• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Program Penyuluhan Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perencanaan Program Penyuluhan Pertanian"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

14

Perencanaan Program

Penyuluhan Pertanian

A. Perubahan Terencana

Telah menjadi kenyataan yang tak dapat disangkal, bahwa selaras dengan perkembangan peradaban manusia, dunia telah banyak mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan tersebut, ada yang bersifat alami tanpa campur tangan manusia, tetapi ada pula perubahan yang memang disengaja oleh perilaku manusia.

Lippit dkk, (1958) mengemukakan bahwa, adanya perubahan-perubahan yang tidak alami itu terutama disebabkan oleh dua alasan pokok, yaitu:

1) Adanya keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dirasakan, dengan memodifikasi sumberdaya dan lingkungan hidupnya, melalui penerapan ilmu pengetahuan atau teknologi yang dikuasainya.

2) Ditemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang bagi setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus mengganggu lingkungan aselinya.

(2)

Kedua alasan seperti itulah yang seringkali menumbuhkan motivasi pada seseorang untuk melakukan upaya-upaya tertentu yang meng-akibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Sebab, jika dia tetap tinggal diam, dia menjadi "orang yang terbelakang" atau “ keting-galan jaman”.

Menghadapi keadaan dunia dan jaman seperti itu, setiap individu sebenarnya dapat memilih, yaitu:

1) menunggu perubahan yang berlangsung alami (yang pada hakekatnya selalu bergerak ke arah terciptanya keseimbang-an dan keselarasan lingkungan), atau

2) secara aktif (melalui upayanya sendiri atau bersama-sama

dengan sesama anggota masyarakat yang lain) melakukan upaya-upaya untuk mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan di sekelilingnya.

Jika ia memilih alternatif yang pertama, relatif tidak akan mengor-bankan sumberdaya yang berarti, tetapi dengan resiko akan selalu kalah atau "ketinggalan jaman" karena perubahan yang alami itu biasanya berlangsung sangat lamban. Sebaliknya, jika ia tidak ingin "ketinggalan", dia harus melaksanakan alternatif yang kedua agar dapat selalu memenangkan persaingan di antara sesama-nya yang pada dasarnya juga memiliki motif yang sama agar dapat menikmati kehidupan yang serba kecukupan dan bertambah baik kesejahteraannya.

Dengan kata lain, untuk mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya, setiap warga masyarakat (secara individual atau bersama-sama dengan warga masyarakat yang lain) harus merancang kegiatan-kegiatan yang menuju kepada perubahan-perubahan yang lebih cepat dibanding perubahan-perubahan-perubahan-perubahan yang akan berlangsung secara alami atau perubahan yang dilakukan oleh pihak lain.

Perubahan terencana, pada hakekatnya merupakan suatu proses yang dinamis, yang direncanakan oleh seseorang (secara indivi-dual atau yang tergabung dalam suatu lembaga-lembaga sosial). Artinya, perubahan tersebut memang menuntut dinamika masyarakat untuk mengantisipasi keadaan-keadaan di masa mendatang (yang diduga akan mengalami perubahan) melalui pengumpulan data (baik yang aktual maupun yang potensial) dan menganalisanya, untuk kemudian merancang suatu tujuan dan cara mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan di masa mendatang.

(3)

Oleh sebab itu, perubahan terencana selalu menuntut adanya: perencanaan, pelaksanaan kegiatan yang direncanakan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan. Di samping itu, perubahan terencana tidak hanya memerlukan sumberdaya yang berupa modal, tetapi perubahan-perubahan itu hanya akan terwujud jika dilaksanakan oleh individu-individu atau sekelompok orang yang memiliki: sikap,pengetahuan, dan ketrampilan tertentu yang dapat dihandalkan, dan seringkali juga memerlukan kelembagaan tertentu.

Sehubungan dengan hal yang terakhir ini, kendala utama yang seringkali dihadapi adalah: pelaksana kegiatan seringkali belum memiliki perilaku (sikap, pengetahuan dan ketrampilan seperti yang diharapkan. Sehingga, di dalam proses perubahan terencana juga dibutuhkan tenaga-tenaga khusus yang berfungsi sebagai "agen pembaharuan" atau penyuluh yang mampu berperan untuk mendi-dik atau menyiapkan tenaga-tenaga pelaksana yang memiliki kalifi-kasi yang dibutuhkan.

Dengan demikian, untuk selalu dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat, selalu diperlukan kegiatan "perubahan terencana" yang memerlukan tenaga-tenaga penyuluh profesional, yang dalam kegiatannya perlu pula menyusun program-program penyuluhan dan rencana evaluasi program yang akan dilaksanakannya.

B. Pengertian Tentang Perencanaan Program Penyuluhan

Mengutip pendapat Martinez (985) yang menyatakan bahwa: pemba-ngunan (pedesaan) yang efektif, bukanlah semata-mata karena adanya kesempatan, tetapi merupakan hasil dari penentuan pilihan-pilihan kegiatan, bukan hasil "trial and error" tetapi akibat dari perencanaan yang baik

Karena itu, perlu untuk selalu diingat bahwa, kegiatan penyu-luhan pembangunan yang efektif harus melalui perencanaan pro-gram penyuluhan yang baik. Dengan kata lain, penyuluhan yang baik harus direncanakan sebaik-baiknya.

Pengertian perencanaan itu sendiri, di dalam teori-teori menajemen antara lain diartikan sebagai: suatu proses pemilihan dan meng-hubung-hubungkan fakta serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa mendatang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan untuk tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan (Terry, 1960).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perencanaan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta,

(4)

mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.

Selaras dengan pengertian-pengertian di atas, adanya suatu peren-canaan program penyuluhan akan memberikan "kerangka kerja" yang dapat dijadikan acuan oleh para penyuluh dan semua pihak yang terlibat (termasuk warga masyarakatnya) untuk mengam-bil keputusan tentang kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilaksana-kan demi tercapainya tujuan pembangunan yang diinginkan. Di lain pihak, setiap program penyuluhan harus dirancang dalam hubung-annya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat setempat dan (kegiatan) apa yang menurut mereka (penyuluh ber- sama-sama masyarakat) paling efektif demi tercapainya tujuan-tujuan tersebut.

Venugopal (1957) mendefinisikan perencanaan program sebagai: ... suatu prosedur kerja bersama-sama masyarakat dalam upaya untuk merumuskan masalah (keadaan-keadaan yang belum memuaskan) dan upaya pemecahan yang mungkin dapat dilakukan demi tercapainya tujuan dan penerima manfaat yang ingin dicapai

Sedang Mueller (Dahama dan Bhatnagar, 1980) mengartikan peren-canaan program sebagai:

... upaya sadar yang dirancang atau dirumuskan guna tercapainya tujuan (kebutuhan, keinginan, minat) masyarakat, untuk siapa program tersebut ditujukan,

Beberapa definisi lain, yang hampir serupa, juga disampaikan oleh Martinez (1985), yaitu:

1) Perencanaan program merupakan upaya perumusan, pengem-bangan, dan pelaksanaan program-program

2) Perencanaan program merupakan suatu proses yang berkelan-jutan, melalui semua warga masyarakat, penyuluh, dan para ilmuwan memusatkan pengetahuan dan keputus-ankeputusan dalam upya mencapai pembangunan yang mantab.

Di dalam perencanaan program, sedikitnya terdapat tiga per-timbangan yang menyangkut: apa, kapan, dan bagaimana kegiat-an-kegiatan yang direncanakan itu dilaksanakan.

3) Perencanaan program, merupakan perencanaan tertulis ten-tang kegiatan-kegiatan yang akan dikembangkan secara

(5)

ber-sama-sama oleh masyarakat, penyuluh. pembina, spesialis, dan para petugas-lapang, pemuda, maupun ibu-ibu rumah-tangga.

4) Perencanaan program merupakan proses berkelanjutan, mela-lui mana warga masyarakat merumuskan kegiatan-kegiat-an yang berupa serangkaian aktivitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan masyarakat setempat.

5) Perencanaan program merupakan suatu proses berkelanjutan,

melalui mana seluruh warga masyarakat secara bersama-sama mempertimbangkan upaya pembangunan masyarakatnya dengan menggunakan segala sumberdaya yang mungkin dapat diman-faatkan.

Di samping itu, Lawerence (Dahama dan Bhatnagar, 1980), menyata-kan bahwa perencanaan program (penyuluhan), menyangkut peru-musan tentang:

1) proses perancangan program,

2) penulisan perencanaan program,

3) rencana kegiatan,

4) rencana pelaksanaan program (kegiatan), dan

5) rencana evaluasi hasil pelaksanaan program tersebut.

Dari beberapa definisi dan pengertian-pengertian tentang “peren-canaan program" sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran yang meliputi:

1) Perencanaan program, merupakan suatu proses yang

berke-lanjutan. Artinya, perencanaan program merupakan suatu rang-kaian kegiatan pengambilan keputusan yang tidak pernah ber-henti sampai tercapainya tujuan (kebutuhan, keinginan, minat) yang dikehendaki.

