• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

37

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alat Bukti Persangkaan Sebagai Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Cerai Gugat (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt)

1. Identitas para Pihak

Berikut ini identitas para pihak dalam perkara nomor 216/Pdt.G/2015/PA.sgt :

a. PENGGUGAT Binti Ayah penggugat, umur 34 Tahun, agama Islam, Pekerjaan Tani, pendidikan SD, tempat tinggal di Dusun I, RT 03, Desa DESA, Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi. Berkedudukan sebagai “penggugat”,

b. TERGUGAT Bin Ayah Tergugat, umur 38 Tahun, agama Islam, pekerjaan Tani, pendidikan SD, tempat tinggal di RT.04, Desa DESA, Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi, berkedudukan sebagai “tergugat”.

2. Duduk Perkara

Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal Sengeti, 09 Juli 2015, yang tercatat di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sengeti pada tanggal 09 Juli 2015, terdaftar dibawah register Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt., yang pada pokoknya telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

a. bahwa pada tanggal 02 April 1998, penggugat dengan tergugat melangsungkan pernikahan yang di catat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi (Kutipan Akta Nikah Nomor I/IIV/1998, tanggal 02 April 1998).

(2)

b. bahwa setelah pernikahan tersebut, penggugat dengan tergugat bertempat tinggal di rumah kediaman bersama di rumah orang tua penggugat di Desa DESA, Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi selama kurang lebih 2 (dua) bulan. Kemudian pindah dan bertempat di kediaman bersama di rumah sendiri di Desa DESA, Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi, selama kurang lebih 6 tahun dan terakhir bertempat kediaman di rumah orang tua penggugat di Desa DESA, Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi sampai terjadi pisah. Selama pernikahan Pengugat dengan Tergugat telah melakukan hubungan layaknya suami istri (ba’da dukhul) dan dikaruniai 2 orang anak yang bernama :

ANAK I, lahir pada tanggal 18 Juni 2000, umur 15 tahun; ANAK II, lahir pada tanggal 13 Juli 2011, umur 4 tahun; c. bahwa ketentraman rumah tangga penggugat dengan Tergugat

mulai goyah kurang lebih sejak bulan Juli tahun 2012, antara penggugat dengan tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh :

Tergugat selingkuh dengan Wanita Idaman Lain (WIL) yang bernama FULANAH, bahkan tergugat telah menikah dengan Wanita Idaman Lain (WIL) tersebut.

d. bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dengan tergugat tersebut terjadi kurang lebih pada bulan Oktober tahun 2014, akibatnya tergugat pergi meninggalkan penggugat dan pulang ke rumah orang tuanya sendiri dengan alamat sebagaimana tersebut di atas selama lebih kurang 8 bulan hingga sekarang. Selama itu sudah tidak ada lagi hubungan baik lahir maupun batin, dan Tergugat sudah tidak lagi memberi nafkah kepada penggugat serta tidak ada suatu peninggalan apapun yang dapat digunakan sebagai pengganti nafkah;

(3)

e. bahwa berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka penggugat tidak ridha dan berniat bercerai dari tergugat;

3. Tuntutan (Petitum) PRIMER :

a. Mengabulkan gugatan penggugat;

b. Menceraikan perkawinan penggugat dengan tergugat; c. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat.

SUBSIDER

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya;

4. Jenis-jenis alat bukti yang diajukan para pihak :

Dalam rangka membuktikan hak-haknya di persidangan, maka para pihak mengajukan alat bukti sebagai berikut :

a. Bukti yang diajukan PENGGUGAT 1) Alat bukti surat :

a) Fotocopy Kutipan Akta Nikah atas nama penggugat dan tergugat yang aslinya dikeluarkan oleh kantor Urusan Agama Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Batang Hari (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Muaro Jambi), Nomor I/IIV/1998, tanggal 02 April 1998, diberi tanda P-1;

b) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama penggugat, Nomor 1505015110810001, Desember 2014, aslinya dikeluarkan Kepala Dinas Kependudukan dan Sipil Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, diberi tanda P-2;

Fotocopy tersebut telah bermaterai dan telah dicocokan sesuai dengan aslinya, maka berlaku sebagai alat bukti yang sah

(4)

2) Alat bukti keterangan Saksi a) Keterangan saksi binti saksi

(1) Bahwa Saksi adalah tetangga penggugat, rumah saksi bersebelahan dengan kediaman penggugat;

(2) Bahwa saksi kenal dengan tergugat, tergugat adalah suami penggugat;

(3) Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar;

(4) Bahwa Saksi sering melihat penggugat dan tergugat bertengkar karena tergugat memiliki wanita idaman lain bernama FULANAH dan kabarnya tergugat sudah menikah dengan wanita tersebut dan telah dikaruniai keturunan;

(5) Bahwa penggugat dan tergugat sudah pisah rumah sejak sekitar 2 tahun lalu;

(6) Bahwa tergugat sekarang tinggal bersama istri baru Tergugat di Desa Muhajirin, desa tersebut bersebelahan dengan desa tempat kediaman penggugat;

(7) Bahwa Setahu saksi, tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada penggugat, Tergugat hanya sesekali memberi uang untuk belanja anak penggugat dan tergugat;

(8) Bahwa pihak keluarga dan saksi sudah berupaya merukunkan penggugat dan tergugat, namun tidak berhasil.

b) Keterangan saksi bin saksi

(1) Bahwa saksi adalah abang ipar penggugat, karenanya kenal dengan penggugat dan tergugat;

(5)

(2) Bahwa saksi kenal dengan tergugat, tergugat adalah suami penggugat;

(3) Bahwa rumah tangga penggugat dan pergugat sudah tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar;

(4) Bahwa saksi tidak pernah melihat penggugat dan tergugat bertengkar. Saksi mengetahui pertengkaran antara penggugat dan tergugat dari cerita penggugat; (5) Bahwa pertengkaran penggugat dan tergugat

disebabkan tergugat memiliki hubungan dengan wanita lain dan kabar dari warga setempat, tergugat sudah menikah dengan wanita tersebut;

(6) Bahwa penggugat dan tergugat sudah pisah rumah lebih dari satu tahun;

(7) Bahwa penggugat sekarang tinggal bersama kedua orang tua penggugat, namun saksi tidak tahu di mana tergugat tinggal;

(8) Bahwa pihak keluarga sudah berupaya merukunkan penggugat dan tergugat, namun tidak berhasil.

b. Bukti yang diajukan TERGUGAT

Bahwa, Majelis Hakim telah memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan bukti-bukti di persidangan, akan tetapi tergugat menyatakan tidak mengajukan alat bukti apapun di persidangan;

5. Amar Putusan :

MENGADILI a. Mengabulkan gugatan Penggugat;

b. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra tergugat (tergugat) terhadap penggugat (penggugat);

(6)

c. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Sengeti untuk mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi, untuk dicatat dalam daftar yang telah disediakan untuk itu;

d. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Sengeti untuk mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi, untuk dicatat dalam daftar yang telah disediakan untuk itu;

e. Membebankan kepada penggugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp 441.000,00 (empat ratus empat puluh satu ribu rupiah).

