PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI VISUAL
THINKING PADA PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS
DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan dalam Pendidikan Matematika
Promovendus
EDY SURYA
NIM. 0908345
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking dan Pemecahan Masalah Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual” ini adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan plagiarisme atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam tradisi keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menerima tindakan/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika akademik dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Januari 2013 Yang membuat pernyataan,
ABSTRAK
Edy Surya (2013). Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking pada Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual. Penelitian ini berbentuk eksprimen dengan disain kelas control pretes-postes, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan representasi visual thinking (KRVT) pada pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar (KB) siswa SMP melalui pembelajaran kontekstual. Populasi penelitian ini adalah siswa SMP di Kota Medan. Sampel terdiri atas 169 siswa dari dua sekolah dengan kategori sekolah baik dan sedang. Sampel tersebut terdiri atas empat kelas, yaitu dua kelas eksperimen dan dua kelas kontrol. Siswa kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran kontekstual (P-CTL) dan siswa kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional (P-KV). Sebelum dilakukan penelitian, subjek sampel dikelompokan menjadi kelompok tinggi, menengah dan rendah berdasarkan kemampuan awal matematika. Instrumen penelitian ini adalah tes, observasi dan wawancara. Penelitian ini menemukan : (1) Pendekatan P-CTL pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan KRVT, pada kategori sekolah baik dan sedang. Begitu juga untuk sekolah kategori sedang, peningkatan KRVT siswa yang mendapat P-CTL juga lebih tinggi dari peningkatan KRVT sekolah kategori baik dan sedang yang mendapat P-KV; (2) P-CTL dapat meningkatkan KRVT siswa pada ketiga kelompok KAM. Peningkatan KRVT siswa pada KAM tinggi, menengah dan rendah yang mendapat P-CTL lebih tinggi dari siswa pada KAM tinggi, menengah, dan rendah yang mendapat P-KV; (3) Tidak terdapat pengaruh interaksi pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan KRVT siswa; (4) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM, terhadap peningkatan KRVT siswa; (5) P-CTL dapat meningkatkan KB pada kategori sekolah. Pada sekolah dengan kategori baik peningkatan KB siswa yang mendapat P-CTL lebih tinggi dari peningkatan KB siswa yang mendapat P-KV. Begitu juga untuk sekolah kategori sedang, peningkatan KB siswa yang mendapat P-CTL juga mengalami peningkatan yang signifikan lebih tinggi dari peningkatan KB siswa dari sekolah kategori baik dan sedang yang mendapat P-KV; (6) P-CTL dapat meningkatkan KB siswa pada ketiga kelompok KAM; (7) Tidak terdapat pengaruh interaksi pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan KB siswa; (8) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM siswa terhadap peningkatan KB siswa.
ABSTRACT
Edy Surya (2013). Improving Visual Thinking Representation in Mathematica Problem Solving andSelf-Regulated Learning of SMP Students with Contextual Teaching Learning
This research study was aimed at improvement visual thinking representation (KVRT) in mathematical problem solving and self-regulated learning (SRL) of SMP students with contextual teaching learning (P-CTL) by applying a control group pre-test-posttest design. The population was SMP students in Medan. The number of sample was 169 students, they came from two different levels of school category, good and middle school. Sample consisted of four classes, two classes of experimental groups and two classes of control groups. Experiment classes were treated by P-CTL and control classes were treated by conventional learning (P-KV). Prior to the study, the subject sample are grouped into high, medium and low based on basic math competency (KAM). The research instrument was a test, observation and interview. It was found that (1) P-CTL improves KRVT for the two schools level. It was increased students’ KRVT who received P-CTL in the middle school level which is higher than KRVT at good school level which is receiving P-KV. (2) P-CTL improves students’ KRVT in all three groups KAM. Increased KRVT at high, medium and low students’ KAM who received P-CTL higher than students in the high, medium, and low KAM who received P-KV, (3) There was no interaction effect of teaching approaches and school categories to improve students’ KRVT; (4) There is an interaction between teaching approaches and students’ KAM, to improve students’ KRVT, (5) P-CTL improves SRL in the school level. It was increasing SRL in good school level students who received P-CTL higher than the increasing of the students who received P-KV. Moreover, it was also increasing SRL for the middle school level who received P-CTL which was significantly increased higher than the SRL increasing from both categories which were receiving P-KV, (6) P-CTL improves students’ SRL in all three groups KAM; (7) There is no interaction effect of teaching approach and school levels to improve SRL: (8) There is no interaction effect of teaching approach and students’ KAM to improve SRL.
DAFTAR ISI
A. Representasi Visual Thinking Matematis .……….. B. Pemecahan Masalah Matematis ...……….. C. Pendekatan Kontekstual ……………….. D. Keterkaitan antara Kemampuan Representasi Visual
Thinking dan Pemecahan Masalah Matematis serta
Pendekatan Kontekstual ………. E. Kemandirian Belajar (Self-Regulated Learning) ….………..
F. Pengembangan Perangkat Pembelajaran ……… G. Beberapa Hasil Penelitian Relevan ………. H. Hipotesis Penelitian ………... C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ……… D. Perangkat Pembelajaran ……… E. Prosedur Penelitian ……… F. Teknik Analisis Data ………. G. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ………..
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data dan Analisis Hasil Penelitian ………... B. Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Nilai KAM ………. C. Uji Beda Rata-Rata Data KAM Berdasarkan Kategori Sekolah .. D. Uji Beda Rata-Rata Data KAM Berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran ………...... E. Analisis Deskriptif Data PeningkatanRVT Siswa ………... F. Analisis Inferensial Data Peningkatan Kemampuan RVT ……… G. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Peningkatan KRVT …....…...…. H. Analisisi Deskriptif Data KB Matematis Siswa ………….…..… I. Analisis Inferesial Data KB Siswa ………..…….… J. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data KB …………...…………..
K. Pembahasan ………. BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN
DAFTAR TABEL
Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel
Kontrol (Level Sekolah) ………
Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel
Kontrol (Kemampuan Awal Matematika) ……….. Sekolah dan Kelas sebagai Sampel Penelitian ………. Banyaknya Siswa pada KAM Tinggi, Menengah dan rendah ……….
Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes Kemampuan RVT………..
Hasil Pertimbangan Validasi Muka Tes Kemampuan……….... Koefisien Korelasi Pearson ……… Koefisien reliabilitas Soal ………
Hasil Perhitungan Validitas Soal Tes Kemampuan RVT Data Ujicoba .
Reliabilitas Soal Tes Kemampuan RVT Data Uji Coba…………...
Perhitungan Mendapatkan Skor Skala KB untuk Pernyataan Positif
Butir 1 (+) ………..
Perhitungan Mendapatkan Skor Skala KB untuk Pernyataan Positif
Butir 7 (-) ………..
Komposisi Skala KB Setelah Pengguguran…….…………...………… Waktu Pelaksanaan Penelitian………….…….………..
Sebaran Sampel Berdasarkan Kelompok KAM, Kategori Sekolah dan
Pendekatan Pembelajaran………..
Deskripsi Data KAM Berdasarkan Kategori Sekolah, Pendekatan
Pembelajaran, dan Gabungannya……….
Deskripsi Data KAM Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Kelompok KAM Siswa dan Gabungannya………. Hasil Uji Normalitas Data KAM Siswa Berdasarkan Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran………..
Hasil Uji Homogenitas Varians Nilai KAM Berdasarkan Kategori
Sekolah………...
Uji Beda Rata-Rata Data KAM Siswa Berdasarkan Kategori Sekolah Uji Beda Rata-Rata Data KAM Siswa Berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran……….
Deskripsi Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran……….
