BAB II
PROSEDUR JUAL BELI TANAH WARISAN MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL
A.Pengertian dan Sifat Jual Beli Tanah 1. Pengertian Jual Beli Tanah
Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum tidak secara tegas dan
terperinci diatur dalam UUPA, bahkan sampai sekarang belum ada
peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.
Walaupun dalam UUPA tidak ada diartikan mengenai pengertian jual
beli, namun secara tersirat dapat dilihat dalam Pasal 26 Undang-Undang
Pokok Agraria yang menyebutkan :
a. Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah.
b. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum tanahnya jatuh pada negara dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu masuk dalam hukum agraria atau hukum tanah.42
Pengertian jual beli tanah menurut UUPA didasarkan pada konsep dan
pengertian jual beli menurut hukum adat. Dalam hukum adat tentang jual
beli tanah dikenal tiga macam yaitu:43 a.
Pada adol plas (jual lepas), pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk selama-lamanya kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik tanah dengan pihak lain (pembeli).
Adol Plas (Jual Lepas)
b.
Pada adol gadai (jual gadai), pemilik tanah pertanian (pembeli gadai) menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada pihak lain (pemegang gadai) dengan menerima sejumlah uang dari pihak lain (pemegang gadai) sebagai uang gadai dan tanah dapat kembali kepada pemiliknya apabila pemilik tanah menebus uang gadai.
Adolbedol (Jual Gadai)
c. Adol Oyodan (jual Tahunan)
Pada adol tahunan (jual tahunan), pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam beberapa kali masa panen kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antar pemilik tanah dengan pembeli. Setelah beberapa kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah pertanian diserahkan kembali oleh pembeli kepada pemilik tanah.
Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan ke dalam hukum
benda khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum
perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :44
a. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian
sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli
tersebut.
42
Boedi Harsono 11, Op.cit., hal. 135.
43
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 359-360.
44
b. Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban
yang ada, hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila
pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya
maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tersebut.
Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat yang
memindahkan hak milik untuk selama-lamanya disebut dengan jual lepas.
Dalam KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan
pihak yang lain untuk pembayaran harga yang telah dijanjikan.45
Dalam hukum perdata jual beli diatur dalam KUHPerdata pada Pasal
1457, Pasal 1458, Pasal 1459 dan Pasal 1457 KUHPerdata yang
mendefenisikan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana yang
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang
lainuntuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Titik persamaan antara hukum adat dengan hukum perdata dalam
perihal jual beli ialah bahwa jual beli mengandung tujuan perekonomian
yang tertentu yaitu memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari
seseorang tertentu kepada orang lain.
Beberapa sarjana yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma memberikan
pengertian jual beli tanah (jual lepas) sebagai berikut:46
a. Van Vollenhoven : “Jual lepas dari sebidang tanah atau perairan adalah
penyerahan dari benda itu di hadapan petugas-petugas hukum adat dengan
45
Lihat Pasal 1457 KUHPerdata.
46
pembayaran sejumlah uang pada saat itu atau kemudian.”
b. S.A. Hakim : “Penyerahan sebidang tanah (termasuk air) untuk
selama-lamanya dengan penerimaan uang tunai (atau dibayar dahulu untuk
sebagian), uang mana disebut uang pembelian.”
c. Iman Sudiyat : “Menjual lepas (Indonesia); adol plas, runtumuran, patibogor
(Jawa); menjual jaja (Kalimantan), yaitu menyerahkan tanah untuk
menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus
kembali; jadi penyerahan itu berlangsung untuk seterusnya/ selamanya”.
Demikian juga Djaren Saragih menyebutkan “jual lepas adalah
penyerahan terang untuk sebidang tanah dengan penerimaan sejumlah uang
secara tunai dan selama-lamanya. Jadi pada jual lepas ini teriadi peralihan
hak milik”.47
2. Sifat Jual Beli Tanah
Sifat dan bentuk perjanjian jual beli merupakan salah satu bagian dari
asas dalam hukum perjanjian yang dikenal dengan asas konsensualisme, hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk
saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.48
Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu perjanjian dalam dari
apabila kata sepakat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berada dalam kerangka yang sebenarnya,
47
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Tarsito, 1980), hal. 10
48
dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam eksistensi
kontrak itu sendiri. Pada akhirnya pemahaman terhadap asas
konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan kepada kata sepakat saja
tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.49 Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perdata, perjanjian jual
beli itu dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan
harga begitu kedua belah pihak setuju dengan harga barang-barang maka
lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.50 Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan bahwa jual beli itu dianggap
telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang-orang ini
mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun
kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata ini menetapkan bahwa kesepakatan
antara pihak penjual dan pihak pembeli dalam hal benda yang akan diperjual
belikan dan juga harganya merupakan suatu pertanda yang sah secara
hukum bahwa perjanjian jual beli tersebut dipandang telah terjadi, meskipun
benda yang diperjualbelikan belum diserahkan pihak penjual kepada pihak
pembeli dan harga benda tersebut belum dibayar pihak pembeli kepada
pihak penjual. Kesepakatan yang dimaksud disini adalah suatu kesepakatan
49
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional dalam Kontrak Komersil, (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 122-123
50
yang dinyatakan oleh pihak penjual dan pihak pembeli yang ditentukan baik
secara lisan maupun secara tulisan.51
Pernyataan sepakat yang diberikan oleh para pihak secara lisan dalam
suatu perjanjian jual beli tentunya harus didukung oleh alat bukti yang sah
yakni saksi minimal 2 (dua) orang agar pemberian pernyataan kata sepakat
tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Apabila pemberian
pernyataan kata sepakat tersebut tidak didukung oleh saksi-saksi maka
kedudukan hukum pernyataan sepakat yang diberikan secara lisan itu
dipandang lemah apabila terjadi perselisihan dikemudian hari. Oleh karena
itu perjanjian jual beli sebaiknya dilakukan dalam suatu perjanjian tertulis
berupa akta yang didalamnya memuat kesepakatan dalam pelaksanaan jual
beli suatu benda dan memuat segala hak dan kewajiban baik penjual
maupun pembeli.
Menurut jiwa / azas Hukum Barat maka perjanjian jual beli
mempunyai sifat obligatoir (mengikat , artinya penjual berjanji dan wajib mengoperkan barang yang dijual kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan
apakah harga barang tersebut dibayar dengan kontan atau tidak), perjanjian
jual beli tersebut belum mempunyai Zakelijke Werking (kekuatan/daya kerja kebendaan) berdasarkan Pasal 1457-1458 KUHPerdata dan dalam hal ini
masih memerlukan Yuridische Levering (penyeraham yuridis) sesuai Pasal 1475 KUHPerdata disamping Feitelijke Levering (Penyerahan Nyata).52
51
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal 36.
