• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pemantauan Konflik di Aceh Desember 1, Februari, 2009 Bank Dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Pemantauan Konflik di Aceh Desember 1, Februari, 2009 Bank Dunia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Pemantauan Konflik di Aceh

Desember 1, 2008 – 28 Februari, 2009

Bank Dunia

Sejak Desember tahun lalu hingga Februari, insiden kekerasan kembali meningkat tajam, puncaknya mencapai 36 kejadian yang dilaporkan dalam bulan Januari (sedangkan bulan Desember 31 insiden dilaporkan dan 26 insiden di bulan Februari).1 Dalam tiga bulan terakhir tersebut 16 orang meninggal, 47 cedera dan 17 gedung atau kendaraan mengalami kerusakan. Sebagian besar korban disebabkan perselisihan pribadi. Namun demikian, lonjakan dalam jumlah kasus kekerasan sebagian besar disebabkan oleh insiden pra-pemilu, mencapai seperempat hingga sepertiga dari seluruh kasus kekerasan dalam bulan Januari dan Februari. Terjadi gelombang baru insiden peledakan granat, pembakaran serta serangan lainnya terhadap partai-partai politik (13 kasus), dan tiga atau empat anggota Partai Aceh (PA) dan KPA2 dieksekusi di awal bulan Februari. Ini meningkatkan ketegangan di antara kedua organisasi tersebut dengan pihak aparat keamanan sehingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan menimbulkan keprihatinan terjadinya eskalasi dalam masa menjelang pemilihan umum. Kekerasan politis mendorong pemerintah propinsi untuk meminta sekali lagi supaya pihak internasional terlibat dalam pemantauan pemilu. Argumen yang disampaikan oleh pihak-pihak yang menolak kehadiran pemantauan internasional terkadang mengandalkan sentimen anti-asing. Di awal bulan Februari, dua pekerja NGO asing ditangkap oleh pihak militer di Bireuen dan dituduh sebagai mata-mata. Terakhir, serangan militer

Israel di Gaza dan sebuah Peraturan Gubernur

25/2007

mengenai tempat ibadah bagi kaum

non-muslim menyebabkan adanya protes dari organisasi-organisasi Islam. Front Pembela Islam (FPI), sebuah organisasi Islam radikal yang memiliki rekam jejak yang panjang atas kekerasan dan tindak kriminal, memanfaatkan keadaan ini untuk meningkatkan profilnya di Aceh serta mengorganisir pelatihan paramiliter untuk sukarelawan yang ingin melakukan jihad.

Gelombang penyerangan terhadap partai-partai politik dan serangkaian pembunuhan membawa ketegangan pra-pemilu ke tingkat yang sangat mengkhawatirkan

Di awal bulan Februari, paling tidak tiga dan kemungkinan empat anggota KPA dan/atau Partai Aceh (PA) ditemukan tertembak mati dalam kurun waktu sepuluh hari (lihat Kotak 1).3 Pembunuhan-pembunuhan tersebut terjadi pada saat yang sama dengan serangkaian baru insiden pembakaran dan peledakan granat yang sasarannya partai politik, terutama PA, dalam bulan Januari. Insiden-insiden tersebut meningkatkan ketegangan pra-pemilu, terutama antara PA dan KPA dengan pihak keamanan, sehingga mencapai tingkat yang tertinggi sejak MoU,

1

Sebagai bagian dari program pendukung bagi proses perdamaian, Program Konflik dan Pembangunan (Conflict and Development Program) Bank Dunia Indonesia, dengan pendanaan dari Department for

International Development (DFID - UK) dan Kedutaan Kerajaan Belanda, menggunakan metodologi pemetaan konflik koran untuk mencatat semua insiden konflik di Aceh sebagaimana dilaporkan di dua koran propinsi (Serambi dan Aceh Kita). Program ini menerbitkan laporan yang dapat dibaca secara

online di www.conflictanddevelopment.org. Dataset ini tersedia dan bagi yang berminat bisa

menghubungi hubungi Adrian Morel di amorel1@worldbank.org. Ada pembatasan dalam hal menggunakan koran untuk memetakan konflik; lihat Barron and Sharpe (2005) tersedia di:

www.conflictanddevelopment.org/page.php?id=412. Laporan ini merupakan hasil analisa consultan. Temuan-temuan, pendapat dan kesimpulan yang disampaikan dalam laporan ini tidak wewakili pendapat Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia atau Negara-Negara anggota Bank Dunia.

2

Komite Peralihan Aceh – KPA adalah organisasi masyarakat yang dibentuk untuk mewakilipara

mantan kombatan sayap militer GAM (TNA). Partai Aceh merupakan partai politik yang dibentuk oleh GAM di pertengahan tahun 2007.

3

Belum ditetapkan dengan jelas apakah Muhammad Yusuf, seorang pendukung PA, memang benar ditembak atau meninggal karena kecelakaan di jalan.

47974

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

(2)

sehingga menimbulkan kekhawatiran akan adanya peningkatan kekerasan menjelang hari pemilihan umum pada tanggal 9 April.

Penyerangan dengan kekerasan yang

sasarannya adalah partai politik

merupakan kejadian yang biasa terjadi di masa pra-pemilu di Aceh.4 Delapan kasus baru pembakaran, penggranatan atau penembakan kantor dan kendaraan partai dilaporkan selama bulan Januari. Lima kasus lagi dilaporkan dalam bulan Februari. Sebagian besar sasaran dari penyerangan (11 dari 13, atau 85%) adalah Partai Aceh dan KPA.

