• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiripan Bahasa Melayu Dialek Jakarta di Condet dan Marunda Berdasarkan Pendekatan Dialek Geografi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kemiripan Bahasa Melayu Dialek Jakarta di Condet dan Marunda Berdasarkan Pendekatan Dialek Geografi"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

DIA

Kemiripan Bahasa Melayu Dialek Jakarta di Condet dan Marunda Berdasarkan

Pendekatan Dialek Geografi

Diar Luthfi Khairina dan Sri Munawarah

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424 khairinadiar@gmail.com

shrieyuwono@yahoo.com ABSTRAK

Condet dan Marunda merupakan dua wilayah yang dikenal kental akan kebudayaan Betawi. Condet pernah dijadikan sebagai Cagar Budaya Betawi, namun keputusan tersebut telah dicabut oleh Pemerintah DKI Jakarta. Banyaknya kaum pendatang di wilayah Condet mengakibatkan penggunaan bahasa Betawi di wilayah tersebut menurun. Di sisi lain, Marunda dijadikan destinasi wisata pesisir di wilayah Jakarta Utara oleh Pemerintah Kotamadya Jakarta Utara, meskipun tidak pernah dijadikan Cagar Budaya Betawi. Sebab, di Marunda terdapat Rumah Si Pitung. Seperti yang diketahui bersama, Pitung merupakan ikon orang asli Betawi. Selain itu, warga Marunda pun rutin mengadakan pengajian ke berbagai masjid setiap minggu yang merupakan tradisi orang Betawi. Oleh karena itu, untuk melihat kemiripan dan keunikan bahasa antara bahasa Melayu Dialek Jakarta di Condet dan Marunda dapat digunakan pendekatan dialektologi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan penghitungan dialektometri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan wicara antara bahasa yang digunakan di wilayah Condet dan wilayah Marunda. Hal itu ditunjukkan oleh hasil penghitungan dialektometri menunjukkan persentase > 30% pada kosakata dasar Morish Swadesh. Kemungkinan perbedaan wicara tersebut disebabkan oleh warga Cawang yang berpindah tempat tinggal ke wilyayah Marunda.

Kata kunci: bahasa, dialek, dialektologi, variasi bahasa.

PENDAHULUAN

Kebudayaan masyarakat di daerah Jakarta berkembang sebagai akibat sintesis antara unsur-unsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya dengan unsur-unsur kebudayaan yang dibawa oleh kaum pendatang sehingga terbentuk corak kebudayaan yang berciri khas, dan yang kemudian dikenal dengan nama kebudayaan Betawi (Budiawan, et. al., 1979:11). Asal muasal kebudayaan Betawi tidak dapat dipastikan. Akan tetapi, kebudayaan tersebut tetap hidup karena adanya kelompok masyarakat yang mendukungnya, secara turun-temurun, yang dikenal dengan sebutan orang Betawi.

Condet dan Marunda merupakan dua wilayah di Jakarta yang dikenal masyarakat sebagai kawasan yang kental akan kebudayaan Betawi. Pada 18 Desember 1975, Condet dijadikan sebagai Cagar Budaya Betawi oleh Gubernur DKI Jakarta, meskipun kini putusan tersebut telah dicabut. Daerah Condet dijadikan sebagai cagar budaya dengan tujuan untuk melestarikan Condet sebagai daerah buah-buahan khas Jakarta (Betawi). Kebudayaan Betawi di wilayah Condet pun perlu dijaga karena hal tersebut merupakan salah satu dari sisa-sisa kebudayaan di wilayah Jakarta yang masih ada yang jumlahnya pun relatif sedikit. Di sisi lain, pada tahun 2011 Marunda dijadikan salah satu dari 12 destinasi pesisir oleh Pemerintah Kotamadya Jakarta Utara. Sudin Pariwisata Jakarta Utara merasa perlu melestarikan Rumah Si Pitung yang dikenal masyarakat sebagai ikon orang Betawi.

