• Tidak ada hasil yang ditemukan

RE:PUBLIK Seminar Mencari Ruang Publik Lewat Senirupa Temporer Kedai kebun Forum, 22 Agustus 2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RE:PUBLIK Seminar Mencari Ruang Publik Lewat Senirupa Temporer Kedai kebun Forum, 22 Agustus 2005"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

RE:PUBLIK

Seminar Mencari Ruang Publik Lewat Senirupa Temporer Kedai kebun Forum, 22 Agustus 2005

Pembicara: Mahatmanto (Dosen Arsitektur, UKDW Yogyakarta) Samuel Indratma (Aktivis Seni Publik )

Ir. Giri Subowo (Dinas Tata Kota & Bangunan Yogyakarta) Moderator: Saut Situmorang (Cyber Graffitist)

Pengantar Panitia: Seminar Re:Publik Art dari rangkaian program Re:Publik Art dimaksud untuk mengkolaborasikan kembali pemikiran – pemikiran mengenai konsep ruang publik yang berada di wilayah Jogjakarta, penyikapan – penyikapan seniman (seni rupa) yang memilih untuk berkarya di ruang publik melalui seni rupa temporer, dengan refleksi terhadap respon sosial masyarakat sampai pada penentuan kebijakan atas ruang – ruang publik tersebut.

Pembicara – pembicara yang diundang dianggap mewakili tiga perspektif mengenai ruang publik dan penyikapannya. Pembicara – pembicara tersebut adalah :

Mahatmanto, seorang arsitek yang menyampaikan pandangannya mengenai ruang publik ditinjau dari segi arsitektural, definisi, sejarah terbentuknya ruang – ruang publik, dan penyikapan – penyikapan masyarakat urban kontemporer terhadap ruang publik.

Samuel Indratma, salah seorang seniman pendiri Apotikomik (pernah mengadakan proyek ‘Mural Sama – sama’ di Jogjakarta), menyampaikan pengalaman – pengalamannya bekerja di ruang publik, dan pengalamannya dalam mencari lokasi – lokasi terdapat mural yang dilakukan penduduk setempat. Ir. Giri Subowo (Giri), mewakili Dinas Tata Kota, yang menyampaikan beberapa dasar – dasar penetapan kebijakan Pemda Jogjakarta dalam penataan tata ruang kota Jogjakarta, pengadaan dan pengelolaan ruang – ruang publik, juga mengemukakan kemungkinan dilegalkannya mural dalam Perda sebagai salah satu upaya mempercantik kota.

Mahatmanto sebagai pembicara pertama mengemukakan konsep ruang publik, dan konsep anatomis kota. Sebelumnya, Ia mempertanyakan kembali terma ‘seni publik’ sebagai ‘seni di ruang publik’ atau ‘seni ruang publik’, apakah ruangnya yang diolah atau peletakan karya seni di ruang yang disepakati sebagai ruang publik. Menurutnya, seni di ruang publik bukan hanya menyinggung mural, tetapi keberadaan berbagai jenis karya seni dan dapat pula melibatkan berbagai kalangan seniman.

Kemudian Ia beranjak kepada definisi ‘kota’. Apakah kota yang dimaksud bertindak sebagai ruang dan tempat, atau aktifitas sosial ekonominya? Ia menunjukkan sebuah denah daerah yang digolongkan sebagai daerah sub-urban atau rural, namun dari intensitas pergerakan sosial ekonominya yang tinggi,

(2)

maupun kepadatan penduduknya, kita akan kebingungan mendefinisikan daerah tersebut sebagai kota atau desa. Persoalan ini dihadapi oleh Jogja, dimana batas – batas kota Jogja sendiri sangat sulit untuk dibedakan secara visual.

Ia mempertanyakan, apakah kota memerlukan respon artistik baik secara spasial maupun secara sosial ekonomi. Jika diperlukan, maka mengapa respon artistik tersebut diperlukan? Oleh siapa? Demi siapa?Bagaimana modus operandi/cara berlangsungnya?dan kapan dapat dilakukan?