52
Istilah akta merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu acta,
dalam bahasa Prancis disebut dengan acte, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah deed. Akta adalah surat atau tulisan yang berupa suatu dokumen formal.
Menurut Abdullah Hasan akta adalah “ suatu pernyataan tertulis yang
merupakan kehendak para pihak yang dibuat oleh seseorang atau oleh
pihak-pihak yang seseorang berkepentingan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti dalam pasal hukum.”53
Dari defenisi yang disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa akta
merupakan suatu surat/tulisan yang berisi pernyataan kehendak dari para
pihak/orang yang berkepentingan dalam pembenaran tulisan/surat tersebut,
pernyataan kehendak yang dibuat secara tertulis tersebut memuat
klausul-klausul yang diberikan dengan perbuatan hukum dari orang/para pihak yang
membuatnya. Dari segi jenisnya akta dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu Akta dibawah tangan dan Akta otentik.
53
Abdullah Hasan, Perancangan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal.21
Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh orang/para pihak
yang berkepentingan dalam perbuatan hukum yang tertulis dalam akta
tersebut dan orang/para pihak yang membuat akta tersebut bukan
merupakan pejabat yang berwenang membuat atau sesuai peraturan,
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan
bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
pegawai-pegawai hukum yang berkuasa/berwenang membuat akta tersebut ditempat
dimana akta tersebut dibuatnya. Perjanjian jual beli dapat dilakukan dalam
bentuk akta di bawah tangan dan dapat pula dibuat dalam bentuk akta
otentik. Pembuatan akta otentik Perjanjian jual beli dibuat oleh pejabat
publik/umum dalam hal ini adalah seorang Notaris. Akta otentik yang dibuat
oleh notaris merupakan suatu alat bukti yang paling sempurna apabila
terjadi perselisihan (perkara) di depan pengadilan.54
Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya
kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang
diperjualbelikan tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya
kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjual
belikan dibutuhkan penyerahan.55
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang
menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang
diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli. KUH perdata
mengenal tiga macam, barang yaitu barang bergerak, barang tetap, dan
barang tak bertubuh (piutang, penagihan, atau claim), maka menurut KUH
Perdata juga ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing
berlaku untuk masing-masing jenis barang tersebut yaitu :
a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang
itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 612 KUH Perdata yang berbunyi:
“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan
54
Santia Dewi dan R.M. Fauwas Diradja, Panduan Teori & praktek Notaris, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hal 36
55
dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya”.56
Dari ketentuan di atas dapat dilihat adanya kemungkinan
menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang
berada dalam suatu gudang, hal mana suatu penyerahan kekuasaan secara
simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada didalam kekuasaan
pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan saja. Cara
yang terakhir ini terkenal dengan nama traditio “brevi manu” yang berarti penyerahan dengan tangan pendek.
b. Untuk barang tetap (tidak bergerak) penyerahan dilakukan dengan
perbuatan balik nama (overschrijving) di muka pegawai kadaster yang
juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpan hipotik,
yaitu menurut Pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620 KUH Perdata.
Pasal 616 menyatakan bahwa:
“Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620”, sedangkan pada pasal 620KUHperdata “Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan barada dan dengan membukukannya dalam register”.
Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang
berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik
sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau
56
keputusan itu, agar penyimpan mencatat didalamnya hari pemindahan
beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan.
c. Penyerahan barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan
“cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata BW yang
berbunyi :
“Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan menyerahkan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen”.
Dalam konteks hukum adat, berbicara tentang jual beli tanah berarti
membicarakan tentang transaksi tanah yang merupakan bagian dari ruang
lingkup sistem hukum adat. Maka dalam hal ini meninjau tentang
transaksi-transaksi tanah terdiri dari 2 (dua) macam yaitu transaksi-transaksi tanah yang
bersifat perbuatan hukum sepihak dan transaksi tanah bersifat perbuatan
hukum dua pihak.
Menurut Hilman, pengertian transaksi tanah yang sepihak dan
transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum 2 (dua) pihak yaitu :57
a. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan
pemilikan tanah dengan membuka sebidang tanah untuk didiami dan
diusahai oleh kelompok orang atau seorang individu. Perbuatan ini hanya
melibatkan satu pihak bukan dua pihak seperti transaksi yang biasa kita
kenal misalnya jaul beli. Jadi pihak kedua tidak ada dan kalaupun ada
57
pihak ini diam saja maksudnya ia tidak akan menerima prestasi ataupun
kontraprestasi atas prestasi yang dilakukan pihak tersebut. Misalnya
sekelompok orang atau seseorang membuka tanah hutan yang tidak ada
pemiliknya atau seseorang individu atau kelompok orang membuka
sebidang tanah yang merupakan suatu hak ulayat masyarakat adat yang
ditelantarkan atau diusahai. Apabila seseorang individu warga
persekutuan dengan seizin kepala persekutuan membuka tanah di wilayah
persekutuan, maka dengan tanah itu terjadilah hubungan hukum dan
sekaligus juga hubungan religius magis antara warga tersebut dengan
tanah dimaksud. Lazimnya warga yang membuka tanah tersebut
kemudian menempatkan tanda-tanda pelarangan pada tanah yang ia
kerjakan tersebut. Perbuatan ini berakibat timbulnya hak bagi warga yang
membuka tanah tersebut.
b. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak merupakan
suatu perbuatan hukum yang mana ada dua pihak yang berperan dalam
transaksi ini, masing-masing melakukan suatu perbuatan tertentu untuk
tercapainya maksud dalam transaksi ini, sesuai dengan transaksi tanah
yang dimaksud. Inti daripada transaksi ini adalah pengoperan atau pun
penyerahan tanah disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat
itu juga dalam hal ini ada dua pihak yang melakukan transaksi ini yaitu
pihak pertama yang melakukan penyerahan tanah (penjual) dan pihak
lainnya membayar harga tersebut (pembeli). Di dalam hukum tanah adat
sade”, di suku Batak “manggadis”.