2) Perencanaan program, dirumuskan oleh banyak pihak. Artinya,

dirumuskan oleh penyuluh bersama-sama masyarakat penerima manfaatnya dengan didukung oleh para spesialis, praktisi, dan penentu kebijaksanaan yang berkaitan dengan upaya-upaya pembangunan masyarakat setempat.

3) Perencanaan program, dirumuskan berdasarkan fakta (bukan dugaan) dan dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia yang mungkin dapat digunakan.

(6)

4) Perencanaan program, meliputi perumusan tentang keadaan, masalah, tujuan, dan cara (kegiatan) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan itu.

5) Perencanaan program, dinyatakan secara tertulis.

Artinya, perencanaan program merupakan pernyataan tertulis tentang: keadaan, masalah, tujuan, cara mencapai tujuan, dan rencana evaluasi atas hasil pelaksanaan program yang telah dirumuskan.

C. Arti Penting Perencanaan Program Penyuluhan

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, setiap upaya perubah-an yang berencana memerlukan partisipasi segenap warga masya-rakat. Oleh sebab itu, Kelsey dan Hearne (1955) menekankan pentingnya "pernyataan (tertulis)" yang jelas dan dapat dimengerti oleh setiap warga masyarakat yang diharapkan untuk berpartisipasi. Melalui cara demikian, perubahan yang direncanakan itu diharapkan dapat dijamin kelangsungannya dan selalu memperoleh partisipasi masyarakat.

Adapun beberapa alasan yang melatar-belakangi diperlukannya perencanaan program, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Memberikan acuan dalam mempertimbangkan secara seksama tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melak-sanakannya. Di dalam kenyataan, terdapat banyak alternatif mengenai apa yang dapat dilakukan dan bagaimanan cara melaksanakannya. Oleh sebab itu, dengan adanya acuan yang sudah "terpilih" akan memudahkan semua pihak untuk meng-ambil keputusan yang sebaik-baiknya.

2) Tersedianya acuan tertulis yang dapat digunakan oleh masya-rakat (umum). Dengan adanya acuan tertulis, diharapkan dapat mencegah terjadinya salah pengertian (dibanding dengan pernyataan tertulis) dan dapat dikaji ulang (dievalusi) setiap-saat, sejak sebelum, selam, dan sesudah program tersebut dilaksana-kan.

3) Sebagai pedoman pengambilan keputusan terhadap adanya usul/saran penyempurnaan yang "baru".

Sepanjang perjalanan pelaksanaan program, seringkali muncul seringkali sesuatu yang mendorong perlunya revisi penyempur-naan perencapenyempur-naan program. Karena itu, dengan adanya pernya-taan tertulis, dapat dikaji seberapa jauh usulan revisi tersebut

(7)

dapat diterima/ditolak agar tujuan yang diinginkan tetap dapat tercapai, baik dalam arti: jumlah, mutu, dan waktu yang telah ditetapkan.

4) Memantabkan tujuan-tujuan yang ingin dan harus dicapai, yang perkembangannya dapat diukur dan dievaluasi. Untuk menge-tahui seberapa jauh tujuan telah dapat dicapai, diperlukan pedo-man yang jelas yang dapat diukur dan dapat dievaluasi setiap saat saat, oleh siapapun juga, sesuai dengan patokan yang telah ditetapkan.

5) Memberikan pengertian yang jelas terhadap pemilihan tentang: a) kepentingannya dari masalah-masalah insidental (yang dinilai

akan menuntut perlunya revisi program), dan

b) pemantaban dari perubahan-perubahan sementara (jika memang diperlukan revisi terhadap program).

6) Mencegah kesalah-artian tentang tujuan akhir, dan mengem-bangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan.

7) Memberikan kelangsungan dalam diri personel, selama proses perubahan berlangsung. Artinya, setiap personel yang terlibat dalam pelaksanaan dan evaluasi program selalu merasakan perlunya kontinyuitas program sampai tercapainya tujuan yang diharapkan.

8) Membantu pengembangan kepemimpinan, yaitu dalam mengge-rakkan semua pihak yang terlibat dan menggunakakan sumber-daya yang tersedia dan dapat digunakan untuk tercapainya tujuan yang dikehendaki.

9) Menghindarkan pemborosan sumberdaya (tenaga, biaya, dan waktu), dan merangsang efisiensi pada umumnya.

10) Menjamin kelayakan kegiatan yang dilakukan di dalam

masya-rakat dan yang dilakasanakan sendiri oleh masyarakat setempat.

D. Ukuran Perencanaan Program Yang Baik

Untuk mengetahui seberapa jauh perencanaan program yang diru-muskan itu telah "baik", berikut ini disampaikan beberapa acuan tentang pengukurannya, yang mencakup:

(8)

(1) Analisis fakta dan keadaan

Perencanaan program yang baik, harus mengungkapkan hasil ana- lisis fakta dan keadaan yang "lengkap" yang menyangkut: keadaan sumberdaya-alam, sumberdaya-manusia, kelembagaan, tersedianya sarana/prasarana; dan dukungan kebijaksanaan, keadaan-sosial, keamanan, dan stabilitas politik. Untuk keperluan tersebut, pengum-pulan data dapat dilakukan dengan menghubungi beberapa pihak (seperti: lembaga/aparat pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi profesi, dll) dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data (wawancara, pengamatan, pencatatan data-sekunder, pengalaman empirik, dll), agar data yang terkumpul tidak saja cukup lengkap tetapi juga dijamin kebenarannya.

(2) Pemilihan masalah berlandaskan pada kebutuhan

Hasil analisis fakta dan keadaan, biasanya menghasilkan berba-gai masalah (baik masalah yang sudah dirasakan maupun belum dirasakan masyarakat setempat).

Sehubungan dengan hal ini, perumusan masalah perlu dipusatkan pada masalah-masalah nyata (real-problems) yang telah dirasakan masyarakat _(felt-problems) Artinya, perumusan masalah hendak-nya dipusatkan pada masalah-masalah yang dinilai sebagai penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan-nyata (real needs) masyarakat, yang telah dapat dirasakan (felt needs) oleh mereka.

(3) Jelas dan menjamin keluwesan

Perencanaan program, harus dengan jelas (dan tegas) sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan atau kesalah-pengertian dalam pelak-sanaannya. Akan tetapi, di dalam kenyataannya, seringkali selama proses pelaksanaan dijumpai hal-hal khusus yang menuntut modifikasi perencanaan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan hal ini, setiap perencanaan harus luwes (memberikan peluang untuk dimodifikasi), sebab jika tidak, program tersebut tidak dapat dilaksanakan, dan pada gilirannya justru tidak dapat mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan masyarakatnya. Karena itu, selain jelas dan tegas, harus berpandangan jauh ke depan.

(4) Merumuskan tujuan dan pemecahan masalah yang menjanjikan kepuasan

(9)

Tujuan yang ingin dicapai, haruslah menjanjikan perbaikan kese-jahteraan atau kepuasan masyarakat penerima manfaatnya. Jika tidak, program semacam ini tidak mungkin dapat menggerakkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Dengan demikian, masyarakat harus tahu betul tentang manfaat apa yang dapat mereka rasakan setelah tujuan program tersebut tercapai. Seringkali, untuk keperluan ini, tujuan-tujuan dinyatakan secara sederhana, tetapi didramatiser sehingga mampu menggerakkan partisipasi masyarakat bagi tercapainya tujuan.

(5) Menjaga keseimbangan

Setiap perencanaan program harus mampu mencakup kepentingan sebagian besar masyarakat, dan bukannya demi kepentingan sekelompok kecil masyarakat saja. Karena itu, setiap pengambilan keputusan harus ditekankan kepada kebutuhan yang harus diutamakan, yang mencakup kebutuhan orang banyak. Efisiensi, harus diarah-kan demi pemerataan kegiatan dan waktu pelaksanaan harus dihin- dari kegiatan-kegiatan yang terlalu besar menumpuk pada penyu-luh atau ada masyarakat penerima manfaatnya

(6) Pekerjaan yang jelas

Perencanaan program, harus merumuskan prosedur dan tujuan serta sasaran kegiatan yang jelas, yang mencakup:

a) masyarakat penerima manfaatnya,

b) tujuan, waktu dan tempatnya,

c) metoda yang akan digunakan,

d) tugas dan tanggung-jawab masing-masing pihak yang terkait (termasuk tenaga sukarela),

e) pembagian tugas atau kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap kelompok personel (penyuluh, masyarakat, dll), dan

f) ukuran-ukuran yang digunakan untuk evaluasi kegiatannya. (7) Proses yang berkelanjutan

Perumusan masalah, pemecahan masalah, dan tindak lanjut (kegiat-an y(kegiat-ang harus dilakuk(kegiat-an) pada tahap(kegiat-an berikutnya, harus dinyata-kan dalam suatu rangkaian kegiatan yang berkelanjutan. Termasuk di dalam hal ini adalah: perubahan-perubahan yang perlu dilaku-kan, selaras dengan perubahan kebutuhan dan masalah yang akan dihadapi.

