Hambatan yang dihadapi guru dalam pembentukan karakter adalah kurang rasa percaya diri pada siswa, kurang perhatian dari orang tua dan guru harus lebih sabar dalam menghadapi siswa.

Solusi yang dilakukan guru kelas yakni mengajari anak dengan penuh kasih saying dan perhatian karena sebagai guru sudah sewajarnya menjadi contoh yang baik bagi siswanya.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Felia Maifani pada tahun 2016 yang berjudul “Peranan Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter anak sejak Dini Di Desa Lampoh Tarom Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan orang tua dalam membentuk karakter anak sangatlah penting yang mana pembentukan karakter anak harus dimulai sedini mungkin bahkan sejak anak masih berada dalam kandungan.

Menanakan nilai-nilai karakter yang baik kepada anak sejak dini akan menjadikan anak yang tangguh, bertanggungjawab, jujur, mandiri, sopan, bertingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam dan memiliki kepribadian maupun akhlak yang baik. Adapun cara mendidik anak yaitu mendidik dengan cara yang baik, mendidik dengan kelembutan, ketulusan, mendidik dengan penuh kasih sayang, mendidik dengan keteladanan dan mendidik dengan mengajarkan tentang agama. Cara membentuk karakter yaitu dengan membiasakan anak melakukan hal-hal yang baik, memberikan contoh teladan yang baik dan menggunakan bahasa yang sopan ketika sedang berbicara dihadapan anak.

(29)

Tabel 2.1 Persamaan, perbedaan dan orisinalitas kajian relevan No Nama

Peneliti

Judul Penelitian

Persamaan Perbedaan Orisinalitas

1. Gita Angga Sari

Pembentukan Karakter Sopan Santun Melalui Pembiasaan Berbahasa Jawa Krama.

Persamaanya yaitu sama- sama

menggunakan penelitian kualitatif dan membahas tentang karakter sopan santun.

Penelitian yang dilakukan oleh Gita Angga Sari menggunakan pembiasaan berbahasa Jawa krama dalam

pembentukan karakter sopan santun.

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu akan menekankan pada

pembentukan karakter sopan santun pada anak.

2. Anita Pola Asuh

Orang Tua

Dalam Mendidik Anak Di Desa Sumber Agung Kecamatan Rimbo Ilir Kabupaten Tebo.

Penelitian ini sama-sama menggunakan kualitaif dan membahas tentang pola asuh.

Pada

penelitian ini tidak

menekankan karakter sopan santun.

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu akan menekankan pada

pembentukan karakter sopan santun pada anak.

3. Nurfaidah Pola Asuh Persamaanya Penelitian Penelitian

(30)

Orang Tua Nelayan Dalam Pembentukan Karakter

Mandiri Anak Usia 5-6 Tahun Di Kelurahan Mattiro Sompe Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep.

yaitu sama- sama

menggunakan penelitian kualitatif dan membahas tentang pola asuh orang tua.

yang dilakukan oleh Nurfaidah menggunakan pembentukan karakter mandiri pada anak usia 5-6 tahun.

yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu akan menekankan pada

pembentukan karakter sopan santun pada anak.

4. Sarifah Inayah

Upaya Guru Kelas Dalam Membentuk Karakter Sopan Santun Siswa Kelas II Di Madrasah

Ibtidaiyah

Negeri Kota Jambi.

Penelitian ini sama-sama menggunakan penelitian kualitatif dan membahas tentang karakter sopan santun.

Pada

penelitian ini tidak

menekankan pola asuh keluarga namun pada upaya guru dalam

pembentukan karakter sopan santun.

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu akan menekankan pada

pembentukan karakter sopan santun pada anak.

5. Felia Maifani

Peranan Orang

Tua Dalam

Pembentukan

Penelitian ini sama-sama menggunakan

Penelitian ini tidak

menekankan

Penelitian yang akan dilakukan

(31)

Karakter anak sejak Dini Di Desa Lampoh Tarom

Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar

penelitian kualitatif dan membahas tentang karakter anak.

pada

pembentukan karakter sopan santun tapi hanya karakter anak.

oleh peneliti yaitu akan menekankan pada

pembentukan karakter sopan santun pada anak.