Sifat jual beli tanah berdasarkan konsep Hukum Adat menurut
Effendi Perangin angin, adalah:58
a. Contant atau Tunai
Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu seluruhnya, tetapi bisa juga sebagian. Akan tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut
hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan
haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut
hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang
pembeli kepada bekas pemilik tanah (penjual). Hal ini berarti, jika kemudian
pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tanah tidak
dapat membatalkan jual beli tanah tersebut. Penyelesaian pembayaran sisa
harga tersebut dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang.
b. Terang
Terang, artinya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala
desa (kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga
dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tanah
tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku. Jual beli tanah yang
dilakukan di hadapan kepala desa (kepala adat) menjadi “terang” dan bukan
perbuatan hukum yang “gelap”. Artinya pembeli mendapatkan pengakuan
dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik tanah yang baru dan
mendapatkan perlindungan hukum jika pada kemudian hari ada gugatan
58
terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tanah tersebut tidak sah.
Senada dengan Effendi Peranginangin, menurut Maria S. W
Sumardjono, sifat jual beli tanah menurut hukum adat, adalah:59
a. Tunai
Tunai, artinya penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah (penjual)
dilakukan bersamaan dengan pembayaran harganya oleh pihak lain
(pembeli).
Dengan perbuatan hukum jual beli tersebut, maka seketika itu juga
terjadi peralihan hak atas tanah. Harga yang dibayarkan pada saat
penyerahan hak tidak harus lunar atau penuh dan hal ini tidak mengurangi
sifat tunai tadi. Kalau ada selisih/sisa dari harga, maka hal ini dianggap
sebagai utang pembeli kepada penjual yang tunduk pada hukum utang
piutang.
b. Riil
Riil, artinya kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan
perbuatan yang nyata-nyata menunjukkan tujuan jual beli tersebut, misalnya
dengan diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya perjanjian di hadapan
kepala desa.
c. Terang
Terang, artinya untuk perbuatan hukum tersebut haruslah lakukan di
hadapan kepala desa sebagai tanda bahwa perbuatan itu tidak melanggar
ketentuan hukum yang berlaku.
59
Menurut jiwa/azas hukum adat maka hukum adat tidak mengenal
pembagian bahkan pengertian obligatoir seperti pada Hukum barat, karena suatu jual beli pada hakekatnya bukan persetujuan belaka yangberada antara
dua pihak (penjual dan pembeli) tetapi suatu penyerahan barang oleh
penjual kepada pembeli dengan tujuan /maksud memindahkan hak milik
atas barang/benda diantara kedua belah pihak maka kalau tidak dibayar
kontan bukan jual beli tetapi suatu hutang piutang.60
B. Subjek, Obyek, dan Syarat-syarat Jual Beli Tanah
1. Subjek Jual Beli Tanah
Subjek dalam jual beli tanah adalah Warga Negara Indonesia (Pasal 9
UUPA yang merupakan Prinsip Nasionalitas), namun demikian seorang
Warga Negara Asing juga dapat menjadi Subjek dalam jual beli tanah
disebabkan warisan yang diterimanya dan dalam hal demikian Warga
Negara Asing tersebut wajib melepaskan haknya dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut jika dalam 1 (satu) tahun
tersebut tidak dilepaskan maka hak tersebut batal karena hukum dan jatuh
kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung (Pasal 21 ayat (3) UUPA).
Dalam transaksi jual beli, ada pihak –pihak yang menjadi penjual dan
ada pihak yang menjadi pembeli. Penjual adalah harus sebagai pemilik
tanah baik secara sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam hal pemilik
hanya sendiri maka ia berhak untuk menjual secara sendiri, tapi bila pemilik
tanah dua orang atau lebih, maka yang berhak menjual tanah tersebut adalah
60
pemilik secara bersama-sama.
Pihak pembeli harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak yaitu
seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang pokok Agraria
bahwa “ Setiap jual beli , penukaran, penghibaan, pemberian wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung meminmdahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang
ditetapkan oleh pemerintah termasuk dalam pasal 21 ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh
pemiliknya tidak dapat dituntut kembali” 61
2. Obyek Dalam Jual Beli Tanah
Objek jual-beli adalah hak atas tanah yang akan dijual. Dalam praktek
disebut jual-beli tanah. Secara hukum yang benar ialah jual-beli hak atas
tanah. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang benar bahwa
tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah
menguasai dan mempergunakan tanah. Tetapi yang dibeli (dijual) itu bukan
tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.62
Karena yang dijual (dibeli) hak atas tanah, maka kita harus tahu pasti
apa macam hak yang jadi objek itu.
61
Harun Al Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985) hal 50
62
Untuk tanah yang sudah bersertipikat, hal itu dapat dilihat dalam
sertipikat itu (di halaman sampul dalam dan ditulis lagi di kolom sebelah
kiri di atas dari buku tanah).
Bagi tanah bekas hak sebelum UUPA berlaku, yang belum
bersertipikat dapat kita ketahui dengan mempergunakan
ketentuan-ketentuan tentang perubahan hak-hak atas tanah (konversi) yang terdapat
dalam UUPA. Tetapi hal itu belum pasti. Sebab kepastian hanya terjadi
kalau SKPT (Surat keterangan Pendaftaran Tanah) telah menegaskan
konversi hak. Oleh karena itu biasanya disebut dengan "bekas Hak
Eigendom" atau "bekas Hak Yasan" atau "bekas Hak Milik Adat" dan lain sebagainya sesuai dengan bukti-bukti yang ada.63
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur Obyek
Pendaftaran Tanah :
1) Obyek pendaftaran tanah meliputi :
a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai
b) Tanah hak pengelolaan c) Tanah wakaf
d) Hak milik atas satuan rumah susun e) Hak tanggungan
f) Tanah negara
2) Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f), pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.
Pendaftaran tanah yang obyeknya bidang tanah yang berstatus
Negara dilakukannya dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan tidak
diterbitkan sertipikat
63
Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, jelas dinyatakan oleh
UUPA dapat dialihkan. Jadi dapat dijual belikan. Tetapi ada peraturan
perundangan yang membatasi. Misalnya, Hak Milik yang diberikan kepada
transmigran tidak boleh dijual. Begitu juga hukum Islam (yang dalam hal ini
dihormati) menegaskan bahwa tanah Hak milik yang diwakafkan tidak
boleh dijual.64
Hak Pakai atau Hak Sewa dapat dijual atau tidak, itu tergantung dari
isi surat perjanjian pemberiannya (bila diperjanjikan) atau surat keputusan
pemberian haknya (kalau diberikan oleh negara). Jadi PPAT harus
memeriksa surat dimaksud. Sedangkan Hak Pakai yang pemegang haknya
Instansi Pemerintah dan Kedutaan Asing tidak boleh dijual, karena
diberikan hanya untuk dipakai sendiri.
