• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Populasi Sepeda Motor

Sebagaimana diungkapkan pada Bab Pendahuluan, tesis ini akan mengkonsentasikan penelitian pada kajian karakteristik lalu lintas sepeda motor pada persimpangan bersinyal, terutama dikaitkan kebutuhan serta implementasi ruang henti khusus sepeda motor pada pendekat persimpangan bersinyal serta pengaruhnya terhadap konflik lalu lintas. Kajian ini dinilai penting mengingat banyaknya kasus-kasus berkaitan dengan kesulitan bermanuver dan keselamatan pada pendekat persimpangan yang diperkirakan akibat pengaruh pergerakan sepeda motor ketika keluar dari area penumpukan secara tak beraturan pada mulut persimpangan. Kondisi ini merupakan salah satu gambaran umum dari dampak pertumbuhan populasi sepeda motor yang tinggi di perkotaan.

Secara statistik tingkat pertumbuhan kepemilikan kendaraan sepeda motor di kota Bandung hampir memiliki trend yang relative sama dengan kondisi Indonesia pada umumnya, yaitu dengan tingkat pertumbuhan sekitar 23%-30% pertahun. Tingginya pertumbuhan lalu lintas terutama sepeda motor di satu sisi memberi pengaruh terhadap perubahan karakteristik lalu lintas. Di sisi lain, menurunnya kinerja prasarana lalu lintas diperkirakan diakibatkan tidak seimbangnya pertumbuhan lalu lintas dengan pertumbuhan panjang ruas jalan. Dalam tiga tahun (2002-2004) pertumbuhan panjang ruas jalan1 di kota Bandung praktis statis, dan baru pada tahun 2005 terdapat pertambahan panjang 3,6 km (2,8 km jalan Pasupati dan 0,8 km jalan layang Kiaracondong). Pertambahan sebesar 0,003% tersebut jelas tidak seimbang dengan pertumbuhan lalu lintas yang mencapai 21,7% pertahun, dengan pertumbuhan sepeda motor berkisar 23,4% pertahun. Tingginya pertumbuhan lalu lintas terutama sepeda

1

Berdasarkan data dari Dinas Bina Marga Kota Bandung, panjang ruas jalan pada tahun 2004 mencapai 1169km yang terdiri dari 1103 km jalan kota, 23km jalan propinsi dan 42km jalan nasional

(2)

motor di satu sisi diperkirakan telah memberi pengaruh terhadap perubahan karakteristik lalu lintas pada ruas-ruas jalan perkotaan.

Kusnandar (2005) memprediksi komposisi lalu lintas pada ruas-ruas jalan di kota Bandung memiliki perubahan akibat pertumbuhan sepeda motor. Di dalam papernya (Kusnandar, 2005) menyebutkan rata-rata perbandingan proporsi sepeda motor pada ruas-ruas jalan arteri pada kota dengan populasi 1-3 juta penduduk berbanding terbalik dengan yang ada pada MKJI yaitu kendaraan ringan (31%) : kendaraan berat (5%) : sepeda motor (64%). Di dalam MKJI (1997) komposisi sepeda motor untuk kota berukuran 1-3 juta penduduk adalah dengan perbandingan kendaraan ringan (60%) : kendaraan berat (8%) : sepeda motor (32%). Perubahan komposisi ini, memperlihatkan sebuah fenomena baru, dan ini diperkirakan akan mempengaruhi karakteristik lalu lintas yang pada akhirnya diperkirakan dapat menurunkan kinerja prasarana lalu lintas, termasuk kinerja ruas-ruas jalan serta persimpangan bersinyal maupun persimpangan tak bersinyal.

