A BEEF-CATTLE DEVELOPMENT ASSESSMENT: IDENTIFICATION OF PRODUCTION SYSTEM CHARACTERISTIC OF BEEF-CATTLE IN RURAL AREA
Oleh:
Akhmad Sodiq dan Novie Andri Setianto
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman PO. Box 110, Purwokerto 53101, Phone/Fax: +62-281-638792
E-mail: akhmad_sodiq@yahoo.com
(Diterima: 19 Oktober 2006; Disetujui: 7 Desember 2006)
The objective of this study was to identify the production system characteristic of beef-cattle in rural areas. On-farm survey in four provinces of Indonesia, i.e., East-Java, Bali, West Nusa Tenggara, and West Sumatra by purposive sampling method based on livestock production system was applied in this study. Assessment focus on (1) keeping objectives, (2) farm size, (3) breed preference, (4) reproduction and matting system, and (5) husbandry practices was identified and presented in this paper.
ABSTRACT
untuk Indonesia nampaknya sukar PENDAHULUAN
menggantungkan pada daerah tersebut Pada periode 10 tahun terakhir,
(Yusdja et al., 2003). Oleh karena itu, per-mintaan konsumsi daging sapi
perlu perhatian dalam menetapkan terus meningkat dan telah melebihi
kebijakan dan program pengembangan kemampuan produksi daging sapi dalam
sapi potong di masa mendatang. negeri (Dirjen Peternakan, 2005).
S t r a t e g i d a n i m p l e m e n t a s i Permintaan daging sapi diproyeksikan
program pengembangan sapi potong akan mengalami laju peningkatan
s e c a r a m e t o d o l o g i h a r u s sebesar lima persen per tahun dan
memperhatikan ciri sistem produksi, pada tahun 2010 meningkat menjadi
y a n g c e n d e r u n g b e r s i f a t k h a s 366.739 ton, sedangkan penawaran
antardaerah. Kajian sistem produksi daging sapi domestik diperkirakan
peternakan (King, 1997) mengarah mengalami penurunan (Ilham et al.,
kepada perakitan rumusan strategi 2001). Dinamika populasi sapi potong
pengembangan, yang didasarkan pada di Indonesia selama 10 tahun terakhir
ciri masing-masing sistem. Pengelasan r e l a t i f b e r f l u k t u a s i d a n a d a
sistem produksi peternakan dapat kecenderungan menurun, terutama
didasarkan pada pertimbangan geografi pada tahun 1997 di saat terjadi krisis
termasuk fisik dan politis, iklim, moneter (Dirjen. Peternakan, 2005).
intensitas penggunaan lahan, jenis Penurunan populasi sapi potong
ternak dan tanaman, serta tujuan nasional sangat berko-relasi dengan
produksi (Wilson, 1995; Sere dan populasi sapi potong di wilayah sentra
Steinfeld, 1996). Peningkatan peran populasi sapi potong di tujuh propinsi
dan keberlanjutan peter-nakan di (Sodiq dan Wakhidati, 2006) dan
negara berkembang direkomendasikan pemenuhan kebutuhan daging sapi
lingkungan. Sekunder), Metode Diskusi Kelompok Pengusahaan sapi potong di Terfokus, dan Pengamatan ke lokasi Indonesia sangat beragam sesuai peternakan (Junadi, 1995; Singarimbun dengan daerah penye-barannya, dan dan Sofian, 1988).
dapat dikelompokkan menjadi pola Analisis Data
alami (landbase) dan takalami (non- Analisis deskriptif diterapkan landbase) (Dirjen. Bina Produksi u n t u k m e n d a p a t k a n g a m b a r a n P e t e r n a k a n , 2 0 0 3 ) , d a n u n t u k mengenai profil (ciri) sistem produksi p e n g e m b a n g a n n y a d i p e r l u k a n peternakan sapi potong.
