sekolah berkebutuhan khusus di Bandung)
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora bidang linguistik
oleh
Siti Fatimah
1202104
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
SEKOLAH PASCASARJANA
sekolah berkebutuhan khusus di Bandung)
Oleh
Siti Fatimah
Sebuah tesis yang diajukan untuk
memenuhi sebagian syarat memperoleh
gelar Magister Humaniora di bidang linguistik
© Siti Fatimah 2014
Universitas Pendidikan Indonesia
Oktober 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
KEMAMPUAN ANAK SINDROM AUTISTIK DALAM
MENGARTIKULASIKAN BUNYI KONSONAN
disetujui dan disahkan oleh pembimbing:
Pembimbing I
Dr. Dadang Sudana, MA.
NIP. 1960091901990031000
Pembimbing II
Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd.
NIP. 196001201987031001
Mengetahui
Ketua Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK ...
iii
KATA PENGANTAR ...
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ...
v
DAFTAR ISI ...
vi
DAFTAR SINGKATAN ...
ix
DAFTAR TABEL ...
x
DAFTAR GAMBAR ...
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...
xii
BAB I PENDAHULUAN ...
1
1.1.Latar Belakang ...
1
1.2. Identifikasi Masalah ...
4
1.3. Rumusan Masalah ...
5
1.4. Tujuan Penelitian ...
5
1.5. Manfaat Penelitian ...
6
1.6. Metode Penelitian ...
6
1.8. Struktur Organisasi ...
7
BAB II KEMAMPUAN ANAK SINDROM AUTISTIK DALAM
MENGARTIKULASIKAN BUNYI KONSONAN ...
8
2.1. Sindrom Autistik (SA) ...
8
2.1.1 Pengertian dan Kondisi Umum ...
8
2.1.2 Penyebab SA ...
10
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2.3 Perkembangan Bahasa Anak ...
20
2.3.1 Perkembangan Bahasa Anak ...
20
2.3.2 Perkembangan Bahasa Anak SA ...
23
2.4. Pemerolehan Fonologi ...
26
2.4.1 Teori Pemerolehan Fonologi ...
26
2.4.2 Teori Fonologi ...
28
2.4.2.1 Mempersepsi Ujaran ...
28
2.4.2.2 Memproduksi Ujaran ...
30
2.4.2.3 Bunyi Konsonan dan Fitur Distingtifnya ...
33
2.4.2.4 Kesalahan Artikulasi ...
36
2.5 Penelitian Terkait ...
38
BAB III METODE PENELITIAN ...
40
3.1 Metode dan Desain Penelitian ...
40
3.2. Sumber Data ...
41
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian ...
43
3.4. Definisi Operasional ...
43
3.5. Prosedur Penelitian ...
44
3.6. Instrumen Pengumpulan Data ...
45
3.6.1 Tes Kemampuan Artikulasi ...
45
3.6.2 Observasi ...
38
3.6.3 Wawancara ...
49
4.1.2 Data Tuturan Kemunculan Bunyi Konsonan Selama
Tes Artikulasi ...
53
4.1.3 Kemunculan Bunyi Konsonan Berdasarkan Titik dan Cara
Artikulasi ...
56
4.1.3.1 Kemunculan Bunyi Konsonan Berdasarkan Titik dan
Cara Artikulasi Kelompok Obstruent ...
56
4.1.3.2 Kemunculan Bunyi Konsonan Berdasarkan Titik dan
Car a Artikulasi Kelompok Sonorant ...
60
4.2 Kemampuan Anak SA dalam Mengartikulasikan Bunyi
Konsonan ...
64
4.2.1. Analisis Kemampuan Bunyi Konsonan Berdasarkan Posisi
pada Tuturan Kelompok Obstruent ...
64
4.2.2. Analisis Kemampuan Bunyi Konsonan Berdasarkan Posisi
pada Tuturan Kelompok Sonorant ...
73
4.3 Analisis Pola Kesalahan Artikulasi Bunyi Kosonan Berdasarkan
Posisi Pada Tuturan ...
88
4.3.1 Analisis Kesalahan Artikulasi Pola Subtitusi ...
81
4.3.2 Analisis Kesalahan Artikulasi Pola Omisi ...
93
4.3.3 Analisis Kesalahan Artikulasi Pola Adisi ...
95
4.3.4 Analisis Kesalahan Artikulasi Pola Distorsi ...
96
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...
99
5.1. Simpulan ...
99
5.2. Saran ...
103
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
(Studi kasus pada tiga orang anak penderita sindrom autistik di salah satu sekolah
berkebutuhan khusus di Bandung)
Siti Fatimah (1202104)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan anak SA dalam
mengartikulasikan bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan. Penelitian
dilakukan terhadap tiga anak SA. Metode penelitian yang digunakan ialah metode
deskriptif kualitatif. Observasi, wawancara, dan tes artikulasi dengan flash card
sebagai media digunakan sebagai cara dalam mengumpulkan data berupa kata
yang dihasilkan oleh anak SA. Data yang diperoleh kemudian ditranskripsikan ke
dalam transkripsi fonetis agar dapat mengetahui tingkat kemampuan artikulasi
bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan. Penilaian kemampuan artikulasi
dilakukan oleh tiga orang penilai yang memiliki kualifikasi di bidang lingusitik
dan skala penilaian diadopsi dari Djiwandono (2008). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa meskipun ketiga anak SA memiliki usia yang hampir sama
(17 dan 18 tahun), namun kemampuan artikulasi bunyi konsonan mereka
berbeda-beda: informan 1 tidak mampu mengartikulasikan empat fonem seperti 2 fonem
frikatif /f/ dan /v/, serta fonem getar /r/ dan fonem lateral /l/. Lalu, informan 2
tidak mampu mengujarkan lima bunyi konsonan, fonem bilabial /b/, fonem frikatif
/f/, dan /s/, fonem fonem lateral /l/, dan fonem getar /r/ dengan benar. Informan 3
hanya mampu mengartikulasikan dua jenis bunyi konsonan, yaitu fonem
semivokal /w/ dan /y/. Selain itu, ketiga anak SA menujukan pola kesalahan
artikulasi yang sesuai dengan teori Bauman-Waengler (2000), informan 1
melakukan pola subtitusi, omisi, dan adisi. Lalu informan 2 melakukan kesalahan
pola subtitusi dan omisi, sedangkan informan 3 mengalami distorsi 15 jenis fonem
/p/, /b/, /t/, /k/, /g/, /s/, /h/, /c/, /j/, /r/, /l/, /m/, /ŋ/ dan /n/.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ABSTRACT
THE ABILITY OF AUTISTIC CHILDREN IN
ARTICULATING CONSONANT
(A case study of three children with autistic syndrome at one of special needs
school in Bandung)
Siti Fatimah (1202104)
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Istilah ‘autis’ bukan lagi istilah yang terdengar asing ditelinga masyarakat.
