• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL

DALAM JUAL BELI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh: Sulakhudin NIM: 052311036

JURUSAN MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH

IAIN WALISONGO SEMARANG

(2)

ii

Perum Asri 1.19 Kramas Tembalang Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Naskah Skripsi

a.n. Sdr. Sulakhudin Kepada Yth

Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo

Di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : Sulakhudin Nomor Induk : 052311036

Jurusan : MU

Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI

Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

(3)

iii

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG

JL. Prof. Dr. HAMKA KM.2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang 50185 PENGESAHAN

Skripsi saudara : Sulakhudin

NIM : 052311036

Fakultas : Syari’ah

Jurusan : MU

Judul : STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH

SHIDDIEQY TENTANG TIDAK

DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI

Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:

28 Juni 2012

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun akademik 2010/2011.

(4)

iv

ِدﻮُﻘُﻌْﻟﺎِﺑ ْاﻮُﻓْوَأ ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ

)...

ةﺪﺋﺎﳌا

:

1

(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS.5: 1).

Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: DEPAG, 1979, hlm. 156.

(5)

v

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:

o Bapak dan Ibuku tercinta yang telah mengenalkan ku pada sebuah kehidupan dengan sebuah kasih sayang yang tak bertepi Dalam diri beliau kutemui contoh sosok orang tua yang sangat hebat.

o Istriku tercinta yang selalu menemaniku dalam suka dan duka

o Kakak dan adikku serta seluruh keluarga ku tercinta, semoga kalian temukan istana kebahagiaan di dunia serta akhirat, semoga semuanya selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT.

o Teman-teman Fak Syariah Jurusan Muamalah.

(6)

vi

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 15 Mei 2012 Deklarator,

Sulakhudin NIM: 052311036

(7)

vii

Kenyataan di masyarakat sering dijumpai dan dialami oleh setiap orang yaitu transaksi jual beli tanpa lafadz ijab qabul, sedangkan harga barangnya pun tidak kecil. Sebagai rumusan masalah yaitu bagaimana pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab

qabul dalam jual beli? Bagaimana metode istinbath hukum T.M.Hasbi Ash

Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sebagai data primer yaitu Karya TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Pengantar

Hukum Islam. Adapun sumber data sekunder, yaitu rujukan dalam penelitian

ini digunakan beberapa kitab atau buku antara lain: Koleksi Hadits-Hadits

Hukum; Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab; Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab; Falsafah Hukum Islam.Kitab Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Al-Uum, al-Risalah, Sejarah Hukum dalam Islam; Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab; Riwayat Sembilan Imam Fiqih;

Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ii, Hanbali;

Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab; Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali; Ensiklopedi Hukum Islam, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad Syalik fi Fiqhi Imam Aimmah Malik, Aujazu

Masalik Ila Mu’attai Malik, Musnad Ahmad, Nail al–Autar, Syarkh al-Rizqany‘, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, al-Muwatta’al-Muafaqat fi Ushulisy syari’ah, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan

Tafsir, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Memasuki Dunia al-Qur’an, Ikhtisahar Musthalah al-Hadits, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, dll yang ada

relevansinya langsung dengan judul tersebut. Dengan demikian peneliti menggunakan teknik library research yaitu suatu riset kepustakaan.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan. Atas dasar inilah dapat dipandang sah penjualan tanpa lafazd ijab qabul. Metode istinbat hukum yang digunakan TM.Hasbi Ash Shiddiqie adalah al-Qur'an surat al-Maidah ayat 1 yang artinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ; Al Maidah: 1), dan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai syarat yang tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidak tersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupun seratus syarat. Keputusan Allah lebih benar, syarat Allah lebih kokoh, hak kekuasaan (atas bekas budak) tetap bagi yang memerdekakannya". (H.R: Bukhari Muslim).

(8)

viii

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul: “STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

2. Bapak Ahmad Arief Budiman, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,

yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi.

5. Seluruh Staff Fakultas Syari'ah yang telah banyak membantu dalam akademik.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.

(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

DEKLARASI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Telaah Pustaka ... 7

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Jual Beli ... 14

B. Landasan Hukum Jual Beli ... 17

C. Syarat dan Rukun Jual Beli ... 19

D. Macam-Macam Jual Beli ... 35

1. Jual Beli Benda yang Kelihatan ... 35

2. Jual Beli yang Disebutkan Sifat-Sifatnya dalam Janji ... 37

3. Jual Beli Benda yang Tidak ada... 38

(10)

x

DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI

A. Biografi dan Sketsa Pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy... 42 B. Pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak

Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli... 56 C. Metode Istinbat Hukum TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang

Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli... 68

BAB IV: ANALISIS PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY

TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI

A. Analisis Pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli... 72 B. Analisis Metode Istinbat Hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy

Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul

dalam Jual Beli ... 80

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 83 B. Saran-saran ... 84 C. Penutup... 84 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri; namun demikian hidupnya harus bermasyarakat. Dalam hal ini Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing berhajat kepada yang lain, agar mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam, dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.

Keterangan di atas menjadi indikator bahwa manusia untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan orang lain. Salah satu kebutuhan yang memerlukan interaksi dengan orang lain adalah akad jual beli. Peristiwa ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan akibat hukum yaitu akibat sesuatu tindakan hukum.1

Dalam hukum Islam, secara etimologi jual beli adalah menukarkan

sesuatu dengan sesuatu yang lain, sedangkan menurut syara’ ialah

menukarkan harta dengan harta.2 Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Gazzi menerangkan:

ﻟ ﺎﻣ ﻞﺧﺪﻓ ﺊﺸﺑ ﺊﻴﺷ ﺔﻠﺑﺎﻘﻣ ﺔﻐﻟ ﻊﻴﺒﻟاو

ﺮﻤﺨﻛ لﺎﲟ ﺲﻴ

ﻦﺴﺣﺎﻓﺎﻋﺮﺷﺎّﻣاو

ﻞﻴﻗﺎﻣ

نذﺎﺑ ﺔﺿوﺎﻌﲟ ﺔﻴﻟﺎﻣ ﲔﻋ ﻚﻴﻠﲤ ﻪّﻧا ﻪﻔﻳﺮﻌﺗ ﰱ

1

Surojo Wignyodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983, Cet ke-3, hlm. 38.