pendekatan yang berbeda karena keduanya memiliki ciri maupun
HASIL DAN PEMBAHASAN p e r m a s a l a h a n y a n g b e r b e d a
(Rahmanto, 2004). Tujuan penelitian Tujuan Pemeliharaan
ini adalah mengidentifikasi ciri sistem Secara garis besar ada dua produksi peternakan sapi potong di kategori tujuan pemeliharaan sapi pedesaan dalam rangka penyusunan potong yaitu (a) menghasilkan bibit program pengembangan sapi potong di (pembibitan, reproduksi) dan (b) Indonesia. penggemukan (fattening). Di Bali (Kab. Bangli dan Gianyar), banyak ditemukan praktik pemeliharaan sapi potong untuk METODE PENELITIAN
tujuan pembibitan dan penggemukan Penetapan Sampel sekaligus. Hal serupa juga ditemukan di Survey on-farm (Bruns, 1997; Propinsi NTB (Kab. Lombok Tengah Amir dan Knipscheer, 1989) pada dan Lombok Barat), Propinsi Sumatera empat propinsi di Indonesia (yaitu: Barat (Kab. Lima Puluh Kota dan Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat Tanah Datar), Propinsi Jawa Timur, dan Sumatera Barat) menerapkan dan beberapa daerah lainnya.
metode Purposive Sampling (Nazir, Tipologi usaha penggemukan 1988) dengan memperhatikan aspek sapi potong banyak terdapat pada sistem produksi (production system) daerah dataran tinggi dengan cukup sapi potong. Pada masing-masing ketersediaan pakan, se-dangkan propinsi terpilih Kabupaten Sumbawa, tipologi usaha pembibitan sapi potong Lombok Tengah, dan Lombok Barat di umumnya dilakukan pada daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB); dataran rendah dengan ketersediaan Kabupaten Bangli, Badung, dan Gianyar pakan relatif terbatas. Di Propinsi Jawa di Propinsi Bali; Kabupaten Kediri, Timur, daerah Magetan dan Malang Madiun, dan Blitar di Propinsi Jawa merupakan dataran tinggi dengan cukup Timur; dan Kabupaten Tanah Datar ketersediaan pakan. Usaha pembibitan serta Lima Puluh Kota di Propinsi dijumpai di daerah Tuban, Lamongan, Sumatera Barat. dan Probolinggo yang merupakan
Pengumpulan Data dataran rendah. Usaha pembibitan
M e t o d e p e n g u m p u l a n d a t a relatif tidak memerlukan banyak pakan meliputi: Metode Wawancara, Metode dibandingkan usaha penggemukan yang Studi Catatan (Eksplorasi Data memerlukan lebih banyak pakan karena
p a k a n r e l a t i f b a n y a k t e r u t a m a skala usaha pemeliharaan sapi di Kabupaten Agam, yang menjadi daerah pertanian intensif disebabkan Kawasan Agropolitan Sapi Potong. peternakan merupakan usaha yang S e c a r a n a s i o n a l t e r d a p a t dikelola oleh rumah tangga petani pemetaan pembibitan pedesaan sapi dengan modal, tenaga kerja, dan potong (Dirjen. Peternakan, 1998). m a n a j e m e n t e r b a t a s . K e c i l n y a Sumber bibit sapi Bali terutama di pemilikan ternak juga karena umumnya daerah Sulawesi Selatan, NTT, NTB, usaha pembibitan atau penggemukan dan Bali (khususnya pulau Nusa merupakan usaha sampingan, selain Peninda), serta daerah sumber bibit usaha tani utama, seperti padi, baru, yaitu Sulawesi Tenggara dan palawija, sayuran, atau tanaman Sumatera Selatan. Daerah sumber bibit perkebunan. Besarnya skala usaha di sapi Madura adalah di pulau Madura. daerah pertanian ekstensif disebabkan Daerah sumber bibit Sumba Ongole c u k u p t e r s e d i a r u m p u t u n t u k adalah Sumba, sedangkan PO adalah penggembalaan, sehing-ga kebutuhan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY. tenaga kerja dan biaya pakan relatif S u m a t e r a B a r a t s e b a g a i p u s a t rendah dan bahkan zero cost (Dirjen. pengembangan Sapi Pesisir (Muchtar, Peternakan, 2004; Hadi dan Ilham, 2006) dan Sapi Hissar di Kec. Moyo 2002).