Bahasa daerah merupakan cerminan kekayaan budaya suatu bangsa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya semakin terabaikan. Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dianggap lebih memiliki prestige dan memiliki nilai komersil dibandingkan dengan bahasa daerah. Padahal, bahasa daerah merupakan salah satu cara untuk melestarikan kebudayaan. Hal itulah yang terjadi pada masyarakat Betawi. Bertempat tinggal di wilayah Jakarta yang notabene kota metropolitan, masyarakat Betawi semakin kehilangan identitasnya. Sudah jarang ditemukan orang yang dapat disebut sebagai “orang Betawi asli” di Jakarta. Dengan latar belakang tersebut melihat situasi kebahasaan di wilayah Condet dan Marunda menjadi hal yang menarik untuk dilakukan. Dengan demikian, rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana kondisi bahasa Betawi di wilayah yang dianggap kental akan kebudayaan Betawi dan adakah kemiripan di antara keduanya dengan menggunakan pendekatan dialektologi.

(2)

LANDASAN TEORI

Pada penelitian ini metode kualitatif dan metode kuantitatif digunakan untuk melihat bagaimana situasi kebahasaan di wilayah Condet dan Marunda. Metode kuantitatif dipakai dalam penghitungan dialektometri, sedangkan metode kualitatif digunakan dalam interpretasi data yang deskriptif dari penghitungan dialektometri. Penghitungan dialektometri ini bertujuan untuk melihat kemiripan antara bahasa Betawi di wilayah Condet dan bahasa Betawi di wilayah Marunda. Jean Seguy (1973) dalam “La Dialectometrie dans l’Atlas Linguistiques de la Gascogne” memperkenalkan metode baru yang disebut dialektometri (Lauder, 2007: 95) sebagai cara lain untuk memperoleh gambaran mengenai data visual secara akurat. Menurut Revier dalam Ayatrohaedi (1979: 31) dialektometri adalah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persaman yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut. Rumus penghitungan dialektometri yang dipakai di dalam penelitian ini adalah rumus yang diajukan oleh Jean Seguy (Lauder, 2007: 96), yaitu:

s x 100 = d% n

Keterangan:

s = jumlah beda dengan titik pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak kosakata dalam %

Menurut Guiter, jika hasil yang diperoleh dari penghitungan tersebut kurang dari 20%, dinyatakan tidak ada perbedaan. Lalu, jika hasil yang diperoleh antara 21—30%, dinyatakan ada perbedaan wicara. Kemudian, jika hasil yang diperoleh menujukkan angka antara 31—50%, dinyatakan ada perbedaan subdialek. Jika hasil yang diperoleh antara 51—80%, dinyatakan ada perbedaan dialek. Terakhir, jika hasil yang diperoleh lebih dari 80%, dinyatakan ada perbedaan bahasa di antara kedua titik pengamatan tersebut (Guiter dalam Lauder, 2007: 96).

Namun, Lauder (dalam Ayatrohaedi 2002: 12) memiliki perbedaan dengan Guiter dalam mengemukakan hasil persentase perhitungan dialektometri. Menurut Lauder, saat hasil yang diperoleh dari penghitungan tersebut kurang dari 30%, dinyatakan tidak memiliki perbedaan. Jika hasil yang diperoleh berada di antara angka 31%—40%, dinyatakan memiliki perbedaan wicara. Lalu, jika hasil yang diperoleh menunjukkan angka antara 41%—50%, dianggap memiliki perbedaan subdialek. Jika hasil yang diperoleh antara 51%—70%, dianggap memiliki perbedaan dialek. Terakhir, jika hasil yang diperoleh di atas 70%, dianggap memiliki perbedaan bahasa.

Secara umum, para peneliti Dialektologi menggunakan konsep yang diajukan Guiter untuk membedakan hasil persentase perhitungan dialektometri. Namun, dengan pertimbangan bahwa situasi kebahasaan di wilayah Condet dan Marunda cukup rumit, penulis menggunakan konsep Lauder. Sementara itu, kosakata yang digunakan dan diperbandingkan menggunakan 200 kosakata dasar Morish Swadesh (Lauder, 2007: 138). Kosakata dasar ini digunakan karena kosakata tersebut dapat dipastikan ada di dalam setiap bahasa. Lalu, informan dalam penelitian ini adalah dua orang, yaitu informan yang bermukim di wilayah Condet dan informan yang bermukim di wilayah Marunda. Pemilihan informan dalam penelitian ini mengacu pada syarat informan yang dikemukakan dalam buku Dialektologi: Sebuah Pengantar karya Ayatrohaedi (1983: 48).

