2.1 Nitrogen
Nitrogen (N) merupakan unsur hara esensial bagi tanaman, sehingga bila kekurangan unsur tersebut menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Menurut Sanchez (1979) nitrogen merupakan unsur hara penentu produksi atau sebagai faktor pembatas utama produksi. Nitrogen merupakan salah satu unsur pupuk yang diperlukan dalam jumlah paling banyak namun keberadaannya dalam tanah sangat mobil sehingga mudah hilang dari tanah melalui pencucian maupun menguap ke udara.
Pemberian pupuk nitrogen yang berlebihan menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman sangat hebat dan warna daun menjadi hijau tua. Kelebihan N dapat memperpanjang umur tanaman dan memperlambat proses kematangan karena tidak seimbang dengan unsur lain seperti P, K, dan S.
Gambar 1. Gejala Defisiensi Nitrogen; (a) Tanaman Kekurangan Unsur Nitrogen yang Ditunjukkan oleh Klorosis (Menguning) pada Daun, (b) Daun Tanaman yang Mengalami Kekurangan Unsur Nitrogen Berwarna
Hijau Kekuningan, Sempit dan Berukuran Lebih Kecil. (Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id)
Kekurangan unsur nitrogen mengakibatkan tanaman mengalami gejala defisiensi yang ditunjukkan oleh klorosis (menguning) pada daun, yang dimulai dari daun tertua. Kekurangan unsur nitrogen menyebabkan tanaman kerdil, daun yang lebih tua atau seluruh tanaman berwarna hijau kekuningan, daun yang masih muda berukuran sempit, pendek , tegak dan berwarna hijau kekuningan.
2.1.1. Nitrogen di Dalam Tanah
Nitrogen di dalam tanah berasal dari: (1) mineralisasi N dari bahan organik dan immobilisasinya, (2) fiksasi N dari udara oleh mikroorganisme (penambatan N2 atmosfer oleh mikroorganisme secara simbiotik maupun non-simbiotik), (3)
melalui hujan dan bentuk presipitasi yang lain, (4) pemupukan (Soepardi, 1983; Leiwakabessy, 1988).
Jumlah nitrogen dalam tanah bervariasi, sekitar 0,02% sampai 2,5% dalam lapisan bawah dan 0,06% sampai 0,5% pada lapisan atas (Alexander, 1997). Pada kedalaman tanah yang berbeda terdapat perbedaan kandungan nitrogen. Kandungan nitrogen yang tertinggi terdapat pada permukaan tanah dan umumnya semakin menurun dengan kedalaman tanah.
Unsur N yang ditemukan dalam tanah secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bentuk N-organik dan N- inorganik. Bentuk N-organik meliputi asam amino atau protein asam amino bebas, gula amino dan senyawa kompleks yaitu amonium yang berasosiasi dengan lignin dan polimer-polimernya. Bentuk N-inorganik terdapat dalam bentuk amonium (NH4+), nitrat (NO3-), nitrit
(NO2-), oksida nitrous (N2O), oksida nitrit (NO) dan gas N2 akibat perombakan
mikrobia. N2O dan N2 adalah bentuk yang hilang dari tanah dalam bentuk gas
sebagai akibat dari proses denitrifikasi (Leiwakabessy, 1988).
Vo latilisasi NH3
Ammonification process
2.1.2. Kehilangan Nitrogen
Kehilangan nitrogen dalam tanah terutama disebabkan ole h proses denitrifikasi, volatilisasi, penguraian, pencucian, aliran permukaan, diserap oleh tanaman, serta pemanenan. Denitrifikasi adalah perubahan nitrogen dari keadaan teroksidasi seperti nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-) menjadi bentuk yang lebih
tereduksi seperti gas-gas oksida nitrit (NO), oksida nitrous (N2O) dan unsur
nitrogen bebas (N2). Kehilangan terbesar terjadi dalam bentuk oksida nitrous pada
pH 4,9-5,6, sedangkan pada pH 7,3-7,9 adalah dalam bentuk gas N2 dan sedikit
oksida nitrous (Leiwakabessy, 1988). Kehilangan melalui proses denitrifikasi ini dapat mencapai lebih dari 20%.