B. Kekuatan Pembuktian Persangkaan Sebagai Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Cerai Gugat Studi Putusan Pengadilan Agama Sengeti Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt.

1. Kekuatan Pembuktian Persangkaan

Pembuktian adalah suatu pernyataan tentang hak atau peristiwa di dalam persidangan apabila disangkal oleh pihak lawan dalam suatu perkara, harus dibuktikan tentang kebenaran dan keabsahannya. Supomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Di dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apabila tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan (Gatot Supramono, 1993:15).

Menurut D.Simons (dalam Andi Hamzah, 2004:174) pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang

(7)

dikemukakan dalam suatu persengketaan. Pembuktian hanya diperlukan dalam berperkara dimuka hakim atau pengadilan. Tujuan pembuktian ialah mencari dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang ada dalam perkara itu, bukan semata-mata mencari kesalahan seseorang.

Menurut Sudikno Mertokusumo (2009: 127-128) terminologi ‘membuktikan’ mempunyai beberapa arti, yakni :

a. Logis, yakni memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

b. Konvensional, yakni membuktikan tidak hanya memberikan kepastian mutlak saja, melainkan kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan :

a) kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime.

b) kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

c) Yuridis, memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Pembuktian merupakan hal penting, terlebih bagi hakim. Pada proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya akan ditolak dan apabila berhasil gugatanya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak

(8)

perlu dibuktikan lagi. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak pihak penggugat atau sebaliknya, yaitu pihak tergugat (Deasy Soeikromo, 2014: 126-127).

Hakim menetapkan hukum berdasarkan alat-alat bukti yang ada. Hakim memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara. Hakim melihat, mengakui dan membenarkan peristiwa yang diajukan untuk memperoleh kepastian peristiwa (mengkonstatir), hakim memberikan pertimbangan tentang benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya guna menjatuhkan putusan. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Penekanan pembuktian terdapat pada beban pembuktian terhadap suatu hak dan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu yang ada dalam suatu kehidupan bermasyarakat dalam hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya seringkali dapat dijadikan bukti dalam suatu perkara di pengadilan (Sarwono, 2011: 236-237). Beban pembuktian umumnya terdapat pada hak dan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami dan dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dalam hubungan hukum di dalam masyarakat antara pihak yang satu dengan pihak lain yang saling berkaitan.

Hal ini dijelaskan pada Pasal 1865 KUH Perdata yang berbunyi: Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hal atau peristiwa tersebut. Pasal 163 HIR berbunyi: Barangsiapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak atau

(9)

menyebutkan sesuatu hak atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pihak yang mendalilkan sesuatu, tidak hanya membuktikan peristiwa atau kejadian saja, tetapi juga membuktikan hak.

Praktik hukum acara perdata, beban pembuktian terletak pada suatu hak dan kejadian yang disangkal oleh pihak lawan, sedangkan yang tidak disangkal oleh pihak lawan tidak harus dibuktikan karena beban pembuktian yang tidak disangkal oleh pihak lawan umumnya kebenaran dan keabsahan terhadap suatu hak dan kejadian yang telah diakui oleh para pihak yang bersengketa, sehingga pembuktiannya tidak dipermasalahkan. Pada perkara perceraian sebagian besar praktisi dalam praktiknya tetap membebankan pembuktian, meskipun gugatan telah diakui secara murni dan bulat, hal ini dikarenakan untuk memenuhi azas mempersulit perceraian sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Angka 4 huruf e dan untuk menghindari kemungkinan adanya pengakuan pura-pura karena motif persepakatan cerai yang tidak dianut dan tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Segala apa yang dapat dianggap diketahui oleh umum (Notoir Feiten) tidak memerlukan pembuktian (Subekti, 2005: 12). Hal-hal yang secara kebetulan diketahui oleh hakim secara pribadi tidak termasuk dalam pengertian fakta yang diketahui oleh umum dan segala sesuatu yang dilihat oleh hakim dalam persidangan tidak perlu dibuktikan.

Hukum acara perdata telah mengatur alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan. Hakim terikat oleh alat bukti tersebut,

(10)

hakim wajib memberikan pertimbangan berdasarkan alat-alat bukti yang ada di persidangan dalam menjatuhkan putusan.

Hukum pembuktian dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg, serta Burgerlijk Wetboek buku IV. Alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata diatur secara enumeratif dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, dan Pasal 1866 KUH Perdata (Burgerlijk wetboek) yang terdiri dari :

a. Bukti tulisan; b. Saksi; c. Pengakuan; d. Persangkaan; e. Sumpah.

Serta terdapat dua alat bukti yang tidak tercantum dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR, antara lain :

a. Pemeriksaan setempat yang diatur dalam Pasal 153 HIR atau Pasal 180 R.Bg, dan

b. Keterangan ahli yang diatur dalam Pasal 154 HIR atau Pasal 181 R.Bg.

Pemeriksaan setempat menjadi penting untuk membuktikan kejelasan dan kepastian tentang lokasi, ukuran dan batas-batas objek sengketa dan memperjelas objek gugatan serta menghindari objek barang yang akan dieksekusi tidak jelas dan tidak pasti. Sedangkan keterangan ahli merupakan orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu.