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yaitu sebuah konsep pemikiran yang akan dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Pada penelitian ini akan mengkaji terkait bagaimana pola asuh keluarga dalam pembentukan karakter sopan santun pada anak sekolah dasar di Desa Mangunrekso yang disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut.

POLA ASUH KELUARGA

Otoriter Demokratis Permisif

Pembiasaan

Karakter

Bentuk pola asuh keluarga dalam pembentukan karakter sopan santun

Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh keluarga dalam pembentukan karakter sopan santun di Desa

Mangunrekso

(32)

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan bagan kerangka berpikir tersebut, pola asuh keluarga yaitu perlakuan khas atau selaga bentuk ekspresi orang tua dalam membimbing, memelihara, mengawasi, menjaga, serta mendidik anak-anaknya sehingga dapat mempengaruhi kehidupan bermasyarakatnya maupun jiwa sosial emosional anak sejak dini hingga dewasa nantinya. Pola asuh ada tiga macam yakni pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. Setiap pola asuh yang diterapkan dalam keluarga tentunya menghasilkan macam-macam watak atau perilaku sosial sosial yang berbeda-beda.

Seorang anak perlu dalam pembiasaan perilaku yang positif yang di terapkan oleh orang tua melalui hal yang sederhana. Misalnya membiasakan anak sejak dini untuk selalu menempatkan Tuhan dalam hati, selalu berbicara lemah lembut, menjaga kebersihan, selalu menjunjung tinggi kejujuran, peduli terhadap orang lain, mau bergotong-royong, dan terutama penting dalam menjaga kesopan santunan.

Kepribadian anak sebelum mengenal lingkungan luar berarti sikap atau perilaku mereka tida jauh beda dengan orang tuannya. Akan tetapi jika mengenal lingkungan luar maka sikap anak cenderung terpengaruh dengan lingkungan bermain maupun lingkungan pendidikannya. Perilaku setiap anak perlu bimbingan dan pantauan orang tua pada masa ini dikarenakan sifat keingintahuan mereka yang sangat tinggi. Maka dari itu, orang tua dapat memberikan dasar dan pondasi hidup terhadap anak-anaknya mana yang baik dan mana yang buruk.

Sehinggah pentingnya pola asuh dalam membentuk karakter, terutama sopan santun pada anak.

(33)

31 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat Penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian akan dilakukan di Desa Mangunrekso Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini terbagi ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap pelaporan. Tahap perencanaan dimulai pada bulan Januari 2022. Tahap pelaksanaan dimulai pada bulan Maret 2022. Sedangkan untuk tahap pelaporan dimulai Maret 2022. Dengan adanya landasan waktu penelitian tersebut, diharapkan penelitian yang akan dilakukan dapat terlaksana sesuai dengan rencana dan mendapatkan hasil yang diharapkan.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau responden merupakan orang yang diminta untuk memberikan pendapat atau keterangan tentang suatu fakta. Menurut Arikunto (2006: 145) mengemukakan subjek penelitian yaitu subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Maka dari itu, subjek peneliti adalah sumber informasi yang telah digali agar mengungkap fakta-fakta di lapangan. Dalam menentukan subjek penelitian atau pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Sejalan dengan pendapat Lincoln dan Guba (1985: 219) mengatakan bahwa “Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif (naturalistik) sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian konvensional (kuantitatif). Penentuan sampel tidak didasarkan perhitungan statistik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan”.

