A L W A T Z I K H O E B I L L A H
Jurnal Kajian Islam
ISSN:-2242-384x
E-ISSN: 2548-7396
Penerbit
Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
Penaggung Jawab
Dr. H. Jamiat Akadol, M.Si, MH
Mitra Bistari
Dr. Anton Athoillah (UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Dr. Rulli Nasrullah (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Dr. Aswandi (Universitas Tanjung Pura)
Ketua Dewan Redaksi
Dr. Kaspullah, M.S.I
Dewan Redaksi
Dr. Adnan Mahdi, S.Ag, M.S.I.
Dr. Hj. Eni Dewi Kurniawati, M.Pd
Rusiadi, S.Pd.I, M.Ag
Drs. H. Mujahidin, M.Si
Oscar Hutagaluh, S.Pd, MM, M.Si
Sekretaris Redaksi
Suriadi, S.Pd.I, M.Ag
Desain Grafis
U. Ari Alrizki, S.Pd
Alamat Redaksi
Jl. Raya Sejangkung, Kawasan Pendidikan Sebayan, Sambas
Kalimantan Barat
A L W A T Z I K H O E B I L L A H
Jurnal Kajian Islam
ISSN:-2242-384x
E-ISSN: 2548-7396
Beti Yanuri Posha
Qashashul Quran (Ayat-ayat yang Menunjuk Peristiwa Nabi dan Sejarah), hlm. 1 – 12
Deden Gumilang Masdar Nurulloh
Sejarah Pemikiran Islam Hasan Al Banna, hlm. 13 – 34
Etriadi
Potret Perkembangan Islam di Indonesia, hlm. 35 – 44
Faizal Arifin
Eksistensi Gerakan Freemasonry di Karawang, 1926-1942, hlm. 45 – 58
Hajar Latuapo
Gerakan Modernisme Islam di Nusantara (Studi Sejarah dan Perkembangan Muhammadiyah di Maluku) Tahun 1932-1999, hlm. 59– 69
Maulana
Tafsir Surat Al-Ma’un , hlm. 70 -78
Muhammad Muhajir
Metode Pendidikan Akhlak-Tasawuf Walisongo, hlm, 79 – 97
Munadi
Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Kontrak Syariah, hlm. 98 – 107
Ubabuddin
Peran Tasawuf dan Pendidikan Islam Terhadap Akhlak Masyarakat Modern, hlm. 108 – 120
Yana Waliyadin
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) 1
-QASHASHUL QURAN
(Ayat-ayat yang Menunjuk Peristiwa Nabi dan Sejarah)
Beti Yanuri Posha*
ABSTRAK
Kedudukan Alquran sebagai kitab suci umat Islam memainkan peran penting, sebagai pilar Islam dan otoritas tertinggi dalam persoalan-persoalan spiritual dan etika. Kemurnian kitab Alquran dijamin langsung oleh Allah swt., yaitu dzat yang menciptakan dan menurunkan Alquran itu sendiri. Kenyataannya, bisa diketahui bahwa satu-satunya kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh jutaan umat Islam. Isi kandungan dalam Alquran banyak memuat tentang Qashashul (kisah-kisah sejarah). Suatu peristiwa disebut sejarah jika memiliki ciri-ciri bahwa peristiwa tersebut unik dan besar pengaruhnya pada masa-masa selanjutnya. Misalnya menceritakan umat-umat terdahulu, sejarah nabi-nabi, peristiwa-peristiwa masa lampau, kini dan masa yang akan datang, tidak hanya mempelajari pertumbuhan dan kemajuannya, tetapi juga mampu menghayati kisah-kisah pada zaman dahulu serta mampu mengambil value dan ibrahnya. Ayat-ayat yang berbicara tentang kisah-kisah sejarah dalam Alquran banyak sekali, seperti yang telah dipaparkan dalam uraian ini. Untuk itu, perlu kita mengetahui dan mengkaji kembali pengertian dari Qashashul Quran, ayat-ayat yang menunjuk peristiwa nabi dan sejarah serta bagaimana perspektif orientalis terhadap Qashashul Quran.
KATA KUNCI: Qashashul Quran, Ayat-ayat peristiwa nabi dan sejarah, Orientalis PENDAHULUAN
Alquran adalah firman Allah yang diturunkan dalam hatinya Nabi Muhammad saw. atau Alquran adalah kitab suci agama Islam yang merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan
malaikat Jibril diriwayatkan secara
mutawatir, diawali oleh surat Al-Fatihah diakhiri oleh surat An-Naas, dan ditulis dalam mushaf hanya masalah teknis bagi penyampaian dan pemeliharaan Alquran. Ungkapan penyampaian Alquran secara mutawatir, misalnya menyangkut masalah metode penyampaian Alquran, bukan definisi Alquran. Demikian pula, ungkapan ditulis dalam mushaf hanyalah masalah pemeliharaan mengingat Alquran juga
*Dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
dihafal oleh banyak huffazh. (Ahmad Izzan, 2007: 30). Dan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. sebagaimana yang terdapat dalam QS.
Al-‘Alaq/96: 1-5. (Departemen Agama RI,
2005: 597).
ٱ
ۡأَ ۡ
ِ
ِ ۡ
َ ِّ َر
ٱ
يِ
َ َ َ
َ َ َ
ٱ
َ ٰ َ ِ ۡ
ۡ ِ
ٍ َ َ
ٱ
ۡأَ ۡ
َ َرَو
ٱ
ُمَ ۡ َ ۡ
ٱ
يِ
ِ َ َ
ِ َ َ ۡ
َ َ
ٱ
َ ٰ َ ِ ۡ
ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena, Dia mengajar manusia apa yang tidak
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 Ditinjau dari segi bahasa, Alquran
berasal dari bahasa Arab yang berarti
“bacaan” atau “sesuatu yang dibaca
berulang-ulang”. Kata Alquran adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. (Abdillah F. Hasan, 2011: 530). Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu QS. Al-Qiyaa-mah/75: 17-18. (Departemen Agama RI, 2005: 577).
نِإ
ُ َ ۡ َ َ ۡ َ َ
ۥ
َُ اَءۡ ُ َو
ۥ
َ ُ ٰ َ ۡأَ َ اَذِ َ
ۡ ِ
َُ اَءۡ ُ
ۥ
“Sesungguhnya kami yang akanmengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu”.
Ketika Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang ayat-ayat dan surahnya berangsur-angsur, maka secara otomatis sangat mudah dihafal oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Ketidaktahuan Nabi Muhammad saw. membaca dan menulis ternyata menjadi salah satu bukti ketidakbenaran paham yang mengatakan
bahwa Alquran itu buatan Nabi
Muhammad saw. Walaupun sahabat-sahabat Nabi itu tidak seluruhnya buta tulis baca, ada satu, dua diantara mereka yang mampu menulis, sehingga mereka mengha-fal ayat-ayat Alquran sambil menuliskan-nya di tempat-tempat tertentu seperti di batu, di pelepah-pelepah kurma, di kulit-kulit binatang, sebab waktu itu belum ada kertas jadi praktis hal yang diandalkan oleh mereka adalah penghafalan secara baik. Budaya penghafalan inilah yang berlanjut sampai sekarang, sehingga masih terdapat sejumlah orang Muslim yang dapat menghafal kitab suci Alquran secara utuh, yang tidak dimiliki oleh umat yang lain. (Abdullah Renre, 2016: 5).
Alquran membina mental dan jiwa, fisik dan akal, serta akhlak dan perilaku mereka, sehingga mereka bisa mencapai derajat yang tinggi dan mencapai sisi kemanusiaan. Diharapkan sanggup meraih
posisi insan kamil atau manusia yang sempurna, sebagaimana yang diharapkan oleh Alquran. (Ahzami Samiun Jazuli, 2006: 510). Dan pada kenyataannya bisa diketahui bahwa satu-satunya kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh jutaan umat Islam. Spesifikasi Alquran terdiri atas 114 bagian yang terkenal dengan nama surah (surat). Setiap surat terdiri atas beberapa ayat, dimana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al-Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al-Kautsar, An-Nashr, dan Al-‘Ashr.
