• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil, berhasil guna, serta dapat pula berarti mulai berlaku. Seorang praktisi ahli mendefenisikan efektivitas sebagai pencapaian sasaran yang telah disepakati secara bersama serta tingkat pencapaian sasaran itu menunjukkan tingkat efektivitas ( Tampubolon, 2008:175).

Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kuantitas, kualitas dan waktu telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Sondang P. Siagian juga menjelaskan bahwa efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan.

(2)

Menurut Abdurahman efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Menurut kamus administrasi efektif adalah berhasil guna/tepat guna. Efektif adalah pencapaian sasaran mengenai suasana dagang dan kemungkinan membuat laba/keuntungan. Efektif berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Pekerjaan yang efesien adalah hasil yang dicapai dengan penghamburan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda.

Dalam pengertian teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu efektivitas dilihat berdasarkan pencapaian hasil atau pencapaian dari suatu tujuan. Efektivitas berfokus kepada outcome (hasil) dari suatu program atau kegiatan, yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.

Pada dasarnya, dikemukakan bahwa cara yang terbaik untuk meneliti efektivitas ialah memperhatikan secara serempak tiga buah konsep yang saling berhubungan, diantaranya adalah paham mengenai optimal tujuan, prespektif sistematika, tekanan pada segi tingkah laku manusia dalam susunan organisasi. Efektivitas dijabarkan berdasarkan kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang langka dan berharga secara sepandai mungkin dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan operasionalnya.

Efektivitas dan efisiensi adalah dua hal yang berbeda.Efektivitas adalah melakukan hal yang benar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak

(3)

dicapai.Efesiensi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara benar.Dalam hal ini efektivitas suatu program dapat menimbulkan sasaran atau tujuan yang telah disepakati bersama dapat terwujud dan dilaksanakan dengan baik maupun tidak.

Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya secara komprehensif. Efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokok atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam mengukur efektivitas suatu program atau kegiatan perlu diperhatikan beberapa indikator, yaitu:

1. Pemahaman program 2. Ketetapan sasaran 3. Tepat waktu 4. Tercapainya tujuan

5. Perubahan nyata (Sutrisno, 2007:125-126)

2.1.2 Pendekatan Terhadap Efektivitas

Pendekatan terhadap efektivitas dilakukan dengan bagian yang berbeda, dimana perusahaan mendapatkan input berupa berbagai macam sumber darilingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam perusahaan mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan kembali kepada lingkungannya.

(4)

Pendekatanterhadap efektifitas terdiri dari: 1.Pendekatan Sasaran

Pendekatan ini mencoba mengatur sejauh mana suatu perusahaan berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Sasaran yang perlu diperhatikan dalam pengukuran efektifitas ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkan. Dan memusatkan perhatian terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output. Pendekatan sasaran dapat direalisasikan apabila organisasimampu melakukan pendekatan kepad awarga binaaan sosial dalam mengarahkan kepada tujuan yang ingin dicapaiyaitu semua warga binaan sosial dapat berfungsi sosial.

2.Pendekatan Sumber

Pendekatan sumber mengukur efektivitasmelalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkan. Suatu organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu organisasi terhadap lingkungannya, karena perusahaan mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga dilemparkannya pada lingkungannya. Sementara itu sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan sering kali bersifat

(5)

langka dan bernilai tinggi. Pendekatan sumber dalam organisasi dapat di ukur dari seberapa jauh hubungan antara warga binaan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

3.Pendekatan Proses

Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai defenisi dan kondisi kesehatan dari suatu organisasi. Pada organisasi yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap berbagai sumber yang dimiliki organisasi, yang menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan organisasi. Tujuan dari pada pendekatan proses yang dilakukan organisasi adalah bagaimana organisasi mampu menggunakan semua program secara terkoordinir dengan baik kepada warga binaan (Cunningham, 1978:635,dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013).

2.1.3 Masalah dalam Pengukuran Efektivitas

Kesulitan menilai efektivitas disebabkan oleh beberapa masalah yang tak terpisahkan dari model yang sekarang ada mengenai keberhasilan organisasi.

Masalah-masalah pengukuran ini sangat beraneka ragam baik dalam sifat maupun titik asal mereka. Adapun masalah-masalah dalam pengukuran efektivitas yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

(6)

Maksud susunan disini adalah suatu hipotesis yang abstrak (sebagai lawan dariyang kongkrit) mengenai hubungan antara beberapa variabel yang saling berhubungan. Ia mengungkapkan keyakinan bahwa variabel-variabel tersebut bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang utuh.

2.Masalah stabilitas kriteria

Artinya bahwa banyak kriteria evaluasi yang digunakan ternyata relatif tidak stabil setelah beberapa waktu. Yaitu kriteria yang dipakai untuk mengukur efektivitas pada suatu waktu mungkin tidak tepat lagi atau menyesatkan pada waktu berikutnya. Kriteria tersebut berubah-ubah tergantung pada permintaan,kepentingan dan tekanan-tekanan ekstern.

3.Masalah perspektif waktu.

Masalah yang ada hubungannya dengan hal diatas adalah perspektif waktu yang dipakai orang pada waktu menilai efektivitas. Masalah bagi mereka yang mempelajari manajemen adalah cara yang terbaik menciptakan keseimbanganantara kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang, dalam usaha mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan dalam perjalanan waktu.

4.Masalah kriteria ganda.

Seperti ditunjukkan sebelumnya, keuntungan utama dari ancangan multivariasi dalam evaluasi efektivitas adalah sifatnya yang komprehensif,memadukan beberapa faktor kedalam suatu kerangka yang kompak. Hal yang terpenting adalah bahwa jika menerima kriteria tersebut untuk efektivitas, maka organisasi

(7)

menurut defenisinya tidak dapat menjadi efektif, mereka tidak dapat memaksimalkan kedua dimensi tersebut secara serempak.

5.Masalah ketelitian pengukuran.

