• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKAYASA GENETIK DALAM BIDANG PANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKAYASA GENETIK DALAM BIDANG PANGAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH

APLIKASI REKAYASA GENETIK DALAM BIDANG PANGAN

SENIATI SALAHUDDIN H31112281

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2014 BAB I

(2)

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu biologi molekuler telah memberikan dampak yang spektakuler terhadap kemajuan berbagai cabang ilmu lain, termasuk Pemuliaan Tanaman (Plant Breeding). Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa perbaikan genetik melalui pemuliaan tanaman konvensional telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalampenyediaan pangan dunia. Hal ini ditandai dengan terjadinya peningkatan produksi pangan dunia akiba revolusi hijau (green revolution).

Kehadiran bioteknologi di awal era tahun 1980-an telah memberikan harapan dan janji baru untuk mengatasi bahaya kelaparan dan rawan pangan global. Perbaikan sifat tanaman telah dapat ditangani secara molekuker, meskipun masih banyak keterbatasannya.

Realitas keadaan tanaman di lahan petani, tentunya jauh lebih kompleks dibandingkan dengan sistem percobaan atau eksperimen yang telah banyak dilakukan di laboratorium atau di lahan yang serba terkendali. Sejak laporan tanaman transgenik pertama kali diterbitkan pada tahun 1984 (Horsch et al.,1984) berbagai kemajuan akibat penggunaan teknologi baru ini terus dicapai. Hasilnya cenderung mengarah pada tujuan yang praktis dan nyata dalam upaya perbaikan sifat-sifat tanaman.

Perkembangan kemajuan teknologi saat ini telah memungkinkan dilakukan perbaikan sufat tanaman melalui rekayasa genetika. Dengan teknologi ini, gen dari berbagai sumber dapat dipindahkan kepada tanaman yang akan diperbaiki sifatnya, sehingga teknologi ini biasa disebut teknologi transgenik. Tanaman transgenik

(3)

pertama kali dilakukan pada tahun 1980-an dimana telah dihasilkan 23 tanaman transgenic, tahun 1989 meningkat menjadi 30 tanaman dan pada tahun 1990 sudah lebih dari 40 jenis tanaman.

(4)

ISI

A. Rekayasa Genetika

Rekayasa genetika merupakan suatu cara memanipulasikan gen untuk menghasilkan mahluk hidup baru dengan sifat yang diinginkan. Rekayasa genetika disebut juga dengan DNA Rekombinan melibatkan upaya ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen. Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian teknologi DNA rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA rekombinan adalah pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.

Prinsip rekayasa genetika sama dengan pemuliaan tanaman, yaitu memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan menambahkan sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman mahluk hidup pengganggu maupun cekaman lingkungan yang kurang menguntungkan serta memperbaiki kualitas nutrisi makanan. Perbedaan rekayasa genetika dengan pemuliaan tradisional adalah kemampuan rekayasa genetika dalam memanfaatkan gen-gen yang tidak dapat dipergunakan secara maksimal pada pemuliaan tradisional karena banyak gen yangterhalang saat penyerbukan.

Dalam rekayasa genetika digunakan DNA untuk menggabungkan sifat mahluk hidup. Hal itu karena DNA dari setiap mahluk hidup mempunyai struktur yang sama,

(5)

sehingga dapat direkomendasikan. Selanjutnya DNA tersebut akan mengatur sifat-sifat mahluk hidup secara turun-temurun.

Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan mengisolasi dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya produk gen tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara konvensional.

Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu. Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon, pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan, reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA rekombinan.

Isolasi DNA

Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah lisis sel. Bahan-bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus disertai dengan

(6)

perusakan membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis, remukan-remukan sel harus dibuang. Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan amonium asetat dan alkohol atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl.

Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.

Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA. DNA plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom

(7)

lebih tinggi daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan.

Enzim Restriksi

Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K dan C. Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih kurang sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini, dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1. Namun, jika l yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.

Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi

(8)

beberapa basa pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.

DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan terhadap enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang diinfeksikan dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap enzim restriksi.

Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA. Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.

Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi tipe I. Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri lainnya.

Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri. Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja rekayasa genetika.

Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai berikut:

(9)

1. mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam molekul DNA.

2. memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat pengenalannya.

3. menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.

Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal yang mempunyai sumbu simetri rotasi. Gambar 11.3 memperlihatkan beberapa enzim restriksi beserta tempat pengenalannya.

Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri, dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.

Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung kohesif.

Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan mempunyai ujung 5’ yang tumpul karena masing-masing untai

(10)

tunggalnya sama panjangnya. Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen DNA dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.

Ligasi Molekul – molekul DNA

Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah berbentuk linier.

Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut sebagai enzim T4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’. Dengan untai tunggal semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA ligase.

Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan

(11)

tersebut. Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).

Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor, khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas akan menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat dilakukan beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml), perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5’ pada molekul DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’ seperti telah disebutkan di atas.

Transformasi Sel Inang

Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut. menggunakan teknik elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel

(12)

inang ini dinamakan transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.

Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu telah dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi E.coli.

Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari bakteriofag l. Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya daripada molekul DNA kecil.

Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidak-tidaknya transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2

(13)

akan menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran ini akan membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini kemudian diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan.

Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan

Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.

Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid (lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal, (2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang

(14)

hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi.

Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang teknik PCR dapat dilihat pada Bab XII. Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.

(15)

Secara keseluruhan tahapan DNA rekombinan dapat dilihat dari gambar

berikut :

B. Rekayasa Genetik Tanaman

Perbaikan tanaman melalui rekaya genetik didasarkan pada manipulasi molekuler gen-gen yang relevan dan tersedianya vektor untuk transformasi kedalam sel tanaman. Teknologi gen ini telah menawarkan berbagai metode untuk isolasi,manipulasi, dan ekspresi gen-gen tanaman dalam jaringan tertentu pada tingkat yang diingikan. Gen-gen utuh Telah berhasil diekpresikan pada sel-sel yang ditransformasikan atau tanaman yang diregenerasi.

Tanaman transgenik

Transgenik terdiri dari kata trans yang berarti pindah dan gen yang berarti pembawa sifat. Jadi transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk hidup

(16)

kemakhluk hidup lainnya, baik dari satu tanaman ketanaman lainnya, atau dari gen hewan ke tanaman. Transgenik secara definisi adalah the use of gene manipulation to permanently modify the cell or germ cells of organism (penggunaan manipulasi gen untuk mengadakan perubahan yang tetap pada sel makhluk hidup). Teknologi transgenik atau kloning juga dilakukan pada dunia peternakan, separti domba dolly yang diambil dari gen sel ambing susu domba yang ditransplantasikan ke sel telurnya sendiri. Pada ikan-ikan teleostei, menghasilkan ikan yang resisten terhadap pembusukan dan penyakit.

Dengan rekayasa genetika dapat dihasilkan tanaman transgenik yang memiliki sifat baru seperti tanaman transgenik yang tahan terhadap hama, tanama kedelai yang tahan terhadap herbisida, dan tanaman transgenik yang mempunyai kualitas hasil yang tinggi. Tanaman transgenik mempunyai potensi manfaat yang besar, karena karena ditengarai dapat meningkatkan produktivitas, memperbaiki gizi, memperbaiki kesehatan dengan mengintroduksi vaksin ke dalam tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida. Saat ini tanaman kedelai dapat dibuat mengandung lebih banyak protein dan zat besi untuk mengatasi anemia.

Organisme transgenik atau di dunia lebih dikenal sebagai Genetically Modified Organism (GMO) merupakan organisme yang sudah mengalami pemuliaan secara genetika dengan mendapatkan sisispan gen baru dengan teknologi rekombinasi genetika. Pada umumnya prinsip dasarnya adalah dengan mengisolasi DNA organisme kemudian dimurnikan dan ditransformasikan ke dalam vektor. Setelah itu ditransfer ke organisme target. Organisme target ini bisa dari jenis yang sama bisa juga dari spesies yang berbeda. DNA sisipan yang dimasukkan tadi akan

(17)

memunculkan sifat baru di dalam organisme tersebut hingga digolongkan sebagai organisme transgenik.