2

Syekh Zainuddin bin Abd Aziz Malibari, Fath Mu’in Bi Sarkh Qurrah

(12)

وا ﻰﻋﺮﺷ

ﻤﺜﺑ ﺪﻴﺑﺄﺘﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﺣﺎﺒﻣ ﺔﻌﻔﻨﻣ ﻚﻴﻠﲤ

ﱃﺎﻣ ﻦ

3

Artinya: Jual beli itu menurut bahasanya ialah suatu bentuk akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karena itu akad ini memasukkan juga segala sesuatu yang tidak berupa uang,

seperti tuak. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jual

beli yang paling benar ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara’, atau sekedar

memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara’untuk

selamanya, dan yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.

Dalam kitabnya, Sayyid Sabiq merumuskan, jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran), sedang menurut

pengertian syari’at, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau

memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.4 Jual beli dibenarkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma umat. Landasan Qur’aninya, firman Allah:

...

ﱠﻞَﺣَأَو

ﱢﺮﻟا َمﱠﺮَﺣَو َﻊْﻴَـﺒْﻟا ُﻪّﻠﻟا

ﺎَﺑ

)...

ةﺮﻘﺒﻟا

:

275

(

Artinya: Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (al-Baqarah: 275)5

Landasan sunnahnya sabda Rasulullah SAW.

ﺎﻓر ﻦﻋ

ﺐﺴﻜﻟا ىا ﻞﺌﺳ ﻢّﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰّﻠﺻ ﱯﻨﻟا نا ﻊﻓار ﻦﺑا ﺔ

؟ﺐﻴﻃا

لﺎﻗ

:

روﱪﻣ ﻊﻴﺑ ﻞﻛو ﻩﺪﻴﺑ ﻞﺟﺮﻟا لﺎﻤﻋ

)

ﺔﺤﺤﺻو راﺰﺒﻟا ﻩاور

ﻢﻛﺎﳊا

(

6 3

Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 30.

4

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Juz III, Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147.

5

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI: Surabaya, 1980, hlm. 69.

6

Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani Al-San’ani, Subul al-Salam, Kairo:

(13)

Artinya: Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a. (katanya): Sesungguhnya Nabi

Muhammad SAW. pernah ditanyai, manakah usaha yang paling baik? beliau menjawab : ialah amal usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang bersih. (HR. al-Bazzar, dan dinilai Shahih oleh al-Hakim).

Landasan ijmanya, para ulama sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.7

Jual beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’ Mujtahidin) tak ada khilaf padanya. Memang dengan tegas-tegas al-Qur’an menerangkan bahwa menjual itu halal; sedang riba diharamkan.8 Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya salah satu rukun dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah ijab-qabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-qabul dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya rasa suka sama suka dari pihak-pihak yang mengadakan transaksi. Transaksi berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat rasa suka sama suka yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu transaksi. Namun suka sama suka itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam diri manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang suka

7

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75. 8

T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.

(14)

sama suka itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-qabul itu sebagai suatu indikasi.9

Ibnu Rusyd dalam kitabnya menyatakan:

َو

ْﻟا َﻌ

ْﻘ

ُﺪ

َﻻ

َﻳ

َﺼ

َﺢ

ِا

ﱠﻻ

ِﺑ َﺎ ْﻟ

َﻔ

ِظﺎ

ْﻟا َـﺒ

ْﻴ ِﻊ

10

Artinya: dan akad tidak sah kecuali dengan lafadz jual dan beli.

Dari pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu syarat sahnya jual beli. Namun, salah seorang ulama Indonesia kelahiran Lhokseumawe, Aceh Utara 10 maret 190411 TM.Hasbi ash Shiddieqy justru pendapatnya berbeda dengan pendapat di atas. TM.Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya: Al-Islam, mengemukakan sebagai berikut:

Jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan.12

Pendapatnya ia perkuat lagi dalam bukunya: Pengantar Hukum Islam, antara lain dinyatakan:

Sebagian ahli fikih menolak segala rupa akad (perjanjian-perjanjian) yang tidak diikrarkan dengan lidah. Mereka yang mewajibkan ijab (kata penyerahan) dan qabul (kata penerimaan) dengan perkataan "ucapan lidah" tidak mensahkan suatu penjualan atau sesuatu perjanjian yang dilakukan dengan jalan surat menyurat, karena tidak terjadi ijab dan qabul antara penjual dengan pembeli. Padahal jika

9

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003, hlm. 195

10

Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Juz 3, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 128.

11

TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 241

12

TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Jilid 2, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 193

(15)

dipikirkan benar-benar Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 1:13

ِدﻮُﻘُﻌْﻟﺎِﺑ ْاﻮُﻓْوَأ ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ

)...

ةﺪﺋﺎﳌا

:

1

(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS.5: 1).14

Nyatalah menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy bahwa jual beli tanpa lafadz ijab qabul adalah sah. Dari pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apa yang menjadi latar belakang pemikiran TM.Hasbi Ash Shiddieqy sehingga berpendapat seperti di atas, dan apa pula yang menjadi metode istinbath hukumnya. Menariknya masalah ini adalah TM.Hasbi Ash Shiddieqy yang secara sosiologis ia lahir dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang demikian kuat dan respeknya terhadap ulama salaf, tapi justru ia berseberangan dengan jumhur ulama. Adapun pentingnya masalah ini diteliti adalah karena kenyataan di masyarakat sering dijumpai dan dialami oleh setiap orang yaitu transaksi jual beli tanpa lafadz ijab qabul, sedangkan harga barangnya pun tidak kecil.

Karena itu diharapkan dari penulisan ini dapat memberikan jawaban yang lebih mendekati kebenaran, yaitu apakah jual beli tanpa lafadz ijab qabul itu sah.

Hal khusus melekat pada diri TM.Hasbi Ash Shiddieqy yang karena dia patut diangkat menjadi objek kajian, adalah karena ia orang pertama yang

13

TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 471 – 475

14

(16)

menganjurkan agar fiqh yang diterapkan di Indonesia adalah berkepribadian Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.15 maka yang menjadi rumusan masalah penulisan ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli?

