• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS KINEMATIK"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB IV

ANALISIS KINEMATIK

4.1 Data

Lereng yang dijadikan objek penelitian terletak di pinggir jalan raya Ponjong – Bedoyo. Pada lereng tersebut terdapat banyak diskontinuitas yang dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya runtuhan batuan (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Lereng yang dijadikan objek penelitian

Seperti yang telah disebutkan dalam dasar teori bahwa kestabilan lereng di alam sangat dipengaruhi oleh diskontinuitas yang terdapat dalam massa batuan.

(2)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

4.1.1 Teknik Pengambilan Data

Dalam penelitian ini digunakan metode scanline sampling. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui orientasi bidang diskontinuitas pada permukaan yang dianggap mewakili orientasi bidang diskontinuitas batuan secara keseluruhan. Peralatan yang dipakai berupa tali, kompas, clip board, dan penggaris.

Cara pengambilan data dengan metode scanline sampling adalah dengan mencatat semua karakteristik bidang diskontinuitas yang memotong tali yang dibentangkan di sepanjang permukaan batuan dengan batasan 30 centimeter ke atas dan 30 centimeter ke bawah dari garis pengamatan. Arah dari scanline ini harus dicatat. Sedapat mungkin arah dari scanline sama di semua segmen untuk mengurangi bias pengukuran. Batas toleransi perbedaan arah scanline adalah 20°, sehingga perbedaan tersebut masih dapat diabaikan.

Data-data yang diambil dalam penelitian ini, yang selanjutnya akan digunakan dalam analisis kinematik dan klasifikasi massa batuan, berupa data diskontinuitas (lihat Lampiran B) baik yang terbentuk secara primer maupun secara sekunder, JRC, SHV, dan kondisi keairan.

Secara sistematik, teknik pengambilan data dalam penelitian in meliputi :

Pengukuran panjang, arah kemiringan dan kemiringan scanline

Pengukuran arah dan kemiringan lereng

Pengukuran atribut diskontinuitas, yang terdiri dari orientasi diskontinuitas, panjang diskontinuitas, jarak/spasi diskontinuitas, kondisi diskontinuitas, dan lebar bukaan diskontinuitas

Penentuan kondisi umum keairan

Penilaian koefisien kekasaran permukaan diskontinuitas (JRC)

(3)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

4.1.2 Teknik Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data diskontinuitas dengan metode scanline

sampling, maka langkah selanjutnya adalah melihat penyebaran orientasi bidang

diskontinuitas pada bidang stereonet. Untuk mempermudah prosesnya digunakan program aplikasi Stereonet dan Dips. Tujuan pengeplotan orientasi bidang diskontinuitas pada stereonet adalah mendapatkan arah umum dari orientasinya. Dari hasil pengeplotan didapatkan bahwa orientasi umum diskontinuitas terutama rekahan sangat dipengaruhi oleh arah tegasan utama utara – selatan. Rekahan-rekahan tersebut memiliki arah umum utara – selatan, baratlaut – tenggara, dan timurlaut – baratdaya. Berdasarkan arah dari rekahan yang dikaitkan dengan arah tegasan utama, maka rekahan-rekahan yang berarah utara – selatan dikelompokkan pada extension

joints dan pasangan kekar berarah baratlaut – tenggara dan timurlaut – baratdaya

merupakan shear joints.

Langkah berikutnya adalah membuat set diskontinuitas dari contour plot tersebut. Penentuan kelompok diskontinuitas dilakukan berdasarkan penyebaran orientasi bidang diskontinuitas pada bidang stereonet. Bidang-bidang diskontinuitas yang membentuk satu kelompok dapat dikelompokkan dalam satu set diskontinuitas.

Selanjutnya adalah pengujian sifat keteknikan dari batugamping (lihat Lampiran C). Pengujian tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kohesi residual, sudut geser dalam residual, kekuatan batuan rata-rata dan densitas kering batugamping. Dari pengujian, didapatkan hasil kohesi residual sebesar 2,059 MPa, sudut geser dalam residual sebesar 8,43°, kekuatan batuan rata-rata sebesar 25 MPa, dan densitas kering sebesar 22,5 kN/m3. Setelah didapatkan hasil kohesi residual, sudut geser dalam residual, JRC (lihat Lampiran D), dan JCS (lihat Lampiran E), maka akan dapat diketahui nilai sudut geser dalam efektif (lihat Lampiran F).

Berikutnya adalah pengeplotan kedudukan-kedudukan set diskontinuitas, muka lereng dan sudut geser dalam efektif masing-masing scanline pada stereonet. Setelah itu didapatkan potensi keruntuhan lereng batuan pada masing-masing scanline dari

(4)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Lereng di lokasi penelitian dibagi menjadi lima segmen scanline berdasarkan perubahan arah dan sudut kemiringan dari lereng. Kelima segmen scanline tersebut akan dijabarkan dan dianalisis secara kinematik dalam subbab-subbab di bawah ini.