Utara dan Moyo Hilir Kab. Sumbawa, Pemilihan Bangsa Sapi
NTB (Muthalib, 2006). Pemilihan bangsa sapi berkaitan
Skala Usaha dengan permintaan bakalan untuk
Skala pemilikan ternak sapi pada usaha penggemukan (Sodiq, 2006. pola alami umumnya lebih besar Komunikasi Pribadi; Hadi dan Ilham, dibandingkan dengan pola takalami. 2002). Di sebagian besar wilayah Peternak di Sumbawa NTB yang Indo-nesia, populasi sapi Peranakan melaksanakan pola alami umumnya Ongole masih sangat dominan karena mengusahakan ternak dengan jumlah p a d a a w a l n y a d a e r a h t e r s e b u t kepemi-likan di atas 10 ekor. merupakan basis lokasi pengembangan Sebaliknya, peternak di Lombok NTB, bangsa sapi tersebut. Namun di Bali, Jawa Timur, dan Sumatera Barat, beberapa daerah, seperti Bali dan Nusa yang menerapkan pola takalami, Tenggara Barat, sapi Bali mendapatkan umumnya skala kepemilikan di bawah porsi yang lebih dominan. Hal ini lima ekor. t e r j a d i d e n g a n p e r t i m b a n g a n
Jumlah kepemilikan induk sapi mempertahankan plasma nutfah sapi untuk pembibitan umumnya sangat Bali di kedua propinsi tersebut. Di Jawa kecil. Di daerah pertanian intensif, Timur muncul kecenderungan peternak seperti di Kabupaten Madiun, Kediri, u n t u k m e m - p e r k e n a l k a n s a p i Gianyar, Bangli, Tanah Datar, dan Lima p e r s i l a n g a n a n t a r a P O d e n g a n Puluh Kota, kepemilikan sapi induk S i m m e n t a l m a u p u n L i m o u s i n e , berkisar satu-tiga ekor/petani. Di meskipun masih terbatas pada usaha daerah dengan pola pemeliharaan sapi p e n g g e m u k a n . P e r - t i m b a n g a n s e c a r a e k s t e n s i f a t a u d i l e p a s , peternak memilih sapi persilangan pemilikan sapi potong dapat mencapai adalah kemampuan penambahan bobot ratusan ekor, seperti di Kabupaten badan yang cepat dan harga jual yang Sumbawa. Hal yang serupa dilaporkan lebih tinggi.
hasil persilangan umumnya mampu t i n g g i , s e p e r t i S i m m e n t a l d a n memberi-kan hasil lebih baik pada Limousine, yang perkawinannya hanya turunan F1-nya. Hal ini disebabkan dapat dilakukan melalui IB.
munculnya sifat heterozigot dominan. Pada daerah pertanian ekstensif, Pada sapi PO, dengan pakan hijauan perkawinan alami lebih dominan yang baik dan pakan penguat yang daripada IB karena pejantan cukup mencukupi, sukar untuk memberikan tersedia dan terbatasnya pelayanan IB. hasil PBBH lebih dari 0,7 kg. Namun, Jenis sapi yang dikembangkan adalah dengan kondisi pakan yang sama untuk Sapi Bali dan Sapi Hisar di Nusa sapi persilangan PO dengan Simmental, Tenggara Barat - Sumbawa. Angka mampu memberikan nilai PBBH di atas rasio pelayanan kawin per kebuntingan satu kg. Bestari et al. (1998) pada IB masih cukup tinggi, yang melaporkan bahwa sapi silangan PO menunjukkan kurang berhasilnya IB. d e n g a n S i m m e n t a l m e m i l i k i Penyebab tingginya angka S/C (Service pertumbuhan lebih baik dibandingkan per Conception) antara lain: petani hasil silangan PO dengan Limousine, terlambat mendeteksi saat berahi atau PO dengan Charolouis maupun PO, terlambat melaporkan berahi sapinya dengan bobot badan masing-masing kepada petugas inseminator, adanya 176, 171, 150, dan 116 kg pada umur kelainan pada alat reproduksi induk 120 hari. sapi, inseminator kurang terampil, Pergeseran minat peternak fasilitas pelayanan inseminasi terbatas, dalam peng-gemukan sapi lokal ke dan kurang lancarnya transportasi. sapi bakalan Peranakan Simmental juga Keberhasilan kebuntingan sapi didorong oleh beberapa faktor (Hadi i n d u k b i a s a n y a d i c a p a i d e n g a n dan Ilham, 2002) yaitu adanya frekuensi inseminasi sebanyak dua-pergeseran minat jagal atau pedagang tiga kali, bahkan dapat mencapai empat ke arah bangsa sapi Peranakan kali. Di Kabupaten Tanah Datar dan Simmental karena dapat memberikan Lima Puluh Kota, banyak ditemukan keuntungan finansial jauh lebih besar, kejadian frekuensi inseminasi hingga tersedianya bahan pakan ternak lokal tiga kali. Analisis terhadap realisasi yang memadai sepanjang tahun baik kegiatan IB pada 10 pos pelayanan IB kuantitas dan kualitas, serta adanya d i K a b u p a t e n T a n a h D a t a r lomba atau kontes keunggulan sapi menunjukkan adanya keragaman. Hal yang diadakan pemerintah sekali setiap t e r s e b u t m e n c e r m i n k a n m a s i h tahun, yang dapat meningkatkan harga kurangnya pemasyarakat-an dan sapi yang menang dan mengharumkan kinerja inseminator pada pos IB ter-nama peternaknya. sebut, ditambah lagi karena terjadi