Volatilisasi merupakan salah satu penyebab kehilangan nitrogen tanah yang dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu penguapan melalui sistem kapiler tanah dimana NH4+ yang terlarut dalam air bergerak ke lapisan atas dan hilang melalui
proses evaporasi dan kedua disebabkan penempatan pupuk amonium yang kurang tepat di permukaan tanah menyebabkan penguapan secara langsung akibat suhu yang tinggi. Pelepasan dari pupuk urea yang diberikan ke dalam tanah dapat mencapai 10-15% (Leiwakabessy, 1988).
Mineralisasi bahan organik tanah terjadi melalui tiga tahap reaksi utama, yaitu aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Aminisasi dan amonifikasi berlangsung di bawah aktifitas mikroorganisme yang heterotrof sedangkan nitrifikasi dipengaruhi oleh bakteri autotrof (Leiwakabessy, 1988).
Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dari bahan organik (protein) oleh bermacam- macam mikroorganisme (hidrolisis protein dan pembebasan amina-amina dan asam-asam amino). Mikroorganisme heterotrof yang terlibat dalam proses aminisasi dan amonifikasi terdiri dari banyak jenis. Salah satu tahap terakhir dari proses dekomposisi bahan organik ialah hidrolisa protein dan pembebasan amina-amina dan asam-asam amino.
Amonifikasi adalah pembentukan amonium dari senyawa-senyawa amino oleh mikroorganisme. Amina-amina dan asam-asam amino yang dimanfaatkan oleh golongan bakteri heterotrof yang lain dan membebaskan senyawa amonium. Senyawa amonium yang dihasilkan adalah konversi ke nitrit dan nitrat, diambil langsung oleh tanaman, dan dipakai langsung oleh bakteri dalam melanjutkan proses dekomposisi serta difiksasi oleh mineral liat tertentu dari tipe 2:1.
R-NH2+ + HOH R-OH+ + NH3 + Energi
NH3 + HOH NH4OH NH4+ + OH
-Nitrifikasi adalah perubahan dari amonium (NH4+) menjadi nitrit (oleh
bakteri nitrosomonas), kemudian menjadi nitrat (oleh nitrobakter). Proses oksidasi biologi ini dibedakan dalam 2 tahap yaitu : Perubahan amonium menjadi nitrit oleh bakteri nitrosomonas (tergolong bakteri obligat autotrof) dan Perubahan nitrit menjadi nitrat oleh golongan bakteri obligat autotrof (nitrobakter).
2NH4+ + 3 O2 2 NO2- + 4 H+ + H2O
2 NO2- + O2 2NO3
-Di daerah-daerah dengan curah hujan tinggi maka bentuk nitrat ini akan hilang tercuci dari dalam tanah dan pada musim kemarau yang kuat ia akan bergerak lagi ke lapisan- lapisan di atasnya bersama-sama dengan pergerakan air ke atas secara kapiler.
Pada tanah sawah yang digenangi, ditemukan lapisan tipis di permukaan bersifat aerobik dan pada lapisan ini terjadi proses nitrifikasi sehingga pembentukan senyawa NO3- yang stabil dalam keadaan oksidatif. Karena kadar
NO3- di lapisan bawahnya yang anaerob lebih rendah, maka terjadilah proses
difusi NO3- ke lapisan bawah tersebut dan mengalami proses denitrifikasi menjadi
N2 gas dan mungkin N2O yang hilang dari tanah. Cepat hilangnya NO3- dari tanah
tergenang diperkirakan karena denitrifikasi, tercuci, dan diserap tanaman (De Datta dalam Situmorang dan Sudadi, 2001).
Menurut Buckman dan Brady (1969), bentuk N-NH4+ agak tahan terhadap
pencucian karena dapat difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1. Fiksasi ini terjadi di dalam kisi-kisi kristal seperti halnya K+ pada mineral liat tipe 2:1, misalnya montmorilonit, ilit, dan vermikulit.