(10)

Semua pihak yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi program perlu mendapat kesempatan "belajar" dan "mengajar". Artinya, masyarakat harus diberi kesempatan untuk belajar mengumpulkan fakta dan keadaan, serta merumuskan sen-diri masalah dan cara pemecahan masalahnya. Sebaliknya, penyu-luh dan aparat pemerintah yang lain, harus mampu memanfaatkan kesempatan tersebut sebagai upaya belajar dari pengalaman masyarakat setempat.

(9) Merupakan proses koordinasi

Perumusan masalah, tujuan, dan cara mencapai tujuan, harus melibatkan dan mau mendengarkan kepentingan semua pihak di dalam masayarakat. Oleh sebab itu penting adanya koordi-nasi untuk menggerakkan semua pihak untuk berpartisipasi di dalamnya. Di lain pihak, koordinasi juga sangat diperlukan dalam proses pelaksanaan kegiatan. Tanpa adanya koordinasi yang baik, tujuan kegiatan tidak akan dapat tercapai seperti yang diharapkan.

(10) Memberikan kesempatan evaluasi proses dan hasilnya

Evaluasi, sebenarnya merupakan proses yang berkelanjutan dan melekat _(built-in)_ dalam perencanaan program. Oleh sebab itu, perencanaan program itu sendiri harus memuat dan memberi kesem-patan untuk dapat dilakanakannya evaluasi, baik evaluasi terhadap proses maupun hasilnya.

Dari kesepuluh pokok ukuran tersebut, secara ringkas dapat dikemukakan beberapa karakteristik perencanaan program yang baik, yang meliputi:

1) Mengacu kepada kebutuhan masyarakat.

2) Bersifat komprehensif.

3) Luwes.

4) Merupakan proses pendidikan.

5) Beranjak dari sudut pandang masyarakat.

6) Memerlukan kepemimpinan lokal yang andal.

7) Menggunakan teknik-teknik dan penelitian untuk memperoleh

informasi.

8) Mengaharapkan partisipasi masyarakat, agar mereka dapat membantu diri mereka sendiri, dan

9) Menerapkan evaluasi secara berkelanjutan.

E. Filosofi Program Penyuluhan

(11)

Di atas sudah dikemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bagi suatu program yang baik, yang oleh Kelsey dan Hearne (1970) disebutnya sebagai Prinsip-prinsip Perencanaan Program Penyuluhan.

Untuk memenuhi persyaratan prinsip-prinsip perencanaan pro-gram yang baik seperti itu, setiap penyusunan propro-gram perlu mem-perhatikan filosofi program penyuluhan sebagai berikut (Dahama dan Bhatnagar (1980):

1) Bekerja berdasarkan kebutuhan yang dirasakan (felt-need),

artinya, program yang akan dirumuskan harus bertolak dari kebutuhan-kebutuhan yang telah dirasakan oleh masyarakat, sehingga program itu benar-benar dirasakan sebagai upaya pemecahan masalah atau pencapaian tujuan yang dikehendaki Sehubungan dengan itu jika ada "kebutuhan nyata" (real need) yang hendak dinyatakan dalam program yang belum dirasakan oleh masyarakat penerima manfaat, terlebih dahulu harus diupayakan menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt-need).

Sebelum kebutuhan nyata tersebut belum merupakan kebutuhan yang dirasakan, sebaiknya jangan dimasukkan ke dalam rumus-an program, sebab tindakrumus-an seperti itu, akrumus-an menggrumus-anggu parti-sipasi masyarakat dalam pelaksanaan program dan peman-faatan hasil yang dicapai dari pelaksanaan program tersebut. Di lain pihak, filosofi seperti ini juga mengingatkan kepa-da para perancang/perumus program penyuluhan untuk tidak boleh memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi harus selalu benar-benar mengacu kepada kebutuhan-kebutuhan yang sudah atau sedang dirasakan oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, biasakanlah mereka untuk bekerja berdasarkan fakta yang ada di lapangan, dan bukan berdasarkan pendapat mereka sendiri.

2) Bekerja dilandasi oleh anggapan bahwa masyarakat ingin dibebaskan dari penderitaan dan kemiskinan, artinya, setiap program yang haruslah benar-benar diupayakan untuk dapat memperbaiki mutu kehidupan masyarakat, dan bukannya meru-pakan program yang terlalu banyak menuntut pengorbanan masyarakat demi tercapainya tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh perumus program.

Karena itu, setiap perumusan program harus mampu merumus-kan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu-kehidupan masyarakat penerima manfaat. Tanpa adanya pemahaman seperti ini, niscaya program tersebut tidak akan memperoleh partisipasi masyarakat, bahkan sebaliknya akan

(12)

menghadapi berbagai hambatan dan tantangan karena program yang diren-canakan itu dinilai akan lebih menyusahkan kehidupan mereka yang sudah lama mengalami penderitaan. Sehubungan dengan hal ini, semua pihak yang terlibat dalam perumusan program penyuluhan, harus membekali dirinya dengan pemahaman bahwa masyarakat penerima menfaatnya, seperti halnya masyarakat lain di manapun mereka berada, juga menginginkan suatu perubahan yang menuju kearah perbaikan mutu hidup atau kesejahteraannya.

Berbicara tentang kesejahteraan, yang dibutuhkan bukanlah seka-dar tercukupinya kebutuhan-kebutuhan fisik seperti: pangan, sandang, papan, kesehatan, dll; tetapi mereka juga menghen-daki terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sosial yang berupa: keamanan, pengakuan, penghargaan/tanggapan, dan pengalaman baru.

3) Harus dianggap bahwa, masyarakat menginginkan "kebebas-anbaik dalam menentukan/memilih garis hidupnya sendiri dan memutuskan bentuk-bentuk ekonomi, kepercayaan, lembaga politik dan pendidikan yang mereka inginkan demi tercapainya perbaikan mutu kehidupan mereka.

Berkenaan dengan itu, setiap perumusan program harus sejauh mungkin mengajak mereka untuk mengemukakan kebu-tuhan-kebutuhannya, tujuan-tujuan yang diharapkan, serta alter-natif-alternatif pemecahan masaalah atau pemilihan kegiatan yang pemecahan maslah mereka inginkan. Kalaupun ada per-bedaan pendapat antara kehendak masyarakat dengan perumus program, harus diupayakan adanya dialog atau diskusi dengan mereka untuk meyakinkan bahwa alternatif yang dikemukakan oleh perumus program tersebut memiliki keunggulan-keung-gulan yang dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat sasara. Dialog atau forum diskusi seperti itu harus selalu disediakan untuk menghindari terjadinya pertentangan, hambatan, atau pemborosan enersi yang biasanya tersedia sangat langka.

Adanya kebebasan atau setidak-tidaknya forum diskusi yang bisa mengurangi mutu tujuan yang dicapai, serta seringkali memerlukan banyak enersi atau "social-cost" yang mahal.

Kebebasan atau forum diskusi yang disediakan itu, bukan dalam rangka agar mereka boleh menentukan sendiri pilihan-pilihannya, tetapi disediakan dalam rangka untuk keberhasilan program untuk memecahkan masalah demi tercapainya tujuan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Sebab, bagaimanapun,

(13)

setiap pilihan yang mereka ajukan itu pasti sudah dilandasi oleh pengalaman-pengalaman, serta nilai-nilai sosial buda-ya yang mereka anut. Di lain pihak, rumusan program yang hanya disusun oleh pihak luar, seringkali belum dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan sosial-budaya yang dikuatkan oleh kajian empiris.

4) Nilai-nilai dalam masyarakat harus dipertimbangkan selayak-nyaartinya, rumusan program harus sudah mencakup dan mem-pertimbangkan nilai-nilai kerjasama, keputusan kelompok, tanggungjawab sosial, kepercayaan, dan kemampuan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan.

Pertimbangan atas hal-hal seperti itu, di dalam perumusan program penyuluhan seringkali memiliki arti strategis. Sebab, setiap kegiatan yang dilakukan dalam masyarakat, harus selalu dilandasi oleh nilai-nilai adat dan kepercayaan yang mereka bantu; dan di lain pihak, setiap keputusan yang diambil seringkali juga merupakan kelompok yang menuntut kerjasama dan tanggungjawab bersama untuk dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakatnya sendir.

Karena itu, pengabaian terhadap hal-hal tersebut seringkali berakibat pada tidak tercapainya tujuan seperti yang diharap-kan. Bahkan, pengambilan keputusan seperti itu seringkali merupakan pengalaman buruk yang akan selalu mewarnai keputusan masyarakat terhadap setiap upaya pembangun-an masyarakat di masa-masa mendatang.