bencana alam, sehingga menyulitkan Reproduksi dan Sistem Perkawinan
bagi peternak untuk melapor ke Pada daerah pertanian intensif,
petugas IB. Inse-minasi Buatan (IB) cenderung
Nilai rerata S/C di Sumatera makin populer karena terbatasnya sapi
Barat sebesar 1,2; sedangkan di Bali pejantan unggul. Umumnya, bangsa
mencapai 1,21. Provinsi Jawa Timur sapi yang digunakan adalah PO baik
d e n g a n p r o g r a m “ I n t a n S e j a t i induk maupun semennya, sehingga
(Inseminasi Buatan Satu Juta Akseptor terjadi kecenderungan peningkatan
Sapi)” telah mencapai S/C sebesar permintaan terhadap sapi bakalan
1,29 dan CR (Conception Rate) peranakan bangsa sapi berproduktivitas
induk bunting tujuh bulan selama tiga E x t e r n a l I n p u t S u s t a i n a b l e bulan pada sapi program IB mampu Agriculture” (Dirjen. Bina Produksi memperpendek calving interval, Peternakan, 2002). Konsep tersebut meningkatkan bobot lahir, dan bobot juga dilaporkan beberapa peneliti lain, badan. Peneliti lain melaporkan, seperti Pezo dan Devendra (2004), perbaikan reproduksi dan peningkatan Devendra (1993), Shelton (2000), dan keberhasilan IB sapi potong melalui Leng (1997).
pemberian pakan tambahan pada induk B a s u n o ( 2 0 0 4 ) bunting dan setelah beranak (Panjaitan m e r e k o m e n d a s i k a n u n t u k P u l a u et al., 1998) dan melalui pemberian Lombok dan Sumbawa di NTB serta pakan konsentrat tambahan selama dua Pulau Bali perlu sistem usaha yang bulan sebelum dan sesudah beranak lebih intensif didukung pengembangan (Putu et al., 1998). pakan secara besar-besaran dan berkelanjutan, baik melalui penanaman Pemeliharaan Ternak
jenis pakan bermutu tinggi, menggali D i K a b u p a t e n S u m b a w a
potensi lokal maupun pemanfaatan (Kelompok Tani Ternak Batu Tau,
limbah dan hasil ikutan pertanian. Kelurahan Seketeng), pemeliharaan
Diperlukan adanya keterkaitan hijauan sapi dilakukan secara ekstensif tanpa
pakan dengan usahatani melalui sistem pengandangan. Kepemilikan lahan pada
hedgerow secara vegetatif dengan umumnya lebih dari tiga hektar. Ternak
rumput vetiver (Sajimin et al., 1995). umumnya terpusat di sekitar sumber
Program pengembangan pakan hijauan air, yang oleh masyarakat setempat
yang lebih intensif melalui pengolahan disebut Lar. Pakan yang diberikan
limbah shrub legumes dan rerumputan b e n a r - b e n a r t e r g a n t u n g p a d a
pada lahan kosong (Santosa, 2003). ketersediaan alam tanpa ada campur
Pada pemaduan pakan hijauan lokal tangan peternak. Teknologi reproduksi
dengan tanaman pangan, perkebunan, juga sangat sukar untuk dilakukan. Satu
kehutanan, dan padang rumput, Nitis hal menarik yang ada di Kabupaten
(1995) merekomendasikan penerapan Sumbawa adalah adanya kartu ternak
Sistem Tiga Strata (SST) untuk yang berisi identitas masing-masing
menunjang industri peternakan yang ternak. Berdasarkan kartu ternak inilah
berkesinambungan. p e m a n t a u a n p o p u l a s i d a p a t
Di Lombok, Bali, Jawa Timur, dilaksanakan. Menilik kondisi alam
dan Sumatera Barat, hampir semua yang tandus, kering, dan gersang
pemeliharaan sapi dikandangkan dan dengan rerata hanya tiga bulan hujan
lahan produktif diprioritaskan untuk dalam setahun, maka sapi yang
budidaya tanaman pangan. Pemenuhan dibudidayakan harus benar-benar
kebutuhan pakan digunakan complete mampu beradaptasi dengan kondisi
feed dan hijauan diberikan dalam alam tersebut, seperti sapi Bali.