Para pihak yang berperkara di Pengadilan dapat mengajukan alat-alat bukti yang memiliki nilai pembuktian. Alat-alat-alat bukti tersebut bermacam-macam bentuk dan jenis yang mampu memberikan keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di

(11)

Pengadilan. Tidak terkecuali para pihak yang berperkara dalam Pengadilan Agama, seperti halnya dalam perkara perceraian.

Sepanjang praktik persidangan di Pengadilan Agama dijumpai perkara perceraian. Perceraian merupakan bagian dari dinamika rumah tangga, meskipun tujuan perkawinan bukanlah perceraian. Perceraian merupakan sunnatullah dengan penyebab yang berbeda-beda (Beni Ahmad Saebani, 2008: 47). Perkawinan sendiri diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Menurut hukum adat suatu perkawinan merupakan urusan karabat atau urusan masyarakat, urusan pribadi atau sama lain dalam hubungan yang berbeda-beda, atau merupakan salah satu cara untuk menjalankan upacara-upacara yang banyak corak ragam menurut tradisi masing-masing (Halimah, 2015: 4).

Perkawinan merupakan penyatuan dua kepala, sifat, kebiasaan dan latar belakang dua manusia yang berbeda. Perselisihan, pertentangan dan konflik dalam rumah tangga merupakan suatu yang terkadang tidak bisa terhindarkan. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dimaksudkan untuk membentuk keluarga yang kekal dan abadi, namun dalam realitanya banyak perkawinan yang tidak mampu mencapai tujuan tersebut.

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahum 1974 dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena 3 (tiga) hal yaitu :

a. Kematian; b. Perceraian, dan

(12)

c. Atas putusan pengadilan.

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemandat, penjudi, dan lain sebagainya;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mengancam jiwa pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar disembuhkan sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

f. Serta antara suami atau isteri terjadi perselisihan dan pertengkarang terus-menerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan;

Menurut Fauzi (2006: 3), salah satu alasan dalam mengajukan perceraian ialah ketidakharmonisan dalam berumah tangga. Ketidakharmonisan dalam berumah tangga merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain.

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak serta untuk melakukan

(13)

perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. Perceraian menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dibenarkan, namun, tidak dapat dilakukan semena-mena.

Pihak-pihak yang berperkara wajib membuktikan kebenaran dari dalil-dalil yang dikemukakannya. Pembuktian dapat dilakukan dengan mengajukan alat-alat bukti yang diatur pada Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, dan Pasal 1865 KUH Perdata. Alat bukti tersebut meliputi bukti tulisan, saksi, pengakuan, persangkaan dan sumpah.

Pemeriksaan alat bukti dilakukan sesuai dengan urutan alat bukti dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, dan Pasal 1866 KUH Perdata. Pemeriksaan dilakukan terhadap alat bukti apa saja yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Apabila pemeriksaan bukti tulisan telah selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi. Saksi dalam perkara perdata diajukan untuk menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang hakim. Saksi-saksi tersebut ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim. Namun, ada pula saksi yang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan (Subekti, 1989: 100).

Dalam praktik persidangan pengadilan umumnya saksi yang dipergunakan untuk memperkuat adanya pembuktian adalah dua orang saksi. Maksud dan tujuan dipergunakannya dua orang saksi dalam suatu perkara adalah agar hakim dapat mencocokkan keterangan-keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lainnya ada kesamaan atau tidak (Sarwono, 2011: 255-256).

Seorang saksi akan menerangkan tentang apa yang dilihat, didengar dan dialaminya, kesaksian tersebut harus disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan. Menurut Pasal 169

(14)

HIR, Pasal 306 RBG, keterangan seorang saksi saja tanpa suatu alat bukti lain tidak boleh dipercaya di muka pengadilan. Asas dari kesaksian ini adalah Unus Testis Nullus Testis, satu saksi bukan saksi. Jika suatu dalil dibantah di muka pengadilan, sedangkan pihak yang mengemukakan dalil itu hanya dapat mengajukan satu orang saksi tanpa bukti lainnya, maka hakim tidak boleh menganggap dalil tersebut terbukti. Aturan tersebut tidak melarang hakim untuk mengangap suatu peristiwa yang tidak didalilkan terbukti dengan keterangan seorang saksi.

Apabila keterangan satu orang saksi dapat dipercayai oleh hakim, barulah dapat menjadi alat bukti yang sempurna jika dilengkapi dengan alat bukti lain (Achmad Ali dan Wiwie H, 2012: 93). Berdasarkan Pasal 171 HIR dan Pasal 1970 KUH Perdata, keterangan yang diberikan seorang saksi di persidangan harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dan sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum.

R. Soesilo (1980 : 7) menyatakan bahwa kesaksian harus didengar, dilihat dan dialami sendiri disertai alasan-alasan pengetahuannya. Kesaksian yang hanya berdasarkan cerita orang lain atau hanya merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri saja cukup. Selanjutnya untuk dianggap sah harus dikemukakan di depan persidangan pengadilan, bukan dihadapan polisi, jaksa, kecuali ditentukan undang-undang lain, serta saksi tersebut harus disumpah terlebih dahulu.

Atas kesaksian yang hanya berdasarkan orang lain, menurut Andi Hamzah (2008) perlu didengar keterangannya oleh hakim, walaupun tidak memiliki nilai sebagai alat bukti melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti petunjuk yang penilaiannya diserahkan kepada hakim.

(15)

Berdasarkan perkara cerai gugat dalam Putusan Pengadilan Agama Sengeti Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt. Penggugat mengajukan cerai gugat terhadap Tergugat di Pengadilan Agama Sengeti, dengan alasan ketentraman rumah tangga antara penggugat dan tergugat mulai goyah akibat perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi. Perselisihan dan pertengkaran tersebut disebabkan oleh perselingkuhan tergugat dengan wanita idaman lain, bahkan tergugat telah menikah dengan wanita idaman lain tersebut.

Mengacu pada Pasal 1866 KUH Perdata, alat bukti yang sah adalah mencakup alat bukti surat, saksi, pengakuan, persangkaan, sumpah. Proses pemeriksaan perkara cerai gugat terkait dengan Putusan Pengadilan Agama Sengeti Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt, untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan dalam persidangan, penggugat mengajukan dua alat bukti tulisan dan dua alat bukti saksi.