Urea (CO(NH2)2) merupakan pupuk nitrogen yang telah lama dan banyak
digunakan untuk meningkatkan hasil produksi tanaman pangan. Efisiensi serapan pupuk N (urea) di daerah tropika oleh tanaman padi sawah relatif rendah 30-50%. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% pupuk yang diberikan tidak dapat diambil oleh tanaman padi (Prasad dan De Datta, 1979). Efisiensi pupuk urea yang rendah tersebut disebabkan oleh kehilangan akibat denitrifikasi, pencucian, terbawa aliran permukaan dan volatilisasi.
Urea termasuk pupuk yang higroskopis (mudah menarik uap air) pada kelembaban 73%. Untuk dapat diserap oleh tanaman, nitrogen dalam urea harus dikonversi terlebih dahulu menjadi amonium (N-NH4+) dengan bantuan enzim
urease melalui proses hidrolisis. Namun bila diberikan ke tanah, proses hidrolisis tersebut akan cepat sekali terjadi sehingga mudah menguap sebagai amoniak (Soepardi dan Djokosudardjo, 1980). Pemberian urea dengan disebar akan cepat terhidrolisis (dalam 2-4 hari) dan ini rentan terhadap kehilangan melalui volatilisasi.
Salah satu cara untuk mengurangi kehilangan N adalah dengan memodifikasi bentuk fisik dan kimia pupuk urea sehingga diharapkan dapat memperlambat proses hidrolisis. Pembuatan pupuk urea dalam bentuk ukuran butiran besar dapat meningkatkan ketersediaan pupuk sehingga dapat bertahan lebih lama dan banyak diserap tanaman serta lebih sedikit yang hilang dibandingkan dengan urea pril. Beberapa contoh bentuk baru dari urea a ntara lain; urea super granule, urea briket yang diaplikasikan dengan cara dibenamkan sedalam 15 cm dari lapisan atas (Prasad dan De Datta, 1979).
2.2. Zeolit
Mineral zeolit diketahui pertama kali pada tahun 1756 oleh seorang ahli mineralogi Swedia bernama Freiherr Axer Frederick Cronsteadt. Nama zeolit berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata; Zein (mendidih) dan Lithos (batuan) yang artinya batu mendidih. Karena mineral ini mengeluarkan buih bila dipanaskan, sehingga kelihatan seperti mendidih (Gottardi, 1978; Mumpton, 1984).
Zeolit merupakan mineral kristalin dari kelompok tektosilikat, yaitu alumino-silikat terhidrasi dengan kation alkali dan alkali tanah seperti kalium, natrium, kalsium dan magnesium yang mengisi rongga-rongga kerangka alumino-silikat dan mempunyai struktur tiga dimensi. Susunan strukturnya adalah (Si, Al)O4 tetrahedral, memiliki pori yang berisi molekul air dan kation yang dapat
dipertukarkan. Zeolit dicirikan oleh kemampuannya menyerap dan mengeluarkan air serta menukarkan bagian kationnya tanpa merubah struktur kristalnya.
Rumus umum zeolit menurut Gottardi (1978) adalah :
(Mx+My2+) (Al(x+2y) Sin-(x+2y) O2n) . MH2O
M+ dan M2+ adalah kation monovalen (Na, K) dan divalen (Mg, Ca, Sr, dan Ba), x dan y adalah bilangan tertentu, m adalah jumlah molekul air kristal dan n adalah muatan ion logam.
Mineral zeolit mempunyai saluran dan rongga yang teratur dalam ukuran tertentu bersambungan. Sebagai kristal aluminosilikat terhidrasi dengan kation alkali ataupun alkali tanah, zeolit memiliki struktur dalam tiga dimensi yang tidak terbatas dalam bentuk-bentuk rongga. Unit struktur kristal zeolit terdiri dari kelompok senyawa tetrahedral alumina dan silikat yang bentuknya tergantung dari perbandingannya menurut jenis dan spesies zeolit. Struktur yang dimiliki zeolit menyebabkan mineral zeolit mempunyai karakter yang spesifik (Mumpton, 1984). Stuktur kristalnya terbuka dengan volume ruang hampa cukup besar dengan garis tengah antara 2-8 Ao tergantung dari tipe atau jenis mineral zeolit. Volume dan ukuran garis tengah ruang hampa dalam kisi-kisi kristal merupakan dasar penyaring molekul dalam penggunaan mineral zeolit (Gottardi, 1978).