jumlah terbatas. Melalui pendekatan ini Di wilayah Kabupaten Sumbawa
d i h a r a p k a n m u n c u l p a r a d i g m a yang relatif lebih hijau, seperti di
peternakan tanpa lahan, walaupun sekitar Utan dan Alas, pemeliharaan
m a s i h t e r b a t a s p a d a u s a h a sapi terpadu dengan pertanian, yakni
p e n g g e m u k a n . C o m p l e t e F e e d mangga, jambu monyet, atau kelapa.
merupa-kan perpaduan komponen Sistem tersebut merupakan penerapan
pakan penguat dan sumber serat konsep pertanian terpadu dan ramah
sekaligus, sehingga hijauan sudah lingkungan, yang disebut “Low
Usaha penggemukan umumnya Penulis mengucapkan terima meng-gunakan kandang kolektif. Cara kasih kepada Direktur Pengembangan ini dinilai dapat memberi beberapa Peternakan, Direktorat Jenderal keuntungan (Hadi dan Ilham, 2002) Peternakan Republik Indonesia, yang yaitu mendorong saling tukar informasi telah mendanai dan bekerjasama untuk antarpeternak, mempermudah peng- kajian pengembangan sapi potong di awasan terhadap kesehatan dan Indonesia.
perkembangan bobot badan ternak, meningkatkan total skala usaha
DAFTAR PUSTAKA pemeliharaan, dan mencegah terjadinya
Amir, P. and H.C. Knipscheer. 1989. pencurian ternak. Sistem ini telah
Conducting On-Farm Animal dilakukan oleh Kelompok Tani Gangsar
Research. Singapore National Makmur Kab. Kediri, hal serupa juga Printers Ltd., Singapore. 243 pp. ditemukan di Lombok Tengah dan
Basuno, E. 2004. Mengembalikan Barat serta di Propinsi Bali dan Status Wilayah Nusa Tenggara
Sumatra Barat. Sebagai Gudang Ternak. AKP
2(4):354-368.
Bestari, J., A.R. Siregar, Y. Sani, dan P. KESIMPULAN
Situmorang. 1998. Produktivitas Usaha pemeliharaan sapi potong Empat Bangsa Pedet Sapi Potong dengan tujuan kombinasi pembibitan Hasil IB di Kabupaten Agam: Perubahan Bobot Badan Sampai serta penggemukan mendominasi
Umur 120 Hari. Prosiding Seminar peternakan sapi potong di pedesaan.
Peternakan dan Veteriner. Bogor, Skala pemilikan ternak pada pola alami 1-2 Desember 1998. Hal. 181-umumnya lebih besar diban-dingkan 190.