PEMBAHASAN

Seperti yang telah diinfokan sebelumnya, informan dalam penelitian ini terdiri atas dua orang, yaitu satu orang yang bermukim di Condet dan satu orang yang bermukim di Marunda. Kedua informan tersebut diberikan pertanyaan berupa 200 kosakata dasar Morish Swadesh. Kemudian, data tersebut diolah dengan penghitungan dialektometri, yakni dengan cara memperbandingkan keduanya.

Setelah melakukan pengambilan data, dapat diketahui bahwa perbandingan antara titik pengamatan di Condet dan di Marunda terdapat perbedaan wicara. Hal ini berdasarkan pada penghitungan dialektometri dalam Kosakata Dasar Morish Swadesh yang menunjukkan persentase tertinggi senilai 32%. Berikut tabel penghitungan dialektometrinya.

(3)

No. Kosakata C.M No. Kosakata C.M No. Kosakata C.M No. Kosakata C.M No. Kosakata C.M

1 abu 0 41 buru (ber) 1 81 hati 0 121 langit 0 161 pusar 0

2 air 0 42 Buruk 1 82 hidung 0 122 laut 0 162 putih 0

3 akar 0 43 Burung 0 83 hidup 0 123 lebar 0 163 rambut 0

4 alir (me) 1 44 Busuk 1 84 hijau 0 124 leher 0 164 rumput 0

5 anak 0 45 cacing 1 85 hisap 1 125 lelaki 0 165 satu 0

6 angin 1 46 cium 1 86 hitam 0 126 lempar 1 166 saya 0

7 anjing 1 47 cuci 1 87 hitung 0 127 licin 1 167 sayap 0

8 apa 0 48 daging 0 88 hujan 0 128 lidah 0 168 sedikit 0

9 api 0 49 dan 0 89 hutan 0 129 lihat 0 169 sempit 0

10 apung (me) 1 50 danau 1 90 ia 1 130 lima 0 170 semua 0

11 asap 1 51 darah 0 91 ibu 1 131 ludah 0 171 siang 0

12 awan 1 52 datang 1 92 ikan 0 132 lurus 1 172 siapa 0

13 ayah 1 53 daun 0 93 ikat 0 133 lutut 0 173 suami 0

14 bagaimana 1 54 debu 1 94 ini 0 134 main 0 174 sungai 0

15 baik 1 55 dekat 1 95 isteri 1 135 makan 0 175 tahu 0

16 bakar 0 56 dengan 0 96 itu 0 136 malam 0 176 tahun 0

17 balik 1 57 dengar 0 97 jahit 0 137 mata 0 177 tajam 0

18 banyak 0 58 di dalam 0 98 jalan (ber) 0 138 matahari 0 178 takut 1

19 baring 1 59 di mana 0 99 jantung 0 139 mati 0 179 tali 0

20 baru 1 60 di sini 0 100 jatuh 0 140 merah 0 180 tanah 0

21 basah 0 61 di situ 0 101 jauh 1 141 mereka 1 181 tangan 0

22 batu 0 62 pada 1 102 kabut 1 142 minum 0 182 tarik 0

23 beberapa 1 63 dingin 1 103 kaki 0 143 mulut 1 183 tebal 0

24 belah (me) 1 64 diri (ber) 0 104 kalau 1 144 muntah 1 184 telinga 0

25 benar 1 65 dorong 1 105 kami, kita 1 145 nama 0 185 telur 0

26 bengkak 1 66 dua 0 106 kamu 0 146 napas 0 186 terbang 0

27 benih 1 67 duduk 0 107 kanan 0 147 nyanyi 0 187 tertawa 0

28 berat 0 68 ekor 0 108 karena 1 148 orang 0 188 tetek 0

29 berenang 1 69 empat 0 109 kata (ber) 0 149 panas 1 189 tidak 0

30 beri 1 70 engkau 0 110 kecil 0 150 panjang 0 190 tidur 1