Ansalisis Deskriptif Data Kemampuan RVT Siswa dan Nilai N-Gain
Berdasarkan Kategori dan Pendekatan Pembelajaran ……….
Deskripsi Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan KAM, dan Pendekatan
Pembelajaran……….
Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan
Pendekatan Pembelajaran ……….
Analisis Peningkatan RVT Siswa Berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran ………
Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan RVT Siswa Berdasarkan
Pendekatan Pembelajaran………..
Uji Beda Peningkatan Kemampuan RVT Siswa Setelah Pembelajaran
CTL dan KV ……….
4.16
Analisis Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori
Baik ………. ………..
Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik setelah Mendapat P-KV…………. Analisis Peningkatan kemampuan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik setelah Mendapat Pembelajaran P_KV
Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Mendapat P-CTL …….
Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Mendapat P-CTL ……….……. Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Pembelajaran KV ………. Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang
Setelah Mendapatkan KV ……….
Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa
Sekolah Kategori Baik ……….
Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Sekolah Kategori Baik………. Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan RVT Siswa Sekolah
Kategori Sedang ……….... Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Sekolah Kategori Sedang …...
Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Setiap kelompok KAM ……...
Uji Nyata Peningkatan Kemampuan RVT Setiap Kelompok KAM…...
Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa
Setiap Kelompok KAM ………. Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Setiap Kelompok KAM …….
Uji Homogenitas Varians dari Levene Peningkatan RVT Berdasarkan
Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah……..
Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan
Pembelajaran dan Kategori Sekolah ………..
Uji Homogenitas Varian dari Levene Peningkatan RVT Siswa
Berdasarkan Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan KAM Siswa Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan
Pembelajaran dan KAM Siswa ………
Uji Nyata Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Antar Kelompok KAM (Uji Post Hoc-LSD) ………..
Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data Peningkatan Kemampuan RVT
Deskripsi KB Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran…………
Analisis Deskriptif KB Siswa dan Nilai N-Gain Berdasarkan Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran ………..
Deskripsi KB Siswa Berdasarkan KAM dan Pendekatan Pembelajaran Uji Normalitas Data Peningkatan KB Siswa Berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran ………..
Analisis Peningkatan KB Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan KB Siswa Berdasarkan
Pendekatan Pembelajaran ……….. Uji Beda Peningkatan KB Siswa pada Pembelajaran CTL dan KV …..
Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah
Kategori Baik ……….
Uji Normalitas Data Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah
4.46
Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori
Baik Setelah Mendapat PCTL ……….
Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik
Setelah Mendapat PKV ………
Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah
Kategori Sedang Setelah mendapat CTL ……….
Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah
Kategori Sedang Setelah mendapat PKV ………
Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang Setelah Mendapat P-CTL ……… Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang Setelah Mendapat P-KV ………. Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB Antara Siswa pada
Sekolah Kategori Baik ………
Uji Beda Peningkatan KB Siswa Pada Sekolah Kategori Baik P-CTL
dan P-KV……….. …..
Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB Siswa pada Sekolah
Kategori Sedang ………..
Uji Perbedaan Peningkatan KB antara Siswa yang Mendapat CTL pada
Sekolah Kategori Sedang ………..
Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM
Tinggi ……….
Uji Nyata Peningkatan Rata_Rata Skor KB pada KAM
Timggi………
Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM
Menengah ………
Uji Nyata Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM Menengah …… Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM
Rendah ………..
Uji Nyata Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM Rendah …….. Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa pada
Kelompok KAM Tinggi ………..
Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM
Tinggi ………
Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa yang
Mendapat CTL dan KV pada KAM Menengah ………
Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM
Menengah ……….
Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa yang
Mendapat CTL dan KV pada KAM Rendah ……….
Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM
Rendah ……….l
Uji Homogenitas Varian dari Levene terhadap Data Peningkatan KB
Siswa ………..
Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah ………. Uji Homogenitas Varian dari Levene terhadap Data Peningkatan KB
Siswa ……… ………..
Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan
Pembelajaran dan Kelompok KAM Siswa terhadap Peningkatan KB …
4.72 4.73
Uji Nyata Perbedaan Peningkatan KB antar Kelompok KAM (Uji Post
Hoc-LSD) ……….…..
Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data Peningkatan KB Matematis
Siswa ……….
DAFTAR GAMBAR Representasi Visual Thinking yang Mendukung Penilaian
Formatif ………
Tiga Cara Berpikir ……….
Developing Identity as a Mathematical Thinker ……… Skor Kemampuan RVT Ditinjau dari Kategori Sekolah dan
Pendekatan Pembelajaran ………
KRVT Siswa Ditinjau dari KAM dan Pendekatan
Pembelajaran………..
Rata-Rata N-Gain RVT Siswa Ditinjau dari Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran ………..
Rata-Rata N-Gain RVT Ditinjau dari KAM dan Pendekatan
Pembelajaran ………
Skor Awal dan Akhir KB Siswa Ditinjau dari Kategori Sekolah
……….
Skor Awal dan Akhir KB Siswa Ditinjau dari Kelompok KAM Skor Rata-Rata N-Gain KB Siswa dari Kategori Sekolah dan
Pendekatan Pembelajaran ……….
Skor Rata-Rata N-GainKB Siswa Ditinjau dari Kelompok
KAM Siswa dan Pendekatan Pembelajaran ………
DAFTAR LAMPIRAN a. Naskah Soal Pretes Kemampuan RVT ………... b. Naskah Soal Postes kemampuan RVT ………
Naskah Angket Kemandirian Belajar Matematis ………..
Kisi-Kisi dan teknik Penskoran Tes Kemampuan RVT ……...
Penyelesaian Tes Kemampuan RVT ………. Lembar Validasi Buku Pedoman Guru ………. Lembar Validasi LKS ………... Lembar Validasi Naskah Pedoman Wawancara ………... Lembar Validasi Naskah Pedoman Observasi ………. Lembar Validasi Naskah Soal Kemampuan RVT ………
Lembar Validasi Naskah Angket Kemandirian Belajar ………
Hasil Validasi Buku Pedoman Guru ………. Hasil Validasi LKS ………... Hasil Validasi Soal Kemampuan RVT ………. Hasil Validasi Angket Kemandirian Belajar ……… Hasil Ujicoba Kemampuan RVT di SMP AL Ulum ………… Hasil Analisis Statistik Data Kemampuan RVT di Al Ulum … Hasil Ujicoba KB di SMP Al Ulum ……….. Hasil Perhitungan Pembobotan Data KB Hasil Ujicoba ……... Validitas Data KB Matematis Hasil Ujicoba ……… Skor Kemampuan Awal Matematika (KAM) Siswa ………… Skor Kemampuan RVT Sekolah Kategori Baik ……….. Skor Kemampuan RVT Sekolah Kategori Sedang ………….. Skor Kemandirian Belajar Matematis Siswa ……… Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data KAM ……
Deskripsi, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data
Kemampuan RVT ……….
Uji Nyata, Uji Beda, ANAVA, Data Peningkatan Kemampuan
RVT ………..
Deskripsi, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data
KB Matematis ………...
Uji Nyata, Uji Beda, ANAVA, Data Peningkatan KB ………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Visualisasi memiliki peran penting dalam pengembangan pemikiran,
pemahaman matematis dan dalam transisi dari berpikir konkrit ke abstrak berkaitan
dengan pemecahan masalah matematis (Lavy, 2006). Visual thinking menarik untuk
dibahas mengingat banyak penelitian terdahulu menemukan bahwa akibat
penggunaan representasi visual yang tidak benar siswa mengalami keterbatasan dan
kesulitan. Kesulitan siswa yang ditemukan yaitu dalam memahami masalah,
menggambar diagram, membaca grafik dengan benar, memahami konsep matematis
formal dan memecakan masalah matematis (Eisenberg, 1994; Arcavi, 2003; Stylianou
& Silver, 2004).
