• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA "

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh:

Lita Wulandari NIM : 14.IK.396

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA

BANJARMASIN

2018

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v PALIMBO dan ESTI YUANDARI

Latar Belakang: Pola asuh orang tua merupakan kebiasaan orang tua, ayah dan ibu dalam memimpin, mengasuh (merawat dan mendidik), dan membimbing anak dalam keluarga. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa, dimana masa ini remaja mengalami perkembangan dalam mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional.

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja di SMPN 28 Banjarmasin.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode Cross Sectional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan Total Sampling dengan jumlah sampel responden siswa/i kelas VIII SMPN 28 Banjarmasin berjumlah 62 orang.

Menggunakan uji statistik Chi-Square.

Hasil: Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas pola asuh orang tua adalah otoriter (77,4%) dan mayoritas perkembangan emosional remaja adalah baik (54,8%). Hasil uji analisis Hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja menggunakan perhitungan uji Chi-Square menunjukan bahwa nilai signifikansi p = 0,001 < α (0,05) ini berarti Ha di terima.

Simpulan: Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja di SMPN 28 Banjarmasin.

Kata kunci: Emosional, Pola Asuh, Remaja.

(6)

vi and ESTI YUANDARI

Background:Pattern foster parent is a habit of parents, father and mother in the lead, parenting (caring for and educating), and guide the children in the family.

Adolescence is a transition period between childhood to adulthood, where this time teenagers reach maturity experienced development in physical, mental, social, and emotional.

Aim:To determine the relationship patterns of parenting with emotional development of adolescents in SMPN 28 Banjarmasin.

Method:This study using cross sectional method with a sampling technique using total sampling with a sample of respondents student class VIII SMPN 28 Banjarmasin, amounting to 62 people. Using a statistical test Chi-Square.

Results:The results showed that the majority of parenting parents are authoritarian (77.4%) and the majority of adolescent emotional development is good (54.8%). Test results analysis The relationship between parenting parents with emotional development of adolescents using Chi-Square test calculations show that the significant value of p = 0.001 <α (0.05) this means Ha accepted.

Conclusion:There is a relationship between parents' parenting with emotional development of adolescents in SMPN 28 Banjarmasin.

Keywords: Emotional, Parenting, Teens.

(7)

vii

Allhamdullilah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, karunia dan petunjuk-Nya yang tiada terkira sehingga penulis dapat merasakan indahnya beriman Islam dan menyelesaikan penulisan akhir penelitian dalam bentuk Skripsi.

Setelah mengalami berbagai rintangan, halangan dan cobaan, serta pasang surutnya semangat yang penulis hadapi, akhirnya telah sampai pada tahapan akhir penyusunan Skripsi yang merupakan salah satu syarat kelulusan untuk mencapai Sarjana Keperawatan Program Studi Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia.

Pada penyusunan dan penyelasaian Skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, maka dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu RR. Dwi Sogi Sri Redjeki, S.KG.,M.Pd selaku Ketua Yayasan Indah Banjarmasin.

2. Bapak dr. H. R. Soedarto WW, Sp.OG selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia.

3. Ibu Dini Rahmayani, S.Kep.Ns., MPH selaku Ketua Program Studi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia.

4. Ibu Adriana Palimbo, S.Si.T., M.Kes selaku Pembimbing I yang senantiasa memberikan masukan serta bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan penulisan Skripsi ini.

5. Ibu Esti Yuandari, SE., M.Kes selaku Pembimbing II yang senantiasa memberikan dukungan serta bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan penulisan Skripsi ini.

(8)

viii

7. Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan studi pendahuluan penelitian dan penelitian.

8. Kepala Sekolah SMPN 28 Banjarmasin yang telah bersedia memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan studi pendahuluan dan penelitian.

9. Kedua orang tua dan segenap keluarga yang selalu memberikan doa dan pengertian selama penulis menjalani perkuliahan dan akhirnya bisa sampai menyelesaikan Skripsi ini.

10. Teman-teman angkatan VI PSIK STIKES Sari Mulia Banjarmasin yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang saling memberikan motivasi satu sama lain.

Semoga kebaikan Bapak dan Ibu serta teman-teman berikan mendapatkan ridho dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan dan penulisan Skripsi ini memiliki banyak kekurangan sehingga segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan. Semoga Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan. Amin

Banjarmasin, 06 Agustus 2018

Penulis

(9)

ix

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBIN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ... iii

KEASLIAN PENEITIAN ... iv

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULIAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan ... 8

1. Tujuan Umum ... 8

2. Tujuan Khusus ... 8

D. Manfaat ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Landasan Teori ... 12

B. Kerangka Teori... 49

C. Kerangka Konsep ... 50

D. Hipotesis ... 50

(10)

x

B. Metode Penelitian ... 51

C. Populasi dan Sampel ... 52

D. Variabel dan Definisi Operasional ... 52

E. Pengumpulan Data ... 55

F. Uji Validitas dan Reabilitas ... 55

G. Metode Analisis Data ... 56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 62

B. Hasil Penelitin ... 63

C. Pembahasan ... 68

D. Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Simpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81 RENCANA KEGIATAN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(11)

xi

1.1. Keaslian Penelitian ... 10

4.1. Data Ketenaakerjaan ... 62

4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin ... 63

4.3. Distribusi Frekuensi Umur ... 64

4.4. Distribusi Frekuensi Pendidikan Ayah ... 64

4.5. Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu ... 65

4.6. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ayah ... 65

4.7. Distribusi Frekuuensi Pekerjaan Ibu ... 66

4.8. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua ... 66

4.9. Distribusi Frekuensi Perkembangan Emosional Remaja ... 67

4.10.Distribusi Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Emosional Remaja... 67

(12)

xii

2.1. Kerangka Teori ... 49 2.2. Kerangka Konsep ... 50

(13)

xiii Lampiran 1 Rencana Jadwal Kegiatan Lampiran 2 Surat Pengajuan Judul Penelitian

Lampiran 3 Surat Permohonan Melakukan Studi Pendahuluan Lampiran 4 Surat Balasan Permohonan Studi Pendahuluan

Lampiran 5 Kuesioner Pola Asuh dan Perkembangan Emosional Remaja Lampiran 6 Master Data Uji Valid

Lampiran 7 Master Data Penelitian

Lampiran 8 Uji Statistik Validitas dan Reliabilitas Lampiran 9 Uji Statistik Peneltian

Lampiran 10 Lembar Konsultasi Pembimbing I Lampiran 11 Lembar Konsultasi Pembimbing II

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk dibangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga atau lingkungannya, karena remaja memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, dan pengendalian diri belum sempurna. Serta remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir (Asrori, 2011).

