• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI VISUAL THINKING PADA PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI VISUAL THINKING PADA PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI VISUAL

THINKING PADA PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP

MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan dalam Pendidikan Matematika

Promovendus

EDY SURYA

NIM. 0908345

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking dan Pemecahan Masalah Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual” ini adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan plagiarisme atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam tradisi keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menerima tindakan/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika akademik dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Januari 2013 Yang membuat pernyataan,

(4)

ABSTRAK

Edy Surya (2013). Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking pada Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual. Penelitian ini berbentuk eksprimen dengan disain kelas control pretes-postes, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan representasi visual thinking (KRVT) pada pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar (KB) siswa SMP melalui pembelajaran kontekstual. Populasi penelitian ini adalah siswa SMP di Kota Medan. Sampel terdiri atas 169 siswa dari dua sekolah dengan kategori sekolah baik dan sedang. Sampel tersebut terdiri atas empat kelas, yaitu dua kelas eksperimen dan dua kelas kontrol. Siswa kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran kontekstual (P-CTL) dan siswa kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional (P-KV). Sebelum dilakukan penelitian, subjek sampel dikelompokan menjadi kelompok tinggi, menengah dan rendah berdasarkan kemampuan awal matematika. Instrumen penelitian ini adalah tes, observasi dan wawancara. Penelitian ini menemukan : (1) Pendekatan P-CTL pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan KRVT, pada kategori sekolah baik dan sedang. Begitu juga untuk sekolah kategori sedang, peningkatan KRVT siswa yang mendapat P-CTL juga lebih tinggi dari peningkatan KRVT sekolah kategori baik dan sedang yang mendapat P-KV; (2) P-CTL dapat meningkatkan KRVT siswa pada ketiga kelompok KAM. Peningkatan KRVT siswa pada KAM tinggi, menengah dan rendah yang mendapat P-CTL lebih tinggi dari siswa pada KAM tinggi, menengah, dan rendah yang mendapat P-KV; (3) Tidak terdapat pengaruh interaksi pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan KRVT siswa; (4) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM, terhadap peningkatan KRVT siswa; (5) P-CTL dapat meningkatkan KB pada kategori sekolah. Pada sekolah dengan kategori baik peningkatan KB siswa yang mendapat P-CTL lebih tinggi dari peningkatan KB siswa yang mendapat P-KV. Begitu juga untuk sekolah kategori sedang, peningkatan KB siswa yang mendapat P-CTL juga mengalami peningkatan yang signifikan lebih tinggi dari peningkatan KB siswa dari sekolah kategori baik dan sedang yang mendapat P-KV; (6) P-CTL dapat meningkatkan KB siswa pada ketiga kelompok KAM; (7) Tidak terdapat pengaruh interaksi pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan KB siswa; (8) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM siswa terhadap peningkatan KB siswa.

(5)

ABSTRACT

Edy Surya (2013). Improving Visual Thinking Representation in Mathematica Problem Solving andSelf-Regulated Learning of SMP Students with Contextual Teaching Learning

This research study was aimed at improvement visual thinking representation (KVRT) in mathematical problem solving and self-regulated learning (SRL) of SMP students with contextual teaching learning (P-CTL) by applying a control group pre-test-posttest design. The population was SMP students in Medan. The number of sample was 169 students, they came from two different levels of school category, good and middle school. Sample consisted of four classes, two classes of experimental groups and two classes of control groups. Experiment classes were treated by P-CTL and control classes were treated by conventional learning (P-KV). Prior to the study, the subject sample are grouped into high, medium and low based on basic math competency (KAM). The research instrument was a test, observation and interview. It was found that (1) P-CTL improves KRVT for the two schools level. It was increased students’ KRVT who received P-CTL in the middle school level which is higher than KRVT at good school level which is receiving P-KV. (2) P-CTL improves students’ KRVT in all three groups KAM. Increased KRVT at high, medium and low students’ KAM who received P-CTL higher than students in the high, medium, and low KAM who received P-KV, (3) There was no interaction effect of teaching approaches and school categories to improve students’ KRVT; (4) There is an interaction between teaching approaches and students’ KAM, to improve students’ KRVT, (5) P-CTL improves SRL in the school level. It was increasing SRL in good school level students who received P-CTL higher than the increasing of the students who received P-KV. Moreover, it was also increasing SRL for the middle school level who received P-CTL which was significantly increased higher than the SRL increasing from both categories which were receiving P-KV, (6) P-CTL improves students’ SRL in all three groups KAM; (7) There is no interaction effect of teaching approach and school levels to improve SRL: (8) There is no interaction effect of teaching approach and students’ KAM to improve SRL.

(6)

DAFTAR ISI

A. Representasi Visual Thinking Matematis .……….. B. Pemecahan Masalah Matematis ...……….. C. Pendekatan Kontekstual ……………….. D. Keterkaitan antara Kemampuan Representasi Visual

Thinking dan Pemecahan Masalah Matematis serta

Pendekatan Kontekstual ………. E. Kemandirian Belajar (Self-Regulated Learning) ….………..

F. Pengembangan Perangkat Pembelajaran ……… G. Beberapa Hasil Penelitian Relevan ………. H. Hipotesis Penelitian ………... C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ……… D. Perangkat Pembelajaran ……… E. Prosedur Penelitian ……… F. Teknik Analisis Data ………. G. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ………..

(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data dan Analisis Hasil Penelitian ………... B. Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Nilai KAM ………. C. Uji Beda Rata-Rata Data KAM Berdasarkan Kategori Sekolah .. D. Uji Beda Rata-Rata Data KAM Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ………...... E. Analisis Deskriptif Data PeningkatanRVT Siswa ………... F. Analisis Inferensial Data Peningkatan Kemampuan RVT ……… G. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Peningkatan KRVT …....…...…. H. Analisisi Deskriptif Data KB Matematis Siswa ………….…..… I. Analisis Inferesial Data KB Siswa ………..…….… J. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data KB …………...…………..

K. Pembahasan ………. BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN

(8)

DAFTAR TABEL

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel

Kontrol (Level Sekolah) ………

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel

Kontrol (Kemampuan Awal Matematika) ……….. Sekolah dan Kelas sebagai Sampel Penelitian ………. Banyaknya Siswa pada KAM Tinggi, Menengah dan rendah ……….

Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes Kemampuan RVT………..

Hasil Pertimbangan Validasi Muka Tes Kemampuan……….... Koefisien Korelasi Pearson ……… Koefisien reliabilitas Soal ………

Hasil Perhitungan Validitas Soal Tes Kemampuan RVT Data Ujicoba .

Reliabilitas Soal Tes Kemampuan RVT Data Uji Coba…………...

Perhitungan Mendapatkan Skor Skala KB untuk Pernyataan Positif

Butir 1 (+) ………..

Perhitungan Mendapatkan Skor Skala KB untuk Pernyataan Positif

Butir 7 (-) ………..

Komposisi Skala KB Setelah Pengguguran…….…………...………… Waktu Pelaksanaan Penelitian………….…….………..

Sebaran Sampel Berdasarkan Kelompok KAM, Kategori Sekolah dan

Pendekatan Pembelajaran………..

Deskripsi Data KAM Berdasarkan Kategori Sekolah, Pendekatan

Pembelajaran, dan Gabungannya……….

Deskripsi Data KAM Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Kelompok KAM Siswa dan Gabungannya………. Hasil Uji Normalitas Data KAM Siswa Berdasarkan Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran………..

Hasil Uji Homogenitas Varians Nilai KAM Berdasarkan Kategori

Sekolah………...

Uji Beda Rata-Rata Data KAM Siswa Berdasarkan Kategori Sekolah Uji Beda Rata-Rata Data KAM Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran……….

Deskripsi Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran……….

Ansalisis Deskriptif Data Kemampuan RVT Siswa dan Nilai N-Gain

Berdasarkan Kategori dan Pendekatan Pembelajaran ……….