Menurutnya, respon – respon artistik ini secara sadar telah dilakukan di Jogja, misalnya performance di tempat – tempat umum, pasar malam di ruang – ruang terbuka, dan lainnya. Ia memilih untuk memandang kota sebagai ruang, batas – batasnya yang dikonstruksikan dan seperti apa konstruksinya. Ia mulai dengan perbandingan antara dua daerah yang bertetangga, Jogjakarta dan Surakarta. Kraton Surakarta menyimbolkan diri sebagai Pakubuwono, pusat dari dunia. Sedangkan, Kraton Jogjakarta menyimbolkan diri sebagai Hamengkubuwono, pemangku dunia. Perbedaan ide ini menunjukkan konsep kewilayahan yang berlainan antara Surakarta dan Jogjakarta. Dimana untuk Surakarta, daerah yang semakin jauh terhadap pusat akan semakin melemah, sedangkan untuk Jogjakarta, kekuasaannya mencakup seluruh wilayah. Konsep – konsep pembatasan wilayah telah dikenal sejak dulu, misalnya dengan pembangunan benteng – benteng kerajaan maupun daerah administrasi seperti pada zaman kekuasaan Romawi. Namun, setelah terjadi kemajuan dalam arus transportasi manusia, benteng – benteng ini kehilangan fungsinya sebagai pembatas. Berkembanglah jalan sebagai ruas penghubung antar lokasi, hingga menentukan tata ruang kota dan arah pengembangan kota. Sebagaimana yang dilakukan oleh Haussmann di Paris, membongkar dan merancang jaringan – jaringan jalan sehingga jalan tidak hanya mengatur arus lalu lintas barang maupun manusia, tapi juga menjadi tempat – tempat berhimpun.

Pada daerah – daerah yang kultur penduduknya masih memerlukan komunikasi secara verbal, batas – batas wilayahnya masih nyata. Namun, kita dapat melihat perubahan yang terjadi pada kota Jogjakarta, wilayah Alun – alun yang sebelumnya menjadi milik pribadi Kraton dijadikan wilayah umum dengan pembangunan jalan yang mengelilinginya.

Dalam pemahaman arsitektur, terdapat dua macam urban space, street (tempat untuk lalu) dan square (tempat untuk berhimpun).

Mahatmanto mengutip Hannah Arendt, yang menuliskan dalam bukunya “Human Conditions”, forum publik dan forum privat saling berinteraksi dan nantinya tervisualisasi dalam ruang.

Kota Jogjakarta mengalami perbedaan peran dan fungsi dalam ruang - ruangnya secara sosial ekonomi, yang mengakibatkan perubahan – perubahan fisik seperti perubahan lebar jalan,dan lainnya. Di Jogja, suatu kawasan menjadi ramai atau sepi tidak lagi tergantung pada pemiliknya sendiri tetapi oleh kegiatan – kegiatan yangdilakukan oleh pihak – pihak berkepentingan yang nyaris anonim misalnya pada Prawirotaman yang berkembang karena turisme, bukan karena pertumbuhan penduduk setempat yang lebih dulu menempati area tersebut.

(3)

Ia mengemukakan pendapat Berlage bahwa, dinamika kota Jogjakarta bukan pada infrastrukturnya tetapi pada manusianya, setelah dimana –mana ia melihat aktivitas penduduk yang bermacam – macam.

Respon artistik terhadap kota diperlukan atau tidak, harus dijawab sendiri oleh para seniman. Bagaimana seniman dapat memposisikan perannya di tengah publik, dengan berkarya seni tanpa mengabaikan dinamika masyarakat sekitarnya. Jika cara yang dipilih adalah melalui mural, seniman harus mempersepsikan dahulu citra kota yang akan dibangun melalui mural tersebut, harus mempertimbangkan masyarakat mna yang akan merespon sehingga mural bukan sekedar menjadi corat – coret sembarangan.

