• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI

DASAR NILAI

PENGEMBANGAN

ILMU

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Ekonomi dan Bisnis Manajemen

Akuntansi

10

90037 Udjiani Hatiningrum, SH.,M Si

Abstract

Kompetensi

Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, Abad Tengah, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM-6M). Dengan memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang diletakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.

Mampu melakukan kajian dalam berbagai literatur yang dapat membentuk dan membangun

pemahaman bahwa nilai-nilai Pancasila harus dijadikan dasar pengembangan ilmu.

▸ Baca selengkapnya: pertanyaan tentang pancasila sebagai paradigma pengembangan kehidupan beragama

(2)

PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI

PENGEMBAGANGAN ILMU

A. Nilai Ketuhanan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

B. Nilai Kemanusiaan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

C. Nilai Persatuan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

D. Nilai Kerakyatan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

E. Nilai Keadilan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

A. Nilai Ketuhanan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Perkataan Ketuhanan berasal dari kata Tuhan. Tuhan ialah Pencipta segala yang ada dan semua makhluk di dunia ini. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, Esa dalam zat-bagi-Nya, dalam sifatNya maupun dalam perbuatan-Nya. Pengertian zat Tuhan disini hanya Tuhan sendiri yang Maha Mengetahui, dan tidak mungkin dapat digambarkan menurut akal pikiran manusia, karena zat Tuhan adalah sesempurna-sempurnanya yang perbuatan-Nya tidak mungkin dapat disamakan dan ditandingi dengan perbuatan manusia yang serba terbatas.

Arti dan Makna Sila Ketuhanan yang Maha Esa :

1. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa

2. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya.

3. Tidak memaksa warga negara untuk beragama.

4. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama.

5. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.

6. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.

Sebagai sila pertama Pancasila yaitu ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi sumber pokok kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai mendasari serta membimbing perwujudan

(3)

kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh, bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Beberapa definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 di antaranya adalah :

a. Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.

b. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.

c. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.

d. Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.

e. Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika .... maka “.

f. Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.

Dalam perkembangan IPTEK dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa:

Ditemukannya teknologi transfer inti sel atau yang dikenal dengan teknologi kloning yang dalam perkembangannya pun masih menuai kotroversi. Persoalannya adalah terkait dengan adanya “intervensi penciptaan” yang semestinya dilakukan oleh Tuhan YME. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara akal dan kehendak. Berdasarkan sila ini IPTEK tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan dibuktikan dan diciptakan tetapi juga

(4)

dipertimbangkan maksud dan akibatnya apakah merugikan manusia disekitarnya atau tidak. Pengolahan diimbangi dengan melestarikan.

Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite(saling mempersyaratkan). Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki tiga komponen

penyangga tubuh pengetahuan yang disusun sebagai berikut:

1. Ontologis, dapat diartikan sebagai hakikat apa yang dikaji oleh pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahannya, dengan kata lain ontologis merupakan objek formal dari suatu pengetahuan

2. Epistemologis, dapat diartikan sebagai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh pengetahuan

3. Aksiologis, merupakan asas menggunakan ilmu pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan.

Menurut “ensiklopedia Indonesia” ilmu pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan menggunakan metode-metode tertentu.

Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan: 1. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah:

1) Objektif: Cara memandang masalah apa adanya,

2) terlepas dari faktor-faktor subjektif (misalnya perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .

2. Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita. 3. Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak

mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.

4. Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan bertindak (misalnya, induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).

5. Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.

Nilai-nilai Pancasila termasuk dalam tingkatan nilai dasar yang mendasari nilai instrumental dan sekaligus mendasari semua aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai dasar bersifat fundamental dan tetap.

(5)

B. Nilai Kemanusiaan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab ini memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu. IPTEK adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral. Oleh karena itu pengembangan IPTEK harus didasarkan pada hakikat tujuan demi kesejahteraan manusia. IPTEK bukan untuk kesombongan, kecongkakan dan keserakahan manusia namun harus diabdikan demi peningkatan harkat dan martabat manusia.

Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk berbudi yang memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Kemanusiaan terutama berarti sifat manusia yang merupakan esensi dan identitas manusia karena martabat kemanusiaannya (human dignity). Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif; jadi, tidak subjektif apalagi sewenang-wenang. Beradab berasal dari kata adab yang berarti budaya. Jadi, beradab berarti berbudaya. Ini mengandung arti bahwa sikap hidup, keputusan, dan tindakan selalu berdasarkan nila-nilai budaya, terutama norma social dan kesusilaan (moral). Adab terutama mengandung pengertian tata kesopanan, kesusilaan atau moral. Dengan demikian, bearadab dapat ditafsirkan sebagai berdasar nilai-nilai kesusilaan atau moralitas khususnya dan kebudayaan umumnya.

Jadi, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan mausia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, baik terhadap diri pribadi, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan.

C. Nilai Persatuan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi. Dalam sila Persatuan Indonesia, masyarakat berperilaku sesuai Bhineka tunggal ika. Jadi kepentingan bangsa dan negara lebih penting dari kepentingan pribadi. Pancasila sebagi alat pemersatu bangsa Indonesia, maka kita harus jaga bersama. Sila ketiga sangatlah tercermin dari adanya sikap kita untuk menghargai dan menghormati sesama warganegara.

Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia: 1. Nasionalisme.

2. Cinta bangsa dan tanah air.

(6)

4. Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit.

5. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan.

Sila Persatuan Indonesia mempunyai maksud mengutamakan persatuan atau kerukunan bagi seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai perbedaan agama, suku, bahasa, dan budaya. Sehingga dapat disatukan memlalui sila ini berbeda-beda tetapi tetap satu atau disebut dengan Bhineka Tunggal Ika. Sila ini menanamkan sifat persatuan untuk menciptakan kerukunan kepada rakyat Indonesia.

D. Nilai Kerakyatan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mendasari pengembangan IPTEK secara demokratis, artinya setiap ilmuan harus memiliki kebebasan untuk mengembangkan IPTEK juga harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan juga memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik dikaji ulang maupun di bandingkan dengan penemuan lainnya.

Sila keempat merupakan penjelmaan dalam dasar politik Negara, ialah Negara berkedaulatan rakyat menjadi landasan mutlak daripada sifat demokrasi Negara Indonesia. Disebabkan mempunyai dua dasar mutlak, maka sifat demokrasi Negara Indonesia adalah mutlak pula, yaitu tidak dapat dirubah atau ditiadakan.

Sila ke-empat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” memiliki makna :

- Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. - Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

- Mengutamakan budaya bermusyawarah dalam mengambil keputusan bersama. - Bermusyawarah sampai mencapai consensus ataukatamufakat diliputidengan

semangat kekeluargaan.

Pancasila pada sila ke 4 adalah penjelasan Negara demokrasi. Demokrasi dalam arti umum yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kaitannya dengan arti dan makna sila keempat ini adalah sistem demokrasi itu sendiri. Maksudnya adalah setiap apapun langkah yang diambil pemerintah harus ada kaitannya atau unsur dari, oleh dan untuk rakyat. Di sini, rakyat menjadi unsur utama dalam demokrasi. Itulah yang seharusnya terangkat ke permukaan sehingga menjadi realita yang membangun bangsa.

Pada intinya, Pancasila sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah. Segala keputusan-keputusan yang diambil dalam musyawarah harus dilandasi oleh Pancasila dan konflik-konflik yang terjadi

(7)

dalam musyawarah harus di hadapi dengan asas kekeluargaan dan tidak dengan cara semena-mena, main hakim sendiri, egoisme, primordialisme karena hal tersebut sangat tidak mencerminkan sifat luhur bangsa kita.

Pemimpin yang hikmat adalah pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat fisis/jasmaniah; sementara kebijaksanaan adalah pemimpin yang berhatinurani, arif, bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat psikis/rohaniah.