31 berjalan 0 71 gali 1 111 kelahi (ber) 0 151 pasir 1 191 tiga 0

32 besar 0 72 garam 0 112 kepala 0 152 pegang 1 192 tikam (me) 1

33 bilamana 1 73 garuk 0 113 kering 0 153 pendek 1 193 tipis 0

34 binatang 0 74 gemuk, lemak 0 114 kiri 0 154 peras 0 194 tiup 0

35 bintang 0 75 gigi 0 115 kotor 1 155 perempuan 0 195 tongkat 0

36 buah 0 76 gigit 0 116 kuku 0 156 perut 0 196 tua 0

37 bulan 0 77 gosok 1 117 kulit 0 157 pikir 0 197 tulang 0

38 bulu 0 78 gunung 0 118 kuning 0 158 pohon 0 198 tumpul 0

39 bunga 1 79 hantam 1 119 kutu 1 159 potong 1 199 ular 0

40 bunuh 1 80 hapus 0 120 lain 0 160 punggung 0 200 usus 0

∑ Jumlah 63

% Persentase 32%

Tabel penghitungan dialektometri menunjukkan adanya angka 0 dan 1 yang menyatakan perbedaan di antara kedua titik pengamatan. Jika kosakata dinyatakan dengan angka 0, tidak ada

(4)

perbedaan pengucapan kosakata. Sebaliknya, jika dinyatakan dengan angka 1, terdapat perbedaan pengucapan kosakata. Dari 200 kosakata Morish Swadesh yang dipertanyakan kepada informan di kedua wilayah, terdapat 63 perbedaan kosakata atau sebesar 32%. Mengacu pada formula Lauder, hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan wicara antara bahasa Betawi di Condet dan bahasa Betawi di Marunda.

Perbedaan wicara terdapat pada tinggi-rendahnya pengucapan kosakata. Dari 200 kosakata dasar Morish Swadesh, 46 kosakata diucapkan dengan perbedaan intonasi saja. Selebihnya, diucapkan sama atau murni berbeda. Informan di Condet mengucapkan kata air dengan /air/, sedangkan di Marunda diucapkan dengan /aIr/. Selanjutnya, kata anak di Condet diucapkan /anak/, sementara di Marunda diucapkan dengan / anaɁ/. Lalu, kata banyak diucapkan dengan / baɲak/ di Condet, sedangkan di Marunda diucapkan sebagai / baɲaɁ/. Untuk lebih lengkapnya, perbedaan wicara antara bahasa Betawi di Condet dan Marunda akan disajikan dalam tabel berikut.

No. Berian Kosakata Condet Marunda No. Berian Kosakata Condet Marunda

1 2 air [air] [aIr] 24 120 lain [laɛn] [laIn]

2 5 anak [anak] [anaɁ] 25 121 langit [laŋit] [laŋIt]

3 18 banyak [baɲak] [baɲaɁ] 26 122 laut [laʊt] [lautan]

4 38 bulu [bulu] [buluɁ] 27 123 lebar [lebar] [lεbar]

5 49 dan [ama] [samaɁ] 28 124 leher [leher] [lehεr]

6 53 daun [daon] [daUn] 29 125 lelaki [laki] [lakiɁ]

7 56 dengan [ama] [samaɁ] 30 130 lima [lima] [limaɁ]

8 61 di situ [di sono] [di sᴐnᴐ] 31 133 lutut [dəŋkʊl] [dəŋkUl]

9 66 dua [duwa] [duwaɁ] 32 142 minum [minʊm] [ŋinUm]

10 68 ekor [bʊntut] [buntut] 33 163 rambut [rambʊt] [rambut]

11 73 garuk [garʊk] [garuk] 34 164 rumput [rumpʊt] [rumput]

12 74 gemuk, lemak [gəmʊk] [gəmuk] 35 169 sempit [səmpit] [ɲəmpIt]