Secara sederhana tanaman transgenik dibuat dengan cara mengambil gen-gen tertentu yang baik pada makhluk hidup lain untuk disisipkan pada tanaman, penyisipaan gen ini melalui suatu vector (perantara) yang biasanya menggukan bakteri Agrobacterium tumefeciens untuk tanaman dikotil atau partikel gen untuk tanaman monokotil, lalu diinokulasikan pada tanaman target untuk menghasilkan tanaman yang dikehendaki. Tujuan dari pengembangan tanaman transgenik ini diantaranya adalah

1. menghambat pelunakan buah (pada tomat).

2. tahan terhadap serangan insektisida, herbisida, virus.

3. meningkatkan nilai gizi tanaman, dan

4. meningkatkan kemampuan tanaman untuk hidup pada lahan yang ektrem seperti lahan kering, lahan keasaman tinggi dan lahan dengan kadar garam yang tinggi.

Teknik Rekayasa Genetika dalam Menghasilkan Tanaman Transgenik

Gen interes yang ditransformasikan ke genom tanaman untuk memperoleh sift yang diinginkan seperti ketahanan terhadap cekaman biotek, dapat diisolasi dari berbagai organisme seperti cendawan, bakteri, virus, serangga, binatang, atau tanaman lain. Gen untuk ketahanan terhadap serangga yang telah diisolasi dari tanaman adalah cowpea trypsin inhibitor, GNA, yaitu gen yang mengkode snowdrop

(18)

lectin Galanthus nivalis agglutinin. Gen tahan serangga yang populer adalah gen Bt atau gen cry yang diisolasi dari bakteri Bacillus thuringiens. Kata cry adalah singkatan dari crystal yang mempersentasikan gen dari strain Bt yang memproduksi protein kristal. Gen ini bekerja seperti insektisida yang dapat mematikan serangga hama.

Dalam sistem transformasi, gen interes yang akan ditransfer ke tanaman biasanya diklon terlebihdahulu dalam vektor plasmid yang dapat memperbanyak diri dalam Agrobacterium tumefaciens atau Eschericia coli. Gen tersebut digabungkan dengan promoter yang dapat diekspresikan dalam tanaman dan dirangkaikan dengan terminator yang tepat. Promoter merupakan daerah DNA dimana RNA polynerase akan menempel untuk memulai proses transkripsi.

1. Tomat Transgenik

Pada pertanian konvensional, tomat harus dipanen ketika masih hijau tapi belum matang. Hal ini disebabkan karena tomat cepat lunak setelah matang. Dengan demikian, tomat memiliki umur simpan yang pendek, cepat busuk dan penanganan yang sulit. Tomat pada umumnya mengalami hal tersebut karena memiliki gen yang menyebabkan buah tomat mudah lembek. Hal ini disebabkan oleh enzim poligalakturonase yang berfungsi mempercepat degradasi pektin.

Tomat transgenik memiliki suatu gen khusus yang disebut antisenescens yang memperlambat proses pematangan (ripening) dengan cara memperlambat sintesa enzim poligalakturonase sehungga menunda pelunakan tomat. Dengan mengurangi

(19)

produksi enzim poligalakturonase akan dapat diperbaiki sifat-sifat pemrosesan tomat. Varietas baru tersebut dibiarkan matang di bagian batang tanamannya untuk waktu yang lebih lama sebelum dipanen. Bila dibandingkan dengan generasi tomat sebelumnya, tomat jenis baru telah mengalami perubahan genetika, tahan terhadap penanganan dan ditransportasi lebih baik, dan kemungkinan pecah atau rusak selama pemrosesan lebih sedikit.