4.2 Scanline I

Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :

Kedudukan lereng : 63° , N 212° E

Arah garis pengukuran : N 152° E

Panjang lereng : 8 meter

Ketinggian lereng rata-rata : ± 15 meter

Diskontinuitas yang ada pada lereng scanline I berupa rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline I ditemukan 32 rekahan dan 6 bidang perlapisan, dimana hanya 1 bidang perlapisan yang berada pada jarak 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan (Gambar 4.2). Jarak bentangan tali pada scanline ini adalah 8 meter.

Data diskontinuitas yang berupa bidang perlapisan tidak memotong garis scanline, namun data tersebut akan tetap diperhitungkan karena diperkirakan akan mempengaruhi kestabilan lereng batuan yang ada pada scanline I (lihat Gambar 4.2). Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129° E / 9°SW.

(5)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.2 Scanline I dan kedudukan diskontinuitas utamanya

Karena hanya diskontinuitas yang berupa rekahan yang melewati garis pengamatan, maka untuk pengeplotan set diskontinuitas hanya akan digunakan data rekahan. Dari proses pengelompokan diskontinuitas yang berupa rekahan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Stereonet dan Dips, didapatkan dua set diskontinuitas untuk

scanline I, yakni JS1 dan JS2 (Gambar 4.3). Kedudukan umum untuk JS1 adalah

(6)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.3 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline I

Berdasarkan pola set diskontinuitas yang berupa rekahan dan kedudukan lereng yang telah diplot di Stereonet, menunjukkan adanya model runtuhan baji (Gambar 4.4). Runtuhan ini dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge

intersection) Ψi sebesar 34º dengan sudut geser dalam efektif (Φi) sebesar 16,06º

(lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψf) adalah 63º. Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe keruntuhan baji, yaitu Φi < Ψi < Ψf, dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji dapat terjadi pada scanline I karena syarat-syarat kinematik terjadinya keruntuhan tersebut telah terpenuhi.

Jadi keruntuhan pada lereng scanline I sangat dipengaruhi oleh kehadiran diskontinuitasnya baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk lereng pada scanline I yang seakan-akan menggantung (lihat Gambar 4.2). Sehingga dapat disimpulkan bahwa lereng tersebut telah mengalami keruntuhan sebelumnya yang diakibatkan oleh orientasi rekahan-rekahannya dan dipicu juga oleh orientasi bidang perlapisannya. Selanjutnya setelah terjadi gempa pada tanggal 29 Mei 2006 diperkirakan terjadi pula rekahan-rekahan baru, dimana rekahan-rekahan baru dan yang telah ada sebelumnya membentuk potensi keruntuhan baji, sedangkan bidang perlapisan yang ada akan memicu potensi keruntuhan baji tersebut.

(7)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.4 Analisis kinematik pada scanline I

4.3 Scanline II

Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :

Kedudukan lereng : 67° , N 204° E

Arah garis pengukuran : N 154° E

Panjang lereng : 14,8 meter

Ketinggian lereng rata-rata : ± 20 meter

Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline II hanya berupa data rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline II ditemukan 14 rekahan dengan jarak bentangan tali 14,8 meter (Gambar 4.5). Di lereng ini juga terdapat 9 bidang perlapisan, dengan kedudukan N 129° E / 9°SW. Namun hanya 1 bidang perlapisan yang terletak pada batas 30 cm ke atas dari garis pengamatan.

(8)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.5 Scanline II dan kedudukan diskontinuitas utamanya

Dari proses pengelompokan diskontinuitas, didapatkan dua set diskontinuitas untuk

scanline II, yakni JS1 dan JS2 (Gambar 4.6). Kedudukan umum untuk JS1 adalah

(9)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.6 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline II

Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng yang telah diplot di Stereonet, menunjukkan adanya model runtuhan baji (Gambar 4.7). Runtuhan ini dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) Ψi sebesar 2º dengan sudut geser dalam efektif (Φi) sebesar 13,22º (lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψf) adalah 67º. Namun besarnya sudut penunjaman tidak memenuhi syarat kinematik untuk keruntuhan baji, yakni Φi < Ψi < Ψf. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji tidak dapat terjadi pada scanline II karena besarnya sudut penunjaman masih jauh lebih kecil daripada sudut geser dalam efektif.

Dari analisis kinematik di atas terlihat fenomena tipe keruntuhan yang seakan cenderung tidak beraturan (raveling failure), terutama membentuk mekanisme jatuhan batuan (rock fall), dan umumnya dijumpai pada batuan yang telah mengalami proses pelapukan (weathered rocks). Selain pelapukan, mekanisme keruntuhan ini juga sangat dikontrol oleh diskontinuitas batuan baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. Indikasi ini tampak dari adanya jejak-jejak rekahan (fracture traces) dan bidang perlapisan pada batuan, meskipun telah mengalami lapuk kuat hingga lapuk sempurna (highly – completely weathered rocks).