Visualisasi yang digunakan pada pembelajaran matematika dapat menjadi alat
yang ampuh mengeksplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti bagi
konsep-konsep matematis dan hubungannya (Roska & Rolka, 2006).Banyak penelitian yang
membahas keuntungan dari visualisasi berkaitan dengan pemecahan masalah
matematis (Presmeg, 1986a; Presmeg 1986b; Kent 2000; Mariotti, 2000; Slovin,
2000; Thornton, 2001; Yin, 2011).
Peningkatan representasi visual thinking sangat penting dalam pemecahan
masalah matematis. Modelminds (2012) menyebutkan terdapat 10 alasan mengapa
visual thinking penting dalam memecahkan masalah yang kompleks yaitu : (1) Visual
thinking membantu memahami masalah yang kompleks menjadi lebih mudah; (2)
Hasil visualisasi masalah yang kompleks, menjadi mudah dalam berkomunikasi dan
berkomunikasi lintas budaya dan bahasa; (4) Visual thinkingmembuat komunikasi
dari sisi emosional menjadi lebih baik; (5) Visualisasi membantu memfasilitasi
pemecahan masalah non-linear; (6) Visualisasi dari masalah memungkinkan orang
untuk berpikir bersama dengan setiap ide orang lain dengan menciptakan bahasa
bersama; (7) Pemetaan visual dari sebuah masalah dapat membantu untuk melihat
kesenjangan dari solusi dapat ditemukan; (8) Visualisasi membantu orang untuk
mengingat, membuat ide konkrit dan menciptakan hasil yang lebih akurat pada
akhirnya; (9) Visual thinking dapat memberikan gambaran sangat penting belajar dari
kesalahan; (10) Visualisasi berfungsi sebagai motivasi yang besar mencapai tujuan.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa juga
disebabkan oleh proses pembelajaran matematika di kelas kurang meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kurang terkait langsung dengan kehidupan
nyata sehari-hari (Shadiq, 2007; Sumarmo, 2010). Pembelajaran seperti ini tidak
sejalan dengan tujuan pemberian matematika pada siswa SMP, yaitu agar siswa
memiliki kemampuan pemecahan masalah, dan tidak sejalan pula dengan prinsip
pengembangan KTSP, yaitu berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya serta relevan dengan kebutuhan
kehidupan. Padahal kemampuan pemecahan masalah merupakan jantungnya
matematika dan visualisasi merupakan inti dari pada pemecahan masalah
matematika.
Surya (2010) menemukan sebagian besar siswa SMP/MTs tidak dapat
mempresentasikan (memvisualisasikan pemikirannya) pada soal cerita matematika
dan cenderung tidak dapat memecahkan soal matematika tersebut. Ketika soal-soal
PLPG di Medan sebagian besar guru juga tidak dapat mempresentasikan dan
memecahkannya. Hal ini dapat terjadi karena pelaksanaan pembelajaran kurang
bervariasi, standar proses belum ada.
Menurut Hudoyo (2002) kelemahan siswa kita pada kemampuan pemecahan
masalah, penalaran, koneksi dan komunikasi matematis disebabkan oleh kegiatan
pembelajaran yang umum terjadi di lapangan saat ini tidak mengakomodasi
pengembangan kemampuan-kemampuan itu.
Pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilakukan guru di sekolah
sejalan dengan temuan Pusat Kurikulum (Puskur). Puskur (2007a) menemukan pada
aspek pelaksanaan KBMmatematika di SMP/MTs dan SMA/MA ditemukan antara
lain :(a) Pembelajaran tidak mengacu pada RPP yang telah dibuat sehingga tidak
terarah, hanya mengikuti alur buku pegangan; (b) Metode pembelajaran di kelas
kurang bervariasi, guru cenderung selalu menggunakan metode ceramah; (c) Metoda
pembelajaran tidak sesuai dengan materi (kesulitan memilih metoda yang sesuai
dengan materi); (d) Sumber belajar umumnya dan buku pegangan sangat terbatas
menggunakan teknologi dan lingkungan; (e) penilaian terkadang tidak mencakup
seluruh indikator atau KD karena soal disusun tanpa kisi-kisi. Hal ini tentu sangat
memperihatinkan.
NTCM (2000) telah menentukan 5 standar isi dalam bidang matematika,
yaitu bilangan dan operasinya, pemecahan masalah, geometri, pengukuran, peluang
dan analisis data. Pada geometri terdapat unsur penggunaan visualisasi, penalaran
spasial dan pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan visual
thinking (visualisasi) merupakan tuntutan kurikulum yang harus diakomodasi dalam
daritingkat SD sampai PT peserta didik dituntut dapat menguasai materi geometri
bidang dan geometri ruang dan pemecahan masalah yang juga membutuhkan
visualisasi.
Kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian (kepercayaan diri) siswa
dalam belajar matematika di sekolah sangat penting.Kemampuan pemecahan masalah
matematis adalah salah satu kompetensi dalam KTSP, pemecahan masalah matematis
mutlak dipahami siswa karena merupakan syarat utama untuk memenuhi kompetensi
lainnya yaitu representasi. Kemandirian belajar perlu dilakukan karena merupakan
salah satu indikator keberhasilan siswa.
Kartasasmita (dalam Puskur, 2007b) menyatakan sangat penting diterapkan
pendekatan belajar aktif yangterfokus kepada proses matematika. Kurikulum yang
dikembangkan danimplementasinya dalam PBM hendaknya menekankan pemecahan
masalah dan pengembangan beragam kompetensi konkrit matematika, buku pengetahuan
(buku pedoman guru).Perlu dititikberatkan pengadaan dan penyebaran sarana belajar
matematika, berupabuku pelajaran, alat peraga, lembar kerja, buku sumber dan referensi,
paket belajar (learning pack), CD, dan buku bacaan yang relevan.
Pembelajaran matematikaperlu menggunakan perangkat pembelajaran.
Perangkat pembelajaran didesain agar pembelajaran yang dilakukan dapat
meningkatkan kemampuan representasi visual thinking matematis pada pemecahan
masalah matematis, dan kemandirian belajar siswa. Dalam hal ini buku ajar
matematika dan aktivitas kegiatan siswa dalam belajar dan memecahkan masalah
matematika dapat direncanakan dan dibuat guru sehingga diharapkan proses belajar,
kemampuan menguasai konsep dan memecahkan masalah serta hasil belajar
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, pemerintah dalam
hal ini Departemen Pendidikan Nasional, melakukan inovasi kurikulum sekolah.
Perubahan dilakukan tidak saja dalam restrukturisasi substansi matematika yang
dipelajari, namun yang sangat mendasar adalah pergeseran paradigma dari bagaimana
guru mengajar dan bagaimana siswa belajar. Belajar tidak lagi dipandang sebagai
proses transfer pengetahuan untuk kemudian disimpan dalam sistem memori siswa
melalui praktek yang diulang-ulang dan penguatan. Siswa harus diarahkan agar
mendekati setiap persoalan/ baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki,
mengasimilasi informasi baru, dan mengkonstruksi pemahaman siswa sendiri.
Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan
kemampuan: (1) komunikasi matematis, (2) penalaran matematis, (3) pemecahan
masalah matematis, (4) koneksi matematis, dan (5) representasi matematis (NCTM,
2000: 7). Menurut Sumarmo (2005), kemampuan-kemampuan tersebut disebut dengan
daya matematis (mathematical power) atau keterampilan matematis (doing math).