Perkembangan remaja dimulai dari usia 13-18 tahun dan dapat memanjang hingga usia 24 tahun dan dapat dimulai sebelum usia 13 tahun. Remaja yang sejahtera adalah remaja yang membangun kemampuan yang komprehensif untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, pengalaman, nilai-nilai, hubungan sosial, serta akses ke layanan dasar yang akan memungkinkan seseorang untuk melakukan penyesuaian dengan kehidupan, berpartisipasi dalam urusan masyarakat dan sipil, mendapatkan penghasilan, menghindari perilaku berbahaya dan berisiko, dan dapat berkembang dalam berbagai situasi, mencegah penyakit, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi (Unicef, 2009).

Remaja sering mengalami dilema yang sangat besar antara mengikuti kehendak orang tua atau mengikuti kehendaknya sendiri.

Situasi ini dikenal dengan ambivalensi dan hal ini akan menimbulkan

(15)

konflik pada diri remaja. Konflik ini akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya, bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang remaja menjadi frustasi dan memendam kemarahan yang mendalam kepada orang tuanya dan orang lain disekitarnya.

Frustasi dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku yang tidak simpatik terhadap orang tua maupun orang lain yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain disekitarnya.

Peningkatan kasus dikalangan remaja dari tahun 2013-2014 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu, pada tahun 2013 angka kasus dikalangan remaja di Indonesia mencapai 6.325 kasus, tahun 2014 jumlahnya mencapai 7007 kasus dan tahun 2015 mencapai 7.762 kasus, yang artinya dari tahun 2013-2015 mengalami kenaikan sebesar 10,7%.

Kasus tersebut terdiri dari berbagai kasus kenakalan remaja diantaranya, pencurian, pembunuhan, pergaulan bebas dan narkoba. Dari data tersebut dapat diketahui pertumbuhan jumlah kenakalan remaja yang terjadi tiap tahunnya, dan bisa mengantisipasi lonjakan dan menekan angka kenakalan remaja yang terus menerus meningkat tiap tahunnya.

Prediksi tahun 2016 kenakalan remaja akan mencapai 8.598 kasus, 2017 sebesar 9.524 kasus, 2018 sebanyak 10.550 kasus, 2019 mencapai 11.686 kasus dan pada tahun 2020 mencapai 12.945 kasus yang mengalami kenaikan tiap tahunnya sebesar 10,7% (BPS, 2015), dan takutnya kejadian pencurian, pembunuhan, pergaulan bebas dan narkoba akan lebih meningkat dikalangan remaja.

Banyak perilaku remaja yang bersifat negatife ditemukan di lingkungan masyarakat yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan, faktor pendidikan, dan faktor pola asuh orang tua.

(16)

Faktor yang paling mendasari adalah faktor pola asuh orang tua karena pendidikan yang di rasakan pertama kali oleh setiap anak ialah pendidikan informal (keluarga) yaitu pendidikan yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya (Edwards, 2006).

Pengasuhan (parenting) merupakan suatu proses panjang dalam kehidupan seorang anak mulai dari masa prenatal hingga dewasa.

Pengasuhan memerlukan sejumlah interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini, karena tidak ada sekolah menjadi orang tua. Pola asuh merupakan bagian dari pengasuhan yang berlaku dalam keluarga, melalui interaksi anatara orang tua dengan anak selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Ada berbagai pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya dengan berbeda-beda. Baumrind 1971 mengidentifikasi 3 pola utama pengasuhan orang tua. Pertama, pola asuh demoktarif bersifat fleksibel, tegas, adil, dan logis. Kedua, pola asuh otoriter mengharapkan kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk di kontrol. Ketiga, pola asuh permisif membolehkan anak untuk mengatur hidup mereka sendiri dengan kurangnya kontrol dari orang tua.

Faktor yang mempengaruhi pola asuh diantaranya pengetahuan pendidikan, budaya, dan lingkungan. Pengetahuan sendiri didapatkan melalui pendidikan formal. Mayoritas budaya orang tua mempelajari praktik pengasuhan dari orang tua mereka sendiri. Yang secara langsung, orang tua mengalami. Jadi, setelah mempunyai anak orang tua mempraktikan didikannya tersebut. Sebagian praktik tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Sayangnya, ketika metode orang tua diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, praktik yang baik maupun yang buruk diteruskan (Santrock, 2007).

(17)

Tetapi, setiap cara pengasuhan yang diterapkan orang tua akan dipersepsikan secara subjektif karena kebutuhan dan karakteristik oleh remaja itu sendiri. Setiap anak mempunyai persepsi yang berbeda terhadap cara pengasuhan orang tuanya ini akan terus ada dalam diri anak meskipun anak tersebut sudah menginjak remaja bahkan ketika anak tersebut sudah dewasa. Pola asuh orang tua merupakan proses anak menggunakan informasi dari lingkungan dan menilai pengalamannya berinteraksi dengan orang tua untuk memberikan kesan tentang bagaimana orang tua mengasuhnya.

Pola asuh demokratis, anak akan lebih kompeten bersosialisasi, anak memiliki kebebasan berpendapat serta kebabasan untuk mengembangkan kreatifitas, dan dampak negatifnya apabila orang tua kurang memiliki waktu untuk berkomunikasi maka diharapkan orang tua tetap meluangkan waktu untuk anak dan tetap memantau aktifitas anak, serta emosi anak yang kurang stabil juga akan menyebabkan perselisihan disaat orang tua sedang mencoba membimbing anak (King, 2010). Pola asuh otoriter, anak akan lebih disiplin tetapi anak yang diasuh oleh orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang suka membantah, memberontak, dan melawan arus terhadap lingkungan sosial. Dan pola asuh permisif, anak akan mempu mengatur seluruh pemikiran, sikap, dan tindakannya sehingga anak menjadi individu yang dewasa, inisiatif, dan kreatif. Namun pada pola asuh permisif ini karena anak di berikan kebebasan anak akan tumbuh menjadi remaja yang tidak terkontrol dan memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan bebas (Dariyo, 2007).

(18)

Peran orang tua mempengaruhi pertumbuhan dan perilaku anak.