(10)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.7 Analisis kinematik pada scanline II

4.4 Scanline III

Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :

Kedudukan lereng : 47° , N 210° E

Arah garis pengukuran : N 170° E

Panjang lereng : 8,7 meter

Ketinggian lereng rata-rata : ± 23 meter

Diskontinuitas yang ada pada lereng scanline III berupa rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline III ditemukan 34 rekahan dengan jarak bentangan tali 8,7 meter (Gambar 4.8). Pada lereng ini terdapat 8 bidang perlapisan, namun hanya 2 bidang perlapisan yang terletak di 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan.

Data diskontinuitas yang berupa bidang perlapisan tidak memotong garis scanline, namun data tersebut akan tetap diperhitungkan karena diperkirakan akan

(11)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

mempengaruhi kestabilan lereng batuan yang ada pada scanline III (lihat Gambar 4.8). Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129° E / 9°SW.

Gambar 4.8 Scanline III dan kedudukan diskontinuitas utamanya

Karena hanya diskontinuitas yang berupa rekahan yang melewati garis pengamatan, maka untuk pengeplotan set diskontinuitas hanya akan digunakan data rekahan. Dari

(12)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

yakni JS1, JS2 dan JS3 (Gambar 4.9). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 22° E / 64°SE, JS2 adalah N 171° E / 63°SW dan JS3 adalah N 129° E / 66°SW.

Gambar 4.9 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline III

Berdasarkan pola-pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng menunjukkan adanya model keruntuhan baji dan planar (Gambar 4.10). Model keruntuhan baji dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) Ψi sebesar 23º dengan sudut geser dalam efektif (Φi) sebesar 15,2º (lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψf) adalah 47º. Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe keruntuhan baji, yaitu Φi < Ψi < Ψf, dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji dapat terjadi pada scanline III karena syarat-syarat kinematik terjadinya keruntuhan tersebut telah terpenuhi.

Selanjutnya untuk tipe keruntuhan planar, dengan bidang gelincir JS3 dan arah kemiringan (αc) sebesar N 219º E. Sedangkan kemiringan lereng (αf) memiliki arah sebesar N 210º E. Maka lereng tersebut memiliki perbedaan sebesar 9º dengan arah kemiringan lereng. Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψf) sebesar 47º. Sedangkan bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψc) sebesar 66º. Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu Φi < Ψc < Ψf, dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar tidak dapat terjadi karena syarat kinematik tidak terpenuhi.

(13)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.10 Analisis kinematik pada scanline III

Dari Gambar 4.8 terlihat bahwa beberapa bentuk lereng seakan-akan menggantung. Sehingga disimpulkan bahwa lereng ini telah mengalami keruntuhan sebelumnya yang diakibatkan oleh orientasi rekahan-rekahan dan dipicu juga oleh orientasi bidang perlapisannya. Jadi keruntuhan batuan pada lereng scanline III sangat dipengaruhi oleh kehadiran diskontinuitasnya baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. Kehadiran rekahan-rekahan tersebut membentuk potensi keruntuhan baji, sedangkan bidang perlapisan yang ada dapat memicu terjadi keruntuhan baji pada lereng scanline III.

4.5 Scanline IV

Dari hasil pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :

Kedudukan lereng : 51° , N 219° E

Arah garis pengukuran : N 172° E

(14)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline IV berupa data rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline IV ditemukan 14 rekahan dengan jarak bentangan tali 2,9 meter (Gambar 4.11). Terdapat 4 bidang perlapisan pada lereng ini, sengan kedudukan N 129° E / 9°SW. Namun kesemua bidang perlapisan tersebut tidak terletak pada batas 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan, sehingga tidak diplot pada gambar.

(15)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Karena hanya data rekahan yang melewati garis pengamatan, maka untuk pengelompokan diskontinuitas hanya digunakan data rekahan. Dari proses pengelompokan diskontinuitas, hanya didapatkan satu set diskontinuitas untuk scanline IV, yakni JS1 (Gambar 4.12). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 150° E / 45°SW.

Gambar 4.12 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline IV

Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng pada stereonet terlihat adanya model keruntuhan planar (Gambar 4.13), dimana set diskontinuitas yang terlibat adalah JS1. Set diskontinuitas tersebut juga bertindak sebagai bidang gelincir dengan arah kemiringan (αp) sebesar N 240º E, memiliki perbedaan sebesar 20º dengan arah kemiringan lereng (αf). Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψf) sebesar 51º dan arah kemiringan sebesar N 220º E. Sedangkan bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψp) sebesar 45º dengan sudut geser dalam efektifnya (Φi) sebesar 17,1º (lihat Lampiran F). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu Φi < Ψp < Ψf, maka dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar dapat terjadi karena syarat kinematik untuk terjadinya keruntuhan tersebut terpenuhi.