Lebih lanjut Sumarmo menyatakan bahwa melalui keterampilan matematis (doing
math) di atas, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik masa kini dan
kebutuhan peserta didik masa datang. Kebutuhan peserta didik masa kini adalah siswa
memahami konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika
dan ilmu pengetahuan lainnya ketika siswa masih duduk di bangku sekolah,
sedangkan kebutuhan peserta didik masa datang adalah siswa memiliki kemampuan
penalaran yang sangat diperlukannya di masyarakat sehingga mampu berkompetetif
dengan bangsa lain. Dengan demikian, pembelajaran matematika pada jenjang
sekolah manapun diharapkan dapat mengembangkan kemampuan matematis peserta
Salah satu keterampilan matematis yang penting dan perlu dikuasai siswa adalah
kemampuan pemecahan masalah matematis. Pentingnya pemecahan masalah
ditegaskan dalam NCTM (2000: 52) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah
merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut
tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat
Ruseffendi (2006: 341) yang mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
amatlah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang di kemudian hari
akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang
akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan sekarang ini belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan,
pembelajaran matematika masih cenderung berpatokan pada buku cetak, tak jarang
dijumpai pengajaran berfokus pada guru. Pembelajaran di kelas menggunakan
langkah-langkah pembelajaran konvensional seperti: menyajikan materi
pembelajaran, memberikan contoh-contoh soal dan meminta siswa mengerjakan
soal-soal latihan yang terdapat dalam buku cetak matematika yang mereka gunakan dalam
mengajar dan kemudian membahasnya bersama siswa. Pembelajaran seperti ini
tentunya kurang dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa. Siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal matematika berdasarkan apa yang
dicontohkan oleh guru, jika diberikan soal yang berbeda mereka akan kesukaran,
danmengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.
Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sangat berhubungan dengan
kemampuan representasi matematis mereka. Konstruksi representasi matematis yang
tepat akan memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Suatu masalah
dengan permasalahan tersebut, sebaliknya konstruksi representasi yang keliru
membuat masalah matematis menjadi sukar untuk dipecahkan. Representasi yang
dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau
ide-ide matematis yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi
dari masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian diharapkan bahwa bilamana
siswa memiliki akses ke representasi-representasi, ide-ide dan gagasan-gagasan yang
mereka tampilkan, mereka memiliki sekumpulan alat yang siap secara signifikan akan
memperluas kapasitas mereka dalam berpikir matematis (NCTM, 2000: 67).
Beberapa bentuk representasi matematis, yang merupakan representasi visual
thinking siswa seperti verbal, gambar, model, numerik, simbol aljabar, tabel, diagram,
dan grafik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelajaran matematika.
Namun pada umumnya dalam pembelajaran, representasi yangdiberikan hanya
sebagai pelengkap dalam menyelesaikan masalah matematika. Seharusnya sebagai
komponen pembelajaran yang esensial, kemampuan representasi visual
thinkingmatematis siswa perlu senantiasa dilatih dalam proses pembelajaran
matematika di sekolah.Montague (2007) menegaskan representasi masalah yang
sesuai adalah dasar untuk memahami masalah dan membuat suatu rencana untuk
memecahkan masalah.
KNILT (2008) menyatakan alasan pentingnya visual thinkingbagi seorang guru
atau siswa antara lain : (1) Pikiran yang tertata adalah kunci sukses belajar; (2)
Pikiran yang tertata dapat dikembangkan melalui penggunaan alat-alat peraga yang
dapat meningkatkan pencapaian; (3) Banyak keuntungan siswa dari pikiran yang
tertata; (4) Pikiran yang tertata dapat memotivasi, efektif dan kreatif; (5) Sekolah
Gambar 1.1. Pentingnya visual thinking Sumber : KNILT (2008)
Pemecahan masalah adalah jantungnya matematika dan inti dari pemecahan
masalah adalah visualisasi (Yin, 2011).Yin mengidentifikasi peran dari visualisasi
dalam memecahkan masalah matematis : Untuk memahami masalah,
menyederhanakan masalah, melihat masalah ke koneksi terkait, memenuhi gaya
belajar individu, sebagai pengganti untuk perhitungan, sebagai alat untuk memeriksa
jawaban, dan untuk mengubah masalah ke dalam bentuk-bentuk matematis. Surya
(2011a) menyatakan bahwa dengan visualisasi siswa dapat aktif merepresentasi
gambaran pemikiran dalam benaknyasehingga dapatmembantu proses memecahkan
masalah matematis sekolah dan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari.
ini mendukung pernyataan bahwa semakin beragam siswa menggunakan pengetahuan representasi, semakin besar kemungkinan siswa mampu menghasilkan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah matematis. Paparan representasi banyak membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan matematika.Panasuk & Bayranevand (2010) juga menemukan pada siswa kelompok tinggi, siswa bingung dan benci dengan permasalahan representasi gambar. Siswa tersebut lebih menyukai menggunakan representasi simbolik. Siswa menggunakan persamaan karena lebih mudah hanya memasukkan angka untuk memecahkan permasalahan, misalnya langsung 23 –9 = 14. Siswa menjelaskan “bingung dengan gambar” atau “ saya benci dengan gambar” karena siswa tidak tahu ”apa yang harus dilakukan” dan “lebih
mudah bagi saya untuk melihat” tapi “ bagaimana melakukannya.” "Bagaimana
melakukannya" akan melibatkan ekstraksi dan analisis struktur hubungan yang tidak segera jelas dan eksplisit ketika disajikan dalam kata-kata atau gambar. Hasil wawancara ditemukan siswa kelompok atas kurang mahir pada pemahaman struktur yang mendalam dari hubungan linear, sifat yang tidak diketahui, dan terbiasa menggunakan rumus (mekanis) dan prosedural.
Kemampuan siswa dalam representasipada pemecahan masalah matematis
merupakan suatu kemampuan yang dapat dikembangkan. Pemilihan cara atau
pendekatan pembelajaran yang tepat akan menunjang pengembangan kedua
kemampuan tersebut. Ruseffendi (2006: 240) menyatakan bahwa pendekatan
merupakan suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa
dalam mencapai tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pengajaran atau
materi pelajaran itu dikelola. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran matematika
yang diperkirakan dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis dan
pemecahan masalah matematis siswa adalah pendekatan kontekstual berdasarkan
lingkungan siswa.
Menurut McCoy, Baker dan Little (Hutagaol, 2007) cara terbaik membantu
siswa memahami matematika melalui representasi adalah dengan mendorong mereka
untuk menemukan atau membuat representasi sebagai alat berpikir dalam
mengkomunikasikan gagasan matematis. Ruseffendi (2005) mengemukakan bahwa
salah satu peran penting dalam mempelajari matematika adalah memahami objek
langsung matematika yang bersifat abstrak seperti fakta, konsep, prinsip dan skill.
Untuk mencapainya diperlukan sajian benda-benda konkrit untuk membantu
memahami ide-ide matematis yang bersifat abstrak tersebut. Sehingga dalam proses
pembelajarannya diperlukan kemampuan representasi yang baik. Peran sajian benda
konkrit dalam pembelajaran terbatas hanya sebagai alat bantu pemahaman, dan jika
ide yang dipelajari telah dipahami, sajian benda konkrit tersebut tidak diperlukan lagi
dalam belajar matematika.
Sabandar (2005) mengemukakan bahwa peningkatan kemampuan
dengan menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal. Konsep
matematisasi horizontal berupa identifikasi, visualisasi masalah melalui sketsa atau
gambar yang telah dikenal siswa. Konsep matematisasi vertikal dapat berupa
representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model
matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan pengeneralisasian.