5) Membantu dirinya sendir (self help), artinya, secara nyata warga masyarakat harus diarahkan (atau setidak-tidaknya dilibat-kan) untuk mau dam mampu merencanakan dan melaksanakan sendiri setiap pekerjaan yang diupayakan untuk memecahkan masalah mereka sendiri yang akan dirumuskan dalam program. Jika masyarakat tidak terlibat atau dilibatkan dalam proses perumusan program, seringkali pelaksanaan programnya juga tidak memperoleh partisipasi aktif dari mereka, sehingga seluruh rangkaian kegiatan sejak perencanaan sampai pelak-sanaannya dilaksanakan oleh "orang luar". Dalam keadaan seperti itu, masyarakat penerima manfaat tidak dapat dikaitkan dalam proses membangun. Akibatnya, lambat laun mereka akan kehilangann kepekaan terhadap masalahnya sendiri, tidak memi-liki inisiyatif dan kreativitas untuk memecahkan masalahnya sendiri, dan akan kehilangan kemandiriannya. Sehingga, proses pembangunan yang direncanakan justru menumbuhkan kondisi ketergantungan.

(14)

6) Masyarakat adalah sumberdaya yang terbesar, artinya, dalam perumusan program penyuluhan, harus sebesar-besarnya meman-faatkan potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat penerima manfaat sendiri, baik: modal, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan yang sudah ada.

Dalam hubungan ini, harus selalu diingat bahwa pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sehingga, setiap upaya pembangunan harus mampu untuk sebesar-besarnya menggali, mengembangkan, dan meman-faatkan potensi sumberdaya yang tersedia di masyarakat Melalui cara seperti ini, proses pembangunan akan memberikan dampak ganda ("multiplier effect") bagi tumbuhnya upaya-upaya pembangunan lanjutan di masa-masa mendatang. Sebab, dengan tergarapnya sumberdaya alam, manusia, dan kelembagaan yang ada, akan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan kemam-puan masyarakat untuk berswakrsa dan berswadaya melaksana-kan pembangunan di masa mendatang pada cakupan bidan garapan yang semakin luas pula.

Sebalinya, jika potensi sumberdaya lokal tidak tergarap dan menggantungkan dari luar, pada suatu saat pasti akan kehabisan kemampuan untuk mendatangkan sumberdaya tersebut, dan kerena sumberdaya lokal (terutama sumberdaya manusia dan kelembagaan) tidak pernah tergarap, tidak akan tumbuh inisiatif dan kemampuan baru untuk melaksanakan pembangunan lan- jutan, sehingga berhentilah pembangunan di wilayah tersebut.

7) Program mencakup perubahan sikap, kebiasaan, dan pola pikir, artinya, perumusan program harus mencakup banyak dimensi perilaku manusia.

Dalam kaitan ini, harus selalu diingat bahwa setiap pemba-ngunan, pada dasarnya harus mampu membangun manusianya. Pembangunan fisik yang tanpa membangun perilaku manusia, seringkali mengakibatkan tidak termanfaatkannya hasil-hasil pembangunan secara maksimal. Sebaliknya, melalui pembangun-an ypembangun-ang berakibat pada perubahpembangun-an perilaku mpembangun-anusipembangun-anya, akpembangun-an menghasilkan manusia-manusia yang berjiwa selalu ingi membangun, erta memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pembangunan yang diinginkan.

Sebagai contoh dapat dikemukakan, kasus pembangunan jamban keluarga" yang tidak diawali dengan menyiapkan

(15)

manusianya dengan perilaku hidup sehat serta cara peman-faatan jamban yang benar, akan berakibat pada tidak termanfaatkannya jamban tersebut; dan di lain pihak, jamban yang ada menjadi tidak terawat seperti sebagaimana mestinya. Sebaliknya, pembangunan yang diawali dengan upaya mengubah perilaku manusianya, akan menghasilkan orang-orang yang penuh inisyatif, kreatif, dinamis, bekerja keras, efisien, mampu memanfaatkan sumberdaya lokal (alam, modal, kelembagaan, dan kemudahan-kemudahan yang ada secara efektif) dan memi-liki kemampuan ketrampilan yang andal untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri

F. Lingkup Materi Program Penyuluhan

Selaras dengan tujuan penyuluhan, Miller (Pesson, 1966) menge-mukakan bahwa, lingkup materi program penyuluhan harus men-cakup segala aspek kegiatan yang berkaitan dengan upaya-upaya peningkatan produksi, peningkatan pendapatan serta perbaikan kesejahteraan masyarakat penerima manfaatnya.

Tentang hal ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya untuk kegiatan produksi,

dengan selalu memperhatikan konservasi sumberdaya alam dan pengelolaan limbah yang ditimbulkannya.

2) Efisien sistem produksi, yang tidak hanya mempertimbangkan efisiensi teknis saja, tetapi juga efisensi ekonomisnya.

3) Efisiensi sistem pemasaran produksi.

4) Pengelolaan usaha, termasuk pengelolaan ekonomi rumah tangga.

5) Pengembangan sumberdaya keluarga (terutama pemuda dan wanita).

6) Pengembangan kelembagaan-ekonomi dan kelembagaan sosial.

7) Pembinaan kepemimpinan, baik kepemimpinan dalam

keluarga, kepemimpinan di lingkungan pekerjaan, maupun kepemimpinan dalam kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial.

Di samping perencanaan program-program yang berkaitan lang-sung dengan upaya peningkatan produksi, peningkatan pendapat-an dan perbaikan kesejahteran masyarakat penerima manfaat.

Tidak kalah pen- tingnya adalah:

1) Program-rogram yang berkaitan dengan pengembangan sistem penyuluhan yang meliputi:

(16)

a) Pengembangan organisasi dan administrasi penyuluhan.

b) Pengembangan sistem-kerja penyuluhan.

c) Pengembangan proses belajar-mengajar dalam penyuluhan. d) Pengembangan: metoda, materi, dan perlengakapan

penyu-luhan.

e) Pengembangan kelembagaan penunjang kegiatan penyuluhan. 2) Program-program yang berkaitan dengan pengembangan karir penyuluh

Pengalaman menunjukkan bahwa, kegiatan penyuluhan pada umum- nya hanya terpusat pada upaya peningkatan produksi, peningkatan pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan masyarakat penerima manfaat, serta upaya-upaya perbaikan dan pengembangan sistem penyuluhannya. Akan tetapi, perhatian terhadap karir penyuluh sebagai pelaksana kegiatan penyuluhan itu sendiri, seringkali dilupa-kan.

Berkaitan dengan itu, beberapa hal yang juga perlu diperhatikan di dalam perumusan program penyuluhan adalah:

a) Sistem Pelatihan, baik untuk meningkatkan kualifikasi kemam puan penyuluh maupun dalam kaitannya dengan promosi jabatan/kenaikan pangkat.

b) Sistem pengupahan, termasuk anggaran penunjang kegiatan penyuluhan yang seringkali harus dikeluarkan dari kantong penyuluh sendiri.

c) Sistem kenaikan pangkat dan jaminan hari tuanya.

H. Keberhasilan Perencanaan Program Penyuluhan

Proses pembangunan, adalah proses interaksi semua pihak (peng-usaha dan masyarakat) untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat. Karena itu, keberhasilan suatu perencanaan program tidak hanya tergantung pada kualifikasi penyuluhan saja, tetapi juga sangat tergantung kepada kondisi faktor-faktor lain. Tentang hal ini, Pesson (Sanders, 1966) mengemukakan adanya lima faktor menonjol yang penting untuk selalu diperhatikan.

Kelima faktor itu adalah:

1) Identifikasi sistem sosial yang bersangkutan

Adanya identifikasi sistem sosial sebelum perencanaan program sangat diperlukan, sebab penerima manfaat pembangunan adalah masyarakat itu sendiri. Melalui identifikasi sistem sosial, akan dapat

(17)

diketahui beberapa hal yang menyangkut: nilai-nilai sosial budaya masyarakat, struktur kekuasaan, kebiasaan perilaku, dan lain-lain yang sangat menentukan keberhasilan perencanaan program.

2) Identifikasi mengenai "key individual" dalam struktur kekuasaan dari masyarakat penerima manfaat

Setiap sistem sosial, biasanya memiliki struktur kekuasaan tertentu dengan "key individual" yang khusus pula. Individu-kunci tersebut, pada umumnya dapat dipegang oleh pemimpin-formal, tetapi dalam banyak kasus dapat juga dipegang oleh tokoh-tokoh informal seperti: pemuka agama, tokoh politik, pedagang, petani-kaya, pelepas uang, dsb.

Karena itu, penelusuran terhadap individu-kunci sangat diperlu-kan dalam perencanaan program, sebab mereka dapat mengem-bangkan opini-publik yang sangat menentukan tingkat partisi-pasi masyarakat demi keberhasilan program yang akan dilaksana-kan.

3) Penerimaan tujuan program oleh key-individual

Karena pentingnya peran key-individual dalam kehidupan masyara-kat, keberhasilan program akan sangat ditentukan oleh sebe-rapa jauh program yang dirancang itu benar-benar telah diterima oleh key-individual. Sebelum rumusan program memperoleh pengesyahan atau legitimasi dari mereka, keberhasilan program masih sangat diragukan.

