• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS PENJUALAN BARANG CACAT TERSEMBUNYI: STUDI PADA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA DENPASAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS PENJUALAN BARANG CACAT TERSEMBUNYI: STUDI PADA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA DENPASAR."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PELAKU

USAHA ATAS PENJUALAN BARANG CACAT

TERSEMBUNYI : STUDI PADA BADAN

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

(BPSK) KOTA DENPASAR

NI MADE DWI NURMAHAYANI NIM. 1216051181

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

iii

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PELAKU

USAHA ATAS PENJUALAN BARANG CACAT

TERSEMBUNYI : STUDI PADA BADAN

PENYELESIAN SENGKETA (BPSK) KOTA

DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI MADE DWI NURMAHAYANI NIM. 1216051181

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Shyang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhhir skripsi yang berjudul: “Pelaksanaan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Penjualan Barang Cacat Tersembunyi : Studi Pada Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) Kota Denpasar,tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun dengan maksud memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan pendidikan program Sarjana (S1) serta untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karena tanpa bantuan dari pihak lain maka skripsi ini tidak akan berhasil diselesaikan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

vii

bimbingan, motivasi, arahan serta saran-saran yang sangat mendukung hingga terselesainya skripsi ini.

6. Bapak I Made Dedy Priyanto,SH.,M.Kn DosenPembimbing II yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran membantu memberikan semangat, bimbingan, motivasi, arahan serta saran-saran yang sangat mendukung hingga terselesainya skripsi ini.

7. Bapak I Ketut Keneng, SH., MH., Pembimbing Akademik yang telah banyak membantu, memberikan semangat, serta arahan dalam setiap pengambilan mata kuliah serta selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

8. Bapak / Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Seluruh Staf Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan dukungan hingga penyusunan skripsi ini terselesaikan dengan baik.

10.Bapak dan Ibu informan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Denpasar yang telah banyak memberikan keterangan dalam pengumpulan bahan hukum untuk menunjang skripsi ini.

(7)

12.Kakak dan Adik tersayang Putu Dewi Nurcahyani, SE dan I Nyoman Aditya Narayana, serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat, perhatian, dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

13.Teman-teman Penulis di Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Ekstensi angkatan 2012, Bella Kharisma, Wajihatut Dzikriyah, Made Ana Wirastuti, Nandia Amataria, Ayu Sania, Gladys Firdiana,dan teman- teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam memberikan semangat dan saling membantu satu sama lainnya dalam penyusunan skripsi ini.

14.Teman- teman dekat Penulis Dhian Permata Dewi, Sekar Padmadhani Suta, Suci Dianatari, Dessy Dora Agnellia,SP yang sudah membantu dan menyemangati dari awal pembuatan skripsi ini sampai dengan selesai.

Semoga bantuan, dorongan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis memperoleh balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata penulis berharap agar bermanfaat bagi pembacanya dan kritik serta saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini, sehingga dapat memberi manfaat sebagimana yang diharapkan.

(8)

ix

SURAT PERNYATAAN KEASLIAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa karya ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan duplikasi atau plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/ dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat pernyataan keaslian ini penulis buat dengan pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 15 Pebruari 2015 Yang menyatakan,

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM. ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/ PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI……….. v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 8

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4Orisinalitas Penelitian... ... 9

1.5Tujuan Penelitian... ... 11

1.5.1 Tujuan Umum... ... 11

1.5.2 Tujuan Khusus... ... 11

1.6 Manfaat Penelitian... ... 11

1.6.1 Manfaat Teoritis ... ... 11

(10)

xi

1.7Landasan Teoritis... ... 12

1.8Metode Penelitian... 19

1.8.1 Jenis Penelitian... ... 20

1.8.2 Sifat Penelitian... ... 21

1.8.3 Data dan Sumber Data ... ... 21

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data... ... 22

1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 22

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data... ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. ... 24

2.2 Hak dan Kewajiban serta Tanggung Jawab Pelaku Usaha … 26

2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen ... 30

2.4 Pengertian dan Unsur – Unsur Cacat Tersembunyi ... 31

2.5 Pengertian, Unsur – Unsur, dan Dasar Hukum BPSK ... 33

2.6 Tugas dan Wewenang BPSK ... 35

(11)

BAB IVUPAYA BPSK KOTA DENPASAR DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PENJUALAN BARANG CACAT TERSEMBUNYI

4.1Bentuk- Bentuk Penyelesaian Sengketa di BPSK Kota Denpasar 52 4.1.1 Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh BPSK Kota

Denpasar Melalui Mekanisme Konsiliasi ... 53 4.1.2 Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh BPSK Kota

Denpasar Melalui Mekanisme Mediasi ... 54 4.1.3 Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh BPSK Kota

Denpasar Melalui Arbitrase ... 56 4.2 Upaya Bpsk Kota Denpasar DalamPenyelesaianSengketa

PenjualanBarangCacatTersembunyi ... 60 4.2.1 Langkah- Langkah Mediasi ... 61 4.2.2 Hasil Mediasi ... 63 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 66 5.2 Saran ... 67

DAFTARUSTAKA……… 68

(12)

xiii ABSTRAK

Semakin berkembangnya teknologi yang ada, banyak menimbulkan dampak yang terjadi bagi konsumen salah satunya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal produksi. Melalui Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (selanjutnya disebut UUPK) diharapkan melindungi konsumen akan hak-haknya atas pelangaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelanggaran yang ditemukan di lapangan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Denpasar (selanjutnya disebut BPSK) adalah penjualan barang cacat tersembunyi. BPSK bertugas untuk menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha. Adapun permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana bentuk tanggung jawab pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi (studi pada BPSK Kota Denpasar)? yang kedua upaya apa yang dilakukan oleh BPSK Kota Denpasar dalam penyelesaian sengketa penjualan barang cacat tersembunyi? Penelitian ini sangat penting bagi konsumen untuk mendapatkan hak-hak konsumen akan kerugian yang dialami karena pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah metode yuridis empiris, yaitu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer dilapangan.

Adapun hasil penelitian dalam skripsi ini yaitu bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha dalam penjualan barang cacat tersembunyi (studi pada BPSK Kota Denpasar) adalah pengembalian uang atau penggantian barang sejenis, membayar biaya transportasi yang timbul dalam menyelesaiakan sengketa di BPSK yang sesuai dengan Pasal 19 ayat 2 UUPK. Upaya yang dilakukan BPSK dalam menyelesaikan sengketa penjualan barang cacat tersembunyi adalah majelis BPSK bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa dan menggugat isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam bentuk putusan BPSK yang tertuang dalam akta perdamaian. Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan pelaku usaha dalam menyeleksi barang yang akan dijual lebih hati-hati agar terhindar dari penjualan barang cacat tersembunyi, dan BPSK diharapkan dalam menyelesaikan sengketa para pihak bersikap netral dan tidak mengedepankan konsumen.

(13)

ABSTRACT

The continued development of the existing technology, many impacts that occur for the consumer one of them is a violation committed by businesses in terms of production. ThroughConstitution Number 8 of 1999 on consumer protection (hereinafter referred UUPK) is expected to protect the consumers of their rights on violations committed by businesses. Violations were found in the field, namely Consumer Dispute Settlement Board Denpasar (hereinafter referred to as BPSK) is the sale of goods hidden defects. BPSK tasked with resolving disputes of consumers and businesses. The issues in this paper is how the responsibilities of business actors on the sale of goods hidden defects (Study on BPSK Denpasar)? The second attempt what is done by BPSK Denpasar in resolving disputes sale of goods hidden defect? This research is important for consumers to obtain consumer rights will be losses suffered because of violations committed by businesses.

The method used in the essay is empirical juridical methods. That is the way the procedures are used to solve research problems by examining secondary data first and then proceed with a study of primary data in the field.

The research results in this paper are the responsibilities of businesses in the sale of goods hidden defects (Study on BPSK Denpasar) is a refund or replacement of similar goods, pay the transport costs incurred in resolving the dispute in BPSK that in accordance with Article 19, paragraph 2 UUPK. Efforts are made BPSK in resolving disputes and the sale of goods hidden defects are assembly BPSK is active as a mediator by providing advice, guidance, suggestion and other efforts to resolve the dispute and sued the agreement that has been made by the parties in the form of the decision BPSK contained in deed of peace. Suggestions in this study is expected to entrepreneurs in selecting the items to be sold at more carefully in order to avoid the sale of goods hidden defects, and BPSK is expected to resolve the dispute of the parties to be neutral and do not promote consumer.

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aktivitas masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup meliputi kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi merupakan suatu kehidupan ekonomi yang tidak dapat dilepaskan. Masyarakat harus lebih konsumtif dalam memilih kebutuhan hidupnya, dalam kehidupan sekarang tidak sedikit konsumen yang menginginkan kualitas barang yang bagus tanpa ada unsur yang dapat merugikan konsumen.

Semakin berkembangnya teknologi yang ada maka semakin banyak barang dan jasa yang di konsumsi oleh konsumen. Hal ini menimbulkan banyak dampak yang terjadi bagi konsumen karena bermanfaat bagi kebutuhan konsumen akan barang yang diproduksi oleh pelaku usaha. Jelas saja disini kedudukan pelaku usaha lebih berkuasa dibanding kedudukan konsumen. Posisi konsumen yang lemah dapat dimudahkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya.

(15)

2

tersembunyi yang dapat menyebabkan konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut mengalami kerugian.

Dalam Era Globalisasi Produk –produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tidak sedikit yang berbahaya bagi konsumen.

Dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai tahap purna penjualan. Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa . Hal ini disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang / di produksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.1

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara kedua pihak konsumen yang begitu mudah percaya dengan informasi pelaku usaha yang menyesatkan menjadi suatu pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen. “Nurmadjito mengatakan larangan ini dapat

mengupayakan agar barang dan jasa yang beredar luas dimasyarakat merupakan produk yang layak edar antara lain asal usulnya, kualitas sesuai dengan informasi

pengusaha baik melalui label, etiket, dan lain sebagainya”.2

1

Ahmad Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen , Rajawali Pers, Jakarta, hlm.54

2

(16)

3

Kenyataannya yang terjadi di lapangan larangan tersebut tidak dihiraukan oleh pelaku usaha, seperti sudah diketahui bahwa Undang- Undang Nomer 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) menetapkan tujuan perlindungan konsumen untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha, sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan jasa.

Arus globalisasi jaman yang membuat perdagangan bebas serta kemajuan telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara membuat barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik dalam produk luar negeri maupun dalam negeri. Kondisi demikian membuat para konsumen mempunyai pilihan dalam menentukan kebutuhan barang dan jasa yang akan dipergunakan. Sejauh itu konsumen sendiri harusnya berperan aktif dalam menanggulangi penjualan barang yang dapat merugikannya.

Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seharusnya menentukan

efektivitas UUPK, bahwa konsumen harus sadar hukum. “Achmad Ali

mengemukakan ketaataan hukum, kesadaran hukum, dan efektivitas

perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan”. 3

3

(17)

4

Perlunya banyak pengetahuan konsumen yang menjadi dasar agar konsumen tidak mengalami kerugian dalam hal-hal yang tidak diinginkan, karena tidak sedikit konsumen yang memerlukan sosialisasi dari pemerintah, dan jika konsumen sudah mengetahui sebab-akibatnya perlu adanya kesadaraan dan ketaatan hukum dalam pembentukan diri konsumen agar terjaminannya keselamatan konsumen.

Tentang kewajiban pelaku usaha Pasal 7 UUPK huruf b yaitu

“memberikan informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan jasa serta memberi penjelasan, penggunaan, perbaikan, dan

pemeliharaan”, salah satu bentuk wujud kewajiban pelaku usaha agar konsumen

terhindar dari adanya kerugian membeli barang dan jasa yang akan dikonsumsinya.

Pembelian produk cacat tersembunyi merupakan salah satu bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen, jika saja konsumen mengetahui adanya cacat di dalam barang yang akan ia beli, maka konsumen tidak akan membeli barang tersebut. Pentingnya penyampaian penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu.

Dalam hal ini kerugian yang dialami oleh konsumen akibat adanya cacat tersembunyi tersebut bukanlah semata kesalahan konsumen sendiri yang kurang hati-hati, akan tetapi pelaku usaha mempunyai andil yang besar karena sebagai

pihak penjual. “Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil

(18)

5

pengetahuan dan teknologi yang produktivitas dan efisiensi pelaku usaha atas barang dan jasa yang dihasilkannya, dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen yang semakin kompleks sehingga peraturan perlindungan konsumen

diperlukan”.4

“Produk cacat dikategorikan ke dalam 3 bentuk yaitu, cacat dalam produk

(production flaws), cacat dalam design (design defects), ketidaktepatan informasi (in adequate information)”.5 Di dalam UUPK tidak memakai istilah cacat produk tetapi memakai istilah cacat tersembunyi yang diatur di dalam Pasal 9 ayat (1)

UUPK huruf f menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha dilarang menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa tidak benar, dan atau seolah- olah barang tersebut mengandung cacat tersembunyi”. Pasal 11 huruf b

UUPK menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan

melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dengan menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung

cacat tersembunyi”. Cacat tersembunyi merupakan suatu keadaan dimana

seseorang membeli sebuah barang dalam keadaan cacat atau tidak sempurna tanpa mengetahui keadaan tersebut (tersembunyi). Kerugian konsumen akan pembelian barang cacat tersembunyi sebagai satu- satunya contoh peristiwa hukum di BPSK Kota Denpasar yaitu terjadi pada Romy Wahyu Franda yang membeli sepasang sandal bermerek Havaianas disebuah toko di Seminyak, sandal tersebut ia berikan kepada tunangannya dan setelah diberikan kepada tunangannya, disalah satu tali

4

Husni Syawali, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hlm.33

5

(19)

6

sandal tersebut cacat atau tidak dapat digunakan kembali, setelah mengetahui adanya cacat di dalam sandal tersebut Romy Wahyu Franda langsung mendatangi pihak pelaku usaha tetapi tidak dapat perlakuan baik atau dengan kata lain tidak mendapati tanggapaan dari pelaku usaha, setelah tidak dapat perlakuan baik dari pelaku usaha Romy Wahyu Franda melaporkan hal ini ke Badan Penyeleseaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) Kota Denpasar untuk mendapatkan hak-haknya. Karena secara normatifnya pelaku usaha selaku pihak yang bertanggung jawab atas penjualan barang yang di perjual-belikan harus bertanggung jawab atas adanya barang cacat tersembunyi, tetapi dalam kenyataannya karena adanya cacat tersembunyi pelaku usaha menolak bertanggung jawab sebab salah satu kelemahan konsumen yang tidak hati-hati di dalam menentukan barang yang akan dibeli.

Tanggung Jawab pelaku usaha di dalam pemberian ganti rugi dalam hal adanya penjualan barang cacat tersembunyi menjadi kewajiban oleh pelaku usaha dalam hal pemberian kompensasi tersebut. Sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPK

menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi

atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi

barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Pelaku usaha sesuai

dengan kewajibannya mengganti kerugian akibat barang yang di produksi untuk memenuhi suatu kewajibannya sesuai dengan Pasal 23 UUPK menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tangapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui BPSK

(20)

7

Pengertian BPSK Menurut Pasal 1 angka 11 UUPK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana. BPSK merupakan badan hasil bentukan pemerintah yang berkedudukan di ibu kota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (Pasal 49 ayat 1 UUPK). Tugas BPSK adalah sebagai pengawas dan menyelesaikan sengketa, jika pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas pelanggaran yang dibuat, pihak konsumen berhak mengajukan laporan ke BPSK untuk mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan pelanggaran pelaku usaha tersebut.

“Secara teoritis penyelesaian sengketa melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan cara penyelesaian sengeketa pertama melalui proses litigasi di luar pengadilan”6

, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama di dalam pengadilan. Dari beberapa permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat, munculah pemikiran untuk melahirkan sebuah bentuk penyelesaian sengketa diluar proses peradilan melalui mekanisme arbitrase dan Alternatif Dispute Resolution (selanjutnya disebut ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa

(selanjutnya disebut APS)”. Hadirnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan

APS bukan untuk mengacaukan pelaksaan hukum acara sebagai hukum formil dari hukum publik dan hukum privat yang berlaku. Hal tersebut membantu membuka pintu baru untuk masyarakat yang mencari keadilan, agar setiap sengketa tidak selalu di pengadilan dengan waktu yang lama dan biaya yang mahal.

6

(21)

8

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan menarik untuk diangkat kedalam sebuah penelitian hukum yang dituangkan di dalam sebuah skripsi yangberjudul “Pelaksanaan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Penjualan Barang Cacat Tersembunyi : Studi Pada Badan Penyelesaian Sengketa

(BPSK) Kota Denpasar”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan di bahas sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi (studi pada BPSK Kota Denpasar) ?

2. Upaya apakah yang dilakukan oleh BPSK Kota Denpasar di dalam penyelesaian sengketa penjualan barang cacat tersembunyi?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, perlu kiranya diberikan batasan yang tegas mengenai materi yang akan dibahas, sehingga pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan. Maka berdasarkan rumusan masalah, ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai bentuk tanggung jawab pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi : studi pada BPSK kota Denpasar, sedangkan permasalahan yang kedua dibatasi hanya pada upaya di dalam penyelesaian sengketa penjualan barang cacat tersembunyi oleh BPSK Kota Denpasar.

(22)

9

Dalam melakukan suatu karya ilmiah skripsi perlu adanya orisinalitas atau keasliaan penulisan, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa jenis penelitian 1 tesis dan 1 skripsi sebagai pembanding yang serupa dengan judul skripsi penulis tetapi memiliki unsur-unsur perbedaan yang dapat meyakinkan bahwa skripsi yang dibuat penulis adalah hasil asli tulisan sendiri. Adapun pembandingnya yaitu :

1.1 Tabel Penelitian Sejenis :

(23)

10

(24)

11

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan umum

1. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan barang cacat tersembunyi dalam hal (studi pada BPSK Kota Denpasar). 2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh BPSK Kota Denpasar di

dalam penyelesain sengketa terhadap penjualan barang cacat tersembunyi. 1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk memahami bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan barang cacat tersembunyi dalam hal (studi pada BPSK Kota Denpasar). 2. Untuk memahami upaya yang dilakukan oleh BPSK di dalam penyelesaian

sengketa penjualan barang cacat tersembunyi. 1.6 Manfaat penelitian

Setiap penulisan selalu diharapkan dapat memberikan manfaat pada berbagai pihak. Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Secara teoritis hasil penelitian akan dapat menjadi manfaat di dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum bisnis dan menambah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan studi hukum perlindungan konsumen.

2. Memberikan pemahaman mengenai tanggung jawab pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi.

(25)

12

1. Untuk menambah pengalaman dan kemampuan peneliti di dalam melakukan penelitian hukum

2. Untuk memberikan infomasi kepada konsumen tentang pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi.

3. Agar pelaku usaha mengetahui pentingnya pemberian informasi kepada konsumen atas barang yang dijual untuk menghindari terjadinya sengketa. 4. Untuk bahan masukan bagi BPSK Kota Denpasar dalam pelaksaan tugasnya

dilapangan.

1.7 Landasan Teoritis

Pada landasan teoritis ditengahkan juga beberapa teori dan asas- asas, definisi , konsep-konsep, prinsip-prinsip yang relevan serta pemikiran para sarjana sebagai dasar pembenar dalam pengkajian mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam halnya adanya cacat tersembunyi di dalam barang tersebut.

Menurut Pasal 3 UUPK menyebutkan mengenai asas-asas yang relevan di dalam wujud memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimakudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spititual.

(26)

13

5. Asas kepastian hukum di maksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

Upaya perlindungan hukum di dalam kamus hukum perlindungan hukum

adalah “Suatu upaya kepastian hukum untuk mendapat perlindungan berdasarkan

peraturan-peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan negara dan sebagainya atau dapat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat atau negara”.7

Perlunya undang-undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Proses sampai hasil produksi barang atau jasa dilakukan tanpa ikut campur konsumen sedikitpun. Tujuan hukum perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. secara tidak langsung, hukum ini juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab, namun semua tujuan hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen. Untuk mewujudkan harapan tersebut, perlu dipenuhi beberapa syarat antara lain sbb.

1. Hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun produsen, jadi tidak hanya membebani produsen dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak-haknya dengan melakukan usaha dengan jujur.

2. Aparat pelaksanaan hukumnya harus dibekali dengan sarana yang memadai dan disertai dengan tanggung jawab.

3. Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya.

4. Mengubah sistem nilai dalam masyarakat kearah sikap tindak yang mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen. 8

7

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1998,Kamus Hukum, tanpa penerbit, Jakarta, hlm.954

8

(27)

14

“Secara umum ada 4 hak dasar konsumen yaitu, hak untuk mendapat

keamanan (the right to safety), hak untuk mendapat informasi (the right to be informed), hak untuk memilih (the right to be choose) dan hak untuk di dengar (the right to be head)”. 9 Di dalam Pasal 4 UUPK dijelaskan mengenai hak-hak konsumen huruf a-i yang merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum di dalam pemuatan peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen.

Landasan yuridis mengenai memahami perlindungan konsumen, perlu diketahui pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 ayat (1) UUPK yaitu perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, sedangkan

menurut “Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk(barang dan jasa) konsumen antara penyedia dan penggunaannya dalam

kehidupan bermasyarakat”.10

Penjelasan Pasal 1 angka 4 UUPK pengertian barang adalah benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,

dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.”

“Harkristuti Harkriswono membedakan berbagai perilaku yang merugikan

konsumen yang merupakan perbuatan yang melawan hukum. UUPK telah memberi kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapat ganti rugi dan

9

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen,Grasiondo, Jakarta, hlm.16

10

(28)

15

sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban pelaku usaha (product libiality)”.11

“Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan

sebagai berikut yaitu, kesalahan (libiality based on fault), praduga selalu bertanggung jawab (presumption of libiality), praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonability), tanggung jawab mutlak (strict libiality), pembatasan tanggung jawab (limitiation of libiality)”. 12

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab tersebut dinamakan prinsip tanggung jawab product libiality yaitu suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk. Menurut asas ini wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang di pasarkan.13

Penjelasan Pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha bahwa :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

11

Harkristuti Harkriswono, 1996, Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, tanpa tempat penerbit, Jakarta, hlm.6

12

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.92

13

(29)

16

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Menurut pasal 1491 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) disebutkan bahwa pihak menjual mempunyai tanggung jawab terhadap pembeli, yaitu :

a. menjamin penguasaan barang yang dijual secara aman dan tentram. b. menjamin adanya cacat barang tersebut tersembunyi, atau yang

sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya.

Jika pelaku usaha benar mengakibatkan konsumen atas kerugiannya maka dapat dikatakan pelaku usaha melanggar atau melawan hukum dan pelaku usaha tersebut mempunyai kewajiban menggantikan kerugian yang dialami oleh

konsumen tersebut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan : “Tiap

perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”.

Penjelasan Pasal 8 ayat 2 UUPK menyebutkan bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar

tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang di maksud”. “Produk cacat menurut Az.Nasution adalah setiap produk yang tidak dapat

(30)

17

maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harga benda mereka dalam penggunaan sebagaimana diharapkan orang”. 14

Suatu produk yang mengalami cacat dibedakan atas 3 kemungkinan yaitu kesalahan produksi, cacat desain, dan informasi yang tidak memadai. Kesalahan produksi merupakan kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidak beresan pada mesin dan yang serupa dengan itu. Cacat desain yaitu cacat yang terjadi pada tingkat persiapan produk yang terdiri dari atas desain, komposisi, atau kontruksi, dan informasi yang tidak memadai yaitu pemasaran suatu produk, dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan peringatan atas resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan

supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk- produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksud.15

“Suatu produk yang mengalami cacat dibedakan atas 3 kemungkinan

yaitu kesalahan produksi, cacat desain, dan informasi yang tidak memadai”.16

Pengaturan mengenai cacat tersembunyi diatur di dalam KUHPerdata 1504 “Si

penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang di jual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli

barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.’’

Jika saja konsumen mengetahui adanya cacat tersembunyi di dalam barang yang akan ia beli maka tidak akan batal membeli barang tersebut, atau sekurang-kurangnya meminta pengurangan harga barang. Di dalam UUPK dijelaskan

mengenai cacat tersembunyi pasal 9 ayat (1) huruf f “Pelaku usaha dilarang

14

Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Radit media, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Az. Nasution II), hlm.248

15

H.Duitntjer Tebbens, 1980, International Product Libiality, Sitjthoff & International Publisher, Netherlands, hlm. 7-9

16

(31)

18

menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah barang tersebut tidak mengandung cacat

tersembunyi”. Menurut Pasal 1505 KUHPerdata bahwa, “Si penjual tidaklah

diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh si pembeli.” Menurut Pasal 1506 KUHPerdata bahwa, “Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang sedemikian, telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.

Sesuai dengan UUPK Pasal 45 ayat (1) bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggungat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Yang dimaksud dengan lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha adalah BPSK. Sesuai dengan Pasal 1 angka 11 UUPK menyatakan BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antar pelaku usaha dan konsumen. BPSK di dalam menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan melalui ADR yaitu melalui konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

(32)

19

dan litigasi . Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya

win-lose”.17

Beberapa permasalahan hukum yang timbul dimasyarakat muncul pemikiran untuk melahirkan sebuah bentuk penyelsaian sengketa di luar pengadilan melalui mekanisme arbitrase dan APS. Undang -Undang Nomor 30 tahun 1999 mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berwenang. Penjelasan Pasal 1 angka 10 UU No. 30 tahun 1999 macam- macam APS terdiri dari, penyelesaian melalui metode konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilian akhir.

Macam-macam penyelesaian sengketa ini akan menjelaskan bahwa sesungguhnya di dalam penyelesaian sengketa konsumen sebagai usaha di dalam menyelaraskan kepentingan umum dapat di selesaikan dengan jalur non litigasi dan litigasi.

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian

Di dalam jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode Yuridis empiris, yaitu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer dilapangan18.

17

Frans Hendra, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9

18

(33)

20

Data sekunder tersebut merupakan teori hukum, literatur maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku dimasyarakat. Penelitian empiris yaitu, penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan guna mendapatkan kebenaran yang akurat. dalam melakukan penelitan skripsi ini penulis melakakuan penelitian di lapangan pada BPSK Kota Denpasar.

1.8.2 Sifat penelitian

Sifat penelitain ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain di masyarakat. Penelitian ini menggambarkan pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi : studi pada di BPSK Kota Denpasar.

1.8.3 Data dan sumber data 1. Data primer

Data primer yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber atau diperoleh dari penelitian di lapangan yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian di BPSK Kota Denpasar. Adapun sumber data yang diperoleh dari narasumber yang paling utama, dalam hal ini adalah anggota Majelis BPSK Kota Denpasar serta Sekretariat BPSK Kota Denpasar.

2. Data sekunder

(34)

21

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yaitu :

a. KUHPerdata b. UUPK

c. UU No. 30 Tahun 1999

2. Bahan Hukum Sekunder adalah literatur yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu meliputi buku-buku : literatur, artikel, makalah, internet, skripsi, tesis dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

3. Bahan Hukum Tersier

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta b. Black Law Dictionary

c. Kamus Hukum

1.8.4 Teknik pengumpulan data

1. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan jawaban yang relevan di dalam suatu kasus penelitian, dalam penelitian ini wawancara yang merupakan teknik memperoleh data dilapangan dipergunakan untuk menunjang data-data yang diperoleh melalui studi dokumen. Penelitian yang dilakukan BPSK Kota Denpasar.

(35)

22

dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada bentuk bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang ada yang peraturan relevansinya dengan masalah yang diteliti.

1.8.5 Teknik penentuan sampel penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah teknik Non-Probabilitas. Teknik ini digunakan agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian, dimana semua populasi mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan menjadi sampel. Teknik pengumpulan sampel dengan teknik Non- Probabilitas yang digunakan menekankan pada bentuk Purposive Sampling yaitu penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kreteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

1.8.6Pengolahan dan analisis data

(36)

23

Dalam penelitian dengan teknik analisis kualitatif atau yang sering disebut analisis kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara dan tema diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

(37)

24

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1

angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. “Di dalam kalimat yang menyatakan segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi

untuk kepentingan perlindungan konsumen”.19

“Pengertian Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah

keseluruhan azaz-azaz dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan jasa konsumen”.

20

Karena posisi konsumen yang lebih lemah di bandingkan dengan pelaku usaha maka konsumen perlu untuk dilindungi. Konsumen dan perlindungan konsumen adalah dua bidang titik yang susah untuk di pisahkan.

Menurut Pasal 2 UUPK mengenai konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

19

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm.1

20Aliesaja, 2010, “Hukum Perlindungan Konsumen”,

(38)

25 menggunakan barang dan jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.21

Secara harfiah konsumen mempunyai pengertian sebagai pemakai barang dan jasa yang dihasilkan produsen, sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak lain atau orang lain .Kata konsumen berasal dari Belanda, yaitu consument/ konsument yang oleh para ahli hukum disepakati berarti sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan oleh mereka kepada pengusaha (ondernemer). 22

“Jadi mereka yang mengkonsumsi untuk dijual kembali (pemakai perantara) tidak termasuk kelompok yang dikategorikan dalam pengertian konsumen”.23

Pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat dan bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat melindungi.

“Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi untuk menyeimbangkankedudukan

konsumen dan pengusaha dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling

membutuhkan”. 24

21

Az Nasution I, hlm. 3

22

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm. 22

23

Mariam Darus Badruszaman, 1986, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 17

24

(39)

26

Sebelum diundangkannya UUPK di Indonesia, ada beberapa peraturan yang dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum perlindungan konsumen Peraturan-peraturan tersebut adalah :

a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Metrologi Legal. c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan.

e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1922 tentang Kesehatan.

g. Undang-Undng Nomor 7 Tahun 1984 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

h. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. i. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1966 tentang Pangan. j. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. k. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Hak Paten. l. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. m. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. n. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1988 tentang perbankan.

o. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. p. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. 2.2 Hak dan Kewajiban serta Tanggung Jawab Pelaku Usaha

(40)

27

Seperti halnya konsumen pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-Hak yang diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan jasa yang diperdagangkan, menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan jasa yang sama.

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya dengan pihak aparat pemerintah dan atau BPSK/ pengadilan dalam tugasnya melakukan penyeleseain sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.25

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UUPK adalah : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

25

(41)

28

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan /atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Jika diperhatikan dengan seksama hubungan hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dan kewajiban konsumen adalah merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha hakekatnya hukum perlindungan konsumen dibentuk untuk memenuhi atau memberikan kepastian hukum di dalam meningkatkan dan menciptakan sistem perlindungan konsumen terhindar dari perilaku pelaku usaha yang berbuat curang, kenyataannya terdapat banyak masalah yang kompleks dalam hal perlindungan hukum terhadap konsumen.

Mengenai tanggung jawab pelaku usaha dikenal dengan 2 prinsip yang diakomodasikan yaitu tanggung jawab produk (Product Libiality) dan tanggung jawab professional(Profesional Libiality).

(42)

29

persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan.26

“Tanggung jawab produk ini berkaitan dengan produk barang sedangkan

tanggung jawab professional berhubungan dengan suatu tindakan menyalahi tanggung jawab professional maka perlu adanya ukuran yang jelas. Indikator tidak ditetapkan oleh Undang-undang namun oleh asosiasi profesi yang berupa

norma-norma berupa kode etik profesi”.27

Mengenai tanggung jawab pelaku usaha diatur di dalam bab VI yaitu Pasal19 hingga Pasal 28 UUPK. Ketentuan tentang tanggung jawab produk menganut asas

product libiality yang intinya pelaku usaha bertanggung jawab atas kerusakan, kecacatan, penjelasan, ketidaknyamanan dan penderitaan yang dialami oleh konsumen karena pemakaian atau mengkonsumsi barang dan/jasa yang dihasilkannya.

Tanggung jawab produk (product libiality) menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict libiality) adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Kecuali memungkinkan untuk dibebaskan karena adanya force majeur. Product Libiality mengandung prinsip Strict Libiality

karena :

26

Celina Tri Siwi, op.cit, hlm.101

27kuliahade, 2009, “Hukum Perlindungan Konsumen”, URL:

(43)

30

1. Diantara korban atau konsumen disatu pihak dan produsen di lain pihak beban kerugain (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi atau mengeluarkan produk di pasaran.

2. Dengan menerapkan atau mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang – barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggung jawab.

3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak produsen yang melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun yaitu, konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada pedagang grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan Strict Libiality dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini.28

2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, oleh karena itu perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih hak-haknya

yang bersifat abstrak. “Secara umum dikenal ada 4 hak dasar konsumen yaitu, Hak

untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed), Hak untuk memilih ( the right to choose), Hak untuk di dengar (the right to be heard)”.29

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

28

M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 22.

29

(44)

31

Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak konsumen yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.

Hak-hak konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UUPK adalah :

a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan

barang dan atau jasa.

d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan. b. Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2.4Pengertian dan Unsur–unsur Cacat Tersembunyi

“Pengertian cacat adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya

(45)

32

(kerusakan noda) yang menyebabkan keadannya menjadi kurang sempurna (kurang baik), cela atau aib, tidak (kurang) sempurna”.30

“Menurut Az Nasution produk cacat yaitu apabila produk itu tidak aman

dalam penggunaanya, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana diharapkan orang dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, seperti penampilan produk, kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk dan saat produk itu di edarkan”.31

Dalam UUPK Pasal 8 ayat 2 dijelaskan mengenai perbuatan yang dilarang

bagi pelaku usaha yaitu “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang

rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud, selain itu di dalam Pasal 9 ayat 1 huruf F UUPK menjelaskan mengenai pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah

“barang tersebut mengandung cacat tersembunyi.”Pasal 11 huruf b UUPK

menjelaskan mengenai pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan

“menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat

tersembunyi.

Seperti unsur-unsur yang dijelaskan tersebut adanya cacat tersembunyi di dalam sebuah penjualan barang menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan cacat yang ada di dalam sebuah barang merupakan tersembunyi yang artinya konsumen tidak mengetahui adanya cacat atau tidak sempurnanya suatu barang pada barang

30

Departemen dan Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 126

31

(46)

33

tersebut, jika saja konsumen mengetahui adanya cacat tersembunyi maka konsumen tidak akan membeli barang tersebut. Cacat tersembunyi adalah suatu cacat atau kerusakan pada suatu benda yang tidak terlihat secara jelas atau seketika ditemukan, cacat yang tidak tampak oleh pembeli melalui pemeriksaan yang wajar. Pengaturan

cacat tersembunyi dijelaskan di dalam Pasal 1504 KUHPerdata “Penjual diwajibkan

menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang-barang itu tidak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud sehingga

seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia tidak akan membeli barang itu.”

2.5 Pengertian, Unsur-unsur dan Dasar Hukum BPSK

UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen, yaitu BPSK. Pengertian BPSK terdapat pada Pasal 1 butir 11 UUPK adalah Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.

Yusuf Shofie memberikan definisi mengenai BPSK yaitu sebagai suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam UUPK, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.32

BPSK merupakan badan yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.

Badan ini dibentuk sebagai alternatif bagi konsumen yang membutuhkan media di dalam penyelesaian sengketa secara cepat, mudah, dan murah.

32

(47)

34

dikatakan cepat karena penyelesain sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen.33

Jika diputuskan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Keberadaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan.

Unsur-unsur anggota BPSK minimal 3 orang dan maksimal 5 orang dianggap tepat, yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. Mengingat persoalan penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha berhubungan dengan persoalan keadilan. Dapat diketahui jumlah keanggotaan BPSK yang meliputi semua unsur, berjumlah paling sedikit 9 orang dan paling banyak 15 orang. Jumlah ini sudah termasuk ketua dan wakil ketua BPSK sebagaimana dapat diketahui di dalam UUPK Pasal 50:

a. Ketua merangkap anggota b. Wakil ketua merangkap anggota c. Anggota

Dasar hukum pembentukan BPSK adalah UUPK Pasal 49 ayat 1, Pasal 2 Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomer 350/MPP/Kep/12/2001

33

(48)

35

mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK. Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang pembentukan BPSK pada pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang.

Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomer 108 tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya yaitu, di kota Kupang, kota Samarinda, kota Sukabumi, kota Bogor, kota Kediri, kota Mataram, kota Palangkaraya, dan pada kabupaten Kupang, kabupaten Belitung, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Jeneponto.

Terakhir pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden Nomer 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di Kota Padang, kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang.

Masalah yang berkaitan dengan pembentukan BPSK adalah berlakunya Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 mengenai kewenangan pemerintah pusat terhadap lemabaga tersebut. UUPK mengatur bahwa pembentukan BPSK merupakan inisiatif dari pemerintah pusat. Kewenangan tersebut tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, sehingga dalam praktiknya bukan lagi pemerintah pusat yang berinisiatif tetapi pemerintah kabupaten dan kota.34

“Ketentuan Pasal 90 Keputusan presiden Nomer 90 tahun 2001 biaya

pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada anggaran pendapatan belanja negara

34

(49)

36

(APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), selain itu BPSK juga diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustian dan Perdagangan,

Pemberhentian anggota, dan sekretariat BPSK”. 35

2.6 Tugas dan Wewenang BPSK

Mengenai tugas dan wewenang BPSK dijleskan didalam UUPK Pasal 52 jo. Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 meliputi :

a. melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.

e. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. f. menerima pengaduan baik tertulis, dari konsumen tentang terjadinya

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhap perlindungan konsumen.

h. memanggil, menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang ini.

i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK.

j. mendapatkan, menekiti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau/ pemeriksaan.

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen.

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini.36

(50)

37

a. BPSK berfungsi sebagai instrument hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan ADR , yaitu melalui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.

b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided standard form contract) oleh pelaku usaha Pasal 52 butir c UUPK. Termasuk disini klausula baku yang dikeluarkan PT PLN(persero) dibidang kelistrikan, PT Telkom (persero) di bidang telekomunikasi, bank-bank milik pemerintah maupun swasta, perusahaan

leasing/ pembiayaan dan lain-lain. 37

Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan keseimbangan kepentingan- kepentingan pelaku usaha dan konsumen, jadi tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau badan perusahaan-perusuhaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan. Dilihat dari ketentuan pasal 52 b, c,dan e UUPK dapat diketahui BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa di luar pengadilan sebagaimana diatur didalam Pasal 49 UUPK ayat (1) tetapi meliputi kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelangaran ketentuan perlindungan konsumen serta berbagai tugas dan kewenangan lainnya yang terkait dengan pemeriksaan pelaku usaha yang diduga melanggar UUPK.

37

Referensi

Dokumen terkait

Klien usia 40-an Klien hamil/ Postpartum Klien Pasca keguguran Klien dengan HIV/AIDS Ganti metode Buka tab metode atau klien baru Tab Klien kunjungan ulang Tanyakan metode

Hasan Sadikin Bandung untuk Semester II TA 2016 dengan cara itemized secara elektronik melalui web site LPSE Kemenkes dengan alamat situs internet

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan konseptual dan prosedural siswa dalam memecahkan masalah pada materi operasi hitung perkalian serta mengetahui

Pasar industri perasuransian mengalami perubahan dengan total perusahaan perasuransian sebanyak 380 perusahaan yang terdiri dari 45 perusahaan asuransi jiwa, 85 perusahaan

Begitu pula dengan yang disampaikan Sidang Tahunan Special Libraries Association (SLA) pada tahun 1996, menyatakan bahwa perpustakaan khusus memerlukan pustakawan yang

Proses pemuatan (loading) kebutuhan melaut ke atas perahu slerek pada aktivitas pukat cincin di PPN Pengambengan masih tradisional yaitu dengan proses gotong royong.

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut

Mandibula adalah tulang rahang ba$ah dan tulang muka yang /aling b#sar dan kuat Mandibula m#ru/akan satusatunya tulang /ada t#ngkorak yang da/at b#rg#rak Mandibula da/at dit#kan