Belum jelas apakah pembunuhan tokoh-tokoh PA dan KPA di awal Februari

bermotif politik atau tidak. Pihak

kepolisian dengan cepat mengaitkan pembunuhan M. Nur, seorang kontraktor pembangunan, dengan isu persaingan bisnis internal KPA.5 Begitu pula dengan Abu Karim, sekretaris KPA Batee Iliek yang cukup berpengaruh, juga terlibat dalam proyek perumahan dan memiliki

banyak musuh baik di dalam maupun di luar organisasi mantan kombatan tersebut. Namun dalam konteks yang lebih luas dimana kerap terjadi penyerangan dengan kekerasan terhadap PA, kasus-kasus pembunuhan tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa bisa saja ini merupakan tanda terjadinya perubahan dalam metode intimidasi politis dua bulan sebelum pemilihan umum.6

Kekerasan tersebut mengakibatkan adanya ketegangan di lapangan hingga mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan, terutama di kalangan pendukung PA yang terlihat semakin resah. Abu Karim, dalam wawancara yang dilakukan hanya beberapa jam sebelum penembakan, menyampaikan kekhawatirannya: “Kami tidak mau terpancing oleh provokasi, namun kami semakin dipaksa mundur dan apabila kami tidak bereaksi, sebentar lagi kami menengok ke belakang dan akan melihat perbatasan Sumatera Utara… Kami berkomitmen kepada perdamaian, namun kami tidak akan berpikir dua kali untuk mengangkat senjata lagi jika tidak ada pilihan lain”. 7

KPA dan PA pun turut bertanggung jawab dalam menimbulkan ketegangan. Meskipun elit GAM telah berulang kali menyampaikan pernyataan yang mengutuk intimidasi, PA dan KPA telah menolak secara sistematis untuk mengakui adanya anggota mereka yang melakukan pelanggaran, dan juga menolak untuk bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.

4

Lihat Aneks A untuk daftar seluruh insiden dari bulan September 2008 hingga Februari 2009. 5

Potensi perselisihan proyek di dalam kubu KPA menuju ke kekerasan digambarkan dalam bulan Desember dengan kasus penculikan seorang anggota KPA Nagan Raya oleh Muharram, Ketua KPA Aceh Rayeuk (Aceh Besar), berkaitan dengan hutang usaha sebesar Rp.35 juta.

6

Dua ledakan granat pada tanggal 3 dan 11 Maret di Lhokseumawe memperkuat kekhawatiran ini. Selama ini, para pelaku pengranatan cenderung menghindari menjatuhkan korban, dengan menyerang pada pagi hari ketika kantor-kantor masih kosong. Namun, pengranatan bulan Maret dilakukan pada petang hari ketika orang justru berkumpul di lokasi sasaran. Pada tanggal 11 Maret granat meledak di sebuah warung PA, mengakibatkan lima orang cedera (insiden ini akan dibahas lebih lanjut dalam Laporan berikutnya).

7

Wawancara World Bank, Bireuen, 3 Februari.

Kotak 1: Pembunuhan anggota PA/KPA dalam bulan Februari 2009

• 3 Februari, 23:30, Bireuen. Dedi Noviandi alias Abu

Karim, Sekretaris KPA Batee Iliek (Bireuen), ditembak mati dari jarak dekat oleh dua pria yang mengendarai sepeda motor.

• 4 Februari, 11:30, Banda Aceh – Jalan Krueng Raya.

Dua anggota KPA, M. Nur dan supirnya Zakaria Daud, ditembak beberapa kali dalam mobilnya oleh beberapa pria bersenjata yang mengendarai sepeda motor. M. Nur terbunuh sedangkan Zakaria terluka parah.

• 11 Februari, Simpang Peuet, Alue Bilie, Nagan Raya.

M. Yusuf, seorang anggota PA, ditemukan tewas di pinggir jalan. Anggota keluarga menyatakan tubuh korban memperlihatkan adanya luka tembak di bagian lengan namun (keluarga atau siapa?) tidak memperbolehkan otopsi untuk menentukan secara pasti sebab kematian.

• 12 Februari 12th, 03:00, Meulaboh, Aceh Barat. Taufik,

alias Benu, seorang kader PA tingkat Sagoe (Kecamatan) dan suami seorang calon legislatif PA, ditemukan tewas akibat beberapa luka tembak di rumahnya.

(3)

Sedangkan ancaman dan intimidasi dari pendukung PA telah mencapai tingkat tinggi sehingga partai lainnya takut untuk mengadakan kampanye di beberapa daerah di sepanjang pesisir timur. Selain dari kasus penggranatan dan pembakaran, paling tidak lima kasus kekerasan fisik terhadap kader dan calon partai lain (dari PRA, PAAS, PKS dan Partai Demokrat) telah dilaporkan dari bulan Desember hingga Februari. Kemungkinan besar pendukung PA bertanggung jawab atas sebagian dari kasus-kasus tersebut. Kampanye PA di lapangan juga dilaporkan menggunakan propaganda yang mengatakan bahwa hanya PA yang merupakan partai lokal yang sah menurut MoU, dan juga menjanjikan bahwa jika PA menang di bulan April akan diadakan sebuah referendum tentang kemerdekaan Aceh nanti ke depan. Kekhawatiran utama adalah memburuknya hubungan antara PA dan KPA dengan pihak keamanan, yang terlihat makin berseberangan sejak awal masa pemilihan umum.8 KPA dan PA menuduh polisi lemah dan kurang berani dalam menginvestigasi kasus-kasus kekerasan politik yang dialami PA. Mereka juga telah berulang kali menyiratkan kemungkinan keterlibatan militer (TNI) dalam berbagai aksi kekerasan atau mendukung para pelakunya, mengadudomba sesama anggota partai dan menimbulkan ketidakstabilan.9 Di sisi lain, pihak militer meningkatkan kehadirannya di lapangan, dan semakin gencar mengingatkan masyarakat akan ancaman disintegrasi yang dilakukan oleh dominasi sebuah partai lokal tertentu di pesisir timur melalui cara-cara kekerasan dan intimidasi.10 Dengan dukungan sejumlah partai nasional, TNI juga secara agresif meminta peran yang lebih besar bagi angkatan bersenjata dalam memantau pemilihan umum. Di bulan Januari, Lt Kolonel Yusep Sudrajat, Dandim Aceh Utara, mengumumkan bahwa pasukan akan berjaga di depan Tempat Pemungutan Suara (TPS) “atas permintaan masyarakat”, dan menyarankan agar TPS dikelompokkan dalam sejumlah lokasi yang terbatas agar lebih mudah dipantau.11 Pada tanggal 3 Februari, Danrem Lilawangsa mengumumkan bahwa 5,000 pasukan akan ditugaskan ke seluruh propinsi untuk membantu pihak polisi dalam memantau pemilihan umum.