Alat bukti surat tersebut, meliputi :

a. Fotocopy Kutipan Akta Nikah atas nama penggugat dan tergugat yang aslinya dikeluarkan oleh kantor Urusan Agama Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Batang Hari (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Muaro Jambi), Nomor I/IIV/1998, tanggal 02 April 1998;

b. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama penggugat, Nomor 1505015110810001, Desember 2014, aslinya dikeluarkan Kepala Dinas Kependudukan dan Sipil Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

Penggugat juga mengajukan 2 alat bukti saksi, yaitu :

a. Saksi binti saksi di bawah sumpah memberikan kesaksian sebagai berikut :

1) Bahwa saksi adalah tetangga penggugat, rumah saksi bersebelahan dengan kediaman penggugat;

(16)

2) Bahwa saksi kenal dengan tergugat, tergugat adalah suami penggugat;

3) Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar;

4) Bahwa saksi sering melihat penggugat dan tergugat bertengkar karena tergugat memiliki wanita idaman lain bernama FULANAH dan kabarnya tergugat sudah menikah dengan wanita tersebut dan telah dikaruniai keturunan;

5) Bahwa penggugat dan tergugat sudah pisah rumah sejak sekitar dua tahun lalu;

6) Bahwa tergugat sekarang tinggal bersama istri baru tergugat di Desa Muhajirin, desa tersebut bersebelahan dengan desa tempat kediaman penggugat;

7) Bahwa setahu saksi, tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada penggugat, tergugat hanya sesekali memberi uang untuk belanja anak penggugat dan tergugat;

8) Bahwa pihak keluarga dan saksi sudah berupaya merukunkan penggugat dan tergugat, namun tidak berhasil.

b. Saksi bin saksi di bawah sumpah memberikan kesaksian sebagai berikut :

1) Bahwa saksi adalah abang ipar penggugat, karenanya kenal dengan penggugat dan tergugat;

2) Bahwa saksi kenal dengan tergugat, tergugat adalah suami penggugat;

3) Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar;

4) Bahwa saksi tidak pernah melihat penggugat dan tergugat bertengkar. Saksi mengetahui pertengkaran antara penggugat dan tergugat dari cerita penggugat;

(17)

5) Bahwa pertengkaran penggugat dan tergugat disebabkan tergugat memiliki hubungan dengan wanita lain dan kabar dari warga setempat, tergugat sudah menikah dengan wanita tersebut;

6) Bahwa penggugat dan tergugat sudah pisah rumah lebih dari satu tahun;

7) Bahwa penggugat sekarang tinggal bersama kedua orang tua penggugat, namun saksi tidak tahu di mana tergugat tinggal; 8) Bahwa pihak keluarga sudah berupaya merukunkan penggugat

dan tergugat, namun tidak berhasil.

Dalam keterangannya saksi binti saksi (saksi I) penggugat memberi kesaksian bahwa pernah melihat pertengkaraan antara penggugat dengan tergugat, sedangkan saksi bin saksi (saksi II) penggugat memberi kesaksian bahwa saksi II penggugat tidak pernah melihat pertengkaran antara penggugat dengan tergugat, melainkan hanya mendengar cerita dari penggugat. Kesaksian saksi bin saksi disebut kesaksian de auditu.

Testimonium de auditu adalah keterangan yang diberikan oleh saksi terkait suatu peristiwa, bukan berdasarkan penglihatan maupun pendengaran langsung, melainkan mendengar dari orang lain, yang disebut juga kesaksian tidak langsung (M. Yahya Harahap, 2013:661). Testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir. Mengenai kesaksian keterangan dari pendengaran, hakim tidak dilarang untuk menerimanya, yang dilarang ialah jika saksi itu menarik kesimpulan-kesimpulan atau menurut istilah Pasal 171 (2) HIR, Pasal 308 (2) RBG memberikan “pendapat atau perkiraan-perkiraan” (Subekti, 1989: 106).

(18)

Kesaksian de auditu sifatnya hanyalah menerangkan dan atau menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya didengar dari orang tua atau orang lain dan tidak disumpah, maka keterangan yang diberikan bukanlah merupakan alat bukti saksi, sedangkan keterangan dan atau penjelasan yang didengar dari orang tua atau orang lain umumnya dalam praktik hanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap perkara para pihak yang bersengketa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 145 ayat (4) HIR.

Jika ada beberapa orang saksi yang masing-masing menerangkan bahwa mereka mendengar dari tergugat atau penggugat bahwa ia telah melakukan perbuatan hukum tertentu, maka dapat dimengerti hakim tidak boleh menganggap perbuatan hukum tersebut terbukti, sebab jumlah dari berbagai keterangan yang masing-masing kosong itu, masih tetap nihil. Meskipun kesaksian de auditu itu kosong, ia juga dapat mempunyai arti misalnya sebagai alasan untuk mempercayai suatu keterangan lain yang berisi, misalnya untuk menyusun suatu persangkaan.

Praktik Peradilan Agama Sengeti kesaksian de auditu atau yang disebut saksi istifadhoh, banyak digunakan saksi keluarga dan tidak harus mengetahui secara langsung peristiwa yang didalilkan. Berdasarkan penjelasan tersebut kesaksian testimonium de auditu jelas tidak memenuhi syarat kesaksian dan tidak bisa digunakan sebagai alat bukti langsung, namun kesaksian de auditu dapat dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden) dengan pertimbangan yang objektif dan rasional, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung No. 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959, yang menjelaskan bahwa putusan tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukti. Untuk menghindari larangan tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi,

(19)

tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan. Oleh karena itu, hakim dalam perkara Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt tidak menggunakan kesaksian de auditu saksi II penggugat sebagai alat bukti langsung, dengan menelaah kesaksian de auditu secara objektif dan rasional hakim mengkonstruksikannya sebagai alat bukti persangkaan hakim atau kenyataan.

Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menepati urutan keempat dari lima alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBG Pasal 310 dan KUH Perdata yang ditempatkan pada buku keempat, bab empat dan memuat delapan pasal, yaitu Pasal 1915-1922 KUH Perdata.

Pengaturan persangkaan baik dalam HIR ataupun RBG hanya memuat satu pasal saja dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya dalam persidangan, sehingga dirasa kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomi adalah yang terdapat dalam KUH Perdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922.