Walaupun objek jual-beli adalah hak atas tanah, tentu saja
batas-batas tanah itu harus diketahui, supaya tidak terjadi keragu-raguan. Kalau
tanah sudah bersertipikat, maka batas-batas tanah mengenai luas, panjang
dan lebarnya sudah ditulis dalam surat ukur atau gambar situasi. Jika tanah
belum bersertipikat, maka batas-batas itu harus dijelaskan oleh penjual dan
pembeli.
3. Syarat-syarat Jual Beli Tanah
Peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus memenuhi
beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
64
yang berlaku. Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan tidak terpenuhi
maka akan membawa konsekuensi pada legalitas jual beli hak atas tanah
tersebut. Disamping itu apabila suatu perbuatan jual beli hak atas tanah
tidak memenuhi syarat, juga dapat berkonsekuensi tidak dapat
didaftarkannya peralihan hak atas tanah melalui jual beli tersebut.
Syarat-syarat jual beli hak atas tanah ada yang merupakan Syarat-syarat materiil dan Syarat-syarat
formil.65
a. Syarat Materil
Syarat materil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subjek dan obyek
hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus mempunyai
hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah. Disamping itu pembeli
juga harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari ak atas
tanah yang menjadi objek jual beli. Uraian tentang syarat materiil jual beli
hak atas tanah adalah sebagai berikut:
1) Syarat Penjual
Untuk dapat melakukan transaksi jual beli hak atas tanah, maka
penjual harus mempunyai hak dan wewenang untuk menjual hak atas tanah
dengan ketentuan sebagai berikut:66
a) Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertipikat atau alas
bukti lain selain sertipikat. Hal pertama yang harus jelas ialah calon
penjual harus berhak menjual tanah itu, yaitu pemilik dari tanah tersebut.
65
Harun Al Rasyid, Op.Cit, hal 53
Jual-beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi
66
hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi
jual-beli. Dalam hal demikian kepentingan pembeli sangat dirugikan.
Sebab ia sudah membayar harga tanah itu kepada penjual, sedangkan
haknya atas tanah yang dibelinya tidak pernah beralih.
b) Penjual harus sudah dewasa menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, artinya telah berwenang untuk menjual tanah
tersebut.
c) Apabila penjual masih belum dewasa atau masih berada di bawah umur
(minderjarig) maka untuk melakukan jual beli harus diwakili oleh
walinya.
d) Apabila penjual berada di dalam pengampuan (curatele), maka untuk
melakukan transaksi jual beli harus diwakili oleh pengampu atau
kuratornya.
e) Apabila penjual diwakili oleh orang lain sebagian penerima kuasa, maka
penerima kuasa menunjukkan Surat kuasa notariil atau Surat Kuasa
otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Penjual/pembeli
mungkin bertindak sendiri atau melalui kuasa. Baik penjual/pembeli
bertindak sendiri maupun melalui kuasa, identitasnya harus jelas. Kalau
penjual/pembeli adalah orang (manusia), maka identitas itu ialah: nama,
umur, kewarganegaraan, pekerjaan, tempat tinggal. Jika ia perernpuan
yang bersuami, maka keterangan-keterangan itu mengenai suaminya
harus diketahui juga. Semua itu dapat dibaca dalam Kartu Tanda
maka identitasnya ialah: nama, bentuk hukum (perseroan terbatas,
yayasan, perusahaan negara, perusahaan jawatan dan lain- lain),
kedudukan, pengurus-pengurusnya, Semua itu dapat diketahui dari akte
pendirian/anggaran dasar/peraturanperundangan pembentukannya.67
f) Apabila hak atas tanah yang akan dijual merupakan harta bersama dalam
perkawinan maka penjual harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu
dari suami/istri yang dituangkan dalam akta jual beli.
Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak
untuk menjual sendiri tanah itu. Tetapi bila pemilik sebidang tanah adalah
dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu
bersama-sama, tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.
Begitu juga kalau pemilik tiga atau lebih orang, maka semua pemilik harus
bertindak sebagai penjual. Seorang saja tidak ikut, maka yang lain tidak
berhak menjual, sekalipun bagian yang tidak ikut itu lebih sempit dari yang
lain.
2) Syarat Pembeli
Selaku calon pemegang hak baru, maka pembeli hak atas tanah harus
memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah dengan ketentuan sebagai
berikut:68
a) Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Milik, maka
subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan Warga Negara
67
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kaharudin, Ketua administrasi BPN Kota Medan pada tanggal 1 juni 2013
68
Indonesia, Bank Pemerintah, Badan Keagamaan, dan Badan Sosial.
b) Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Guna Usaha, maka
subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara
Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
c) Apabila objek jual beli tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna
Bangunan, maka subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan
warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d) Apabila objek jual beli tanah tersebut adalah merupakan Hak Pakai,
maka pihak yang dapat membeli tanah adalah subjek Hak Pakai yang
bersifat privat, yaitu perseorangan Warga Negara Indonesia,
perseorangan Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia,
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia.
Sebagai pembeli maka ia harus sebagai penerima hak yang harus
memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya, dan untuk
menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah
yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut yaitu
hak milik, hak pakai, hak guna bangunan yaitu sesuai dengan yang
pemerintah maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah tersebut
jatuh pada Negara69
3) Tanah yang dijadikan objek jual beli adalah tanah yang tidak dalam sengketa
dan tanah-tanah yang boleh diperjual belikan dalam UUPA yaitu Hak Milik
(pasal 20), Hak Guna Usaha (pasal 28), Hak Guna Bangunan (pasal 35),
Hak Pakai (pasal 41).
b. Syarat Formil
Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas
transaksi jual beli tersebut. Formalitas tersebut meliputi akta yuridisnya
yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang
membuat akta tersebut. Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka
syarat formil jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. (PPAT). Akta
yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan atau dikualifikasikan sebagai
akta otentik.
Syarat bahwa jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT agar dapat
didaftarkan ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 70 yang menyatakan:
"Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
69
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Kaharudin, Ketua Administrasi BPN Kota Medan tanggal 26 Juni 2013
70
Jual beli yang yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena
UUPA berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA) sedangkan dalam
hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkrit/nyata/riil.
Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak
untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, berupa:71 1)
2)
Jika tanahnya sudah bersertipikat maka sertipikat tanahnya yang asli dan
bukti pembayaran biaya pendaftaran.
Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah tidak mutlak harus
dibuktikan dengan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
dapat mendaftar pemindahan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta
PPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan:
Jika tanahnya belum bersertipikat maka surat keterangan tanah yang
belum bersertipikat, dan surat-surat tanah yang ada yang memerlukan
penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat
yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan
untuk persertipikatan tanahnya setelah setelah selesai dilakukan jual beli.
72
"Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh menteri Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah Hak Milik, yang dilakukan di antara perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan".
71
Berdasarkan Wawancara dengan Pantun Panggabean, Notaris PPAT di Dolok Sanggul Humbahas pada tanggal 14 september 2013
72
C. Prosedur Jual Beli Tanah Warisan Menurut Hukum Tanah Nasional.
1. Jual Beli Tanah Warisan Menurut Hukum Adat
Dasar berlakunya hukum adat di bidang keagrarian adalah Pasal 5
Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa “Hukum Agraria
yang berlaku atas bumi, air, tanah dan ruang angkasa ialah hukum adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, peraturan yang tercantum dalam
Undang-Undang “.73
Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda
berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia.
Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun
merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan
susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dan kecil
(micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi,
air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di
alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.74
Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan
masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu
adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada
masyarakat. Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu
73
Abdurrahman, Beberapa Aspek tentang Hukum Agraria, (Bandung: Alumni ,1980), hal 65
74
adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi
itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu
masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.75
Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan
gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau
karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak
ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat
dipandang sebagai tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan
bersumber dari tanah bersama tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi
di atas, berarti sesungguhnya hak atas tanah menurut hukum adat terdiri dari
dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal) dan hak individu.76
Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam
hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir
hak-hak perorangan (hak-hak individual). Istilah hak-hak ulayat disebut oleh Van Vollen
Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuan, Teer
Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat Minang
menyebutnya dengan kosa kata ulayat.77
Menurut Purnadi Purbacaraka, “hak ulayat adalah hak atas tanah
yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara
75Opcit
, John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, hal 278
76Ibid 77
bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum adat
yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh”78
Menurut Boedi Harsono, “hak ulayat adalah hak dari suatu
masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi
wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan
memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum adat tersebut”.
Dapat dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat
terhadap tanah di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan
mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah lingkungan
wilayahnya di bawah kepemimpinan kepala adat
.
79
Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di
dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula ketua dan para
tertua adat. Para anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama
memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. .
Ter Haar mengatakan bahwa:
“anggota masyarakat hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin ketua adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat.”80
Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat
hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke
dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang
78
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1983), hal.25-26
79
Boedi Harsono, Hukum Agraria, 1999, Opcit hal.215
80
asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah
memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang
penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat
terbatas.
Herman Soesangobeng menandaskan bahwa81
“ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.”
:
Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak
atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan
penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai
pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan
berdasarkan hak wenang pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi
perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan
tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya. Kemudian setelah
pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda
larangan maka lahirlah hak terdahulu. Hak terdahulu dimiliki oleh pihak
yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Setelah membuka hutan dan
lahannya diolah serta digarap maka lahir hak menikmati. Baru setelah hak
menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara
terus menerus maka ia berubah menjadi hak pakai. Akhirnya, setelah
penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi
pewarisan kepada generasi berikutnya, maka hak pakai pun berubah menjadi
81
hak milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini dalam perkembangannya, para
sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-hak perorangan atas tanah
dalam Hukum Adat menjadi hak milik dan hak pakai.82
Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:83
a. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat,
yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;
b. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua
Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;
c. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat), yang terdiri atas:
1) Hak Milik, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang
diperoleh secara turun temurun.
2) Hak Pakai, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang
diperoleh dengan mengolah bagian dari wilayah adat.
Perkembangan menyebabkan adanya perubahan proses
individualisasi hak ulayat yang kesemuanya itu beraspek perdata. Maka dari
itu, apabila ada bagian dari hak ulayat yang mengalami proses
individualisasi menyebabkan hak ulayat tersebut tidak berpengaruh lagi.
Berdasarkan PMNA/KaBPN Nomor 5 Tahun 1999 pasal 4 menyebutkan
bahwa :84
(1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
82
S.Hendratiningsih, A.Burdiartha dan Andi Hernandi, Masyarakat dan Tanah Adat di Bali, (Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Desember, 2008), hal.8
83Opcit
, Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, hal 59
84
a. Oleh warga masyarakatnya hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Jadi proses individualisasi hak ulyat dibagi menjadi 2 yaitu :85
a. Apabila subyeknya adalah warga masyarakat setempat maka prosesnya
dimulai dengan adanya penguasaan tanah oleh warga masyarakat
setempat menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku dan
memperoleh persetujuan pemegang haknya untuk dapat dipunyai dengan
hak atas tanah tanpa adanya ganti rugi yang ahrus diberikan.
b. Apabila subyeknya adalah instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat maka prosesnya
dimulai dengan adanya pelepasan hak oleh masyarakat hukum adat / oleh
warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum setempat dengan
memberikan “recognitie” yaitu semacam ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak ulayat setelah melalui musyawarah. Kemudian
setelah itu yang bersangkutan dapat diberikan hak atas tanah menurut
ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara.
Peralihan hak atas tanah merupakan suatu peristiwa dan/atau
85
perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas
tanah dari pemilik kepada pihak lain. Peralihan tersebut meliputi jual beli,
hibah, sewa menyewa, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan hukum lain
yang bertujuan atau bermaksud memindahkan hak kepemilikan tanah, tetapi
peralihan yang banyak terjadi dalam masyarakat adalah peralihan dalam
bentuk transaksi jual beli.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa objek dari
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam hal ini adalah jual beli
tanah. Objek tanah dapat berupa tanah yang sudah bersertipikat dan tanah
yang belum bersertipikat.
Sebelum jual beli dilakukan antara pemlilk tanah dan calon pembeli,
tentunya sudah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli
itu (dikenal sebagai asas konsensualisme), tanah mana yang akan dijual dan
harganya, bilamana jual belinya akan dilakukan. Kata sepakat itu
menimbulkan perjanjian, yang kiranya dapat disebut perjanjian akan
(melakukan) jual beli.