Ketegangan antara GAM dan pihak militer telah berakhir dalam bentuk bentrokan-bentrokan di lapangan12 dan pemberian pernyataan-pernyataan yang panas di tingkat elit. Pada petang tanggal 12 Februari, pada saat kabar pembunuhan kader PA Benu mulai menyebar, Gubernur Irwandi Yusuf menginterupsi rapat dengan delegasi dari Menkopolhukan untuk melaporkan bahwa sekelompok anggota milisi anti-separatis sedang melakukan sweeping dan menahan

pendukung PA di Timang Gajah, Bener Meriah.13 PA juga melaporkan dua kasus pemukulan

oleh TNI di kecamatan yang sama sehari sebelumnya. Dalam sebuah insiden, seorang anggota KPA diduga telah dianiaya dengan sepucuk senjata dan dipaksa mengaku bahwa seorang calon legislatif PA memiliki senjata api. Laporan adanya mobilisasi pihak milisi dan tuduhan

8

Kampanya tertutup berawal pada tanggal 12 Juli 2008, bersamaan dengan penggantian Mayor Jendral Supiadin oleh Mayor Jendral Soenarko sebagai Pangdam Iskandar Muda pada tanggal 14 Juli. Pandangan Soenarko, dengan berlatarbelakang Kopassus, terhadap PA/KPA terlihat lebih konservatif. 9

Pihak militer dengan tegas membantah tuduhan, meskipun terkadang dengan cara yang agak aneh: pada hari setelah terjadi peledakan granat di Kantor Pusat PA di Banda Aceh pada tanggal 13 Januari, juru bicara TNI, dalam upaya mencegah tuduhan, mengeluarkan pernyataan bahwa angkatan bersenjata tidak pernah menerima laporan bahwa personilnya turut terlibat.

10

Sebagai contoh, lihat pernyataan dari Letnan Kolonel Yusep Sudrajat, Analisa tanggal 12 Feburari. 11

Beliau menambahkan bahwa “kalau ada partai yang keberatan TNI berada di Ring I, partai itu patut dicurigai akan berlaku curang dalam pemilu nanti”, Serambi, 12 Januari. Peraturan hanya mengizinkan TNI untuk berjaga di Ring III (satu jarak dari TPS), bukan di Ring I (di depan TPS).

12

Enam insiden yang melibatkan kekerasan antara PA/KPA dan TNI telah dilaporkan dalam bulan Januari dan Februari, termasuk bentrokan mengenai masalah spanduk dan kasus pengeroyokan anggota KPA/PA oleh anggota TNI. Pada tanggal 22, juru bicara PA, Adnan Beuransah mengeluh bahwa sejumlah kader PA telah dipanggil oleh Koramil di Blangpidie, dan ditanyakan mengenai kegiatan politiknya.

13

(4)

terhadap TNI menimbulkan reaksi yang sangat keras dari elit militer baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.14

Kemungkinan adanya insiden lanjutan antara GAM dan unsur milisi sangat mengkhawatirkan. Pada tanggal 1 Maret tahun lalu, pembantaian lima anggota KPA oleh massa setempat yang dimobilisasi oleh beberapa tokoh milisi di Atu Lintang, Aceh Tengah (lihat Laporan Januari – Februari 2008), hingga saat ini masih menjadi ujian yang paling berat terhadap daya tahan proses perdamaian. Pengendalian diri serta profesionalisme yang ditunjukkan saat itu oleh KPA dan aparat keamanan dapat mencegah terjadinya eskalasi. Setahun kemudian, ketegangan antara kedua pihak tersebut mencapai titik paling panas, tumpahannya akan lebih sulit untuk ditahan apabila insiden serupa kembali terjadi.

Akan ada lebih banyak kemungkinan terjadinya eskalasi ketegangan dan kekerasan dalam beberapa minggu sebelum pemungutan suara, terutama selama masa kampanye terbuka dari 16 Maret hingga 5 April ketika semua partai boleh melakukan parade massal di seluruh propinsi. Untuk menghindari terjadinya insiden, perubahan yang drastis diperlukan dalam perilaku baik dari GAM maupun dari aparat keamanan. KPA dan PA harus memperlihatkan kesiapan untuk meningkatkan disiplin dan akuntabilitas. Pihak militer harus menunjukkan lebih banyak lagi pengendalian diri dan tidak melampaui mandatnya sebagaimana digariskan

oleh Undang-Undang dan MoU.15 Pada akhirnya, peran polisi dalam penegakan hukum dan

ketertiban perlu dipertegas kembali. Di satu sisi, polisi diremehkan oleh tuduhan bahwa polisi memiliki kapasitas yang rendah dan kurang berani menginvestigasi kasus, sedangkan di sisi lain perannya juga diremehkan oleh upaya pihak militer untuk mendapatkan peran yang lebih besar dalam mengamankan pemilihan umum. Pengungkapan hasil-hasil penyelidikan kasus-kasus kekerasan politik dan pembenuhdan, serta tindak lanjut yang efisien dalam penanganan kasus-kasus intimidasi yang dilaporkan oleh Panwaslu bisa membantu membangun kembali kepercayaan terhadap polisi.