Zeolit dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis. Zeolit alam terbentuk karena adanya proses perubahan alam (zeolitisasi) dari batuan vulkanik tuf, sedangkan zeolit sintetis direkayasa oleh manusia secara kimia dari bahan baku tertentu (Suwardi, 2002). Jumlah dan komposisi kation dalam zeolit tergantung dari jenis zeolit dan lingkungan pembentukannya, misalnya Mordenit umumnya banyak mengandung kalsium sedangkan K linoptilotit mengandung kalium. Zeolit yang terbentuk pada
lingkungan marin, mengandung banyak natrium sedangkan zeolit yang terbentuk pada lingkungan volkanik mempunyai kadar kalium dan magnesium yang tinggi.
Sampai saat ini deposit yang telah diketahui di Indonesia tidak kurang dari 47 lokasi yang tersebar dari pulau Sumatera, Jawa, Lombok dan Sumba. Lokasi yang telah diteliti secara intensif adalah di daerah Jawa Barat yaitu Bayah (Banten Selatan), Cikembar (Sukabumi), Nanggung (Bogor) dan Cikalong (Tasikmalaya) (Suwardi, 1991).
Mineral zeolit di alam telah banyak ditemukan dalam beberapa jenis, tetapi hanya 10 jenis yang memiliki nilai ekonomis baik dalam bidang industri maupun dalam bidang pertanian yaitu analsim, khabasit, k linoptilotit, erionit, heulandit, laumontit, mordenit dan philipsit, wairakit dan natrolit. Dari ke 10 jenis tersebut hanya 5 jenis yang telah terbukti bermanfaat untuk pertanian, yaitu; klinoptilotit, mordenit, erionit, khabasit dan philipsit. (Suwardi, 2002).
2.2.1. Sifat Mine ral Zeolit
Pada prinsipnya penggunaan zeolit didasarkan atas sifat-sifat mineralogi, fisik dan kimia yang dimiliki mineral ini. Sifat mineralogi zeolit dapat dipelajari dengan menggunakan bantuan alat mikroskop polarisasi DTA (Diffrential Thermal Analysis). Beberapa sifat yang ditetapkan antara lain meliputi struktur kristal, volume rongga, rasio Si/Al, ukuran rongga dimensi saluran, jumlah tetrahedral dan arah sumbuh kristal. Beberapa bentuk struktur kristal zeolit; kubik, hexagonal dan monoklin tetapi yang lebih dominan adalah monoklin (Suwardi, 2002).
Sifat-sifat fisik zeolit sangat beragam dan yang terpenting adalah warna, kerapatan isi, kadar air, besar dan jumlah rongga. Warna zeolit pada umumnya kehijau-hijauan sampai keabu-abuan, oleh karena itu zeolit juga disebut batu hijau. Selain itu, zeolit memiliki warna putih, putih kekuningan, merah muda, coklat kemerahan, dan hijau tua coklat kekuningan. Perbedaan wa rna zeolit disebabkan oleh jenis mineral pengotor diantaranya mineral liat, kuarsa, dan feldspar. Mineral pengotor dapat berubah warna pada kadar air yang berbeda. Kerapatan isi atau bobot isi zeolit lebih ringan dibandingkan dengan mineral
golongan silikat lainnya, yaitu berkisar antara 1.9-2.4 g/cm3. Hal ini dikarenakan mineral zeolit memiliki struktur berongga. Bobot isi sangat erat hubungannya dengan volume rongga dalam zeolit. Volume rongga zeolit berkisar 20-50% dari volume zeolit, jika volume rongga zeolit semakin besar maka bobot isinya semakin rendah (Suwardi, 1997).