Hasil survei yang dilakukan Ardhana, dkk. (2003) tentang pembelajaran
matematika dan sains siswa SMP di kota Malang dan Surabaya menunjukkan bahwa:
(1) Model pembelajaran bermakna dalam pembelajaran matematika belum
terimplementasi dengan baik, (2) Guru melakukan pembelajaran umumnya bertolak
dari buku matematika yang ada bukan dari tujuan pembelajaran dan kebutuhan
peserta didik, (3) Kurangnya pengaitan pembelajaran matematika dengan konteks
kehidupan siswa; (4) pembelajaran matematika jarang dimulai dengan
masalah-masalah kehidupan sehari-hari (nyata), dan (5) pembelajaran matematika biasanya
menggunakan bahan-bahan yang hanya mengutamakan keterampilan berpikir
konvergen.
Hasil survei pembelajaran matematika di atas memberikan indikasi bahwa
secara umum pembelajaran matematika di SMP cenderung merupakan aktivitas
konvensional. Aktivitas pembelajaran reguler tersebut diduga kuat sebagai
penghalang pencapaian kemampuan komunikasi (representasi) matematis dan
pemahaman matematis. Perkin dan Unger (1999) menganjurkan bahwa pembelajaran
matematika untuk pemahaman harus menantang siswa untuk belajar, misalnya dengan
penyajian masalah-masalah terstruktur yang mendukung penerapan ketrampilan
berpikir dan bekerja. Jadi, pembelajaran matematika untuk pemahaman ditujukan
dalam pencapaian learning how to learn dan learning to do akan tampak dari proses
pembelajaran yang berlangsung, bukan hanya semata-mata dari hasil pembelajaran.
Berangkat dari berbagai teori pembelajaran bermakna tersebut dan teori psikologi
kognitif, serta fakta bahwa matematika selalu berhubungan dengan kenyataan, maka
banyak dikembangkan inovasi pembelajaran dengan berbagai pendekatan.
Soal yang peneliti ujikan kepada siswa merupakan masalah kontekstual yang
sederhana. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan siswa dalam memahami dan
menggambarkan masalah apa yang ada dalam pikiran siswa. Soal tersebut contohnya
adalah sebagai berikut :
Masalah Kue Bika Ambon Ibu Mariani.
Bu Mariani setiap hari membuat kue Bika Ambon sebanyak 20 loyang dengan ukuran persegi 28 cm. Biaya kue per loyangnya Rp. 30.000,- Jika kue tersebut dipotong per potong dengan ukuran 4 cm x 2 cm. Kue yang telah dipotong dijualnya Rp. 500,- perpotongnya.
a. Gambarkan potongan kue bu Mariani per loyangnya. b. Berapa banyak potongan kuenya.
c. Berapa penjualan kue bika Ambon yang telah dipotong, jika semua kuenya habis terjual.
d. Berapa Untung atau Ruginya Bu Mariani setiap harinya.
Gambar 1.3. Kue Bika Ambon Penyelesaian dari soal Kue Bika Ambon ibu Mariani adalah :
Diketahui : Banyak Kue 20 loyang, ukuran kue per loyang 28 cm x 28 cm
Harga perpotong Rp. 500,-
Ditanya : a. Gambarkan potongan kue bu Mariani
b. Banyak potongan kuenya
c. Penjualan kue yang telah dipotong
d. Berapa untung atau ruginya Ibu Mariani
Jawab : a. Gambar potongan kue bu Mariani, Ukuran sepotong 4 cm x 2 cm
7 buh
14 buah
Gambar 1.4. Potongan Kue Bika Ambon b. Banyak membuat kue = 20 loyang
Luas seluruh permukaan kue = 20 x (luas permukaan seloyang kue) Luas seluruh permukaan kue = 20 x (28 cm x 28 cm) = 15.680 cm2
Luas permukaan sepotong kue = 4cm x 2 cm = 8 cm2
Banyak potongan kue seluruhnya = 15.680 cm2 : 8 cm2 = 1.960 buah c. Penjualan kue = 1.960 buah x Rp. 500,00/buah = Rp. 980.000,00 d. Modal pembuatan kue 20 loyang = 20 x Rp. 30.000,00
Modal pembuatan kue = Rp. 600.000,00
Harga Penjualan > harga pembuatan kue, maka Bu Mariani untung. Untungnya = harga penjualan – harga pembuatan kue
= Rp. 980.000,00 – Rp. 600.000,00 = Rp. 380.000,00
Potongan Kue 4 cm x 2cm
Untung Bu Mariani setiap harinya Rp. 380.000,00
Dari 30 orang siswa yang berpartisipasi belum ada yang menunjukka bahwa
siswa memiliki pemahaman yang baik/efektif, misalnya menuliskan apa yang
diketahui dari soal, apa yang ditanyakan, menjelaskan secara rinci pemecahan
masalahnya dan kesimpulan akhir dari apa yang telah diperoleh. Begitu juga dalam
penggunaan simbol, tanda, dan/atau representasi yang tepat untuk menjelaskan
operasi, konsep dan proses. Lebih memperihatinkan lagi hanya 4 orang yang
menjawab “mengarah benar”.
Gambar 1.5. Jawaban si A
Pada jawaban si A terdapat kesalahan yang fatal tidak menjelaskan apa yang
dijawab hanya berupa representasi gambar tanpa penjelasan banyak potongan pada
seloyang kue bika Ambon. Kesalahan juga pada jawaban b muncul angka tanpa
makna atau penjelasan dan proses kedua pada tidak ada tanda “ = “ serta penempatan
tanda “=” yang salah. Hasil perkalian 28 x 28 x 20 = 15280 yang salah (seharusnya
langkah pertama tidak ada angka 8, dan hasil 1910 potong kue juga salah. Begitu
juga proses jawaban c yang menjadi salah akibat proses pada jawaban b sebelumnya
salah walaupun hasil perkaliannya benar. Pada jawaban d muncul angka 600.000 yang
tanpa penjelasan sama sekali. Begitu juga tiba-tiba muncul simbol satuan Rp. (rupiah)
tanpa tahu dari mana asalnya, dari jawaban si A ini untung bu Mariani dinyatakannya
Rp.355.000,00 yang juga salah. Proses dan hasil jawaban pemecahan masalah
kontekstual si A tidak benar dapat dilihat dari mulai si A membuat representasi atau
model gambar berupa potongan permukaan kue yang tidak jelas, kurangnya
keterangan awal apa yang mau dibahas dan perhitungan yang tidak teliti serta proses
pemecahan masalah yang tidak runtut sehingga permasalahan yang akan dibahas tidak
benar dan akurat.
Jawaban si B representasi gambar jawaban a sudah ada potongan kue ukuran
4 cm x 2 cm tapi gambar yang dibuat tanpa keterangan hanya si A saja yang tahu.
Pada proses jawaban b tidak muncul keterangan apa yang dijawab tanpa teks kalimat
dan tanpa simbol “ = “, muncul tiba-tiba 1960 buah. Pada jawaban c tanpa keterangan
teks kalimat apa yang sedang dibahas 1960 x 500 dan tanpa symbol “ = “ dan muncul
tiba-tiba simbol Rp. (rupiah). Begitu juga pada proses jawaban d tidak ada keterangan
apa yang dijawab dan symbol tanda “ = “ walaupun terakhir muncul kesimpulan “
jadi Ibu Mariani untung sebesar Rp. 380.000 setiap harinya” yang dari kesimpulan
jawaban yang diperoleh benar tapi dari proses pengerjaan yang salah.