Namun demikian, sejumlah perkembangan positif telah meningkatkan harapan bahwa keadaan akan membaik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selama kunjungannya ke Aceh pada tanggal 23 dan 24 Februari, menegaskan kembali bahwa “damai di Aceh sudah final”, sebuah pesan yang kuat kepada semua pihak bahwa tidak akan ada toleransi terhadap upaya yang dapat membahayakan perdamaian, termasuk propaganda mengenai referendum kemerdekaan atau intervensi dari pihak militer. Muzzakir Manaf, ketua KPA dan PA, dan Malik Mahmud, mantan Perdana Menteri GAM, telah menyatakan komitmen mereka terhadap keutuhan Republik Indonesia dan menolak kemungkinan adanya referendum. Pengangkatan Irjen Adityawarman sebagai Kapolda Aceh yang baru pada tanggal 21 Februari juga cukup menjanjikan.16 Adityawarman memiliki latar belakang yang bagus dalam mempertahankan stabilitas keamanan di Maluku, salah satu provinsi konflik lainnya di Indonesia. Terakhir, pihak militer menunjukkan keinginannya untuk menegakkan prinsip netralitas. Pada tanggal 6 Maret, Danramil Kecamatan Simpang Keramat, Aceh Utara, dicopot dari komandonya karena telah memerintahkan pasukannya untuk menurunkan spanduk PA.

14

TNI senantiasa menolak penggunaan kata “milisi” dan menyatakan bahwa kelompok sipil bersenjata yang melawan GAM selama konflik terbentuk secara spontan oleh masyarakat tanpa dukungan apapun dari angkatan bersenjata. Kepala Staf TNI, Jendral Agustadi Sasongko Purnama, menyarankan agar Gubernur Irwandi “membaca lebih banyak buku lagi”, Rakyat Aceh, 18 Februari.

15

TNI terikat oleh Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia untuk bersikap netral secara politis. Ketentuan 4.11 MoU membatasi peran TNI di Aceh dalam hal pertahanan eksternal. TNI menyatakan bahwa intervensinya dibenarkan oleh potensi dinamika pemilihan umum lokal yang membahayakan integritas nasional. “Tugas pokok TNI tidak hanya sebatas alat pertahanan nasional, namun di dalam penjabarannya juga mencakup banyak hal, terutama mengawal setiap kebijakan pemerintah yang berpotensi menimbulkan rong-rongan kepada Negara”, kata Lt. Kolonel Sudrajat, Serambi, 25 Januari. 16

Meskipun ada kemungkinan bahwa beliau akan menduduki jabatan tersebut untuk sementara, sambil menunggu pengangkatan Kapolda yang tetap.

(5)

Perdebatan mengenai keterlibatan pihak internasional dalam pemantauan pemilu, retorika anti-asing menyebar dan pekerja bantuan internasional dituduh “mata-mata”

Meningkatnya tingkatan kekerasan dan kekhawatiran mengenai intimidasi telah mengakibatkan Gubernur Irwandi dan Wakil Gubernur Nazar meminta kembali kepada pihak internasional untuk memantau pemilihan umum. Beberapa pihak yang tidak setuju dengan pemantauan internasional sempat menggunakan argumen yang mengacu kepada sentimen anti terhadap komunitas internasional, dengan mempertanyakan alasan orang-orang asing untuk berada di Aceh. Di bulan Februari, dua pekerja NGO asing ditangkap di Bireuen dan dituduh oleh pihak militer sebagai mata-mata.

Butir 1.2.7 MoU menyatakan bahwa “pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh” dan bahwa “pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar”.17 Ini memberikan dasar hukum bagi Uni Eropa untuk memantau pemilu eksektuf daerah tahun 2006. Pada tanggal 7 Februari, beberapa hari setelah pembunuhan Abu Karim dan M. Nur, Irwandi mengulang lagi permintaannya agar pemerintah pusat secara resmi mengundang pihak pemantau asing. KPA dan sejumlah partai lokal, termasuk PA dan SIRA mendukung gagasan ini.18 Selama kunjungannya ke Aceh pada bulan Februari, mantan Presiden Finlandia dan penerima Nobel Perdamaian, Martti Ahtisaari, juga sangat mendukung permintaan ini. Uni Eropa menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan pemantauan, dan telah mengalokasikan dana dan tenaga ahli terpilih untuk maksud tersebut. Namun demikian, kedatangan para ahli tergantung kepada adanya undangan resmi dari pemerintah Indonesia. Pemerintah AS juga menawarkan dukungan melalui Carter Center.

Belum jelas pada saat ini apakah pemerintah pusat akan menindak lanjuti atau tidak permintaan Irwandi. Presiden Yudhoyono telah menyatakan bahwa beliau tidak berkeberatan untuk mengundang pemantau asing dengan ketentuan bahwa mereka dikerahkan secara nasional dan tidak melulu di Aceh, untuk menghindari timbulnya persepsi bahwa propinsi ini merupakan daerah yang rawan. Pemantauan asing juga menghadapi penolakkan yang kuat. Pihak militer terutama sangat curiga terhadap setiap prakarsa yang membuka ruang kepada pihak asing untuk ikut campur dalam persoalan politik internal.19 Pejabat dan perwakilan partai nasional telah juga menyuarakan penolakkan, seringkali atas asumsi bahwa pihak asing akan cenderung berpihak kepada partai lokal, terutama PA dan SIRA. Dalam hal apapun, ada kemungkinan apabila pemantau asing dilibatkan, maka hanya akan dilakukan dengan skala kecil dan dengan mandat terbatas.