Kata ‘autis’ yang berasal dari istilah sindrom autistik (SA) ini bahkan digunakan
untuk mengolok-ngolok orang yang memiliki kebiasaan berbeda. Artinya secara
tidak langsung masyarakat telah menyadari keberadaan penderita autis di
Indonesia. Peningkatan kesadaran masyarakat akan keberadaan autistik juga
diimbangi dengan jumlah penderita autis yang lambat laun mengalami kenaikan
yang signifikan. Seperti hasil laporan dr. Melly Budhiman SpKJ dalam kegiatan
diskusi dengan tema autisma dengan Kompas pada tanggal 5 Mei 2008, dia
menyatakan bahwa di Amerika perbandingan anak-anak yang lahir dengan
sindrom autistik adalah 1:150, sedangkan di Inggris perbandingannya adalah
1:100 kelahiran. Pada tahun 1990-
an terjadi ‘Bom Autisma’, yaitu
meningkatnya
jumlah kelahiran sindrom autis meningkat yang cukup signifikan. Berbeda dengan
kedua negara tersebut, data kelahiran anak Indonesia dengan sindrom autistik
justru belum tersedia (Kompas, 7 Juni 2008).
Peningkatan jumlah anak yang membawa sindrom autistik dapat
membukakan mata akan keberadaan dan keunikan mereka. Mereka sangat
membutuhkan perhatian khusus agar kelak mereka dapat menjalani peranya
sebagai makhluk sosial. Seperti yang dinyatakan oleh Delphie (2009:10) bahwa
anak autistik membutuhkan perlakuan khusus untuk memenuhi segala kebutuhan
mereka, karena mereka memiliki pola belajar yang khusus dan berbeda satu
dengan lainnya.
keterbatasan yang tidak sama karena setiap kelainan memiliki pembinaan
ketrampilan yang berbeda pula. Pada umumnya anak autistik memiliki
kecenderungan echolia, yaitu tanpa sengaja mengulang kata atau kalimat yang
pernah didengar. Selain echolia, anak autistik juga memiliki kecenderungan
berbicara literal atau apa adanya, dan tidak bernada saat berbicara.
Beberapa jenis kelainan berbahasa pada anak autistik juga diungkapkan oleh
Siegel (1996:43-59) seperti kelainan komunikasi non-verbal. Dalam kasus ini,
anak autistik memiliki keterbatasan atau bahkan sama sekali tidak memiliki
kemampuan dalam menggunakan ekspresi wajah, kontak mata, dan bahasa tubuh.
Selain itu, terdapat pula anak autistik ya
ng menujukan gejala ‘
mutism
’ atau diam
tanpa mengeluarkan suara selama beberapa tahun. Ada juga yang mengalami
gejala sebaliknya yaitu hilangnya kemampuan berbahasa anak yang gejalanya
disebut dengan
‘
languge loss
’
, sedangakan pada anak SA yang menjelang dewasa,
biasanya mereka mulai dapat berkomunikasi dengan lingkungannya, namun
memiliki keterbatasan dalam memahami bahasa pragmatis.
Berdasarkan hasil penelitian Tager-Flusberg (2000 dalam Delphie, 2009:37)
anak autistik memiliki perkembangan yang sama dalam segi sintaksis dan tata
bahasa dengan anak down syndrome serta anak dengan gangguan perkembangan
khusus lainnya. Perbedaan anak SA dengan ABK lainnya adalah cara mereka
berbahasa. Anak autistik tidak menunjukan ketertarikan dalam berkomunikasi
dengan yang lainnya. Menurut Delphie (2009: 38), anak autistik hanya berfokus
pada kata bukan pada kalimat. Hal ini menyebabkan mereka memiliki
keterbatasan dalam memahami makna dari suatu percakapan dan seringkali
memiliki atau menggunakakan kata-kata yang aneh, dan sulit dimengerti oleh
orang lain.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bahasa (Troike, 2006:2). Namun seperti yang telah diketahui bahwa anak autistik
memiliki hambatan dalam kognitif yang juga menyebabkan terhambat pula
perkembangan
bahasanya.
Hambatan
tersebut
dapat
dilihat
dari
ketidakseimbangan perkembangan bahasa dengan usia kalendernya (cronolical
age). Meskipun demikian mereka juga memiliki hak yang sama layaknya anak
normal untuk memperoleh bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dengan
lingkunganya. Melalui bahasa seorang anak belajar untuk memahami nilai-nilai
budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lainnya dalam masyarakat.
Setiap anak di dunia akan melewati proses pemerolehan bahasa, baik anak
normal maupun anak berkebutuhan khusus seperti penderita sindrom autistik.
Proses pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung dalam otak seorang
anak ketika memperoleh bahasa. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak
sedang memperoleh bahasanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.
Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung tanpa
disadari dan merupakan syarat terjadinya proses performansi. Proses performansi
terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan penerbitan Chomsky (1957,
1965 dalam Chaer 2009:46-47). Jadi, dapat dikatakan bahwa hasil dari proses
perfomansi yang melibatkan proses kompetensi merupakan kemampuan linguistik
dari pemeroleh bahasa.
Selama masa prapengamatan peneliti menemukan data bahwa anak SA cukup
mampu menghasilkan bunyi vokal, tetapi memiliki gangguan dalam memproduksi
bunyi konsonan. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai
kemampuan produksi anak SA, khususnya kemampuan artikulasi bunyi konsonan
anak SA. Faktor lainnya yang menjadi alasan kemampuan produksi bahasa yang
merupakan bagian dari kemampuan fonologi anak dalam memperoleh bahasa
adalah minimnya penelitian atau data mengenai kemampuan maupun
perkembangan fonologi anak SA.
1.2
Identifikasi Masalah
Autistik adalah kondisi seorang anak yang tidak dapat berkomunikasi baik
verbal maupun nonverbal layaknya orang normal dan memiliki kesulitan ketika
behubungan sosial dengan lingkunganya karena dia memiliki dunia sendiri
(Kanner, 1943 dalam Delphie, 2009:4). Bahkan Siegel (2006:13) juga menyatakan
bahwa autisme disebabkan oleh kelainan stuktur dan fungsi dari otak.
Orang tua penyandang SA pada umumnya mulai menyadari bahwa anak
mereka memiliki kelainan ketika mulai belajar berbicara. Bahkan, lebih terlihat
saat anak mereka tidak dapat bicara sama sekali diusia tertentu. Indikasi seorang
anak yang memiliki gangguan berkomunikasi dapat dilihat dari kata atau kalimat
pertama yang dihasilkanya oleh anak (Siegel, 1996:43).
Jika anak normal mulai menghasilkan ujaran di awal tahun pertamanya,
anak SA diusia yang sama belum tentu dapat mengujarkan satu atau dua kata. Hal
tersebut disebabkan perkembangan bahasa anak berkebutuhan khusus bergantung
pada usia mentalnya (mental age), bukan usia yang sebenarnya (cronological age)
(Hurlock, 2010:86). Usia mental anak berkebutuhan khusus sangat berbeda satu
dengan yang lainnya, usia mental mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
lingkungan, pola asuh, pola belajar, dan motivasi diri.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Sehingga hal tersebut dijadikan alasan utama penulis untuk meneliti proses
produktif bahasa atau kemampuan anak autistik dalam menartikulasi bunyi
konsonan yang merupakan bagian dari pemerolehan fonologi anak autistik di usia
sekolah.
Usia sekolah adalah usia saat anak mulai memasuki dunia pendidikan baik
formal maupun informal, rentang usia sekolah antara 5 sampai dengan 18 tahun.