Deskripsi Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan KAM, dan Pendekatan

Pembelajaran……….

Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran ……….

Analisis Peningkatan RVT Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ………

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan RVT Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran………..

Uji Beda Peningkatan Kemampuan RVT Siswa Setelah Pembelajaran

CTL dan KV ……….

(9)

4.16

Analisis Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori

Baik ………. ………..

Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik setelah Mendapat P-KV…………. Analisis Peningkatan kemampuan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik setelah Mendapat Pembelajaran P_KV

Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Mendapat P-CTL …….

Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Mendapat P-CTL ……….……. Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Pembelajaran KV ………. Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang

Setelah Mendapatkan KV ……….

Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa

Sekolah Kategori Baik ……….

Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Sekolah Kategori Baik………. Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan RVT Siswa Sekolah

Kategori Sedang ……….... Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Sekolah Kategori Sedang …...

Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Setiap kelompok KAM ……...

Uji Nyata Peningkatan Kemampuan RVT Setiap Kelompok KAM…...

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa

Setiap Kelompok KAM ………. Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Setiap Kelompok KAM …….

Uji Homogenitas Varians dari Levene Peningkatan RVT Berdasarkan

Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah……..

Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan

Pembelajaran dan Kategori Sekolah ………..

Uji Homogenitas Varian dari Levene Peningkatan RVT Siswa

Berdasarkan Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan KAM Siswa Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan

Pembelajaran dan KAM Siswa ………

Uji Nyata Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Antar Kelompok KAM (Uji Post Hoc-LSD) ………..

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data Peningkatan Kemampuan RVT

Deskripsi KB Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran…………

Analisis Deskriptif KB Siswa dan Nilai N-Gain Berdasarkan Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran ………..

Deskripsi KB Siswa Berdasarkan KAM dan Pendekatan Pembelajaran Uji Normalitas Data Peningkatan KB Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ………..

Analisis Peningkatan KB Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan KB Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran ……….. Uji Beda Peningkatan KB Siswa pada Pembelajaran CTL dan KV …..

Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah

Kategori Baik ……….

Uji Normalitas Data Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah

(10)

4.46

Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori

Baik Setelah Mendapat PCTL ……….

Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik

Setelah Mendapat PKV ………

Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah

Kategori Sedang Setelah mendapat CTL ……….

Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah

Kategori Sedang Setelah mendapat PKV ………

Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang Setelah Mendapat P-CTL ……… Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang Setelah Mendapat P-KV ………. Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB Antara Siswa pada

Sekolah Kategori Baik ………

Uji Beda Peningkatan KB Siswa Pada Sekolah Kategori Baik P-CTL

dan P-KV……….. …..

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB Siswa pada Sekolah

Kategori Sedang ………..

Uji Perbedaan Peningkatan KB antara Siswa yang Mendapat CTL pada

Sekolah Kategori Sedang ………..

Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM

Tinggi ……….

Uji Nyata Peningkatan Rata_Rata Skor KB pada KAM

Timggi………

Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM

Menengah ………

Uji Nyata Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM Menengah …… Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM

Rendah ………..

Uji Nyata Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM Rendah …….. Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa pada

Kelompok KAM Tinggi ………..

Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM

Tinggi ………

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa yang

Mendapat CTL dan KV pada KAM Menengah ………

Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM

Menengah ……….

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa yang

Mendapat CTL dan KV pada KAM Rendah ……….

Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM

Rendah ……….l

Uji Homogenitas Varian dari Levene terhadap Data Peningkatan KB

Siswa ………..

Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah ………. Uji Homogenitas Varian dari Levene terhadap Data Peningkatan KB

Siswa ……… ………..

Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan

Pembelajaran dan Kelompok KAM Siswa terhadap Peningkatan KB …

(11)

4.72 4.73

Uji Nyata Perbedaan Peningkatan KB antar Kelompok KAM (Uji Post

Hoc-LSD) ……….…..

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data Peningkatan KB Matematis

Siswa ……….

(12)

DAFTAR GAMBAR Representasi Visual Thinking yang Mendukung Penilaian

Formatif ………

Tiga Cara Berpikir ……….

Developing Identity as a Mathematical Thinker ……… Skor Kemampuan RVT Ditinjau dari Kategori Sekolah dan

Pendekatan Pembelajaran ………

KRVT Siswa Ditinjau dari KAM dan Pendekatan

Pembelajaran………..

Rata-Rata N-Gain RVT Siswa Ditinjau dari Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran ………..

Rata-Rata N-Gain RVT Ditinjau dari KAM dan Pendekatan

Pembelajaran ………

Skor Awal dan Akhir KB Siswa Ditinjau dari Kategori Sekolah

……….

Skor Awal dan Akhir KB Siswa Ditinjau dari Kelompok KAM Skor Rata-Rata N-Gain KB Siswa dari Kategori Sekolah dan

Pendekatan Pembelajaran ……….

Skor Rata-Rata N-GainKB Siswa Ditinjau dari Kelompok

KAM Siswa dan Pendekatan Pembelajaran ………

(13)

DAFTAR LAMPIRAN a. Naskah Soal Pretes Kemampuan RVT ………... b. Naskah Soal Postes kemampuan RVT ………

Naskah Angket Kemandirian Belajar Matematis ………..

Kisi-Kisi dan teknik Penskoran Tes Kemampuan RVT ……...

Penyelesaian Tes Kemampuan RVT ………. Lembar Validasi Buku Pedoman Guru ………. Lembar Validasi LKS ………... Lembar Validasi Naskah Pedoman Wawancara ………... Lembar Validasi Naskah Pedoman Observasi ………. Lembar Validasi Naskah Soal Kemampuan RVT ………

Lembar Validasi Naskah Angket Kemandirian Belajar ………

Hasil Validasi Buku Pedoman Guru ………. Hasil Validasi LKS ………... Hasil Validasi Soal Kemampuan RVT ………. Hasil Validasi Angket Kemandirian Belajar ……… Hasil Ujicoba Kemampuan RVT di SMP AL Ulum ………… Hasil Analisis Statistik Data Kemampuan RVT di Al Ulum … Hasil Ujicoba KB di SMP Al Ulum ……….. Hasil Perhitungan Pembobotan Data KB Hasil Ujicoba ……... Validitas Data KB Matematis Hasil Ujicoba ……… Skor Kemampuan Awal Matematika (KAM) Siswa ………… Skor Kemampuan RVT Sekolah Kategori Baik ……….. Skor Kemampuan RVT Sekolah Kategori Sedang ………….. Skor Kemandirian Belajar Matematis Siswa ……… Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data KAM ……

Deskripsi, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data

Kemampuan RVT ……….

Uji Nyata, Uji Beda, ANAVA, Data Peningkatan Kemampuan

RVT ………..

Deskripsi, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data

KB Matematis ………...

Uji Nyata, Uji Beda, ANAVA, Data Peningkatan KB ………

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Visualisasi memiliki peran penting dalam pengembangan pemikiran,

pemahaman matematis dan dalam transisi dari berpikir konkrit ke abstrak berkaitan

dengan pemecahan masalah matematis (Lavy, 2006). Visual thinking menarik untuk

dibahas mengingat banyak penelitian terdahulu menemukan bahwa akibat

penggunaan representasi visual yang tidak benar siswa mengalami keterbatasan dan

kesulitan. Kesulitan siswa yang ditemukan yaitu dalam memahami masalah,

menggambar diagram, membaca grafik dengan benar, memahami konsep matematis

formal dan memecakan masalah matematis (Eisenberg, 1994; Arcavi, 2003; Stylianou

& Silver, 2004).

Visualisasi yang digunakan pada pembelajaran matematika dapat menjadi alat

yang ampuh mengeksplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti bagi

konsep-konsep matematis dan hubungannya (Roska & Rolka, 2006).Banyak penelitian yang

membahas keuntungan dari visualisasi berkaitan dengan pemecahan masalah

matematis (Presmeg, 1986a; Presmeg 1986b; Kent 2000; Mariotti, 2000; Slovin,

2000; Thornton, 2001; Yin, 2011).