Aspek yang layak disesali dari perdebatan ini adalah caranya bagaimana beberapa pihak yang melawan adanya pemantau asing telah dengan sengaja mengacu kepada sentimen anti-asing, menyebarkan kecurigaan terhadap komunitas internasional dan mempertanyakan kepentingannya dalam mempertahankan keberadaannya di Aceh. Pada tanggal 18 Januari, Ketua PDI-P Aceh menyatakan “jangan ada pihak-pihak menyamakan Aceh dengan Kosovo”, dan menyampaikan keprihatinannya bahwa pihak asing sedang “bermain di Aceh, seperti terjadi di Palestina”. Dia juga mengajak pihak berwenang untuk melakukan sweeping untuk

17

Namun demikian tidak ada butir terkait pemantauan asing dalam UUPA 11 Tahun 2006. 18

Partai Rakyat Aceh (PRA) juga mendukungnya. Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) melawannya. Ketua Ghazali Abbas Adan memperdebatkan bahwa penilaian oleh pihak pemantau asing yang menyatakan pemilu 2006 dilaksanakan secara demokratis, dan kegagalan pihak internasional untuk mengakui luasnya intimidasi, mencerminkan bahwa pihak asing kurang obyektif. Harian Aceh, 3 Maret. 19

Sebagai reaksi terhadap Round Table Meeting antara perwakilan elit GAM dan Pemerintah RI di Finlandia awal Januari, Kepala Staff TNI Agustadi Sasongko Purnama menyatakan, “kita urusi saja dalam negeri, tidak perlu keterlibatan asing”. Round Table Meetings merupakan konsultasi informal antara petinggi GAM dan perwakilan Pemerintah RI yang difasilitasi oleh Interpeace, sebuah organisasi internasional berbasis di Jenewa.

(6)

memeriksa dokumentasi pihak asing.20 Pada bulan Februari, Ketua DPRK Banda Aceh, Muntasir Hamid, menyatakan bahwa pihak asing memiliki kepentingannya sendiri dalam memantau pemilihan umum, dan mengajak semua pihak untuk membantu mempertahankan perdamaian dengan melaporkan pihak asing yang “berkampanye” untuk partai lokal tertentu “melalui modus seminar dan simulasi”.21

Yang paling memprihatinkan adalah keterlibatan pihak militer memperpanas teori konspirasi ini. Pada bulan Februari Kodim Bireuen menahan dua pekerja bantuan asing atas dasar hukum yang layak dipertanyakan (lihat Kotak 2). Dandim setempat bahkan menuduh mereka sebagai mata-mata, dan menyampaikan peringatan mengenai ancaman terhadap stabilitas dan perdamaian karena kehadiran pihak asing di

Aceh. Beberapa hari sebelumnya, Korem 011/Lilawangsa Kolonel Eko Wiratmoko bereaksi terhadap laporan Gubernur Irwandi tentang sweeping milisi dengan menyatakan bahwa “yang ada di Aceh hanyalah milisi asing yang bersembunyi di balik kantor Gubernur”. Beliau menambahkan bahwa orang Aceh perlu “hati-hati dengan ide-ide separatis yang ingin merongrong dan menjatuhkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.22

Pemerintah propinsi Aceh telah

menyampaikan keinginannya bahwa

bantuan internasional dilanjutkan setelah kebubarannya Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh (BRR) pada tanggal 16 April. Beberapa lembaga internasional telah

berkomitmen untuk mempertahankan

keberadaannya di Aceh untuk beberapa

tahun lagi. Demi kelancaran dan

keberlangsungan program, pejabat-pejabat dan aparat keamanan diharapkan menahan diri dalam menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengambil tindakan yang

dapat menimbulkan rasa permusuhan

terhadap masyarakat internasional.

20

Beliau juga mengacu kepada kasus penikaman seorang pekerja LSM berwarnanegara Perancis bulan Desember di Pulo Aceh. “Jangan sampai terjadi seperti warga negara Perancis yang mati terbunuh [catatan: korban cedera parah namun tidak meninggal dunia] di Pulo Aceh, beberapa waktu lalu, yang ternyata tidak memiliki izin masuk Indonesia. Tapi anehnya, orang itu bisa berada di Pulo Aceh. Ada apa?” Waspada, 19 Januari.

21

Serambi, 10 Februari dan Rakyat Aceh, 25 Februari. M. Muntasir menyampaikan pandangan yang sama dalam sebuah rapat dengan delegasi dari Menkopolhukam pada tanggal 12 Februari di Banda Aceh, yang dihadiri oleh Wakil Gubernur M. Nazar. Staff internasional yang secara resmi diundang ke rapat tersebut diminta untuk meninggalkan rapat berdasarkan instruksi dari intelijen militer. Kelihatannya para undangan didominasi oleh unsur-unsur dari PETA dan FORKAB, dua organisasi yang mewakili masing-masing mantan milicia anti-separatis dan kombatan GAM yang menyerah sebelum MoU. PETA dan FORKAB menganjurkan untuk melawan pemantauan internasional serta mengusulkan keterlibatan pihak militer dalam proses pemilihan umum.