Pertimbangan penting mengapa memilih pembelajaran kontekstual diantaranya
pembelajaran kontekstual menyajikan masalah-masalah nyata sehari-hari pada awal
pembelajaran, dan menjadi salah satu pemicu atau stimulus siswa untuk berpikir dan
merepresentasikan apa yang ada dalam pemikirannya. Berartimasalah bertindak
sebagai tahap awal proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep belajar seperti itu,
dapat memfasiliasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi, representasi dan
pemecahan masalah. Seperti dikemukakan oleh Sabandar (2005 : 2) bahwa situasi
pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan
kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan
dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi
konflik kognitif yang tidak menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir
kritis dan kreatif. Diharapkan siswa akan mencoba merepresentasikan atau
memvisualisasikan apa yang dipikirkannya dan berusaha memecahkan masalah
Pada KTSP diharapkan dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan lingkungan siswa sehari-hari
(kontekstual), dengan mengajukan masalah-masalah yang kontekstual siswa secara
bertahap dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika. Hal lain, bahwa
pembelajaran ini berbasis pemecahan masalah dengan pemberian soal cerita sehingga
memungkinkan siswa mengembangkan pemikirannyadan merepresentasikan visual
thinking, pemecahan masalah matematis dan dituntut untuk kemandirian siswa dalam
belajar.
Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dimulai
dengan mengajukan masalah sehari-hari berdasarkan lingkungan di sekolah atau di
rumah sebagai tantangan bagi siswa. Pembelajaran tersebut memberikan peluang bagi
siswa mengkonstruksi dan menemukan sendiri pengetahuannya dengan cara
mevisualisasikan masalah dan memecahkan masalah secara kreatif di bawah arahan
guru dalam kelompok-kelompok kecil sehingga siswa sharing idea, saling membantu
dalam memecahkan masalah. Pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh siswa tahap demi
tahap, sedikit demi sedikit, melalui proses coba-coba yang tidak selalu mulus (trial
and error). Oleh karena itu, pembelajaran harus dikemas oleh guru menjadi proses
mengkontruksi bukan menerima pengetahuan. Siswa membangun sendiri
pengetahuannya dengan cara terlibat aktif dalam proses pembelajaran matematika,
berarti kegiatan berpusat pada siswa. Apabila siswa mengalami kesulitan dalam
kelompoknya, guru tidak serta merta memberi tahu secara langsung tetapi
mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka (divergen) yang mengarah pada jawaban.
Kegiatan guru mengajukan permasalahan atau pertanyaan di kelas yang
muncul dalam pembelajaran yang menekankan pada proses di mana siswa dilibatkan
aktif dalam proses pembentukan pengetahuan. Pertanyaan yang diajukan atau
dimunculkan tentunya harus menunjang tercapainya tujuan pembelajaran yang
ditetapkan. Jika siswa diharapkan untuk memvisualisasikan pemikirannya dan
berpikir kritis, kreatif dalam memecahkan masalah matematika, maka mengajukan
pertanyaan tantangan ataupun pertanyaan yang bersifat divergen atau yang
menimbulkan konflik kognitif perlu dimunculkan.Untuk membantu memahami
masalah matematis yang tidak terstruktur digunakan model berupa representasi dalam
bentuk gambar, grafik, tabel, dan sebagainya. Siswa melakukan refleksi pada setiap
akhir proses pemecahan masalah, dan pada setiap akhir pembelajaran.
Mengimplementasikan pembelajaran kontekstual bukan hal yang gampang
bagi guru, karena guru tidak menyajikan konsep dalam bentuk jadi, tetapi melalui
kegiatan pemecahan masalah, siswa digiring ke arah menemukan konsep sendiri.
Guru harus mampu menciptakan situasi pemecahan masalah sehingga siswa tertarik
untuk menyelesaikannya, meskipun tidak segera mendapatkan solusinya. Dalam
proses reinvention ini, siswa tidak serta merta menemukan solusi, apabila siswa
mengalami hambatan atau kebuntuan, peranan guru sangat diperlukan untuk
membantu mengarahkan secara tidak langsung. Berarti dalam hal ini guru harus
benar-benar menguasai konsep matematika dan kaitannya, serta sudah
mempersiapkan berbagai kemungkinan cara untuk mencapai solusi sebagai antisipasi
dalam membantu dan mengarahkan siswa dalam proses visualisasi dan pemecahan
masalah.
Penerapan pembelajaran kontekstual, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu :
siswa, serta kemandirian belajar siswa. Bagaimanapun penerapan pembelajaran
kontekstual pada sekolah dengan kualifikasi yang berbeda, diprediksi pencapaian
siswa akan berbeda pula. Pada umumnya kemampuan siswa itu beragam, siswa yang
memiliki kemampuan tinggi biasanya masuk di sekolah yang levelnya lebih tinggi
dibandingkan siswa yang mempunyai kemampuan lebih rendah, meskipun
kemungkinan keberadaan di lapangan sangat relatif, tidak menutup kemungkinan
terjadi sebaliknya untuk siswa dari kalangan tertenru. Meskipun secara formal
sekolah-sekolah tidak dikelompokkan berdasarkan peringkatnya, tetapi masyarakat
mengakuinya bahwa antara sekolah yang satu peringkatnya lebih tinggi dari yang lain.
Tidak ada patokan yang baku, tetapi biasanya berdasarkan prestasi yang diraih
siswanya dalam berbagai hal. Untuk keperluan penelitian ini level sekolah ditentukan
berdasarkan kualifikasi dinas setempat.
Pada penerapan pembelajaran kontekstual, yang merupakan pembelajaran
berbasis konstruktivisme memberikan peluang kepada siswa dalam mengeksplorasi
pemikirannya namun terarah, menemukan ide-ide pemecahan masalah matematis.
Siswa dapat juga berbagi ide di kelompoknya atau bertanya pada kelompok lain
tentang masalah yang tidak dipahamnya. Jika antar siswa atau kelompok ada beda
pendapat, dan memenuhi jalan buntu guru bisa membantu dengan schaffolding.
Suasana pembelajaran yang aktif dengan ciri-ciri tersebut dimungkinkan untuk
mengarahkan siswa agar bisa melaksanakan pembelajaran matematika yang pada
gilirannya siswa akan punya kemandirian belajar matematika..
Kemandirian belajar matematika siswa merupakan faktor yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Perkembangan
kesulitan atau tantangan, dan banyaknya sumber-sumber belajar yang bisa diakses.
Hal ini akan sangat mempengaruhi dan mendukung belajar bagi siswa yang punya
kemandirian belajar yang tinggi.
Siswa dengan pendekatan pembelajaran kontekstual diperkirakan akan
mempunyai kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional. Begitu juga siswa dengan kemampuan awal matematika
(KAM) lebih tinggi serta padakategori sekolah tinggi diasumsikan memiliki
kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berada pada
KAM baik dan sekolah kategoribaik, apalagi pada KAM sedang dan kategori sekolah
sedang dan rendah. Siswa yang berada pada KAM tingggi dan kategori sekolah tinggi
lebih mampu mengatur waktu, mendiagnosis kebutuhan belajar dan mengontrol
belajar, kognisi, motivasi dan perilaku. Juga siswa tersebut mampu merencanakan
strategi belajar, memilih strategi belajar, kemudian melaksanakannya, serta
mengevaluasi proses dan hasil belajar. Hal ini didukung oleh temuan Darr dan Fisher
(2004) yang melaporkan bahwa kemampuan belajar mandiri siswa berkolerasi tinggi
dengan keberhasilan belajar siswa.
Fakta lain ditemuan Pape dan Bell (2003) pada penelitiannya bahwa
meningkatnyapemikiran, kinerja, dan refleksi diri pada kemandirian belajar siswa
akan meningkatkan pemahaman dan penalaran, siswa lebih mampu dari sebelumnya
mengembangkan berfikir matematis dalam hal ini menerapkan strateginya
memecahkan masalah matematis.