Alasan usia sekolah menjadi batasan dalam memilih subjek penelitian karena
diusia sekolah seorang anak telah mampu menghasilkan berbagai bunyi, termasuk
bunyi-bunyi yang cukup sulit seperti /s/, /l/, /r/ (Millestone dalam Tager-Flusberg,
dkk., 2005:338). Dengan tolak ukur kemampuan produktif bahasa di usia normal
anak usia sekolah.
Selain itu, penulis juga berharap mendapatkan data yang dapat
mendeskripsikan kemampuan artikulasi bunyi konsonan anak SA berdasarkan
posisi pada kata. Pada akhirnya, penelitian ini akan menampilkan suatu pola
kemampuan anak SA dalam mengartikulasi bunyi konsonan yang akan berguna
untuk membantu para terapis wicara.
1.3
Rumusan Masalah
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a.
Bagaimana kemunculan bunyi konsonan berdasarkan posisinya pada tuturan
anak SA?
b.
Bagaimana kemampuan artikulasi bunyi konsonan berdasarkan posisinya pada
tuturan anak SA?
c.
Apakah anak SA memiliki pola artikulasi bunyi konsonan berdasarkan
posisinya pada tuturan?
1.4
Tujuan Penelitian
a.
Deskripsi kemunculan bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan anak
SA.
b.
Deskripsi kemampuan artikulasi bunyi konsonan berdasarkan posisi pada
tuturan anak SA.
c.
Deskripsi pola artikulasi bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan anak
SA.
1.5
Manfaat Penelitian
Dalam
memilih
sebuah
kajian,
sangatlah
penting
untuk
mempertimbangkan keberfungsian hasil penelitian. Begitu pula hasil penelitian ini
diharapkan memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:
a.
Dapat mengembangkan kajian psikolinguistik, khususnya membahas mengenai
kemampuan dalam menghasilkan bunyi konsonan (kemampuan fonologi) pada
anak SA.
b.
Dapat membantu pengajar maupun terapis wicara anak berkebutuhan khusus
dalam membuat formulasi pengajaran yang sesuai dengan karakteristik anak
SA.
c.
Dapat berguna bagi para orang tua penyandang SA dalam membimbing anak
mereka belajar berkomunikasi dengan lingkungannya.
1.6
Metode Penelitian
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
keadaan nyata yang sedang terjadi. Seperti yang dijelaskan pada latar belakang
penelitian, fenomena anak sindrom autistik merupakan fenomena yang unik dan
membutuhkan penjelasan yang terpirinci. Oleh karena itu, peneliti memilih
metode deskriptif kualitatif guna menjelaskan data temuan. Hal ini juga diperkuat
oleh pernyataan Alwasilah (2008) yang menyatakan bahwa dalam penelitian
deskriptif, peneliti tidak hanya menyediakan pembaca dengan fakta-fakta, tetapi
juga interpretasi apa yang sedang diselidiki.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kemampuan anak SA
dalam mengartikulasikan bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan. sampel
penelitian ini terdiri dari tiga orang anak SA. Proses pengambilan data
dilakukakan melalui observasi, wawancara, dan tes artikulasi. Kemudian, hasil
temuan tersebut akan dideskripsikan secara objektif setelah melalui proses reduksi
dan analisis yang rinci. Untuk langkah-langkah dalam mengumpulkan data dan
analisa data penelitian ini akan dijelaskan secara terperinci pada bab III.
1.7
Struktur Organisasi Tesis
Dalam tesis ini, peneliti menerapakan kerangka sistematika sebagai
berikut.
Bab I
: merupakan landasan penelitian yang terdiri atas latar belakang,
identifikasi masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian, definisi
operasinal, dan sitematika penulisan
Bab II : merupakan landasan teoritis yang didalamnya terbagi menjadi
beberapa sub-bab seperti sindrom autistik, linguistik klinis,
pemerolehan bahasa, perkembangan bahasa anak dan pemerolehan
fonologi.
penelitian, subjek penelitian, tempat dan waktu penelitian, teknik
pengumpulan data, dan teknik pengolaan data.
Bab IV : menujukan hasil penemuan penelitian tentang kemampuan anak
sindrom autistik dalam menghasilkan ujaran. Dilihat dari sudut
pandang produksi ujaran.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
penelitian kemampuan anak SA dalam mengartikulasikan bunyi konsonan
berdasarkan posisi pada tuturan. Rangkaian prosedur dituangkan kedalam delapan
sub-bab pembahasan, yaitu: pertanyaan penelitian, desain penelitian, tahap-tahap
penelitian, subjek penelitian, tempat dan waktu penelitian, definisi operasional,
teknik pengumpulan data, dan teknik pengolaan data.
3.1 Metode dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Semua aspek seperti pembahasan data dan analisis akan dirumuskan
dalam berbentuk esai tertulis. Arikunto (2005), Wiersma dan Jurs (2009)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang berguna untuk
menjelaskan fenomena secara terperinci, atau digunakan untuk menggambarkan
keadaan nyata yang sedang terjadi.
Seperti yang dijelaskan pada latar belakang penelitian, fenomena anak
autistik merupakan fenomena yang unik dan membutuhkan penjelasan yang
terpirinci. Oleh karena itu, peneliti memilih metode deskriptif kualitatif guna
menjelaskan data temuan. Hal ini pula diperkuat oleh pernyataan Alwasilah
(2008), yang menyatakan bahwa dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak hanya
menyediakan pembaca dengan fakta-fakta, tetapi juga interpretasi apa yang
sedang diselidiki.
dalam penelitian ini. Karena Studi kasus merupakan sebuah penyelidikan yang
bersifat emipirik. Fokus dari studi kasus adalah fenomena yang terjadi dalam
kehidupan manusia yang didalamnya masih terdapat kondisi-kondisi yang masih
harus dibuktikan. Penelitian ini sangat cocok untuk meneliti fenomena sosial yang
kompleks (Yin, 1984:2).
Para peneliti menyebut objek dari penelitian studi kasus dengan istilah
‘kasus’. Kasus dalam penelitian jenis ini bukan lah kasus yang sederhana yang
mudah untuk dididentifikasi seperti kondisi khusus perorangan, kelas, maupun
organisasi, bahkan dapat meneliti sebuah kegiatan seperti perayaan kampus,
sebuah aktifitas tertentu seperti belajar memahami sesuatu, dan proses yang
sedang terjadi seperti proses belajar mengajar ((Fraenkel, Wallen, dan Hyun,
2012:434).
Objek penelitian studi kasus kemampuan anak SA dalam menghasilkan
ujaran pada usia sekolah adalah ujaran-ujaran yang dapat dihasilkan oleh anak
sindrom autistik di usia sekolah. Dapat dikatkan bahwa fokus penelitian ini adalah
proses pelaksanaan produksi ujaran anak sindrom autistik yang didalam
melibatkan program artikulasi dan artikulasinya itu sendiri. Berdasarkan Meyer
(2012 dalam Dardjowidjojo, 2009:117) pelaksananaan produksi ujaran ada pada
tingkat fonologi, karena pada tingkat ini seorang anak akan mewujudkan struktur
fonologi dalam sebuah ujaran.
3.2 Sumber Data
Berdasarkan Stake (2000:435) peneliti studi kasus meneliti fase atau
bagian dari kehidupan seseorang, terbukti dengan banyaknya laporan dari
berbagai bidang seperti psikologi, sosiologi, pendidikan yang melakukan studi
kasus untuk membangun pemahaman yang komprehensip mengenai fenomena
yang unik dalam masyarakat.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dengan anak normal maupun anak berkebutuhan lainnya. Seperti yang disebutkan
oleh APA (1994) bahwa anak SA memiliki gaya berbahasa yang stereotype dan
sering melakukan pengulangan kata.