Samuel Indratma membuka dengan pernyataan bahwa seringkali seni berebut ruang, dimana kadangkala seniman masih seakan – akan saling berebut ruang – ruang publik, dengan korporasi, pengelola kota, maupun masyarakatnya sendiri. Asumsi awalnya adalah dari sekitar 876 seniman, hanya terdapat outlet resmi untuk berkesenian sebanyak 12 tempat, dan banyak dari tempat – tempat tersebut kini tidak aktif. Ia menampilkan gambar – gambar yang menunjukkan aktifitas masyarakat (terutama anak – anak) yang selalu cenderung untuk mencari tempat – tempat yang lapang untuk saling berinteraksi. Seniman berkarya diruang publik (seni rupa), keluar dari ruang – ruang mainstream-nya dengan pertimbangan waktu, aksesibilitas dan pesan yang lebih luas untuk aktualisasi karya - karyanya Ruang –ruang di kota selalu menjadi incaran kepentingan bisnis. Low budget promotion seringkali dilakukan melalui mural, diantaranya oleh A-Mild. Kekecewaan masyarakat akhirnya diakibatkan karena keseragaman tampilan mural – mural tersebut. Padahal menurut cerita yang diperolehnya dari riset kecil – kecilan, penduduk mengharapkan visual – visual artistik tersebut dapat menambah kebanggaan mereka terhadap kampung/wilayahnya.

Samuel menceritakan pengalamannya saat diajak untuk mengerjakan proyek mural logo A-Mild di seluruh kota Jogjakarta. Saat itu, Ia mengemukakan penolakannya dan menegaskan bahwa proyek – proyek semacam itu hanya akan mengurangi animo masyarakat. Belum lagi jika terjadi vandalisme terhadap mural – mural yang direncanakan tersebut. Menurutnya, promosi – promosi yang merajalela tersebut justru mematikan esensi mural sendiri, dimana cerita – cerita mengenai proses terjadinya menjadi beku, dan masyarakat tidak merasa memiliki daerahnya sendiri (merasa asing). Ia menceritakan pengalaman lain saat proyek ‘Mural Sama Sama’ dikerjakan di jembatan Lempuyangan. Saat itu, mural ditampilkan beragam, dengan cerita dan pesannya masing – masing. Kesempatan berikutnya saat me-mural gardu listrik, penduduk sekitar merasa mereka juga harus berperan. Penduduk menawarkan diri untuk membantu, karena mereka merasa memiliki mural tersebut dan tidak ingin hanya menyaksikan hasilnya. Kondisi inilah yang menurutnya harus dipertahankan, karena proses pengerjaan mural akan menjadi lebih menarik setelah ada keterlibatan langsung oleh penduduk.

(4)

Kecenderungan penduduk dalam menghias daerahnya sendiri menurutnya sudah berlangsung, dengan gaya dan citarasa lokalnya sendiri. Inilah yang seharusnya dikembangkan. Seniman pada akhirnya berperan sebagai fasilitator/ sahabat masyarakat, dengan pengetahuan – pengetahuan teknisnya. Ditambahkannya pula, tradisi mural sendiri sudah dimulai sejak zaman purba, dimana saat itu dinding – dinding goa dihias dengan gambar – gambar yang bercerita. Dekorasi dinding goa tersebut dikerjakan dengan menggambar langsung maupun dengan menyemprotkan warna – warna secara langsung pada cetakan tangan dengan mulut (asal mula stencil print). Karenanya, seniman seharusnya tidak merasa sombong dengan teknik – teknik yang dikuasainya, melainkan terus memperbaharui konsep karya seninya di ruang publik.

Seniman yang bertindak sebagai fasilitator dimungkinkan tidak terlibat secara penuh di lapangan sebagai pelaku, namun harus mampu mewadahi aspirasi penduduk setempat melalui survei – survei dan dialog untuk menggali potensi lokal apa yang kemudian bisa ditonjolkan secara visual. Bisa jadi, yang bekerja langsung adalah penduduk sendiri, dengan stimuli – stimuli visual dan pembekalan teknis oleh seniman. Saat ini, seniman jangan hanya berkarya mural membabi buta, dengan pertimbangan – pertimbangan aksesibilitas maupun kemudahan perijinan saja. Begitupula penyikapan terhadap wilayah – wilayah yang memang diharapkan untuk bebas dari visual tertentu, seperti Plengkung Gading. Jangan sampai, mural maupun graffiti memperburuk citra daerah tersebut. Sebagai penutup, Ia menyampaikan data terakhir dari risetnya mencatat keberadaan sekitar 563 mural yang tersebar di 45 kelurahan Kodya Jogjakarta.