Surat-surat yang panjang terbagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku’ yang membahas tema atau topik tertentu. Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat
makiyah (surat Mekah) dan madaniyah
(surat Madinah). Pembagian ini
berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu dimana surta-surat yang turun sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah digolongkan surat makiyah sedangkan setelahnya tergolong surat
madaniyah. Dalam skema pembagian lain,
Alquran juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan
juz. Alquran tidak turun sekaligus. Alquran
turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi masa turun ini menjadi dua periode, yakni periode Mekah dan periode Madinah. Periode Mekah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah saw. dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergo-long surat makiyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini
disebut surat madaniyah. Penulisan
(pencatatan dalam bentuk teks) Alquran
sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad saw. kemudian transformasi-nya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 Sepanjang sejarah, Allah
swt.,mengu-tus para nabi ke tengah-tengah manusia yang mana selain menyampaikan pesan-pesan Ilahi, mereka memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik dan menuntun umat manusia. Nabi dan Rasul adalah orang-orang pilihan Allah. Secara lahir, mereka seperti manusia pada umum-nya yang butuh pemenuhan kebutuhan serta keterbatasan mulai dari makan, minum, sakit, sehat, lapar, kenyang dan lain-lain. Maqamnya jauh berbeda dengan kalangan awam atau orang beriman yang lain karena sudah dinash. Mereka tidak melalui jalan usaha untuk meraih kenabian, namun Allah sendiri dengan sifat kemutlakan-Nya yang menetapkan. Nabi dan Rasul memiliki ciri-ciri, di antaranya berakal sempurna, cerdik, jasadnya bagus tanpa aib sehingga tidak
mengurangi rasa hormat kepadanya,
berketurunan dari kebangsaan yang mulia bukan dari keturunan bangsa yang tidak beradab, terpelihara dari perbuatan yang rendah dan khilaf.
Alquran telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada didalamnya. Kisah-kisah Alquran dikatakan menarik karena didalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah umat manusia yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga anak-anak. (Nunu Achdiat, 1998: 78). Percaya kepada Nabi dan para Rasul merupakan rukun iman yang keempat dalam Islam. Nabi adalah seseorang yang diberi oleh Allah wahyu dan tidak wajib disampaikan kepada umatnya. Para nabi boleh menyampaikan wahyu yang diterimanya tetapi tidak punya kewajiban atas umat tertentu atau wilayah tertentu. Dikatakan bahwa jumlah nabi ada 124 ribu orang (HR. Tirmizi). Kata “nabi” berasal dari kata naba yang berarti “dari
tempat yang tinggi”, karena itu orang “yang di tempat tinggi” semestinya punya
penglihatan ke tempat yang jauh (prediksi masa depan) yang disebut nubuwwah.
Seorang Rasul diperintahkan Allah untuk menyampaikan wahyu kepada
kaumnya pada zamannya. Kata “rasul”
berasal dari kata risala yang berarti penyampaian. Dari semua rasul, Nabi
Muhammad saw., sebagai “nabi dan rasul penutup” yang kewajibannya meliputi umat
dan wilayah seluruh alam semesta
“Rahmatan lil Alamin”. Kemudian ada
gelar yang diberikan kepada rasul yang memiliki kedudukan tinggi atau istimewa karena ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, dalam menyebarkan agama yang diberi gelar ulul azmi. Hanya lima rasul yang mendapatkan julukan ini, dari beberapa rasul yang telah diutus Allah. Gelar ini adalah gelar tertinggi atau istimewa ditingkat para nabi dan rasul. Tentang gelar ini telah dijelaskan dalam QS. Asy-Syuura/42: 13. Para rasul yang memiliki julukan ulul azmi adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. (Abdillah F. Hasan, 2011: 365-366).
Terjemahnya:
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan
kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)”.
Bagaimana pentingnya kisah dalam Alquran dapat dilihat dari segi volume,
dimana kisah-kisah tersebut memakan
tempat yang tidak sedikit dari seluruh ayat-ayat Alquran. Dari keseluruhan surat,
terdapat 35 surat memuat kisah,
kebanyakan adalah surat-surat panjang. (A. Hanafi, 1984: 20). Dari sisi bahasa dan sastra, pengaruh Alquran terbukti pada kenyataan bahwa berbagai dialek orang-orang yang berbahasa Arab tidak terpecah ke dalam bahasa-bahasa yang berbeda,
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 seperti yang terjadi pada bahasa-bahasa
pecahan dari bahasa Romawi. Bahasa Alquran bersajak dan retoris, tetapi tidak puitis. Prosa bersajaknya menjadi standar yang berusaha ditiru oleh hampir setiap penulis Arab konservatif dewasa ini. (Philip K. Hitti, 2010: 160). Kandungan Alquran tentang sejarah atau kisah-kisah disebut dengan istilah Qashashul Quran (kisah-kisah Alquran). Bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat yang berbicara tentang hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah).
PEMBAHASAN
Definisi Qashashul Quran
Segi bahasa, kata Qashashul berasal dari bahasa Arab al qashshu atau al
qishshatu yang berarti urusan, berita, kabar,
keadaan maupun cerita. (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1210). Dalam Alquran sendiri kata Qashashul bisa memiliki arti mencari jejak atau bekas (QS. Al-Kahf/18: 64, QS. Al-Qashash/28: 11) dan berita-berita yang berurutan. (QS. Ali Imran/3: 62, QS. Yusuf/12: 111). Namun secara terminologi, pengertian Qashashul Quran adalah kabar-kabar dalam Alquran tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. (T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1972: 176). Sedangkan
menurut Manna’ Khalil Al-Qattan,
mendefinisikan Qashashul Quran sebagai pemberitaan Alquran tentang hal ihwal umat-umat dahulu dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara
empiris. (Manna’ Khalil Al-Qattan, 2007:
430). Dan sesungguhnya Alquran banyak memuat peristiwa-peristiwa masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu, negara, perkampungan dan mengisahkan setiap kaum dengan cara shuratan nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang menyaksikan peristiwa itu).
Ayat-ayat yang Menunjuk Peristiwa Nabi dan Sejarah
Ayat-ayat sejarah dalam pengertian bahwa salah satu kandungan Alquran adalah kisah para nabi dan umat terdahulu. Ayat-ayat seperti itulah dimaksudkan dengan ayat-ayat sejarah. kisah-kisah yang ada dalam Alquran sangat bervariasi dan menyebar dalam banyak surah, bahkan ada yang berulang pada surah yang lain, tetapi perulangannya mempunyai konteks yang lain pula. (Abdullah Renre, 2016: 17).
Berdasarkan penelitian A. Hanafi, cerita tentang para nabi mendapatkan porsi yang cukup besar dalam Alquran yaitu dari jumlah keseluruhan ayat dalam Alquran yang terdiri dari 6.300 ayat lebih, sekitar 1600 ayat di antaranya membicarakan para rasul, dimana kisah Nabi Musa as merupakan kisah yang paling banyak diulang yaitu 30 kali. (A. Hanafi, 1984: 22). Mengenai jumlah ayat Alquran para ulama ada yang berbeda pendapat berapa sebenarnya jumlah ayat Alquran. Ada yang mengatakan sebanyak 6.210 ayat (ulama Madinah), 6.220 ayat (ulama Mekkah), 6.236 ayat (ulama Kufah), 6.219 ayat (ulama Bashrah), dan 6.226 ayat (ulama Syam/Syria). Adanya perbedaan dalam menghitung jumlah ayat Alquran tersebut, disebabkan oleh karena adanya perubahan cara membaca yang dilakukan oleh Nabi saw. Namun demikian, mereka sepakat bahwa jumlah ayat Alquran itu sebanyak 6.200 lebih. (Hamdani Anwar, 1995: 90). Didalam Alquran banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari Alquran dapat diketahui beberapa kisah yang pernah dialami orang-orang jauh sebelum kita sejak Nabi Adam seperti kisah para Nabi dan kaumnya. Kisah-kisah dalam Alquran ada tiga macam di antaranya ialah:
a. Kisah para Nabi terdahulu. Kisah
ini mengandung informasi
mengenai dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang
memperkuat dakwahnya, sikap
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018
tahapan-tahapan dakwah dan
perkembangannya serta
akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan
yang mendustakan. (Manna’ Khalil
Al-Qattan, 2007: 431). Misalnya
kisah Nabi Adam (QS.
Al-Baqarah/2: 30-39, Al-A’raaf/7: 11 dan lainnya), kisah Nabi Nuh (QS. Hud/11: 25-49), kisah Nabi Hud (QS. Al-A’raaf/7: 65, 72, 50, 58), kisah Nabi Idris (QS. Maryam/19: 56-57, Al-Anbiyaa’/21: 85-86), kisah Nabi Yunus (QS. Yunus/10: 98, Al-An’aam/6: 86-87), kisah Nabi Luth (QS. Hud/11: 69-83),
kisah Nabi Musa (QS.
Al-Baqarah/2: 49, 61, Al-A’raaf/7: 103-157), kisah Nabi Harun (QS. An-Nisaa’/4: 163), kisah Nabi Daud
(QS. Saba’/34: 10, Al-Anbiyaa’/21:
78), kisah Nabi Sulaiman (QS.
An-Naml/27: 15, 44, Saba’/34: 12-14),
kisah Nabi Ayub (QS.
Al-An‘aam/6: 34, Al-Anbiyaa’/21:
83-84), kisah Nabi Ibrahim (QS. Al-Baqarah/2: 124, 132, Al-An’aam/6: 74-83), kisah Nabi Ismail (QS.