2. Tanaman Transgenik Resiten Hama (Tahan Serangga)

Tanaman-tanaman yang menghasilkan protein protektifnya sendiri dapat meningkatkan selektivitas kontrol dan mengurangi kerusakan terhadap populasi serangga non target. Kemajuan dalam rekayasa ketahanan serangga pada tanaman transgenik telah berhasil dicapai dengan dengan penggunaan gen-gen protein pengendali serangga dari Bacilus thurigiensis (Bt). Toksin Bt ini berbeda spektrum aktivitas insektisidalnya. Toksisitas serangga dari gen Bt terletak pada protein yang besar yang tidak memiliki toksisitas terhadap serangga yang berguna, hewan, dan manusia. Bentuk aksi toksin Bt ditimbulkan melalui penghambatan transpor ion melewati membran batas serabut pada serangga yang peka. Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora. Dalam bentuk spora, berat toksin mencapai 20% dari berat spora. Apabila larva serangga memakan spora, maka di dalam alat pencernaan larva serangga tersebut, spora bakteri pecah dan mengeluarkan toksin. Toksin yang masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva mengakibatkan sistem pencernaan tidak berfungsi dengan baik dan pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan

(20)

Bacillus thuringiensis kemudian diekstrak dan dimurnikan, makan akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida) dalam bentuk kristal. Pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt toksin.

Mekanisme lain juga ada yang dapat memberikan ketahanan pada tanaman tehadap hama serangga dalam kisaran yang luas. Salah satu mekanisme tersebut didasarkan pada inhibitor tripsin pada tanaman kacang kapri yang telah berhasil diklon oleh Hider et al. (1987) yang menggunakan probeoigonukleotida sintetik.

3. Rekayasa Genetik Ketahanan Herbisida

Herbisida telah memungkinkan pengendalian gulma secara ekonomis dan meningkatkan efisiensi produksi tanaman. Sejumlah herbisida baru memiliki efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang lebih rendah terhadap hewan serta degradasi yang cepat setelah penggunaannya. Ketahan herbisida dapat dicapai paling tidak dengan tiga mekanisme yang berbeda :

1. produksi berlebih target biokimia peka herbisida.

2. Perubahan struktural target biokimia yang mengakibatkan menurunnya aktifitas herbisida.

3. Detoksiikasi-degradasi herbisida sebelum mencapai target biokimia di dalam sel tanaman.

4. Tanaman Transgenik Resisten Penyakit

Perkembangan yang signifikan juga terjadi pada usaha untuk memproduksi tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen penyandi tanaman terselubung (coat protein) Johnson grass mosaic poty virus (JGMV) ke dalam suatu tanaman, diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan. Potongan DNA dari JGMV, misalnya

(21)

dari protein terselubung dan protein nuclear inclusion body (Nib) mampu diintegrasikan pada tanaman jagung dan diharapkan akan menghasilkan tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Virus JGMV menyerang beberapa tanaman yang tergolong dalam famili Graminae seperti jagung dan sorgum yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Gejala yang ditimbulkan dapat diamati pada daun berupa mosaik, nekrosa atau kombinasi keduanya. Akibat serangan virus ini, kerugian para petani menjadi sangat tinggi atau bahkan tidak panen sama sekali.

Ketahanan suatu tanaman terhadap mikroorganisme yang berpotensi sebagai patogen didasarkan pada faktor biokimia ganda. Di antara yang terpenting adalah fitoaleksin, suatu molekul antimikroba yang tidak terdapat pada tanaman sehat tetapi terakumulasi dalam responnya terhadap infeksi mikrobia. Tanaman-tanaman juga memiliki protein antimikrobial seperti chitinase dan thionin yang merupakan inhibitor kuat terhadap pertumbuhan jamur. Selain itu ada indikasi bahwa protein yang menginaktivasi ribosom berukuran 30 kDa (RIP) dari tanaman barlei ternyata memiliki aktivitas anti-jamur.