13 78 gunung [gunʊŋ] [gunuŋ] 36 173 suami [laki] [lakiɁ]

14 83 hidup [idʊp] [idup] 37 175 tahu [tau] [taU]

15 84 hijau [ijo] [ijoɁ] 38 176 tahun [taun] [taUn]

16 87 hitung [itʊŋ] [ŋitUŋ] 39 182 tarik [narik] [tarIk]

17 97 jahit [jait] [jaIt] 40 184 telinga [kupiŋ] [kupIŋ]

18 99 jantung [jantuŋ] [jantUŋ] 41 185 telur [təlor] [təlUr]

19 100 jatuh [jatoh] [jatᴐ] 42 188 tetek [teteɂ] [tεtεɁ]

20 103 kaki [kaki] [kakiɁ] 43 189 tidak [əŋgak] [əŋgaɁ]

21 109 kata (ber) [ŋomɔŋ] [ŋᴐmᴐŋ] 44 191 tiga [tiga] [tigaɁ]

22 117 kulit [kulit] [kulIt] 45 195 tongkat [toŋkat] [tuŋkət]

23 118 kuning [kuniŋ] [kunIŋ] 46 198 tumpul [tumpʊl] [tumpul]

Muhadjir (2000: 71) mengatakan bahwa bahasa Betawi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu dialek Jakarta subdialek Tengahan dan dialek Jakarta subdialek Pinggiran. Ciri terbesar dari kedua subdialek tersebut adalah subdialek Tengahan menggunakan vokal akhir ɛ, sedangkan subdialek Pinggiran menggunakan vokal akhir a. Selain itu, konsonan h diucapkan sebagaimana pengucapannya di dalam bahasa Indonesia. Pada subdialek Tengahan, /muntah/ diucapkan sebagai /muntɛ/. Akan tetapi, pada subdialek Pinggiran kata-kata tersebut diucapkan seperti dalam bahasa Indonesia, yaitu, /muntah/. Selanjutnya, ciri lain terdapat pada ucapan konsonan bersuara, b, d, dan g. Pada subdialek Tengahan pengucapannya menjadi tidak bersuara, sedangkan pada dialek Pinggiran diucapkan sebagai konsonan bersuara. Munculnya kata ora ‘tidak’ yang merupakan bahasa Jawa juga merupakan salah satu ciri subdialek Pinggiran yang tidak terdapat di wilayah subdialek Tengahan.

Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa yang terdapat di wilayah Condet mempunyai ciri-ciri fonetis subdialek Pinggiran seperti yang dikatakan oleh Muhadjir dalam Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangnya, sedangkan wilayah Marunda tidak memiliki kekonsistenan.

(5)

Ketidakkonsistenan bahasa Betawi di Marunda ini ditunjukkan dengan bercampurnya ciri subdialek Pinggiran dengan subdialek Tengahan. Pada kata apa di Marunda dilafalkan sebagai /ape/, kata ayah dilafalkan dengan /babe/, kata darah dilafalkan /darεh/, dan kata merah dilafalkan /mera/ yang merupakan ciri fonetis subdialek Tengahan. Akan tetapi, pada kata basah dilafalkan dengan /basah/, kata buah dilafalkan /buwah/, dan kata potong dilafalkan /belah/ yang mana pelafalan h yang diucapkan jelas seperti dalam bahasa Indonesia merupakan ciri subdialek Pinggiran. Transmigrasi warga Cawang ke wilayah Marunda menjadi pengaruh ketidakkonsistenan bahasa Betawi di Marunda.