Asuhan keluarga yang normal adalah salah satu indikator menilai kemajuan atau keterbelakangan masyarakat. Pola asuh menentukan karakter anak saat sudah dewasa. Dengan pola asuh yang benar, seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik dan penuh pertimbangan, baik terhadap lingkungan maupun dirinya. Perlakuan kasar dari orang tua terhadap anaknya yang akan menimbulkan perilaku anak usia dini seperti menggunakan obat-obatan, alkohol, kenakalan dan pola perilaku agresif serta meningkatkan kesempatan penyimpangan perilaku (Alzahrani, et al., 2014). Apabila anak tidak mendapatkan kasih sayang dan pola asuh yang kurang tepat dari orang tua sejak kecil maka anak akan mencari cara menetralkan perasaan buruk yang timbul, dengan berbagai hal yang berdampak negatife bagi dirinya seperti pergaulan bebas, kepribadian anak, kematangan emosi, dan pola pikir.

Pengetahuan orang tua mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku anak akan sangat membantu dalam mengupayakan lingkungan pengasuhan yang kompeten bagi pembentukan perilaku anak sesuai dengan yang di harapkan (Sunarti, 2004). Dalam hal ini penting bagi orang tua untuk mengenal pola asuh serta memahami dampak dari pengasuhan tersebut terhadap perkembangan emosional anak.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ari Setyo Nur Handayani (2015) tentang perkembangan emosi ditinjau dari pola asuh orang tua pada anak kelompok B Raudhatul Athfal di kecamatan Kalijambe kabupaten Sragen di dapatkan hasil menunjukkan bahwa pola asuh demokratis menghasilkan perkembangan emosi lebih tinggi yaitu 64,14%, pola asuh otoriter sebesar 46,76% dan pola asuh permisif

(19)

45,33%. Dengan demikian urutan perkembangan emosi anak yang paling baik ditinjau dari pola asuh adalah pola asuh demokratis.

Hasil penelitian Ruth Sefriana Silitonga (2015) menunjukkan ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja.

Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas pola asuh orang tua adalah otoriter 63,3% dan mayoritas perkembangan emosional remaja adalah baik 61,7%. Penelitian ini menyarankan agar orang tua harus mampu menyesuaikan tindakan dan pola asuh yang baik agar perkembangan emosional remaja semakin baik.

Perkembangan emosi anak merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi keberhasilan (kesuksesan) anak dimasa yang akan datang. Dengan mengajari anak keterampilan emosi mereka akan lebih mampu untuk mengatasi berbagai masalah. Kestabilan emosi remaja dikarenakan adanya pengaruh tuntutan orang tua dan masyarakat, yang akhirnya mendorong remaja untuk menyesuaikan diri dengan situasi dirinya yang baru. Emosi merupakan warna yang afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Warna afektif ini adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi suatu sistuasi tertentu. Apabila seseorang merasa senang maka akan memperkuat semangat, apabila timbul rasa kecewa dan putus asa maka akan melemahkan semangat, apabila sedang mengalami ketegangan emosi, gugup, dan gagap dalam berbicara maka akan mengganggu konsentrasi belajar, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati maka akan terganggu penyesuaian sosial, suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain (Syamsu, 2012).

(20)

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, hingga akhir 2011 ada peningkatan pada persalinan remaja. Dari sebanyak 50 kasus pada 2010, melonjak menjadi 325 kasus pada tahun 2011. Data lainnya terjadi pada kasus KTD (kehamilan yang tidak diinginkan), dari 35 kasus 2010, melonjak menjadi 220 kasus pada tahun 2011, seks pranikah 148 kasus, infeksi saluran reproduksi 30 kasus dan infeksi menular seksual 30 kasus, yang berarti totalnya 753 kasus. Mayoritas dari kasus tersebut ternyata dialami siswi SMP (DINKES, 2011).

Menurut data dari Kepala Sekolah SMPN 28 Banjarmasin jumlah siswa kelas VII sebanyak 62 orang yang terbagi dalam 3 kelas. Kelas VII A, Kelas VII B, dan Kelas VII C. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan wawancara sederhana yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20-21 November 2017 dari 5 siswa, yaitu 3 siswa mengatakan pola asuh orang tua yang terlalu mengekang sehingga siswa mengatakan stress terhadap pola asuh orang tua yang terlalu mengekang dan mengalihkan stressnya dengan cara merokok, 1 siswa yang berpacaran mengatakan orang tua terlalu mengekang dan menekan sehingga ia takut untuk terbuka dengan orang tuanya, sehingga ia berpacaran diam-diam dan merasa lebih nyaman dengan pacarnyadan 1 siswa yang kadang-kadang membolos karena tertekan oleh orang tuanya yang selalu menekankan anaknya untuk harus menjadi yang terbaik dikelas.

Berdasarkan pemaparan latar belakang dan hasil wawancara singkat yang dilakukan, peneliti tertarik untuk meneliti tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Emosional Remaja Di SMPN 28 Banjarmasin.

(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalahnya. Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Emosional Remaja di SMPN 28 Banjarmasin? ”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja di SMPN 28 Banjarmasin

2. Tujuan Khusus

Beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian yang akan dilaksanakan:

1) Mengidentifikasi pola asuh orang tua remaja di SMPN 28 Banjarmasin

2) Mengidentifikasi perkembangan emosional reaja di SMPN 28 Banjarmasin

3) Menganalisis hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dan sebagai sumber informasi dalam menambah ilmu pengetahuan untuk pengembangan keperawatan komunitas, khususnya orang tua untuk mengetahui pola asuh bagi remaja agar lebih baik.

(22)

2. Praktis

1) Bagi mahasiswa

Sebagai bahan masukan serta menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa dalam mengetahui perkembangan emosional pada remaja.

2) Bagi institusi

Penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai referensi yayasan pendidikan Kesehatan Sari Mulia, Khususnya bagi program studi ilmu keperawatan.

3) Bagi tempat penelitian

Sebagai masukan bagi masyarakat khususnya bagi orang tua dan remaja, agar dapat memberikan informasi dan penyuluhan mengenai perkembangan emosional pada remaja.

(23)

E. Keaslian Penelitian

Terdapat penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang dilakukan ini, yaitu:

No Nama/Judul dan tahun

penelitian Metode Hasil

1. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan

Emosional Remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 14 Medan

(Ruth Sefriana Silitonga, 2015)

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif corelasi dengan

menggunakan metode cross sectional.

Pengambilan sampel penelitian dengan

menggunakan teknik random sampling.

Hasil penelitian menunjukkan pola asuh orang tua berhubungan dengan perkembangan emosional remaja.

Penelitian ini menyarankan agar orang tua harus mampu menyesuaikan tindakan dan pola asuh yang baik agar perkembangan emosional remaja semakin baik.