22

Waspada, 17 Februari. Kemungkinan yang dimaksudkan Kolonel Wiratmoko sebagai “milisi asing yang bersembunyi di samping kantor Gubernur” adalah kantor UNDP dan tim penasehat yang ditugaskan membantu pemerintah Aceh melalui program ALGAP yang didanai GTZ.

Kotak 2: Penangkapan “mata-mata asing” di Bireuen Pada tanggal 19 Februari, seorang warganegara Filipina yang bekerja sebagai ahli pemberdayaan masyarakat untuk LSM internasional Save the Children, ditangkap oleh pihak militer di Bireuen ketika ia sedang mengadakan rapat sosialisasi mengenai masalah malnutrisi. Ia dicurigai melanggar persyaratan visanya. Lt. Kolonel Suharto, Dandim Bireuen, menyatakan bahwa sebelumnya seorang warganegara Italia telah ditahan atas dasar yang sama pada tanggal 2 Februari, ketika ia sedang mengumpulkan data mengenai korban konflik. Suharto mengambil kesempatan pada saat itu untuk meminta pemantauan yang lebih ketat terhadap kegiatan orang asing di Aceh: “Keberadaan orang asing di Aceh patut dicurigai… Kami menduga mereka sebagai spionase asing, yang hendak memata-matai kondisi Aceh karena aktifitasnya tidak relevan dengan visa” Rakyat Aceh, 20 Februari. Suharto meminta pihak polisi dan imigrasi untuk mendeportasi kedua orang asing agar tidak memperkeruh suasana perdamaian yang kini telah terwujud di Serambi Mekkah, “mereka sudah banyak bergentayangan dengan berbagai dalih, sehingga mengancam keutuhan NKRI” (op.cit). Pihak polisi kemudian melepaskan warga negara Filipina, yang

dokumentasinya ternyata lengkap dan sah, dan

membatalkan tuduhan bahwa ia merupakan seorang mata-mata. Hak pihak militer untuk menangkap orang asing atas tuduhan pelanggaran imigrasi patut dipertanyakan.

(7)

Tren-tren keseluruhan: konflik non-politis menurun, ketegangan terkait pemilu berujung kepada meningkatnya kekerasan

Sejak Desember hingga Februari, jumlah konflik turun dengan tajam (lihat Figur 1), turun sampai ke 127 di bulan Februari. Ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan dalam jumlah konflik yang bersifat administratif dan perselisihan mengenai akses terhadap sumber daya alam, sengketa tanah, pekerjaan dan lain-lainnya. Konflik yang bersifat politis tetap stabil di tingkat yang relatif tinggi yang tercatat sejak awal masa persiapan pemilu. Penurunan konflik secara keseluruhan dapat dipandang sebagai sebuah fenomena wajar di masa menjelang pemilu, dimana perhatian semua pihak, termasuk media, terfokus pada politik sedangkan persoalan lain kurang diperhatikan atau ditunda untuk sementara sambil menunggu hasil pemilu.

Tingkat kekerasan tetap tinggi. Setelah adanya penurunan di bulan November, jumlah insiden kekerasan kembali meningkat, puncaknya mencapai 36 kasus di bulan Januari (Desember: 31; Februari: 26). Ketegangan politik merupakan faktor utama meningkatnya jumlah insiden kekerasan; insiden terkait pemilihan merupakan 25% dari semua insiden kekerasan pada bulan Januari dan 30% pada bulan Februari.23 Kasus-kasus kekerasan yang dilaporkan mengakibatkan tiga korban jiwa dan 16 cedera di bulan Desember, delapan korban jiwa dan sepuluh terluka pada bulan Januari, serta lima korban jiwa dan dua puluh satu cedera sepanjang bulan Februari. Sebagian besar dari korban tersebut adalah akibat dari perselisihan pribadi. Kekerasan berkaitan dengan pemilu mengakibatkan cedera fisik yang tidak terlalu berat (satu cedera pada bulan Desember dan tujuh dalam bulan Februari) kecuali kami asumsikan bahwa pembunuhan/penembakan pada bulan Februari adalah bermotif politik.

Isu internasional maupun lokal menimbulkan gelombang militansi organisasi Islam dan memberi ruang kepada Front Pembela Islam untuk meningkatkan profilnya di Aceh

Pada bulan Januari – dua isu yang berbeda – penyerangan militer Israel di Gaza, dan Pergub 25/2007 mengenai tempat beribadah non-muslim24– menyebabkan adanya mobilisasi organisasi mahasiswa Islam, organisasi pesantren, serta partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sepuluh demonstrasi dan bentuk protes lain (tiga melawan Pergub 25/2007 dan tujuh yang memprotes perang di Gaza) dilaporkan dalam bulan itu. Ini termasuk demonstrasi yang diadakan di lokasi bisnis yang dipandang sebagai simbol Israel dan Amerika Serikat. Tidak satupun berakhir dengan kekerasan.

23

42% apabila kami asumsikan bahwa pembunuhan anggota KPA/PA pada bulan Februari bermotf politik. Untuk sebuah analisa mengenai insiden yang paling berat, lihat bagian pertama mengenai kekerasan politik dan Aneks A.

24

Pergub 25/2007 menyatakan bahwa membuka sebuah rumah ibadah mensyaratkan pendaftaran 150 orang dengan identifikasi yang benar, dukungan dari 120 wakil masyarakat yang berdekatan, dan persetujuan pejabat dan administrasi yang berkaitan dari tingkat desa hingga tingkat kabupaten. Peraturan tersebut dikecam oleh organisasi Islam sebagai membuka pintu Aceh untuk proselytisme non-Islam. Sebenarnya persyaratan Pergub lebih ketat dibandingkan dengan peraturan nasional, yang memerlukan pendaftaran hanya 90 orang dan dukungan hanya 60 tetangga.