E. Nilai Keadilan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengkomplementasikan pengembangan IPTEK haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannnya dengan dirinya senndiri maupun dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara, serta manusia dengan alam lingkungannya.

Dalam perkembangan IPTEK dari sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yang menyangkut keseimbangan dirinya dengan Tuhan, dengan sesama manusia/ bangsa Indonesia, dan dengan alam lingkungannya.

Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materi maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia, baik yang berdiam di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri. Jadi sila kelima berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.

Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia:

1. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. 2. Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama

menurut potensi masing-masing.

3. Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya.

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.

(8)

Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya. Hubungan antara Pancasila dengan ilmu pengetahuan tidak dapat lagi ditempatkan secara dikotomis saling bertentangan. Pancasila tanpa disertai ilmu pengetahuan, akan menjadi Pancasila itu sebagai suatu represif dan kontraproduktif. Sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa didasari dan didasarkan oleh nilai-nilai pancasila akan kehilangan arak konstruktifnya dan terdistorsi menjadi suatu yang akan melahirkan akibat-akibat fatal bagi kehidupan manusia.

Sila kelima ini mempunyai makna bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapatkan perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan, dan kebutuhan spiritual rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur.

Ilmu dalam Perspektif Historis

Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, Abad Tengah, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM-6M). Saat ilmu pengetahun lahir, kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak mitologis. Alam dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa ada peranan para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimana pun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap, dan abadi, di balik yang bhineka, berubah dan sementara (T. Yacob, 1993).

Ilmu pengetahuan teoretik dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama atau kemudian disebut metafisika. Setelah timbul gerakan demitologisasi yang dipelopori filsuf pra-Sokrates, yaitu dengan kemampuan rasionalitasnya maka filsafat telah mencapai puncak perkembangan, seperti yang ditunjukkan oleh trio filsuf besar : Socrates, Plato dan Aristoteles. Filsafat yang semula bersifat mitologis berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang. Aristoteles membagi ilmu menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (etika, politik) dan ilmu pengetahuan teoretik. Memasuki Abad Tengah (abad ke-5 M), pasca Aristoteles filsafat Yunani Kuno menjadi ajaran praksis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri, dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae). Filsuf besar yang berpengaruh saat itu, yaitu Augustinus dan Thomas Aquinas,

(9)

pemikiran mereka memberi ciri khas pada filsafat Abad Tengah. Filsafat Yunani Kuno yang sekuler kini dicairkan dari antinominya dengan doktrin gerejani, filsafat menjadi bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi pusat kegiatan agama, tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual. Bersamaan dengan itu kehadiran para filsuf Arab tidak kalah penting, seperti: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Gazali, yang telah menyebarkan filsafat Aristoteles dengan membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh dunia Barat melalui kaum Patristik dan kaum Skolastik. Wells dalam karyanya The Outline of History (1951) mengatakan, “Jika orang Yunani adalah Bapak metode ilmiah, maka orang muslim adalah Bapak angkatnya”.

Muncullah Abad Modern (abad ke-18-19 M) dengan dipelopori oleh gerakan

Renaissance di abad ke-15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di abad ke-18, melalui langkah-langkah revolusionernya filsafat memasuki tahap baru atau modern. Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak Renaissance dan Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei, Kepler, Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan implikasi yang amat luas dan mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya yang semula merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang semula menguasai dan manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan oleh filsafat. Masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikiran sendiri (Koento Wibisono, 1985).

Dalam perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan spesialismenya sendiri-sendiri secara intens. Lepasnya ilmu-ilmu cabang dari batang filsafatnya diawali oleh ilmu-ilmu alam atau fisika, melalui tokoh-tokohnya:

1) Copernicus (1473-1543) dengan astronominya menyelidiki putaran benda-benda angkasa. Karyanya de Revolutionibus Orbium Caelistium yang kemudian dikembangakan oleh Galileo Galilei (1564-1642) dan Johanes Kepler (1571-1630), ternyata telah menimbulkan revolusi tidak hanya di kawasan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga di masyarakat dengan implikasinya yang amat jauh dan mendalam. 2) Versalius (1514 -1564) dengan karyanya De HumaniCorporis Fabrica telah

melahirkan pembaharuan persepsi dalam bidang anatomi dan biologi.