Al-An’aam/6: 86-87), kisah Nabi Ishaq
(QS. Al-Baqarah/2: 133-136), kisah
Nabi Ya’qub (QS. Al-Baqarah/2:
132-140), kisah Nabi Yusuf (QS. Yusuf/12: 3-102), kisah Nabi Yahya (QS. Al-An’aam/6: 85),
kisah Nabi Zakaria (QS.
Maryam/19: 2-15), kisah Nabi Isa (QS. Al-Maaidah/5: 110-120), dan kisah Nabi Muhammad (QS. At-Takwir/81: 22-24, At-Taubah/9: 43-57).
Kisah-kisah para nabi tersebut menjadi informasi yang sangat berguna bagi upaya meyakini para Nabi dan Rasul Allah. Keimanan pada para Nabi dan Rasul merupakan suatu keharusan bagi umat Islam yang harus ditanamkan semenjak usia dini. Tanpa adanya keyakinan ini, seseorang tidak akan bisa membenarkan wahyu Allah swt., yang terdapat dalam
kitab Allah swt., yang berisi berbagai
macam perintah maupun
larangan-Nya. Jika seorang telah memiliki
kemantapan dalam mengimani para Nabi dan Rasul, mereka akan dibawa dalam suatu keyakinan yang sama-sama diimani semua Nabi, yakni keesaan Allah swt. Kisah Nabi juga bisa dijadikan teladan bagi
kehidupan seseorang. Keteladanan
diperlukan agar seseorang memiliki sosok yang bisa dijadikan idola. Misalnya sosok yang tampan seperti Nabi Yusuf as, yang kaya seperti Nabi Sulaiman, yang handal pertempuran seperti Nabi Musa as. Dalam pembelajaran, peserta didik memiliki bermacam-macam karakter, bakat, dan pembawaan. Hal ini perlu dikembangkan dengan memberikan kisah-kisah pilihan Nabi dan Rasul.
b. Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan
orang-orang yang tidak disebutkan
kenabiannya, seperti kisah tentang Luqman (QS. Luqman/31: 12-13), kisah tantang DzulQarnain (QS. Al-Kahf/18: 83-98), kisah tentang Ashabul Kahfi (QS. Al-Kahf/18: 9-26), kisah tentang Thalut dan Jalut (QS. Al-Baqarah/2: 246-251), kisah tentang Yajuj Ma’juj (QS.
Al-Anbiyaa’/21: 95-97), kisah tentang
bangsa Romawi (QS. Ar-Ruum/30: 2-4), kisah tentang Maryam (QS. Ali Imran/3: 36-45, dan lain-lain),
kisah tentang Fir’aun (QS.
Al-Baqarah/2: 49-50, dan lain-lain), kisah tentang Qorun (QS. Al-Qashash/28: 76-79, dan lain-lain) dan lain sebagainya.
Kisah tersebut ada yang patut kita teladani dan tidak perlu diteladani. Kisah teladan dari selain para Nabi dan Rasul dapat dijadikan pelajaran bahwa meskipun tidak sebagai Nabi atau Rasul manusia tetap berpeluang menjadi orang baik yang bisa menjadi pilihan. Sedangkan kisah yang tidak patut diteladani juga bermanfaat bagi upaya penjagaan diri agar tidak terjerumus pada perbuatan yang sama.
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 c. Kisah-kisah menyangkut
peristiwa-peristiwa pada masa Rasulullah saw. Seperti kisah tentang Ababil
(QS. Al-Fil/105: 1-5), Kisah
tentang hijrahnya Nabi saw (QS. Muhammad/47: 13), Kisah tentang perang Badar dan Uhud (QS. Ali Imran), Kisah tentang perang Hunain dan Tabuk (QS. At-Taubah), dan lain sebagainya.
Kisah-kisah tersebut dapat
dipergunakan untuk memantapkan
keyakinan dan keimanan kita akan benar-benar mencontoh kebaikan yang dilakukan para sahabat yang telah berjuang dengan semangat. Disamping itu, juga motivasi untuk selalu berjuang dan berkorban di jalan Allah swt.
Macam-macam kisah dalam Alquran (Mardan, 2009: 194-198), dapat dilihat berdasarkan:
1) Dari segi pengungkapannya. Dalam hal ini, dapat dibedakan; a. kadang-kadang Allah menyebut suatu kisah berulang-ulang yang berbeda tanpa
memberi kesan membosankan,
karenanya kadang-kadang dijumpai dalam Alquran kisah seorang nabi disebut dalam beberapa surah, seperti kisah Nabi Musa; b. kadang-kadang pula Allah menyebut kisah seorang nabi dalam surah tertentu, seperti kisah Nabi Yusuf.
2) Dari segi urutan permasalahan yang dikemukakan. Dalam hal ini dapat dibedakan; a. Pengungkapan kisah dimulai terlebih dahulu dengan intisari atau ringkasan kisah, setelah itu diuraikan perinciannya dari awal sampai akhir, seperti kisah ashabul
kahfi, b. Pengungkapan kisah
dimulai dari akhir cerita, kemudian kisah itu kembali diulangi dari awal sampai akhir, seperti kisah Nabi
Musa dengan Fir’aun, c.
Kadang-kadang pula suatu kisah diuraikan secara langsung tanpa didahului oleh pendahuluan dan kesimpulan, seperti kisah Maryam di saat
kelahiran Nabi Isa, d. Kadang-kadang juga suatu kisah diungkap seperti drama, misalnya kisah Nabi
Ibrahim dan Ismail ketika
membangun Ka’bah.
3) Dilihat dari sudut dimulainya kisah
dan perkembangan tokohnya.
Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi; a. Ada kisah Alquran
dimulai dari awal kelahiran
tokohnya, seperti kisah Nabi Adam, kisah Nabi Isa, dan lain-lain, b. Kadang-kadang suatu kisah dimulai dari tidak terlalu awal kelahiran dan akhir kehidupan tokohnya, seperti kisah Nabi Yusuf, demikian juga dengan kisah Nabi Ibrahim, c. Kadang-kadang pula kisah dimulai
pada akhir perkembangan
kehidupan tokohnya, seperti kisah Nabi Nuh, Hud, dan lain-lain. 4) Dilihat dari segi penyebutan tempat
dan tokohnya. Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi; a. Kisah yang ditunjukkan tempat, tokoh dan
gambaran peristiwanya, seperti
kisah Nabi Musa dengan Fir’aun,
kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, kisah Nabi Syuaib, kisah Nabi Nuh, dan lain-lain, b. Kisah yang
mengemukakan peristiwa atau
keadaan tertentu pelaku sejarah tanpa menyebutkan nama tokoh dan tempatnya, seperti kisah dua putra Nabi Adam yang melaksanakan kurban dalam QS. Al-Maaidah/5: 27-30, c. Kisah dalam bentuk dialog yang tidak menyebut pelaku dan tempatnya, seperti kisah dua orang pemilik kebun dalam QS. Al-Kahf/18: 32-43.
5) Dilihat dari segi isi dan kandungan. Dalam hal ini dapat dibedakan atas; a. Kisah para nabi dan rasul, kisah seperti ini berisi gambaran seruan
para nabi dan rasul kepada
kaumnya, b. Kisah yang
berhubungan dengan
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 yang ada keterkaitannya dengan
kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw.,
seperti kisah hijrah, kisah isra’, dan
lain-lain.
Adapun unsur-unsur kisah dalam Alquran (Fajrul Munawir, 2005: 108-109), adalah:
a. Pelaku (al-Syaksy). Dalam Alquran para aktor dari kisah tersebut tidak
hanya manusia, tetapi juga
malaikat, jin dan bahkan hewan seperti semut dan burung hud.
b. Peristiwa (al-Haditsah). Unsur
peristiwa merupakan unsur pokok dalam suatu cerita, sebab tidak mungkin, ada suatu kisah tanpa ada peristiwanya. Berkaitan peristiwa, sebagian ahli membagi menjadi tiga, yaitu pertama, peristiwa yang
merupakan akibat dari suatu
pendustaan dan campur tangan qada-qadar Allah swt., dalam suatu
kisah. Kedua, peristiwa yang
dianggap luar biasa atau yang disebut mukjizat sebagai tanda bukti kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah swt., namun mereka tetap mendustakannya lalu turunlah azab. Ketiga, peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang baik atau buruk, baik merupakan Rasul maupun manusia biasa.
c. Percakapan (Hiwar). Biasanya
percakapan ini terdapat pada kisah yang banyak pelakunya, seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Nabi Musa dan sebagainya. Isi percakapan dalam Alquran pada umumnya adalah soal-soal agama, misalnya
masalah kebangkitan manusia,
keesaan Allah swt, pendidikan dan sebagainya. Dalam hal ini Alquran
menempuh model percakapan
langsung. Jadi, Alquran
menceritakan pelaku dalam bentuk aslinya.