pada takalami. Terjadi pergeseran Bruns, E. 1997. Livestock On-Farm minat peternak dalam penggemukan Trials and Livestock On-Station Trials. Modul of Multidisiplinary sapi lokal ke sapi bakalan Peranakan
Research. Universität George-Simmental, dan perubahan ini perlu
August, Göttingen, Germany. 25 pp. diantisipasi peternak pembibitan
Devendra, C. 1993. Sustainable Animal dengan menyesuaikan usahanya ke
Production From Small Farm arah pembibitan bangsa sapi tersebut. System in South-East Asia. FAO D i d a e r a h p e r t a n i a n e k s t e n s i f , Animal Production and Health P a p e r 1 0 6 ( O n - l i n e ) . perkawinan alami lebih dominan karena
http://www.fao.org Diakses pada 6 pejantan cukup tersedia, sedangkan
Juni 2004. pada pertanian intensif IB makin
Dirjen. Bina Produksi Peternakan. populer. Pola pengembangan yang
2002. Integrasi Ternak Sapi berkelanjut-an melalui penumbuhan dengan Padi. Direktorat Jenderal peternak pembibitan (bakalan) dan Bina Produksi Peternakan, Jakarta.
94 hal. penggemukan (kereman) pada daerah
yang memiliki pola takalami diperlukan, . 2003. Analisis Ekonomi Usaha Sapi untuk meningkatkan populasi sapi
Potong. Direktorat Jenderal Bina p o t o n g d a n s e k a l i g u s m e n j a g a
Produksi Peternakan, Jakarta. 94 kelestarian populasi sapi betina dari hal.
pengurasan.
Dirjen. Peternakan. 1998. Petunjuk Teknis Pengembangan Pembibitan Pedesaan Sapi Potong. Direktorat UCAPAN TERIMA KASIH
. 2005. Statistik
P e t e r n a k a n 2 0 0 5 . D i r j e n . Muthalib, A. 2006. Kebijakan Dinas Peternakan, Jakarta. 141 hal. P e t e r n a k a n N T B d a l a m Haan, C., T.S. Veen, B. Brandenburg, J. P e n g e m b a n g a n S a p i H i s s a r Gauthier, F.L. Gall, R. Mearns, and Sumbawa. Makalah Pertemuan M. Simeon. 2001. Livestock N a s i o n a l P e l e s t a r i a n d a n Development: Implicatons for Pengembangan Plasma Nutfah Rural Poverty, the Environment Indonesia. Yogyakarta, 28-29 and Global Food Security. The Agustus 2006. 8 hal.
I n t e r n a t i o n a l B a n k f o r Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Reconstruction and Development. Ghalia, Jakarta. 622 hal.
Washington. 72 pp.
Nitis, I.M. 1995. Sistem Penyediaan Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem Pakan Hijauan Menunjang Industri dan Prospek Pengembangan Usaha P e t e r n a k a n Y a n g P e m b i b i t a n S a p i P o t o n g d i Berkesinambungan. Prosiding I n d o n e s i a . J u r n a l L i t b a n g Seminar Peternakan dan Veteriner. Pertanian 21(4):148-157. Ciawi, Bogor, 7-8 Nopember Ilham, N., B. Wiryono, I.K. Kariyasa, 1995. Hal. 203-219.
M.N.A. Kirom, dan Sri Hastuti. Panjaitan, T.S., W. Arief, A. Sauki, A. 2001. Analisis Penawaran dan Muzani, I. Basuki, dan A.S. Wahid. Permintaan Komoditas Peternakan 1 9 9 8 . P e n g a r u h P e m b e r i a n U n g g u l a n . L a p o r a n H a s i l Tambahan Pakan Pada Induk Penelitian. Puslitbang Sosial B u n t i n g d a n S e t e l a h Ekonomi Pertanian. Bogor. (Tidak MelahirkanTerhadap Pertumbuhan Dipublikasikan). A n a k , B e r a h i K e m b a l i d a n Junadi, P. 1995. Pengantar Analisis Keberhasilan IB pada Usaha Data. PT Rineka Cipta, Jakarta. Pertanian Sapi Potong di Pulau 139 hal. L o m b o k . P r o s i d i n g S e m i n a r Peternakan dan Veteriner. Ciawi, King, J.M. 1997. Livestock Production Bogor, 1-2 Desember 1998. Hal.
System in the Tropics and 279-286. Subtropics. Modul of Integrated
Agriculture System. Universität Pezo, D. and C. Devendra. 2004. The G e o r g e - A u g u s t , G ö t t i n g e n Relevance of Crop Animal Systems Germany. 105 pp. i n S o u t h - E a s t A s i a .
F A O P u b l i c a t i o n . ( O n - l i n e ) . Leng, R.A. 1997. Tree Foliage in http://www.fao.org Diakses pada
Ruminant Nutrition. FAO Animal 10 Agustus 2004. Production and Health Paper 139.