Giri Subowo. mengemukakan bahwa mural belum terdapat dalam Perda. Namun, pihak instansi sendiri menganggap bahwa mural – mural yang selama ini dilakukan sebagai salah satu upaya mempercantik wajah kota Yogyakarta. Ia memaparkan konsep Dinas Tata Kota mengenai pembagian wilayah kota Jogjakarta menjadi enam kawasan, yaitu :

A : Jalan Malioboro B : Jalan Magelang C : Jalan Solo D : Kotagede

E : Tumbuh Cepat Umbulharjo F : Jalan Bantul

Dari pembagian – pembagian kawasan tersebut, sesuai Perda No. 06/94, Dinas Tata Kota membagi matriks wilayah menjadi kawasan lindung setempat dan arkeologis, kawasan lindung setempat sepadan sungai, kawasan inti lindung hijau kota, kawasan penyangga alam budaya, dan kawasan budidaya penuh ekonomi, sosial dan budaya. Begitupula untuk pemanfaatan lahannya. Biasanya, perijinan yang diberikan untuk pekerjaan – pekerjaan mural kota Jogja ditujukan untuk periklanan maupun mempercantik kota. Untuk pekerjaan mural, Dinas Prasarana Kota, Dinas Kebersihan dan Pertamanan

(5)

Kota, dan Dinas Tata Kota berkumpul untuk membicarakan kawasan mana yang akan dimural. Pada intinya, semua pekerjaan yang dilakukan harus bertujuan untuk mempercantik kota Jogjakarta, bukan membuatnya lebih semrawut.

Setelah tiga pembicara bergiliran menyampaikan perspektif mereka, hadirin dipersilakan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama dibuka oleh Toni yang merasa pesimis pada acara ini, karena acara ini seperti mencoba melerai pertarungan sebuah gagasan seni temporer di ruang publik. Menurutnya, acara ini seperti mencoba mendialogkan kepentingan – kepentingan yang berbeda – beda, yang akhirnya hanya akan melemahkan legitimasii keberadaan mural sendiri, melemahkan radikalisasi seni temporer di tengah masyarakat. Apalagi jika memang akan dibuat Perda tentang mural. Biarkan mural berjalan sendiri, dengan resistensi dan eksistensinya sendiri. Ketika mural menjadi gejala umum, pesannya sudah tidak nyata lagi, hanya pengekoran estetika, tidak ada radikalisasi/penentangan – penentangan masyarakat atas kondisi mereka. Pertanyaan hampir senada muncul dari Leo dan Iwan Wijono mengenai sensitifitas seniman dalam mengerjakan mural, dan ketemporeran mural. Bukankah performance art lebih temporer?Lebih baik tidak lagi menekankan mural sebagai seni rupa temporer, melainkan pada kolektivitas pengerjaannya. Namun begitu, timbul pertanyaan lain, apakah publik memang lebih terwakili melalui mural?Bagaimana seniman menentukan segmennya?

Samuel menjelaskan bahwa ketika sifat temporer mural adalah karena mural dapat selalu di update kembali. Publik dapat terwakili melalui proses pra-pengerjaannya melalui upaya komunikasi warga/pembuat kebijakan/seniman untuk menentukan content-nya. Seperti pada workshop dengan warga, bagaimana supaya teknis mural lebih mudah digarap sesuai keinginan warga. Ia menekankan supaya jangan menganggap Inisiatif warga tidak revolusioner/radikal. Terkadang pesan – pesan mereka sangat keras, seperti ‘Salatlah kamu, sebelum kamu disalatkan’, dsb. Jangan selalu mengartikan revolusioner melalui tangan yang menggenggam ke atas, masih banyak cara baru untuk memulai suatu perjuangan. Tugas seniman sebetulnya adalah untuk mengadvokasi dan menjadi sahabat publik. Samuel menambahkan lagi dengan pengalamannya pada suatu kesempatan dengan warga, stencil tidak menarik karena dapat dilakukan dimana – mana. Warga tidak merasa ruangnya menjadi spesial, tidak ada keberagaman. Komodifikasi akan selalu berjalan, seperti dimana mural sudah menjadi umum, tidak bisa dihentikan atau diklaim menjadi milik siapa.