Tujuan dan Fungsi Qashashul Quran
Kisah-kisah dalam Alquran merupakan salah satu cara yang digunakan Alquran untuk mewujudkan tujuan yang bersifat agama. Sebab Alquran sebagai kitab dakwah agama dan kisah menjadi salah satu
medianya untuk menyampaikan dan
memantapkan dakwah tersebut. Oleh karena itu, tujuan-tujuan yang bersifat religius ini, maka keseluruhan kisah dalam Alquran tunduk pada tujuan agama baik tema-temanya, cara-cara pengungkapan-nya maupun penyebutan peristiwapengungkapan-nya. (Sayyid Qutb, 1981: 111).
Namun ketundukan secara mutlak terhadap tujuan agama bukan berarti ciri-ciri kesusasteraan pada kisah-kisah tersebut sudah menghilang sama sekali, terutama dalam penggambarannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan agama dan
kesusasteraan dapat terkumpul pada
pengungkapan Alquran. (A. Hanafi, 1984: 68). Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan kisah Alquran adalah untuk tujuan agama, meskipun demikian tidak mengabaikan segi-segi sastranya.
Adapun tujuan dan fungsi Qashashul
Quran antara lain:
a) Untuk menunjukkan bukti
kerasulan Muhammad saw. Sebab beliau meskipun tidak pernah belajar tentang sejarah umat-umat terdahulu, tetapi beliau dapat mengetahui tentang kisah tersebut. Semua itu tidak lain berasal dari wahyu Allah.
b) Untuk menjadikan uswatun
hasanah suri tauladan bagi kita
semua, yaitu dengan mencontoh akhlak terpuji dari para Nabi dan orang-orang shaleh yang disebutkan dalam Alquran.
c) Untuk mengokohkan hati Nabi Muhammad saw., dan umatnya
dalam beragama Islam dan
menguatkan kepercayaan orang-orang mukmin tentang datangnya
pertolongan Allah swt., dan
hancurnya kebatilan, (lihat QS. Hud/11: 120).
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 d) Mengungkap kebohongan ahli kitab
yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni. e) Untuk menarik perhatian para
pendengar dan menggugah
kesadaran diri mereka melalui penuturan kisah.
f) Menjelaskan prinsip-prinsip
dakwah agama Allah, yaitu bahwa semua ajaran para Rasul intinya
adalah tauhid, (Manna’ Khalil
Al-Qattan, 2007: 307).
g) Memelihara dan mempertahankan martabat kemanusiaan (lihat QS. at-Tiin/95: 4-6).
h) Memelihara dan mempertahankan kesucian manusia. (Rizem Aizid, 2015: 32).
Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada maka tujuan-tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pertama, salah satu tujuan cerita itu ialah menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam Alquran tujuan ini diterangkan dengan jelas di antaranya dalam QS. Yusuf/12: 2-3 dan QS. Al-Qashash/28: 3. Sebelum mengutarakan cerita Nabi
Musa, lebih dahulu Alquran
menegaskan, “Kami membacakan
kepadamu sebagian dari cerita
Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk kamu yang
beriman”. Dalam QS. Ali Imran/3: 44 pada permulaan cerita Maryam
disebutkan, “Itulah berita yang
ghaib, yang kami wahyukan
kepadamu”.
2. Kedua, menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi Muhammad saw., bahwa
kaum muslimin semuanya
merupakan satu umat. Bahwa Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya (QS. Al-Anbiyaa/21: 51-92).
3. Ketiga, menerangkan bahwa agama itu semuanya dasarnya satu dan itu
semuanya dari Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-A’raaf/7: 59).
4. Keempat, menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa (QS. Hud/11).
5. Kelima, menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw., dengan agama Nabi Ibrahim as., secara
khusus, dengan agama-agama
bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hubungan yang
umum antara semua agama.
Keterangan ini berulang-ulang
disebutkan dalam cerita Nabi
Ibrahim, Musa dan Isa as.
(Muhammad Chirjin, 1989: 120). C. Perspektif Orientalis terhadap
Qashashul Quran
Kalangan orientalis, seperti Schawally,
Welhausen dan Horofitz berpendapat
bahwa Alquran itu berasal dari kata
keryana. Keryana dalam bahasa Ibrani atau
Suryani yang berarti bacaan atau apa yang
dibaca. Mereka juga mengatakan bahwa
kata qiraat dengan arti membaca tidak berasal dari bahasa Arab asli. Pendapat para kaum orientalis ini ternyata di bantah oleh Subhi Shalih dalam karyanya Mabahits Fi‘Ulum Alquran yang menyatakan bahwa kata qara’a dengan arti membaca memang belum dipakai oleh orang-orang Arab pada masa jahiliyyah dahulu. Waktu itu, kata qara’a dipakai dengan arti bunting.
Sedangkan kata qara’a dengan arti
membaca dipungut oleh orang-orang Arab dari bahasa Arami. (A. Athaillah, 2007: 11-13).
1. Pendapat Orientalis tentang Kisah
Para penulis Yahudi dan Kristen ada yang secara khusus mencari pengaruh Yahudi Kristen didalam Alquran. Diantara hal yang mereka analisis adalah tentang kisah para Nabi yang terdapat dalam
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 Alquran. Mereka beranggapan, bahwa
kisah-kisah tersebut merupakan jiplakan sempurna yang diambil Nabi Muhammad saw., dari tradisi Yahudi-Kristen yang
berada dilingkungannya. Dasar dari
ungkapan mereka tersebut adalah:
a) Orang-orang Yahudi-Kristen telah lama ada baik di Mekkah maupun Madinah. Diantara mereka ada yang berprofesi sebagai pengajar agama, pedagang, maupun pemukim tetap. Merekalah yang membawa cerita-cerita tentang nabi-nabi terdahulu,
kemudian diambil oleh Nabi
Muhammad saw.
b) Nabi Muhammad pernah belajar
langsung dari pemuka-pemuka
agama Yahudi atau Kristen, yang
dimaksudkan mereka adalah
Buhaira dan tokoh-tokoh Yahudi-Kristen lainnya merupakan guru dari Nabi Muhammad saw.
Atas dasar inilah orang-orang Yahudi dan Kristen menetapkan bahwa kisah-kisah dalam Alquran bukalah wahyu, melainkan serapan Nabi Muhammad saw terhadap
lingkungan sekitarnya. (Rachmat Syafe’i,
2006: 131).
Selain dari kalangan orientalis,
ternyata ada pula orang Muslim yang membenarkan pendapat tersebut, seperti Muhammad Izzah Darwah. Ia mengajukan beberapa argumen yaitu:
1. Para pendengar Alquran (orang Arab Jahiliyah) sudah tidak asing lagi terhadap kisah yang dibawakan Nabi Muhammad saw., ini terbukti dengan Firman Allah swt., pada QS. Ar-Ruum/30: 9 dan Al-Hajj/22: 45-46.
2. Orang-orang Yahudi sering
membacakan Taurat dan Injil dihadapan majelis Nabi saw., dan tentu saja sedikit banyaknya Nabi saw., mengadopsi hal tersebut. 3. Sebelum diangkat menjadi rasul,
Nabi Muhammad saw kerap
berdiskusi dengan para Ahl al-Kitab
di Mekkah untuk membicarakan masalah-masalah keagamaan. Pendapat Orientalis dan Muhammad Izzah Darwah tersebut sangat penting dalam rangka membahas kisah-kisah dalam Alquran. Kemudian membuktikan benar-tidaknya kisah-kisah dalam Alquran itu merupakan wahyu Allah swt., yang bersifat
mukjizat. (Rachmat Syafe’i, 2006: 132).
2. Bantahan terhadap Orientalis
Pernyataan kaum orientalis itu tidak ditopang oleh bukti sejarah dan tidak dapat diterima oleh akal sehat serta bertentangan dengan pernyataan Alquran sendiri.
a. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa lingkungan Nabi di Mekkah dipenuhi tradisi Yahudi-Kristen, karena tidak ada syair-syair Arab kuno yang menyatakan demikian. b. Tidak dapat dipercaya sumber yang
mengatakan bahwa Nabi kerap
berdiskusi dalam soal-soal
keagamaan dengan orang-orang Yahudi-Kristen sebelum menjadi Rasul. Seorang sejarawan Arab yang juga diakui ketelitiannya oleh orang Barat, Ibn Ishaq mengatakan tidak benar bahwa Nabi sering berdiskusi dengan Yahudi-Kristen sebelum diangkat menjadi Rasul, hanya saja orang Yahudi, Kristen
dan para peramal telah
membicarakan tentang akan
hadirnya seorang Rasul.
c. Pendapat yang mengatakan bahwa orang Yahudi-Kristen membacakan Taurat dan Injil dihadapan Nabi adalah tidak benar, kerena menurut
Malik bin Nabi’ tidak ada
ditemukan bahwa Injil berbahasa Arab pada masa itu.
d. Begitu pula tentang pernyataan bahwa orang Arab Jahiliyah telah
mengetahui kisah-kisah dalam
Alquran, itu semua hanya anggapan kosong belaka karena pada saat sebelum turunnya Alquran orang Arab tidak mengetahui tentang kisah-kisah tersebut.