Figur 1: Konflik vs insiden kekerasan, per bulan

0 50 100 150 200 250 J 05 F M A M J J A S O N D J 06 F M A M J J A S O N D J 07 F M A M J J A S O N D J 08 F M A M J J A S O N D J 09 F Violent Incidents Total # Conflicts

(8)

Yang menarik perhatian adalah cara Front Pembela Islam (FPI), sebuah organisasi radikal dengan rekam jejak yang panjang atas kekerasan dan perilaku premanisme (lihat Kotak 3), mengambil kesempatan dari protes demikian untuk mempromosikan agendanya dan memobilisasi dukungan di Aceh, di mana selama ini mereka nyaris tak terdengar suaranya. Para pendukung FPI tidak hanya hadir di lini depan sejumlah protes. Pada tanggal 5 Januari, sebagai bagian dari seruan nasional untuk sukarelawan, FPI Aceh membuka pendaftaran untuk sukarelawan yang bersedia ikut berjihad di Palestina. Dari sekitar dua ratus kandidat awal, setengahnya dipilih untuk mengikuti pelatihan militer selama tiga hari di Sawang, Aceh Utara, di akhir bulan Januari.25 Tujuh puluh persen dari kelompok ini merupakan mantan kombatan GAM. Tgk Yusuf Al Qasdhawi

Al Asyi, alias Abu Jihad, ketua FPI Aceh, menyatakan bahwa 80 lulus pelatihan, dan bahwa enam dari mereka, dua penembak

tiju dan empat pembom bunuh diri, akan dikirim ke Gaza.26

Sejumlah fakta sangat mengkhawatirkan. Pertama, pihak pemerintah daerah tidak nampak khawatir bahwa sebuah kelompok

Islam garis keras dengan sejarah

kekerasan dan menggerakkan ketegangan antar-agama sedang melakukan pelatihan militer di Sawang, salah satu daerah yang paling rawan di Aceh pasca-konflik, dengan maksud untuk mengirim pelaku bom bunuh diri ke suatu negara asing.27 Kedua, tidak satupun dari kedelapanpuluh orang yang direkrut FPI telah dikirim ke luar negeri hingga saat ini, dan Abu Jihad telah menjelaskan dalam pernyataan umum bahwa ada kemungkinan mereka akan ditugaskan di daerah lain di mana Islam terancam, termasuk Aceh. Program Pemantauan Konflik Aceh telah menerima

informasi bahwa sejumlah anggota

Pasukan Peudeung (lihat Laporan September 2008) juga mengikuti pelatihan tersebut. Ada kemungkinan bahwa sebagian besar dari rekrut FPI adalah mantan kombatan yang “sakit hati”. Juga perlu diingat bahwa FPI memiliki kebiasaan untuk mengedepankan agenda nasionalis dan anti-separatis melalui premanisme dan kekerasan. Dalam konteks mejelang pemilu yang sudah tegang, agenda FPI dalam melaksanakan kegiatan paramiliter dalam propinsi ini perlu ditinjau dengan lebih seksama.

25

Pelatihan diawasi oleh Abu Alyas, seorang veteran jihad anti-Soviet di Afghanistan yang juga berperang bersama dengan gerilya Abu Sayyaf di Mindanao, Filipina, dan merupakan anggota Hamas. 26

Tabloid Modus Aceh, minggu pertama Februari 2009. 27

Pihak Polres dan Kodim Aceh Utara telah mengunjungi lokasi pelatihan, setelah adanya laporan bahwa seorang warga negara Amerika Serikat hadir di situ sebagai seorang instruktur. Mereka meninggalkan tempat setelah membenarkan bahwa tidak ada orang asing. Tidak pernah dikhawatirkan bahwa pelatihan militer itu sendiri merupakan sebuah ancaman kepada situasi keamanan di Aceh.

Kotak 3: Front Pembela Islam

FPI merupakan kelompok Islam bergaris keras berbasis di Jakarta yang dibentuk tidak lama setelah lengsernya mantan presiden Suharto. Kelompok ini menjadi terkenal dengan razia terhadap bar, sarang perjudian dan diskotek. Sayap paramiliternya terlibat dalam sebuah insiden besar pada tanggal 1 Juni tahun lalu, ketika kelompok tersebut menyerang sebuah demonstrasi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Agama dan Berkeyakinan di Monas, Jakarta, melukai 70 orang. Habib Rizieq dan Munarman, dua pemimpin FPI, dikenakan hukuman 18 bulan penjara. Meskipun ada seruan untuk membubarkan organisasi tersebut, pihak berwenang sejauh ini terlihat segan untuk mengambil tindakan terhadap FPI, yang dicurigai disponsori oleh tokoh-tokoh militer yang berpengaruh.

FPI selama ini belum berhasil untuk meraih posisi kuat di Aceh, terutama karena dianggap sebagai organisasi yang berasal dari Jawa dan berkaitan erat dengan TNI. Selain pandangan Islam yang radikal, FPI juga mempromosikan sebuah agenda nasionalis yang kuat. Namun demikian FPI mengambil manfaat dari kejadian tsunami untuk mengirimkan sukarelawan untuk melaksanakan pekerjaan bantuan kemanusiaan di Aceh. Mereka tetap low profile hingga tanggal 27 November tahun lalu, ketika FPI mengadakan rapat di Jeunieb, Bireuen, di mana pembentukan FPI cabang Aceh diumumkan. Basis utama FPI Aceh ada di Aceh Utara.