Gambar 3. Mineral Zeolit, Digunakan dalam Bidang Pertanian karena Memiliki Sifat-sifat Mineralogi, Fisik dan Kimia yang Bermanfaat dalam Pengembangan Slow Release Fertilizer (Sumber: www.google.co.id)
Sifat kimia zeolit antara lain pH, daya hantar listrik, kapasitas tukar kation (KTK), susunan kimia. Hasil analisis zeolit dari beberapa lokasi (Suwardi, 1997) menunjukkan bahwa pH zeolit berkisar 6.3-8.2 (rata-rata 7.2), dimana pH terendah (6.3) terdapat pada zeolit dari Lampung dan tertinggi (8.2) dari Nanga Panda. Daya hantar listrik zeolit sangat rendah berkisar dari 0.02-0.15 dS/m (rata-rata 0.06 dS/m), karena dalam larutan sedikit mengeluarkan garam- garam yang dapat menghantarkan listrik, sehingga zeolit banyak dimanfaatkan sebagai media tumbuh tanaman. KTK zeolit berkisar antara 71.9-167 me/100g (rata-rata 104.6 me/100g) dengan KTK terendah (71.9 me/100g) terdapat pada zeolit dari Cikembar dan tertinggi (167 me/100g) dari Nanga Panda. Semakin tinggi KTK zeolit menunjukkan sifat zeolit semakin baik.
Zeolit terutama terdiri dari SiO2, Al2O3, K2O, CaO, Na2O, MnO, Fe2O3,
MgO. Zeolit dari Indonesia kaya akan K2O dan CaO. Sifat kimia zeolit terpenting
yang dimanfaatkan di bidang pertanian adalah sifat adsorpsi dan sifat pertukaran kation.
Adsorpsi dapat diartikan sebagai suatu proses melekatnya molekul-molekul atau zat pada permukaan zat yang lain atau terkonsentrasinya berbagai substansi terlarut dalam larutan antara dua buah permukaan. Zeolit memiliki
kemampuan dalam mengikat sejumlah molekul dan ion yang terdapat dalam larutan maupun gas. Adsorpsi molekul oleh zeolit dapat terjadi bila air dihilangkan dari kristal zeolit melalui pemanasan dengan suhu antara 350- 400 0C (Mumpton, 1984). Dalam hal ini, berbagai molekul adsorbate yang berdiameter sama atau lebih kecil dari diameter rongga dapat diadsorpsi, sedangkan molekul yang berdiameter lebih besar dari pori-pori zeolit akan tertahan. Akibat dari pemanasan maka air akan menguap, pada keadaan demikian, rongga maupun saluran-saluran dalam zeolit akan dapat berfungsi sebagai penyaring molekul (Astiana, 1993). Zeolit yang telah kehilangan air dari rongganya dinamakan zeolit yang telah teraktivasi yang dapat berfungsi sebagai pengabsorpsi kation yang efektif.
Pertukaran kation merupakan proses dimana kation-kation yang dapat diadsorpsi dapat ditukar dengan kation-kation lainnya. Pertukaran kation zeolit pada dasarnya adalah fungsi dari derajat substitusi silika oleh aluminium dalam struktur kristal zeolit. Semakin banyak jumlah aluminium menggantikan posisi silika maka semakin banyak muatan negatif yang dihasilkan, sehingga makin tinggi KTK zeolit tersebut dan penetralan dilakukan oleh kation alkali tanah. Susunan kation yang dapat dipertukarkan pada zeolit tergantung pada komposisi mineralnya. Kation-kation yang dapat dipertukarkan ataupun molekul air yang terdapat pada zeolit tidak terikat secara kuat dalam kerangka karenanya dapat dipisahkan atau dipertukarkan secara mudah dengan cara pencucian dengan larutan yang mengandung kation lain (Mumpton, 1984). O leh karena itu zeolit merupakan salah satu dari banyak bahan penukar kation yang mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi. Kapasitas tukar kationnya dapat mencapai 200 sampai 300 me/100g. Kapasitas tukar kation dari zeolit ini terutama merupakan fungsi dari tingkat penggantian Al untuk Si dalam struktur rangka.