2. Bagaimana metode istinbath hukum T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli. 2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis metode istinbath hukum

T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli

15

Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 112

(17)

D. Telaah Pustaka

Ada beberapa penelitian yang membahas persoalan jual beli, penelitian yang dimaksud di antaranya sebagai berikut:

Skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam terhadap Asas

Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli (Studi Analisis Terhadap Pasal 1493 KUH Perdata) yang disusun Sulistiyono. Menurut penyusun skripsi ini bahwa

asas kebebasan berkontrak dalam jual beli adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) jual beli yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1493 KUH Perdata: Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini; bahkan mereka diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu apapun.

Dalam hukum Islam, para ulama menyatakan, jual beli dengan syarat berakibat batalnya jual beli itu. Di antara fuqaha yang berpendapat demikian

ialah Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Dengan demikian perjanjian jual beli

yang dibuat di luar ketentuan hukum Islam atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, maka jual belinya menjadi batal. Jadi bila misalnya penjual meminta dikurangi kewajibannya seperti lepas tangan terhadap cacat barang atau kerusakan barang maka perjanjian jual beli dengan syarat seperti itu menjadi batal meskipun pembeli sepakat. Implikasinya maka bagi

(18)

produsen dan konsumen dapat menarik kembali perjanjian atau membatalkan perjanjian jual beli, manakala menyimpang dari ketentuan hukum Islam, apalagi jika hukum Islam melarangnya.16

Skripsi yang berjudul: Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang

Persyaratan Suci bagi Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli yang disusun

Khilmi Tamim. Menurut penyusun skripsi ini bahwa mengkomparasi pendapat berbagai ulama dengan Sayyid Sabiq ternyata ada ulama yang berbeda pendapatnya dengan Sayyid Sabiq, misalnya mazhab Hanafi dan Zahiri. Menurut kedua mazhab ini bahwa jual beli barang yang mengandung unsur najis boleh asalkan barang itu memiliki nilai manfaat bagi manusia. Sedangkan dalam perspektif Sayyid Sabiq bahwa meskipun barang itu mengandung manfaat namun jika najis maka barang itu tidak boleh dijual belikan. Dalam perspektif Sayyid Sabiq barang yang bernajis mengandung madarat yang lebih besar daripada manfaatnya.17

Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang

Jual Beli Jizaf'' yang dikaji oleh Tati Nurjanah, lebih memfokuskan pada

pendapat Sayyid Sabiq tentang jual beli jizaf yaitu jual beli yang serampangan, tidak memakai timbangan atau ukuran (taksiran atau dikira-kira saja).18

Skripsi yang berjudul "Persepsi Ulama terhadap Jual Beli Kodok di

Purwodadi Kabupaten Grobogan" yang dikaji oleh Slamet Sholikhin, lebih

16

Sulistiyono, Tinjauan Hukum Islam terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual

Beli (Studi Analisis Terhadap Pasal 1493 KUH Perdata), (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN

Walisongo, 2004)

17

Khilmi Tamim, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang Persyaratan Suci bagi

Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2005)

18

Tati Nurjanah, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Jual Beli Jizaf, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2006)

(19)

memfokuskan pada pendapat ulama terhadap jual beli kodok yaitu menjualbelikan kodok hukumnya haram, karena memakannya haram, tapi ada kalanya Islam membolehkan terhadap sesuatu yang diharamkan, karena mengambil manfaatnya.19

Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang

Hukum Jual Beli Anjing dalam Kitab Al-Umm" yang dikaji oleh Fauzul Muna,

lebih memfokuskan pada pendapat Imam Syafi'i tentang hukum jual beli anjing dan memelihara anjing adalah tidak boleh, namun Imam Syafi'i mengecualikan pada orang yang menggunakan anjing itu untuk menjaga ternak dan untuk berburu, dan apabila telah selesai kegunaan anjing itu untuk menjaga dan berburu maka tidak diperbolehkan memelihara anjing.20

Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi tentang

Syarat Manfaat Benda yang Diperjualbelikan" yang ditulis oleh Sawidi,

dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Imam Nawawi mengharuskan adanya manfaat dalam benda yang diperjualbelikan, tetapi benda yang bermanfaat itu juga harus suci, halal di makan, tidak menjijikkan, tidak sedikit jumlahnya dan manfaatnya tidak di larang oleh syara.21

Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian yang membahas jual beli tanpa lafadz ijab qabul perspektif T.M.Hasbi Ash Shiddieqy.

19

Slamet Sholikhin, Persepsi Ulama Terhadap Jual Beli Kodok Di Purwodadi Kabupaten

Grobogan, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003)

20

Fauzul Muna, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i Tentang Hukum Jual Beli Anjing

Dalam Kitab Al-Umm, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003)

21

Sawidi, Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi Tentang Syarat Manfaat Benda Yang Diperjualbelikan, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003)

(20)

E. Metode Penelitian

Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:22

Dalam usaha penulis memperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan seputar permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif artinya data-data yang disajikan dalam bentuk kata, bukan dalam bentuk angka-angka. 2. Sumber Data

a. Data primer: karya-karya ilmiah TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam,

Pengantar Hukum Islam.

b. Data sekunder: sebagai rujukan dalam penelitian ini digunakan beberapa kitab atau buku antara lain: Koleksi Hadits-Hadits Hukum;

Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab; Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab; Falsafah Hukum Islam.Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Al-Uum, al-Risalah, Sejarah Hukum dalam Islam; Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab; Riwayat Sembilan Imam Fiqih; Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki,

22

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24.

(21)

Syafi’ii, Hanbali; Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab; Sejarah

dan Biografi Empat Imam Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali; Ensiklopedi Hukum Islam, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Aujazu al-Masalik Ila Mu’attai Malik, Musnad Ahmad, Nail al–Autar, Syarkh al-Rizqany ‘Al-Muwattha Imam Malik, Bidayat Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, al-Muwatta’al-Muafaqat fi Ushulisy syari’ah, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Memasuki Dunia al-Qur’an, Ikhtisahar Musthalah al-Hadits, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Ilmu Ushul al-Fiqh, Ushul Fiqh, Al-Mudawwanah al-Kubra, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, serta kitab atau buku-buku lain

yang ada relevansinya langsung dengan judul tersebut. Dengan demikian peneliti menggunakan teknik library research yaitu suatu riset kepustakaan.23

3. Metode Pengumpulan Data

Menurut Sumadi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya.24 Berpijak dari keterangan tersebut, penelitian ini bersifat literer dengan menggunakan buku-buku yang terkait dengan tema skripsi tersebut.