(34)

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam penentuan subjek penelitian ini digunakan agar memperoleh informasi yang dibutuhkan secara detail atau jelas dan mendalam. Penentuan subjek penelitian atau teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu purposive sampling atau pengambilan sampel berdasarkan seleksi khusus. Sugiyono (2018: 218) purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Purposive sampling yaitu salah satu jenis teknik non probablility sampling dimana pengambilan sampel didasarkan pada kriteria-kriteria yang telah dirumuskan terlebih dahulu oleh peneliti sehingga pengambilan sampel diambil bukan secara acak, tapi ditentukan sendiri oleh peneliti dengan pertimbangan atau kriteria tertentu. Sugiyono (2018: 219) Ciri-ciri khusus purposive meliputi sebagai berikut:

1. Adjustment Emergent sampling design/sementara

2. Serial selection of sample units/menggelinding seperti bola salju (snow ball)

3. Continuous or focusing of the sample/disesuaikan dengan kebutuhan 4. Selection to the point of redundancy/dipilih sampai jenuh

Maka dari itu, pengambilan subjek penelitian ini menggunakan purposive sampling dinyatakan cocok dengan permasalahan penelitian yang peneliti bahas, yakni penentuan subjek didasarkan atas tujuan peneliti agar mengungkap masalah yang diangkat dalam penelitian. Subjek penelitian ditentukan berdasarkan orang yang dianggap paling tahu tentang informasi yang dibutuhkan dalam penenlitian ini. Dalam hal tersebut, akan memudahkan peneliti dalam memperoleh data yang diteliti.

Peneliti menentukan subjek penelitian berdasarkan permasalahan yang akan diteliti tentang pola asuh keluarga dalam pembentukan karakter anak usia sekolah dasar di Desa Mangunrekso. Maka, subjek penelitiannya yaitu anak-anak

(35)

usia sekolah dasar di Desa mangunrekso dengan latar keluarga yang berbeda- beda. Sehingga peneliti menentukan subjek utama dalam penelitian ini berjumplah 4 orang anak dengan latar keluarga yang berbeda-beda.

3.3 Pedekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis data deskripsi. Penelitian kualitatif ini akan dilakukan dengan menekankan dalam konsep yang akan dikaji secara empiris. Dalam Teknik pengumpulan data dilakukan dengan deskriptif dan dokumentasi yang didapatkan saat kegiatan obsevasi. Data akan didapatkan berupa catatan wawancara, catatan observas, dokumentasi di lapangan dan data pendukung lainnya. Ciri yang dimiliki penelitian ini terletak pada fokus penelitian yakni kajian mendalam tentang fenomena atau keadaan tententu.

Menurut Sugiyono (2018: 8-9) mengemukakan “Penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, Teknik pengumpulan data dilakukan secara tranggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi”. Pendapat lain menurut Arikunto (2006: 121) penelitian kualitatif yaitu penelitian dimana peneliti dalam melakukan penelitiannya menggunakan teknik-teknik observasi, wawancara dan interview, analisis data dengan menggunakan metode pengumpulan data lainnya untuk menyajikan respon-respon dan perilaku subjek. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan situasi atau kejadian yang tejadi dalam penelitian, sehingga data yang terkumpul lebih banyak kata-kata atau gambaran.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Ada lima macam metode dalam penelitian kualitatif yaitu salah satunya adalah study kasus yang biasa digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan menurut Nana

(36)

Sukmadinata (2011: 62). Sejalan dengan pendapat Mulyana (2010: 201) peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti dan menggunakan berbagai cara yaitu wawancara, pengamatan, penelaahan dokumentasi dan data apapun untuk mengurai secara terperinci. Studi kasus merupakan uraian serta penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek atau suatu situasi sosial. Penelitian ini berfokus pada keadaan pola asuh keluarga dalam membentuk karakter sopan santun anaknya serta studi kasus dalam hal ini yakni empat keluarga dengan latar belakang yang berbeda di Desa Mangunrekso.

Rancangan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Peneliti melakukan studi pendahuluan di lapangan, yang bertempat pada Desa Mangunrekso.

2. Kemudian peneliti menentukan teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam menggali informasi yakni dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, pencatatan dan dokumentasi.

3. Sesudah data terkumpul, data diidentifikasi, data dianalisis selanjutnya disajikan dalam hasil peneliti yang telah dilaksanakan.