2. Perkembangan Emosi Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua pada Anak Kelompok B Raudhatul Athfal di Kecamatan Kalijambe Kabupaten Srgagen (Ari Setyo Nur Handayani, 2015)

Teknik pengambilan sampel dengan teknik non

random purposive sampling. Teknik Pengumpulan data menggunakan angket untuk mengetahui pola asuh dan untuk mengukur tingkat perkembangan emosi anak

dengan sering tidaknya anak melakukan

kegiatan sesuai indikator pada saat dirumah. Analisis

data yang

digunakan adalah Anova.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Ada perbedaan

perkembangan emosi ditinjau dari pola asuh orangtua pada anak kelompok B RA di Kecamatan Kalijambe Kabupaten

Sragen Tahun Ajaran 2014/2015.

(24)

3. Hubungan Pola Asuh Orangtua Dengan Kecerdasan Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) Di TK Senaputra Kota Malang (Ridhoyanti Hidayah, Eka Yunita, Yulian Wiji Utami, 2013)

Desain penelitian yang digunakan adalah studi korelasional Dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Cara pengambilan sampling adalah nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan emosional anak usia prasekolah (4- 6 tahun)

Tabel .1.1. Keaslian Penelitian

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian di atas adalah penggunaan variabel, metode penelitian, teknik analisa, serta lokasi penelitiannya.

Penelitian di atas meneliti pada siswa SMA dan anak usia pra sekolah.

Sedangkan penelitian ini meneliti tentang hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja pada siswa SMP. Namun ada kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruth Sefriana Silitonga, (2015) yang juga meneliti Pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja. Namun perbedaannya terletak pada jenis, sampel, teknik analisa, serta lokasi penelitiannya.

Hasil penelitian saya dengan jumlah sampel responden siswa/i SMPN 28 Banjarmasin berjumlah 62 orang. Menggunakan rancangan cross sectional dengan metode total sampling dan menggunakan uji Chi-Square didapatkan hasil pola asuh orang tua demokratis berjumlah 22,6%, pola asuh otoriter berjumlah 77,4% dan hasil perkembangan emosional remaja didapatkan perkembangan emosional yang sangat baik berjumlah 45,2%

dan perkembangan emosional yang baik berjumlah 54,8% dengan nilai p value 0,001 (α<0,05). Sehingga dapat disimpulkan ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan emosional remaja.

(25)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Pola Asuh

a. Pengertian pola asuh

Pola asuh orang tua dalam keluarga adalah sebuah frase yang menghimpun empat unsur penting, yaitu pola asuh, orang tua, dan keluarga. Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, system, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap.

Ketika pola diberi arti bentuk/struktur yang tetap, maka hal itu semakna dengan istilah “kebiasaan”. Asuh yang berarti mengasuh, satu bentuk kata kerja yang bermakna, merawat dan mendidik, membimbing agar dapat mandiri, memimpin.

Pola asuh orang tua dalam keluarga berarti kebiasaan orang tua, ayah dan atau ibu, dalam memimpin, mengasuh, dan membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan cara merawat dan mendidiknya.

Dengan demikian, pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten dan persisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan hingga remaja. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dapat dirasakan oleh anak dan bisa memberi efek negative maupun positif. Orang tua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak. Cara dan pola tersebut tentu

(26)

akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan.

Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah, dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya.

Sikap perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan, ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan dirsapi, kemudian menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya.

Bentuk-bentuk pola asuh orang tua mempengaruhi pembentukan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa.

Hal ini di karenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya jauh sebelumnya benih-benihnya sudah di tanamtumbuhkan ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak (Syaiful Bahri Djaramah, 2014)

b. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua

Metode asuh yang digunakan oleh orang tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan karakter seorang anak. Ada banyak jenis-jenis pola asuh orang tua yang sering menjadi pedoman bagi siapa saja yang ingin mencetak generasi paripurna untuk diandalkan bagi kemajuan bangsa kedepan. Jenis-jenis pola asuh orang tua ini masing-masing memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda sehingga tergantung bagaimana anda mempraktikannya sebagai teknik

(27)

dan pedoman untuk merawat anak dengan pendekatan yang berbeda pula (Takdir, 2012).

Dalam mengelompokan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hampir mempunyai persamaan. Di antaranya adalah sebagai berikut :

Paul Hauck yang dikutip Yusniah (2008) menggolongkan pengelolaan anak kedalam empat macam pola, yaitu:

1) Kasar dan tegas

Orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neurotic menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan di ubah dan mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri dan anak-anak mereka.

2) Baik hati dan tidak tegas

Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak- anak nakal yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-kanakan secara emosional.

3) Kasar dan tidak tegas

Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut biasanya diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berprilaku buruk dan ia bisa memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.

4) Baik hati dan tegas

Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini, mereka membuat suatu batas hanya

(28)

memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri, tidak pernah pada anak atau pribadinya.

Menurut Fuad (2013) pola asuh orang tua terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu pola asuh otoriter (authoritarian), pola asuh permisif (permissive), dan pola asuh demokratis (authoritative).

1) Pola asuh otoriter (authoritarian) yaitu pola asuh yang mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan cenderung diskriminatif. Hal ini di tandai dengan tekanan anak untuk patuh dalam semua perintah dan keinginan orang tua, anak sering di hukum, apabila anak salah dan apabila anak berhasil atau berprestasi jarang diberi pujian atau hadiah, pola asuh demikian mencerminkan ketidak dewasaan orang tua dalam merawat anak tanpa mempertimbangkan hak-hak yang melekat pada anak.

2) Pola asuh permisif (permissive) yaitu pola asuh permisif pada umumnya tidak ada pengawasan, bahkan cenderung membiarkan anak tanpa ada nasehat dan arahan yang bisa mengubah perilaku yang tidak baik. Orang tua dengan pola asuh ini memberikan sedikit tuntutan dan menekankan disiplin.

3) Pola asuh demokratis (authoritative) yaitu orang tua bersikap flexible, responsive, dan merawat. Orang tua melakukan pengawasan dan tuntutan, tetapi juga hangat, rasional, dan mau berkomunikasi.

Abu Ahmadi yang dikutif Yusniah (2008) mengemukakan bahwa, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh fels research

(29)

institute, corak hubungan orang tua-anak dapat dibedakan

menjadi tiga pola, yaitu:

1) Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.

2) Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.

3) Pola demokrasi- otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam mmenentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai dictator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi, sampai batas-batas tertentu, anak dpat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga.