Pada putusan Mahkamah Agung yang dibahas adalah hak
perorangan atas tanah adat ( sebagai proses individualisasi hak ulayat) yaitu
Hak Milik sebagai hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh
secara turun temurun.
Pada tanah adat warisan setelah ada kesepakatan dan data para pihak
telah lengkap dan memperlihatkan surat keterangan ahli waris yang
dihadapan kepala desa atau ketua adat secara rill, tunai dan kontan, agar
jual beli tersebut terbukti menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Pokok
Agraria maka jual beli tersebut dibuat oleh notaris dalam bentuk akta proses
verbal yaitu akta berita acara jual beli tanah adat dihadapan ketua adat yang
dihadiri oleh saksi dari pihak penjual dan saksi dari pihak notaris.86
Selanjutnya, berdasarkan kata sepakat itu kemudian diikuti dengan
pernyataan (ijab kabul) berupa penyerahan uang (harga) dan tanah oleh
pembeli dan penjual dihadapan para saksi. Pada saat itu barulah bisa
dikatakan jual beli itu terjadi secara sah dan masyarakat setempat
menerimanya.
Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat sahnya suatu
perbuatan hukum jual beli tanah menurut hukum adat yaitu adanya objek
dari jual beli berupa tanah dan uang/harga, adanya kata sepakat para pihak
(penjual dan pembeli) dan adanya saksi-saksi yang menyaksikan perbuatan
hukum jual beli. Pada umumnya saksi-saksi terdiri dari persekutuan/Kepala
desa, pemilik tanah yang berbatasan dan para ahli waris dari pihak penjual
serta orang lain yang sengaja diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum
jual beli tersebut.
Dalam hukum adat tidak dikenal adanya pendaftaran tanah. Berkaitan
dengan ini, Boedi Harsono mengatakan87
“Lembaga Pendaftaran tidak dikenal dalam hukum adat. Karena :
86
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Syahril Sofyan, Pejabat Pembuat Akta Tanah pada tanggal 18 september 2013.
87
semua memang tidak diperlukan untuk lingkungan pedesaan, yang lingkup teritorial maupun personalnya terbatas. Dalam lingkungan pedesaan, demikian itu para warganya saling mengenal dan mengetahui siapa mempunyai tanah, yang mana dan siapa melakukan perbuatan-perbuatan hukum mengenal tanah miliknya”.
Hal yang sama juga dikatakan oleh AP. Parlindungan :88
“Pembuktian hak-hak atas tanah di Indonesia sangatlah kompleks sekali, karena tiada ada tradisi ataupun peraturan yang menyebutkan keharusan pendaftaran tanah tersebut. Banyak hak-hak atas tanah tidak mempunyai bukti tertulis atau hanya berdasarkan keadaan tertentu diakui sebagai hak seseorang berdasarkan kepada hak-hak adat dan diakui oleh yang empunya sempadan tanah tersebut”.
2. Jual Beli Tanah Warisan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria
Berlakunya UUPA pada prinsipnya telah berlaku pula sebuah
unifikasi hukum Agraria yang bertujuan mengakhiri suasana dualisme
hukum antara hukum barat di satu sisi dan hukum adat di sisi lain di bidang
hukum agraria.
Dalam ketentuan UUPA, jual beli tanah milik adat merupakan
bagian dari peralihan hak atas tanah. Boedi Harsono menyebutkan bahwa
pada dasarnya peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena 2 (dua) sebab
yaitu : 89
a. Pewarisan tanpa wasiat yakni peralihan hak atas tanah karena pemegang suatu hak atas tanah meninggal dunia, dengan kata lain hak tersebut beralih kepada ahli warisnya, sementara siapa ahli warisnya dan berapa bagian masing-masing ditentukan berdasarkan hukum waris pemegang hak yang bersangkutan.
b. Pemindahan hak yakni hak atas tanah tersebut sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan hak bisa berapa jual beli, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan
88
AP. Parlindungan, Ibid, hal.134
89
Iman Soetikyo, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1985), hal 61
juga termasuk hibah wasiat.
Jadi dapat dijelaskan bahwa pengertian beralih dan dapat dialihkan
dalam hal ini mempunyai arti sebagai berikut :90
a. Beralih adalah suatu peralihan hak yang
b.
dikarenakan seseorang yang mempunyai suatu hak meninggal dunia, sehingga dengan sendirinya hak itu beralih menjadi milik ahli warisnya. Ketentuan mengenai peralihan karena warisan terdapat dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi “peralihan hak karena warisan dalam hukum adat terjadi pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Sejak saat itu ahli waris menjadi pemegang hak yang baru.”
Dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemilik semula. Dengan kata lain peralihan ini terjadi karena adanya perbuatan hukum tertentu seperti: jual beli, hibah, wasiat dan sebagainya.
Bila ada kehendak yang disengaja dan disepakati atas sebidang tanah
bidang milik maka didalamnya ada pengalihan atas tanah tersebut, bila
pengalihan tersebut dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan negara
maka disebut dicabut atau mungkin dinasionalisasi dan inipun harus dengan
menempuh persyaratan, sebab terjadi pemutusan hubungan hukum
kepemilikan didalamnya. Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan
“peralihan hak atas tanah melalui jual beli, sewa menyewa, hibah,
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang
dibuat PPAT yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Dari
pasal-pasal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya segala
bentuk mutasi hak dan lain sebagainya harus melalui seorang PPAT.91
Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 ditetapkan bahwa PPAT menolak untuk membuatkan akta jika :
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas rumah susun kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan;
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan sebagai berikut:92
1. Surat bukti hak atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa tanah yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut.