(9)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 S 08 O N D J 09 F National Parties Local Parties (non-PA) PA / KPA

Aneks A: Aksi kekerasan terhadap partai politik, September 08–Februari 09

22 kasus pengranatan, pembakaran serta satu kasus pembrondongan kantor dan kendaraan partai politik telah dilaporkan sejak awal kampanye tertutup pada tanggal 12 Juli. Sebagian besar dari kasus tersebut (19; 85%) menargetkan Partai Aceh atau KPA, meskipun partai lainnya (SIRA, PAAS, Golkar) juga terkena. Sebagian besar insiden terjadi di sepanjang pesisir timur (Bireuen, Aceh Utara, dan Langsa), di dataran tinggi (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tenggara) dan di Banda Aceh. Pada akhir Februari, insiden-insiden tersebut telah mengakibatkan kerusakan materil terhadap 19 gedung, lima mobil dan satu orang terluka, namun tidak mengakibatkan korban jiwa. Para pelaku biasanya menyerang di pagi hari, ketika kantor masih kosong. Namun demikian, dua kejadian pada tanggal 3 dan 11 Maret di Lhokseumawe menunjukkan adanya perubahan yang sangat mengkhawatirkan dalam modus operandi: granat dilemparkan

pada petang hari di mana orang berkumpul di lokasi-lokasi sasaran. Penggranatan kedua mengakibatkan lima cedera, termasuk tiga anggota KPA.

Kotak 4: Kronologi penyerangan terhadap partai politik (pembakaran, granat, senjata), September 08 – Februari 09

• 9 Sept, Lamreung, di luar Banda Aceh. Sebuah granat

meledak di depan rumah Muzzakir Manaf, Ketua KPA dan Partai Aceh (PA).

• 15 Sept, Lhokseumawe. Pembakaran sebuah kantor PA.

• 16 Sept. Langsa. Pembakaran sebuah kantor PA.

• 17 Sept, Bireuen. Sebuah granat dilempar ke dalam sebuah

kantor PA.

• 19 Sept, Aceh Utara. Sebuah granat lengkap dengan alat

detonatornya ditemukan di depan sebuah kantor PA.

• 20 Sept, Aceh Tenggara. Pembakaran sebuah kantor PA..

• 21 Sept Bireuen. Pembakaran sebuah kantor Partai SIRA .

• 11 Okt , Langsa. Pembakaran sebuah kantor PA.

• 23 Okt, Banda Aceh. Ledakan granat di kantor pusat

propinsi KPA.

• 5 Januari, Aceh Tenggara. Pembakaran kantor daerah

tingkat sagoe PA di Lawe Sumur dan Badar.

• 13 Jan, Banda Aceh. Ledakan sebuah granat di kantor

pusat propinsi Partai Aceh.

• 16 Jan, Banda Aceh. Ledakan sebuah granat di bawah

sebuah mobil yang mengenakan warna PA di depan hotel UKM di Peunayong (mobil milik Ayah Barita, seorang kader PA dari Aceh Utara).

• 21 Jan, Bukit, Bener Meriah. Pembakaran sebuah mobil

operasional KPA di sebelah kantor KPA.

• 22 Jan, Bireuen. Ledakan sebuah granat di kantor

kabupaten Golkar.

• 6 Jan, Aceh Utara. Penyerang yang tak dikenal

bersenjatakan senapan berlaras panjang menembakkan peluru ke kantor PA kabupaten.

• 26 Januari, Lhokseumawe. Pembakaran sebuah peti besi

dan sebuah kantor PAAS.

• 1 Feb, Sabang. Sebuah alat peledak ditemukan di bawah

mobil Walikota Sabang (seorang anggota PA?)

• 4 Feb, Langsa. Ledakan sebuah granat di kantor PA

kabupaten.

• 20 Feb, Aceh Tengah. Ledakan sebuah granat di salah satu

pos kampanye PA.

• 25 Feb, Sabang. Pembakaran kantor sebuah koperasi yang

dikelola oleh KPA.

• 27 Februari, Aceh Barat. Pembakaran kantor PA.

Gambar 2: Penyerangan terhadap partai politik

(pembakaran, granat, senjata), per bulan, Sep 08 – Feb 09

Gambar 2 : Distribusi insiden secara geografis

0 1 2 3 4 Ace h B ara t Ace h T en gah Ace h T en gg ara A U tara & L ho k Ba nd a A ceh Be ne r M eri ah Bir eu en La ng sa Sa ba ng PA / KPA Others

Gambar

Figur 1: Konflik vs insiden kekerasan, per bulan
Gambar 2: Penyerangan terhadap partai politik

Referensi

Dokumen terkait

Pohon-pohon induk terpilih dari populasi kelapa Buol ST-1 akan menjadi materi pemuliaan untuk perakitan varietas unggul dan sebagai sumber benih untuk pengembangan kelapa

Revisi yang dilakukan adalah (1) mengubah urutan pembelajaran dengan menyajikan materi pembelajaran menulis kutipan langsung dan tidak langsung dari berbagai sumber dan

akternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang; persaingan yang

a. Materi pembelajaran pada Tata Tulis Karya Ilmiah berupa penyusunan Proposal PKM, Kuis yang berkaitan dengan aspek kebahasaan Indonesia, Resume bimbingan 10 kelompok dan 10

Reksadana menawarkan berbagai komposisi sekuritas tergantung pilihan pemodal, sehubungan dengan hal tersebut maka sebenarnya reksa dana melakukan diversifikasi resiko dengan

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan OSO SUSTAINABILITY FUND yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Investasi Kolektif

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir yang berjudul “SISTEM INFORMASI

Tokoh lainnya, yaitu Stair & Reynolds (2010) mengatakan bahwa sistem informasi merupakan suatu perangkat elemen atau komponen yang saling terkait satu sama lain,