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 Berkaitan dengan bantahan tersebut,
Alquran sendiri telah tegas menyatakan: Itu
adalah diantara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu dan tidak (pula) kaummu sebelum ini mengetahuinya. (QS. Hud/11: 49), hal yang
sama juga ditegaskan oleh QS. Yusuf/12: 102 dan QS. Ali Imran/3: 44.
Bahwa terjadi persamaan dalam garis besar bukan merupakan bukti penjiplakan. Nabi Muhammad saw., sejak dini telah mengakui bahwa beliau adalah pelanjut
dari risalah para nabi. Beliau
mengibaratkan diri beliau dengan para nabi
sebelumnya bagaikan seorang yang
membangun rumah, maka dibangunnya dengan sangat baik dan indah, kecuali satu bata di pojok rumah itu. Orang-orang
berkeliling di rumah tersebut dan
mengaguminya sambil berkata,
“Seandainya diletakkan bata di pojok
rumah ini, maka Akulah (pembawa) bata itu dan Akulah penutup para nabi.”
Demikian sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Jabir bin Abdillah. (M. Quraish Shihab, 1998: 206-212).
3. Membuktikan Kebenaran Risalah Rasulullah saw
Pentingnya kedudukan kisah dalam kehidupan manusia itulah, maka banyak orang yang mempergunakannya untuk menelaah sejarah dan mempelajarinya lebih lanjut seperti dalam kisah sekitar tokoh-tokoh sejarah yakni para Nabi dan Rasul
(al-Qissatu al-Tarikhiyah). Untuk
mengetahui bahwa para Nabi dan Rasul memiliki hikmah ilmu pengetahuan yang tinggi, tetapi apakah itu hanya karena kehendak Allah semata. Kalau itu hanya karena wahyu semata maka bukan hak manusia untuk menyelidikinya, tetapi kalau itu melalui ikhtiar, maka sangat perlu
mengetahui proses pencapaian
keberhasilannya itu, karena pendidikan merupakan keterpautan antara aspek dasar teoritis dengan operasional praktis. Dengan pemikiran demikian, maka pemahaman serta pelaksanaan pendidikan, tidak dapat
dilaksanakan secara sembarangan
melainkan harus dikaji prinsip-prinsip yang mendasari pandangan pendidikan maupun metode yang digunakannya. (Abdurrahman An-Nahlawi, 1989: 17).
Kita telah jelaskan bahwa
membuktikan kebenaran ajaran para nabi berkaitan dengan mukjizat yang mereka tunjukkan. Allah swt., sesuai dengan hikmah-Nya, pasti memberikan mukjizat kepada para utusan-Nya sebagai bukti
kebenaran mereka. Dalam Alquran
disebutkan bahwa para nabi sebelum Rasulullah saw. telah dikabari tentang kedatangannya sebagai nabi akhir zaman, dan bahkan Ahli Kitab pun menunggu kedatangannya. Oleh sebab itu, kenabian
Rasulullah saw bagi mereka telah
disinggung sejak lama dan di saat ia muncul, ia memiliki semua tanda dan kriteria yang benar-benar tidak dapat menyisakan keraguan dihati siapapun bahwa ia memang nabi utusan Tuhan. Dengan melihat kabar-kabar yang telah diberikan kepada mereka dari alam ghaib dan juga terbuktinya kabar tersebut, sempurnalah hujjah Tuhan atas umat manusia. Namun karena Rasulullah saw. adalah nabi yang diutus untuk semua umat manusia dan siapapun dimanapun mereka berada mereka harus mengikutinya, maka Allah saw., sesuai hikmah-Nya harus memberi mukjizat yang abadi kepadanya yang tidak akan sirna dimakan masa.
Nabi-nabi lainnya hanya diberi
mukjizat yang hanya bisa disaksikan orang-orang dimasanya saja, dan orang-orang-orang-orang setelahnya hanya bisa mendengar dari cerita-cerita pendahulunya. Namun tidak selamanya bisa seperti itu. Setelah ribuan tahun perkataan yang sering berpindah dari satu mulut ke mulut lain pasti akan mengalami perbedaan dan perubahan. Oleh karena itu, nabi akhir zaman haruslah memiliki sebuah mukjizat yang akan selalu
menjadi mukjizat hingga kapanpun
sehingga siapapun dan di manapun dapat mengakui kebenaran kenabiaannya melalui mukjizat itu. Maka diturunkanlah Alquran
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 sebagai kitab suci yang agung dan
merupakan mukjizat abadi. SIMPULAN
Kandungan Alquran tentang kisah-kisah disebut dengan istilah Qashashul
Quran. Alquran merupakan mukjizat
terbesar, keistimewaan, keagungan, dan kehebatan Alquran ditegaskan dalam
beberapa ayat, yang di antaranya
menyatakan bahwa jika semua manusia dan jin bergabung, mereka tidak akan mampu menghasilkan hal yang serupa dengan Alquran (QS. Al-Isra’/17: 88). Ayat-ayat yang berbicara tentang kisah-kisah jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap kisah-kisah, yang didalamnya banyak mengandung (ibrah) pelajaran. Kisah-kisah yang disajikan Allah dalam Alquran berfungsi dan bertujuan untuk memberitahukan dan menunjukkan kepada umat manusia bahwa Allah mengutus para Nabi sebagai utusan dan ia akan senantiasa menjaganya hingga tugas kenabian itu selesai.
Kajian orientalis terhadap Alquran tidak sebatas mempersoalkan autentisitas-nya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap Islam dan isi kandungan Alquran berusaha mengungkap-kan apa saja yang bisa dijadimengungkap-kan bukti tersebut seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain) maupun yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliah, Romawi, dan lain sebagainya. Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Alquran banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi bibel (alkitab) yang mereka anggap lebih akurat.
Ada beberapa hal yang perlu garisba-wahi dan diingat dalam menghadapi serang
an orientalis, sekaligus membuktikan
autentisitas Alquran. Pertama, pada
prinsipnya Alquran bukanlah “tulisan” tetapi merupakan “bacaan” dalam arti
ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya wahyu maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Alquran juga dicatat dengan menggunakan berbagai
medium tulisan. Hingga wafatnya
Rasulullah saw., hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat Nabi, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain.
Ketiga, kesalahpahaman tentang rasm dan
Qira’at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam,
Alquran ditulis “gundul”, tanpa tanda-baca
sedikit pun. Sistem vokalisasi baru
diperkenalkan kemudian. Meskipun
demikian, rasm Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum muslimin saat itu belajar Alquran langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Apapun hasil yang dicapai para orientalis tentang kajiannya terhadap Islam, kaum Muslim harusnya bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat dari Barat, tanpa menghancur-kan bangunan Islam. Tidak perlu mengikuti pemikir Kristen Barat tanpa menyadari asumsi-asumsi teologis yang terkandung dalam pemikiran tersebut serta dampak negatif yang ditimbulkannya. Selama mereka tidak bisa membuktikan anggapan-nya secara ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Achdiat, Nunu. 1998. Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Aizid, Rizem. 2015. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Cet. 1; Yogyakarta: DIVA Press.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Ushulut Tarbiyah wa Asalibuna, terj. Hery Noer Ali. Cet. I; Bandung: Diponegoro.
Anwar, Hamdani. 1995. Pengantar Ilmu Tafsir: Bagian Ulumul Qur’an. Cet. I; Jakarta: Fikahati Aneska.
Ash-Shiddieqy, TM Hasbi. 1972. Ilmu-Ilmu Alquran. Jakarta: Bulan Bintang.
Athaillah, A. 2007. Sejarah Alquran Verifikasi tentang Otentesitas Alquran. Banjarmasin: Antasari Press.
Chirjin, Muhammad. 1989. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa.
Hanafi A. 1984. Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Husna.
Hasan, Abdillah F. 2011. Ensiklopedi Lengkap Dunia Islam. Cet. I; Yogyakarta: Mutiara Media.
Hitti, Philip K. 2010. History of the Arabs, From the Earliest Time to the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of the Arabs. Cet. 1; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Izzan, Ahmad. 2007. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I; Bandung: Tafakur.
Jazuli, Ahzami Samiun. 2006. Kehidupan dalam Pandangan Alquran. Jakarta: Gema Insani Press.
Mardan. 2009. Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh. Cet. I; Jakarta: Pustaka Mapan.
Munawir, Fajrul et.,al. 2005. Al-Qur’an. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren Krapyak.