23

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, Yogyakarta: Andi, 2001, hlm. 9.

24

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.84.

(22)

4. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.25 Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung (statistik).26 Sebagai pendekatannya, peneliti menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian analitis normatif tertuju pada pemecahan masalah yang dihubungkan dengan apa yang ada pada masa sekarang kemudian di analisisnya.27

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi landasan teori yang meliputi (pengertian jual beli, landasan hukum jual beli, syarat dan rukun jual beli, macam-macam jual beli, pendapat para ulama tentang ijab qabul dalam jual beli)

Bab ketiga berisi pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli yang meliputi: biografi dan sketsa pemikiran TM.Hasbi ash Shiddieqy (latar belakang dan karya-karya

25

Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 102.

26

Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 134.

27

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Bandung: Tarsito 1989, hlm. 139.

(23)

TM.Hasbi ash Shiddieqy, sketsa pemikiran TM.Hasbi ash Shiddieqy). Pendapat T.M.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab

qabul dalam jual beli. metode istinbat hukum TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang

tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli

Bab keempat merupakan analisis terhadap pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli yang meliputi: (analisis pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli, analisis metode istinbat hukum TM. Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli)

Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan; saran-saran dan Penutup.

(24)

14

TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jual Beli

Sebelum membahas lebih mendalam tentang jual beli, ada baiknya diketahui terlebih dahulu pengertian jual beli. Secara etimologis: jual beli berasal dari bahasa arab al-bai' yang makna dasarnya menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam prakteknya, bahasa ini terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata as-syira' (beli). Maka, kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga beli.1

Sedangkan secara therminologis, para ulama memberikan defenisi yang berbeda. Di kalangan ulama Hanafi terdapat dua definisi; jual beli adalah:

- Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu

- Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

Ulama Madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan, untuk membedakan dengan tukar menukar harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga,

1

Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan

(25)

harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bisa barang dan bisa uang.2

Menurut Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, jual beli adalah

صﻮﺼﳐ ﻪﺟو ﻰﻠﻋ لﺎﲟ لﺎﻣ ﺔﻠﺑﺎﻘﻣ ﺎﻋﺮﺷو

3

Artinya: menurut syara jual beli ialah menukarkan harta dengan harta dengan cara tertentu

Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi,4

نذﺎﺑ ﺔﺿوﺎﻌﲟ ﺔﻴﻟﺎﻣ ﻚﻴﻠﲤ ﻪﻧا ﺔﻔﻳﺮﻌﺗ ﰱ ﻞﻴﻗ ﺎﻣ ﻦﺴﺣﺄﻓ ﺎﻋﺮﺷ ﺎﻣاو

ﻌﻔﻨﻣ ﻚﻴﻠﲤوأ ﻲﻋﺮﺷ

ﱄﺎﻣ ﻦﻤﺜﺑ ﺪﻴﺑﺄﺘﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﺣﺎﺒﻣ ﺔ

Artinya: menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.

Menurut Sayyid Sabiq

ﺎﻤﻬﻨﻣ ﻞﻛ ﻖﻠﻄﻳ أﺮﺸﻟاو ﻊﻴﺒﻟا ﻆﻔﻟو ﺔﻟدﺎﺒﳌا ﻖﻠﻄﻣ ﺔﻐﻟ ﻩﺎﻨﻌﻣ ﻊﻴﺒﻟا

ﱐﺎﻌﳌا ﲔﺑ ﺔﻛﱰﺸﳌا ظﺎﻔﻟﻻا ﻦﻣ ﺎﻤﻬﻓ ﺮﺧﻻا ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻠﻄﻳﺎﻣ ﻰﻠﻋ

ةدﺎﻀﳌا

5

Artinya:Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran), dan kata al-ba’i (jual) dan asy Syiraa (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama.

2

Ibid., hlm. 53

3

Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz Malîbary, Fath Mu’în, Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 66

4

Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Dâr al-Ihya al-Kitab, al-Arabiah, Indonesia, tth, hlm. 30

5

(26)

Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama lain bertolak belakang.

Menurut pengertian syara, Sayyid Sabiq merumuskan yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.6Sementara menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, jual beli ialah tukar menukar harta secara suka sama suka atau memindahkan milik dengan mendapat pertukaran menurut cara yang diizinkan agama.7 Sedangkan Imam Taqi al-Din mendefinisikan jual beli adalah saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan kabul, dengan cara yang sesuai dengan syara.8

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara' dan disepakati.

Jual beli dalam perspektif hukum Islam harus sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'. Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang

6

Ibid

7

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar

Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 490. 8

Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifâyah Al Akhyâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, Juz, I, hlm. 239.

(27)

berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara', benda itu adakalanya bergerak (bisa dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada benda yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya, penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara'.9

B. Landasan Hukum Jual Beli

Apabila mencermati landasan hukum jual beli, maka jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an, sunnah, dan ijma', yakni:

1. Al-Qur'an

a. Al-Qur'an, surat Al-Baqarah ayat 275

ﺎَﺑﱢﺮﻟا َمﱠﺮَﺣَو َﻊْﻴَـﺒْﻟا ُﻪّﻠﻟا ﱠﻞَﺣَأَو

)

ةﺮﻘﺒﻟا

:

275

(

Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah : 275).10

b. Al-Qur'an, surat Al-Baqarah ayat 282

ْﻢُﺘْﻌَـﻳﺎَﺒَـﺗ اَذِإ ْاْوُﺪِﻬْﺷَأَو

)

ةﺮﻘﺒﻟا

:

282

(

Artinya: Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli. (QS. Al-Baqarah: 282).11

c. Al-Qur'an, surat An-Nisa'ayat 29

ْﻢُﻜﻨﱢﻣ ٍضاَﺮَـﺗ ﻦَﻋ ًةَرﺎَِﲡ َنﻮُﻜَﺗ نَأ ﱠﻻِإ

)

ءﺎﺴﻨﻟا

:

29

(

Artinya: Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka. (QS. An-Nisa': 29).12

9

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 69.

10

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 69.