Marcou dan Phillipou (2005) menemukan dalam penelitiannya bahwa
meningkatnya kemandirian belajar siswa dan scaffolding meningkatkan keyakinan
Penelitian ini difokuskan pada penerapan model pembelajaran kontekstual
dalam upaya meningkatkan kemampuan representasi visual thinkingdankemandirian
belajar matematis siswa (self-regulated learning) siswa SMP ditinjau dari kategori
sekolah (baik dan sedang) dan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, menengah
dan rendah).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan maka permasalahan dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Apakah pendekatan kontekstual siswa
dapat meningkatkan kualitas kemampuan representasi visual thinking pada
pemecahan masalah matematis serta kemandirian belajar siswa SMP?
Selanjutnya, dari rumusan masalah tersebut diuraikan dalam beberapa sub
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan representasi visual thinking(RVT) pada
pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual
(PCTL) ditinjau dari: (a) pendekatan pembelajaran; (b) kategorisekolah (baik,
sedang), dan (c) kemampuan awal matematika (tinggi, menengah, rendah).
2. Apakah peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis yang
mendapat pembelajaran CTL lebih tinggi dari pada yang mendapat pembelajaran
KV ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran; (b) kategorisekolah (baik,
sedang), dan (c) kemampuan awal matematika (tinggi, menengah, rendah).
3. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah
terhadap peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis
4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal
matematika siswa terhadap kemampuan RVT pada pemecahan masalah
matematis.
5. Apakah terdapat peningkatan kemandirian belajar matematis siswa yang
mendapat pembelajaran CTL ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran, b)
kategori sekolah (baik, sedang) dan c) kemampuan awal matematika.
6. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemandirian belajar matematis yang
mendapat pendekatan CTL dan yang mendapat pendekatan KV ditinjau dari
aspek : a) pendekatan pembelajaran, b) kategori sekolah, dan c) kemampuan awal
matematika
7. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah
terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.
8. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal
matematika siswa terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran
mengenai hal-hal berikut :
1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi visual thinking(RVT)
pada pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pendekatan
kontekstual(PCTL).
2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah
matematis siswa yang lebih tinggi ditinjau dari aspek : a) pendekatan
pembelajaran; (b) kategori sekolah (baik, sedang), dan (c) kemampuan awal
3. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori
sekolah terhadap peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah
matematis siswa.
4. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan RVT pada pemecahan
masalah matematis siswa.
5. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian belajar matematis siswa yang
mendapat pembelajaran CTL.
6. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian belajar matematis yang lebih tinggi
ditinjau dari pendekatan pembelajaran, kategori sekolah, dan kemampuan awal
matematika siswa.
7. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori
sekolah terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.
8. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
kemampuan awal matematika siswa terhadap kemandirian belajar matematis
siswa.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi guru yang terlibat dalam penelitian ini dapat menambah pengalaman dan
dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan kemampuan representasi visual thinking pada pemecahan masalah
matematis dan kemandirian belajar sehingga dapat memotivasi guru untuk
menerapkan permbelajaran kontekstual yang sesuai dengan lingkugan siswa untuk
2. Bagi siswa, penerapan pembelajaran kontekstual sebagai sarana untuk melibatkan
aktivitas siswa secara optimal sehingga dapat meningkatkan kemampuan
representasi visual thinking matematis pada pemecahan masalah matematik,
kemandirian belajar dan pemanfaatan lingkungan di sekolah atau di rumah siswa
dalam belajar matematika.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka berikut ini dituliskan definisi
operasional istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Kemampuan representasi visual thinking matematis adalah kemampuan dalam
mengeksplorasi pemikiran denganmembayangkan, membandingkan, menduga,
mengingat, mempresentasikan, menggunakan berbagai bentuk matematis yaitu
visual (grafik, diagram, tabel dan gambar); simbolik (pernyataan
matematis/notasi, numerik/symbol aljabar), dan verbal (kalimat atau teks tertulis).
2. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan mengidentifikasi
unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan;
mampu membuat/menyusun model matematika; dapat memilih dan
mengembangkan strategi pemecahan matematis; serta mampu menjelaskan dan
memeriksa kebenaran jawaban yang diperoleh siswa.
3. Kemandirian belajar adalah pandangan seseorang terhadap dirinya dalam belajar
aktif dan konstruktif yang meliputi adanya : inisiatif belajar, mendiagnosis
kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, mengatur dan mengontrol belajar,
mengatur dan mengatur kognisi, motivasi, serta perilaku (diri), memandang
relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil
belajar, serta konsep diri.
4. Pembelajaran kontekstual adalah sebuah pendekatan pembelajaran dimana materi
disajikan melalui konteks yang bervariasi dan berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang
mendorong siswa untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen quasi yang menerapkan pendekatan
kontekstual (Contextual Teaching Learning). Disain penelitian eksperimen ini
menggunakan desain analisis faktorial 2 × 2 × 3, yaitu dua pendekatan pembelajaran
kontekstual (PCTL) dan pembelajaran konvensional (PKV), dua level sekolah (baik
dan sedang), dan tiga kelompok pengetahuan awal matematika siswa (tinggi,
menengah, dan rendah).
Pada rancangan ini, subyek penelitian dipilih dengan memilih dua kelompok
kelas pada tiap sekolah, kelompok eksperimen diberi perlakuan pembelajaran
kontekstual (X), dan kelompok kontrol dengan pembelajaran biasa (konvensional),
Sebelum pembelajaran dilaksanakan, pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
diberikan pretes kemampuan representasi visualthinking (RVT) dan kemandirian
belajar (KB) siswa. Kemudian diakhir rangkaian pembelajaran kelas eksperimen dan
kelas kontrol diberikan postes. Penelitian ini termasuk disain kelompok control
pretes-postes (Ruseffendi, 2005: 50) seperti berikut :
O X O O O
dengan : O = pretes / postest kemampuan RVT X = pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel tak bebas. Variabel
bebasnya adalah pembelajaran kontekstual. Variabel tak bebasnya adalah kemampuan
juga menggunakan level sekolah (baik dan sedang) dan pengetahuan awal matematika
siswa (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai variabel kontrol.
Keterkaitan antara variabel bebas, variabel tak bebas, dan variabel kontrol
disajikan pada Tabel 3.1, dan Tabel 3.2.
Tabel 3.1
Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol (Level Sekolah)
Baik (B) KR-BC KR-BK KB-BC KB-BK
Sedang (S) KR-SC KR-SK KB-SC KB-SK
Keseluruhan (T) KR-TC KR-TK KR-TC KR-TK
Keterangan :
KR-BC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa berasal dari
sekolah kategori baik yang memperoleh pembelajaran kontekstual
KR-SC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa berasal dari
sekolah kategori sedang yang memperoleh pembelajaran kontekstual
KB-BK : Kemandirian belajar matematissiswa berasal dari sekolah kategori baik
yangmemperoleh pembelajaran konvensional
KB-SK : Kemandirian belajar matematissiswa berasaldari sekolah kategori
sedang yang memperoleh pembelajaran konvensional
Tabel 3.2
Keterangan :
KR-TC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa dengan KAM
tinggi yang memperoleh pembelajaran kontekstual
KR-MC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa dengan KAM
menengah yang memperoleh pembelajaran kontekstual
KB-MK : Kemandirian belajar matematis siswa dengan KAM menengah yang
memperoleh pembelajaran konvensional
KB-RK : Kemandirian belajar matematis siswa dengan KAM rendah yang
memperoleh pembelajaran konvensional
A. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa pada SMP di Kota Medan.
Ditetapkannya populasi ini dengan alasan bahwa siswa SMP berada pada masa transisi
antara tahap berfikir konkrit dan tahap berfikir formal. Pada tahap ini kemampuan
representasi visual thinking sangat dibutuhkan untuk memperkuat bekal siswa
memasuki tahap berfikir formal di SLTA dan Perguruan Tinggi.