Peningkatan representasi visual thinking sangat penting dalam pemecahan

masalah matematis. Modelminds (2012) menyebutkan terdapat 10 alasan mengapa

visual thinking penting dalam memecahkan masalah yang kompleks yaitu : (1) Visual

thinking membantu memahami masalah yang kompleks menjadi lebih mudah; (2)

Hasil visualisasi masalah yang kompleks, menjadi mudah dalam berkomunikasi dan

(15)

berkomunikasi lintas budaya dan bahasa; (4) Visual thinkingmembuat komunikasi

dari sisi emosional menjadi lebih baik; (5) Visualisasi membantu memfasilitasi

pemecahan masalah non-linear; (6) Visualisasi dari masalah memungkinkan orang

untuk berpikir bersama dengan setiap ide orang lain dengan menciptakan bahasa

bersama; (7) Pemetaan visual dari sebuah masalah dapat membantu untuk melihat

kesenjangan dari solusi dapat ditemukan; (8) Visualisasi membantu orang untuk

mengingat, membuat ide konkrit dan menciptakan hasil yang lebih akurat pada

akhirnya; (9) Visual thinking dapat memberikan gambaran sangat penting belajar dari

kesalahan; (10) Visualisasi berfungsi sebagai motivasi yang besar mencapai tujuan.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa juga

disebabkan oleh proses pembelajaran matematika di kelas kurang meningkatkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kurang terkait langsung dengan kehidupan

nyata sehari-hari (Shadiq, 2007; Sumarmo, 2010). Pembelajaran seperti ini tidak

sejalan dengan tujuan pemberian matematika pada siswa SMP, yaitu agar siswa

memiliki kemampuan pemecahan masalah, dan tidak sejalan pula dengan prinsip

pengembangan KTSP, yaitu berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan

kepentingan peserta didik dan lingkungannya serta relevan dengan kebutuhan

kehidupan. Padahal kemampuan pemecahan masalah merupakan jantungnya

matematika dan visualisasi merupakan inti dari pada pemecahan masalah

matematika.

Surya (2010) menemukan sebagian besar siswa SMP/MTs tidak dapat

mempresentasikan (memvisualisasikan pemikirannya) pada soal cerita matematika

dan cenderung tidak dapat memecahkan soal matematika tersebut. Ketika soal-soal

(16)

PLPG di Medan sebagian besar guru juga tidak dapat mempresentasikan dan

memecahkannya. Hal ini dapat terjadi karena pelaksanaan pembelajaran kurang

bervariasi, standar proses belum ada.

Menurut Hudoyo (2002) kelemahan siswa kita pada kemampuan pemecahan

masalah, penalaran, koneksi dan komunikasi matematis disebabkan oleh kegiatan

pembelajaran yang umum terjadi di lapangan saat ini tidak mengakomodasi

pengembangan kemampuan-kemampuan itu.

Pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilakukan guru di sekolah

sejalan dengan temuan Pusat Kurikulum (Puskur). Puskur (2007a) menemukan pada

aspek pelaksanaan KBMmatematika di SMP/MTs dan SMA/MA ditemukan antara

lain :(a) Pembelajaran tidak mengacu pada RPP yang telah dibuat sehingga tidak

terarah, hanya mengikuti alur buku pegangan; (b) Metode pembelajaran di kelas

kurang bervariasi, guru cenderung selalu menggunakan metode ceramah; (c) Metoda

pembelajaran tidak sesuai dengan materi (kesulitan memilih metoda yang sesuai

dengan materi); (d) Sumber belajar umumnya dan buku pegangan sangat terbatas

menggunakan teknologi dan lingkungan; (e) penilaian terkadang tidak mencakup

seluruh indikator atau KD karena soal disusun tanpa kisi-kisi. Hal ini tentu sangat

memperihatinkan.

NTCM (2000) telah menentukan 5 standar isi dalam bidang matematika,

yaitu bilangan dan operasinya, pemecahan masalah, geometri, pengukuran, peluang

dan analisis data. Pada geometri terdapat unsur penggunaan visualisasi, penalaran

spasial dan pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan visual

thinking (visualisasi) merupakan tuntutan kurikulum yang harus diakomodasi dalam

(17)

daritingkat SD sampai PT peserta didik dituntut dapat menguasai materi geometri

bidang dan geometri ruang dan pemecahan masalah yang juga membutuhkan

visualisasi.

Kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian (kepercayaan diri) siswa

dalam belajar matematika di sekolah sangat penting.Kemampuan pemecahan masalah

matematis adalah salah satu kompetensi dalam KTSP, pemecahan masalah matematis

mutlak dipahami siswa karena merupakan syarat utama untuk memenuhi kompetensi

lainnya yaitu representasi. Kemandirian belajar perlu dilakukan karena merupakan

salah satu indikator keberhasilan siswa.

Kartasasmita (dalam Puskur, 2007b) menyatakan sangat penting diterapkan

pendekatan belajar aktif yangterfokus kepada proses matematika. Kurikulum yang

dikembangkan danimplementasinya dalam PBM hendaknya menekankan pemecahan

masalah dan pengembangan beragam kompetensi konkrit matematika, buku pengetahuan

(buku pedoman guru).Perlu dititikberatkan pengadaan dan penyebaran sarana belajar

matematika, berupabuku pelajaran, alat peraga, lembar kerja, buku sumber dan referensi,

paket belajar (learning pack), CD, dan buku bacaan yang relevan.

Pembelajaran matematikaperlu menggunakan perangkat pembelajaran.

Perangkat pembelajaran didesain agar pembelajaran yang dilakukan dapat

meningkatkan kemampuan representasi visual thinking matematis pada pemecahan

masalah matematis, dan kemandirian belajar siswa. Dalam hal ini buku ajar

matematika dan aktivitas kegiatan siswa dalam belajar dan memecahkan masalah

matematika dapat direncanakan dan dibuat guru sehingga diharapkan proses belajar,

kemampuan menguasai konsep dan memecahkan masalah serta hasil belajar

(18)

Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, pemerintah dalam

hal ini Departemen Pendidikan Nasional, melakukan inovasi kurikulum sekolah.

Perubahan dilakukan tidak saja dalam restrukturisasi substansi matematika yang

dipelajari, namun yang sangat mendasar adalah pergeseran paradigma dari bagaimana

guru mengajar dan bagaimana siswa belajar. Belajar tidak lagi dipandang sebagai

proses transfer pengetahuan untuk kemudian disimpan dalam sistem memori siswa

melalui praktek yang diulang-ulang dan penguatan. Siswa harus diarahkan agar

mendekati setiap persoalan/ baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki,

mengasimilasi informasi baru, dan mengkonstruksi pemahaman siswa sendiri.

Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan

kemampuan: (1) komunikasi matematis, (2) penalaran matematis, (3) pemecahan

masalah matematis, (4) koneksi matematis, dan (5) representasi matematis (NCTM,

2000: 7). Menurut Sumarmo (2005), kemampuan-kemampuan tersebut disebut dengan

daya matematis (mathematical power) atau keterampilan matematis (doing math).