Pengukuran terdiri dari peraturan atau prosedur untuk menentukan beberapa nilai atribut dalam rangka agar atribut-atribut ini dapat dinyatakan secara kuantitatif. Jadi, berbicar amengenai pengukuran efektivitas organisasi,dianggap ada kemungkinan menentukan kuantitas dari konsep ini secara konsisten dan tetap. Tetapi penentuan kuantitas atau pengukuran demikian sering sulit karena konsep yang diteliti rumit dan luas. Dihadapkan dengan masalah tersebut, orang harus berusaha mengenali kriteria yang dapatdiukurdengan kesalahan minimum atau berusaha mengendalikan pengaruh yang menyesatkan dalam proses analisis. 6.Masalah kemungkinan generalisasi

Apabila berbagai masalah pengukuran diatas dapat dipecahkan, masih akan timbul persoalan mengenai seberapa jauh orang dapat menyatakan kriteria evaluasi yang dihasilkannya dapat berlaku juga pada organisasi lainnya. Jadi, pada waktu memilih kriteria orang harus memperhatikan tingkat konsistensi kriteria tersebut dengan tujuan dan maksud organisasi yang sedang dipelajari. 7.Masalah relevansi teoritis

Tujuan utama dari setiap ilmu adalah merumuskan teori-teori dan model-model yang secara tepat mencerminkan sifat subyek yang dipelajari. Jadi, dari sudut pandang teoritis harus diajukan pertanyaan yang logis sehubungan dengan relevansi model-model tersebut. Jika model tersebut tidak membantu kita dalam memahami proses, struktur dan tingkah laku organisasi, maka mereka kurang bernilai pandang dari sudut teoritis.

(8)

8.Masalah tingkat analisis

Kebanyakan model efektivitas hanya menggarap tingkat makro saja, membahas gejala keseluruhan organisasi dalam hubungannya dengan efektivitas tetap imengabaikan hubungan yang kritis antara tingkah laku individu dengan persoalan yang lebih besar yaitu keberhasilan organisasi. Jadi, hanya ada sedikit integrasi antar model makro dengan apayang dapat kita sebut model mikro dari karya dan efektivitas (Steers, 1980: 61-64 dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013).

2.2 Pengertian Program

Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu kegiatan. Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di dalam setiap program dijelaskan mengenai:

1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.

2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.

3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. 4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

5. Strategi pelaksanaan.

Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebihmudah untuk diopersionalkan. Hal ini sesuai dengan pengertian program yangdiuraikan.

“A programme is collection of interrelated project designed to harmonize and integrated various action an activities for achieving averral policy abjectives” (suatu program adalah kumpulan proyek-proyek yang berhubungan telah

(9)

dirancang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis dan secara integraft untuk mencapai sasaran kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan.

Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:

1. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program.

2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran.

3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik.

Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik (Jones, 1996:295 dalam jurnal Benni Susanto Kembara, 2010).

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan

(10)

kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. (Siagian,2012:165)

Pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pengupayaan masyarakat yang di dalamnya terkandung gagasan dan maksud kesadaran tentang martabat dan harga diri, hak-hak masyarakat mengambil sikap, membuat keputusan dan selanjutnya secara aktif melibatkan diri dalam menangani perubahan.(Bahari dalam Siagian dan Suriadi, 2012:152)

Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah mengembangkan kemampuan, kemandirian dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat dapat membangun diri dan lingkungannya secara mandiri dengan menciptakan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pembangunan. Untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalam pembangunan, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kewenangan secara proporsional kepada masyarakat untuk mengambil keputusan secara mandiri tentang program – program yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian pemerintah berperan sebagai fasilitator melalui pemberian bantuan, pembinaan/arahan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan ((http://www.bpmpd.baliprov.go.id/id/Sekapur-Sirih2, diakses Selasa, 27 Januari 2015 pukul 22.50 WIB).

Dalam pemberdayaan, peran serta masyarakat diharapkan dapat terwujud bukan hanya dalam bentuk kerja bakti dan donasi, tetapi masyarakat juga harus diberi kesempatan untuk ikut serta dalam menemukan masalah-masalah serta pengambilan keputusan dan penyusunan program pembangunan sehingga

(11)

program yang disusun lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. pemberdayaan masyarakat dewasa ini bangkit menggeliat menuntut haknya yaitu hak berdaulat, hak berkuasa, hak berencana, hak melaksanakan, hak mengawasi dan menikmati hasil pembangunan.(Sulaeman, 2012:8)

Pembangunan masyarakat dengan pemberdayaan dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: (1) masyarakat yang produktif adalah masyarakat yang sehat, (2) proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa, (3) proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai sikap masa bodoh, (4) proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatan merupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis dan mandiri. (Sulaeman, 2012:7)

Pada prakteknya ruang lingkup program pemberdayaan masyarakat dapat diawali dari iktiar sederhana dalam suatu kelompok kecil. Ikhtiar tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi program dan aktivitas yang lebih luas,dan pada kelompok sasar yang lebih luas pula. Efektivitas pemberdayaan masyarakat dapat dicapai jika dirancang dalam masa panjang, melalui rancangan yang tepat, menyeluruh dan akurat, mengembangkan ikhtiar dan dukungan anggota masyarakat sebagai kelompok sasarkan masyarakat, dan berakhir pada pengalaman yang berkesan (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:153)

Pemikiran Smith tersebut secara keseluruhan sesuai dengan asas-asas kaidah yang dikembangkan dalam pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial. Semua metode pekerjaan sosial, baik yang utama maupun pendukung senantiasa meletakkan manusia, baik secara

(12)

pribadi, kelompok ataupun masyarakat sebagai fokus utama. Mereka tidak menerima begitu saja program dari pihak lain atau pihak luar, tetapi dilibatkan dalam proses supaya mereka berubah. Meminjam prinsip pekerjaan sosial, dalam program pemberdayaan masyarakat, maka masyarakat sebagai kelompk sasar tidak diberi ikan, tetapi diberi pancing.

Efektivitas program pemberdayaan masyarakat hanya akan tercapai muatan program tersebut berisian peluang dan masyarakat bersikap tanggap. Selanjutnya masyarakat sadar atas kemampuan dan keterbatasannya dan mau bertindak bersama untuk menacapi keuntungan bersama, dan semua perubahan yang terjadi ditanggapi secara positif (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:154).

2.4 Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial 2.4.1 Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti goverment yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula govermance yang menyeluruh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara.