4) Peran serta secara aktif key-individual dan individu dalam masyarakat

Keberhasilan pembangunan, pada dasarnya sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat, baik dalam pemberian input, pelak-sanaan, pemantauan dan evaluasi, maupun pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Karena itu, peran serta aktif setiap indi-vidu dalam masyarakat penerima manfaat, terutama orang-orang “kunci” akan sangat menentukan keberhasilah perencanaan program.

c) Dorongan aktif dari setiap individu dalam masayarakat

Adanya peran-serta aktif setiap warga masyarakat, sebenarnya belum cukup jika tidak disertai dengan dorongan-dorongan yang mereka berikan demi keberhasilan program. Sebab, peran serta

(18)

masyarakat seringkali hanya terbatas kepada pemenuhan harapan yang dimintakan kepadanya, tanpa dibarengi oleh sikap atau kehendak yang dilandasi oleh pemahaman dan penghayatan tentang manfaat program yang dilaksanakan.

Oleh sebab itu, dalam setiap perencanaan program perlu untuk selalu ditumbuhkan semangat membangun di kalangan setiap warga masyarakat, sehingga mereka tidak hanya berpartisipasi karena diminta, tetapi secara aktif mendorong keberhasilan program-program yang direncanakan.

G. Legitimasi Perencanaan Program Penyuluhan

Perubahan yang Terencana, pada hakekatnya merupakan proses pelaksanaan kegiatan-kegiatan (action) sebagai realisasi dari ide-ide yang ditawarkan kepada masyarakat sasara. Tentang hal ini, Beal dan Bohlen (1955) mengemukakan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh setiap ide sebelum menjadi aksi seperti terlihat pada Gambar 18.

inisiasi organisasi

dari ---> legitimasi---> dan aksi ide-ide perencanaan

Gambar 18. Proses Realisasi Ide

(1) Pengertian Legitimasi

Legitimasi, secara harafiah dapat diartikan sebagai pengakuan atau pengesahan.

Di dalam proses perencanaan program, legitimasi diartikan sebagai proses pengesahan atau suatu proses persetujuan atas ide-ide tentang perubahan yang diinginkan. Artinya, ide-ide perubahan yang akan dilaksanakan, harus memperoleh pengesyahan terlebih dahu-lu dari

(19)

pihak yang memiliki "kekuasaan" sebagai penentu kebijak-an atas segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masya-rakat. Legitimasi, bukanlah sekadar pembubuhan tandatangan atau pembe-rian "setempel karet", akan tetapi suatu proses pengkajian yang cermat dan mendalam atas ide perubahan yang disampaikan. Tidak saja tentang kemungkinan dapatnya diterima, dilaksanakan, terca-painya tujuan yang diinginkan, dan diperolehnya dukungan/partisi-pasi masyarakat pada saat pelaksanaannya; akan tetapi juga kajian atas dampaknya (yang diduga dapat terjadi) terhadap kelang-sungan upaya-upaya perubahan dimasa mendatang (baik dampak sosial-ekonomi, politik, dan ketahanan nasional).

(2)

Makna legitimasi dalam perubahan yang berencana

Selaras dengan tahapan yang harus dilalui oleh setiap ide yang ditawarkan sebelum dilaksanakan, seperti yang dikemukakan oleh Beal dan Bohlen (1955), tahapan "legitimas" memegang fungsi strategis yang harus diperhatikan oleh semua pihak (khusus-nya penyuluh) sebelum melaksanakan suatu perubahan. Sebab, jika tidak memperoleh legitimasi, seringkali proses perubahan yang dilak-sa-nakan itu tidak memperoleh dukungan dan partisipasi masya-rakatnya. Bahkan, dapat pula berakibat fatal, berupa ditolak-nya setiap ide-ide yang akan diajukan pada masa-masa mendatang. Dengan kata lain, legitimasi merupakan tahapan dalam proses perubahan berencana, yang berupa pengakuan/pengesyahan ide-ide tentang perubahan, agar ide-ide tersebut memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat jika ide-ide tersebut akan dilaksanakan.

(3)

Pemberi legitimasi

Di atas telah disinggung bahwa, pemberi legitimasi adalah semua pihak yang memegang fungsi pengambilan keputusan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan segala macam aspek kehidupan masyarakat banyak.

Di dalam praktek, ternyata pihak pemberi legitimasi tidak ter-batas pada pemimpin-pemimpin formal di dalam jalur birokrasi pemerintah, tetapi juga dipegang oleh para pemimpin informal dari sistem sosial yang bersangkutan. Bahkan, seringkali, kedudukan pemimpin informal (pemuka adat, keagamaan, "key-person” pemasok kebutuhan masyarakat, penyedia kredit, dll) justru lebih "kuat" atau lebih harus diperhitungkan.

(20)

Pemberian legitimasi

Di atas telah disinggung bahwa, maksud "pencarian" legitima-si adalah untuk memperoleh dukungan pemegang "kekuasaan" atau penentu kebijakan, serta partisipasi masyarakat dalam upaya merealisasikan ide-ide yang ditawarkan.

Karena itu, legitimasi atas ide-ide tersebut terutama akan sangat tergantung kepada:

a) Kemampuan "penyuluh" untuk merancang dan

mengorganisasi-kan perubahan berencana.

Hal ini, dapat dilihat dari pengalaman mereka selama mena-ngani kegiatan perubahan berencana yang pernah dilaksanakan.

b) Kesesuaian ide dengan kebutuhan masyarakat (lokal, regio-nal, ataupun nasional), baik kesesuaiannya dengan kebutuhan nyata (real needs) maupun kebutuhan yang dirasakan (felt needs).

c) Upaya para "penyuluh" untuk meyakinkan para penentu kebi-jakan tentang arti penting (manfaat, tujuan) yang dapat diha- rapkan dari pelaksanaan ide-ide yang ditawarkan.

Dengan kata lain, tergantung kepada kemampuan penyuluh untuk mengkomunikasikan ide-ide kepada pemegang kekuasa-an legitimasi.

Selaras dengan hal ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan bagi diperolehnya legitimasi atas ide-ide perubahan berencana yang mencakup (Sumayao, 1986):

a) Karakteristik ide yang meliputi

 Kompleksitas ide, yaitu tingkat kompleksitas pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan ide-ide tersebut.

 Sumberdaya yang diperlukan, baik yang harus disediakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.

 Tingkat keterukuran manfaat, terutama tingkat keterukuran (dapat diukur) secara kuantitatif.

 Peluang tercapainya manfaat yang dapat diharapkan, baik peluang secara teknis, ekonomis, maupun kaitannya dengan kebijakan pemerintah (setempat, regional dan nasional

 Tingkat kecepatan diperolehnya manfaat yang diharapkan, baik yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi maupun kelangkaan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk merealisasikan ide-ide yang ditawarkan.

(21)

 Tingkat kemerataan manfaat, yaitu sampai seberapa jauh kemerataan manfaat kegiatan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat (yang sebagaian terbesar justru merupakan lapisan bawah yang harus lebih diperhatikan).

 Pautan antar program, atau keterkaitan kegiatan yang direncanakann dengan program-program lainnya. Semakin banyak dan erat kaitannya dengan program lain, semakin cepat memperoleh legitimasi.

 Keluwesan program, atau sampai seberapa jauh program tersebut dapat "disesuaikan" dengan kondisi dan sumberdaya yang tersedia.

 Kemampuan administrsi, baik untuk merancang, malaksana-kan maupun memantau dan mengevaluasi kegiatan yang direncanakan.

 Luas cakupan administrasi, yaitu seberapa jauh luas cakupan kegiatan yang diusulkan dapat dinikmati oleh masyarakat (baik cakupan geografis maupun cakupan aras sosial-ekonomi).

b) Lingkungan kegiatan yang mempengaruhi, yang meliputi:

 faktor-faktor fisik dan biologis, baik yang dapat/tidak dapat dikendalikan oleh manusia.

 Faktor-faktor ekonomi, yang berkaitan dengan kemampuan ekonomi masyarakat sasara.

 Faktor politis, yang berkaitan dengan kepentingan lokal, regional, dan nasional.

 Faktor sosial, yang berkaitan dengan tingkat keterbukaan atau kekosmopolitan masyarakat penerima manfaat.

 Faktor budaya, misalnya yang berkaitan dengan nilai ekonomi anak, atau peran ganda wanita dalam pembangunan.

 Faktor historis, sesuai dengan pengalaman-pengalaman setempat yang telah dialami dalam melaksanakan perubahan berencana di masa lalu.

3) Partisipasi yang diharapkan, yang meliputi:

 Dari mana pencetus ide, dari atas ataukah dari bawah ?

 Bagaimana cara menggerakkan partisipasi, secara sukarela ataukah secara paksaan ?

 Saluran partisipasi yang digunakan.

 Lamanya partisipasi, sekali saja sepanjang pelaksanaan kegiatan, berkali-kali, ataukah justru terus-menerus selama kegiatan itu masih belum "selesai".

(22)

 Cakupan partisipasi, mencakup sedikit ataukah banyak kegiatan ?

 Berapa banyak penerima manfaat yang akan dicapai (baik dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, serta memanfaatkan hasil perubahan yang direncanakan ?