Menurut Hadisiswantoro (2012) dalam target orang tua dalam mendidik anak yaitu:

1) Anak takut dengan tuhan

Mengajarkan firman tuhan kepada anak perlu dilakukan secara berulang-ulang dan tidak bosan-bosan karena hal ini akan memudahkan anak mengerti dan memahami yang diajarkan.

2) Anak taat kepada orang tua

Mendidik anak untuk taat kepada orang tua merupakan tantangan sekaligus seni dan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang tua, apalagi dengan perkembangan saat ini, dimana sudah bukan zamannya lagi untuk mengancam anak, baik dengan ucapan maupun pukulan.

(30)

Untuk itu, setiap orang tua hendaknya benar-benar memperhatikan metode yang mereka pakai untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya.

3) Anak mengasihi saudaranya

Merupakan suatu kebahagiaan apabila orang tua melihat anak-anaknya hidup rukun. Mereka bisa saling mengasihi, saling mendukung, saling menolong, dan saling berbagi.

Menurut Elizabet B. Hurlock yang di kutif oleh Yusniah (2008) ada beberapa sikap orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain:

1) Melindungi secara berlebihan

Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebiha.

2) Permisivitas

Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian.

3) Memanjakan

Permisivitas yang berlebih-memanjakan membuat anak egois, menuntut dan sering tiranik.

4) Penolakan

Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka.

5) Penerimaan

Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih saying pada anak, orang tua yang menerima,

(31)

memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak.

6) Pendominasian

Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitive.

7) Tunduk pada anak

Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka dan rumah mereka.

8) Favoritisme

Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit.

Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga.

9) Ambisi orang tua

Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka sering kali sangat tinggi sehingga tidak realistis.

Ambisi ini sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status social.

(32)

c. Pola Asuh Anak

Pengasuhan adalah serangkaian interaksi yang intensif dalam mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup. Oleh karena itu melibatkan aktivitas atau keterampilan fisik dalam memberikan rangsangan serta memberikan respon yang tepat untuk situasi yang spesifik. Pola asuh anak adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan yang berdampak luas pada kehidupan seluruh anggota keluarga yang menjadi dasar penyediaan pengasuhan yang tepat dan bermutu pada anak termasuk pengasuhan makanan bergizi (DEPKES RI, 2000).

Keluarga merupakan tempat Penimba pengalaman yang tak ternilai bagi anak dalam hal:

1) Biologi

a) Pengasuh anak dan kasih sayang

b) Makanan yang bergizi bagi anggota keluarga c) Perawatan kesehatan dan pencegahan d) Melakukan aktifitas dan istirahat

2) Sosial kultural

a) Transfer tradisi, adat istiadat termasuk bahasa

b) Membentuk norma-norma dari perilaku yang diterima oleh masyarakat

c) Proses sosialisasi 3) Psikologis

a) Membentuk kepribadian dan rasa percaya diri

b) Kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain diluar keluarganya

(33)

c) Pembentukan perkembangn emosi intelektual dari anggota keluarga

4) Ekonomi

a) Mengetahui perolehan penghasilan dan bagaimana alokasinya

b) Pengaturan keuangan agar bisa menabung untuk masa depan

c) Rencana-rencana keluarga lainnya 5) Pendidikan

a) Persiapan untuk kehidupan pada waktu dewasa

b) Memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang ada hubungannya dengan tanggung jawab ekonomi, social, dan adat istiadat, yang berguna untuk kemudian hari.

c) Mengerti peran orang dewasa

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

Menurut Edwards (2006) adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah :

1) Pendidikan orang tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak

(34)

dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson 1957 menunjukan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

2) Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

3) Budaya

Seringkali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan- kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak.

Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya.

(35)

e. Kesalahan pola asuh orang tua

Dalam keluarga, orang tua bertnggung jawab memberikan pendidikan kepada anaknya dengan pendidikan yang baik berdasarkan nilai-nilai akhlak dan spiritual yang luhur. Namun sayangnya tidak semua orang tua dapat melakukannya dan terdapat kesalahan dalam pola asuh orang tua dalam mengasuh anaknya.

Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2014) kesalahan pola asuh orang tua antara lain:

1) Ketidaksamaan dalam menyikapi perilaku anak 2) Selalu menuruti keinginan anak

3) Kesalahan penempatan kasih saying

4) Miskin sopan santun dalam bahasa dan perilaku 5) Pengawasan yang berlebihan terhadap anak 6) Penerapan norma keluarga yang terlalu ketat 7) Kesalahan mentradisikan budaya, norma, dan nilai 8) Deskriminatif dalam menyikapi prestasi belajar anak 9) Deskriminatif dalam memperlakukan anak

10) Terlalu berlebihan dalam memberikan kebiasaan pada anak 11) Pencitraan yang keliru terhadap perkembangan anak 12) Miskin keteladanan, kebiasaan yang baik, dan budaya malu 13) Miskin keteladanan budaya silaturahmi

14) Miskin keakraban dengan anak

15) Miskin budaya membaca dan penghargaan f. Pola asuh dan kunci sukses merawat anak

1) Merawat anak dengan pelukan dan kasih sayang 2) Memberikan nutrisi sehat pada anak

(36)

3) Membina hubungan baik

4) Membesarkan anak dengan tanggung jawab 5) Menanamkan moral pada anak

6) Meningkatkan rasa percaya diri pada anak 7) Mengajarkan kebaikan dan sopan santun 8) Menanamkan kejujuran

9) Menanamkan pendidikan kesehatan mental 10) Menumbuhkan perilaku spiritual pada anak.

g. Dampak pola asuh terhadap kepribadian anak 1) Pola asuh demokratis

a) Dampak positif pola asuh demokratis

Anak akan lebih kompeten bersosialisasi, mampu bergantung pada dirinya sendiri dan bertanggung jawab secara social (King, 2010). Anak pun memiliki kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas. Orang tua pun akan tetap membimbing anak dan mempertimbangkan semua pendapat-pendapat anak.

b) Dampak negative pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis lebih banyak memiliki dampak positif, namun terkadang juga dapat menimbulkan masalah apabila anak atau orang tua kurang memiliki waktu untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, diharapkan orang tua tetap meluangkan waktu untuk anak dan tetap memantau aktifitas anak. Selain itu, emosi anak yang kurang stabil juga akan menyebabkan perselisihan disaat orang tua sedang mencoba membimbing anak.