3) Isaac Newtown (1642-1727) melalui Philosopie Naturalis Principia Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitif bagi mekanika klasik.

Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial dengan gaya semacam itu mencapai bentuknya secara definitif melalui kehadiran Auguste Comte (1798- 1857) dengan Grand

(10)

mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif diberi arti eksplisit dengan muatan filsafati, yaitu untuk menerangkan

bahwa yang benar dan yang nyata haruslah konkret, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan (TimDosen Filsafat Ilmu UGM, 1997).

Metode observasi, eksperimentasi, dan komparasi yang dipelopori Francis Bacon (1651-1626) telah semakin mendorong pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Semua itu memberi isyarat bahwa dunia Barat telah berhasil melakukan tinggal landas untuk mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi.

Battle cry-nya Francis Bacon yang menyerukan bahwa “knowledge is power” bukan sekedar mitos, melainkan sudah menjadi etos, telah melahirkan corak dan sikap pandang manusia yang meyakini kemampuan rasionalitasnya untuk menguasai dan meramalkan masa depan, dan dengan optimismenya menguasai, berinovasi secara kreatif untuk membuka rahasia-rahasia alam. Didukung oleh roh kebebasan Renaissance dan Aufklaerung, menjadikan masyarakat Barat sebagai masyarakat yang tiada hari tanpa temuan-temuan baru, muncul secara historis kronologis berurutan dan berdampingan sebagai alternatif.

Revolusi ilmu pengetahuan memasuki Abad Kontemporer (abad ke-20-sekarang) berkat teori relativitas Einstein yang telah merombak filsafat Newton (semula sudah mapan) di samping teori kuantumnya yang telah mengubah persepsi dunia ilmu tentang sifat-sifat dasar dan perilaku materi. Sedemikian rupa sehingga para pakar dapat melanjutkan penelitian-penelitiannya, dan berhasil mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti: astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, hasilnya seperti yang dapat dinikmati oleh manusia sekarang ini (Sutardjo, 1982).

Optimisme bersamaan dengan pesimisme merupakan sikap manusia masa kini dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan spektakulernya. Di satu pihak telah meningkatkan fasilitas hidup yang berarti menambah kenikmatan. Namun di pihak lain gejala-gejala adanya malapetaka, bencana alam (catastrophe) menjadi semakin meningkat dengan akibatakibat yang cukup fatal.

Berdasarkan gejala yang dihadapi oleh masing-masing cabang ilmu, Auguste Comte dalam sebuah Ensiklopedi menyusun hirarki ilmu pengetahuan dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu. Di atas matematika secara berurutan ditunjukkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi dan fisika sosial atau sosiologi. Ia menjelaskan bahwa sampai dengan ilmu kimia, suatu tahapan positif telah dapat dicapai, sedangkan biologi dan fisika sosial masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai theologis dan metafisis.

(11)

Pemikiran Auguste Comte tersebut hingga kini menjadi semakin aktual dan relevan untuk mendukung sikap pandang yang meyakini bahwa masyarakat industri sebagai tolok ukur bagi tercapainya modernisasi, maka harus disiapkan melalui penguasaan basic science, yaitu matematika, fisika, kimia, dan biologi dengan penyediaan dana dan fasilitas dalam skala prioritas utama (Koento Wibisono, 1985).