C. Keunggulan Tanaman Rekayasa Genetika (Genetically Modified Organism) WHO telah meramalkan bahwa populasi dunia akan berlipat dua pada tahun 2020 sehingga diperkirakan jumlah penduduk akan lebih dari 10 milyar. Karena kondisi tersebut, produksi pangan juga harus ditingkatkan demi menjaga kesinambungan manusia dengan bahan pangan yang tersedia. Namun yang menjadi kendala, jumlah sisa lahan pertanian di dunia yang belum termanfaatkan karena

(22)

jumlah yang sangat kecil dan terbatas. Dalam menghadapi masalah tersebut, teknologi rDNA atau Genetically Modified Organism (GMO) akan memiliki peranan yang sangat penting. Teknologi rDNA dapat menjadi strategi dalam peningkatan produksi pangan dengan keunggulan-keunggulan sebagai berikut :

 Mereduksi kehilangan dan kerusakan pasca panen

 Mengurangi resiko gagal panen

 Meningkatkan rendemen dan produktivitas

 Menghemat pemanfaatan lahan pertanian

 Mereduksi kebutuhan jumlah pestisida dan pupuk kimia

 Meningkatkan nilai gizi

 Tahan terhadap penyakit dan hama spesifik, termasuk yang disebabkan oleh virus.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Penggunaan Rekayasa Gentika pada Tanaman yang Dikaji

dari Sisi Positif.

(23)

rekayasa-genetika-pada-tanaman genetically modified-organism-dikaji dari sisi-positif/. Diakses pada tanggal 3 Oktober 2012 pukul 13.24 WITA.

Anonim b, BAB VIII Dasar-dasar Teknologi DNA Rekombinan, http://biomol.wordpress.com/bahan-ajar/dasar-tek-dna-rek/. Diakses pada tanggal 3 Oktober 2012 pukul 13.26 WITA. Bahagiawati, Manajemen Resistensi Serangga Hama pada

Pertanaman Tanaman Transgenik Bt. Buletin AgroBio.

http://biogen.litbang.deptan.go.id/wp/wp-content/uploads/downloads/2012/05/agrobio_4_1_01-08.pdf. 4 (1).

Herman, M,. aplikasi Teknik Rekayasa genetik dalam Perbaikan Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Ketahanan Cekaman

Biotek. Buletin Plasma nutfah.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/161107284_1410-4377.pdf. 16 (1).

Nasir, M., 2002. Bioteknologi Potensi dan keberhasilannya dalam Bidang Pertanian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Rglick, B. dan Pasternak, J. 2003. Molecular Biotechnology Principle and Applications of Recombinant DNA. ASM Press (American Society for Microbiology). Washington.

(24)

KESIMPULAN

1. Teknik rekayasa genetik telah diaplikasikan dalam upaya perbaikan sifat sumber daya genetik tanaman untuk ketahanan terhadap cekaman biotik melalui teknoilogi DNA rekombinan. Adanya teknik DNA rekombinan ini memungkinkan perbaikan kualitas dan peningkatan produksi pangan.

2. Pengembangan produksi pangan melalui rekayasa genetics mempunyai beberapa keunggulan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Proses perancangan dan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dengan sistem Design-Build-Lease, yang menghasilkan FIRR (Financial Internal Rates of Return)

Half adder adalah suatu rangkaian penjumlah dua bit bilangan biner yang hasil penjumlahan biner tersebut terdiri dari jumlahan (sum) keluaran dari XOR dan bawaan

PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA PEMAHAMAN DAN PRESTASI BELAJAR SISWA MELALUI MODEL COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION DIBANTU DENGAN MEDIA FLIP CHART

(1) Pedoman Teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, pengelola puskesmas, perencana bangunan puskesmas, penyedia jasa

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu rumah tangga Dusun Banjaran Magelang. Subjek penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling dimana dengan kriteria

Kemiskinan ( poverty ) merupakan suatu keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, dan

Hasil percobaan menunjukkan bahwa residu endo- sulfan dalam tubuh udang windu tidak terdeteksi setelah 60 hari pemeltharaan pada aplikasi satu L/ha dan 90 har pada ikan