2.2. Ruang Henti Khusus Sepeda Motor

Salah satu fenomena menarik dari kehadiran sepeda motor pada persimpangan bersinyal sebagaimana di ungkapkan pada Bab-1 adalah terjadinya penumpukan sepeda motor di mulut-mulut persimpangan khususnya pada fase merah. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya fasilitas berhenti sepeda motor pada persimpangan bersinyal. Fasilitas yang tersedia hanya garis henti serta ruang di belakang garis henti secara bersama dengan kendaraan bermotor lainnya. Penggunaan garis henti secara bersama pada beberapa persimpangan bersinyal dinilai sudah tidak memadai lagi. Hal ini dapat dilihat dari kondisi persimpangan, di mana keberadaan sepeda motor pada mulut-mulut persimpangan banyak yang melanggar peraturan seperti melampaui garis henti dan mengganggu pergerakan kendaraan bermotor lainnya karena menggunakan lajur belok kiri langsung untuk mengantri di persimpangan.

Ruang henti khusus (Exclusive Stopping Space) untuk sepeda motor, disingkat RHK, pada persimpangan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penumpukan sepeda motor pada persimpangan bersinyal. RHK sepeda motor merupakan fasilitas ruang berhenti untuk sepeda motor selama fase merah yang ditempatkan di depan

(3)

antrian kendaraan bermotor roda empat. RHK ditempatkan di depan garis henti untuk kendaraan bermotor roda empat, akan tetapi penempatannya tidak melewati ujung pendekat persimpangan. RHK ini batasi oleh garis henti untuk sepeda motor dan marka garis henti untuk kendaraan bermotor roda empat lainnya. Kedua marka garis henti ini ditempatkan secara berurutan dan dipisahkan oleh suatu ruang dengan jarak tertentu.

Model RHK untuk sepeda motor dikembangkan dari model Advanced Stop Lines (ASLs) untuk sepeda, yaitu fasilitas yang diperuntukkan bagi sepeda yang ditempatkan di depan antrian kendaraan bermotor (Wall GT et al, 2003). Model RHK yang akan dikembangkan dilengkapi dengan lajur pendekat yang dimaksudkan untuk membantu memudahkan sepeda motor mendekati ke ruang penungguan (reservoir). RHK berfungsi untuk membantu sepeda motor langsung ke persimpangan secara efektif dan aman yang memungkinkan sepeda motor untuk bergerak lebih dahulu dari kendaraan roda empat dan membuat persimpangan bersih lebih dahulu. Hal ini akan membuat kendaraan lain lebih mudah bergerak serta dapat mengurangi resiko konflik lalu lintas yang diakibatkan oleh berbagai manuver sepeda motor khususnya manuver sepeda motor yang akan berbelok (belok kanan).

2.3. Advanced Stop Lines

Advanced Stop Lines (ASLs) merupakan suatu fasilitas untuk sepeda yang didesain untuk memberikan prioritas kepada sepeda pada persimpangan bersinyal. ASLs adalah marka garis henti yang disiapkan sebagai marka garis henti kedua pada persimpangan bersinyal di depan garis henti kendaraan bermotor roda empat lainnya. Di antara kedua garis henti ini, terbentuk suatu area yang dikenal sebagai area reservoir yang merupakan area penungguan selama fase merah, yang memungkinkan sepeda dapat menunggu di depan kendaraan bermotor lainnya di kaki persimpangan. Sebagai pelengkap ASLs biasanya dibuatkan lajur pendekat sepeda untuk memudahkan sepeda menuju area reservoir ketika kendaraan lainnya menunggu pada saat fase merah. Secara umum ASLs dapat membantu sepeda, antara lain:

a. menempatkan sepeda pada suatu posisi yang mudah terlihat oleh kendaraan bermotor lainnya di persimpangan,

b. memungkinkan sepeda untuk bergerak lebih dahulu serta menghindarkan dari kemungkinan terpotong oleh pergerakan kendaraan bermotor lainnya, dan

(4)

c. memungkinkan sepeda melakukan pergerakan (manuver) secara aman dan nyaman di persimpangan.