Qutb, Sayyid. 1981. Seni Penggambaran dalam al-Qur’an, terj. Khadijah Nasution. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Renre, Abdullah. 2016. Tafsir Ayat-ayat Sejarah. Makassar: Alauddin University Press. RI, Departemen Agama. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Cipta
Media.
Shihab, M Quraish. 1998. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) 13
-SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM HASAN AL BANNA
Deden Gumilang Masdar Nurulloh*
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Kebudayaan Islam (S2) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
ABSTRAK
Hasan Al Banna melalui gerakan Ikhwanul Muslimun telah menginspirasi pembaharuan Islam pada abad ke-20. Corak pemikiran yang diketengahkannya adalah pemikiran Islam yang moderat, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula serba memudahkan. Menjadi alternatif bagi pemikiran umum yang berkembang saat itu, yakni pemikiran sekularisme (memisahkan urusan
agama dengan negara). Warisan terbesar Hasan Al Banna adalah jama’ah Ikhwanul Muslimun, yang didirikannya pada bulan Maret 1928 masehi, bertepatan dengan bulan Zulqa’idah 1347
hijriyah. Hasan Al Banna tewas ditembak pada 12 Februari 1949 di depan Kantor Pusat Pemuda Ikhwanul Muslimun, lewat sebuah perencanaan tingkat tinggi petinggi militer Mesir dikomandoi Mahmud Abdul Majid, seperti yang diungkap Fathi Yakan. Menjadi semakin menarik lagi, apabila pemikiran Hasan Al Banna ditinjau lebih dalam, untuk mengangkat gagasan-gagasan orisinilnya tentang perkembangan dan pergerakan keislaman, akan dipaparkan pemikiran-pemikiran Hasan Al Banna meliputi Islam, aqidah, hadits, fiqih, tasawuf dan tarekat, masalah-masalah khilafiyah, tarbiyah, ilmu pengetahuan, ekonomi, paham-paham ideologi, gender, jihad, politik, sistem pemerintahan, dan persoalan Khilafah.
KATA KUNCI: Hasan Al Banna, Pemikiran, Pembaharuan Islam, Ikhwanul Muslimun,
Moderat
PENDAHULUAN
Hasan Al Banna adalah mujaddid (pembaharu) pada permulaan abad ke-14 hijriyah, sekaligus pendiri salah satu gerak-an Islam terbesar dunia, Ikhwgerak-anul Musli-min di Mesir, sebuah gerakan yang dalam perkembangannya sudah memiliki penga-ruh lebih di 70 negara dunia (Rahmat Abdullah, 2013).
Hasan Al Banna sendiri semasa hidupnya merupakan tokoh kharismatik dan sangat diwaspadai oleh negara-negara Barat yang saat itu men jajah negeri-negeri Muslim, hingga Richard Mitchell seorang diplomat Amerika Serikat pada waktu itu cerita (alm) KH. Rahmat Abdullah mengajukan rekomendasi agar mewaspadai pengajaran Sirah Nabawiyah karena akan membang-kitkan militansi para pemuda
*Dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
Muslimin. Perlu diketahui bahwa,
pengajaran Sirah Nabawiyah menjadi salah
satu pengajaran wajib dalam manhaj
Tarbiyah yang digagas Hasan Al Banna
lewat Ikhwanul Muslimun disamping
materi penting lainnya seperti Aqidah, Akhlak, Al Quran, Hadits, Ghazwul Fikri, dan lain-lain.
Warisan terbesar Hasan Al Banna
adalah jama’ah Ikhwanul Muslimun, yang
didirikannya pada bulan Maret 1928 mase-hi, bertepatan dengan bulan Zulqa’idah 1347 hijriyah.
Hasan Al Banna tewas ditembak pada 12 Februari 1949 di depan Kantor Pusat Pemuda Ikhwanul Muslimun, lewat sebuah perencanaan tingkat tinggi petinggi militer Mesir dikomandoi Mahmud Abdul Majid, seperti yang diungkap Fathi YakanHerry
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018
Nurdi, 2011). Syahidnya Mursyid ‘Am
Ikhwanul Musli-min ini karena sangat membahayakan kepentingan-kepentingan Barat di kawasan Timur Tengah, sehingga begitu beredarnya kabar tewasnya Al Banna sekaligus pembubaran gerakan ini oleh pemerintah Mesir, mereka sangat gembira (Sayyid Qutub, 1987).
Diantara pemikiran terpenting dan orisinal yang dilontarkan oleh Hasan Al Banna adalah Al Maratibul Amal (urutan amal) yang terdiri dari, memperbaiki diri sendiri (bina’usy Syakhsyiyah Islamiyah);
membentuk keluarga Muslim (takwin
baitul Muslim); membimbing masyarakat
(Irsyadul mujtama’i); memerdekakan tanah air (tahrirul wathan); membenahi pemerin tahan (ishlahul hukumah); mengembalikan eksistensi kenegaraan (al kayyan ad dauli); dan, sakaguru peradaban (ustadziyatul ‘alam). Tujuh tahapan amal ini dikenal sebagai cetak biru yang menginspirasi pergerakan Islam di setiap penjuru dunia sampai saat ini.
Ada juga sebagian kalangan yang menuduh Hasan Al Banna sebagai ideolog
dari pemahaman takfiri (pengkafiran).
Namun bantahan ini datang dari seorang
cendekiawan Muslim ternama, Yusuf
Qaradhawi. Syaikh Qaradhawi telah mela-kukan studi dan melacak akar pemikiran
takfiri dalam tubuh Ikhwanul Muslimun,
dan tiba pada kesimpulan bahwa paham pengkafiran ini tidak dikenal semasa Hasan Al Banna masih hidup dan menjadi mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimun, lebih lengkapnya Syaikh Qaradhawi menyatakan:
Ada anggapan bahwa jam’ah takfir
merupakan perpanjangan tangan dari Al Ikhwan Al Muslimun. Tapi sesungguhnya, benih kelompok ini mulai muncul di dalam penjara perang. Mereka mulai mengkafir-kan di dalam penjara dan akhirnya mengkafirkan setiap orang, mulai dari orang yang menyiksa mereka tanpa belas kasih, para penguasa yang mengeluarkan perintah penyiksaan terhadap mereka, juga masyarakat yang diam melihat tindakan penyiksaan tersebut.
Di dalam penjara, kelompok yang berpandangan seperti itu mulai menyendi-ri, membuat kelompok baru dan meninggal kan Al Ikhwan Al Muslimun. Mereka tidak lagi salat bersama para tahanan Al Ikhwan. Bahkan terjadi perdebatan yang panjang antara mereka dan Al Ikhwan.
Mursyid jama’ah, yakni Al Ustadz Hasan
Hudaibi (pengganti Hasan Al Banna sete-lah wafatnya) dalam tulisan yang kemudian beliau rangkum di dalam bukunya Du’at La
Qudhat membantah pemikiran pengkafiran
tersebut.
Amir Syukri Mustafa, selaku pemimpin dan pendiri kelompok At Takfir menuduh pemimpin Al Ikhwan Al Muslimun telah melakukan pengkhianatan besar, karena Al Ikhwan tidak melakukan perlawanan ter-hadap pihak keamanan dan kepolisian serta membiarkan kulit-kulit saudaranya dicambuk dan leher-leher mereka dipancu-ng.
Jadi, bagaimana bisa Al Ikhwan Al Muslimun dianggap bertanggungjawab at-as kelompok yang telah memisahkan diri dari mereka dan bahkan menuduh Al Ikhwan dengan tuduhan yang sangat bu-ruk? (Amer Syamakh, 2011).
Hal itu menegaskan apa yang sebelum nya pernah dinyatakan Hasan Al Banna, bahwa sebagaimana dalil-dalil Al Quran, Islam memerintahkan berlaku objektif dan berinteraksi dengan baik terhadap orang kafir yang mengikat perjanjian dengan umat Islam (Ahlul Dzimmi).
Kita tidak mengkafirkan seorang Mus-lim yang telah mengikrarkan dua kaMus-limat syahadat, mengamalkan tuntutan-tuntutan-nya dan melaksanakan kewajiban-kewajib-an, baik karena pendapatnya maupun ke-maksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, atau mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai asas dari agama, atau mendustakan ayat-ayat Al Quran yang sudah jelas maknanya, atau menafsirkan-nya dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau melakukan suatu perbuatan yang tidak mungkin
dinterpreta-IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018
sikan kecuali kekufuran (Hasan Al banna,
2012).