11

(28)

2.Al-Sunnah, di antaranya:

a. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Bajjar

ﺐﺴﻜْﻟا ّىأ َﻞِﺌُﺳ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ﱠِ ﱮﱠﻨﻟا ﱠنَأ ٍﻊﻓاَر ﻦْﺑ ﺔَﻋﺎَﻓِر ْﻦَﻋ

ﻃأ

ٍرْوُﺮْـﺒَﻣ ٍﻊْﻴَـﺑ ﱡﻞُﻛَو ِﻩِﺪَﻴِﺑ ِﻞُﺟﱠﺮﻟا ُﻞَﻤَﻋ َلﺎَﻗ ؟ُﺐْﻴ

)

راﺰﺒﻟا ﻩاور

(

13

Artinya: Rifa'ah bin Rafi', sesungguhnya Nabi SAW. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Nabi SAW menjawab: seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur. (HR. Bajjar).

Maksud mabrur dalam hadiş di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain,

b. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah

ُﻪْﻨَﻋ ﻪَﺟﺎَﻣ ﻦﺑاَو نﺎَﺒِﺣ ُﻦْﺑا َجَﺮْﺧَأَو

ْﻦَﻋ ُﻊْﻴَـﺒْﻟا ﺎَﱠﳕِإ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ

ٍضاَﺮَـﺗ

)

ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑاو ﻰﻘﻬﻴﺒﻟا ﻩاور

(

14

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Hibban dan Ibnu Majah bahwa Nabi SAW, sesungguhnya jual-beli harus dipastikan harus saling meridai." (HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah).

3. Ijma'

Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.15

12

Ibid., hlm. 122.

13

Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 4.

14

Ibid.,

15

(29)

C. Syarat dan Rukun Jual Beli

Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Untuk memperjelas syarat dan rukun jual beli maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,"16 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."17 Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda,18melazimkan sesuatu.19

Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.20 Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf, syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya.21 Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004, hlm. 966.

17

Ibid., hlm. 1114.

18

Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64

19

Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34

20

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 50

21

(30)

yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.22 Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah suatu unsur yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut, dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.23

Sebagai contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Salah satu syarat shalat adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah. Rukun jual beli ada tiga, yaitu aqid (penjual dan pembeli),

ma'qud alaih (obyek akad), shigat (lafaz ijab kabul).

1. aqid (penjual dan pembeli) yang dalam hal ini dua atau beberapa orang melakukan akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad ialah:

a. Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang maka batal akad anak kecil, orang gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta, oleh karena itu anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya, Allah berfirman:

ْاﻮُﺗْﺆُـﺗ َﻻَو

ُﻢُﻜَﻟاَﻮْﻣَأ ءﺎَﻬَﻔﱡﺴﻟا

)...

ءﺎﺴﻨﻟا

:

5

(

22

Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59.

23

Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1510.

(31)

Artinya: Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh (al-Nisa: 5).

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh diserahkan kepada orang bodoh, 'illat larangan tersebut ialah karena orang bodoh tidak cakap dalam mengendalikan harta, orang gila dan anak kecil juga tidak cakap dalam mengelola harta, maka orang gila dan anak kecil juga tidak sah melakukan ijab dan kabul.24

b. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin,25firman-Nya;

...

ًﻼﻴِﺒَﺳ َﲔِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋ َﻦﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻠِﻟ ُﻪّﻠﻟا َﻞَﻌَْﳚ ﻦَﻟَو

)...

ءﺎﺴﻨﻟا

:

141

(

Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin" (al-Nisa: 141).

2. Ma'qud alaih (obyek akad). Syarat-syarat benda yang menjadi obyek akad ialah:

a. Suci atau mungkin untuk disucikan, maka tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi dan yang lainnya, Rasulullah SAW. bersabda:

24

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 75

25

(32)

ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ حﺎﺑر ﰉا ﻦﺑ ءﺎﻄﻋ ﻦﻫ ﺐﻴﺒﺣ ﰉا ﻦﺑ ﺪﻳﺰﻳ ﻦﻋ

:

ﻪّﻧا

ﻊﲰ

ص ﷲا لﻮﺳر

.

مﺎﻨﺻﻻاوﺮﻳﺰﻨﳋاو ﺔﺘﻴﳌاوﺮﻤﳋا ﻊﻴﺑ مﺮﺣ ﷲا نا لﻮﻘﻳ م

ﺐﻫﺪﻳو ﻦﻘﺴﻟا ﻪﺑ ﻰﻠﻄﻳ ﻪﻧﺎﻓ ﺔﺘﻴﳌا مﻮﺤﺷ ﺖﻳارا ﷲا لﻮﺳرﺎﻳ ﻞﻴﻘﻓ

.

م

اﻮﻋﺎﺑ ّﰒ ﻩﻮﻠﲨﺎﻬﻣﻮﺤﺳ مﺮﺣ ﺎﳌ ﷲا نا دﻮﻬﻴﻟا ﷲا ﻞﺗﺎﻗ ﻚﻟذ ﺪﻨﻋ

26

Artinya: Dari Yaziz bin Abi Habib dari Ata bin Abi Rubah dari Jabir bin Abdillah ra, sesungguhnya dia pernah mendengar Nabi SAW bersabda: sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung berhala. Ditanyakan: ya Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai karena ia dipergunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan oleh manusia? Beliau menjawab: ia adalah haram. Kemudian Rasulullah SAW bersabda saat itu: mudah-mudahan Allah memusuhi orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka malahan mencairkannya lalu mereka jual kemudian mereka makan harganya (HR.Bukhari)

Menurut riwayat lain dari Nabi dinyatakan "kecuali anjing untuk berburu" boleh diperjualbelikan. Menurut Syafi'iyah bahwa sebab keharaman arak, bangkai, anjing, dan babi karena najis, berhala bukan karena najis tapi karena tidak ada manfaatnya, menurut Syara', batu berhala bila dipecah-pecah menjadi batu biasa boleh dijual, sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau yang lainnya. Abu Hurairah, Thawus dan Mujahid berpendapat bahwa kucing haram diperdagangkan alasannya Hadits shahih yang melarangnya, jumhur ulama membolehkannya selama kucing

26

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-al-Bukhari, juz 2, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 29.