Banyak defenisi mengenai kebijakan publik. Sebagian ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan sesuatu tindakan yang dianggap akan membawa

(13)

dampak bagi kehidupan warganya. Kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever goverment choose to do or not to do.” Artinya kebijakan publik adalah “apa saja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.” (Brigdman dan Davis, dalam Suharto, 2008:3)

Tidak berarti bahwa dalam kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi non pemerintah, organisasi sosial dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena kebijakan mereka tidak memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.

Kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut (Hogwood dan Gunn, dalam Suharto, 2008:5):

1. Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai.

2. Proposal tentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.

3. Kewenanangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. 4. Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan

sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.

5. Keluaran, yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah sebagai produk dari kegiatan tertentu.

6. Teori yang menjelaskan bahwa jika melakukan X maka diikuti oleh Y. 7. Proses yang panjang dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.

(14)

Brigdman dan Davis menerangkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang salung bertautan, yakni:

1. Kebijakan publik sebagai tujuan

Kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untuk mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.

2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal

Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintah membuat ciri khas kewenangannya. Artinya, kompleksitas dunia politik disederhanakan menjadi pilihan-pilihan tindakan yang sah dan legal untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik.

3. Kebijakan publik sebagai hipotesis

Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan selalu memuat disinsetif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu.

2.4.2 Kebijakan Sosial

Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang

(15)

bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Watts, Dalton dan Smith secara singkat kebijakan sosial menunjukkan pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (Suharto, 2008:10).

Kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori yakni:

1. Peraturan perundang-undangan yakni pemerintah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan.

2. Program pelayanan sosial yakni sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial.

3. Sistem perpajakan yakni dikenal sebagai kebijakan fiskal, selaian sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupaka instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju bantuan publik dan asuransi sosial adalah dua bentuk jaminan sosial yang dananya sebagian berasal dari pajak. (Suharto, 2008:11)

Kebijakan sosial dan kebijakan publik yang penting dinegara-negara maju atau modern dan demokratis, semakin maju dan modern suatu negara maka semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya di negara-negara miskin dan otoriter kebijakan sosial kurang

(16)

mendapat perhatian. Kebijakan sosial pada hakekatnya merupakan kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Dengan demikian makna dari kebijakan sosial adalah kebijakan publik, sedangkan pada makna sosial adalah menunjuk pada bidang-bidang atau sektor yang menjadi garapannya yaitu bidang kesejahteraan sosial.

Ada dua pendekatan dalam mendefenisikan kebijakan sosial sebagai sebuah kebijakan publik yaitu pendekatan pertama mendefenisikan kebijakan sosial sebagai seperangkat kebijakan negara yang dikembangkan untuk mengatasi masalah sosial melalui pemberian pelayanan sosial, dan jaminan sosial.

Pendekatan kedua mendefenisikan kebijakan sosial sebagai disiplin studi yang mempelajari kebijakan-kebijakan kesejateraan, perumusan dan konsekuensinya. Meskipun kedua pendekatan ini memiliki orientasi yang berbeda baik sebagai ketetapan pemerintah maupun sebagai bidang studi keduanya memiliki atau menekankan bahwa kebijakan sosial adalah salah satu kebijakan publik yang menyangkut pembangunan kesejahteraan sosial (Spicker, Bregman dan Davis dalam Suharto, 2008:11-12).

2.5 Kemiskinan

Ditinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi atas masalah kemiskinan, dapat dikemukakan bahwa kemiskikan merupakan masalah pribadi, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. PBB sendiri memiliki agenda khusus sehubungan dengan penanggulangan masalah kemiskinan. Dalam Millenium Development Goals, institusi sejagat tersebut memiliki target tertentu sehubungan dengan upaya penyelesaian masalah kemiskinan di muka bumi ini.

(17)

Demikian halnya dengan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui berbagai kementrian, dinas maupun badan memiliki berbagai program penanggulangan masalah kemiskinan.

Kemiskinan identik dengan suatu penyakit .Oleh karena itu, langkah pertama penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu masalah. Cara berpikir seperti ini mengikuti alur berpikir dalam manajemen perencanaan strategik. Secara manajemen, memahami suatu masalah berarti menapaki 50% jalan penyelesaian masalah tersebut. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskian sebagai suatu proses.

Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara, sebagai suatu proses kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok oarang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Secara umum istilah miskin atau kemiskinan dapat dengan mudah kita artikan sebagai suatu kondisi yang kurang atau minim. Dalam hal ini konsep kurang maupun minim dilihat secara komparatif antara kondisi nyata kehidupan pribadi atau sekelompok orang di satu pihak dengan kebutuhan pribadi atau sekelompok orang di lain pihak. Pengertian minim di sini bersifat relatif, dapat

(18)

berbeda dengan rentang waktu yang berbeda. Dapat pula berbeda dengan lingkungan yang berbeda. (Siagian, 2012:15).

Kemiskinan merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal dengan sumber daya manusia serta kelembagaan (Pearce, dalam Siagian 2012:7). Analisis kemiskinan seperti ini didasarkan pada hipotesis bahwa berbagai unsur yang menjadi elemen suatu ekosistem senantiasa terlibat dalam suatu interaksi. Dalam hal ini kemiskina itu merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang bersifat timpang diantara berbagai elemen yang ada dalam ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Interaksi diantara berbagai elemen yang telah dikemukakan sesungguhnya menentukan kondisi kehidupan manusia dan masyarakat, karena interaksi tersebut menentukan corak, bagaimana daya dukung suatu wilayah bagi kehidupan manusai atau masyarakat yang hidup di sekitarmya.

Secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan secara ketegoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu (Siagian, 2012:114-116):

1. Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang meliputi:

a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.

c. Mental emosional atau tempramental, seperti: malas, mudah menyerah dan putus asa.

(19)

d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.

e. Sosial psikologis, seperti: kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.

g. Asset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar

b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai aset dan alat memenuhi kebutuhan hidup.

c. Terbatasnya lapangan perkerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal.

d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro.