Bidang perlapisan yang ada akan ikut memicu terjadinya keruntuhan planar pada lereng di scanline IV. Jadi keruntuhan batuan yang ada pada lereng scanline IV sangat dikontrol oleh bidang diskontinuitas baik berupa rekahan maupun bidang

(16)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.13 Analisis kinematik pada scanline IV

4.6 Scanline V

Dari hasil pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :

Kedudukan lereng : 55° , N 212° E

Arah garis pengukuran : N 168° E

Panjang lereng : 4,5 meter

Ketinggian lereng rata-rata : ± 5,1 meter

Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline V berupa data rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline V ditemukan 19 diskontinuitas dengan jarak bentangan tali 4,5 meter (Gambar 4.14). Pada lereng ini juga ditemukan 3 bidang pelapisan, namun tidak ada yang terletak pada batas 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan. Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129° E / 9°SW.

(17)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.14 Scanline V dan kedudukan diskontinuitas utamanya

Dari proses pengelompokkan diskontinuitas, sama halnya dengan scanline IV, hanya didapatkan satu set diskontinuitas untuk scanline V, yakni JS1 (Gambar 4.15). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 103° E / 46°SW.

(18)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.15 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline V

Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng pada stereonet menunjukkan adanya model keruntuhan planar (Gambar 4.16), dimana set diskontinuitas yang terlibat adalah JS1. Set diskontinuitas tersebut juga bertindak sebagai bidang gelincir dengan arah kemiringan (αp) sebesar N 193º E, memiliki perbedaan sebesar 20º dengan arah kemiringan lereng (αf). Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψf) sebesar 55º dan arah kemiringan sebesar N 213º E. Sedangkan bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψp) sebesar 46º dengan sudut geser dalam efektifnya (Φi) sebesar 14,04º (lihat Lampiran F). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu Φi < Ψp < Ψf, maka dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar dapat terjadi karena syarat kinematik untuk terjadinya keruntuhan tersebut terpenuhi.

Data diskontinuitas berupa bidang perlapisan juga ikut berpengaruh pada terjadinya keruntuhan batuan yang ada pada lereng scanline V. Bidang perlapisan tersebut akan memicu terjadinya keruntuhan planar pada lereng ini.

(19)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.16 Analisis kinematik pada scanline V

Berikut disajikan data rekapitulasi hasil analisis kinematik di seluruh segmen

scanline (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Rekapitulasi hasil analisis kinematik di seluruh segmen scanline

Scanline Potensi Keruntuhan Set Diskontinuitas Terlibat

I Baji JS1 dan JS2

II Tak beraturan Rekahan dan bidang perlapisan

III Baji JS1 dan JS2

IV Planar JS1

Gambar

Gambar 4.1 Lereng yang dijadikan objek penelitian
Gambar 4.2 Scanline I dan kedudukan diskontinuitas utamanya
Gambar 4.3 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline I
Gambar 4.4 Analisis kinematik pada scanline I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rekomendasinya, untuk lebih memudahkan dalam memberitahukan informasi kepada pengunjung terkait kawasan, pengelola dapat membuat web resmi terkait kawasan Taman

Dalam proses pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an SD di desa Cibuyur Kecamatan Warungpring Kabupaten Pemalang tidak lepas dari media pembelajaran, media pembelajaran

Hydraulic motor bertugas memberikan daya tarik yang diperlukan untuk menggerakkan tubing keluar maupun masuk ke dalam sumur. Dengan cara mengontrol tekanan dan flowrate dari

Sedangkan, apabila menggunakan asam laktat 90% yaitu asam dengan kemurnian yang tinggi, perbandingan bahan baku antara metanol dan asam laktat adalah 4 : 1, dengan penggunaan

Spesifikasi tujuan ini membawa konsekuensi pada penambahan materi ajaran Islam. Dalam pelaksanaan dan pengembangan materi ini diarahkan untuk memberikan keseimbangan pengetahuan

Dengan memahami materi Matematika secara baik, maka mahasiswa akan mampu memahami materi-materi pada mata kuliah keilmuan dan ketrampilan (MKK) dan mata kuliah ketrampilan

Melainkan pada watermarking media penampung untuk penyembunyian data sangat berarti apabila media penampung lebih kecil dari data yang disisipkan maka proses watermark

HTML adalah suatu format data yang digunakan untuk membuat dokumen hypertext yang dapat dibaca dari satu flatform komputer ke flatform lainnya tanpa perlu melakukan suatu