Oleh karena itu, peneliti mencoba menggali kemampuan anak SA dalam
mengartikulasikan bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan. Sumber data
terdiri dari tiga anak SA yang memiliki kemampuan berbahasa dan karakteristik
yang berbeda-beda. Pada penelitian ini subjek penelitian akan dinamakan
informan 1, informan 2, dan informan 3.
Informan 1 adalah seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dan mentalnya
7 tahun usia. Tingkat kecerdasan (IQ) informan 74 atau berada di garis batas, dan
kecerdasan emosionalnya normal. Berdasarkan hasil dari laporan perkembangan
berbahasanya, informan 1 memiliki kemampuan berbahasa cukup baik. Dia dapat
menirukan kembali satu sampai dengan tiga urutan kata, dapat melaksanakan satu
sampai dengan tiga perintah sekaligus, dapat berbicara lancar dengan bahasa
sederhana, dan memiliki kekurangan dalam mendengarkan cerita yang dibacakan
oleh gurunya.
Informan 2 adalah seorang anak laki-laki berusia 18 tahun dan usia
mentalnya sekitar 5 tahun. Informan dua belum pernah melakukan tes kecerdasan
secara resmi yang dilakukan oleh ahli. Hasil dari laporan perkembangan
berbahasanya, informan menunjukan ciri-ciri SA dari cara berbicaranya yang
seterotipe dan sering melakukan pengulangan-pengulangan kata (echolia).
Kemudian informan 2 belum bisa merangkai kalimat sederhana, dia hanya mampu
mengulang kembali kata-kata yang disebutkan oleh gurunya. Kemampuan
komunikasi non-verbal informan dua juga sangat jarang terjadi, dan dia memiliki
kecenderungan menghindari kontak mata.
dapat dibilang pasif, meskipun dia memahami instruksi sederhana dalam konteks
sehari-hari, seperti jangan, ambil, simpan, bereskan, berikan, boleh, dan tidak
boleh. Terkadang pemberian instruksi harus dibantu dengan gerak tangan
(ditunjuk). Kemudian informan 3 pernah dapat mengucapkan beberapa kata,
seperti: gajah, gatal, dan tidak. Saat ini kata yang sering terucap adalah bibi, bim,
bapak, mami, bebek, dan pipis terucap cukup jelas. Dalam sehari-hari informan 3
sering melakukan komunikasi non-verbal, misalnya ketika menginginkan sesuatu
dengan menarik tangan atau menunjuk pada bendanya. Bahasa yang sulit
dimengerti juga masih sering muncul.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Salah satu syarat sebuah penelitian adalah penelitian yang obtainable atau
terjangkau. Terjangkau yang dimaksud oleh peneliti disini adalah terdapat
kemudahan akses dalam proses pengambilan dan pengumpulan data, baik
terjangkau dari segi jarak maupun materil. Oleh karena itu, penelian ini dilakukan
di salah satu sekolah luar biasa di kota Bandung Jawa Barat. Karena peneliti
berdomisili di Bandung dan dikarenakan sekolah luar biasa ini merupakan salah
satu sekolah yang sangat memfasilitasi para peneliti dalam melakukan penelitian.
Studi kasus ini dilakukan pada jam istirahat siswa. Hal ini dilakukan
karena peneliti tidak ingin mengganggu waktu belajar mereka dan selain itu juga
mengingat karakteristik anak SA yang sulit untuk beradaptasi dalam lingkungan
yang baru atau di luar pola kebiasaan akan menimbulkan tantrum. Jadi diambil
waktu yang tepatnya yaitu jam istirahat. Pengambilan data dilakukan sekitar
sekitar jam sembilan pagi dan jam dua belas siang selama satu bulan setiap tiga
hari dalam satu minggu, atau dua belas pertemuan.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap judul dan variabel
yang diambil dalam penelitian ini, peneliti perlu menjelaskan definisi operasional
dari tiap variabel yang diambil dalam penelitian sebagai berikut:
1.
Anak SA adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan, dan dia juga
memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi baik verbal maupun non-verbal
dan memiliki kesulitan untuk behubungan sosial dengan lingkunganya karena
dia seperti memiliki dunia sendiri.
2.
Kemampuan Artikulasi merupakan kecakapan anak SA dalam melafalkan
bunyi bahasa, yang di dalamnya juga terdapat cara anak SA dalam
mengucapkan atau menciptakan bunyi bahasa.
3.
Bunyi Konsonan merupakan bunyi yang dihasilkan oleh anak SA dengan
melibatkan tiga faktor utama, seperti: tempat artikulasi, cara artikulasi, dan
bergetar atau tidaknya pita suara.
3.5 Prosedur Penelitian
Secara umum Moleong (2010:2) menyebutkan bahwa sebuah penelitian
kualitatif memiliki empat tahapan utama, yaitu: tahap pra-lapangan, tahap
pekerjaan lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan. Tahapan
dalam penelitian kualitatif tidak setegas penelitian kuantitatif, terkadang
penelitian kualilatif keluar dari jalurnya dan terkadang pula tahapan-tahapan yang
di terdapat di dalamnya dapat dilakukan bersamaan. Kondisi ini yang membuat
kualitatif memiliki sifat yang dinamis. Meskipun bersifat dinamis setiap penelitian
kulitatif harus memiliki titik awal dan akhir yang jelas pula. Titik awal dimulai
ketika peneliti menentukan fenomena yang akan ditelitinya, dan berakhir ketika
peneliti telah dapat menggambarkan kesimpulan penelitiannya (Fraenkel, Wallen,
dan Hyun, 2012:429).
fenomena yang akan diteliti, mengidentifikasi partisipan dalam penelitian,
membuat hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan menginterpretasi
beserta mengambil kesimpulan penelitian.
Tahap pertama adalah mengindentifikasi fenomena yang akan diteliti.
Fenomena yang ingin diteliti oleh penulis adalah mengenai kemampuan anak SA
dalam mengartikulasikan bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan.
Dengan tujuan peneliti dapat menjabarkan kemampuan produksi (menghasilkan
ujaran) bahasa anak SA sesuai dengan karakter dan kondisi kognitifnya.
Tahap kedua yakni mengidentifikasi partisipan dalam penelitian, dalam tahap
ini peneliti memilih tiga partisipan utama (anak SA) yang memiliki karakteristik
dan kemampuan yang berbeda-beda. Kemudian empat partisipan tambahan yaitu
satu orang guru dan tiga orang tua atau wali murid. Dengan memiliki karakteristik
dan kemampuan berbahasa yang berbeda-beda diharapkan dapat menghasilkan
data yang variatif.
Tahap ketiga ialah mengumpulkan data. Dalam proses ini peneliti akan
menggunakan tiga jenis instrument pengumpulan data, yaitu: tes kemampuan
artikulasi, wawancara, dan observasi.
Lalu keempat adalah menganalisis data. Dalam mengalisa data temuan
dibutuhkan sebuah pisau analisis yang dapat membedah hasil temuan dengan
tajam. Skala penilaian tes bahasa yang diadopsi milik Djiwandono (2008:83)
digunakan untuk mengukur kemampuan anak SA dalam mengartikulasikan bunyi
konsonan berdasarkan posisi pada kata.