Fraksi ukuran butir mineral zeolit yang digunakan ternyata mempengaruhi nilai kapasitas tukar kation, dimana butir berukuran 48 sampai 60 mesh nilainya adalah 96.5 sampai 115.1 me/100g dan ukuran 200 mesh nilainya adalah 109.9 me/100g. Penggerusan mineral zeolit yang lebih halus, menyebabkan kerusakan pada struktur kristal sehingga nilai kapasitas tukar kationnya turun. Ukuran butir
yang terbaik untuk digunakan sebagai penukar kation dalam reaksi pertukaran adalah 48 sampai 60 mesh (Astiana dan Wiradinata, 1989).
2.2.2. Zeolit sebagai Campuran Pupuk
Salah satu aspek penggunaan zeolit dalam bidang pertanian adalah sebagai bahan campuran pupuk, khususnya pupuk nitrogen. Hal ini berdasarkan pada selektivitas adsorpsi zeolit yang tinggi terhadap ion amonium yang mampu mengefisiensikan penggunaan pupuk kimia nitrogen sehingga penyerapan pupuk menjadi lebih efisien. Oleh karena itu zeolit dapat digunakan sebagai bahan pupuk tersedia lambat (slow release fertilizer).
Penambahan zeolit pada pupuk nitrogen akan menjerap amonium yang dikeluarkan oleh pupuk. Jika konsentrasi nitrat dalam tanah menurun, amonium yang telah dijerap oleh zeolit akan dilepaskan kembali ke dalam larutan tanah, dengan cara demikian N yang diberikan ke dalam tanah dapat tersedia dalam waktu yang lama. Pupuk dalam bentuk slow release fertilizers (SRF), dapat mengoptimalkan penyerapan hara oleh tanaman dan mempertahankan keberadaan hara dalam tanah, karena SRF dapat mengendalikan pelepasan unsur sesuai dengan waktu dan jumlah yang dibutuhkan tanaman. Melalui cara ini, pemupukan tanaman, yang biasanya dilakukan petani tiga kali dalam satu kali musim tanam, cukup dilakukan sekali sehingga menghemat penggunaan pupuk dan tenaga kerja (Suwardi, 1991)
Zeolit dapat mencegah terjadinya nitrifikasi karena mineral zeolit dapat menjerap NH4+ pada kisi-kisinya (diameter rongga klinoptilotit 3.9-5.4 Ao
sedangkan diameter NH4+ 1.4 Ao), sehingga bakteri nitrifikasi tidak dapat masuk
karena ukuran tubuh dari bakteri tersebut 1000 kali lebih besar dari diameter rongga zeolit (Alexander, 1977).
2.3. Asam Humat
Menurut Detmer (1871 dalam Orlov, 1985), asam humat adalah “massa hitam berkilau dengan suatu pecahan berkilau yang menyerupai kubah pecah”. Sementara menurut Schubler menyatakan bahwa dalam keadaan kering asam
humat “berubah menjadi tidak beraturan, berupa potongan-potongan kecil dengan pecahan berkilau dan berwarna hitam berkilau”. Kerapatan asam humat dalam keadaan rata-rata mendekati 1.6 g/cm3. Dengan rata-rata nilai kerapatan 1.6 g/cm3, asam humat dapat direkomendasikan untuk penggunaan di lapangan sesuai dengan teori yang dipelajari. Kerapatan asam humat cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya derajat dekomposisi (Orlov, 1985).