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, seperti zakat.

g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (structural adjusment program)

(20)

i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana. j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata

l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin

2.6 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

2.6.1 Tujuan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

1) Tersedianya pelayanan perumahan yang layak huni bagi keluarga fakir miskin

2) Meningkatnya kemampuan keluarga dalam melaksanakan peran dan fungsi keluarga untuk memberikan perlindungan, bimbingan, dan pendidikan keluarga.

3) Meningkatnya kualitas kesehatan lingkungan pemukiman keluarga miskin

4) Meningkatnya kualitas hidup masyarakat

5) Berkembangnya kegotong-royongan dan kesetiakawanan sosial 6) Meningkatnya kondisi perekonomian keluarga fakir miskin 7) Terentaskannya masalah kemiskinan

2.6.2 Kriteria Kepala Keluarga Penerima Bantuan RS-RTLH

Adapun kriteria yang harus dimiliki kepala keluarga penerima bantuan RS-RTLH adalah sebagai berikut:

(21)

2. Kepala keluarga /anggota keluarga tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiian;

3. Kehidupan sehari-hari masih memerlukan bantuan pangan untuk penduduk miskin seperti zakat dan raskin;

4. Tidak memiliki asset lain apabila dijual tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup anggota keluarga selama 3 bulan kecuali tanah dan rumah yang ditempati;

5. Memiliki rumah di atas tanah milik sendiri yang dibuktikan dengan sertifikat atau girik atau ada surat keterangan kepemilikan dari kelurahan /desa atas status tanah.

6. Rumah yang dimiliki dan ditempati adalah rumah tidak layak huni yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial, dengan kondisi sebagai berikut :

a. Tidak permanen dan / atau rusak;

b. Dinding dan atap dibuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk, seperti : papan, ilalang, bamboo yang dianyam/gedeg, dsb;

c. Dinding dan atap sudah rusak sehingga membahayakan, mengganggu keselamatan penghuninya;

d. Lantai tanah/semen dalam kondisi rusak;

e. Diutamakan rumah tidak memiliki fasilitas kamar mandi, cuci dan kakus.

2.6.3 Kriteria Sarana dan Prasarana Lingkungan

(22)

a. Terletak pada lokasi RS-RTLH;

b. Merupakan fasilitas umum yang mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat terutama warga miskin;

c. Menjadi kebutuhan dan diusulkan oleh masyarakat; d. Legal dan tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial;

e. Masyarakat setempat bersedia untuk mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki seperti : lahan, tenaga dan material. 2.6.4 Kelompok Penerima Bantuan

Kepala Keluarga penerima bantuan dengan difasilitasi oleh Dinas Sosial Kab/Kota membentuk kelompok dengan anggota berjumlah 5 sampai dengan 10 KK. Tugas kelompok adalah :

a. Membentuk pengurus kelompok terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara;

b. Membuka rekening di Bank Pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara;

c. Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi; d. Menetapkan toko bangunan yang akan menjamin penyediaan

barang;

e. Mengusulkan pelaksana yang ahli dalam bidang bangunan (tukang);

f. Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp. 10.000.000,- setiap rumah untuk disetujui oleh Dinas SosialKab/Kota;

(23)

g. Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok; h. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani

tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan

kegiatan RS-RTLH kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi dengan malampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan telah diselesaikannya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.5 Tim Pembangunan Sarling ( Sarana Prasana Lingkungan)

Dalam pelaksanaan pembangunan Sarling di RS-RTLH tim pembangunan sarling mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Menyusun pengurus Tim Sarling yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota;

b. Membuka rekening di bank pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara;

c. Menentukan jenis Sarling yang akan dibangun sesuai kebutuhan masyarakat;

d. Menggali dan mendayagunakan potensi dan sumber local; e. Menggerakkan masyarakat dan dunia usaha untuk berpartisipasi;

(24)

f. Menunjuk tenaga ahli (tukang);

g. Melaksanakan pembangunan Sarling secara bergotong-royong; h. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani

tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan

kegiatan Sarling kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi, dengan melampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan selesainya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.6 Prosedur Pengusulan Kegiatan

Prosedur pengusulan penerima bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungfan adalah sebagai berikut :

a. Dinas Sosial Kab/Kota bersama TKSK/PSM/Karang Taruna/Orsos/Aparat desa/Kelurahan melakukan pendataan KK calon penerima RTLH;

b. Berdasarkan hasil pendataan tersebut, Dinas Sosial/Instansi Kab/Kota mengajukan permohonan bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni ke Kementerian Sosial dengan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi dengan melampirkan data

(25)

lokasi, data calon penerima (by name by address) dan foto rumah;

c. Ditjen Pemberdayaan Sosial cq Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi lapangan;

d. Berdasarkan hasil verifikasi administrasi dan lapangan Ditjen Pemberdayaan Sosial mengeluarkan SK Penerapan KK penerima bantuan RS-RTLH dan alokasi Sarling;

e. Nama penerima bantuan yang sudah ditetapkan dalam SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tidak dapat diganti.

2.6.7 Pelaksanaan Kegiatan 2.6.7.1 Prinsip Pelaksanaan

Prinsip pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan sarling adalah:

a. Swakelola; Baik secara individu maupun kelompok sesuai pasal 39 dan lampiran I Bab III Keppres No.80 tahun 2003.

b. Kesetiakawanan; Dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang.

c. Keadilan; Menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan seimbang antara hak dan kewajiban.

d. Kemanfaatan; Dilaksanakan dengan memperhatikan kegunaan atau fungsi dari barang/ruang/kondisi yang diperbaiki atau diganti.

e. Keterpaduan; Mengintegrasikan berbagai komponen terkait sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan sinergis.