Lebih lanjut Sumarmo menyatakan bahwa melalui keterampilan matematis (doing

math) di atas, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik masa kini dan

kebutuhan peserta didik masa datang. Kebutuhan peserta didik masa kini adalah siswa

memahami konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika

dan ilmu pengetahuan lainnya ketika siswa masih duduk di bangku sekolah,

sedangkan kebutuhan peserta didik masa datang adalah siswa memiliki kemampuan

penalaran yang sangat diperlukannya di masyarakat sehingga mampu berkompetetif

dengan bangsa lain. Dengan demikian, pembelajaran matematika pada jenjang

sekolah manapun diharapkan dapat mengembangkan kemampuan matematis peserta

(19)

Salah satu keterampilan matematis yang penting dan perlu dikuasai siswa adalah

kemampuan pemecahan masalah matematis. Pentingnya pemecahan masalah

ditegaskan dalam NCTM (2000: 52) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah

merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut

tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat

Ruseffendi (2006: 341) yang mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah

amatlah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang di kemudian hari

akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang

akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan sekarang ini belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan,

pembelajaran matematika masih cenderung berpatokan pada buku cetak, tak jarang

dijumpai pengajaran berfokus pada guru. Pembelajaran di kelas menggunakan

langkah-langkah pembelajaran konvensional seperti: menyajikan materi

pembelajaran, memberikan contoh-contoh soal dan meminta siswa mengerjakan

soal-soal latihan yang terdapat dalam buku cetak matematika yang mereka gunakan dalam

mengajar dan kemudian membahasnya bersama siswa. Pembelajaran seperti ini

tentunya kurang dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa. Siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal matematika berdasarkan apa yang

dicontohkan oleh guru, jika diberikan soal yang berbeda mereka akan kesukaran,

danmengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.

Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sangat berhubungan dengan

kemampuan representasi matematis mereka. Konstruksi representasi matematis yang

tepat akan memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Suatu masalah

(20)

dengan permasalahan tersebut, sebaliknya konstruksi representasi yang keliru

membuat masalah matematis menjadi sukar untuk dipecahkan. Representasi yang

dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau

ide-ide matematis yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi

dari masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian diharapkan bahwa bilamana

siswa memiliki akses ke representasi-representasi, ide-ide dan gagasan-gagasan yang

mereka tampilkan, mereka memiliki sekumpulan alat yang siap secara signifikan akan

memperluas kapasitas mereka dalam berpikir matematis (NCTM, 2000: 67).

Beberapa bentuk representasi matematis, yang merupakan representasi visual

thinking siswa seperti verbal, gambar, model, numerik, simbol aljabar, tabel, diagram,

dan grafik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelajaran matematika.

Namun pada umumnya dalam pembelajaran, representasi yangdiberikan hanya

sebagai pelengkap dalam menyelesaikan masalah matematika. Seharusnya sebagai

komponen pembelajaran yang esensial, kemampuan representasi visual

thinkingmatematis siswa perlu senantiasa dilatih dalam proses pembelajaran

matematika di sekolah.Montague (2007) menegaskan representasi masalah yang

sesuai adalah dasar untuk memahami masalah dan membuat suatu rencana untuk

memecahkan masalah.

KNILT (2008) menyatakan alasan pentingnya visual thinkingbagi seorang guru

atau siswa antara lain : (1) Pikiran yang tertata adalah kunci sukses belajar; (2)

Pikiran yang tertata dapat dikembangkan melalui penggunaan alat-alat peraga yang

dapat meningkatkan pencapaian; (3) Banyak keuntungan siswa dari pikiran yang

tertata; (4) Pikiran yang tertata dapat memotivasi, efektif dan kreatif; (5) Sekolah

(21)

Gambar 1.1. Pentingnya visual thinking Sumber : KNILT (2008)

Pemecahan masalah adalah jantungnya matematika dan inti dari pemecahan

masalah adalah visualisasi (Yin, 2011).Yin mengidentifikasi peran dari visualisasi

dalam memecahkan masalah matematis : Untuk memahami masalah,

menyederhanakan masalah, melihat masalah ke koneksi terkait, memenuhi gaya

belajar individu, sebagai pengganti untuk perhitungan, sebagai alat untuk memeriksa

jawaban, dan untuk mengubah masalah ke dalam bentuk-bentuk matematis. Surya

(2011a) menyatakan bahwa dengan visualisasi siswa dapat aktif merepresentasi

gambaran pemikiran dalam benaknyasehingga dapatmembantu proses memecahkan

masalah matematis sekolah dan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari.

(22)

ini mendukung pernyataan bahwa semakin beragam siswa menggunakan pengetahuan representasi, semakin besar kemungkinan siswa mampu menghasilkan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah matematis. Paparan representasi banyak membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan matematika.Panasuk & Bayranevand (2010) juga menemukan pada siswa kelompok tinggi, siswa bingung dan benci dengan permasalahan representasi gambar. Siswa tersebut lebih menyukai menggunakan representasi simbolik. Siswa menggunakan persamaan karena lebih mudah hanya memasukkan angka untuk memecahkan permasalahan, misalnya langsung 23 –9 = 14. Siswa menjelaskan “bingung dengan gambar” atau “ saya benci dengan gambar” karena siswa tidak tahu ”apa yang harus dilakukan” dan “lebih

mudah bagi saya untuk melihat” tapi “ bagaimana melakukannya.” "Bagaimana

melakukannya" akan melibatkan ekstraksi dan analisis struktur hubungan yang tidak segera jelas dan eksplisit ketika disajikan dalam kata-kata atau gambar. Hasil wawancara ditemukan siswa kelompok atas kurang mahir pada pemahaman struktur yang mendalam dari hubungan linear, sifat yang tidak diketahui, dan terbiasa menggunakan rumus (mekanis) dan prosedural.

(23)

Kemampuan siswa dalam representasipada pemecahan masalah matematis

merupakan suatu kemampuan yang dapat dikembangkan. Pemilihan cara atau

pendekatan pembelajaran yang tepat akan menunjang pengembangan kedua

kemampuan tersebut. Ruseffendi (2006: 240) menyatakan bahwa pendekatan

merupakan suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa

dalam mencapai tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pengajaran atau

materi pelajaran itu dikelola. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran matematika

yang diperkirakan dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis dan

pemecahan masalah matematis siswa adalah pendekatan kontekstual berdasarkan

lingkungan siswa.

Menurut McCoy, Baker dan Little (Hutagaol, 2007) cara terbaik membantu

siswa memahami matematika melalui representasi adalah dengan mendorong mereka

untuk menemukan atau membuat representasi sebagai alat berpikir dalam

mengkomunikasikan gagasan matematis. Ruseffendi (2005) mengemukakan bahwa

salah satu peran penting dalam mempelajari matematika adalah memahami objek

langsung matematika yang bersifat abstrak seperti fakta, konsep, prinsip dan skill.

Untuk mencapainya diperlukan sajian benda-benda konkrit untuk membantu

memahami ide-ide matematis yang bersifat abstrak tersebut. Sehingga dalam proses

pembelajarannya diperlukan kemampuan representasi yang baik. Peran sajian benda

konkrit dalam pembelajaran terbatas hanya sebagai alat bantu pemahaman, dan jika

ide yang dipelajari telah dipahami, sajian benda konkrit tersebut tidak diperlukan lagi

dalam belajar matematika.

Sabandar (2005) mengemukakan bahwa peningkatan kemampuan

(24)

dengan menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal. Konsep

matematisasi horizontal berupa identifikasi, visualisasi masalah melalui sketsa atau

gambar yang telah dikenal siswa. Konsep matematisasi vertikal dapat berupa

representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model

matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan pengeneralisasian.

Hasil survei yang dilakukan Ardhana, dkk. (2003) tentang pembelajaran

matematika dan sains siswa SMP di kota Malang dan Surabaya menunjukkan bahwa:

(1) Model pembelajaran bermakna dalam pembelajaran matematika belum

terimplementasi dengan baik, (2) Guru melakukan pembelajaran umumnya bertolak

dari buku matematika yang ada bukan dari tujuan pembelajaran dan kebutuhan

peserta didik, (3) Kurangnya pengaitan pembelajaran matematika dengan konteks

kehidupan siswa; (4) pembelajaran matematika jarang dimulai dengan

masalah-masalah kehidupan sehari-hari (nyata), dan (5) pembelajaran matematika biasanya

menggunakan bahan-bahan yang hanya mengutamakan keterampilan berpikir

konvergen.