Bersamaan dengan itu logico positivisme, yaitu sebuah model epistemologi yang dalam langkah-langkah progresinya menempuh jalan : observasi, eksperimentasi, dan komparasi, sebagaimana diterapkan dalam penelitian ilmu alam, mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian-penelitian ilmu-ilmu sosial. Logico positivisme merupakan model atau teknik penelitian yang menggunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal, bermaksud agar sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat ketepatan optimal pula. Dengan demikian keberhasilan dan kebenaran ilmiah diukur secara positivistik. Dalam arti yang benar dan yang nyata haruslah konkret, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan. Akibatnya adalah bahwa dimensi-dimensi kehidupan yang abstrak dan kualitatif yang justru menjadi basis eksistensi kehidupan manusia menjadi terabaikan atau terlepas dari pengamatan. Kebenaran dan kenyataan diukur serta dimanipulasikan secara positivistitik kuantitatif. Keresahan dan penderitaan seseorang atau masyarakat tidak tersentuh. Masalah objektivitas menjadi tema-tema unggulan dalam kehidupan keseharian manusia saat ini, dengan mengandalkan penjelasan validitas kebenarannya secara matematis melalui angka-angka statistik. Langka-angkah metodis semacam ini sering penuh dengan rekayasa dan kuantifikasi yang dipaksakan sehingga tidak menjangkau akar-akar permasalahannya Kritik dan koreksi terhadap positivisme banyak dilancarkan, karena sifatnya yang naturalistik dan deterministik. Manusia dipandang hanya sebagai dependent variable, dan bukan sebagai independent variable. Manusia bukan lagi pelaku utama yang menentukan, tetapi objek yang diperlakukan oleh ilmu dan teknologi.

Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi, membagi ilmu ke dalam Natuurwissenchaft dan Geisteswissenchaft. Kelompok pertama sebagai Science of the World menggunakan metode Erklaeren, sedangkan kelompok kedua adalah Science of Geist menggunakan metode Verstehen. Kemudian Juergen Habermas, salah seorang tokoh mazhab Frankfrut (Jerman) mengajukan klasifikasi lain lagi dengan the basic human interest sebagai dasar, dengan mengemukakan klasifikasi ilmu-ilmu empiris-analitis, sosial-kritis dan historis-hermeneutik, yang masing-masing menggunakan metode empiris, intelektual rasionalistik, dan hermeneutik (Van Melsen, 1985).

Adanya faktor heuristik mendorong lahirnya cabang-cabang ilmu yang baru seperti : ilmu lingkungan, ilmu komputer, futurologi, sehingga berapapun jumlah pengklasifikasian pasti

(12)

akan kita jumpai, seperti yang kita lihat dalam kehidupan perguruan tinggi dengan munculnya berbagai macam fakultas dan program studi yang baru.

Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia. Iptek kini telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga diri (prestige) dan mitos, yang akan menjamin survival suatu bangsa, prasyarat (prerequisite) untuk mencapai kemajuan (progress) dan kedigdayaan (power) yang dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa. Dalam kedudukannya yang substansif tersebut, Iptek telah menyentuh semua segi dan sendi kehidupan secara ekstensif, dan pada gilirannya mengubah budaya manusia secara intensif. Fenomena perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami masa transisi simultan, yaitu:

1) Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan budaya industri modern.

Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir dengan kekuatan penalarannya yang handal dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan mengatur kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja, kaidah-kaidah normatif yang semula menjadi panutan, bergeser mencari format baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat yang berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat “sesama bus kota tidak boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-inovatif-kreatif.

2) Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional kebangsaan. Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara konvergen menuju satu kesatuan pranata kebudayaan demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur pemerintahan, sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara intensif merupakan upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati diri sebagai satu kesatuan bangsa.

3) Masa transisi budaya nasional-kebangsaan menuju budaya global-mondial. Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak azasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan atau pun keagamaan, kini mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang lebih konkret dalam tataran operasional.

(13)

Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism.

Implikasi globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu standarisasi yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang. Negara atau pemerintahan di mana pun, terlepas dari sistem ideologi atau sistem sosial yang dimiliknya. Dipertanyakan apakah hak-hak asasi dihormati, apakah demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap warganya, bagaimana lingkungan hidup dikelola.

Nyatalah bahwa implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks, karena masyarakat hidup dengan standar ganda. Di satu pihak sementara orang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (subculture), sedang di lain pihak muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan terhadap perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan dari mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, yang disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).