Tahap kelima adalah menginterpretasi beserta mengambil kesimpulan
penelitian. Setelah dianalisa data-data temuan tersebut akan diinterpretaasikan
sehingga menghasilkan kesimpulan penelitian dan hasilnya akan digambarkan
secara deskriptif.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Pada bagian ini akan dijelaskan teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini.
3.6.1 Tes Kemampuan Artikulasi
Untuk menguji daya kemampuan dalam menghasilkan ujaran anak SA,
peneliti akan menguji kemampuan artikulasi secara formal melului tes
pengetahuan dasar yang bersifat tematik seperti warna, hewan, sayuran, anggota
tubuh, makanan, buah-buahan, alat transportasi, alat elektronik, perlengkapan
sekolah, ditambah dengan tes konsep logika yang kemampuan analisa ekspresi
dan emosi anak. Selain itu juga flash card digunakan sebagai alat bantu yang
digunakan dalam menguji kemampuan berbahasa anak SA tersebut. Pengujian
informal pun dilakukan melalui percakapan spontan antara peneliti dan para
informan disela-sela pengujian formal.
Tabel berikut adalah bentuk alat uji kemampuan artikulsi anak SA dalam
menghasilkan ujaran:
Tabel 3.1
Tes kemampuan artikulasi bunyi konsonan berdasarkan posisi pada tuturan
No.
Media
Pertanyaan
1
Flash card anggota tubuh
a.
Mata
b.
Kaki
a.
Gambar apakah ini?
b.
Dimana letak mata / kaki?
c.
Fungsinya untuk apa?
d.
Berapa jumlah mata / kaki
yang informan miliki?
e.
Kapan informan menggunakan
kedua anggota tubuh tersebut?
f.
Mengapa
informan
perlu
memiliki
kedua
organ
tersebut?
2
Flash card makanan
a.
Nasi
b.
Telur
a.
Gambar apakah ini?
b.
Termasuk
kategori
apakah
gambar tersebut?
c.
Bagaimana
cara
d.
Untuk
apa
informan
memerlukan makanan?
3
Flash card buah-buahan
a.
Strawberi
b.
Pisang
a.
Gambar apakah ini?
b.
Termasuk kategori apakah
gambar tersebut?
c.
Apa warna buah tersebut?
d.
Bagaimana dengan rasanya?
e.
Apakah informan suka atau
tidak dengan buh tersebut?
f.
Sebutkan Alasannya?
4
Flash Card binatang
a.
Jerapah
b.
Macan
a.
Gambar apakah ini?
b.
Dimana informan bisa
menemukan hewan tersebut?
c.
Pernahkah informan melihat
langsung?
d.
Apakah informan takut atau
tidak?
e.
Sebutkan alasannya?
5
Flash card alat transportasi
a.
Mobil
b.
Pesawat terbang
a.
Gambar apakah ini?
b.
Apakah warna alat transortasi
tersebut?
c.
Dimana informan bisa
menemukan alat transportasi
tersebut?
d.
Pernahkah informan
menaikinya?
e.
Apakah informan takut atau
tidak?
f.
Sebutkan alasannya?
6
Flash card perlengkapan
sekolah
a.
Pensil
b.
Sepatu
a.
Gambar apakah ini?
b.
Apakah warna dari
perlengakapan sekolah
tersebut?
c.
Apa fungsinya?
d.
Bagaimana cara
menggunakannya?
e.
Apakah informan dapat
menggunakan perlengkapan
tersebut sendiri?
7
Flash card elektronik
a.
Telepon Genggam
b.
Laptop
a.
Gambar apakah ini?
b.
Apakah warna alat elektronik
tersebut?
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3.6.2 Observasi
Observasi atau pengamatan adalah pemantauan sistemik dan terencana
yang dilakukan untuk mendapatkan data di mana validitas dan keandalan data
dapat dikendalikan (Alwasilah, 2008). Peneliti akan menggunakan teknik
pengumpulan data dengan cara observasi yang bertujuan untuk mengamati
kegiatan anak SA. Melalui pengamatan, peneliti bisa mendapatkan beberapa
informasi penting yang dibutuhkan seperti ujaran-ujaran yang dihasilkan
informan. Dalam proses obeservasi ini, peneliti akan menggunakan dua teknik
sekaligus, yaitu teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam digunakan untuk
d.
Apakah informan mengetahui
cara penggunaanya?
e.
Bila tahu , jelaskan?
8
Flash card tes logika
a.
Memilih makanan
b.
Memilih minuman
c.
Memilih aktivitas
a.
Tunjukan
mana
yang
merupakan jenis makanan?
b.
Tunjukan
mana
yang
merupakan jenis minuman?
c.
Bagaimana dengan lainnya
termasuk jenis apa?
d.
Sebutkan nama-nama makanan
dan minuman yang ada di flash
card?
9
Flash card Tes Ekspresi
a.
Memilih ekpresi bahagia
b.
Memilih ekspresi sedih
a.
Manakah gambar yang di
bawah ini yang menunjukan
ekspresi marah?
b.
Manakah gambar yang di
bawah ini yang menunjukan
ekspresi gembira?
c.
Sebutkan
ekspresi
lainnya
yang ada pada flash card?
d.
Kapankah infornan merasa
arah, sedih, gembira, dan
takut?
10
Flash card Tes Rasa
(memilih rasa pedas)
a.
Tunjukan
gambar
yang
memiliki rasa pedas?
b.
Apakah informan suka pedas?
c.
Sebutkan rasa lainnya yang
merekam semua aktifitas informan selama melakukan aktivitas mereka di
sekolah. Teknik catat hanya digunakan ketika informan menghasilkan ujaran.
Tabel 3.2
Pedoman observasi
kemampuan artikulasi bunyi konsonan berdasarkan posisi pada kata anak SA
Subjek
: ...
Hari, tanggal : ...
No
Fokus observasi
Ruang lingkup
Keterangan
1
2
Bentuk aktivitas
Kemampuan
bahasa
bermain dalam kelompok
bermain sendiri
belajar di dalam kelas
(lain-lain)
...
...
Bahasa resesif
Bahasa ekspresif
3.6.3 Wawancara
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yang pasti, pertanyaan yang sesuai dengan topik, pertanyaan yang jelas dan
lengkap, alokasi waktu yang sesuai, transkripsi hasil interview sesegera
mungkin.
Oleh karena itu, wawancara dilakukan secara langsung pada wali kelas
dan helper anak SA. Tujuan dari wawancara adalah untuk menggali informasi
yang berkaitan dengan perkembangan bahasa anak SA, khusunya kemampuan
mereka dalam mengaertikulasikan bunyi konsonan. Lalu, jenis wawancara yang
akan dilakukan adalah wawancara semi-terstruktur secara informal, guna
membangun suasana yang nyaman dan membuat responden sedang tidak di
interogasi.
Tabel 3.3
Pedoman wawancara
kemampuan artikulasi bunyi konsonan berdasarkan posisi pada kata anak SA
No.
Fokus wawancara
Ruang lingkup
1.
2.