(26)

f. Kemitraan; Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan fakir miskin dan masyarakat pada umumnya dibutuhkan kemitraan dengan berbagai pihak.

g. Keterbukaan; Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini berhak mendapatkan informasi yang benar dan bersedia menerima masukan bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan RS-RTLH.

h. Akuntabilitas; Berbagai sumber daya digunakan dengan penuh tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administratif.

i. Partisipasi; Pelaksaan RS-RTLH dan Sarling dilaksanakan dengan melibatkan unsur masyarakat termasuk dunia usaha dengan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimilikinya.

j. Profesional; Dilaksanakan dengan menggunakan manajemen yang baik dan pendekatan /konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

k. Keberlanjutan; Dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

2.6.7.2 Tahapan Pelaksanaan Bantuan

a. Verifikasi proposal RS-RTLH dan Sarling;

b. Penjajagan calon lokasi kegiatan, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kesiapan daerah dan masyarakat, kelayakan

(27)

calon penerima bantuan dan faktor lainnya yang akan mendukung keberhasilan kegiatan;

c. Sosialisasi

Sosialisasi dilaksanakan dalam rangka memperoleh kesamaan pemahaman dan gerak langkah setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan SarlingSasaran kegiatan sosialisasi mencakup :

1) Dinas/Instansi Sosial Provinsi;

2) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota; 3) Unsur Masyarakat;

4) Pendamping (TKSK).

d. Membangun dan mengembangkan komitmen untuk menyepakati berbagai sumber daya yang dapat dan akan dialokasikan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan program;

e. Penentuan lokasi dan calon penerima; f. Verifikasi Calon Penerima Bantuan;

g. Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling :

1) Melakukan penilaian dan menentukan bagian rumah yang akan diperbaiki;

2) Menetapkan prioritas bagian rumah yang akan diperbaiki berdasarkan pada fungsi dan ketersediaan dana dan sumber lainnya;

(28)

3) Membuat rincian jenis/bahan bangunan yang diperlukan serta besarnya biaya;

4) Melaksanakan pembelian bahan bangunan;

5) Melaksanakan kegiatan perbaikan rumah dan pembangunan Sarling;

6) Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling telah selesai selambat-lambatnya 100 hari setelah dana masuk ke rekening kelompok.

2.6.7.3 Pelaporan

Pelaporan hasil pelaksanaan kegiatan oleh Dinas Sosial Kab/Kota kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, mencakup :

a. Laporan pertanggungjawaban keuangan dana operasional dan Sarling masing-masing Kab/Kota selambat-lambatnya akhir tahun anggaran;

b. Laporan pertanggungjawaban keuangan bantuan RS-RTLH masing-masing kelompok dan Sarling setelah selesai pelaksanaan pekerjaan;

c. Laporan hasil pelaksanaan kegiatan dengan melampirkan foto rumah dan Sarling dalam kondisi sebelum, proses dan hasil akhir kegiatan dengan disertakan surat pernyataan penyelesaian pekerjaan untuk kelompok, disampaikan selambat-lambatnya 14 hari setelah pekerjaan selesai.

2.6.7.4 Pelaksanaan Program 1) Unsur Pemerintahan

(29)

• Kementrian Sosial • Dinas Sosial Provinsi • Jajaran Pemkot/Pemkab • Dinas Sosial Kota/Kabupaten • Dinas/Instansi/Lembaga terkait 2) Unsur Masyarakat

• Penerima Bantuan

• Tokoh Masyarakat, tokoh Agama, tokoh adat • TKSK, PSM, Karang Taruna, Tagana

• WKSBM, FCU

• Organisasi Sosial / LSM 3) Dunia Usaha

2.6.7.5 Peran Pihak-Pihak Terkait 1. Kementrian Sosial

• Menyusun pedoman pelaksanaan Bedah Kampung • Menyiapkan anggaran Bedah kampung

• Melakssanakan penjajakan dan verifikasi ke lokasi calon penerima kegiatan

• Melaksanakn Koordinasi dengan pihak-pihak terkait • Menetapkan lokasi Bedah kampung berdasarkan usulan

daerah

• Menyalurkan bantuan Bedah Kampung

(30)

2. Provinsi

• Menerima usulan dari kab/kota data calon penerima bantuan RS-RLTH, Sarling, dan UEP KUBE serta memberikan rekomendasi

• Mengusulkan lokasi yang menjadi prioritas kegiatan • Menggali potensi dan sumber untuk mengoptimalkan

pelaksanaan bedah kampung

• Bersama dengan kementrian sosial RI melakukan penjajakan, pematuhan evaluasi

3. Kabupaten

• Melakukan pendataan/ menyiapkan mengajukan data lokasi bedah kampung dan data by name by addres calon kepala keluarga penerima kegiatan bantuan RS-RLTH, Sarling, dan UEP KUBE kepada kementrian sosial melalui dinas sosial provinsi

• Melibatkan TKSK untuk menggerakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Melakssakan sosial kegiatan bedah kampung kepada penerima bantuan pihak-pihak terkait wilayah kerjanya • Melaksanakan verifikasi calon penerima RS-RLTH,

Sarling, UEP KUBE dalam rangka bedah kampung • Membentuk kelompok penerima bantuan UEP KUBE • Membentuk tim Sarling

(31)

• Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Membuat/ menginformasikan rekening kelompok penerima bantuan dan menyiapkan rrekening untuk bantuan dana operasional untuk bantuan yang bersumber dari dana APBN

• Mengalokasikan dana untuk optimalisasi pelaksanaan bedah kampung

• Menggerakkan potensi sumber kesejahteraan sosial • Melaksanakan monitoring serta evaluasi

• Bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bedah kampung kepada kementrian sosial.

4. Pendamping (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan)

• Membantu membuat rencana usulan kebetuhan perbaikan rumah dan sarling dalam rangka bedah kampung

• Membantu monitoring pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Melaksanakan pendampingan terhadap KUBE

• Membantu memobilisasi massa dalam pelaksanaan bedah kampung

(32)

• Memberikan motivasi kepada masyarakat penerima bantuan

5. Penerima bantuan RS-RLTH

• Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi

• Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp 10.000.000 untuk disetujui dinas sosial Kab/kota

• Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok

6. Masyarakat

• Mengalokasikan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk keberhasilan kegiatan

• Melaksanakan penanggulangan dana dan sumber lainnya yang dibutuhkan

• Bersama kelompok dan tim pembangunan sarling melaksanakan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungan

• Melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan hasil kegiatan bedan kampung

(33)

2.6.8.1 Penyaluran

a. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas penanggung jawab pengelola anggaran (nama dan alamat kantor, penanggung jawab program, nama bendahara pengeluaran, nomor rekening bank dan nomor pokok wajib pajak) ke Dit. PFM untuk dana operasional (tembusan disampaikan kepada Dinas/Instansi Sosial Provinsi);

b. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas dan nomor rekening Dinas Sosial yang sudah ada, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening Tim Sarling;

c. Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin mengajukan SPP-LS ke bagian keuangan Direktorat bJenderal Pemberdayaan Sosial dengan melampirkan SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tentang penetapan penerima bantuan serta nomor rekening Dinas Sosial Kb/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening tim Sarling untuk dibuatkan SPM-LS;

d. Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan SPM-LS ke KPPN dilampiri SK Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial tentang penerima bantuan RS-RTLH dan Sarling, serta dana operasional;

e. KPPN menerbitkan SP2D dan menyalurkan ke rekening Dinas Sosial Kab/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening tim Sarling;

(34)

f. Pencairan dana kegiatan RS-RTLH dari rekening kelompok

dapat dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi/persetujuan dari Dinas Sosial Kab/Kota.