Pertanyaan lain timbul oleh Didit, seorang pemerhati lingkungan yang mempertanyakan konsep – konsep Dinas Tata Kota maupun perspektif arsitektur sendiri tentang pengelolaan open space. Lantas, bagaimana seharusnya mengatasi permasalahan akibat penumpukan fungsi ruang wilayah? Apakah yang dimaksud kawasan – kawasan lindung adalah taman – taman kota yang sangat sempit, termasuk tanaman – tanaman yang diletakkan disekitar Malioboro, dimana keberadaannya tidak mampu mengatasi polusi yang demikian besar di Malioboro.

(6)

Mahatmanto mengemukakan bahwa sangat sulit untuk mendeteksi ulang siapa yang bertanggun jawab atas perubahan kota, kembali lagi karena persoalan kota adalah sebagai gagasan, sulit menentukan siapa yang lebih berperan, maupun siapa yang lebih berkepentingan.

Sedangkan Giri menjelaskan bahwa setiap tahun Dinas Tata Kota memiliki rencana dan pengusahaan open/green space yang memadai namun tetap ada keterbatasan anggaran dalam pengerjaan teknisnya. Pertanyaan terakhir diajukan oleh Tia, dosen Pasca Sarjana FISIPOL UGM yang mengambil contoh dari Pemerintah Australia yang selalu mengadakan survey kepada masyarakat sebelum memasang suatu media visual/iklan di tempat – tempat umum. Ia mempertanyakan ketidak pedulian Pemerintah Jogjakarta yang selalu bisa memasang billboard iklan dimana – mana tanpa memepertanyakan persetujuan warga. Ia juga mengemukakan persepsinya tentang ruang publik sebagai ruang imajiner dimana semua orang dapat merasa bebas. Juga mural yang diharapkannya jangan sampai mengakibatkan segregasi kota atau menjadi semacam kompetisi yang tidak sehat antar daerah. Seperti yang terjadi di Chicago, dimana mural yang dibuat di daerah uptown justru menimbulkan ciri bahwa daerah tersbut adalah daerah elit, dan menimbulkan kesenjangan diantara penduduknya. Sarannya untuk Pemerintah adalah agar pemerintah mampu menjadi fasilitator di tengah warga, dan regulasi atas sebuah praktek kebudayaan dibuat bukan atas legal/ilegalnya saja, tetapi juga mempertimbangkan persepsi masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24A ayat (1) diatur bahwa: “ Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan

Hasil penelitian menunjukkan: Preverensi medium dengan konsentrasi spora tertinggi terdapat pada medium serbuk kayu ubi yaitu sebesar 9.913,333 cfu spora B.. Medium

Konsekuensi dari adanya syarat diatas, maka sebuah lembaga pembiayaan tidak diperbolehkan membuat kesepakatan jual beli secara kredit dengan konsumen, selama barang

Adanya perubahan perilaku baru pada seseorang merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu relatif lama di mana tahapan yang pertama adalah pengetahuan, sebelum

Komponen unsur-unsur mineral dalam bahan makanan yang berasal dari tanaman sangat bervariasi sehingga nilai abu tidak dapat dipakai sebagai indeks untuk menentukan

Pada penelitian tersebut karakteristik bobot badan dan ukuran dimensi tubuh diamati untuk menduga bobot badan mengingat bobot badan merupakan sifat yang memiliki nilai

Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 ditegaskan bahwa pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri berhak menerima pensiun pegawai, jika

s6uai ddree data yang ad6 pada kmi, m*a tulhd denean