(On-line) http://www.fao.org Putu, I.G., P.Situmorang, A. Lubis, T.D. Diakses pada 6 Juni 2004. Chaniago, E. Triwulaningsih, dan T. Sugiharti. 1998. Pengaruh Mack, S. 1990. Strategies for Pemberian Pakan Konsentrat sustainable animal agriculture in Tambahan Selama Dua Bulan developing countries. Proceedings Sebelum dan Sesudah Kelahiran of the FAO Expert Consultation. Terhadap Performan Produksi dan Rome, Italy 10-14 December Reproduksi Sapi Potong. Prosiding 1 9 9 0 . ( O n - l i n e ) . Seminar Peternakan dan Veteriner. http://www.fao.org Diakses pada 6 Bogor, 1-2 Desember 1998. Hal.
Juni 2004. 279-286.
Muchtar, B. 2006. Pengembangan Sapi Rahmanto, B. 2004. Analisis Usaha Pesisir Sebagai Plasma Nutfah. Peternakan Sapi Potong Rakyat. Makalah Pertemuan Nasional ICASERD Working Paper No. 59. Pelestarian dan Pengembangan P u s l i t b a n g . S o s i a l E k o n o m i P l a s m a N u t f a h Pertanian, Bogor. 23 hal.
Indonesia.Yogyakarta, 28-29
Agustus 2006. 4 hal. Riwantoro. 2003. Complete Feed: Solusi bagi Permasalahan Pakan
Sajimin, P. Suratmini, dan M.E. Siregar. Sodiq, A. and Y.N. Wakhidati. 2006. 1995. Studi Produksi Hijauan The development of National Pakan dengan Sistem Baris Pagar Beef-Cattle Population in Relation d i N T T . P r o s i d i n g S e m i n a r to Beef-Cattle Population at the Nasional Sains dan Teknologi Centre and Non Centre Area, and Peternakan. Bogor, 25-26 Januari the Policy of National Development 1995. Hal. 277-281. Program. Animal Production
Journal 8(3):182-189. S a n t o s o , I . 2 0 0 3 . P e l u a n g
P e n g e m b a n g a n T e r n a k S a p i Sudardjad, D.S. 2005. Operasional Madura sebagai Plasma Nutfah. P r o g r a m T e r o b o s a n M e n u j u Media Pengembangan Peternakan. Kecukupan Daging Tahun 2005.
13(4):75-78. AKP 1(1):57-61.
Sere, C. and H. Steinfeld. 1996. World Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Livestock Production Systems: Buatan pada Ternak. Angkasa, Current Status, Issues and Trends. Bandung.
FAO Animal Production and Health W i l s o n , R . T . 1 9 9 5 . L i v e s t o c k P a p e r 1 2 7 . ( O n - l i n e ) . Production System. Macmillan http://www.fao.org Diakses pada 6 Education, Ltd., Paris. 141 pp. Juni 2004.
Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2004.Tinjauan Shelton, H.M. 2000. Tropical Forage K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n
Tree Legumes in Agroforestry Agribisnis Sapi Potong. AKP Systems. Unasylva 200(51):25- 2(2):183-203.
32.
Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. Singarimbun, M. dan E. Sofian. 1988. 2003. Profil dan Permasalahan Metode Penelitian Survai. LP3ES. Peternakan. Forum Penelitian Agro Jakarta. 265 hal. Ekonomi 21(1):44-56.
Siregar, A.R., P. Situmorang, J. Bestari, Yusdja, Y., R. Sajuti, S.H. Suhartini, I. Y. Sani, dan R.H. Matondang. 1998. Sadikin, B. Winarso, dan C. Pengaruh Flushing pada Sapi Induk M u s l i m , 2 0 0 4 . P e m a n t a p a n Peranakan Ongole di Dua Lokasi Program dan Strategi Kebijakan yang Berbeda Ketinggiannya pada Peningkatan Produksi Daging Sapi. Program IB di Kabupaten Agam. Laporan Akhir. Puslitbang Sosial Prosiding Seminar Peternakan dan Ekonomi Pertanian, Bogor. 10 hal. Veteriner. Bogor, 1-2 Desember (Tidak dipublikasikan).