(37)

2) Pola asuh otoriter

a) Dampak positif pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter banyak memiliki dampak negative. Anak akan lebih disiplin karena orang tua bersikap tegas dan memerintah. Orang tua pun akan lebih mudah mengasuh anak karena anak tidak akan memiliki masalah di bidang pelajaran dan tidak akan terjerumus ke dalam kenakalan remaja atau pergaulan bebas.

b) Dampak negative pola asuh otoriter

Anak yang dididik dengan pola asuh otoriter cenderung tumbuh berkembang menjadi pribadi yang suka membantah, memberontak dan berani melawan arus terhadap lingkungan sosial. Biasanya pola asuh ini disebabkan oleh ke khawatiran orangtua (Dariyo, 2007).

Orangtua khawatir kemudian secara sadar atau tidak membuat anak mengalami pembatasan ruang gerak, mengalami pengekangan kreativitas dan pembunuhan rasa ingin tau (Aprilianto, 2007).

3) Pola asuh permisif

a) Dampak positif pola asuh permisif

Orang tua akan lebih mudah mengasuh anak akan lebih mudah mengasuh karena kurangnya control terhadap anak. Bila anak mampu mengatur seluruh pemikiran, sikap, dan tindakannya dengan baik, kemungkinan kebebasan yang diberikan oleh orangtua dapat dipergunakan untuk mengembangkan kreativitas dan bakatnya, sehingga ia menjadi seorang individu yang

(38)

dewasa, inisiatif, kreatif. Dampak positif akan tergantung kepada bagaimana anak menyikapi sikap orangtua yang permisif (Dariyo, 2007).

b) Dampak negative pola asuh permisif

Anak akan tumbuh menjadi remaja yang tidak terkontrol. Anak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan bebas yang pada akhirnya merugikan pihak anak dan orangtua. Dampak negative pola asuh ini juga akan membuat anak memiliki kemampuan komunikasi yang buruk.

4) Pola asuh situasional

a) Dampak positif pola asuh situasional

Dampak positif di pola asuh ini sangat sedikit karena merupakan pola asuh campuran dari demokratis, otoriter, dan permisif. Salah satunya adalah orangtua bebas menerapkan peraturan apapun dirumah dan terkadang juga tidak perlu repot mengawasi anak.

Orangtua pun dapat bersikap fleksibel terhadap anak.

b) Dampak negative pola asuh situasional

Dengan campuran pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif, anak akan memiliki pendirian yang kurang stabil. Anak pun akan merasa ketergantungan terhadap orang lain. Hal ini membuat anak akan kurang nyaman dengan kondisi keluarga.

(39)

2. Konsep Perkembangan Emosional Remaja a. Pengertian perkembangan emosional remaja

Perkembangan adalah perubahan yang teratur, sistematis, dan terorganisir yang mempunyai tujuan tertentu.

Perkembangan menunjuk pada suatu proses perubahan yang bersifat kualitatif mengenai fungsi-fungsi fisik maupun mental yang terjadi terus-menerus kea rah yang lebih sempurna sampai akhir hayat sebagai hasil interaksi dengan lingkungan (Sumanto,2014).

Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu serta setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Emosi juga merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak (Asrori,2011).

Emosi merupakan suatu kompleksi suasana yang mempengaruhi perasaan/pikiran yang ditandai oleh perubahan biologis dan muncul sebelum atau sesudah terjadinya suatu perilaku. Mekanismes terjadinya emosi didahului dengan suatu kejadian (situasi) yang mengaktifkan system saraf yang dapat menimbulkan terjadinya perubahan fisiologis di luar kesadaran (misalnya terjadi perubahan ekspresi wajah, percepatan denyut jantung, keluarnya keringat, dan sebagainya, yang akhirnya membuat seseorang mengalami kenyamanan atau ketidaknyamanan sesuai impuls yang diterimanya. Perkembangan emosi meliputi kemampuan anak untuk mencintai, merasa nyaman, berani, gembira,

(40)

takut, marah serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi berkembang sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Anak mendapatkan curahan kasih sayang juga akan belajar untuk menyayangi (Sumanto, 2014).

1) Pengaruh emosi terhadap perilaku dan perubahan fisik individu.

Emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif ini adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu. Seperti, gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), dan sebagainya.

a) Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.

b) Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).

c) Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.

d) Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.

e) Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya

(41)

dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

2) Emosi dapat dikelompokan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).

a) Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.

b) Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alas an-

alasan kejiwaan yang termasuk emosi ini, di antaranya adalah:

 Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai

sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran.

Perasaan ini di wujudkan dalam bentuk: rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah, rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran, rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan- persoalan ilmiah yang harus dipecahkan.

 Perasaan sosial, yaitu perasaan yang menyangkut

hubungan dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti, rasa solidaritas, persaudaraan, simpati, kasih sayang dan sebagainya.

 Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral). contohnya: rasa tanggung jawab (responsibility), rasa bersalah apabila

(42)

melanggar norma, rasa tenteram dalam menaati norma.

 Perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun keroanian.

 Perasaan ketuhanan, salah satu kelebihan

manusia sebagai mahluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal tuhannya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religious (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai ‘’Homo Divinas’’ dan ‘’Homo Religius’’, yaitu sebagai makhluk yang berke-Tuhan-an atau mahluk beragama.

b. Perkembangan emosional selama pertumbuhan

Perkembangan emosional menurut Djaali (2013) yaitu:

1) Selama masa awal

Diketahui bahwa sifat perasaan emosi telah timbul selama masa bayi, bahkan sebagian ahli berpendapat bahwa masa bayi di dalam kandungan pun sudah dipengaruhi oleh emosi. Akan tetapi, kita sendiri seringkali kurang mengerti apakah tanda-tanda seperti menangis, tertawa, dan lain-lain pada masa awal bayi disertai atau diikuti dengan intensitas perasaan atau tidak. Menurut Briggs 1970, emosi anak akan berkembang melalui pengalaman, sekalipun masih dangkal dan berubah-ubah.

(43)

Ketika emosi bayi diungkapkan dalam bentuk marah dan takut dengan menangis atau gemetar.

Ketika bayi sudah berusia 8 bulan, ia mulai dapat memperlihatkan dengan sangat berbeda antara rasa marah dan rasa takut. Selama pertumbuhan, perubahan pada ekspresi emosi itu semakin lama akan semakin jelas dan berbeda. Sebagai contoh, bayi akan menyerang benda-benda di sekitarnya untuk mengekspresikan kemarahannya, lambat laun ia mampu memusatkan ekspresi emosinya langsung kepada objek yang memang menimbulkan kemarahannya.