Beberapa Aspek Penting dalam Ilmu Pengetahuan

Melalui kajian historis tersebut yang pada hakikatnya pemahaman tentang sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan (perihal melihat atau menetapkan gejala atau tanda dari suatu keadaan atau peristiwa) bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.

Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud/memanifestasikan

dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah yang menurut partadigma Merton disebut universalisme, komunalisme, dan skepsisme yang teratur dan terarah. Sebagai proses, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar, konggres. Sedangkan sebagai produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada masyarakat dunia.

Aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan di dalamnya terdapat

unsur-unsur sebagai berikut:

1) Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui (Gegenstand)

2) Objek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa ilmu pengetahuan yang akan

(14)

terus berkembang justru muncul permasalahanpermasalah baru yang mendorong untuk terus menerus mempertanyakannya.

3) Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terusmenerus dipertanyakan. 4) Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem

(Koento Wibisono, 1985).

Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat mempercayai akan kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat diketahui, diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme ini, mereka selalu berpetualang untuk melakukan penelitian secara kreatif dan inovatif.

Ciri khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional,

antroposentris, dan cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis dan mimbar akademis). Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan negatif.

Positif, dalam arti kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress, improvement) dengan teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan kemudahankemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran hidupnya secara fisikmaterial.

Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah dengan menjauhi nilainilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri. Akhirnya tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempunyai kedudukan substantive dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kedudukan substantif itu ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjangkau kehidupan manusia dalam segala segi dan sendinya secara ekstensif, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan teknologi merubah kebudayaan manusia secara intensif.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Maka, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut.

Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut

pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin

(15)

berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.

Dengan memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang diletakkan di atas

Pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Pada ontologisnya berarti

hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas manusia Indonesia yang tidak mengenal titik-henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat berarti mewujud dalam academic community; sebagai proses berarti mewujud dalam scientific activity; sebagai produk berarti mewujud dalam scientific product beserta aplikasinya. Pada epistemologisnya berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang

terkandungnya dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Pada aksiologisnya berarti bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut, kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.

Maka dengan demikian, Perguruan Tinggi harus mewujud secara kultural dan struktural dalam tradisi akademis/ilmiah. Kultural dalam arti sivitas akademikanya memiliki sikap akademis yang selalu berusaha sebagai ‘pemusafir’ ilmu pengetahuan yang tanpa batas. Struktural dalam arti dunia perguruan tinggi harus dipupuk secara demokratis dan terbuka melalui wacana akademis harus melepaskan diri sebagai ‘jawatan’ agar kreativitas dan daya inovasi dapat berkembang, sehingga tugas tridharma perguruan tinggi dapat berjalan dan berhasil secara optimal.

(16)

Daftar Pustaka

1. Syahrial Syarbaini , Modul Pendidikan Pancasila, Jakarta, 2012.

2. http://adeapri89.wordpress.com/2011/04/01/pancasila-sebagai-paradigma/

3. http://mettasetiani.blogspot.com/2013/03/pancasila-sebagai-paradigma_5047.html 4. http://www.mysusis.com/2013/08/pengertian-ilmu-pengetahuan-dan-teknologi.html 5. http://rois-takin.blogspot.com/2013/04/aktualisasi-pancasila-dalam.html

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri1. Ketiga, bahwa

2 bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri.. 3 bahwa nilai-nilai

Pentingnya Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi khususnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diharapkan dapat

Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai terapannya telah merambah berbagai bidang kehidupan manusia secara ekstensif dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia

Soekarno dalam rangkaian kuliah umum Pancasila Dasar Falsafah Negara pada 26 Juni 1958 sampai dengan 1 Februari 1959 sebagaimana disitir Sofian Effendi, Rektor UGM dalam

Sumber Historis, Sosiologis, Dan Politis Tentang Pancasila Sebagai dasar nilai pengembangan ilmu 8.. Sumber Historis, Sosiologis, Dan Politis Tentang Pancasila

Konsep Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu • Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi iptek yang dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan

pendahuluan Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang terdiri dari lima nilai pokok, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,