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari Kantor Pertanahan surat keterangan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa objek dari
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam hal ini adalah jual beli
tanah. Objek tanah dapat berupa tanah yang sudah bersertipikat dan tanah
yang belum bersertipikat
Syarat bahwa jual beli hak atas tanah, baik yang telah bersertipikat
maupun belum bersertipikat, harus dibuktikan dengan akta otentik yang
dibuat oleh PPAT ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan:
“Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan
91
Muhammad Yamin,dan Abd. Rahim , Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hal 277
92
akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam hal seseorang yang terdaftar namanya dalam alat bukti hak
meninggal dunia, maka padaa saat itu tentunya timbulnya pewarisan atas
harta peninggalan si pewaris, dengan kata lain sejak itu para ahli waris
menjadi pemegang haknya yang baru, dan untuk mengubah data yuridis
bidang tanah pada alat bukti haknya (yakni mencatat pemegang atas nama
ahli waris) maka ahli waris yang sah dan berhak mendapatkan warisan
dimaksud wajib mendaftarkan perubahan data yuridis atas tanah tersebut
kepada kantor pertanahan, sesuai Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah maka yang wajib diserahkan oleh
yang menerima hak adalah sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian
orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti
sebagai ahli waris. 93
Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa wasiat dari pewaris,
putusan pengadilan, penetapan hakim/Ketua Pengadilan atau bagi waga
negara indonesia penduduk asli berupa surat keterangan ahli waris yang
dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris
pada waktu meninggal dunia sedangkan bagi warga negara Tionghoa berupa
hak mewaris dari notaris dan bagi warga negara keturnan Timur Asing
93Opcit
berupa surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.94
Jika bidang tanah warisan yang belum didaftar wajib diserahkan juga
dokumen berupa surat bukti haknya, surat keterangan Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
telah dikuasai secara fisik oleh pemohon, juga dilampirkan surat keterangan
bahwa surat yang bersangkutan belum bersertipikat dari kantor pertanahan
dan untuk tanah yang terletak jauh dari kantor pertanahan maka dari
pemegang hak yang bersangkutan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
Jika penerima warisan terdiri dari satu orang maka pendaftaran peralihan
hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti
sebagai ahli waris. Namun jika penerima warisan lebih dari satu orang dan
waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian
waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah tertentu jatuh kepada
seorang penerima ahli waris maka pendaftaran peralihan hak atas tanah itu
dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat
tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut (diatur
dalam Pasal 111 sampai dengan 112 Peraturan Menteri Negara Agraria
/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997).
95
94
Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
95Opcit
a. Prosedur Jual Beli Tanah Warisan Bersertipikat
Tahapan peralihan hak atas tanah melalui transaksi jual beli dilakukan
dalam tiga tahap, yaitu persiapan pembuatan akta jual beli, tahap pembuatan
akta jual beli dan pembuatan penandatanganan akta jual beli kemudian
pendaftaran peralihan hak atau pendaftaran akta jual beli ke Kantor
Pertanahan setelah selesai baru sertipikat diserahkan kepada pembeli .
Biasanya tidak semua transaksi jual beli tanah dapat dilakukan dalam arti
dipenuhi oleh PPAT untuk dibuatkan aktanya.
Dalam hal dan keadaan tertentu PPAT harus menolak pembuatan
akta jual beli hak atas tanah jika terdapat alasan untuk itu. Menurut Pasal 39
Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, PPAT berwenang
menolak untuk membuat akta jual beli hak atas tanah apabila:96
1)
2)
Penjual tidak menyerahkan sertipikat asli hak atas tanah tersebut atau jika sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan. Atau dengan perkataan lain sertifikan hak atas tanah diragukan keasliannya atau patut diduga sebagai sertipikat palsu. Salah satu atau kedua belah pihak tidak berwenang melakukan jual beli tanah tersebut, misalnya hak atas tanah yang hendak dijual bukan miliknya penjual. Atau jika saksi yang akan menandatangani akta PPAT tidak berhak dan tidak memenuhi syarat untuk bertindak dalam jual beli;
3)
Salah satu atau kedua belah pihak, terutama pihak penjual, bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. Surat kuasa mutlak telah dilarang untuk digunakan sebagai dasar melakukan jual beli. Surat kuasa mutlak biasanya di dalamnya terdapat ketentuan atau klausula tidak dapat dicabut kembali dan tidak dapat batal atau dibatalkan dengan alasan apapun, yang esensi sebenarnya dari surat kuasa tersebut adalah peralihan hak milik dari pembeli kuasa kepada penerima kuasa.
Syarat adanya ijin untuk melakukan jual beli tidak dipenuhi padahal terdapat keharusan adanya ijin dari pejabat yang berwenang untuk
4)
mengalihkan hak atas tanah bersangkutan.
96
Ibid, hal. 278
bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan/atau data yuridis, terutama jika sengketa tersebut telah masuk ke pengadilan sebagai akibat adanya gugatan dari pihak lain.
5) Pembuatan akta jual beli tanah tidak boleh dilakukan jika tidak dipenuhinya syarat-syarat yang telah ditentukan atau dilanggar larangan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila menemukan alasan-alasan seperti tersebut di atas, maka
PPAT wajib menolak untuk membuatkan akta jual beli tanah yang
dimintakan kepadanya. Penolakan untuk membuat akta jual beli tersebut
diberitahukan oleh PPAT secara tertulis kepada pihak-pihak yang
bersangkutan beserta alasannya.
1). Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Warisan Bersertipikat
Sebelum dilakukan proses jual beli tanah di hadapan PPAT, maka juga
ditempuh tahap persiapan sebelum pembuatan akta PPAT, dimana PPAT
wajib memeriksa semua dokumen dan bukti-bukti yang ada pada pemilik
tanah selaku penjual, hal ini untuk mencegah timbulnya hal-hal yang
bersifat kuang mengntungkan dikemudian hari.
Adapun tahapan-tahapan dalam persiapan jual beli tanah adalah : 97
a) Jual beli tanah yang sudah bersertipikat sebaiknya meminta terlebih
dahulu Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang menentukan
status tanah dari tanah yang akan diperjualbelikan pada kantor Agraria
tersebut
97
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Rich Joney Simamora Camat Dolok Sanggul Humbahas pada tanggal 14 September 2013
yang bertujuan untuk mengetahui dengan pasti apakah data
sama dengan SKPT yang diminta dari Kantor agraria, dan hal ini juga
untuk mengetahui siapakah yang berhak atas tanah yang disebut sebagai
subjek hukum, dimana lokasi dan luasnya sebagai objek hukum,
mengetahui status hukumnya dari siapa dan dipindahkan pada siapa,
untuk mengetahui apakah tanah tersebut ada beban-beban diatasnya
(dipakai sebagai jaminan hutang atau tidak). apabila pemilik dari tanah
tersebut telah meninggal dunia berarti pemiliknya adalah para ahli
warisnya maka harus ada balik nama kepemilikan pada pihak ahli
warisnya.
b). Dalam transaksi jual beli tanah, PPAT akan meminta
dokumen-dokumen sebagai berikut yang harus dilengkapi pihak penjual dan
pembeli yaitu :98
1). Data Tanah :
(a). PBB asli lima tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima
Setoran (bukti bayarnya);
(b). Sertipikat asli tanah
(c). Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (optional);
(d). Bukti Pembayaran Rekening Listrik, Telepon, Air (bila ada);
(e). Sertifikat Hak Tanggungan jika masih dibebani hak tanggungan.