KESIMPULAN

Berdasarakan penghitungan dialektometri Kosakata Dasar Morish Swadesh ditunjukkan persentase senilai 32%, yang berarti terdapat perbedaan wicara. Bahasa yang dipakai di wilayah Condet adalah Bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran, sedangkan di wilayah Marunda terjadi ketidakkonsistenan. Ketidakkonsistenan tersebut disebabkan oleh warga Cawang yang bertransmigrasi ke wilayah Marunda. Warga Cawang berlatar belakang subdialek Tengahan, sedangkan warga Marunda berlatar belakang subdialek Pinggiran. Jadi, bahasa yang dipakai di Marunda ada dua, yaitu Bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran dan Bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Tengahan. Antara bahasa Betawi di wilayah Condet dan Marunda terdapat kemiripan, yaitu pada kosakata yang berciri fonetis subdialek Pinggiran. Selain itu, di kedua wilayah ini sama-sama terjadi penurunan penggunaan bahasa Betawi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan informan di kedua wilayah dikatakan bahwa mereka tidak menurunkan bahasa Betawi yang khas pada keturunannya. Hal tersebut merupakan alasan kuat sedikitnya ditemukan bahasa khas Betawi di wilayah Condet dan Marunda. Betawi yang disebut sebagai bahasa saat ini hanya merupakan sebuah dialek.

Perlu ada strategi yang tepat supaya pemakai bahasa Betawi di wilayah Condet dan Marunda mengajarkan bahasa Betawi kepada keturunannya. Penelitian sosiolinguistik mengenai pemertahanan bahasa di kedua wilayah, Condet dan Marunda, merupakan salah satu caranya. Jika hal tersebut dapat berjalan baik, bahasa Betawi akan terus ada hingga generasi masa kini. Selain itu, perlu adanya kajian mengenai muatan lokal yang ada di Jakarta. Bahasa Betawi yang dikenal sebagai bahasa daerah Jakarta seharusnya bisa dijadikan muatan lokal di Jakarta. Akan tetapi, di daerah lain menggunakan bahasa daerah sebagai muatan lokal, contohnya Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda serta Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menggunakan bahasa Jawa. Dengan adanya muatan lokal bahasa Betawi sejak Sekolah Dasar diharapkan dapat membantu pemertahanan bahasa Betawi.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1979.

. Pedoman Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002.

Budiawan, et. al.. Folklor Betawi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1979.

Chambers, J.K, dan Peter Trudgill. Dialectology: Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

Campbell, Lyle. Historical Linguistic: An Introduction. Cambridge: The MIT Press, 1998.

Larasati, Indra Siswarini. “Bahasa dan Adat di Condet: Suatu Studi mengenai Masyarakat Transisi”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1983.

Lauder, Multamia RMT. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007. . “Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tanggerang”. Disertasi tidak

diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 1990. Muhadjir. Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya . Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan

Kebudayaan (PMB-LIPI) dan The Ford Foundation, 1999.

Muhadjir. Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979.

Pratiwi, Endang Hesti. “Bahasa Betawi di Cipayung DKI Jakarta: Sebuah Pemetaan Bahasa dan Analisis Kebahasaan”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996.

Gambar

Tabel  penghitungan  dialektometri  menunjukkan  adanya  angka  0  dan  1  yang  menyatakan  perbedaan  di  antara  kedua  titik  pengamatan

Referensi

Dokumen terkait

316.447.120,- (tiga ratus enam belas juta empat ratus empat puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah), adalah sebagai berikut:.. Nama Perusahaan :

Pekerjaan mempengaruhi responden dalam mempresepsikan harapan dan kepuasan responden akan minat kunjungan ulang dengan pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas

• Pantun sebagai jenis puisi Pantun sebag ai jenis puisi Melayu lama yang Melayu lama yang.. tertua dan asli

Tahap pengolahan data meliputi : sampel dibagi dalam 3 kelompok dosis warfarin yaitu dosis 2 mg, dosis (2 mg dan 4 mg) dan dosis 5 mg; monitoring dosis warfarin dan durasi

Dalam rangka untuk memastikan bahwa keputusan Dewan mengenai kegiatan tertentu yang diidentifikasikan untuk pendanaan tidak menciptakan masalah hukum atau politik bagi

Dalam kodifikasi hukum Islam (fikih) tidak ditemukan ketentukan hukum yang secara khusus menjelaskan perkawinan sejenis. Hal ini karena perbuatan homoseksual adalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) penggunaan rumah kasa pada budidaya cabai merah mampu menekan serangan OPT dan penggunaan pestisida dengan hasil panen lebih

Bagaimana pengaruh profitabilitas yang diproksikan dengan return on assets dan return on equity secara silmutan terhadap effective tax rate pada