H. Tahapan Perencanaan Program Penyuluhan

Sebagai suatu sistem pendidikan, tahapan-tahapan dalam peru-musan program penyuluhan dapat mengadopsi tahapan-tahapan perumusan program pendidikan.

Tentang hal ini, Tyler (1949) menyampaikan suatu model peru-musan program penyuluhan yang terdiri atas 5 tahapan, yaitu: (a) pengenalan dan analisis keadaan, (b) penetapan tujuan program, (c) penetapan alternatif kegiatan, (d) penetapan kegiatan yang terpilih, dan (e) pelaksanaan kegiatan (Gambar 22).

Berbeda dengan Tyler, Burger dan Duvel (Crouch dan Chamala, 1981) mengenalkan adanya 6 Model proses dan tahapan-tahapan perumusan program penyuluhan yang kesemuanya merupakan suatu daur (siklus) kegiatan yang tidak henti-hentinya, yaitu:

penetapan kegiatan terpilih pengenalan dan analisis keadaan

pelaksanaan kegiatan

penetapan alternative kegiatan penetapan

tujuan program

Gambar 22. Model Proses Perumusan Porgram Penyuluhan Menurut Tyler, 1949

(23)

1) Model Kelsey dan Hearne (1963), yang terdiri atas tujuh tahap yaitu: (a) analisis keadaan, (b) pengorganisasian perencanaan (c) proses perumusan program, (d) penetapan program yang terencana, (e) perencanaan kegiatan, (f) pelaksanaan kegiatan yang direncanakan, dan (g) usulan penyempurnaan (Gambar 23).

2) Model Pesson (1966), yang terdiri atas delapan tahap yaitu: (a)

pengumpulan data, (b) analisis keadaan, (c) identifikasi masalah, (d) perumusan tujuan, (e) perencanaan kegiatan, (f) pelaksanaan kegiatan, (g) rincian perkembangan pelaksanaan kegiatan, dan (h) rekonsiderasi (Gambar 24).

Gambar 23. Model Proses Perencanaan Program Penyuluhan Menurut Kelsey dan Hearne, (1963)

4. Perumusan Tujuan 5. Perencanaan Kegiatan 3. Identifikasi masalah

PELAKSANAAN

KEGIATAN

(24)

2. Analisis Keadaan 6. Pelaksanaan Kegiatan

PERENCANAN

1. pulan Data 7. Rincian Perkembangan 8. Rekonsiderasi EVALUASI

Gambar 24. Model Proses Perumusan Program Penyuluhan Menurut Pesson, 1966

3) Model Leagans (1955), yang terdiri dari lima tahapan, yaitu: (a) perumusan keadaan dan masalah-masalahnya, (b) perumus-an pemecahan masalah dan tujuannya, (c) perencanaan kegiat-an yang akan dikerjakan, (d) evaluasi, dan (e) rekonsiderasi (Gambar 25).

perumusan pemecahan masalah

perencanaan kegiatan

keadaan dan masalahnya evaluasi

(25)

Gambar 25. Model Proses Perumusan Program Penyuluhan Menurut Leagans, 1955

4) Model Raudabaugh (1967) yang terdiri atas lima tahap, yaitu: (a) identifikasi masalah-masalah, (b) rincian tujuan-tuju-an, (c) perumusan rencana kegiatan, (d) penetapan rencana kegiatan, dan (e) rincian perkembangan pelaksanaan kegiatan (Gambar 26). perumusan rencana kegiatan rincian penetapan tujuan rencana kegiatan rincian identifikasi perkembangan masalah-masalah pelaksanaan kegiatan

Gambar 26. Model Perumusan Program penyuluhan Menurut Raudabaugh, 1967

5) Model Kok (1962), yang terdiri dari sembilan tahapan, yaitu:

(a) survei, (b) analisis keadaan, (c) identifikasi masalah, (d) penetapan alternatif pemecahan masalah, (e) rincian tujuan dan lingkup tujuan, (f) perumusan rencana kegiatan, (g) pelaksanaan rencana kegiatan, (h) evaluasi, dan (i) rekonsiderasi (Gambar 27). Penetapan Tujuan 3 5 4 Identifikasi Perumusan

Masalah Rencana Kegiatan 6

(26)

Analisis Pelaksanaan Keadaan Rencana Kegiatan 1 7 Pengumpulan 8 data/fakta Evaluasi Rekonsiderasi

Gambar 27. Model Perumusan Program Penyuluhan Menurut Kok, 1962

6) Model Dinas Penyuluhan Federal (USA) yang terdiri dari atas 8

tahapan, yaitu: (a) pengumpulan fakta, (b) analisis keadaan, (c) identifikasi masalah, (d) penetapan tujuan yang ingin dicapai, (e) perumusan rencana kegiatan, (f) pelaksanaan rencana kegiatan, (g) rincian perkembangan dan hasil-hasil pelaksanaan rencana kegiatan, dan (h) rekonsiderasi setiap tahapan kegiatan dan dengan mengikutsertakan semua lapisan masyarakat (Gambar 28).

7) Berlandaskan pada keenam model yang diungkapkan tadi, Burger dan Duvel (1981) lantas menyusun suatu model perumu-san program penyuluhan yang terdiri hanya lima tahap, yaitu: (a) konsiderasi, (b) investigasi/pengamatan, (c) persiapan, (d) pelaksanaan, dan (e) evaluasi, seperti yang tersebut dalam Gambar 29.

Tentang model yang diusulkan itu, Burger dan Duvel memberikan penjelasannya sebagai berikut:

a) Rekonsiderasi, yang merupakan proses untuk mempertimbang-kan hal-hal yang mencakup:

 segala kebutuhan pembangunan

 tujuan umum dan skala prioritas kebijakan pembangunan nasional,

 peran dan tanggungjawab personal, selaras dengan kebijakan pembangunan nasional yang bersangkutan,

(27)

 lokalitas kegiatan di mana personal-personal itu berada,

 alternatif-alternatif pendekatan untuk pelaksanaan pemba- ngunan.

Rincian Kegiatan dan Lingkup Tujuan

Penetapan Alternatif Perumusan Rencana Pemecahan Masalah Kegiatan

Identifikasi Pelaksanaan Masalah Rencana Kegiatan Analisis Keadaan Evaluasi

Survei Rekonsiderasi

Gambar 28. Model Perumusan Program Penyuluhan

2

3

persi apan investi gasi pelak sana an rekon side rasi

1

4

evaluasi

5

(28)

Menurut Burger dan Duvel, 1981

b) Pengamatan/investigasi, yang merupakan kegiatan pengumpulan data dan fakta yang mencakup:

 potensi sumberdaya fisik untuk kegiatan produksi,

 keadaan sosial ekonomi, baik lokal, regional, nasional maupun internasional,

 keadaan tata guna tanah dan aspek-aspek sosial psikologis c. Persiapan-persiapan, yang mencakup kegiatan-kegiatan untuk:

 Mempertimbangkan model-model program pembangunan yang pernah dilaksanakan dan model-model lain yang sudah diketahui,

 Membuat jenjang prioritas dari tujuan umum yang ingin dicapai, dan pilih 3 atau 5 tujuan yang terpenting,

 Memperhatikan sumberdaya penyuluhan,

 Merumuskan likasi kegiatan yang akan dipilih,

 Memperhatikan keadaan fisik, sosial ekonomi, tata-guna tanah, dan aspek-aspek sosial prikologis di likasi terpilih.

 Melibatkan seluruh lapisan masyarakat di dalam proses perumusan program penyuluhan.

 Merumuskan tujuan khusus dan rancangan kegiatan komunikasi/penyuluhannya.

d) Pelaksanaan rencana kegiatan, khususnya pelaksanaan kegiatan yang mengarah pencapaian tujuan-tujuan khusus.

e) Evaluasi, yang meliputi kegiatan-kegiatan:

 Merancang rencana evaluasi

 Pelaksanaan survei evaluatif

 Analisis data survei

 Penulisan laporan tentang seluruh kegiatan pembangunan yang telah dapat dilaksanakan

 Mempertimbangkan kembali tentang kegiatan-kegiatan lan-jutan kegiat-an lalan-jutan untuk masa-masa mendatang.

Selain model-model di atas, masih ada model-model perumusan program penyuluhan yang dikemukakan oleh beberapa penulis lain. Beal dan Bohlen (1955), misalnya, mengemukakan suatu proses perumusan program yang terdiri dari 13 tahap yang terbagi dalam 3 tahapan yaitu (Gambar 30)

(29)

 keadaan sekarang,

 ide atau masalah,

 pengajuan usulan, dan

 pengajuan usulan yang lainnya.

b) Tahapan legitimasi (pengesyahan/pengakuan), yang berupa tahapan proses persetujuan.