(33)

tersebut bermanfaat, larangan dalam Hadits shahih dianggap sebagai

tanzih (makruh tanzih).27

b. Memberi manfaat menurut Syara', maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut Syara', seperti menjual babi, cecak dan yang lainnya.

c. Jangan dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti; jika ayahku pergi kujual motor ini kepadamu.

d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual motor ini kepada Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah, sebab jual beli adalah salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara'.

e. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, tidak sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, barang-barang yang sudah hilang atau barang-barang yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, maka tidak diketahui dengan pasti sebab dalam kolam tersebut terdapat ikan-ikan yang sama.

f. Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.28

g. Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran 27

Hendi Suhendi, op. cit, 72.

28

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 72-73

(34)

yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.

Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk: ketiga bentuk jual beli sebagai berikut: 1) jual beli benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada.29

Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli, hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan boleh dilakukan.

Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.

Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh

29

Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii Halli

(35)

dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.

3. Shigat (lafaz ijab kabul)

Ijab dan kabul terdiri dari qaulun (perkataan) dan fi'lun

(perbuatan). Qaulun dapat dilakukan dengan lafal sharih (kata-kata yang jelas) dan lafal kinayah (kata kiasan/sindiran).

Lafal sharih ialah sighat jual beli yang tidak mengandung makna selain dari jual beli. Misalnya:

اﺬﻜﺑ ﺔﻌﻠﺴﻟا هﺬھ ﻚﺘﻌﺑ

(saya menjual kepadamu ini barang dengan harga sekian), dan kemudian dijawab

اﺬﻜﺑ ﻚﻨﻣ ﺎﮭﺘﯾﺮﺘﺳا

(saya membelinya dari kamu dengan harga sekian).30 Lafal kinayah ialah lafal yang di samping menunjukkan makna jual beli juga dapat menunjukkan kepada arti selain jual beli. Misalnya perkataan si penjual

بﻮﺜﻟا ﻚﻟاﺬﺑ بﻮﺜﻟا اﺬھ ﻚﺘﯿﻄﻋا

(saya memberi kamu baju ini dengan baju itu) atau

ﻚﻠﺘﺑ ﺔّﺑﺪﻟا ﻚﻠﺗ

ﻚﺘﯿﻄﻋا

(saya memberi kamu binatang itu dengan itu). Lafal (

ﻚﺘﯿﻄﻋا

) tersebut dapat mengandung makna "jual beli" dan makna "pinjam meminjam." Apabila lafal tersebut dimaksudkan jual beli, niat tersebut sah. Apabila lafal

kinayah tersebut disertai penyebutan harga, maka lafal kinayah tersebut

menjadi lafal sharih. Misalnya:

رﺎﻨﯾد ﺔﺋﺎﻤﺑ راﺪﻟا هﺬھ ﻚﺘﺒھو

(saya beri kamu rumah ini dengan uang 30

(36)

pengganti seratus dinar). Lafal

ﮫﺒﮭﻟا

di atas apabila tidak disertai penyebutan harga, maka menunjukkan makna hibah, tetapi jika disertai penyebutan harga seperti di atas maka menunjukkan makna jual beli. Demikian juga setiap lafal yang mempunyai makna tamlik apabila disertai penyebutan harga, maka lafal tersebut menjafi lafal yang sharih.31

Adapun shighat berupa fi'lun (perbuatan) adalah berwujud serah terima yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya: seseorang membeli sesuatu barang yang harganya sudah dia ketahui, kemudian ia (pembeli) menerimanya dari penjual dan dia (pembeli) menyerahkan harganya kepada penjual, maka dia (pembeli) sudah dinyatakan memiliki barang tersebut karena dia (pembeli) telah menerimanya. Sama juga barang itu sedikit (barang kecil) seperti roti, telur dan yang sejenis menurut adat dibelinya dengan sendiri-sendiri, maupun berupa barang yang banyak (besar) seperti baju yang berharga.32

Shighat berupa fi'lun (perbuatan) merupakan cara lain untuk

membentuk 'akad dan paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sorang pembeli menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual menyerahkan barang kepada pembeli. Cara ini disebut jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barang atau disebut juga mu'athah. Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu tempat; tanpa

31

Ibid, hlm. 326

32

(37)

kata-kata atau ucapan (sighat) penumpang tersebut langsung menyerahkan uang seharga karcis sesuai dengan jarak yang ditempuh.

Sewa menyewa ini disebut juga dengan mu'athah. Selanjutnya, dalam dunia modern sekarang ini, 'akad jual beli dapat terjadi secara otomatis dengan menggunakan mesin. Dengan memasukkan uang ke mesin, maka akan keluar barang sesuai dengan jumlah uang yang dimasukkan. Demikian juga, pembelian barang dengan menggunakan

credit card (kartu kredit), transaksi dengan pihak bank melalui mesin

otomatis, dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa yang terpenting dalam cara

mu'athah ini, untuk menumbuhkan akad maka jangan sampai terjadi

pengecohan atau penipuan.

Segala sesuatu harus diketahui secara jelas; atau transparan. Suatu 'akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam 'akad jual beli, misalnya, 'akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik si penjual. Sedangkan 'akad dalam pegadaian dan kafalah (pertanggungan) dianggap telah berakhir apabila utang telah dibayar.33

Rukun yang pokok dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah

ijab-kabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan

penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-kabul dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya saling ridha dari pihak-pihak yang mengadakan transaksi.

33

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 65.

(38)

Transaksi berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat saling ridha yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu transaksi. Namun suka saling ridha itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam dari manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang saling ridha itu. Para ulama terdahulu menetapkan

ijab-kabul itu sebagai suatu indikasi.34

لﺎﻗ ﻢﻌﻠﺻ ﱯﻨﻟا ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ةﺮﻳﺮﻫ ﰊا ﻦﻋ

:

ﻦﻋ ﻻا نﺎﻨﺛا ﻦﻗﱰﻔﻳﻻ

ضاﺮﺗ

35

Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. dari Nabi SAW. bersabda: janganlah

dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai" (Riwayat Abu Daud danTirmidzi).