Guru
Helper
kemampuan berbahasa anak
perkembangan bahasa anak selama di sekolah
3.7 Teknik Pengolahan Data
Tahapan pertama dalam pengolahan data adalah mengklasifikan hasil
pengumpulan data. Data yang berupa lisan diubah menjadi data tulisan, yaitu
melalui proses klasifikasi diawali dengan memasukan semua kata yang dihasilkan
oleh anak SA dalam bentuk transkripsi fonetis, fonemis, dan grafemis. Transkripsi
fonetis ditulis menggunakan simbol fonetis berdasarkan kaidah bahasa Indonesia
seperti [pIsaŋ]. Transkripsi
fonemis ditulis menggunakkan lambang seperti
/pisaŋ/, dan transkripsi grafemis ditulis dalam bentuk simbol, seperti <pisaŋ>.
Setelah semua kata di input, proses selanjutnya adalah klasifikasi
berdasarkan jenisnya dan kebutuhan guna menjawab pertanyaan penelitian. Pada
proses ini semua data kata yang dihasilkan oleh anak SA, diklasifikasikan
berdasarkan fonemnya dan posisi fonem pada kata guna menjawab pertanyaan
peneltian pertama yaitu kemunculan bunyi konsonan berdasarkan kata. Contohnya
bunyi /p/ di awal kata terdapat pada kata <polisi>, bunyi /p/ di tengah kata
terdapat pada kata <kepala>, dan fonem /p/ di akhir kata terdapat pada kata
<tiarap>.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
menggunakan presentase kesalahan terhadap jumlah keseluruhan fonem yang
dihasilkan. Adapun kriteria penilaiannya kemampuan anak SA dalam
mengartikulasi bunyi konsonan adalah 0% s.d 25% dinyatakan sangat mampu,
26% s.d. 50% dinyatakan mampu, 51% s.d. 75% dinyatakan tidak mampu, dan
76% s.d. 100% dinyatakan sangat tidak mampu mengartikulasikan bunyi
konsonan. Skala sederhana tersebut diadopsi dari tes bahasa milik Djiwandono
(2008:83). Untuk meningkatkan objektifitas hasil penilaian, penilaian terhadap
kemampuan artikulasi bunyi konsonan berdasarkan posisi pada kata dilakuakan
oleh tiga orang penilai.
Setelah mengetahui kemampuan anak SA dalam mengartikulasikan bunyi
konsonan analisis selanjutnya dilakukan untuk mengetahui pola kesalahan
artikulasi yang dilakukan oleh anak SA. Setiap bunyi bahasa tidak bisa berdiri
sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu sama lain (Dardjowidjojo: 2012:49),
sehingga perlu melihat faktor lainnya yang mempengaruhi bunyi konsonan yang
dihasilkan oleh anaka SA, seperti tempat artikulasinya, cara artikulasinya,
bergetar atau tidaknya pita suara, dan fitur distingtif yang membangunnya, guna
mengetahui faktor penyebab terjadinya kesalahan artikulasi pada anak SA.
Simpulan dan saran berdasarkan hasil pembahasan pada bab IV sebelumnya.
5.1 Simpulan
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan anak
SA di usia sekolah dalam mengartikulasikan bunyi konsonan berdasarkan posisi
pada tuturan. Guna mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif, tujuan
tersebut diklasifikasikan menjadi tiga permasalahan penelitian, yaitu terfokus
pada kemunculan bunyi konsonan dan kemampuan artikulasi bunyi konsonan
berdasarkan posisi pada tuturan anak SA di usia sekolah. Kedua permasalahn
penelitian tersebut akan dijadikan landasan dalam pemaparan simpulan dalam bab
V.
Pertama, jumlah keseluruhan data bunyi konsonan yang diujarkan anak SA
selama sesi tes sebanyak 700 bunyi konsonan, dengan rincian informan 1
mengujarkan sekitar 390 bunyi konsonan, informan 2 mengucapakan bunyi
konsonan sebayak 176 kali, dan informan 3 melafalkan sejumlah 134 bunyi
konsonan. Dari banyaknya bunyi konsonan yang dihasilkan oleh anak SA, lantan
tidak semua bunyi konsonan dalam bahasa Indonesia muncul. Seperti bunyi
konsonan /x/ dan /z/ tidak diujarkan sama sekali oleh ketiga anak SA.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Informan 2 mengujarkan sebanyak 19 jenis bunyi konsonan, rincianya adalah
bilabial plosif [p dan b], bilabial nasal [m], bilabial semivokal [w], labiodental
frikatif [f], dental frikatif [s], dental plosif [t dan d], alveolar nasal [n], alveolar
getar [r], alveolar lateral [l], velar plosif [k dan g], palatal afrikatif [c dan j],
palatal nasal [
ň
], palatal semivokal [y], glotal frikatif [h], dan glotal nasal [ŋ].
Informan 3 hanya mengujarkan sepuluh 13 jenis bunyi konsonan, yaitu bilabial
plosif [p dan b], bilabial nasal [m], dental plosif [t], palatal afrikatif [c dan j], velar
plosif [k dan g] dental frikatif [s], palatal semivokal [y], glotal frikatif [h], alveolar
nasal [n],
dan glotal nasal [ŋ]
Kedua, kemampuan anak SA dalam mengartikulasikan bunyi kosonan
berdasarkan posisi tuturan, dinilai berdasarkan frekuensi kesalahan artikulasi dan
dibagi dengan banyaknya kemunculan bunyi konsonan. Dari 20 bunyi konsonan
yang diujarkan oleh informan 1 hanya 16 bunyi konsonan yang dapat diujarkan
dengan benar, yaitu bunyi konsonan /p/, /b/, /m/, /w/, /t/, /d/, /s/, /n/, /k/, /g/, /c/, /j/,
/
ň
/, /y/, /h/,
dan /ŋ/
. Ada empat bunyi konsonan yang tidak dapat diujarkanya
dengan benar, yaitu bunyi konsonan /f/ di awal dan di tengah tuturan, bunyi
konsonan /v/ di tengah tuturan, bunyi konsonan /r/ di posisi awal, tengah dan
akhir tuturan, dan bunyi konsonan /l/ di awal tuturan. Kemudian informan 2 hanya
mampu mengujarkan 14 bunyi konsonan dengan baik, yaitu bunyi konsonan /p/,
/m/, /w/, /t/, /d/, /n/, /g/, /c/, /j/, / ň/, /y/, /h/, / ŋ/
dan informan 2 tidak mampu
mengujarkan enam bunyi konsonan (/b/, /f/, /s/, /l/, dan /r/) dengan benar.
Gambar 5.1
Grafik kemampuan anak SA dalam mengaartikulasikan bunyi konsonan
Ketiga, dalam melafalkan semua bunyi konsonan berdasarkan posisi pada
tuturan anak SA ditemukan melakukan kesalahan artikulasi yang menyebabkan
perubahan bunyi pada bunyi konsonan. Terdapat empat jenis pola kesalahan yang
dilakukan oleh anak SA, yaitu kesalahan pola subtitusi, pola omisi, pola adisi, dan
pola distorsi. Pola subtitusi yang dilakukan anak SA terbentuk dengan pola
sebagai berikut; informan 1 melakukan pola subtitusi [f-p] sebanyak 2 kali, [r-y]
sebanyak 2 kali, [r-
ŋ]
sebanyak 1 kali, [r-l] sebanyak 23 kali, [l-y] sebanyak 2
kali, [n-
ŋ
sebanyak 2 kali], [t-d] sebanyak 1 kali, [p-b] sebanyak 2 kali, [v-p]
sebanyak 2 kali, [s-
š
] sebanyak 5 kali, dan [c-j] sebanyak 1 kali. Kemudian
informan 2 melakukan pola subtitusi [f-p] sebanyak 2 kali, [r-y] sebanyak 1 kali,
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 /b / /p / /t / /d / /k / /g / /f / /v / /s / /h / /c / /j / /m / /n / /ŋ / /ň / /l / /r / /w / /y / Informan 1 informan 21 = Sangat Mampu 2 = Mampu 3 = Tidak Mampu
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[r-
ŋ] sebanyak 1 kali, [r
-l] sebanyak 11 kali, [l-y] sebanyak 2 kali, dan [s-c]
sebanyak 8 kali.