Pasal 1915 KUH Perdata, persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau hukum atau oleh hakim dari peristiwa yang jelas atau terang ke arah peristiwa yang belum terang atau jelas. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan (Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, 1997: 90).

Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih

(20)

kongkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui. Persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi dari buku atau fakta langsung tersebut (Subekti, 2005: 45).

Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantara alat bukti atau fakta lain, sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor kepada alat bukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya tidak tepat dimaksudkan sebagai alat bukti. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa persangkaan merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti lain dalam penggunaannya (M Yahya Harahap, 2013: 686). Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa persangkaan adalah tetap merupakan sebuah alat bukti dan pencantuman di dalam HIR, RBG dan KUH Perdata adalah tepat. Pendapat ini didasarkan pada Pasal 164 HIR dan 1866 KUH Perdata yang menyatakan secara tegas bahwa bukti persangkaan adalah alat bukti, meskipun dengan penegasan bahwa persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.

Persangkaan meskipun tidak memiliki bukti fisik langsung, tetapi memiliki fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara (intermediary) dalam setiap pembuktian. Fungsi dan peranannya adalah mengantarkan alat bukti dan pembuktian kearah yang lebih kongkret mendekati kepastian (Dedhi Supriadhy dan Budi Ruhiatudin, 2008: 143).

Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG, tidak mengatur mengenai klasifikasi alat bukti persangkaan. Akan tetapi, KUH Perdata mengatur klasifikasi bentuk dan jenis persangkaan. Hal ini diatur

(21)

dalam Pasal 1915 KUH Perdata, persangkaan tersebut dibagi menjadi dua, yakni persangkaan undang-undang dan persangkaan hakim. Dibawah ini akan dijelaskan tentang kedua persangkaan tersebut :

a. Persangkaan Hukum atau Undang-Undang (wettelijke vermoeden) Kesimpulan yang ditarik oleh Undang-Undang dari peristiwa yang jelas kearah peristiwa yang belum terang atau jelas, yang berdasarkan suatu ketentuan khusus yang ada didalam Undang-Undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.

b. Persangkaan Hakim atau Kenyataan (Rechtelijk vermoeden)

Kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari peristiwa yang jelas kearah peristiwa yang belum terang atau jelas. Persangkaan hakim disimpulkan oleh hakim berdasarkan peristiwa hukumnya dalam perkara. Alat bukti persangkaan akan diterapkan oleh hakim apabila ternyata dalam perkara yang ditangani oleh pengadilan ternyata tidak ada alat bukti saksi yang mendengar, mengalami, dan menyaksikan langsung terjadinya peritiwa hukum yang dialami oleh para pihak yang sedang berperkara (Sarwono, 2011:271).

Praktik alat bukti persangkaan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam hal menentukan putusan. Pertimbangan putusan diawali dengan adanya persangkaan saja tidaklah cukup harus ada persangkaan-persangkaan lain yang berhubungan dengan peristiwa hukumnya, sehingga dari beberapa persangkaan yang saling berhubungan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim untuk menentukan siapakah yang salam dalam suatu perkara.

Alat bukti masuk dalam persangkaan atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau

(22)

mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan atau sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan (Sudikno Mertokusumo, 2009: 179-180).

Berdasarkan Pasal 1916 KUH Perdata yang termasuk persangkaan menurut undang-undang umumnya dalam hubungan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya terjadi suatu sengketa dan penyelesaiannya diserahkan ke pengadilan, kemudian timbul persangkaan-persangkaan dari suatu peristiwa hukum yang sebelum terjadinya perkara telah ada perjanjian secara tertulis antara kedua belah pihak yang sedang berperkara yang dibuat secara sah. Adanya perjanjian dalam hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya atau antara pihak penggugat dengan pihak tergugat akan melahirkan perikatan yang dapat mengikat kepada para pihak yang telah menyepakati adanya perjanjian dan kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang.

Cara menarik persangkaan yang memenuhi syarat formal, yaitu bertitik tolak dari data atau fakta yang telah terbukti dalam persidangan, untuk mengungkap fakta yang belum diketahui dengan cara menarik kesimpulan dari fakta yang telah ada dan terbukti tersebut. Hakim dalam persidangan harus pandai dan jeli membuat membuat pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjebak salah satu pihak yang berperkara (Sarwono, 2011: 271). Adanya jawaban dari pertanyaan tersebut dan saling berhubungan erat, maka hakim akan dapat menarik kesimpulan atas persangkaan atau dugaan-dugaannya.

Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR ditentukan bahwa, persangkaan saja yang tidak berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang tertentu hanya harus diperhatikan oleh hakim waktu menjatuhkan putusan, jika persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan.

(23)

Persangkaan-persangkaan atau vermoedens merupakan alat bukti pelengkap atau accessory evidence. Artinya, persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti (Eddy O.S Hiariej, 2012: 81).

Hakim dalam memberikan putusan tidak diperbolehkan hanya berdasarkan alat bukti persangkaan saja, tetapi harus disertai dengan bukti-bukti lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang yang ada. Bukti-bukti lain tersebut harus saling berhubungan satu sama lain dengan peristiwa hukum yang menjadi objek sengketa dari para pihak yang berperkara.

Hakim apabila dalam putusannya hanya berdasarkan pada satu persangkaan saja, maka bukti tersebut secara yuridis belum sempurna. Suatu putusan pengadilan yang hanya berdasarkan satu persangkaan saja, maka alat bukti tersebut secara yuridis sangatlah lemah atau tidak sempurna karena tidak adanya alat bukti persangkaan lain (Sarwono, 2011: 272).

Berdasarkan Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, dan Pasal 1866 KUH Perdata (Burgerlijk wetboek), persangkaan merupakan alat bukti yang sah dalam perkara perdata dan memiliki kekuatan pembuktian, nilai kekuatan pembuktian persangkaaan udang-undang adalah sempurna, mengikat dan menentukan (volledig, bindende dan beslissende), sedangkan persangkaan hakim atau kenyataan merupakan bukti bebas (vrijbewjiskracht), yaitu kekuatan pembuktian diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Pasal 1922 KUH Perdata, persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim yang hanya boleh memperlihatkan persangkaan yang penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain. Persangkaan yang demikian

(24)

hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana Undang-Undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila diajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan adanya iktikad buruk atau penipuan.

Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt menggunakan persangkaan hakim atau kenyataan. Persangkan hakim atau kenyataan memiliki kekuatan pembuktian yang bebas, yaitu diserahkan kepada petimbangan hakim. Majelis hakim dalam perkara perceraian ini mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dipersidangan, salah satunya saksi II penggugat memiliki hubungan dekat dengan penggugat, selain mengetahui dari cerita penggugat, saksi II penggugat juga mengetahui langsung dari keterangan warga setempat bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran. Majelis Hakim meyakini keterangan yang didapat dari warga setempat bukan merupakan rekayasa. Dikarenakan keterangan saksi saling berkaitan, logis dan sesuai dengan peristiwa yang diuraikan oleh penggugat, serta diperkuat pengakuan tergugat dipersidangan Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat.

2. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Perkara Cerai Gugat Berdasarkan ketentuan Pasal 283 R.Bg, penggugat wajib membuktikan dalil-dalil gugatannya yang dibantah oleh tergugat, tergugat wajib membuktikan dalil bantahannya sebagaimana dilaksananakan dipersidangan. Oleh karena itu, penggugat mendalilkan adanya fakta yang dijadikan alasan cerai, maka penggugat dibebani untuk membuktikan alasan cerai tersebut. Hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dipersidangan dalam menjatuhkan putusan.

(25)

Pertimbangan-pertimbangan hakim yang menjadi dasar mengabulkan putusan perkara cerai gugat Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt, adalah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Fakta-fakta ini didapat dari hasil penilaian pembuktian menggunakan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, yaitu alat bukti surat dan keterangan saksi. Dimana salah satu keterangan saksi (Saksi II) dikonstruksi menjadi sebagai alat bukti persangkaan. Berdasarkan alat bukti yang diajukan diperoleh fakta-fakta persidangan sebagai berikut :

a. Surat

Menimbang, bahwa kemudian untuk membuktikan dalil-dalil gugatan tersebut penggugat mengajukan bukti surat berupa :

1) Fotocopy Kutipan Akta Nikah atas nama penggugat dan tergugat yang aslinya dikeluarkan oleh kantor Urusan Agama Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Batang Hari (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Muaro Jambi), Nomor I/IIV/I1998, tanggal 02 April 1998, telah dimeterai dan dicap pos, setelah dicocokkan dengan aslinya ternyata sesuai. Selanjutnya oleh Ketua Majelis diparaf dan diberi tanda P.1; 2) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama penggugat, Nomor

1505015110810001, Desember 2014, aslinya dikeluarkan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, telah bermeterai dan dicap pos, setelah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai, selanjutnya oleh Ketua Majelis diparaf dan diberi tanda P.2.

Menimbang, bahwa bukti P.1 dan P.2 adalah surat yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, bermeterai cukup sesuai dengan aslinya.

(26)

Menimbang bahwa kemudian untuk membuktikan dalil-dalil gugatan tersebut penggugat telah mengajukan saksi-saksi untuk didengar keterangannya dengan dibawah sumpah atau janji menurut agamanya yaitu :

1) SAKSI BINTI SAKSI (Saksi I), dibawah sumpah menerangkan:

a) Bahwa Saksi adalah tetangga penggugat, rumah saksi bersebelahan dengan kediaman penggugat;

b) Bahwa saksi kenal dengan tergugat, tergugat adalah suami penggugat;

c) Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar;

d) Bahwa saksi sering melihat penggugat dan tergugat bertengkar karena tergugat memiliki wanita idaman lain bernama FULANAH dan kabarnya tergugat sudah menikah dengan wanita tersebut dan telah dikaruniai keturunan; e) Bahwa penggugat dan tergugat sudah pisah rumah sejak

sekitar dua tahun lalu;

f) Bahwa tergugat sekarang tinggal bersama istri baru tergugat di Desa Muhajirin, desa tersebut bersebelahan dengan desa tempat kediaman penggugat;

g) Bahwa setahu saksi, tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada penggugat, tergugat hanya sesekali memberi uang untuk belanja anak penggugat dan tergugat;

Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut tergugat menyatakan membenarkannya;

2) SAKSI BIN SAKSI (Saksi II) dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut :

a) Bahwa saksi adalah abang ipar penggugat, karenanya kenal dengan penggugat dan tergugat;

(27)

b) Bahwa saksi kenal dengan tergugat, tergugat adalah suami penggugat;

c) Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar;

d) Bahwa saksi tidak pernah melihat penggugat dan tergugat bertengkar. Saksi mengetahui pertengkaran antara penggugat dan tergugat dari cerita penggugat;

e) Bahwa pertengkaran penggugat dan tergugat disebabkan tergugat memiliki hubungan dengan wanita lain dan kabar dari warga setempat, tergugat sudah menikah dengan wanita tersebut;

f) Bahwa penggugat dan tergugat sudah pisah rumah lebih dari satu tahun;

g) Bahwa penggugat sekarang tinggal bersama kedua orang tua penggugat, namun saksi tidak tahu di mana tergugat tinggal;

h) Bahwa pihak keluarga sudah berupaya merukunkan penggugat dan tergugat, namun tidak berhasil.

Menimbang, bahwa terhadap keterangan saksi tersebut, tergugat menyatakan membenarkannya;

Setelah diperoleh fakta-fakta persidangan, selanjutnya Majelis Hakim akan menilai unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh penggugat berdasarkan Pasal 19 huruf (f), Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun unsur-unsur yang terbukti adalah :

a. Bahwa sejak bulan Juli 2012, antara penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam bentuk pertengkaran mulut disebabkan tergugat memiliki wanita idaman

(28)

lain dan telah menikah sirri dengan wanita bernama FULANAH dan telah dikaruniai seorang anak;

b. Bahwa perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat berlanjut hingga terjadi pada puncaknya pada bulan Oktober 2014. Penggugat dan tergugat pisah tempat tinggal lebih kurang setahun lalu dan tidak pernah hidup bersama;

c. Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat terbukti dalam keadaan broken marriage (rumah tangga yang hancur);

d. Bahwa pihak keluarga telah berupaya mendamaikan penggugat dan tergugat akan tetapi tidak berhasil;

e. Bahwa Majelis Hakim berpendapat alasan-alasan di atas merupakan faktor yang sangat prinsipil dan sangat berpengaruh terhadap keutuhan kehidupan suami istri karena telah mengakibatkan timbulnya saling tidak percaya satu dengan yang lainnya;

f. Bahwa keadaan ini disimpulkan oleh Majelis Hakim antara penggugat dan tergugat terbukti tidak ada lagi harapan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.