Akan menjadi semakin menarik lagi, apabila pemikiran Hasan Al Banna ditinjau lebih dalam, untuk mengangkat gagasan-gagasan orisinilnya tentang perkembangan dan pergerakan keislaman. Dalam jurnal ini, akan dipaparkan pemikiran-pemikiran Hasan Al Banna meliputi Islam, aqidah, hadits, fiqih, tasawuf dan tarekat, masalah-masalah khilafiyah, tarbiyah, ilmu pengeta-huan, ekonomi, paham-paham ideologi, gender, jihad, politik, sistem pemerintahan, dan persoalan Khilafah, rujukan utamanya adalah dua kitab yang dituliskan sendiri oleh Hasan Al Banna, yakni, Majmu’atur
Rasail (Kumpulan Risalah Dakwah), dan Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah
(Untuk Dakwah dan Para Da’inya), serta be
berapa buku lainnya sebagai penunjang. Dengan demikian diharapkan dapat meng-hadirkan sebuah rekonstruksi pemikiran yang utuh mengenai Hasan Al Banna. Riwayat Hidupnya Secara Ringkas
Suatu kali, seorang wartawan mewa-wancarai Hasan Al Banna, wartawan itu me minta beliau menjelaskan tentang kepribadi annya kepada orang lain, maka Hasan Al Banna menjawab:
“Saya adalah pengembara yang
seda-ng mencari kebenaran, seoraseda-ng manusia yang sedang memahami hakikat kemanusia annya diantara mereka, seorang warga negara yang selalu mendengungkan kemu-lian kemerdekaan, ketenangan, dan kehi-dupan yang baik bagi negerinya di bawah naungan Islam yang lurus. Saya berkonsen trasi untuk memahami rahasian keberada-an-Nya. Kemudian beliau berseru, sesung guhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya’ dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.” (Abbas
As Sissy, 2001).
Hasan Al Banna lahir pada hari Ahad 14 Oktober 1906 masehi, bertepatan
dengan tanggal 25 Sya’ban 1324 Hijriyah
di Kota Mahmudiyah, sebuah wilayah di propinsi Buhairah, lebih kurang 90 km dari Kairo, Mesir (Amer Syamakh, 2011).
Namanya bermakna Sang Pembangun Kebaikan. Ayahnya adalah sa-lah seorang ahli fiqih dan hadits ternama di masanya, Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna Al
Sa’ati. Beliau memiliki karya-karya yang
baik dalam bidang hadits Rasul ullah, baik berupa penyusunan, hingga penjelasan hadits sehingga mendapatkan penghormat-an dari ulama sezampenghormat-annya.
Diantara karya-karya Syaikh Ahmad
Abdurrahman Al Banna Al Sa’ati adalah
Badaiul Minan fi Tartibi Musnad Imam Asy
Syafi’i (Kumpulan Musnad dan Sunan Imam Syafi’i sesuai dengan bab-bab fiqih), demkian pula dengan musnad Imam Abu Hanifah. Selain itu beliau menyusun hadits-hadits dalam musnad Imam Ahmad yang mencapai 40.000 hadits sesuai dengan bab-bab fiqih yang diberi judul Al Fath Ar
Rabbani li Tartib Musnad Al Imam Ahmad bin Hanbal As Syaibani. Hadits-hadits di
dalam kitab ini kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang dilengkapi dengan hikmah serta hukum-hukum dalam sebuah kitab yang diberi judul Bulughul Amani min
Asraaril Fathi Ar Rabbani. Dikarenakan
sangat besar, maka beliau meringkasnya lagi dalam sebuah kitab berjudul
Mukhtas-har Bulughul Amani min Asraaril Fathi Ar Rabbani yang terdiri dari 24 jilid besar
Untuk menafkahi keluarganya, sang ayah
membuka toko arloji (Muhammad Abdul
Qadir Abu Faris,
Sewaktu kecil, Hasan Al Banna menim ba ilmu di Madrasah Diniyah Ar Rasyad di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Zahran. Selain belajar insya’ (mengarang), qawa’id (tata bahasa), dan tahbiq (praktek-nya), Madrasah Ar Rasyad mengenalkan pembaharuan materi-materi kepada murid-muridnya, suatu materi yang pada saat itu tidak populer di madrasah-madrasah seje-nis, misalnya adab (tata karma) yang ditua-ngkan dalam pelajaran muthala’ah (waca-na), atau imla’ (dikte), serta mahfuzhat
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 (hafalan) yang dituangkan dalam bentuk
puisi atau prosa yang indah. Al Banna juga belajar hadits dengan target hafalan tertentu sekaligus memahaminya. Mengenai itu semua, Hasan Al Banna menceritakan:
Semua murid diharuskan mengkaji hadits baru yang sebelumnya telah disampaikan syarahnya kepada mereka sampai mereka mampu memahaminya. Hal ini dilakukan setiap pekan sekali pada akhir jam pelajaran, yakni pada hari Kamis. Mereka harus mengulang-ulangnya sampai hafal, di samping masih harus hafal juga hadits-hadits yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sehingga ketika mereka telah menempuh pendidikan satu tahun saja, mereka telah memperoleh perbendaharaan hadits yang cukup. Sebagian besar dari hadits-hadits yang dihafalkan itu benar-benar melekat dalam otak sejak saat itu (Hasan Al Banna, 2013.
Hasan Al Banna tidak lama belajar di Ar Rasyad, seiring kepindahan Syaikh Muhammad Zahran dari sekolah tersebut. Al Banna melanjutkan pendidikannya di
Madrasah I’dadiyah. Di sini, selain
menim-ba pelajaran umum, Hasan Al Banna turut memulai upaya menghafal Al Quran langsung di bawah bimbingan ayahnya setiap selesai salat subuh hingga menjelang berangkat ke sekolah.
Salah satu gurunya yang berpengaruh terhadap perkembangan Hasan Al Banna adalah Syaikh Muhammad Afandi Abdul Khaliq, guru matematika dan olahraga yang memiliki kemuliaan akhlak. Dari Sang Syaikh ini, Hasan Al Banna mulai menge-nal organisasi, ketika Syaikh Muhammad Afandi Abdul Khaliq menginisiasi pendiri-an Perhimpunpendiri-an Akhlak Mulia bagi
siswa-siswa kelas tiga. Seluruh anggota
perhimpunan ini harus saling mengingatkan agar berpegang teguh kepada agama, menunaikan salat tepat pada waktunya, taat kepada Allah, mematuhi kedua orang tua, dan mematuhi siapa saja yang lebih tua atau yang lebih mulia (Hasan Al Banna, 2013.
Memasuki usia ke-13, Hasan Al Banna
pindah ke Madrasah Al Mu’allimin Al
Awwaliyah di Damanhur, yakni sekolah calon guru, guna mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pendidik. Pendidikan di
Madrasah Al Mu’allimin ini beliau tempuh
selama tiga tahun. Di sini, beliau berguru kepada Syaikh Abdul Aziz Athiyah, Syaikh Farhat Salim, Syaikh Abdul Fattah Abu
‘Allam, Syaikh Al Hajj’ Ali Sulaiman, dan
Syaikh Al Basyuni. Suatu kali, Syaikh Abdul Aziz Athiyah berkata kepada Hasan Al Banna:
Bagus sekali jawabanmu. Seandainya ada nilai yang lebih tinggi dari sepuluh, tentu akan kuberikan kepadamu.
Selama bersekolah di sana, beliau berhasil menghafal berbagai matan (teks buku yang berupa intisari ilmu), seperti Malhatul I’rab Al Hariri, Alfiyah Ibnu Malik, Al Yaqutiyah Mushthalat Hadits, Al
Jauharah tentang tauhid, Ar Rahbiyah
tentang warisan, As Sulam mengenai
man-tiq (logika), Al Qadwari mengenai fiqih
Abu Hanifah, Al Ghayan wal At Taqrib
Abu Syuja’ mengenai fiqih madzhab
Maliki (Hasan Al Banna, 2013).
Dengan kemampuannya itu, tidak heran bila Hasan Al Banna menjadi lulusan terbaik di madrasahnya dan terbaik ke-5 di Mesir waktu itu. Pendidikan tingginya, ia
selesaikan di Darul ‘Ulum Kairo pada bulan
Juni 1927. Kemudian beliau mendapatkan tugas mengajar dari pemerintah Mesir di kota Ismailia pada 19 September 1927. Di kota inilah, Hasan Al Banna mulai mengem bangkan metode dakwahnya.
Metode Dakwah Hasan Al Banna
Ulama tasawuf kontemporer sekaligus penulis kitab Tadzkiratun Nafs yang meru-pakan intisari dari pemikiran-pemikiran
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumuddin, Sa’id Hawwa menyebutkan,
Hasan Al Banna adalah peletak dasar teori gerakan Islam melalui gagasan-gagasannya yang aplikatif dan dapat diterima oleh setiap Muslim (Sa’d Hawwa, 2005).
Dalam metode dakwahnya, Hasan Al Banna menyebarkan pemurnian prinsip-prinsip Islam dan seruan kembali kepada Al
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 Quran dan keshalihan Islam (Ira M.