Hasil survei pembelajaran matematika di atas memberikan indikasi bahwa

secara umum pembelajaran matematika di SMP cenderung merupakan aktivitas

konvensional. Aktivitas pembelajaran reguler tersebut diduga kuat sebagai

penghalang pencapaian kemampuan komunikasi (representasi) matematis dan

pemahaman matematis. Perkin dan Unger (1999) menganjurkan bahwa pembelajaran

matematika untuk pemahaman harus menantang siswa untuk belajar, misalnya dengan

penyajian masalah-masalah terstruktur yang mendukung penerapan ketrampilan

berpikir dan bekerja. Jadi, pembelajaran matematika untuk pemahaman ditujukan

(25)

dalam pencapaian learning how to learn dan learning to do akan tampak dari proses

pembelajaran yang berlangsung, bukan hanya semata-mata dari hasil pembelajaran.

Berangkat dari berbagai teori pembelajaran bermakna tersebut dan teori psikologi

kognitif, serta fakta bahwa matematika selalu berhubungan dengan kenyataan, maka

banyak dikembangkan inovasi pembelajaran dengan berbagai pendekatan.

Soal yang peneliti ujikan kepada siswa merupakan masalah kontekstual yang

sederhana. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan siswa dalam memahami dan

menggambarkan masalah apa yang ada dalam pikiran siswa. Soal tersebut contohnya

adalah sebagai berikut :

Masalah Kue Bika Ambon Ibu Mariani.

Bu Mariani setiap hari membuat kue Bika Ambon sebanyak 20 loyang dengan ukuran persegi 28 cm. Biaya kue per loyangnya Rp. 30.000,- Jika kue tersebut dipotong per potong dengan ukuran 4 cm x 2 cm. Kue yang telah dipotong dijualnya Rp. 500,- perpotongnya.

a. Gambarkan potongan kue bu Mariani per loyangnya. b. Berapa banyak potongan kuenya.

c. Berapa penjualan kue bika Ambon yang telah dipotong, jika semua kuenya habis terjual.

d. Berapa Untung atau Ruginya Bu Mariani setiap harinya.

Gambar 1.3. Kue Bika Ambon Penyelesaian dari soal Kue Bika Ambon ibu Mariani adalah :

Diketahui : Banyak Kue 20 loyang, ukuran kue per loyang 28 cm x 28 cm

(26)

Harga perpotong Rp. 500,-

Ditanya : a. Gambarkan potongan kue bu Mariani

b. Banyak potongan kuenya

c. Penjualan kue yang telah dipotong

d. Berapa untung atau ruginya Ibu Mariani

Jawab : a. Gambar potongan kue bu Mariani, Ukuran sepotong 4 cm x 2 cm

7 buh

14 buah

Gambar 1.4. Potongan Kue Bika Ambon b. Banyak membuat kue = 20 loyang

Luas seluruh permukaan kue = 20 x (luas permukaan seloyang kue) Luas seluruh permukaan kue = 20 x (28 cm x 28 cm) = 15.680 cm2

Luas permukaan sepotong kue = 4cm x 2 cm = 8 cm2

Banyak potongan kue seluruhnya = 15.680 cm2 : 8 cm2 = 1.960 buah c. Penjualan kue = 1.960 buah x Rp. 500,00/buah = Rp. 980.000,00 d. Modal pembuatan kue 20 loyang = 20 x Rp. 30.000,00

Modal pembuatan kue = Rp. 600.000,00

Harga Penjualan > harga pembuatan kue, maka Bu Mariani untung. Untungnya = harga penjualan – harga pembuatan kue

= Rp. 980.000,00 – Rp. 600.000,00 = Rp. 380.000,00

Potongan Kue 4 cm x 2cm

(27)

Untung Bu Mariani setiap harinya Rp. 380.000,00

Dari 30 orang siswa yang berpartisipasi belum ada yang menunjukka bahwa

siswa memiliki pemahaman yang baik/efektif, misalnya menuliskan apa yang

diketahui dari soal, apa yang ditanyakan, menjelaskan secara rinci pemecahan

masalahnya dan kesimpulan akhir dari apa yang telah diperoleh. Begitu juga dalam

penggunaan simbol, tanda, dan/atau representasi yang tepat untuk menjelaskan

operasi, konsep dan proses. Lebih memperihatinkan lagi hanya 4 orang yang

menjawab “mengarah benar”.

Gambar 1.5. Jawaban si A

Pada jawaban si A terdapat kesalahan yang fatal tidak menjelaskan apa yang

dijawab hanya berupa representasi gambar tanpa penjelasan banyak potongan pada

seloyang kue bika Ambon. Kesalahan juga pada jawaban b muncul angka tanpa

makna atau penjelasan dan proses kedua pada tidak ada tanda “ = “ serta penempatan

tanda “=” yang salah. Hasil perkalian 28 x 28 x 20 = 15280 yang salah (seharusnya

(28)

langkah pertama tidak ada angka 8, dan hasil 1910 potong kue juga salah. Begitu

juga proses jawaban c yang menjadi salah akibat proses pada jawaban b sebelumnya

salah walaupun hasil perkaliannya benar. Pada jawaban d muncul angka 600.000 yang

tanpa penjelasan sama sekali. Begitu juga tiba-tiba muncul simbol satuan Rp. (rupiah)

tanpa tahu dari mana asalnya, dari jawaban si A ini untung bu Mariani dinyatakannya

Rp.355.000,00 yang juga salah. Proses dan hasil jawaban pemecahan masalah

kontekstual si A tidak benar dapat dilihat dari mulai si A membuat representasi atau

model gambar berupa potongan permukaan kue yang tidak jelas, kurangnya

keterangan awal apa yang mau dibahas dan perhitungan yang tidak teliti serta proses

pemecahan masalah yang tidak runtut sehingga permasalahan yang akan dibahas tidak

benar dan akurat.

(29)

Jawaban si B representasi gambar jawaban a sudah ada potongan kue ukuran

4 cm x 2 cm tapi gambar yang dibuat tanpa keterangan hanya si A saja yang tahu.

Pada proses jawaban b tidak muncul keterangan apa yang dijawab tanpa teks kalimat

dan tanpa simbol “ = “, muncul tiba-tiba 1960 buah. Pada jawaban c tanpa keterangan

teks kalimat apa yang sedang dibahas 1960 x 500 dan tanpa symbol “ = “ dan muncul

tiba-tiba simbol Rp. (rupiah). Begitu juga pada proses jawaban d tidak ada keterangan

apa yang dijawab dan symbol tanda “ = “ walaupun terakhir muncul kesimpulan “

jadi Ibu Mariani untung sebesar Rp. 380.000 setiap harinya” yang dari kesimpulan

jawaban yang diperoleh benar tapi dari proses pengerjaan yang salah.

Pertimbangan penting mengapa memilih pembelajaran kontekstual diantaranya

pembelajaran kontekstual menyajikan masalah-masalah nyata sehari-hari pada awal

pembelajaran, dan menjadi salah satu pemicu atau stimulus siswa untuk berpikir dan

merepresentasikan apa yang ada dalam pemikirannya. Berartimasalah bertindak

sebagai tahap awal proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep belajar seperti itu,

dapat memfasiliasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi, representasi dan

pemecahan masalah. Seperti dikemukakan oleh Sabandar (2005 : 2) bahwa situasi

pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan

kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan

dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi

konflik kognitif yang tidak menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir

kritis dan kreatif. Diharapkan siswa akan mencoba merepresentasikan atau

memvisualisasikan apa yang dipikirkannya dan berusaha memecahkan masalah

(30)

Pada KTSP diharapkan dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika

dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan lingkungan siswa sehari-hari

(kontekstual), dengan mengajukan masalah-masalah yang kontekstual siswa secara

bertahap dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika. Hal lain, bahwa

pembelajaran ini berbasis pemecahan masalah dengan pemberian soal cerita sehingga

memungkinkan siswa mengembangkan pemikirannyadan merepresentasikan visual

thinking, pemecahan masalah matematis dan dituntut untuk kemandirian siswa dalam

belajar.

Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dimulai

dengan mengajukan masalah sehari-hari berdasarkan lingkungan di sekolah atau di

rumah sebagai tantangan bagi siswa. Pembelajaran tersebut memberikan peluang bagi

siswa mengkonstruksi dan menemukan sendiri pengetahuannya dengan cara

mevisualisasikan masalah dan memecahkan masalah secara kreatif di bawah arahan

guru dalam kelompok-kelompok kecil sehingga siswa sharing idea, saling membantu

dalam memecahkan masalah. Pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh siswa tahap demi

tahap, sedikit demi sedikit, melalui proses coba-coba yang tidak selalu mulus (trial

and error). Oleh karena itu, pembelajaran harus dikemas oleh guru menjadi proses

mengkontruksi bukan menerima pengetahuan. Siswa membangun sendiri

pengetahuannya dengan cara terlibat aktif dalam proses pembelajaran matematika,

berarti kegiatan berpusat pada siswa. Apabila siswa mengalami kesulitan dalam

kelompoknya, guru tidak serta merta memberi tahu secara langsung tetapi

mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka (divergen) yang mengarah pada jawaban.

Kegiatan guru mengajukan permasalahan atau pertanyaan di kelas yang

(31)

muncul dalam pembelajaran yang menekankan pada proses di mana siswa dilibatkan

aktif dalam proses pembentukan pengetahuan. Pertanyaan yang diajukan atau

dimunculkan tentunya harus menunjang tercapainya tujuan pembelajaran yang

ditetapkan. Jika siswa diharapkan untuk memvisualisasikan pemikirannya dan

berpikir kritis, kreatif dalam memecahkan masalah matematika, maka mengajukan

pertanyaan tantangan ataupun pertanyaan yang bersifat divergen atau yang

menimbulkan konflik kognitif perlu dimunculkan.Untuk membantu memahami

masalah matematis yang tidak terstruktur digunakan model berupa representasi dalam

bentuk gambar, grafik, tabel, dan sebagainya. Siswa melakukan refleksi pada setiap

akhir proses pemecahan masalah, dan pada setiap akhir pembelajaran.

Mengimplementasikan pembelajaran kontekstual bukan hal yang gampang

bagi guru, karena guru tidak menyajikan konsep dalam bentuk jadi, tetapi melalui

kegiatan pemecahan masalah, siswa digiring ke arah menemukan konsep sendiri.

Guru harus mampu menciptakan situasi pemecahan masalah sehingga siswa tertarik

untuk menyelesaikannya, meskipun tidak segera mendapatkan solusinya. Dalam

proses reinvention ini, siswa tidak serta merta menemukan solusi, apabila siswa

mengalami hambatan atau kebuntuan, peranan guru sangat diperlukan untuk

membantu mengarahkan secara tidak langsung. Berarti dalam hal ini guru harus

benar-benar menguasai konsep matematika dan kaitannya, serta sudah

mempersiapkan berbagai kemungkinan cara untuk mencapai solusi sebagai antisipasi

dalam membantu dan mengarahkan siswa dalam proses visualisasi dan pemecahan

masalah.

Penerapan pembelajaran kontekstual, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu :

(32)

siswa, serta kemandirian belajar siswa. Bagaimanapun penerapan pembelajaran

kontekstual pada sekolah dengan kualifikasi yang berbeda, diprediksi pencapaian

siswa akan berbeda pula. Pada umumnya kemampuan siswa itu beragam, siswa yang

memiliki kemampuan tinggi biasanya masuk di sekolah yang levelnya lebih tinggi

dibandingkan siswa yang mempunyai kemampuan lebih rendah, meskipun

kemungkinan keberadaan di lapangan sangat relatif, tidak menutup kemungkinan

terjadi sebaliknya untuk siswa dari kalangan tertenru. Meskipun secara formal

sekolah-sekolah tidak dikelompokkan berdasarkan peringkatnya, tetapi masyarakat

mengakuinya bahwa antara sekolah yang satu peringkatnya lebih tinggi dari yang lain.

Tidak ada patokan yang baku, tetapi biasanya berdasarkan prestasi yang diraih

siswanya dalam berbagai hal. Untuk keperluan penelitian ini level sekolah ditentukan

berdasarkan kualifikasi dinas setempat.

Pada penerapan pembelajaran kontekstual, yang merupakan pembelajaran

berbasis konstruktivisme memberikan peluang kepada siswa dalam mengeksplorasi

pemikirannya namun terarah, menemukan ide-ide pemecahan masalah matematis.

Siswa dapat juga berbagi ide di kelompoknya atau bertanya pada kelompok lain

tentang masalah yang tidak dipahamnya. Jika antar siswa atau kelompok ada beda

pendapat, dan memenuhi jalan buntu guru bisa membantu dengan schaffolding.

Suasana pembelajaran yang aktif dengan ciri-ciri tersebut dimungkinkan untuk

mengarahkan siswa agar bisa melaksanakan pembelajaran matematika yang pada

gilirannya siswa akan punya kemandirian belajar matematika..

Kemandirian belajar matematika siswa merupakan faktor yang sangat penting

dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Perkembangan

(33)

kesulitan atau tantangan, dan banyaknya sumber-sumber belajar yang bisa diakses.

Hal ini akan sangat mempengaruhi dan mendukung belajar bagi siswa yang punya

kemandirian belajar yang tinggi.

Siswa dengan pendekatan pembelajaran kontekstual diperkirakan akan

mempunyai kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang mendapat

pembelajaran konvensional. Begitu juga siswa dengan kemampuan awal matematika

(KAM) lebih tinggi serta padakategori sekolah tinggi diasumsikan memiliki

kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berada pada

KAM baik dan sekolah kategoribaik, apalagi pada KAM sedang dan kategori sekolah

sedang dan rendah. Siswa yang berada pada KAM tingggi dan kategori sekolah tinggi

lebih mampu mengatur waktu, mendiagnosis kebutuhan belajar dan mengontrol

belajar, kognisi, motivasi dan perilaku. Juga siswa tersebut mampu merencanakan

strategi belajar, memilih strategi belajar, kemudian melaksanakannya, serta

mengevaluasi proses dan hasil belajar. Hal ini didukung oleh temuan Darr dan Fisher

(2004) yang melaporkan bahwa kemampuan belajar mandiri siswa berkolerasi tinggi

dengan keberhasilan belajar siswa.

Fakta lain ditemuan Pape dan Bell (2003) pada penelitiannya bahwa

meningkatnyapemikiran, kinerja, dan refleksi diri pada kemandirian belajar siswa

akan meningkatkan pemahaman dan penalaran, siswa lebih mampu dari sebelumnya

mengembangkan berfikir matematis dalam hal ini menerapkan strateginya

memecahkan masalah matematis.

Marcou dan Phillipou (2005) menemukan dalam penelitiannya bahwa

meningkatnya kemandirian belajar siswa dan scaffolding meningkatkan keyakinan

(34)

Penelitian ini difokuskan pada penerapan model pembelajaran kontekstual

dalam upaya meningkatkan kemampuan representasi visual thinkingdankemandirian

belajar matematis siswa (self-regulated learning) siswa SMP ditinjau dari kategori

sekolah (baik dan sedang) dan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, menengah

dan rendah).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan maka permasalahan dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Apakah pendekatan kontekstual siswa

dapat meningkatkan kualitas kemampuan representasi visual thinking pada

pemecahan masalah matematis serta kemandirian belajar siswa SMP?

Selanjutnya, dari rumusan masalah tersebut diuraikan dalam beberapa sub

rumusan masalah sebagai berikut.

1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan representasi visual thinking(RVT) pada

pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual

(PCTL) ditinjau dari: (a) pendekatan pembelajaran; (b) kategorisekolah (baik,

sedang), dan (c) kemampuan awal matematika (tinggi, menengah, rendah).