LEGITIMASI AKSI (PERENCANAAN) INISIASI

perembesan ide

perumusan kebutuhan

kesepakatan untuk bertindak

 pemantapan tujuan &rencana kegiatan

mobilisasi sumberdaya

 penyebarluasan program

 petahapan kegiatan

 evaluasi kegiatan

analisis keadaan

pengumpulan masalah dan ide-ide

pengajuan usulan

pengajuan usulan lainnya

proses

perse

tujuan

(30)

Gambar 30. Model Proses Perumusan Program Penyuluhan Menurut Beal dan Bohlen, 1955

c) Tahapan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, yang mencakup 8 tahap, yaitu:

 perembesan ide-ide,

 perumusan kebutuhan,

 kesepakatan untuk bertindak,

 pemantaban tujuan dan rencana kegiatan,

 mobilisasi sumberdaya,

 penyebarluasan program,

 pentahapan pelaksanaan kegiatan, dan

 evaluasi kegiatan.

Vidyarthi (1961), menyampaikan adanya 7 tahapan proses peren-canaan program penyuluhan, dengan 2 kegiatan lain yang mele-kat dalam tahapan ke-5 dan ke-6 yaitu:

a) pengumpulan dan analisis data yang diperlukan sebagai masukan program,

b) perincian kebutuhan dan tujuan-tujuan sebagai keluaran yang diharapkan,

c) perumusan masalah-masalah sesuai dengan prioritasnya,

d) perumusan pemecahan masalah atau aksi yang akan dilaksanakan.

e) pemilihan masalah dan prioritas kegiatan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kegiatannya (Gambar 31).

pemilihan masalah dan penentuan skala prioritas sesuai kebutuhannya pengumpulan dan analisis data

(masukan) persiapan jadwal

rencana kegiatan

(31)

rincian

kebutuhan/tujuan (keluaran) perencanaan

dan peng-organisasian kegiatan perumusan

aksi untuk pemecahannya

perumusan masalah menurut skala prioritasnya kaji-ulang dan

evaluasi

perkembangan teknologi dan peralatan untuk tujuan jangka panjang

Gambar 31. Model Proses Perumusan Program Penyuluhan Menurut Vidyarthi, 1961

Seperti halnya dengan Burger dan Duvel (1981), Lawerence (1965) mengemukakan suatu model perumusan program penyuluhan yang berupa siklus kegiatan yang tidak kunjung berhenti, yang terdiri atas sepuluh tahapan, yaitu: (a) pengumpulan dan analisis data, (b) perincian kebutuhan dan tujuan, (c) perumusan masalah, (d) peru-musan cara pemecahan masalah, (e) pemilihan masalah menu-rut prioritasnya, (f) perencanaan kegiatan, (g) pelaksanaan rencana kegiatan, (h) kaji-ulang dan evaluasi, (i) telaahan terhadap perkem-bangan kegiatan, dan (j) pengkajian untuk perencanaan pro-gram yang baru (Gambar 32).

Lebih lanjut, Bradfield (1966) juga menawarkan suatu model dari proses perumusan perencanaan program yang merupakan siklus terdiri dari sembilan tahapan, yaitu:

(32)

perincian kebutuhan dan tujuan perumusan masalah

perumusan pemecahan masalah

pemilihan masalah& prioritasnya

perumusan

rencana kegiatan

`

kaji-ulang dan evaluasi

telaahan terhadap perkembangan kegiatan pelaksanaan rencana kegiatan

rekonsiderasi untuk programmendatang

Gambar 32. Model Proses Perumusan program Penyuluhan Menurut Lawrence, 1965

(a) pengumpulan data, (b) analisis data, (c) perumusan program, (d) rumusan pemecahan masalah, (e) perumusan rencana kegiatan, (f) pelaksanaan program, (g) evaluasi, (h) keberhasilan yang dicapai, (i) rekonsiderasi untuk perencanaan program yang akan datang (Gambar 33).

Dari beberapa model perencanaan program penyuluhan pada dasar-nya dapat disimpulkan bahwa, perencanaan program penyuluhan tersebut memiliki tahapan-tahapan yang mencakup:

(33)

1. Pengumpulan data keadaan

2. Analisis dan evaluasi fakta-fakta

3. Identifikasi masalah

4. Pemilihan masalah yang ingin dipecahkan

5. Perumusan tujuan-tujuan dan/atau penerima manfaat-penerima manfaat

6. Perumusan alternatif pemecahan masalah

Keberhasilan yang dicapai

Evaluasi

Pelaksanaan program

Perencanaan kegiatan

Perrumusan pemecahan masalah

Perumusan Program

Analisis data/fakta

Penumpulan Data/fakta

Gambar 33. Model Proses Perencanaan Program Penyuluhan Menurut Bradfield, 1966

7. Penetapan cara mencapai tujuan (rencana kegiatan) 8. Pengesyahan program penyuluhan

9. Pelaksanaan Kegiatan

10. Perumusan rencana evaluasi

11. Rekonsiderasi

(1) Pengumpulan data keadaan

Pengumpulan data keadaan, merupakan kegiatan pengumpulan data-dasar (data-base) yang diperlukan untuk menentukan masalah, tujuan, dan cara mencapai tujuan atau kegiatan yang akan direncanakan.

Karena itu, data yang dikumpulkan harus mencakup:

a) Keadaan sumberdaya, yang meliputi:

(34)

 Sumberdaya alam, baik yang berupa ciri-ciri umum kea-daan alam (jenis dan sifat tanah, keakea-daan iklim, dll) maupun hal-hal khusus yang sering dihadapi (banjir, kekeringan, dan bencana alam yang sering terjadi), maupun prakiraan dan kecenderungan-kecenderungan yang dapat diduga bakal terjadi selam kurun waktu pelaksanaan kegiatan yang akan direncanakan.

Berkaitan dengan sumberdaya alam ini, perlu juga dicatat hal-hal yang menyangkut produktivitas potensial yang seharusnya dapat dicapai dan tingkat produktivitas yang sudah dapat dicapai.

 Sumberdaya manusia, baik yang menyangkut ciri-ciri pendu-duk (keragaman jenis kelami, umur, pekerjaan, pendidikan, dll), kelembagaan (kelompok dan organisasi sosial), maupun adat, agama/kepercayaan, kebiasaan, serta nilai-nilai sosial budaya yang berkembang serta dianut oleh masyarakat setempat.

 Kelembagaan, baik kelembagaan-ekonomi maupun kelemba-gaan sosial yang berkaitan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.

 Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, baik untuk kegiatan penyuluhannya sendiri maupun untuk pelaksanaan kegiatan yang akan dilakaksanakan oleh masyarakat penerima manfaat.

b) Teknologi yang telah digunakan, baik yang menyangkut:

bahan, alat/perlengkapan, teknik atau cara-cara, maupun "reka-yasa sosial" yang sudah diterapkan.

c) Peraturan, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan pemba-ngunan nasional yang sudah ditetapkan dan ketentuan-ketentuan khusus yang diberlakuakan di tingkat lokal.

Data keadaan yang berhasil dikumpulkan (baik yang berupa data primer maupun data sekunder), sejauh mungkin harus disajikan dalam bentuk data kuantitatif yang dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan kualitatif.

(2) Analisis data keadaan

Yang dimaksudkan dengan analisis data keadaan ialah, kegiatan yang mencakup:

(35)

a) Analisis tentang deskripsi data keadaan,

b) Penilaian atas keadaan sumberdaya, teknologi, dan peraturan yang ada, dan

c) Pengelompokan data-keadaan kedalam:  data aktual dan data potensial.

 keadaan yang ingin dicapai dan yang sudah dapat dicapai.

 teknologi yang dapat digunakan/dikembangkan dan yang sudah digunakan.

 peraturan-peraturan yang sudah berlaku dan yang dapat diberlakukan.

Seperti halnya data-keadaan, analisis data keadaan sejauh mungkin juga disajikan dalam bentuk data kuantitatif yang dilengkapi penje-lasan-penjelasan kualitatif.

(3) Identifikasi masalah

Identifikasi masalah, merupakan upaya untuk merumuskan hal-hal yang tidak dikehendaki atau faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang dikehendaki.

Identifikasi masalah, dapat dilakukan dengan menganalisis kesen-jangan:

a) antara data-potensial dengan data aktual,

b) antara keadaan yang ingin dicapai dengan yang sudah dicapai,

c) antara teknologi yang seharusnya dilakukan/diterapkan dengan yang sudah diterapkan, dan

d) antara peraturann yang harus dilakksanakan/diberlakukan dengan praktek atau kenyataan yang dijumpai dalam penerapan pera-turan-peraturan tersebut.

Sehubungan dengan identifikasi masalah, William Pounds (Onduko, 1990) mengisyaratkan adanya 4 (empat) kondisi yang dapat menye-babkan terjadinya masalah, yaitu:

a) Bila terjadi penyimpangan dengan pengalaman masa lalu, atau adanya suatu kondisi "baru" yang berbeda dengan kondisi yang "lama" atau yang sudah biasa dihadapi.