Menimbang, bahwa bukti P.1 dan P.2 adalah surat yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, bermaterai cukup dan sesuai dengan aslinya, berdasarkan ketentuan Pasal 285 R.Bg., junctis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai, Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai, surat adalah akta otentik dan kekuatan pembuktiannya mengikat serta sempurna (volledig en bindende bewijskracht), bukti tersebut juga tidak dibantah oleh pihak lawan, oleh karenanya dapat diterima sebagai alat bukti, sedangkan substansinya akan dipertimbangkan berikutnya;

(29)

Menimbang, bahwa bukti P.1 membuktikan penggugat telah menikah dengan tergugat pada tanggal 02 April 1998, di Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi;

Menimbang, bahwa P.2 membuktikan penggugat adalah penduduk Desa DESA, Kecamatan KECAMATAN, Kabupaten Muaro Jambi, yang merupakan yurisdiksi Pengadilan Agama Sengeti;

Menimbang, bahwa saksi I (Saksi Binti Saksi) adalah tetangga penggugat dan saksi II (Saksi Bin Saksi) adalah abang ipar penggugat, keduanya tidak ada halangan hukum untuk diangkat menjadi saksi dan telah memberikan keterangan dibawah sumpah, oleh sebab itu sesuai ketentuan Pasal 175 R.Bg., secara formil kesaksian para saksi dapat diterima sebagai bukti dalam perkara ini, sedangkan substansinya akan dipertimbangkan selanjutnya;

Menimbang, bahwa saksi I penggugat menerangkan sering melihat dan mendengar langsung pertengkaran antara penggugat dan tergugat disebabkan tergugat mempunyai hubungan dengan wanita lain yang bernama FULANAH, bahkan telah menikah dengan wanita tersebut, pertengkaran itu menyebabkan penggugat dan tergugat telah pisah rumah sejak lebih kurang 2 tahun lalu hingga sekarang tidak pernah hidup bersama lagi. sepengetahuan saksi I penggugat bahwa tergugat telah tinggal bersama isteri sirri tergugat, sedangkan penggugat tinggal di rumah kediaman orang tua penggugat;

Menimbang, bahwa keterangan saksi I penggugat yang melihat secara langsung pertengkaran antara penggugat dan tergugat dengan alasan yang sesuai dengan dalil gugatan penggugat, meskipun keterangan masa pisah antara penggugat dan tergugat berbeda dengan gugatan penggugat, namun perbedaan itu tidak mengurangi kualitas perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat , oleh karenanya Majelis Hakim memandang keterangan saksi I penggugat

(30)

secara materiil dapat diterima untuk mendukung gugatan Penggugat a quo;

Menimbang bahwa saksi II penggugat menerangkan tidak pernah melihat dan mendengar secara langsung pertengkaran antara penggugat dan tergugat, akan tetapi saksi kedua penggugat mengetahui penggugat dan tergugat telah pisah rumah lebih setahun lalu hingga sekarang tidak pernah hidup bersama lagi. saksi kedua penggugat mengetahui dan melihat langsung penggugat telah tinggal di kediaman orang tua penggugat, sedangkan mengenai keberadaan tergugat, saksi tidak mengetahuinya;

Menimbang, bahwa saksi kedua penggugat menerangkan tidak melihat dan mendengar langsung pertengkaran antara penggugat dan Tergugat (testimonium de auditu), saksi II Penggugat hanya mendengar dari cerita penggugat bahwa di antara keduanya telah terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan tergugat menjalin hubungan dengan wanita lain bahkan telah menikah dengan wanita tersebut, selain itu saksi II penggugat melihat langsung bahwa penggugat dan tergugat telah pisah tempat tinggal sejak lebih dari 1 tahun lalu dan sampai sekarang tidak pernah hidup bersama lagi;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat keterangan testimonium de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung, tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), dengan pertimbangan yang objektif dan rasional, sehingga persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu, sebagaimana putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/Pdt/1959 tertanggal 11 November 1959, yang menjelaskan bahwa putusan tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukti, namum untuk menghindari larangan

(31)

tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan;

Menimbang, bahwa saksi II penggugat memiliki hubungan dekat denga Penggugat, selain mengetahui dari cerita penggugat juga mengetahui langsung dari keterangan warga setempat bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran. Keterangan warga setempat yang didengar saksi II penggugat diyakini Majelis Hakim bukan rekayasa, hal ini diperkuat dengan pengetahuan saksi II penggugat antara penggugat dan tergugat telah pisah rumah lebih setahun lalu dan hingga sekarang tidak pernah hidup lagi bersama, meskipun keterangan saksi tersebut adalah testimonium de auditu, namun dikarenakan keterangan saksi saling berkaitan, logis dan sesuai dengan peristiwa yang diuraikan dalam guagata penggugat, serta diperkuat dengat pengakuan tergugat dipersidangan, meyakinkan Majelis Hakim bahwa telah terjadi pertengkaran dan perselisihan antara penggugat dan tergugat, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa kesaksian saksi II penggugat dapat diterima untuk mendukung dalil gugatan penggugat dalam perkara ini;

Menimbang, bahwa kesaksian saksi-saksi penggugat telah menjelaskan kuantitas perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat, kuantitas tersebut membuktikan rumah tangga penggugat dan tergugat tidak lagi harmonis dan bersesuaian dengan peristiwa yang didalilkan penggugat dalam gugatannya, oleh karena itu kesaksian saksi-saksi penggugat sesuai dengan ketentuan Pasal 308 ayat (1) dan 309 R.Bg., telah memenuhi syarat materiil kesaksian, dapat diterima dan memenuhi batas minimal pembuktian mengikat dan sempurna untuk mendukung dalil gugatan penggugat dalam perkara ini.