2. Apakah peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis yang

mendapat pembelajaran CTL lebih tinggi dari pada yang mendapat pembelajaran

KV ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran; (b) kategorisekolah (baik,

sedang), dan (c) kemampuan awal matematika (tinggi, menengah, rendah).

3. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah

terhadap peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis

(35)

4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal

matematika siswa terhadap kemampuan RVT pada pemecahan masalah

matematis.

5. Apakah terdapat peningkatan kemandirian belajar matematis siswa yang

mendapat pembelajaran CTL ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran, b)

kategori sekolah (baik, sedang) dan c) kemampuan awal matematika.

6. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemandirian belajar matematis yang

mendapat pendekatan CTL dan yang mendapat pendekatan KV ditinjau dari

aspek : a) pendekatan pembelajaran, b) kategori sekolah, dan c) kemampuan awal

matematika

7. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah

terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.

8. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal

matematika siswa terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran

mengenai hal-hal berikut :

1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi visual thinking(RVT)

pada pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pendekatan

kontekstual(PCTL).

2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah

matematis siswa yang lebih tinggi ditinjau dari aspek : a) pendekatan

pembelajaran; (b) kategori sekolah (baik, sedang), dan (c) kemampuan awal

(36)

3. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori

sekolah terhadap peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah

matematis siswa.

4. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan

kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan RVT pada pemecahan

masalah matematis siswa.

5. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian belajar matematis siswa yang

mendapat pembelajaran CTL.

6. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian belajar matematis yang lebih tinggi

ditinjau dari pendekatan pembelajaran, kategori sekolah, dan kemampuan awal

matematika siswa.

7. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori

sekolah terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.

8. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan

kemampuan awal matematika siswa terhadap kemandirian belajar matematis

siswa.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi guru yang terlibat dalam penelitian ini dapat menambah pengalaman dan

dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat diterapkan untuk

meningkatkan kemampuan representasi visual thinking pada pemecahan masalah

matematis dan kemandirian belajar sehingga dapat memotivasi guru untuk

menerapkan permbelajaran kontekstual yang sesuai dengan lingkugan siswa untuk

(37)

2. Bagi siswa, penerapan pembelajaran kontekstual sebagai sarana untuk melibatkan

aktivitas siswa secara optimal sehingga dapat meningkatkan kemampuan

representasi visual thinking matematis pada pemecahan masalah matematik,

kemandirian belajar dan pemanfaatan lingkungan di sekolah atau di rumah siswa

dalam belajar matematika.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka berikut ini dituliskan definisi

operasional istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Kemampuan representasi visual thinking matematis adalah kemampuan dalam

mengeksplorasi pemikiran denganmembayangkan, membandingkan, menduga,

mengingat, mempresentasikan, menggunakan berbagai bentuk matematis yaitu

visual (grafik, diagram, tabel dan gambar); simbolik (pernyataan

matematis/notasi, numerik/symbol aljabar), dan verbal (kalimat atau teks tertulis).

2. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan mengidentifikasi

unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan;

mampu membuat/menyusun model matematika; dapat memilih dan

mengembangkan strategi pemecahan matematis; serta mampu menjelaskan dan

memeriksa kebenaran jawaban yang diperoleh siswa.

3. Kemandirian belajar adalah pandangan seseorang terhadap dirinya dalam belajar

aktif dan konstruktif yang meliputi adanya : inisiatif belajar, mendiagnosis

kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, mengatur dan mengontrol belajar,

mengatur dan mengatur kognisi, motivasi, serta perilaku (diri), memandang

(38)

relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil

belajar, serta konsep diri.

4. Pembelajaran kontekstual adalah sebuah pendekatan pembelajaran dimana materi

disajikan melalui konteks yang bervariasi dan berhubungan dengan kehidupan

sehari-hari baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang

mendorong siswa untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen quasi yang menerapkan pendekatan

kontekstual (Contextual Teaching Learning). Disain penelitian eksperimen ini

menggunakan desain analisis faktorial 2 × 2 × 3, yaitu dua pendekatan pembelajaran

kontekstual (PCTL) dan pembelajaran konvensional (PKV), dua level sekolah (baik

dan sedang), dan tiga kelompok pengetahuan awal matematika siswa (tinggi,

menengah, dan rendah).

Pada rancangan ini, subyek penelitian dipilih dengan memilih dua kelompok

kelas pada tiap sekolah, kelompok eksperimen diberi perlakuan pembelajaran

kontekstual (X), dan kelompok kontrol dengan pembelajaran biasa (konvensional),

Sebelum pembelajaran dilaksanakan, pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

diberikan pretes kemampuan representasi visualthinking (RVT) dan kemandirian

belajar (KB) siswa. Kemudian diakhir rangkaian pembelajaran kelas eksperimen dan

kelas kontrol diberikan postes. Penelitian ini termasuk disain kelompok control

pretes-postes (Ruseffendi, 2005: 50) seperti berikut :

O X O O O

dengan : O = pretes / postest kemampuan RVT X = pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel tak bebas. Variabel

bebasnya adalah pembelajaran kontekstual. Variabel tak bebasnya adalah kemampuan

(40)

juga menggunakan level sekolah (baik dan sedang) dan pengetahuan awal matematika

siswa (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai variabel kontrol.

Keterkaitan antara variabel bebas, variabel tak bebas, dan variabel kontrol

disajikan pada Tabel 3.1, dan Tabel 3.2.

Tabel 3.1

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol (Level Sekolah)

Baik (B) KR-BC KR-BK KB-BC KB-BK

Sedang (S) KR-SC KR-SK KB-SC KB-SK

Keseluruhan (T) KR-TC KR-TK KR-TC KR-TK

Keterangan :

KR-BC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa berasal dari

sekolah kategori baik yang memperoleh pembelajaran kontekstual

KR-SC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa berasal dari

sekolah kategori sedang yang memperoleh pembelajaran kontekstual

KB-BK : Kemandirian belajar matematissiswa berasal dari sekolah kategori baik

yangmemperoleh pembelajaran konvensional

KB-SK : Kemandirian belajar matematissiswa berasaldari sekolah kategori

sedang yang memperoleh pembelajaran konvensional

Tabel 3.2

(41)

Keterangan :

KR-TC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa dengan KAM

tinggi yang memperoleh pembelajaran kontekstual

KR-MC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa dengan KAM

menengah yang memperoleh pembelajaran kontekstual

KB-MK : Kemandirian belajar matematis siswa dengan KAM menengah yang

memperoleh pembelajaran konvensional

KB-RK : Kemandirian belajar matematis siswa dengan KAM rendah yang

memperoleh pembelajaran konvensional

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa pada SMP di Kota Medan.

Ditetapkannya populasi ini dengan alasan bahwa siswa SMP berada pada masa transisi

antara tahap berfikir konkrit dan tahap berfikir formal. Pada tahap ini kemampuan

representasi visual thinking sangat dibutuhkan untuk memperkuat bekal siswa

memasuki tahap berfikir formal di SLTA dan Perguruan Tinggi.

Sampel penelitian adalah siswa SMP kelas VIII. Pemilihan kelas VIII karena

pada kelas VIII ini siswa SMP baru saja melampaui kelas VII yang pada umumnya

masih berada dalam tahap berpikir konkrit. Ini sesuai dengan teori perkembangan

kognitif dari Piaget yang mengemukakan bahwa tahap operasional kongkrit (umur

dari sekitar 7 tahun sampai 11-12 tahun atau lebih) (Ruseffendi, 2006: 134). Pada

kelas VIII secara bertahap cara berpikir siswa beralih ke tahap berpikir formal. Pada

masa kelas VIII inilah terjadinya masa transisi peralihan tahap berfikirsiswa dari

(42)

Pada penelitian ini tidak dipilih sekolah dengan kategori sangat baik, karena

siswa yang berasal dari sekolah berkategori sangat baik hasil belajarnya cenderung

akan baik dan baiknya itu bisa terjadi bukan akibat baiknya pembelajaran yang

dilakukan (Darhim, 2004: 64). Demikian juga sampel tidak dipilih dari sekolah

berkategori kurang baik (rendah) karena siswa yang berasal dari sekolah berkategori

kurang baik hasil belajarnya cenderung kurang baik dan kurang baiknya itu bisa

terjadi bukan akibat kurang baiknya pembelajaran yang dilakukan (Darhim, 2004:

64). Tabel 3.3. di bawah menunjukkan sekolah yang dipilih.