2.6.8.2 Penggunaan Dana

a. Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit rumah; Rp. 10.000.000,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut :

Tabel 2.1

Rincian Penggunaan Dana Bantuan RS-RTLH

Uraian % Jumlah (Rp)

Pembelian bahan bangunan dan konsumsi 90 9.000.000,-

Biaya tukang 10 1.000.000,-

J u m l a h 100 10.000.000,-

b. Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit Sarling;

Rp. 45.000.000,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut :

Tabel 2.2

Rincian penggunaan Dana Bantuan sarling

Uraian % Jumlah (Rp)

(35)

Biaya tukang 10 4.500.000,-

J u m l a h 100 45.000.000,-

c. Jumlah dana untuk operasional kegiatan sebesar Rp. 12.500.000,- yang digunakan untuk:

• Sosialisasi

• Monitoring dan Evaluasi • Pelaporan

d. Apabila sampai dengan akhir tahun anggaran masih terdapat sisa dana operasional, maka Dinas Sosial kab/Kota harus segera menyetor ke kas Negara dengan blanko Surat Setoran Pengembalian Belanja, belanja barang non operasional lainnya dengan kode 521218 an. Direktorat PFM kode Satker 440207. e. Seluruh pajak dan penerima Negara bukan pajak dalam

pelaksanaan kegiatan dana operasional disetorkan ke kas Negara oleh pihak Dinas Sosial Kab/Kota sesuai peraturan perpajakan yang berlaku dengan menyampaikan bukti setoran pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin.

(36)

Sanksi hukum akan dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila :

a. Dinas Sosial selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana operasional tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya;

b. Kelompok penerima bantuan stimulan RS-RTLH selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana bantuan tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya;

c. Tim Sarling selaku pengelola dan penanggung jawab dana Sarling tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya. 2.6.10 Landasan Hukum

a. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 (ayat 2), 28 Huruf H ayat 3, 33, 34 ayat 1dan 2

b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tenteng Kesejahteraan Sosial

c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan fakir Miskin

d. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan kesejahtraan sosial Bagi masyarakat Miskin

e. PP 33Tahun 2007 tentang Pembagian Tugas pemerintahan antara pemerintah daerah, provinsi, dan pemerintah Kab/Kota.

(37)

Kesejahteran berasal dari kata “sejahtera”. Sejahtera ini mengandung pengertian dari bahasa Sansekreta “Catera” yang berarti Payung. Dalam konteks ini, kesejahteraan yang terkandung dalam arti “cartera” (payung) adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin. Sedangkan sosial berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan, teman, dan kerja sama. Orang yang sosial adalah orang yang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial adalah orang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkungannya secara baik (Fahrudin,2012:8-9).

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat ( Friedlander dalam Fahrudin, 2012:9).

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kesejahteraan sosial merupakan suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosialnya.

(38)

Undang-undang No.06 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial ialah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan sosial, materiil ataupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tingi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 yang menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Terdapat perbedaan yang signifikan pengertian kesejahteraan sosial dalam UU Nomor 6 Tahun 1974 dan UU Nomor 11 Tahun 2009. Perbedaan yang menyolok terletak pada cara pemenuhan kesejahteraan sosial di mana dalam UU Nomor 6 Tahun 1974 sangat tegas dinyatakan dengan tetap menunjang hak-hak asasi dan Pancasila, namun dalam UU No. 11 Tahun 2009 tidak dijelaskan dalam pengertian kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan sosial mempunyai tujuan yaitu:

1. Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang harmonis dengan lingkungannya.

(39)

2. Untuk mencapai penyesuaian diri yang baik khususnya dengan masyarakat di lingkungannya, misalnya dengan menggali sumber-sumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.

Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan terjadinya perubahan-perubahan sosio-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi sosial yang negatif akibat pembangunan serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat (Friedlander dan Apte dalam Fahrudin, 2012:12).

Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial tersebut antara lain: 1. Fungsi Pencegahan ( Preventive)

Kesejahteraan sosial ditujukan untuk memperkuat individu, keluarga, dan masyarakat supaya terhindar dari masalah-masalah sosial baru. Dalam masyarakat transisi, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu menciptakan pola-pola baru dalam hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru.

2. Fungsi Penyembuhan (Curative)

Kesejahteraan sosial ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi ketidakmampuan fisik, emosional, dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungi kembali secara wajar dalam masyarakat. dalam fungsi ini tercakup juga fungsi pemulihan (rehabilitasi).

(40)

3. Fungsi Pengembangan (Development)

Kesejahteraan sosial berfungsi untuk memberikan sumbangan langsung atau tidak langsung dalam proses pembangunan atau pengembangan tatanan dan sumber-sumber daya sosial dalam masyarakat.

2.7.1 Usaha Kesejahteraan Sosial

Usaha kesejahteraan sosial atau social welfare service pada umumnya hanya disebut sebagai pelayanan sosial atau social service. Cassidy seperti dikutip oleh Friedlander (1980) mengatakan “sebagai kegiatan-kegiatan terorganisasi yang terutama dan secara langsung berhubungan dengan pemeliharaan, perlindungan, dan penyempurnaan sumer-sumber manusia, dan kegiatan ini meliputi usaha-usaha asistensi sosial, asuransi sosial, kesejahteraan anak, pencegahan kriminalitas, kesehatan mental, kesehatan masyarakat, pendidikan, rekreasi, perlindungan buruh dan perumahan.