(32)

Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan selain berdasarkan fakta dan pertimbangan tersebut juga berdasar pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

a. Pertimbangan sosiologis alasan cerai

Menimbang, bahwa secara sosiologis suatu perkawinan yang di dalamnya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran akan sulit untuk mewujudkan rumah tangga bahagia yang penuh rahmah dan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh setiap pasangan suami istri. Pada prinsipnya perceraian sedapat mungkin dihindari oleh setiap pasangan suami istri, akan tetapi mempertahankan perkawinan penggugat dan tergugat dengan kondisi tersebut, Majelis Hakim berpendapat justru akan mendapatkan mafsadat yang lebih besar dari pada tujuan mashlahat-nya, di antaranya penderitaan batin yang berkepanjangan. Majelis Hakim berpendapat apabila rumah tangga penggugat dan tergugat dipertahankan, justru akan mendatangkan mudharat yang lebih besar daripada memperoleh mashlahat. Mudharat tersebut ialah tekanan batin kepada efek psikologis jangka panjang keduanya, sehingga Majelis Hakim berpendapat lebih baik memilih mafsadat yang lebih ringan daripada mafsadat yang lebih berat.

b. Pertimbangan syar’i alasan cerai

Menimbang, bahwa fakta hukum tersebut telah memenuhi norma hukum Islam yang terkandung dalam :

1) Hadist Rasulullah Saw dalam Kitab Bulugul Maram, Hadis Nomor 1098.

Artinya : Dari Ibnu Umar Radliayallahu ‘anhu bahwa Rasulullah hallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Perceraian.” Hadist Riwayat Abu Dawud dan Ibnu majah;

(33)

2) Kaidah fikih, dalam buku al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa ma tafarra’a ‘anha, halaman 527, karangan Doktor Shalih bin Ghanim Sadlan, telah diambil menjadi pendapat Majelis Hakim, sebagai berikut :

Artinya : Kemudharatan yang lebih besar dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan;

3) Pendapat Imam Abi Ishaq al-Syirazi dalam kitab Al-Muhazzab, jilid II, halaman 81 telah diambil alih menjadi pendapat Majelis Hakim, sebagai berikut :

Artinya : Apabila istri sudah sangat benci kepada suaminya, Hakim boleh menjatuhkan talak satu baginya

4) Kaidah fiqih, Majelis Hakim mengambil alih kaidah fiqih dalam kitab Qawaid Fiqhiyah Baina Ashalah wa al-Taujih karangan Muhammad Bakar Ismail, halaman 104 dan telah diambil sebagai pendapat Majelis Hakim sebagai berikut :

Artinya :Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudharatnya;

5) Pendapat pakar Hukum Islam dalam Kitab Madza Hurriyatu al-Zaujaini fi al-Thalaq yang diambil alih menjadi pendapat Majelis Hakim dalam memutus perkara ini yang artinya menyatakan :

“ Islam memilih lembaga perceraian ketika rumah tangga sudah terbukti guncang atau tidak harmonis dan tidak bermanfaat lagi, nasihat perdamaian dan hubungan suami istri sudah hilang tanpa ruh, sebab dengan meneruskan perkawinan berarti menghukum suami isrti dalam penjara yang berkepanjangan, hal tersebut adalah suatu bentuk penganiayaan yang bertentangan dengan semangat keadilan dalam syari’ah Islam”.

(34)

Menimbang, bahwa perpisahan antara Penggugat dan Tergugat merupakan bukti nyata indikasi perselisihan dan pertengkaran dan pisahnya Penggugat dan Tergugat dalam jangka waktu satu tahun, dalam pandangan Majelis Hakim dikategorikan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan telah memenuhi unsur rumah tangga yang tidak harmonis. Majelis Hakim mengambil alih yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut : 1) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

379/K/AG/1995 tanggal 26 Maret 1997, telah diambil alih sebagai pendapat Majelis menyatakan bahwa “suami istri yang tidak berdiam serumah lagi dan tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali, maka rumah tangga tersebut telah terbukti retak dan pecah dan telah memenuhi alasan cerai pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”;

2) Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 38/K/AG/1990, tanggal 5 Oktober 1991, Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan dari pihak mana sumber pemicu perselisihan dan pertengkaran serta siapa yang salah, sebab keberadaan penggugat dan tergugat telah terperangkap dalam kemelut rumah tangga yang sudah sangat sulit dapat mewujudkan rumah tangga sakinah, mawadah, wa rahmah, sebagaimana dimaksud Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.

Hakim dalam memberikan putusan selain berdasarkan fakta-fakta di persidangan, juga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim yang ditemui selama persidangan. Berdasarkan pertimbangan hakim atas dalil gugatan penggugat dianggap telah sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

(35)

Perkawinan, bahwasannya perceraian dapat terjadi dikarenakan pihak suami atau istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus, sehingga tidak ada harapan untuk rukun. Kuantitas perselisihan antara penggugat dengan tergugat berdasarkan keterangan para saksi penggugat telah membuktikan bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat tidak lagi harmonis dan bersesuaian dengan peristiwa yang didalilkan Penggugat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas asung kertawara-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Karakteristik

Kategori isolasi yang dilakukan sesuai dengan patogenesis dancara penularan / penyebaran kuman terdiri dari isolasi ketat, isolasi kontak, isolasi saluran

Pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis juga dipengaruhi oleh pengetahuan, pelatihan, dan tingkat pendidikan, terutama dalam menjaga mutu atau kualitas sediaan

Bab lima berisi tentang analisis dari uraian diatas tentang matlak dalam perspektif interkonesi menurut fikih dan astronomi yang meliputi peristiwa Hadis Kuraib

Namun, bila JCI tidak berhasil bertahan diatas Resistance 6.414 akan kembali menguji Support 6.348 dan 6.312. Indikator MACD mengindikasikan pola Downtrend dan Stoc osc

Menurut Kasmir “Standart rata-rata industri untuk NPM ini adalah 20%”. Peningkatan tersebut disebabkan oleh hasil penjualan bersih dan laba usaha atau dengan kata lain

Jika lima kelompok unsur kehidupan merupakan suatu cara memahami kelahiran kembali menjadi berbagai keadaan makhluk, ini hanya akan lebih jelas untuk menyatakan

Transistor bipolar dinamakan demikian karena kanal konduksi utamanya menggunakan dua polaritas pembawa muatan: elektron dan lubang, untuk membawa arus listrik. Dalam BJT, arus