Tabel 3.3. Sekolah dan Kelas sebagai Sampel Penelitian

Kategori Sekolah Sekolah Sampel Subyek Penelitian

Baik SMP N 11 Kelas VIII/5 Kelas Eksperimen

Kelas VIII/7 Kelas Kontrol

Sedang SMP N 27 Kelas VIII/6 Kelas Eksperimen

Kelas VIII/7 Kelas Kontrol

Berdasarkan peringkat di Depdiknaspada sekolah kategori baik dan sedang dipilih

secara acak dua buah sekolah, sebagai subyek penelitian. Masing-masing sekolah

dipilih satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol.

Siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dibagi atas tiga kelompok yaitu

kelompok KAM tinggi, menengah dan rendah. Pengelompokan berdasarkan nilai

matematika dari tes awal dengan materi-materi kelas VII yang telah didiskusikan

dengan guru pada sekolah yang bersangkutan. Pengelompokan ini dilakukan agar

semua jenjang kemampuan siswa terwakili dalam sampel. Kriteria pengelompokkan

setiap sekolah adalah sebagai berikut :

n ≥ ̅ + s : Kelompok KAM tinggi

(43)

n < ̅- s : Kelompok KAM rendah

keterangan : n : nilai hasil tes awal siswa

̅ nilai rata-rata hasil tes awal siswa

s : simpangan baku nilai hasil tes awal siswa

Tabel 3.4. menunjukkan komposisi siswa yang berada dalam kelompok KAM tinggi,

menengah dan rendah.

Tabel 3.4.

Banyaknya Siswa pada KAM Tinggi, Menengah dan Rendah

Kelompok Siswa

Kategori Sekolah

Jumlah

Baik Sedang

Kls VIII/5 Kls VIII/7 KLs VIII/6 KLs VIII/7

KAM Tinggi 7 9 7 9 32

KAM Menengah 33 29 19 23 104

KAM Rendah 7 11 9 6 33

Jumlah 96 73 169

B. Instrumen Penenlitian dan Pengembangannya

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penenlitian ini ada dua jenis yaitu

tes dan non tes. Instrumen tes digunakan untuk mengukur kemampuan representasi

visual thinking siswa, sedangkan instrument non tes berbentuk angket digunakan

untuk mengetahui kemandirian belajar matematis siswa sebelum pembelajaran

maupun sesudah pembelajaran, lembar observasi, dan pedoman wawancara.

1. Tes Kemampuan Representasi Visual Thinking

Tes kemampuan representasi visual thinking digunakan untuk mengukur

kemampuan representasi visual thinking matematis setelah pembelajaran matematika

dengan pendekatan kontekstual. Sebelum perangkat tes digunakan terlebih dahulu

perangkat tes divalidasi untuk mengetahui validitas isi, validitas muka dan validitas

(44)

pembelajaran kepada ahlinya untuk ditelaah. Validitas isi dan validitas muka

melibatkan 5 orang penimbang yang terdiri dari seorang mahasiswa S3 Pendidikan

Matematika UPI dan 4 orang guru matematika SMP yang telah berpengalaman

mengajar matematika.Validitas konstruk diujicobakan kepada 30 orang siswa SMP Al

Ulum Medan. Indikator yang diukur pada kemampuan representasi visual thinking

siswa meliputi aspek : (1) Mampu mempresentasikan permasalahan dalam bentuk

visual (diagram, gambar, tabel, dan pola); (2) mampu mempresentasikan soal dalam

bentuk persamaan matematika (ekspresi matematika) atau model matematika; (3)

mampu menceritakan kembali soal atau permasalahan dengan cara sistematis atau

mengambil kesimpulan dari jawaban; (4) Mampu merencanakan strategi memecahkan

masalah; (5) Mampu menerapkan strategi penyelesaian masalah; (6) Mampu

memeriksa solusi jawaban dari permasalahan; (7) Mampu menggambarkan

permasalahan dan solusi sebagai ganti perhitungan.

Adapun unsur-unsur dari validasi isi adalah (1) Butir-butir soal sesuai dengan

indikator; (2) Isi materi sesuai dengan tujuan penilaian; (3) Isi materi yang ditanyakan

sesuai dengan jenjang, jenis sekolah dan tingkat kelas; (4) Butir soal tidak tergantung

pada butir sebelumnya, dan (5) Tabel, grafik, diagram, masalah atau sejenisnya (jelas

keterangannya atau ada hubungannya) dengan masalah yang ditanyakan.

Unsur-unsur validasi muka adalah (1) Rumusan kalimat dalam bentuk kalimat

tanya atau perintah yang menuntut jawaban; (2) Ada petunjuk yang jelas cara

pengerjaannya atau menyelesaikan soal;(3) Rumusan kalimat komunikatif; (4)

Kalimat soal menggunakan bahasa yang baik, serta sesuai dengan ragam bahasanya;

(45)

menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan bahasa lokal) dan (7) Soal tidak

mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan siswa.

Untuk melihat keseragaman penilaian dari kelima penimbang apakah mereka

memberikan pertimbangannya secara seragam pada validasi isi dan validasi muka

digunakan statistic Q-Cochran dengan hipotesis statistik :

: Semua penimbang yang memberi pertimbangan yang seragam

: Ada penimbang yang memberi pertimbangan tidak sama, dengan kriteria

pengujian: jika probabilitas > 0,05 maka tidak ada alasan untuk menolak .

Tabel 3.5 menunjukkan hasil pertimbangan validasi isi dengan menggunakan

statistic Q-Cochran. Pada Tabel 3.6 menunjukkan pertimbangan validasi muka.

Tabel 3.5 Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes KRVT

n 5

Q-Cochran’s 2,400

df 4

Sig .663

Pada Tabel 3.5 probabilitas sig = 0,663 lebih besar dari 0,05. Ini bermakna pada

taraf signifikansi 95 % tidak ada alasan untuk menolak . Dengan demikian

disimpulkan bahwa kelima penimbang memberikan pertimbangan yang seragam dari

aspek validasi isi terhadap butir-butir tes KR. Demikian juga pada validasi muka

Tabel 3.6 probabilitas sig = 0,171 lebih besar dari 0,05. Ini bermakna pada taraf

signifikansi 95 % tidak ada alasan menolak . Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa kelima penimbang memberikan pertimbangan yang seragam dari aspek

Gambar

Tabel  Judul
Gambar  Judul Pentingnya Visual Thinking  …………………………………
Gambar 1.2. Aku Benci Gambar (Sumber : Panasuk & Bayranevand, 2010)
gambar yang telah dikenal siswa. Konsep matematisasi vertikal dapat berupa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apakah peningkatan kemampuan pemahaman dan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual berbasis soft skills lebih tinggi dari siswa yang

Jika data hasil pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan, untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematis siswa

Hasil pengujian hipotesis menunjukan bahwa: (1) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari pada siswa

matematis siswa (Tinggi Sedang, dan Rendah). Uji statistik yang digunakan adalah uji-t yaitu Independent Sample T-Test untuk masing-masing kategori kemapuan awal matematika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran berdasarkan masalah lebih tinggi daripada yang

Dari selisih peningkatan KKM juga nampak bahwa selisih peningkatan KKM siswa pada sekolah sedang antara yang mendapat pembelajaran CCTL dan yang mendapat

Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa: (1) peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: (1) secara keseluruhan, KRM siswa yang mendapat pendekatan PMSS dan pendekatan PM memperoleh peningkatan yang secara signifikan