Unsur atau penyusun utama asam humat ialah karbon. Kandungan karbon yang dimiliki asam humat berfluktuasi pada kisaran 56-62%. Sementara kandungan hidrogen dan nitrogen berturut-turut berada pada kisaran 2-5.5% dan 2-8% (Orlov, 1985; Orlov, 1992). Data lain menunjukkan kandungan karbon asam humat berkisar antara 41-57% (Tan, 1992). Asam humat tidak hanya mengandung C, N, H, dan O tapi juga terdapat sulfur dan fosfor. Asam humat juga mengandung unit aromatik dengan ikatan asam amino (organik N), peptida, asam alipatik dan bahan campuran lain yang tipe dan jumlahnya akan tergantung kepada jenis tanah dan tanaman (Orlov, 1985). Menurut Eggertz (1888 dalam Orlov, 1985), di dalam asam humat terdapat 0.6-1.1% sulfur dan 0.2-3.7% P. Dalam hal ini Eggertz juga menemukan bahwa asam humat mengandung 5.6% aluminium, 0.05-0.15% sodium, lebih dari 0.6% potasium dan sedikit magnesium dan Mn.
Berdasarkan tingginya karbon yang terdapat dalam asam humat, asam humat dikelompokkan ke dalam kelas carbonized (carbon-rich) compounds. Banyak bagian residu tanaman mengandung karbon tidak kurang dari asam humat, tetapi adakalanya kurang dari asam humat. Misalnya lignin mengandung 65% C dan lipid sekitar 72%. Pada saat yang sama karbohidrat relatif miskin karbon dan kaya akan oksigen, dimana glukosa mengandung karbon mendekati 40%. Jadi dalam komposisi elemen, asam humat menempati posisi menengah antara lignin dan karbohidrat, sementara asa m fulvat mendekati kandungan elemen yang dimiliki karbohidrat dan protein (Orlov, 1992).
Kemasaman total atau kapasitas tukar senyawa-senyawa humat tanah dikarenakan oleh kehadiran proton yang dapat terdisosiasi atau ion-ion H pada gugus karboksil aromatik dan alifatik dan gugus hidroksil fenolik. Asam humat
dicirikan oleh kemasaman total dan kadar karboksil yang lebih rendah daripada asam fulvat, kemasaman total asam humat umumnya adalah sebesar 5-6 mEk/g (Tan, 1992).
Selain unsur-unsur yang sudah disebutkan di atas, asam humat juga mengandung asam amino. Komposisi asam amino yang terdapat dalam asam humat bervariasi. Menurut Sowden (1970 dalam Orlov, 1985), terdapat 18 jenis asam amino yaitu asam aspartat, threonin, serin, asam glutamat, prolin, gysin, alanin, valin, cystein, methionin, isoleusin, leusin, tyrosin, phenilalanin, ornithin, lysin, histidin, dan arginin. Diantara asam amino tersebut, asam aspartat, asam glutamat, glysin, alanin, dan leusin berada cukup banyak di dalam asam humat.
2.3.1. Humus dan Asam Humat
Tanah disusun oleh beberapa komponen, diantaranya adalah : bagian anorganik, bahan organik (bahan organik tanah), dan jasad hidup yang terdapat dalam tanah (Orlov,1995). Bahan organik tanah terbagi dalam dua kelompok utama yaitu : (1) bahan-bahan tanaman yang sifat aslinya masih nampak; (2) bahan-bahan yang telah mengalami transformasi (Tan,1992).
Bahan organik tanah tersusun oleh senyawa-senyawa organik. Senyawa-senyawa organik penyusun bahan organik tersebut adalah : (1) karbohidrat (monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida); (2) asam amino dan protein; (3) selulosa dan hemiselulosa; (4) lignin; (5) lipid; (6) asam nukleat; (7) humus (Orlov, 1992; Tan, 1992). Selain itu bahan organik tanah sering dipisahkan menjadi bahan terhumifikasi dan tak terhumifikasi (Tan,1992). Humifikasi merupakan salah satu dari proses transformasi sisa-sisa bahan organik (Orlov, 1985). Fraksi bahan organik yang telah mengalami humifikasi dikenal sebagai humus dan dapat dianggap sebagai hasil akhir dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah (Orlov, 1995; Orlov, 1985; Tan, 1992).
Humus mengandung bahan-bahan humat (humic substances) dan bahan bukan humat (non-humic substances) (Orlov, 1995; Tan, 1992). Bahan humat bersifat amorf (amorphous), polimer (polymeric), dan berwarna kecoklatan (brown-colored matter) yang mempunyai sifat dan stuktur yang kurang diketahui.