Lapidus, 2000). Didorong oleh kegelisahan yang ia saksikan sendiri di negerinya berupa munculnya budaya permisivisme di kalangan masyarakat dan jauh dari akhlak yang Islami, serta arus lalu-lintas surat kabar yang isinya bertenta-ngan dengan nilai-nilai Islam, ditambah lagi gelapnya masyarakat umum terhadap hukum-hukum agama, Hasan Al Banna ber pendapat bahwa, kalau hanya masjid yang digunakan sebagai sarana untuk menyam-paikan ajaran Islam kepada masyarakat luas, tidaklah cukup (Hasan Al Banna, 2013).
Hasan Al Banna kemudian mengklasi-fikasikan masyarakat Mesir menjadi empat golongan objek dakwah dalam sebuah pen-jelasan yang sangat panjang pada tulisan-nya Majmu’atur Rasail yakni al mu’minin (mukmin), al mutaraddin (orang yang ragu), al naf’iyin (orang oportunis), dan al
mutahaamilin (orang yang arogan), yang
dipungkasi oleh sebuah kalimat, sebagaima na diterjemahkan:
Kami ingin agar kaum kami mengeta-hui bahwa dakwah ini tidak tepat, kecuali untuk orang yang telah memahami berba-gai aspeknya dan memberikan segala biaya yang dibutuhkannya; baik jiwa, harta, waktu, dan kesehatan (Hasal Al Banna,
2006).
Menurut Syaikh Jum’ah Amin, dak-wah yang dijalankan oleh Hasan Al Banna adalah dakwah dengan penuh hikmah, di-hiasi nasihat yang indah dan memuaskan akal dengan argumentasi yang baik. Tiada paksaan dan kekerasan. Ditopang dengan prinsip-prinsip Islam yang luhur dan ber-sumber dari kitabullah yang nyata dan ke-hidupan Rasul-Nya yang terpercaya. Untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan beberapa perkara, pemahaman yang detail; iman ya-ng mandala; cinta yaya-ng kokoh; kesadaran yang sempurna, dan; amal yang berkelan-jutan (Jum’ah Amin, 2011).
Hasan Al Banna kemudian berpikir untuk membuat sebuah kelompok pelatihan berceramah dan penyuluhan agama yang akan disebarkan secara luas ke
masjid-masjid, kafe-kafe, dan di tengah masyara-kat umum.
Beberapa kolega yang ikut andil dalam proyek dakwah ini, sebagaimana disebut-kan Al Banna dalam memoarnya adalah ustadz Muhammad Madkur, Syaikh Hamid
‘Askariyah, Syaikh Ahmad Abdul Hamid,
dan lain-lain. Adapun kitab-kitab yang dijadikan rujukan sebagai materi pendidik-an para da’i ini pendidik-antara lain kitab Ihya
Ulumuddin Imam Al Ghazali, Al Anwar Al Muhammadiyah karangan Syaikh An Nabhani, Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub karangan Syaikh Al Kurdi, dan beberapa buku biografi (Hasan Al Banna, 2013).
Setelah proses pendidikan para da’i itu
selesai, tiba saatnya mengirim mereka ke tengah masyarakat. Hasan Al Banna memi-liki suatu gagasan yang unik kepada mereka, yakni percobaan untuk berdakwah di kedai-kedai kopi yang memang banyak tersebar di seantero Mesir umumnya. Pada mulanya, tentu saja mereka menolak gagas an tersebut. Mereka berpikir bahwa cera-mah yang efektif adalah di mimbar-mimbar masjid. Selain itu mereka berpendapat bahwa pemilik kedai-kedai kopi tentu akan
menolak kehadiran para da’i sebab
ditakut-kan mengganggu kenikmatan para pengun jung yang berniat melepas lelah dari rumit nya pekerjaan sehari-hari.
Tetapi Hasan Al Banna berbeda pendapat dengan mereka, dalam pandangan beliau, kebanyakan orang-orang yang ada di kedai kopi justru siap mendengarkan ceramah. Hasan Al Banna menilai bahwa melalui cara-cara penyampaian yang tepat dan tidak melukai perasaan, kegiatan ini merupakan hal yang unik langka dan baru buat para pengunjung. Beliau mengingat-kan bahwa ceramah yang efektif itu meng-habiskan waktu antara lima hingga sepuluh menit saja. Paling sama seperempat jam, sebab beliau berpikir berpanjang-panjang dalam ceramah khawatir dapat menjenuh-kan para pendengarnya. Tema-tema yang beliau kupas dalam ceramah-ceramah di ke dai kopi itu meliputi tema-tema pokok yang
IAIS Sambas Vol 4 No. 1 Januari – Juni 2018 bersifat umum. Senantiasa mengingatkan
para pengunjung agar mengingat Allah dan hari akhir, serta menyampaikan targhib (kabar gembira) dan tarhib (peringatan).
Secara terus terang, Hasan Al Banna menceritakan kisah safari dakwah di kedai-kedai kopi dalam memoarnya:
Ternyata pendengar sangat takjub. Mereka semua terdiam mendengarkan ce-ramah dengan seksama. Para pemilik kedai pada mulanya seperti kurang berkenan, namun setelah itu mereka justru minta agar ceramah ditambah lagi. Mereka ingin agar setelah menyampaikan cermah, kami mi-num-minum terlebih dulu, atau minta apa saja yang diinginkan. Namun dengan halus kami tolak. Kami meminta maaf kepada mereka karena tidak bisa memenuhi keinginan mereka dengan alasan sempitnya waktu. Kami memang telah berjanji kepada diri sendiri untuk mengoptimalkan penggu nakan waktu untuk Allah. Karenanya, kami tidak ingin memanfaatkannya untuk yang lain. Sikap kami ini dapat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi jiwa mereka. Tidak perlu heran, karena Allah swt., tidak pernah mengutus seorang rasul atau nabi, melainkan motto pertamanya
adalah, ‘Katakanlah, “Saya tidak akan
meminta upah dari kalian atas dakwah
ini.” Kesucian niat inilah yang memberikan
pengaruh yang positif dalam jiwa para
mad’u (objek dakwah) (Hasan Al Banna, 2013).
Metode dakwah Hasan Al Banna mem berikan prioritas kepada sepuluh kepribadi-an seorkepribadi-ang Muslim, yaitu qowiyul jism (kuat fisiknya), matinul khuluq (kokoh akhlaknya), mutsaqoful fikri (luas wawas-annya), qodirun ‘alal kasbi (mandiri ekono minya), salimul aqidah (selamat aqidah-nya), shohihul ibadah (benar ibadahaqidah-nya),
mujahidun linafsihi (melakukan mujahadah
terhadap dirinya sendiri), haritsun ‘ala
waqtihi (penuh perhatian akan waktunya),
munadzdzaman fii syu’unihi (rapi urusannya), naafi’an lighairihi (bermanfaat bagi orang lain) (Hasan Al Banna, 2006).
Mendirikan Ikhwanul Muslimun
Setelah dakwah dari satu kedai kopi ke kedai yang lainnya berjalan optimal, berkun junglah enam orang yang telah mendapat-kan pengaruh dan sentuhan yang disampai kan oleh Hasan Al Banna, mereka antara lain: Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Al Hashari, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz, dan Zaki Al Maghribi (Hasan Al Banna, 2013).
Mereka berkumpul dan mengungkap-kan kegelisahannya terhadap realitas umat Islam yang terbelenggu, jauh dari keduduk-an dkeduduk-an kemuliakeduduk-an. Menjadi buruh di negeri nya sendiri, dan dikuasai oleh penguasa asing yang menjajah negeri. Semuanya men yadari bahwa ada satu kewajiban seorang Muslim yang tidak boleh luput di tengah ujian ini, yakni kewajiban untuk beramal. Setelah itu, terjadilah baiat, sumpah setia bahwa mereka akan hidup bersaudara, beramal untuk Islam dan berjihad di jalan-Nya. Hasan Al Banna mengusulkan perkumpulan ini bernama Al Ikhwan Al
Muslimun dan disetujui oleh semuanya. Al Ikhwan Al Muslimun atau Ikhwanul Muslimun mengandung makna,
“Saudara-saudara yang sama-sama Muslim.”
Namun dalam perkembangan selanjut nya khususnya di Indonesia, jama’ah ini lebih populer dengan sebutan Ikhwanul Muslimin yang maknanya, “Saudara-sauda ranya kaum Muslimin.”
Ikhwanul Muslimun memiliki delapan karakteristik dakwah yang khas, seperti dijelaskan Hasan Al Banna, yakni sebagai mana diterjemahkan: (Hasan Al Banna, 2006).
1. Da’watun salafiiyun: Karena mereka
mengajak kembali bersama Islam
kepada sumbernya yang jernih dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
2. Thariqatun sunniyatun: karena mereka membawa jiwanya untuk mengamalkan sunnah yang suci dalam segala hal, khususnya dalam masalah aqidah dan ibadah, selama ada kemampuan.
3. Haqiiqatun shufiyyatun: karena mereka memahami bahwa asas kebaikan adalah