Ijab-kabul adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang

adanya rasa suka sama suka. Bila pada waktu ini dapat menemukan cara lain yang dapat ditempatkan sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau saling menanda tangani suatu dokumen, maka yang demikian telah memenuhi unsur suatu transaksi. Umpamanya transaksi jual-beli di supermarket, pembeli telah menyerahkan uang dan penjual melalui petugasnya di counter telah memberikan slip tanda terima, sahlah jual-beli itu.36

Dalam literatur fiqih muamalah terdapat pengertian ijab dan kabul dengan berbagai rumusan yang bervariasi namun intinya sama. Misalnya dalam buku fiqih muamalah susunan Hendi Suhendi dijelaskan bahwa ijab

34

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195

35

Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 324.

36

(39)

adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.37 Menurut madzhab Hanafi, ijab ialah sesuatu yang keluar pertama kali dari salah satu dari dua orang yang mengadakan akad. Baik dari

si penjual, seperti ucapan: “saya menjual kepadamu barang ini” maupun dari si pembeli, seperti ucapan: “saya membeli barang ini dengan harga seribu”, kemudian si penjual menjawab: “barang itu aku jual kepadamu”. Sedangkan “kaul” ialah sesuatu yang keluar kedua (sesudah ijab).38

Dalam buku Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, terdapat penjelasan, dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.39Rachmat Syafe’i dengan mengutip ulama Hanafiyah dalam redaksi

yang berbeda dengan di atas mengatakan: ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan kabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.40

Dari rumusan-rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan

37

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 47.

38

Abd Rahman Jaziri,, Kitab Fiqh ‘ala Madzahib Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1970, hlm. 320.

39

Muhammad Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004, hlm. 155.

40

(40)

atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.

Dalam hubungannya dengan ijab kabul, bahwa syarat-syarat sah ijab

kabul ialah:

1. Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeli diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.

2. Jangan diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul. 3. Beragama Islam,

Syarat beragama Islam khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.

Menurut fuqaha Hanafiyah terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi dalam jual beli: (1) syarat in'akad; (2) syarat shihhah; (3) syarat

nafadz, dan (4) syarat luzum. Perincian masing-masing sebagaimana

disampaikan berikut:

Syarat in'akad terdiri dari:

1. Yang berkenaan dengan 'aqid: harus cakap bertindak hukum.

2. Yang berkenaan dengan akadnya sendiri: (a) adanya persesuaian antara

(41)

3. Yang berkenaan dengan obyek jual-beli: (a) barangnya ada, (b) berupa

mal mutaqawwim, (c) milik sendiri, dan (d) dapat diserah-terimakan

ketika akad.

Sedangkan syarat shihhah, yaitu syarat shihhah yang bersifat umum adalah: bahwasanya jual beli tersebut tidak mengandung salah satu dari enam unsur yang merusaknya, yakni: jihalah (ketidakjelasan), ikrah (paksaan),

tauqit (pembatasan waktu), gharar (tipu-daya), dharar (aniaya) dan

persyaratan yang merugikan pihak lain. Adapun syarat shihhah yang bersifat khusus adalah: (a) penyerahan dalam hal jual-beli benda bergerak, (b) kejelasan mengenai harga pokok dalam hal al-ba'i' al-murabahah (c) terpenuhi sejumlah kriteria tertentu dalam hal bai'ul-salam (d) tidak mengandung unsur riba dalam jual beli harta ribawi.

Adapun syarat Nafadz, yaitu ada dua: (a) adanya unsur milkiyah atau wilayah, (b) Bendanya yang diperjualkan tidak mengandung hak orang lain. Sedangkan syarat Luzum yakni tidak adanya hak khiyar yang memberikan pilihan kepada masing-masing pihak antara membatalkan atau meneruskan jual beli.41

Fuqaha Malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli: berkaitan

dengan 'aqid, berkaitan dengan sighat dan syarat yang berkaitan dengan obyek jual beli. Syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) mumayyiz, (b) cakap hukum, (c) berakal sehat, (d) pemilik barang.

41

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, IV, Beirut: Dar al-Fkr, 1989, hlm. 149

(42)

Syarat yang berkaitan dengan shigat: (a) dilaksanakan dalam satu majlis, (b) antara ijab dan kabul tidak terputus. Syarat yang berkaitan dengan obyeknya: (a) tidak dilarang oleh syara', (b) suci, (c) bermanfaat, (d) diketahui oleh 'aqid, (e) dapat diserahterimakan.42

Menurut mazhab Syafi'iyah, syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a)

al-rusyd, yakni baligh, berakal dan cakap hukum, (b) tidak dipaksa, (c) Islam,

dalam hal jual beli Mushaf dan kitab Hadis, (d) tidak kafir harbi dalam hal jual beli peralatan perang. Fuqaha Syafi'iyah merumuskan dua kelompok persyaratan: yang berkaitan dengan ijab-kabul dan yang berkaitan dengan obyek jual beli.

Syarat yang berkaitan dengan ijab-kabul atau shigat akad: 1. Berupa percakapan dua pihak (khithobah)

2. Pihak pertama menyatakan barang dan harganya 3. Kabul dinyatakan oleh pihak kedua (mukhathab)

4. Antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain; 5. Kalimat kabul tidak berubah dengan kabul yang baru

6. Terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul

7. Shighat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain 8. Tidak dibatasi dalam periode waktu tertentu

Syarat yang berkaitan dengan obyek jual-beli: 1. Harus suci

2. Dapat diserah-terimakan

42

(43)

3. Dapat dimanfaatkan secara syara'

4. Hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya 5. Berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.43

Fuqaha Hambali merumuskan dua kategori persyaratan: yang

berkaitan dengan 'aqid (para pihak) dan yang berkaitan dengan shighat, dan yang berkaitan dengan obyek jual-beli. Syarat yang berkaitan dengan para pihak:

1. Al-Rusyd (baligh dan berakal sehat) kecuali dalam jual-beli barang-barang yang ringan

2. Ada kerelaan

Syarat yang berkaitan dengan shighat 1. Berlangsung dalam satu majlis

2. Antara ijab dan kabul tidak terputus

3. Akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu Syarat yang berkaitan dengan obyek

1. Berupa mal (harta)

2. Harta tersebut milik para pihak 3. Dapat diserahterimakan

4. Dinyatakan secara jelas oleh para pihak 5. Harga dinyatakan secara jelas

6. Tidak ada halangan syara.44

43

Ibid., hlm. 389 – 393.

44

(44)

Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya jual beli bangkai, khamer dan babi adalah batal atau tidak sah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Sabda Rasullullah SAW.