2) Fase selanjutnya

Perkembangan emosi pada pertumbuhan anak semakin lama semakin halus dalam mengekpresikannya sampai pada masa remaja. Peralihan ekspresi emosi yang tadinya kasar, karena terpengaruh latihan dan control, berangsur-angsur tingkah laku emosionalnya berubah.

Selama anak bertambah kekuatan fisik dan pengertiannya, ia akan merespon dengan cara yang berbeda beda terhadap segala kekuatannya, karena sudah terlebih dahulu dipertimbangkannya.

3) Perkembangan akhir

Pada akhirnya dia akan mencapai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya sehubungan dengan apa yang terjadi pada dirinya. Semakin dewasa, ia akan semakin dapat mengungkapkan dengan jelas emosinya, karena emosi menjadi semakin mudah diklasifikasikan

(44)

seperti rasa takut, marah, muak, dan benci juga apresiasinya terhadap nilai, keinginan dan cita-cita.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja menurut Asrori (2011) yaitu :

1) Perubahan jasmani

Perubahan jasmani yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang.

Ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tak terduga pada perkembangan emosi remaja.

Tidak setiap remaja dapat menerima perubahan tersebut menyangkut perubahan kulit yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh reaja dan sering kali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.

2) Perubahan pola interaksi dengan orang tua

Pola asuh orang tua terhadap remaja sangat bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan remaja, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang penuh cinta kasih. Perbedaan pola

(45)

asuh orang tua seperti ini berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi remaja.

Pemberontakan terhadap orang tua menunjukan bahwa mereka berada dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari pengawasan orang tua. Mereka tidak merasa puas kalau tidak pernah sama sekali menunjukan perlawanan terhadap orang tua karena ingin menunjukkan seberapa jauh dirinya telah berhasil menjadi orang yang lebih dewasa. Jika mereka berhasil dalam perlawanan terhadap orang tua sehingga menjadi marah, mereka pun belum merasa puas karena orang tua tidak menunjukan pengertian yang mereka inginkan. Keadaan semacam ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja.

Tanggung jawab orang tua :

Kedua orang tua bertanggung jawab dalam memberikan contoh bagi anak-anak mereka yang sebenarnya merupakan dasar dari pendidikan. Dari Ayah, anak laki-laki beroleh pengetahuan awal tentang keberanian dan kebijaksanaan. Dari Ibu, anak perempuan belajar tentang sifat feminism. Kepribadian ibu atau ayah mempengaruhi kerangka pikiran dan gambaran sang anak tentang dunia secara umum. Orang tua berperan penting dalam mengasuh dan membimbimbing anak sebagai manusia baru. Mereka harus memberikan cinta yang murni dan perhatian yang jujur demi kebaikan sang anak.

Mereka berkewajiban melakukan apa saja yang diperlukan

(46)

bagi perkembangan anak-anak dan memastikan meereka mendapat pendidikan yang cukup sebagai bekal dalam menghadapi hidup, sesuai dengan kondisi kehidupan mereka.

Ada banyak pembicaraan tentang ‘’jurang pemisah’’

antara orang tua dan anak-anak mereka, dan tentang situasi yang baru dimana anak-anak menolak orang tua mereka. Perbedaan itu boleh jadi sudah ada sejak dulu.

Namun saat ini perbedaan itu menjadi makin nyata dan meluas karena anak-anak tampaknya tumbuh dan dewasa lebih cepat lantaran mereka menunjukan keterbukaan, kegelisahan, dan konflik batin mereka.

Siapapun pasti pernah berpikir dan bersikap tidak dewasa berapa pun umurnya, tetapi hal ini lebih sering terjadi pada orang yang lebih muda. Perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa adalah bahwa anak-anak lebih dikuasai emosi. Dia bisa dengan mudah dipengaruhi oleh perasaannya saat itu dan tertanggu oleh emosi yang kuat. Orang tua juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengendalikan emosi mereka guna mendidik anak- anak.

3) perubahan interaksi dengan teman sebaya

Remaja sering kali membangun interaksi sesame teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktifitas bersama teman sebayanya.

Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan lawan jenis. Pada

(47)

masa remaja tengah, biasanya remaja benar-benar mulai jatuh cinta pada lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tapi tidak jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa. Oleh sebab itu, tidak jarang orang tua justru merasa tidak gembira atau bahkan cemas ketika anak remaja jatuh cinta. Gangguan emosional yang mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena pemutusan hubungan cinta dari satu pihak sehingga dapat menimbulkan kecemasan bagi orang tua dan bagi remaja itu sendiri.

4) Perubahan pandangan luar

Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja menurut Asrori (2011) yaitu sebagai berikut : a) Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak

konsisten. Kadang-kadang mereka dianggap sudah dewasa, tetapi mereka tidak mendapat kebebasan penuh atau peran yang wajar sebagaimana orang dewasa. Seringkali mereka masih dianggap kecil sehingga menimbulkan kejengkelan pada diri remaja.

Kejengkelan yang mendalam dapat berubah menjadi tingkah laku emosional.

b) Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai- nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki memiliki banyak

(48)

teman perempuan, mereka mendapat predikat popular dan mendatangkan kabanggaan. Sebaliknya, apabila remaja putri mempunyai banyak teman laki-laki sering dianggap tidak baik atau bahkan mendapat predikat yang kurang baik. Penerapan nilai yang berbeda semacam ini jika tidak disertai dengan pemberian pengertian secara bijaksana dapat menyebabkan remaja bertingkah laku emosional.

c) Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut kedalam kegiatan- kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai- nilai moral. Misalnya, penyalahgunaan obat terlarang, minum-minuman keras, serta tindak kriminal dan kekerasan. Perlakuan dunia luar semacam ini akan sangat merugikan perkembangan emosional remaja.

5) Perubahan interaksi dengan sekolah

Para Guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam keidupan mereka karena guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Oleh karena itu, tidak jarang para remaja lebih percaya, patuh bahkan lebih takut kepada guru dari pada orang tuanya. Posisi guru semacam ini sangat strategis apabila digunakan untuk pengembangan emosi remaja melalui penyampaian materi-materi yang positif dan konstruktif.