Pola omisi yang dilakukan oleh anak SA hanya dilakukan oleh informan 1
dan 2 saja. Bentuk pola omisi yang dilakukan kedua informan adalah omisi
aferesis, omisi singkop, dan omisi apokop. Informan 1 melakukan omisi pada
enam jenis bunyi konsonan, 1). penghilangan bunyi konsonan /p/ sebanyak 1 kali,
2). penghilangan bunyi konsonan /k/ sebanyak 1 kali, 3). penghilangan bunyi
konsonan /s/ sebanyak 1 kali, 4). penghilangan bunyi konsonan /h/ sebanyak 4
kali, 5). penghilangan bunyi konsonan /r/ sebanyak 5 kali, dan 6). penghilangan
bunyi konsonan /s/ sebanyak 2 kali. Sementara itu, informan 2 melakukan
penghilangan terhadap 10 jenis bunyi konsonan, seperti 1). penghilangan bunyi
konsonan /p/ sebanyak 3 kali, 2). Penghilangan bunyi konsonan /b/ sebanyak 4
kali, 3). penghilangan bunyi konsonan /k/ sebanyak 2 kali, 4). penghilangan bunyi
konsonan /s/ sebanyak 4 kali, 5). penghilangan bunyi konsonan /h/ sebanyak 3
kali, 6). penghilangan bunyi konsonan /r/ sebanyak 5 kali, 7). penghilangan bunyi
konsonan /l/ sebanyak 4 kali, 8). penghilangan bunyi konsonan /m/ sebanyak 4
kali, 9). penghilangan bunyi konsonan /n/ sebanyak 4 kali, 10) penghilangan
bunyi konsonan /ŋ/ sebanyak 2 kali.
Jumlah kesalahan artikulasi berpola adisi yang dilakukan oleh anak SA
tidak sebanyak pola subtitusi mapun pola omisi. Selama tes hanya ditemukan dua
jenis adisi yang hanya dilakukan oleh informan satu saja yaitu pola adisi
prothesis, proses penambahan fonem [
w] pada tuturan awal tuturan <tujuh>
sehingga dilafalkan menjadi [t
wu:ju]. Selain itu terdapat juga Pola adisi paragoge,
yang ditemukan pada tuturan <bagus>, dimana pada akhir tuturan diberi
penambahan konsonan [
h] sehingga setelah ditambahkan berubah menjadi
[ba.gus
h].
terjadi pada bunyi konsonan
[p], [b], [t], [k], [g], [s], [h], [c], [j], [r], [l], [m], [ŋ]
dan [n] dan dia hanya mampu melafalkan bunyi konsonan [y] dan [w] saja, bentuk
distorsi yang ditunjukanya hampir serupa dengan pola omisi.
Berdasarkan kesimpulan di atas, penelitian ini membuktikan bahwa setiap
anak SA memiliki kemampuan berbahasa yang berbeda-beda. Meskipun ketiga
anak SA itu memiliki usia yang sama, tetapi mereka memiliki kemampuan
artikulasi yang berbeda-beda. Informan 1 merupakan salah satu ana SA yang
mampu berkomunikasi layaknya seperti anak normal dengan MA sekitar 9 atau 10
tahun, informan 2 masih dalam tahap pemerolehan bahasa yang ditandai dengan
proses echolia, dan informan 3 menunjukkan adanya distorsi.
Melalui pengetahuan mengenai kemampuan artikulasi anak SA, seorang
guru ABK, personal Keeper, maupun terapis wicara akan mengetahui jenis-jenis
pola kesalahan artikulasi yang sering dilakukan oleh anak SA. Oleh karena itu,
akan sangat membantu pemilihan jenis pelatihan dan proses pelatihan wicara yang
akan diberikan kepada anak SA yang sesuai dengan kemampuan dan
karakteristiknya, sehingga dapat meningkatkan kemampuan wicara setiap anak
SA.
Selain membantu beberapa pihak yang terlibat langsung dengan anak SA,
penulis berharap hasil penelitian ini dapat membantu para peneliti di bidang
medis, khususnya bagi para ilmuan neurologi yang concern terhadap isu
mengenai SA yang masih terdapat berita yang simpang siur mengenai faktor
penyebab SA. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu para
ilmuan neurologi dalam mendiagnosa kerusakan syaraf yang mengakibatkan anak
SA memiliki kemampuan berbicara yang berbeda-beda.
5.2 Saran
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
diteliti, sehingga peneliti siap secara mental ketika pengambilan data. Lalu,
sebelum melakukan tes artikulasi pastikan juga instrumen artikulasi bunyi
konsonan tersusun dengan rinci dan jelas. Dalam instrumen tersebut di dalamnya
harus terdapat bunyi konsonan di segala posisi baik di awal, tengah, maupun
akhir. Jadi, tidak ada bunyi konsonan yang tidak diujarkan oleh informan.
Salah satu kekurangan penelitian ini adalah hanya meneliti tiga anak SA.
Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya jumlah informan bisa ditambah lebih
dari tiga mengingat karakteristik anak SA yang sangat beragam. Minimnya
penelitian bidang linguistik yang berkaitan dengan anak SA, membuat kajian yang
lebih khusus dan mendalam dari berbagai perpsepsi linguistik masih terbuka
lebar.
Inc.
Alwasilah, A. C. (2008). Pokoknya kualtitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Alat-wicara. (gambar). diakses pada tanggal: 29 Agustus 2014 dari:
http://myuniquecorn.blogspot.com/2012/07/alat-wicara.html
Anatomy-of-Brain (gambar). diakses pada tanggal: 29 Agustus 2014 dari:
http://autismedariasampaiz.wordpress.com/
Arikunto. S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
American Speech-Language-Hearing Association. (2003) IDEA and your
caseload: a template for eligibility and dismissal criteria for students ages 3
through 21, p.14.(ASHA, 2003X)
Bahasa-dan-otak. (gambar). diakses pada tanggal: 29 Agustus 2014 dari:
http://myuniquecorn.blogspot.com/2012/07/bahasa-dan-otak.html
Baltaxe. (1984). Use of contrastive stress in normal, aphasic, autistic children.
Dalam Loveland, K. dan Tunali-Kotoski. (2005) The school age with an
autistic spectrum disorder. [ed.3] Handbook of Autism and Pervasive
Development Disorders. Hlm. 247-287, New Jersey: John Wiley & Sons,
Inc.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Bauman-Waengler, J. (2004). Articulatory and phonological impairment: a
clinical focus (2
nded.).Boston: Pearson.
Bruner, J. & Feldman, C. (1993). Theories of mind and the problem of autism.
Dalam Loveland, K. dan Tunali-Kotoski. (2005) The school age with an
autistic spectrum disorder. [ed.3] Handbook of Autism and Pervasive
Development Disorders. Hlm. 247-287, New Jersey: John Wiley & Sons,
Inc.
Chaer, A. (2009). Psikolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Clark, H., dan Clark, E. (1999). Psychology and language: an introduction to
psycholinguistic. Dalam Dardjowidjojo, S. (2012). Psikolinguistik. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Crystal, D. (1981). Clinical linguistics. Vienna: Springer Verlag.
Crystal, D. (1984). Clinical linguistics. Vienna: Springer Verlag.
Cumming, L. (2008). Clinical linguistics. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Dahlgren, S. dan Gillberg, C. (1989). Symptoms in the first two years of life: A
preliminary population study of infantile autism. European Archieve of
Psychiatric and Neurological Science, 283, 169-174.
Dardjowidjojo, S. (2012). Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Dardjowidjojo, S. (2000). Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
Delphie, B. (2009). Pendidikan anak autistik. Klaten: PT. Intan Sejati.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus besar bahasa indonesia. Edisi
Empat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djiwandono, S. (2008). Tes bahasa. Jakarta: PT. Indeks.
Fraenkel, J., Wallen, N., dan Hyun, H. (2013). How to design and evaluate
research in education. New York: McGraw-Hill.
Fikkert, P. (2007). Acquiring phonology. dalam P. de Lacy (ed). The Cambridge
Handbook of Phonology. Cambridge: Cambridge University Press, hlm.
537-54 .
Hurlock. E. B. (2010). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Jefers, R., dan Lehiste, I. (1979). Principle and method for historical linguistics.
London: MIT Press.
Jordan, R.R. (1989). An experimental comparison of understanding and use of
speaker-addressee personal pronouns in autistic children. Dalam Loveland,
K. dan Tunali-Kotoski. (2005) The school age with an autistic spectrum
disorder. [ed.3] Handbook of Autism and Pervasive Development Disorders.
Hlm. 247-287, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Kimura, D. (1961). ‘
Cerebral dominance and the perception of verbal stimuli. di
dalam Dardjowidjojo, S. (2012). Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Klin, A. (1991).
Young autistic children’s listening preferences in regard to
speech.
Dalam
Tager-
Flushberg, dkk. (2005). ‘Lang
uage
and
communicatio
n in autism’. [ed.3]
Handbook of Autism and Pervasive
Development Disorders. Hlm. 6-41, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Le Couter, dkk. (1989). Epidemiologically Based Twin Study in Autism. Dalam
Tager-
Flushberg, dkk. (2005). ‘Lang
uage and communicatio
n in autism’
.
[ed.3] Handbook of Autism and Pervasive Development Disorders. Hlm.
6-41, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Loveland, K. dan Tunali-Kotoski. (2005) The school age with an autistic spectrum
disorder. [ed.3] Handbook of Autism and Pervasive Development Disorders.
Hlm. 247-287, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Lust, Barbara C. (2006). Child language: aqcuisition and growth. New York:
Cambridge.
Marsono. (2006). Fonetik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Messwati, D, and Rahmawati, E. (2008).
“
Boom Autisme Terus Meningkat
”
diakses
pada
tanggal:
April
13,
2011.
Available
at
http://nasional.kompas.com/read/2008/06/08/1739470/boom.autisme.terus.
meningkat.html.
Meyer, A. (1962). ‘From representation in the word formation’
. di dalam
Dardjowidjojo, S. (2012). Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Minshew, dkk. (2005). ‘Neurological
aspect of autism. Dalam Volkmar, dkk.
[ed.3] Handbook of Autism and Pervasive Development Disorders. Hlm.
473-514, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muller, N & Ball, J. (2013). Research method in clinical linguistics and
phonetics. London: Wiley-Blackwell.
Muslich, A. (2009). Fonologi bahasa indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Ningsih dan Purwaningsih, (2013). Prosodi pada anak autis menggunakan speech
filing system. Dalam Konferensi Linguistik Tahunan Atmajaya KOLITA 10,
hal 37-52, Jakarta: Unika Atma Jaya.
O’Connor, J. D. (1970).
Better english pronounciation, dalam Muslich, A. (2009).
Fonologi bahasa indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Peeters, T. (2009). Panduan Autisme terlengkap. Jakarta: Dian Rakyat.
Pujiono, S. (2010). Klasifikasi bunyi bahasa [slide Power point]. Diakses dari
repository Universitas Malang, pada tanggal 20 September 2014. Tersedia
pada laman: www.repository.um.edu.
Poerwo,B.K. (1991). ‘Perkembangan Bahasa Anak Pragmatik dan Tata Bahasa.
dalam Chaer, A. (2009). Psikolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Rutter, M (1996) Autism research. di dalam Volkmar, F. dan Klin, A. (2005).
‘Issues in the classification of autism and related condition.
Dalam
Volkmar, dkk. [ed.3] Handbook of Autism and Pervasive Development
Disorders. Hlm. 6-41, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Rutter, M., Mahwood, L., dan Howlin. (1992). Language delay and social
development. Dalam Tager-
Flushberg, dkk. (2005). ‘Langauge and
Siti Fatimah, 2014
Kemampuan Anak Sindrom Autistik Dalam Mengartikulasikan Bunyi Konsonan (Studi Kasus Pada Tiga Orang Anak Penderita Sindrom Autistik Di Salah Satu Sekolah Berkebutuhan Khusus Di Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Shriberg, L., dkk. (2001). Speech and prosody characteristics of adolescent and
adult with high-functioning autism and asperger syndrome. Journal of
Speech and Hearing Research, 44, 1097-1115
Siegel, B. (1996). The World of the Autistic Child. New York: Oxford University
Press.
Simanjuntak, M. (1990) Pengantar psikolinguistik modern. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Smith, N. (2010). Acquiring phonology: A cross-generational case-study.
Cambridge: Cambridge University Press.
Stake, R. E. (2000). Case studies. dalam N.K. Denzin & Y. S. Lincoln (eds),
Handbook of Qualitative Reserach (2nd ed. Hlm. 435-454). Thousand Oaks,
CA: SAGE
Tager-Flushberg, dkk
. (2005). ‘Lang
uage and communicatio
n in autism’
. Dalam
Volkmar, F. Dan Klin, A. (2005). ‘Issues in the classification of autism and
related condition. [ed.3] Handbook of Autism and Pervasive Development
Disorders. Hlm. 6-41, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Tager-Flushberg, dan Quill, K. (1987). Story telling and narrative skill in verbal
autistic children. Society for Research in Child Development, Baltimore:
Maryland.
Troike.M. S. (2006). Introducing Second Language Aquisition. Cambridge:
Cambridge Press.
Wada, J. dkk. (1975). Cerebral hemispheric asymetry in hummans. Dalam
Dardjowidjojo, S. (2012). Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Wenar, C. dan Kerig P. Infancy: Disorder in the autistic spectrum. Dalam
Developmental Psychopathology: from Infancy Through Adolescence, hlm.
131-158. New York: Mc Graw-Hill International Edition.
Wiersma W. And Jurs S. (2009). Research method in education. United State:
Pearson.
Yatim, F. (2007). Autisme. Jakarta: Pustaka Populer Obor.