َر ِ ﰊَأ ِﻦْﺑ ِءﺎَﻄَﻋ ْﻦَﻋ ٍﺐﻴِﺒَﺣ ِ ﰊَأ ِﻦْﺑ َﺪﻳِﺰَﻳ ْﻦَﻋ ُﺚْﻴﱠﻠﻟا ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ُﺔَﺒْﻴَـﺘُـﻗ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ٍحﺎَﺑ

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر َﻊَِﲰ ُﻪﱠﻧَأ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻲِﺿَر ِﻪﱠﻠﻟاِﺪْﺒَﻋ ِﻦْﺑ ِﺮِﺑﺎَﺟ ْﻦَﻋ

ِﺮﻳِﺰْﻨِْﳋاَو ِﺔَﺘْﻴَﻤْﻟاَو ِﺮْﻤَْﳋا َﻊْﻴَـﺑ َمﱠﺮَﺣ ُﻪَﻟﻮُﺳَرَو َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإ ِﺢْﺘَﻔْﻟا َمﺎَﻋ َﺔﱠﻜَِﲟ َﻮُﻫَو ُلﻮُﻘَـﻳ

َﻨْﺻَْﻷاَو

ُﻦُﻔﱡﺴﻟا ﺎَِ ﻰَ ﻠْﻄُﻳ ﺎ َﻬﱠـﻧِﺈَﻓ ِ ﺔَﺘْﻴَﻤْﻟا َ مﻮُ ﺤُﺷ َ ﺖْﻳَأَرَأ ِ ﻪﱠﻠﻟا َ لﻮُ ﺳَر ﺎ َﻳ َ ﻞﻴِﻘَﻓ ِ مﺎ

ٌماَﺮَﺣ َﻮُﻫ َﻻ َلﺎَﻘَـﻓ ُسﺎﱠﻨﻟا ﺎَِ ُﺢِﺒْﺼَﺘْﺴَﻳَو ُدﻮُﻠُْﳉا ﺎَِ ُ ﻦَﻫ ْﺪُﻳَو

)

يرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور

(

45

Artinya; Telah mengabarkan kepada kami dari Qutaibah dari al-Laits dari Yazid bin Abi Habib dari 'Atha' bin Abi Rabah dari Jabir bin 'Abdullah ra telah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: tahun pembukaan di Makkah: sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli khamer (minuman keras), bangkai, babi dan berhala" Kemudian seseorang bertanya: "Bagaimana tentang lemak bangkai, karena banyak yang menggunakannya sebagai pelapis perahu dan, meminyaki kulit dan untuk bahan bakar lampu?" Rasulullah SAW. menjawab: "Tidak boleh, semua itu adalah haram". (H.R. al-Bukhari)

Mengenai benda-benda najis selain yang dinyatakan di dalam hadis di atas fuqaha berselisih pandangan. Menurut Mazhab Hanafiyah dan Dhahiriyah, benda najis yang bermanfaat selain yang dinyatakan dalam hadis di atas, boleh diperjualbelikan sepanjang tidak untuk dimakan sah diperjualbelikan, seperti kotoran ternak. Kaidah umum yang populer dalam mazhab ini adalah:

زﻮﳚ ﻪﻌﻴﺑ نﺈﻓ ﺎﻋﺮﺷ ﻞﲢ ﺔﻌﻔﻨﻣ ﺔﻴﻓﺎﻣ ﻞﻛ نا

45

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 35.

(45)

46

Artinya: Segala sesuatu yang mengandung manfaat yang dihalalkan oleh syara' boleh dijual-belikan.

Dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, mazhab Hanafi menegaskan:

ﺔﻴﻔﻨﳊا

اﻮﻟﺎﻗ

:

و ﺲﺠﻨﺘﳌا ﻦﻫﺪﻟا ﻊﻴﺑ زﻮﳚ

ﺎﻤﻛ ﻞﻛﻷا ﲑﻏ ﰱ ﻪﺑ عﺎﻔﺘﻧﻻا

ﺮﻤﳋا ﻊﻴﺑو ﺮﻳﺰﻨﳋا ﻊﻴﺑو ﻎﺑﺪﻟا ﻞﺒﻗ ﺎﻫﺪﻠﺟو ﺔﺘﻴﳌا ﻊﻴﺑ ﻪﻧﻮﻌﻨﳝ يﺬﻟا ﺎﳕإو ﲔﻌﻟا

47

Artinya: Mereka berkata: Boleh menjualbelikan minyak yang terkena najis dan memanfaatkannya selain untuk makan. Sebagaimana boleh memperjualbelikan kotoran yang tercampur dengan debu dan memanfaatkannya dan kotoran binatang atau pupuk meskipun dia najis barangnya. Bahwasanya yang mereka larang adalah memperjual belikan bangkai, kulit bangkai sebelum disamak, babi dan arak. D. Macam-Macam Jual Beli

1. Jual Beli Benda yang Kelihatan

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum; dari segi obyek jual beli; dan dari segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin48bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk: 1) jual beli benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada.

46

Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Jilid III, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 17

47

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1972, hlm. 137.

48

Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii Halli

Referensi

Dokumen terkait

Jual-beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan

Perjanjian jual – beli merupakan suatu ikatan bertimbal balik dalam mana pihak yang satu ( si penjual ) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,

Pasal 1495 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : si penjual dalam hal adanya janji yang sama, jika terjadi suatu penghukuman untuk menyerahkan barang yang dijual kepada

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa hukum jilid menurut Hasbi adalah hukum yang berlaku bagi pezina muhsan dalam Islam, sebab tidak ada ayat yang menerangkan

perjanjian antara pihak penjual dan pembeli sering timbulnya suatu permasalahan di antara kedua belah pihak seperti yang terjadi dalam penelitian ini yaitu mengenai

Perjanjian jual beli menurut BW adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, dan di pihak

3) Barang itu dapat diserahterimakan. 4) Mempunyai kuasa terhadap barang yang akan dijual. Penjual memiliki kuasa terhadap barang yang akan dijual baik berdasarkan hak

Namun, jika kedua belah pihak menyembunyikan cacat atau berdusta tentang kondisi barang yang diperdagangkan, maka berkah dari transaksi tersebut akan dihapus.. Ini menunjukkan bahwa