Konfigurasi kimia dari bahan humat sampai saat ini kurang diketahui dan tidak dapat didefenisikan secara pasti. Berbeda dengan bahan bukan humat yang telah banyak dikenal dalam bidang kimia organik. Berdasarkan kelarutannya dalam asam dan alkali, fraksi humat (kecuali humin) dapat larut dalam alkali. Asam humat merupakan fraksi humat yang larut dalam alkali, namun tidak larut (mengendap) dalam asam dan alkohol (Tan, 1992).
2.3.2. Ekstraksi Bahan Humat
Ekstraksi bahan humat dalam tanah dapat digolongkan ke dalam beberapa fraksi humat tanah yaitu asam humat (humic acid), asam fulvat (fulvic acid) dan humin (Tan 1992). Walaupun demikian, Orlov (1995) menggolongkan klasifikasi fraksi humat ke dalam humin (prohic substances dan non-hydrolysable residues) dan asam humat (Mull acids). Mull acids sendiri dibagi ke dalam asam humat, asam hymatomelanic dan asam fulvat. Untuk menghindari destruksi, asam humat harus berada dalam keadaan kering pada temperatur yang tidak melebihi 60-70oC. Sementara untuk asam fulvat tidak melebihi 40oC. Metode pengeringan terbaik adalah dengan menjaga asam humat dan asam fulvat dalam vacum dengan P2O5
(Orlov, 1985).
Gambar 4. Ciri-ciri Fisik Asam Humat, Terbuat dari Bahan Organik dan
merupakan Fraksi Humat yang Larut dalam Alkali, namun Tidak Larut (Mengendap) dalam Asam dan Alkohol, Asam Humat Digunakan untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Ekstraksi dengan Alkali atau Larutan Na4P2O7
Perlakuan dengan asam
Perlakuan dengan alkohol
Perlakuan dengan garam netral
Gambar 5. Diagram Pemisahan Senyawa-senyawa Humat ke dalam Fraksi- fraksi Humat yang Berbeda
2.3.3. Manfaat Asam Humat dalam Pe rtumbuhan Tanaman
Pengaruh bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman telah diketahui cukup lama. Keuntungan utama dari humus tanah terhadap pertumbuhan tanaman dihasilkan secara tidak langsung melalui perbaikan sifat-sifat tanah seperti agregasi, aerasi, permeabilitas, dan kapasitas memegang air. Namun seiring dengan perkembangan pengetahuan tentang bahan organik melalui penemuan tentang kimiawi asam humat, pengaruh humus terhadap pertumbuhan tanaman dapat lebih ditingkatkan.
Bahan Organik Tanah
Bahan Humat (Larut) Humin Bahan Bukan
Humat(tidak larut)
Asam Humat (tidak larut)
Asam Humat (tidak larut)
Asam Himatomelanik (Larut)
Asam Humat Cokelat (Larut)
Asam Humat Kelabu (tidak larut) Asam Fulvat (larut)
Bahan-bahan humat bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah. Mereka terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung asam humat diketahui memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia, dan biologi dalam tanah. Secara langsung, asam humat telah dilaporkan merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan terhadap sejumlah proses fisiologi lainnya. Senyawa humat juga berperan serta dalam pembentukan tanah dan memainkan peranan pent ing khususnya dalam translokasi atau mobilisasi aluminium dan besi, yang menghasilkan perkembangan horison spodik dan horison argilik (Tan, 1992).
Asam humat dapat berfungsi memperbaiki pertumbuhan tanaman secara langsung dengan meningkatkan permeabilitas sel atau melalui kegiatan hormon pertumbuhan (Tan, 1992). Tan dan Napamornbodi (1979 dalam Tan, 1992). Memaparkan bahwa asam humat bermanfaat bagi pertumbuhan akar dan bagian atas tanaman. Selain itu, terdapat peningkatan yang nyata dalam kandungan N bagian atas semai dan produksi bahan kering dari pemanfaatan asam humat.