4. Selanjutnya menyimpulkan hasil penelitian.

5. Yang terakhir merupakan hasil penelitian dievaluasi sehingga akan dapat ditindaklanjuti.

3.4 Peranan Peneliti

Dalam penelitian ini, peran peneliti dalam penelitian kualitatif yakni sebagai perencana, pengumpul data, penganalisis, sehingga akhirnya pencetus penelitian atau terwujudnya keberhasilan dalam penelitian. Penelitian kuatitaf menekankan bahwa peneliti sendiri maupun dengan bantuan orang lain yang merupakan alat pengumpul data utama. Oleh sebab itu, peneliti memiliki peran sangat penting dalam melakukan sebuah penelitian. Peneliti tidak hanya sebagai pengumpul data namun peneliti sebagai teman atau pendampin dari objek yang akan diteliti, sehingga hasilnya lebih akurat.

(37)

Berhubung dengan pendidikan anak usia sekolah dasar, peneliti berusaha dalam memecahkan masalah pola asuh yang telah diterapkan oleh keluarga dalam pembentukan karakter sopan santun pada anak di Desa mangunrekso.

Sesudah mendapatkan informasi, peneliti dapat mencoba memberikan pemecahan atau solusi yang berhubungan dengan permasalahan penelitian sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan.

3.5 Data dan Sumber Data 3.5.1 Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan data kualitatif. Data kualitatif diperoleh secara lisan atau tulisan yakni hasil dari obsevasi dan wawancara mendalam yang dilakukan kepada narasumber yaitu keluarga siswa dan siswa itu sendiri. Data lain didapat dari teori-teori pendukung yang berhubungan dengan variable yang akan diteliti yakni pola asuh dalam keluarga.

Data yang telah didapatkan sementara dari hasil observasi di Desa Mangunrekso, peran keluarga dalam membentuk sopan santun pada anak yang masih kurang maksimal. Dibuktikan dengan adanya beberapa anak usia sekolah dasar yang bersikap acuh tak acuh atau cuek jika melihat tetangga maupun gurunya sendiri dan masih ada anak yang belum bisa bertutur kata dengan baik.

Anak-anak masih kurang dalam menghormati dan menghargai guru maupun orang lain yang lebih tua. Jarang sekali anak yang ketika mau melewati orang yang lebih tua dengan membungkukan badan sambil berkata “amit” maupun

“permisi” namun mereka asal nyelonong saja. Berdasarkan data yang didapatkan, profesi rata-rata orang tua siswa adalah petani, tukang batu, pedagang, PNS, dan perantauan. Dalam hal ini akan menjadi bahan penelitian bagaimana bentuk pola asuh yang menelatar belakangi keluarga yang berbeda-beda.

3.5.2 Sumber Data

Sumber data merupakan subjek data yang diperoleh. Sumber data dibagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan sekunder (sugiyono, 2016: 308).

(38)

1. Sumber data primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.

2. Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya jika lewat orang lain atau lewat dokumen.

Pada penelitian ini, sumber data ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

1) Sumber data pimer

a. Anak atau siswa itu sendiri. Peneliti menggali informasi tentang peranan orang tua dalam menggasuh anak di rumah dari sudut pandang anak itu sendiri.

b. Keluarga, yang terutama adalah orang tua. Peneliti akan menarik informan dengan bagian tertentu sehingga mendapatkan sumber data yang beragam.

Bagian-bagian tersebut berdasarkan tingkat perekonomian, profesi dan latar belakang pendidikan.

c. Tetangga sekitar dan teman sebayanya sehingga dapat menambah bukti bagaimana anak bersikap ketika berada di luar rumah.

2) Sumber data sekunder, yang berasal dari jurnal relevan yang berhubungan dengan penellitian ini, catatan penelitian, dokumentasi penelitian dan data pendukung lainnya.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini membutuhkan beberapa teknik dan instrument dalam mengumpulkan data yang diperluhkan. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.6.1 Teknik Observasi

Observasi merupakan studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan menurut

(39)

Al-Gazali (2014: 143). Sejalan dengan pendapat Jonathan (2006: 224) kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, objek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelian yang dilakukan.