Dalam UU No. 06 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa “ Usaha Kesejahtraan sosial adalah semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial. Sementara UU No. 11 Tahun 2009 dinyatakan usaha kesejahteraan sosial itu merupakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yaitu yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang

(41)

meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Dalam usaha kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial memegang peranan sentral yaitu sebagai “metha-institution” (Siporin dalam Fahrudin, 2012:16). Hal ini berarti bahwa dalam usaha kesejahteraan sosial, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat,baik langsung maupun tidak langsung, maka profesi pekerjaan sosial merupakan profesi utama di dalamnya.

Dalam pekerjaan sosial, pemberdayaan dirumuskan sebagai proses yang melibatkan pekerja sosial dalam sejumlah kegiatan dengan dengan klien atau sistem klien yang bertujuan untuk mengurangi ketidakberdayaan yang timbul karena penilaian negatif yang didasarkan atas keanggotaan dalam suatu kelompok yang dicap jelek (Barbara Solomon dalam Robbins et al., 1998). Pemberdayaan meliputi identifikasi atas hambatan-hambatan atau kekuatan yang menyebabkan ketidakberdayaan ataupun pengembangan dan implementasi strategi-strategi khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan ini.

Pemberdayaan mempunyai dimensi objektif dan subjektif. Aspek subjektif dari pemberdayaan adalah self-efficacy yang menunjukkan keyakinan bahwa seseorang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dan untuk mengatur peristiwa-peristiwa dalam kehidupan ( Bandura dalam Robbins et al., 1998). Self-efficacy harus dihubungkan dengan pengembangan kesadaran yang kritis yang membantu mengidentifikasi struktur kekuatan yang kritis yang membantu mengidentifikasi struktur

(42)

kekuatan yang menekankan dan menghasilkan tindakan yang ditujukan untuk mengubah kondisi-kondisi sosial yang menekan atau menyebabkan ketidakberdayaaan.

Program Pemberdayaan Masyarakat merupakan salah satu usaha kesejahteraan sosial. Pemberdayaan masyarakat dengan berbagai aktivitas yang mengikutinya tidak menempatkan masyarakat sebagai penerima program dan bantuan, lalu dicemooh dan disindir karena dikatakan mempunyai mental subsidi dan terlalu bergantung kepada belas kasihan pihak yang berkuasa. Sebaliknya, konsep pemberdayaan masyarakat justru menempatkan secara sentral, dan kepentingan masyarakat senantiasa menjadi variabel utama dalam proses penyusunan unit-unit aktivitas yang akan dilaksanakan.

Beberapa program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan pemerintah antara lain yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), Program Bantuan Langsung Tunai, Pemberdayaan Masyarakat melalui Progran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Beras Untuk Rakyat Miskin (Raskin), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan juga Progam Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni.

Progam Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak merupakan salah satu program Kementrian Sosial yang bertujuan untuk menyediakan pelayanan perumahan yang layak huni bagi keluarga fakir miskin dan meningkatnya kualitas kesehatan lingkungan pemukiman keluarga miskin.

(43)

2.8 Hasil Penelitian Yang Pernah Dilakukan Tentang Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

Penelitian tentang Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Progam RS-RTLH pernah dilakukan oleh alumi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Lisaini, di Kabupaten Padang Lawas Utara dengan hasil penelitian adalah efektifitas program bantuan rumah tidak layak huni oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Kabupaten Padang Lawas Utara adalah tidak efektif. Hasil perhitungan dikatakan tidak efektif dilihat dari beberapa pengukuran yang telah dilakukan yaitu dari pemahaman program sebanyak 1,24, dari ketepatan sasaran sebanyak 1,51, dari ketepatan waktu sebanyak 0,46, dari tercapainya tujuan sebanyak 0,53, dan dari perubahan nyata sebanyak 0,60.

Penelitian tentang efektivitas program RS-RTLH juga pernah dilakukan oleh alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah, Zulhadi, di Kabupaten Lombok Utara. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pelaksanaan program RS-RTLH di Kabupaten Lombok Utara, belum efektif meskipun sudah mampu menguranggi angka kemiskinan, kondisi tersebut dapat di lihat dari beberapa aspek. Aspek pertama yaitu produktivitas, tujuan program dalam menguranggi kemiskinan yang di ukur dari indikator, jumlah KK Miskin semakin berkurang dengan persentase sebesar (0,40yo), mampu meningkatkan

(44)

jumlah rumah layak huni sebesar (O,4Ao ), meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar (OYo). Kedua dari aspek realisasi anggaran program RS-RTLH, yang di ukur dari indikator, tepat sasaran anggaran program sebesar (75yo), tepat waktu pelaksanaan program sebesar (60%). Sedangkan ketiga di lihat dari aspek, kualitas pelayanan, yang di ukur dari indikator, ketercapaian tujuan program sebesar, (0,40yo), mempunyai manfaat yang lebih sebesar (75yoi), ketepatan waktu pelaksanaan program sebesar (50%). Dari hasil penelitian, menunjukan bahwa ada beberapa evaluasi dan perbaikan yang harus dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Pertama Meningkatkan kualitas SDM yang ada, melalui studi banding, sosialisasi, pelatihan-pelatihan yang mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas aparat yang terkait. Kedua, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya pembangunan rumah layak huni, melalui sosialisasi dan ceramah-ceramah, sehingga masyarakat yang mendapatkan bantuan mau benar-benar meluangkan waktu mereka untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan rumah layak huni dan supaya konflik bisa terhindarkan seperti selama ini yang terjadi. Ketiga, melihat kondisi cuaca, sehingga apabila iklim pada bulan tersebut tidak memungkinkan untuk pembangunan infrastrukfur harus ditunda guna menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Keempat, menambahkan volume bantuan program RS-RTLH di Kabupaten Lombok Utara.

(45)

2.9 Kerangka Pemikiran

Permasalahan kemiskinan di negara ini menjadi sesuatu yang tidak boleh tidak dicari solusinya. Berbagai faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut menyebabkan proses untuk meminimalisir kemisikinan berjalan cukup lamban. Namun dalam menanggapi hal tersebut pemerintah pun gencar untuk mencari akar dari permasalahan kemiskinan ini.