Sampel penelitian adalah siswa SMP kelas VIII. Pemilihan kelas VIII karena
pada kelas VIII ini siswa SMP baru saja melampaui kelas VII yang pada umumnya
masih berada dalam tahap berpikir konkrit. Ini sesuai dengan teori perkembangan
kognitif dari Piaget yang mengemukakan bahwa tahap operasional kongkrit (umur
dari sekitar 7 tahun sampai 11-12 tahun atau lebih) (Ruseffendi, 2006: 134). Pada
kelas VIII secara bertahap cara berpikir siswa beralih ke tahap berpikir formal. Pada
masa kelas VIII inilah terjadinya masa transisi peralihan tahap berfikirsiswa dari
Pada penelitian ini tidak dipilih sekolah dengan kategori sangat baik, karena
siswa yang berasal dari sekolah berkategori sangat baik hasil belajarnya cenderung
akan baik dan baiknya itu bisa terjadi bukan akibat baiknya pembelajaran yang
dilakukan (Darhim, 2004: 64). Demikian juga sampel tidak dipilih dari sekolah
berkategori kurang baik (rendah) karena siswa yang berasal dari sekolah berkategori
kurang baik hasil belajarnya cenderung kurang baik dan kurang baiknya itu bisa
terjadi bukan akibat kurang baiknya pembelajaran yang dilakukan (Darhim, 2004:
64). Tabel 3.3. di bawah menunjukkan sekolah yang dipilih.
Tabel 3.3. Sekolah dan Kelas sebagai Sampel Penelitian
Kategori Sekolah Sekolah Sampel Subyek Penelitian
Baik SMP N 11 Kelas VIII/5 Kelas Eksperimen
Kelas VIII/7 Kelas Kontrol
Sedang SMP N 27 Kelas VIII/6 Kelas Eksperimen
Kelas VIII/7 Kelas Kontrol
Berdasarkan peringkat di Depdiknaspada sekolah kategori baik dan sedang dipilih
secara acak dua buah sekolah, sebagai subyek penelitian. Masing-masing sekolah
dipilih satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol.
Siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dibagi atas tiga kelompok yaitu
kelompok KAM tinggi, menengah dan rendah. Pengelompokan berdasarkan nilai
matematika dari tes awal dengan materi-materi kelas VII yang telah didiskusikan
dengan guru pada sekolah yang bersangkutan. Pengelompokan ini dilakukan agar
semua jenjang kemampuan siswa terwakili dalam sampel. Kriteria pengelompokkan
setiap sekolah adalah sebagai berikut :
n ≥ ̅ + s : Kelompok KAM tinggi
n < ̅- s : Kelompok KAM rendah
keterangan : n : nilai hasil tes awal siswa
̅ nilai rata-rata hasil tes awal siswa
s : simpangan baku nilai hasil tes awal siswa
Tabel 3.4. menunjukkan komposisi siswa yang berada dalam kelompok KAM tinggi,
menengah dan rendah.
Tabel 3.4.
Banyaknya Siswa pada KAM Tinggi, Menengah dan Rendah
Kelompok Siswa
Kategori Sekolah
Jumlah
Baik Sedang
Kls VIII/5 Kls VIII/7 KLs VIII/6 KLs VIII/7
KAM Tinggi 7 9 7 9 32
KAM Menengah 33 29 19 23 104
KAM Rendah 7 11 9 6 33
Jumlah 96 73 169
B. Instrumen Penenlitian dan Pengembangannya
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penenlitian ini ada dua jenis yaitu
tes dan non tes. Instrumen tes digunakan untuk mengukur kemampuan representasi
visual thinking siswa, sedangkan instrument non tes berbentuk angket digunakan
untuk mengetahui kemandirian belajar matematis siswa sebelum pembelajaran
maupun sesudah pembelajaran, lembar observasi, dan pedoman wawancara.
1. Tes Kemampuan Representasi Visual Thinking
Tes kemampuan representasi visual thinking digunakan untuk mengukur
kemampuan representasi visual thinking matematis setelah pembelajaran matematika
dengan pendekatan kontekstual. Sebelum perangkat tes digunakan terlebih dahulu
perangkat tes divalidasi untuk mengetahui validitas isi, validitas muka dan validitas
pembelajaran kepada ahlinya untuk ditelaah. Validitas isi dan validitas muka
melibatkan 5 orang penimbang yang terdiri dari seorang mahasiswa S3 Pendidikan
Matematika UPI dan 4 orang guru matematika SMP yang telah berpengalaman
mengajar matematika.Validitas konstruk diujicobakan kepada 30 orang siswa SMP Al
Ulum Medan. Indikator yang diukur pada kemampuan representasi visual thinking
siswa meliputi aspek : (1) Mampu mempresentasikan permasalahan dalam bentuk
visual (diagram, gambar, tabel, dan pola); (2) mampu mempresentasikan soal dalam
bentuk persamaan matematika (ekspresi matematika) atau model matematika; (3)
mampu menceritakan kembali soal atau permasalahan dengan cara sistematis atau
mengambil kesimpulan dari jawaban; (4) Mampu merencanakan strategi memecahkan
masalah; (5) Mampu menerapkan strategi penyelesaian masalah; (6) Mampu
memeriksa solusi jawaban dari permasalahan; (7) Mampu menggambarkan
permasalahan dan solusi sebagai ganti perhitungan.
Adapun unsur-unsur dari validasi isi adalah (1) Butir-butir soal sesuai dengan
indikator; (2) Isi materi sesuai dengan tujuan penilaian; (3) Isi materi yang ditanyakan
sesuai dengan jenjang, jenis sekolah dan tingkat kelas; (4) Butir soal tidak tergantung
pada butir sebelumnya, dan (5) Tabel, grafik, diagram, masalah atau sejenisnya (jelas
keterangannya atau ada hubungannya) dengan masalah yang ditanyakan.
Unsur-unsur validasi muka adalah (1) Rumusan kalimat dalam bentuk kalimat
tanya atau perintah yang menuntut jawaban; (2) Ada petunjuk yang jelas cara
pengerjaannya atau menyelesaikan soal;(3) Rumusan kalimat komunikatif; (4)
Kalimat soal menggunakan bahasa yang baik, serta sesuai dengan ragam bahasanya;
menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan bahasa lokal) dan (7) Soal tidak
mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan siswa.
Untuk melihat keseragaman penilaian dari kelima penimbang apakah mereka
memberikan pertimbangannya secara seragam pada validasi isi dan validasi muka
digunakan statistic Q-Cochran dengan hipotesis statistik :
: Semua penimbang yang memberi pertimbangan yang seragam
: Ada penimbang yang memberi pertimbangan tidak sama, dengan kriteria
pengujian: jika probabilitas > 0,05 maka tidak ada alasan untuk menolak .
Tabel 3.5 menunjukkan hasil pertimbangan validasi isi dengan menggunakan
statistic Q-Cochran. Pada Tabel 3.6 menunjukkan pertimbangan validasi muka.
Tabel 3.5 Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes KRVT
n 5
Q-Cochran’s 2,400
df 4
Sig .663
Pada Tabel 3.5 probabilitas sig = 0,663 lebih besar dari 0,05. Ini bermakna pada
taraf signifikansi 95 % tidak ada alasan untuk menolak . Dengan demikian
disimpulkan bahwa kelima penimbang memberikan pertimbangan yang seragam dari
aspek validasi isi terhadap butir-butir tes KR. Demikian juga pada validasi muka
Tabel 3.6 probabilitas sig = 0,171 lebih besar dari 0,05. Ini bermakna pada taraf
signifikansi 95 % tidak ada alasan menolak . Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kelima penimbang memberikan pertimbangan yang seragam dari aspek