Karena itu, munculnya suatu inovasi atau hasil-hasil pengka-jian yang "baru" dapat menyebabkan masalah yang dirasakan oleh sistem sosial masyarakat penerima manfaat penyuluhan.

b) Bila terjadi penyimpangan antara rencana atau harapan-harapan

(36)

c) Bila ada orang "luar" yang membawa masalah baru kepada istem sosial yang bersangkutan.

d) Bila ada pesaing yang dirasakan akan membahayakan atau mengurangi kepuasan-kepuasan yang sudah dapat dinikmati. Di samping itu, pengenalan masalah juga dapat dilakukan dengan mengkaji pengalaman-pengalaman yang pernah dialami sendiri atau pengalaman yang dilakukan/dialami oleh pihak lain yaitu dengan menganalisis tentang: segala sesuatu yang menyebabkan ketidak puasan atau berkurangnya kepuasan-kepuasan yang semestinya dapat dirasakan.

Sebagai contoh, dengan mengamati terjadinya kemiskinan, kita akan dapat mengenali masalah-masalah yang terjadi di dalam lingkungan (masyarakat penerima manfaat) sendiri melalui telaahan tentang sebab-sebab terjadinya kemiskinan (seperti keterbatasan-keterbatasan dalam: pemilikan aset, pendidikan, pengetahuan, ketram-pilan, kemampuan tawar-menawar, dll).

(4) Pemilihan masalah yang akan dipecahkan

Pada umumnya, dapat dibedakan adanya masalah-masalah umum dan masalah khusus. Masalah umum, dalam masalah yang melibatkan banyak pihak (sektor), dan pemecahannya memerlukan waktu yang relatif lama. Sedang masalah khusus, adalah masalah-masalah yang dapat dipecahkan oleh pihak-pihak (sektor) tertentu, dan pemecahannya tidak memerlukan selang waktu yang lama. Meskipun demikian, baik masalah umum maupun masalah khusus harus diupayakan pemecahannya.

Berkaitan dengan hal ini, yang perlu diperhatikan dalam perenca-naan program penyuluhan adalah:

a) Pemilihan pemecahan masalah yang benar-benar menyang-kut

kebutuhan nyata (real-need) yang sudah dirasakan masya-rakat.

b) Pemilihan pemecahan masalah yang segera harus diupayakan.

c) Pemilihan pemecahan masalah-masalah strategis yang berkaitan dengan banyak hal, yang harus ditangani bersama-sama oleh banyak pihak secara terpadu, serta memiliki pengaruh yang besar demi keberhasilan pembangunan pertanian dan pembangun-an masyarakat pada umumnya.

d) Lebih lanjut, dalam pemilihan masalah yang ingin dipecahkan, perlu dilakukan analisis terhadap "impact point", yaitu: _masalah-masalah strategis yang relatif: mudah dilaksanakan dengan beaya/korbanan sumberdaya yang relatif murah, tetapi mampu memberikan manfaat yang sangat besar ditinjau dari:

(37)

perubahan perilaku, peningkatan produktivitas, dan perbaikan pendapatan serta mutu hidup masyarakat banyak

(5) Perumusan tujuan-tujuan

Bertolak dari hasil penelitian masalah yang akan dipecahkan, tahapan berikut yaang harus dilaksanakan adalah perumusan tujuan atau penerima manfaat-penerima manfaat yang hendak dicapai.

Dalam perumusan tujuan seperti ini, perlu diperhatikan agar penerima manfaat yang hendak dicapai haruslah "realistis", baik ditinjau dari kemampuan sumberdaya (beaya, jumlah dan kualitas tenaga) maupun dapat memecahkan semua permasalahan sampai tun-tas, tetapi dapat dirumuskan secara bertahap dengan target-target yang realistis.

Seperti halnya dalam analisis data keadaan, perumusan tujuan sejauh mungkin juga dinyatakan secara kuantitatif. Hal ini sangat penting, agar memudahkan perumusan rencana evaluasi yang akan dilakukan.

(6) Perumusan alternatif pemecahan masalah

Setiap masalah, pada hakekatnya dapat dipecahkan melalui bebe-rapa alternatif yang dapat dilakukan, yang masing-masing menun-tut kondisi yang berbeda-beda, baik yang menyangkut: besarnya dana, jumlah dan kualitas tenaga yang dipersiapkan, peraturan-peraturan yang harus diadakan, serta batas waktu yang diperlukan. Sehubungan dengan itu, setiap penyuluh seharusnya selalu ber-fikir realistis sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, perumusan tujuan seharusnya tidak dilandasi oleh pemikiran untuk mencapai penerima manfaat yang terbaik yang diinginkan, tetapi sekadar yang terbaik yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan sumber daya, dengan dukungan tekno-logi, peraturan, dan waktu yang tersedia.

Berkaitan dengan itu, Bredfield (1966) memberikan acuan untuk perumusan tujuan sebagai berikut:

a) pertimbangkan semua kemungkinan yang dapat diusaha-kan untuk memecahkan masalah.

b) kesampingkan pemecahan-pemecahan masalah yang di luar kemampuan penyuluhnya sendiri atau di luar batas kewenangan lingkup kegiatan penyuluh.

c) rumuskan hasil atau penerima manfaat kegiatan yang akan dapat dicapai dari setiap alternatif pemecahan masalah, dengan mempertimbangkan:

(38)

d) tingkat kemudahan dan kompleksitas pemecahan masalah,

e) tingkat penerimaan masyarakat atas pemecahan masalah yang direncanakan dan ingin dicapai, serta

f) apakah pemecahan masalah tersebut dapat dilaksanakan

/tidak.

Sehubungan dengan perumusan alternatif pemecahan masalah, seringkali pemecahan masalah yang diajukan justru mengundang masalah baru yang memerlukan penanganan yang relatif lebih sulit, dan memerlukan sumberdaya (beaya, tenaga, waktu, dan perhatian) yang lebih besar. Karena, setiap alternatif pemecahan masalah harus selalu memperhatikan:

a) Strengths atau kekuatan-kekuatan/potensi yang dimiliki, baik yang menyangkut: sumberdaya, kebijakan, faktor pendukung dan penunjang yang dapat diharapkan.

b) Weakness atau kelemahan-kelemahan/kendala yang akan diha-dapi jika alternatif tersebtu akan dilaksanakan.

c) Opportunities atau peluang/kesempatan-kesempatan yang tersedia atau dapat disediakan/diciptakan demi kelancaran pelaksanaan alternatif kegiatan tersebut.

d) Threats atau ancaman-ancaman/resiko-resiko yang harus dihadapi jika alternatif tersebut akan dilaksanakan.

Analisis pemecahan masalah dengan mempertahankan keempat faktor itu, dikenal sebagai SWOT-analysis (Onduko, 1990) atau analisis KEKEPAN (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman). Seperti halnya dengan analisis untuk perumusan masalah, anali-sis pemilihan alternatif pemecahan lmasalah dapat dilakukan dengan melakukan telaahan-telaahan terhadap program-program yang pernah dilaksanakan, yakni dengan memperhatikan:

a) apa masalah yang dihadapi atau kebutuhan-kebutuhan dan tujuan

yang ingin dicapai?

b) apa/siapa yang menyebabkan terjadinya masalah?

c) siapa yang dirugikan dengan terjadinya masalah tersebut?

d) bagaimana pemecahan masalah yang dilakukan?

e) apa resiko atau akibat samping yang muncul dari cara pemecahan yang diterapkan?

(7) Perumusan cara mencapai tujuan

Perumusan cara mencapai tujuan seperti itu, biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk "Rencana Kegiatan" yang mencakup:

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan program penyuluhan pertanian bersama petani menyiratkan suatu pandangan luas tentang partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat

Pendapatan dengan persepsi tingkat kepentingan petani terhadap atribut Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berpengaruh tidak nyata, artinya

Layanan bimbingan karier dalam bimbingan dan konseling (BK) merupakan layanan yang dapat membantu siswa dalam rangka merencanakan karier serta mengambil keputusan sesuai diri sendiri. Perencanaan karier siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) berfungsi untuk pepetaan siswa ke dalam sekolah yang terkait dengan peluang masa depan individu. Penelitian ini menggunakan metode kausal komparatif,. Pengumpulan data menggunakan angket, digunakan dengan beberapa indikator yang berhubungan langsung dengan variable layanan bimbingan karier menggunakan angket dari Tohirin (2013)) dan variable perencanaan karier menggunakan teori dari Winkel dan Sri Hastuti (2005). Hasil menunjukkan adanya pengaruh dari layanan bimbingan karier terhadap perencanaan karier siswa kelas VIII SMP N 8 Sungai Lilin dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,496. Nilai ini berarti memiliki hubungan yang tinggi. Selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk melihat pengaruh antara layanan bimbingan karier dengan perencanaan karier siswa dan di dapatkan koefisien regresi (x) sebesar 0,414. Nilai ini berarti bahwa setiap penambahan 1% nilai kemampuan menggunakan F-learn maka nilai motivasi belajar mahasiswa bertambah 0,414. Kemudian diperoleh nilai Sig. 0,006, karena sig. 0,006 < 0.050, maka variabel layanan bimbingan karier berpengaruh secara signifikan terhadao variabel perencanaan karier siswa. Nilai RSquare sebesar 0,587 yang artinya besaran sumbangan variabel Layanan BK terhadap variabel Perencanaan Karir Siswa sebesar 58,7%, sisanya (41,3%) berasal dari variabel lain.