Salah satu program pengentasan kemiskinan yang sudah dijalankan di Indonesia yaitu Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni. Program ini ditujukan kepada rumah tangga miskin yang rumahnya tidak memenuhi standar untuk dihuni, dengan maksud agar mereka dapat meningkatkan kehidupan secara wajar.

Melalui Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat, program RS-RTLH sudah dijalankan sejak tahun 2014. Sebagai suatu daerah otonomi yang masih tergolong baru maka keefektivan program pengentasan kemiskinan ini dilihat dari beberapa indikator yaitu bagaimana pemahaman terhadap program, ketetapan sasaran program, ketetapan waktu pelaksanaan, tercapainya tujuan program, dan perubahan nyata.

(46)

Bagan Alur Pemikiran

Rumah Tangga Miskin

Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH)

Indikator Efektivitas Pelaksanaan Program dapat dilihat berdasarkan:\ 1. Pemahaman terhadap program 2. Ketetapan sasaran program 3. Ketetapan waktu pelaksanaan 4. Tercapainya tujuan

(47)

2.10 Defenisi Konsep dan Operasional 2.10.1 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji, untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian,maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang diteliti. Proses dalam upaya dan penegasan dan pembatasan mana konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep.

Dengan kata lain, peneliti berupaya mengiringi para pembaca hasil penelitian itu memaknai konsep itu sendiri dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh sipeneliti, jadi defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:136-138). Untuk lebih memahami pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai berikut:

1. Efektivitas dalam penelitian ini adalah suatu proses untuk melihat sejauh mana keberhasilan suatu program dalam

(48)

mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya melalui output dari program tersebut.

2. Program dalam penelitian ini adalah suatu cara yang disusun dengan sistematis dan terstruktur untuk memulai suatu kegiatan.

3. Pemberdayaan Masyarakat dalam penelitian adalah suatu upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin melalui program-program yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan penyusunan program dan menjadi sasaran program tersebut.

4. Progam Rehabilitasi Sosial Tidak Layak Huni dalam penelitian ini adalah suatu kebijakan sosial yang dirumuskan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat miskin agar memiliki rumah yang layak huni sehingga bisa melakukan fungsi sosialnya dengan baik di dalam masyarakat.

2.10.2 Defenisi Operasional

Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan bahwa perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Jika defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa objek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional

(49)

ditujukan dalam upaya transfornasi konsep kedunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011:141)

Defenisi operasional tidaklah mungkin ditetapkan jika konsep itu tidak merujuk sama sekali pada suatu realitas tertentu. Harus diingat bahwa konsep yang mempunyai rujukan empiris ini masih harus dipandang sebagai konsep yang belum sepenuhnya operasional. Oleh karena itu, menurut Bernard S. Philips sebuah konsep baru akan disebut konsep yang operasioanl jika konsep itu sudah menyatakan secara eksplisit konsekuensi metode operasinya. (Suyanto, 2005:51).

Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian Efektivitas Progam Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Bantuan Sosial Rumah Tidak Layak Huni oleh di Dinas Sosial Kabupatan Nias Barat ini diukur dari indikator-indikator berikut ini:

1. Pemahaman terhadap program yaitu sesuatu yang dikatakan efektif apabila penerima bantuan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni memahami apa yang menjadi tujuan dari program RS-RTLH. Pemahaman terhadap program meliputi: a. Sumber informasi tentang Progam RS-RTLH

b. Pengetahuan responden mengenai syarat-syarat menjadi penerima bantuan sosial RS- RTLH.

c. Pemahaman responden setelah mendapatkan informasi tentang bantuan sosial RS-RTLH.

(50)

2. Ketetapan sasaran program yaitu sesuatu yang dikatakan efektif apabila kepala keluarga yang mendapatkan program ini sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Tepat sasaran meliputi:

a. Keluarga miskin penerima bantuan b. Kondisi rumah penerima bantuan

3. Ketepatan waktu pelaksanaan yaitu sesuatu yang dikatakan efektif apabila penyelesaian atau tercapainya tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan. Tepat waktu meliputi:

a. Frekuensi awal pelaksanaan program sampai akhir pelaksanaan program

b. Keberlangsungan program

4. Tercapainya tujuan program yaitu hasil pelaksanaaan program sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tercapainya tujuan meliputi:

a. Tersedianya rumah yang layak huni b. Meningkatnya fungsi keluarga

c. Meningkatnya kualitas kesehatan keluarga

d. Berkembanganya kegotong-royongan dan kesetiakawanan sosial

(51)

e. Meningkatnya kondisi perekonomian keluarga fakir miskin f. Terentaskannya masalah kemiskinan

5. Perubahan nyata yaitu perubahan yang dialami masyarakat setelah program selesai dilaksanakan. Perubahan nyata meliputi: a. Kondisi kelayakan rumah

b. Kemandirian c. keterampilan

Referensi

Dokumen terkait

Anda juga akan menghemat waktu karena untuk menampilkan/menuliskan beberapa instruksi yang sama anda hanya membutuhkan waktu yang relative lebih sedikit dibanding

Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara self-efficacy dengan performa atlet, terdapat korelasi yang signifikan antara mental toughness dengan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka topik yang akan dibahas adalah ”PENGARUH CITRA RADIO GOODNEWS FM SEBAGAI RADIO KRISTEN TERHADAP MINAT MEMASANG IKLAN

Dengan mendapatkan hasil bahwa tipe motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik merupakan motivasi yang sama-sama dominan dimiliki oleh fan fanatik MU pada anggota JUI maka

Dari hasil penelitian diperoleh dua isolat bakteri pelarut fosfat dari guano gua kampret Hasil pengujian pada benih tanaman cabai menunjukkan bahwa bakteri ST03 lebih

Pada oxidation ditch ini harus diteliti kadar lumpur yang masuk ke dalam bak  Pada oxidation ditch ini harus diteliti kadar lumpur yang masuk ke dalam bak  oksidasi karena jika

Atas kewenangan yang dimiliki sebagai penyidik perkara korupsi, Jaksa memiliki wewenang khusus yang tertuang dalam Pasal 26 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

[r]