Bentuk observasi yang akan di lakukan adalah observasi non partisipan, yakni dimana peneliti hanya mengamati peristiwa yang telah terjadi dilapangan.

Dalam penelitian ini peneliti mencatat atau merekam dengan cara terstruktur atau semi struktur terhadap kegiata-kegiatan orang dalam lokasi penelitian. Peneliti mengamati secara langsung di lapangan dengan focus penelitian pada kegiatan atau aktivitas pengasuhan keluarga dalam membentuk karakter sopan santun, tingkah laku anak dalam membentuk karakter sopan santun, dan berbagai aktivitas keluarga dalam membentuk karakter sopan santun anak.

3.6.2 Teknik Wawancara Mendalam

Mulyono (2010: 171) wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan diman dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik. Sejalan dengan pendapat Sugiyono (2016: 83) wawancara merupakan proses tanya jawab dalam penelitian berlangsung secara langsung informasi-informasi atau keterangan.

Pada penelitian ini menggunakan wawancara semi struktur yakni dengan mengawali sederet pertanyaan yang sudah terancang, selanjutnya satu persatu diperdalam untuk mendapatkan keterangaran lebih lanjut senhingga informasi yang didapatkan yaitu semua variabel yang lengkap dan mendalam. Beberapa narasumber yang akan diwawancarai meliputi:

a) Ketua RT sebagai informan kunci.

b) Keluarga terutama orang tua, siswa atau anak itu sendiri sebagai informan utama.

c) Tetangga dan teman sebaya sebagai informan pendukung.

3.6.3 Teknik Dokumentasi

(40)

Hakim (2013: 74) dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variasi yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar dan sebagainya.

Dokumen yang diperluhkan dalam penelitian ini merupakan dokumen yang relevan dengan focus penelitian dan yang dibutuhkan untuk melengkapi data dan memperkuat bukti yang diperoleh dari observasi lapangan. Pengumpulan data yang dilakukan peneliti yaitu berhubungan dengan aktivitas atau keadaan di lapangan. Cara yang digunakan yaitu mencatat atau mengambil gambar, mengumpulkan data-data yang didapatkan dari narasumber yaitu keluarga, anak, tetangga sekitar dan teman sebayanya.

3.6.4 Teknik Pencatatan

Teknik pengumpulan data dengan pencatatan yaitu cara mencatat hal-hal yang penting dalam kaitannya dengan data yang diperluhkan oleh peneliti.

Peneliti akan mencatat dengan menggunakan lembar observasi, buku catatan serta ponsel. Dalam mencatat akan dilakukan dari hal- hal yang kecil sampai hal yang penting sesuai dengan keperluhan data yang didapatkan.

3.7 Instumen Penelitian

Instrumen Penelitian merupakan suatu alat yang digunakan dalam mengukur keadaan atau fenomena alam maupun sosial yang sedang diamati. Sugiyono (2018: 102) dalam penelitian kualitatif instrumen utama merupakan orang atau human instrument, yaitu peneliti itu sendiri, artinya penelitilah yang mengumpulkan data, menyajikan data, mereduksi data, memaknai data dan mengumpulkan data hasil penelitian. Dalam menjadi instrumen, peneliti diharuskan memiliki bekal teori serta wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengkonstruksikan kondisi sosial yang diteliti menjadi lebih bermakna dan jelas.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi, pedoman wawancara, dan catatan, sebagai berikut:

Gambar

Tabel 2.1 Persamaan, perbedaan dan orisinalitas kajian relevan  No  Nama

Referensi

Dokumen terkait

pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas. Religius: sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran

budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini. Religius: sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah

1) Religius, sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. 2) Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadiklan dirinya sebagai orang

1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, serta toleransi terhadap pemeluk agama lain. 2) Jujur adalah perilaku

Nilai-nilai pendidikan karakter menurut Balitbang Kemendiknas (2010: 8) 1) Religius, sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,

Deskripsi nilai religius dalam pendidikan karakter menurut kemendiknas yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.12Hal ini sesuai

Religius ialah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama