R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ABSTRAK
Budaya daerah Sunda dan budaya nasional Indonesia memiliki nilai-nilai luhur, diantaranya tercermin dalam kesantunan berbahasa. Nilai-nilai tersebut sekarang semakin terkikis oleh pengaruh perkembangan dan pergeseran budaya sehingga penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia oleh masyarakat penggunanya sudah banyak yang tidak lagi menggambarkan keluhuran budaya dan kesantunan berbahasa. Penelitian ini mengkaji “Bagaimanakah unjuk santun berbahasa Indonesia dalam
tuturan dwibahasawan Sunda-Indonesia ?”. Melalui penentuan tujuan khusus mendeskripsikan indikator
kesantunan, strategi kesantunan, aspek keberterimaan komunikasi santun, dan nilai-nilai kearifan lokal dalam berbahasa santun oleh masyarakat Ciamis diharapkan terwujud sebuah alternatif ancangan (pendekatan) dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah Sunda dan bahasa Indonesia khususnya dalam pendidikan yang berdimensi kesantunan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif melalui implementasi metode etnografi. Data berupa tuturan yang diperoleh melalui penggunaan metode simak-cakap, introspeksi, dan teknik rekam, catat, pancing diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini berkesimpulan bahwa penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia bertutur santun dalam berbahasa Sunda-Indonesia dengan indikator : a) kata dan kalimat bermakna kedaerahan hormat dan halus, b) kalimat literal tak langsung, c) intonasi lagu hormat (Sunda=lentong). Strategi yang digunakan dalam berbahasa santun adalah strategi bahasa dan strategi cara. Strategi bahasa dilakukan melalui penggunaan kalimat panjang, penggunaan campur kode dan alih kode. Strategi cara dilakukan melalui basa-basi (fatis), mengangkat kearifan lokal dalam bentuk ungkapan dan peribahasa.
Dalam hal kesepakatan (konvensi) komunikasi santun, “keberterimaan” merupakan penentu
keberlangsungan komunikasi santun. Penelitian ini menghasilkan temuan : 1) strategi berbahasa santun dwibahasawan dilakukan melalui raba rasa, balik rasa, genah rasa, 2) kesantunan ditentukan oleh penutur, mitra tutur, dan penerima tutur, 3) divergensi bahasa akan menjadi magnet santun dalam mewujudkan kebiasaan masyarakat dalam berbahasa santun.
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Abstract
Sundanese local cultures and Indonesian national entities have indeed highly prestigious values, as indicated by its language politeness. Yet, those values have decreased due to cultural development and shifts by which the use of local dialect and the Indonesian language (the Bahasa) spoken by the speaking communities tends to ignore those expected values and levels of appropriateness. This study investigated the question, “How is language politeness performed by Sundanese-Indonesian bilinguals in speaking the Bahasa?”. The study is aimed at describing politeness indicators, politeness strategies, appropriateness aspects of polite communication, and the meaningful roles of local wisdom used in language politeness performed by Ciamis Sundanese-Indonesian speaking communities to prepare the feasible approach to develop and plan an educational language policy based on politeness principles. The study employed a qualitative ethnographic study. The collected data included expressions/speeches generated from the use of ‘listen-speak’ technique, introspection, recording, making notes, probing, and the data were contextually analyzed. The study suggests that Sundanese-Indonesian bilingual speakers tend to speak the Bahasa politely indicated by: a) polite courtesy local words and sentences, b) indirect literal sentences, and c) respectful language intonation (Sundanese, Lentong). The politeness covered the language strategies and expressing tactics. The former is carried out by using long sentences, and code-switching and code-mixing. The latter is indicated by the use of phatic speeches, promotion of local wisdom, and the use of proverbs. Conventionally, ‘acceptance’ or appropriateness of language is central to politeness. In addition, the present study suggest such findings as: 1) Politeness strategies of bilinguals are used through considering feeling sensitiveness, tolerance, and convenience; 2) Politeness is determined by the speaker/s/,.hearer/s/, and interlocutor/s/; and 3) Language divergence plays as a magnetic role in enabling society to politely speak the Bahasa.