(f). Surat Keterangan ahli waris (jika tanah merupakan tanah
warisan yang belum dibagi
98
(g). Asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) Pajak Bumi dan
Bangunan .
(a). Fotokopi Karu Tanda Penduduk Penjual beserta Suami/Isteri. 2). Data penjual
(b). Fotokopi Kartu Keluarga
(c). Fotokopi Akta Nikah.
(d). Surat Persetujuan Suami/Isteri atau bisa juga persetujuan
tersebut diberikan dalam AJB
(e). Asli Surat kematian jika suami/isteri telah meninggal
(f). Asli Surat keterangan Ahli Waris.
3). Data Pembeli :
(a). Fotokopi Kartu Tanda Penduduk.
(b). Fotokopi Kartu Keluarga
(c). Fotokopi Akta Nikah, jika sudah menikah.
Dibutuhkan data diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat
menjual suatu benda (menjual merupakan tindakan kepemilikan) adalah
orang yang memiliki hak milik atas benda tersebut.
Sebelum dilakukan jual beli tanah di hadapan PPAT ada beberapa
persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak (Penjual dan Pembeli).
Persiapan itu dilakukan agar kelak jual beli tanah yang dilakukan oleh kedua
belah pihak tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan agar
syarat-syarat materiil dan formil dalam perjanjian jual beli tanah terpenuhi.
peralihan hak atas tanah melalui perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 97
sampai dengan Pasal 100 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan:
Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebenan hak atas tanah, atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
Dalam praktik biasanya sebelum dibuatkan akta jual beli hak atas
tanah oleh PPAT, calon penerima hak (calon pembeli) harus membuat suatu
pernyataan tertulis yang berisi:99
1) Pemegang hak baru tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang
melebihi ketentuan maksimum penguasaan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2) Pemegang hak baru tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee
atau (guntai) menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3) Pemegang hak baru menyadari jika pernyataan yang dibuat pada huruf a
dan b tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut akan menjadi objek landreform.
4) Pemegang hak baru bersedia menanggung semua akibat hukum yang
timbul jika pernyataan yang dibuat ternyata tidak benar.
Pada prinsipnya untuk membuat akta jual beli hak atas tanah dan
99
mendaftarnya tidak diperlukan izin pemindahan hak. Namun ada tanah
tanah tertentu yang oleh peraturan diwajibkan adanya ijin dari pejabat jika
hak atas tanah tersebut hendak diperalihkan , peralihan hak atas tanah harus
dilakukan dengan ijin jika dalam hal jual beli hak atas tanah yang didalam
sertipikatnya tercantum tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya
boleh dipindahtangankan apabila telah memperoleh ijin dari instansi yang
berwenang, jika dalam hal jual beli hak pakai atas tanah negara. Apabila
dalam proses peralihan jual beli tanah memerlukan ijin dari pejabat yang
berwenang maka izin tersebut sudah diperoleh sebelum akta jual beli yang
bersangkutan dibuat dan ditandatangani.100
Karena yang dijual adalah tanah warisan maka sebelum dilakukan jual
beli kepada pihak pembeli maka seluruh ahli waris harus mengurus balik
nama karena pewarisan yaitu balik nama dari pewaris yang memiliki tanah
kepada ahli warisnya yaitu dengan melengkapi dokumen berupa surat
keterangan ahli waris, sertipikat tanah yang diwariskan (jika belum ada
tempuh melalui konversi). Fotokopi Kartu Tanda Penduduk ( KTP) seluruh
ahli waris dan surat lunas pajak PBB yang terakhir.101
2). Tahap Pembuatan dan Penandatanganan Akta jual Beli
Setelah dilakukan persiapan pembuatan akta maka dilakukan
pembuatan akta dan semuanya harus memenuhi syarat dan ketentuan,
100Ibid
101
yaitu:102
a) kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual mengenai harga jual beli
tanah tersebut, kesepakatan dalam perjanjian mengenai harga, dan cara
pembayaran jual beli tanah tersebut yaitu jika secara lunas maka
dibuktikan dengan adanya kwitansi dari pihak penjual dan seberapa perlu
akta jual beli juga berlaku sebagai tanda bukti penerimaan uang
(kwitansinya) dan jika belum lunas maka pembayaran harga jual beli
kepada pihak pertama dilakukan dengan akta pengikatan jual beli dan
setelah lunas, maka pelaksanaan penandatanganan akta jual beli
dihadapan PPAT dapat dilaksanakan.
b) Kesepakatan para pihak mengenai isi perjanjian yaitu apaa saja yang
diperjanjikan oleh para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum, kesusilaan, kepentingan umum dan ketertiban
c) Untuk jual beli tanah warisan maka harus dibuat balik nama dahulu atas
nama seluruh ahli waris baru seluruh ahli waris dapat menjual tanah
warisan tersebut.
Setelah semua syarat terpenuhi kemudian dilakukan dengan
pembuatan dan penandatanganan akta jual beli tanah oleh PPAT. Pembuatan
akta jual beli tanah harus dihadiri oleh pihak yang melakukan perbuatan
hukum (penjual dan pembeli) atau orang yang dikuasakan olehnya dengan
surat kuasa Khsusus tertulis sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Surat kuasa bagi penjual harus dengan akta notaris atau Surat
102
Kuasa Khusus otentik, sedangkan surat kuasa bagi pembeli boleh dibuat
dengan akta di bawah tangan.
Pada waktu penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT
disamping ditandatangani oleh Notaris, kedua belah pihak juga harus
disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk
bertindak sebaggai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi
kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya.103
Sebelum akta ditandatangani oleh kedua belah pihak dan saksi-saksi,
PPAT wajib membacakan isi akta jual beli kepada para pihak bersangkutan
(penjual dan pembeli) dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud
pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran pemindahan haknya. Setelah
dibacakan dan dijelaskan barulah kemudian akta ditandatangani oleh para
pihak, oleh Notaris dan oleh saksi-saksi. Akta PPAT dibuat sebanyak dua
lembar asli (in originali), satu lembar asli yang disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar asli lainnya disimpan kepada Kepala Kantor Pertanahan
untuk keperluan pendaftaran sedangkan pada pihak-pihak yang
bersangkutan diberikan salinan aktanya.104
103
J.Andy Hartanto, Opcit, hal 62
104