Dalam pembaruan, para remaja sering terbentur pada nilai-nilai yang tidak dapat mereka terima atau yang sama

(49)

sekali bertentangan dengan nilai-nilai yang menarik bagi mereka. Pada saat itu, timbulah idealisme untuk mengubah lingkungannya. Idealism seperti tentunya tidak boleh diremehkan dengan anggapan bahwa semuanya akan muncul jika mereka sudah dewasa. Sebab idealisme yang di kecewakan dapat berkembang menjadi tingkah laku emosional yang destruktif.

d. Timbulnya emosi

Timbulnya emosi menurut Djaali (2013) yaitu : 1) Rangsangan yang menimbulkan emosi

Emosi timbul dari rangsangan (stimulus), stimulus yang sama mungkin dapat menimbulkan emosi yang berbeda-beda dan kadang-kadang malah berlawanan.

Adapun rangsangan dapat muncul dari dorongan, keinginan atau minat yang terhalang, baik disebabkan oleh tidak atau kurangnya kemampuan individu untuk memenuhinya atau menyenangkan. Apabila semua keinginan dan minat tidak terhalang, dapat dikatakan bahwa secara emosional individu tersebut dalam keadaan stabil.

Intensitas dan lamanya respons emosional sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan mental dari individu itu sendiri, juga faktor lain yang sangat menentukan adalah stimulus itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa emosi akan berlangsung terus selama stimulusnya ada dan yang menyertainya masih aktif. Karena emosi mempengaruhi tingkah laku, tingkah lakunya akan terus terpengaruh

(50)

selama stimulusnya aktif, namun demikian emosi bukan satu-satunya faktor yang menentukan tingkah laku.

2) Perubahan fisik dan fisiologis

Perubahan fisik dan fisiologis dapat dipengaruhi oleh rangsangan yang menimbulkan emosi. Emosi ini akan menghasilkan berbagai perubahan yang mendalam (visceral changes) dan akan mempengaruhi urat-urat kerangka di dalam tubuhnya. Jenis perubahan secra fisik dapat dengan mudah kita amati pada diri seseorang, selama tingkah lakunya dipengaruhi emosi, misalnya dalam keadaan marah, cemburu, bingung dan lain-lain.

Hal inilah yang biasanya disebut kerangka individu.

Adapun secara fisiologis perubahan yang terjadi tidak tampak dari luar, biasanya dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes diagnosis dari para ahli ilmu jiwa.

Perubahan fisiologis pada saat emosi umumnya meliputi fungsi pencernaan, aliran darah, pengurangan air liur (mulut terasa kering), pengeluaran kelenjar endokrin, dan lain-lain.

Emosi ditandai oleh perilaku yang merefleksikan (mengekspresikan) kondisi senang atau tidak senang seseorang atau transaksi yang sedang dialami. Emosi juga bersifat lebih spesifik dan terwujud dalam bentuk gembira, takut, marah, dan seterusnya, tergantung pada bagaimana transasksi tersebut mempengaruhi orang tersebut (sebagai contoh, transaksi dalam bentuk ancaman, frustasi, kelegaan, penolakkan, sesuatu yang

(51)

tidak terduga, dan sebagainya). Disamping itu, emosi dapat dibagi menjadi positif dan negative, emosi-emosi negative, seperti kesedihan, marah, rasa bersalah, kesal, sensitive, dan sebagainya. Emosi-emosipositif seperti kegembiraan, rasa bersyukur dan sebagainya (Santrock, 2007).

Keadaan emosi selama masa remaja menurut Hurlock (1980) yaitu :

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode, ‘’badai dan tekanan,’’ suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pertumbuhan pada tahun- tahun awal masa puber terus berlangsung tetapi berjalan agak lambat. Pertumbuhan yang terjadi terutama bersifat melengkapi pola yang sudah terbentuk pada masa puber.

Oleh karena itu, perlu dicari keterangan lain yang menjelaskan ketegangan emosi yang sangat khas pada usia ini. Penjelasan diperoleh dari kondisi social yang mengelilingi remaja masa kini. Adapun meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama kanak-kanak, anak kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu.

Tidak semua remaja mengalami rasa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai

(52)

konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan social yang baru. Misalnya, masalah yang berhubungan dengan percintaan merupakan masalah yang pelik pada periode ini. Bila kisah cinta berjalan lancar, remaja merasa bahagia, tetapi mereka menjadi sedih bilamana percintaan kurang lancar.

Demikian pula, menjelang berakhirnya masa sekolah para remaja mulai mengkhawatiirkan masa depan mereka.

Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional. Menurut Gessel dan kawan-kawan, remaja empat belas tahun sering kali mudah marah, mudah di rangsang,dan emosinya cenderung ‘’meledak,’’ tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam belas tahun mengatakan bahwa mereka

‘’tidak punya keprihatinan.’’ Jadi adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.

Kematangan emosi menurut Hurlock (1980) yaitu :

Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak ‘’meledakkan’’ emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai secara emosional, tidak

(53)

lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Dengan demikian, remaja mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya dapat menimbulkan ledakan emosi. Akhirnya, remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hari ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya.

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan berbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadai dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada ‘’orang sasaran’’.

Bila remaja ingin mencapai kematangan emosi, anak juga harus belajar menggunakan kataris emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis. Meskipun cara-cara ini dapat menyalurkan gejolak emosi, namun sikap sosial terhadap perilaku tertawa, kecuali bila tertawa hanya dilakukan bilamana memperoleh dukungan social.

(54)

3. Konsep Remaja a. Pengertian Remaja

Remaja sebagai periode tertentu dari kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relative baru dalam kajian psikologis. Di Negara-negara barat, istilah remaja dikenal dengan ‘’adolescence’’ yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescene (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Samsunuwiyati, 2010).

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ- organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka (Pikunas, 1976) masa remaja ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun: (b) remaja madya: 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Saizman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral (Syamsul, 2012).

Menurut Lustin (1976) periode remaja ini dipandang sebagai masa Storm dan Stress, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Syamsul, 2012).

Remaja sebagai individu sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1) F obs = 5,1921&gt; F tabel = 4,002 (nilai signifikansi&lt;

[r]

(b) menyatakan pendirian mengenai perkara yang disebut dalam perenggan (a) dalam sesuatu seminar, simposium atau majlis seumpamanya yang tidak dianjurkan atau ditaja oleh

Teori Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus dilalui siswa agar proses pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan

Sedangkan kegagalan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih

@andihiyat mengatakan memiliki kelebihan unik yang ditunjukan oleh @andhiyat jika dibanding dengan selebtwit lain yaitu biarpun dari penampilanya fisiknya yang

Crow (dalam Sagala, 2010: 13) mengemukakan belajar ialah upaya memperoleh kebiasaan- kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap. Belajar dikatakan berhasil manakala

The C++ standard library containers were designed to meet two criteria: to provide the maximum freedom in the design of an individual container, while at the same time