2.3.1. Penerapan ASLs di Belanda

Pada tahun 1978, ASLs diperkenalkan di Leiden (Netherland) pada empat persimpangan. Berdasarkan hasil penerapan tersebut ternyata ASLs memberikan kontribusi terhadap arus lalu lintas seperti halnya mengurangi konflik lalu lintas antara sepeda dengan kendaraan bermotor lainnya (Wall GT et al, 2003). Penerapan ASLs selain menurunkan konflik, ternyata ASLs merupakan salah satu solusi murah yang sangat bermanfaat bagi pengguna sepeda dan pengemudi kendaraan bermotor.

Lebih lanjut, penerapan ASLs juga dilakukan di beberapa kota di Belanda pada tahun 1983 dengan beberapa variasi desain. Desain ASLs dibuat dengan mempertimbangkan lajur pendekat sepeda pada sisi dekat (near-side lane) dan dengan membuat tanda atau simbol sepeda pada area tunggu (waiting area atau reservoir) di depan garis henti kendaraan bermotor. Bahkan pada beberapa desain ASLs juga dilengkapi dengan tulisan CYCLIST (Sepeda) yang dicat pada area tunggu guna mengurangi kendaraan bermotor berhenti pada area tersebut, dan untuk mendorong sepeda menggunakan fasilitas tersebut. Pada salah satu site, desain ASLs dibuat dengan warna merah pada permukaan jalan baik pada lajur sepeda maupun pada area tunggunya. Lebih lanjut, studi yang dilakukan di Leiden (1982) dan Enshede (Solomons-1985) menunjukkan bahwa mayoritas pengguna kendaraan bermotor dan sepeda mengerti dan menuruti lay-out ASLs yang diterapkan.

2.3.2. Penerapan ASLs di Inggris

Mengikuti keberhasilan penerapan ASLs di Netherland, Inggris pertama kali memperkenalkan konsep tersebut di Oxport (1984), Newark (1989), Bristol (1991). Hasil riset yang dilakukan oleh TRL pada ketiga kota tersebut memperlihatkan penerapan ASLs yang dinilai memuaskan dan umumnya mudah dipahami oleh pengguna jalan. Pada setiap site yang diteliti, menunjukkan lebih dari 75% pengguna sepeda menggunakan lajur sepeda dan area tunggu sepeda, serta lebih dari 90% pengguna kendaraan bermotor keluar dari lajur sepeda. Secara keseluruhan, 82%

(5)

kendaraan bermotor sampai di persimpangan ketika sinyal merah berada di luar area tunggu (reservoir).

Gambar-2.1. ASLs tanpa lajur pendekat (Inggris)

Model penanganan yang diterapkan di ke empat kota Oxport, Newark, Bristol dan Menchester merupakan penyempurnaan desain yang diterapkan di Belanda. Dari desain pertama telah ada penambahan sinyal yang dibuat pada garis henti kendaraan bermotor, lajur untuk sepeda motor dan perambuan yang lengkap. Berdasarkan hasil survey terakhir oleh Wheeler pada tahun 1992 (Wall GT et al, 2003) menunjukkan bahwa lajur sepeda dan penyempurnaan ASLs yang digunakan sangat memuaskan bagi kebanyakan pengguna sepeda, sama dengan hasil survey sebelumnya. Hal ini tampak memungkinkan bahwa penyempurnaan lay-out dengan kombinasi pembuatan lajur sepeda serta pewarnaan lajur dan area tunggu sepeda seperti ditunjukkan pada Gambar-2.2 adalah lebih efektif meningkatkan kendaraan bermotor mengikutinya.

(6)

Wheleer pada tahun 1995 sebagaimana dikutip dari paper Wall GT et al (2003) menyarankan bahwa lajur sepeda yang ditempatkan di tengah di antara lajur belok kiri (belok kanan untuk kondisi Indonesia) dan ujung depan semua lajur kendaraan sangat perlu dipertimbangkan (Gambar-2.3).

Gambar-2.3. ASLs dengan lajur pendekat di tengah (Inggris)

Desain ini dinilai penting khususnya untuk lengan persimpangan dengan arus kendaraan belok kiri yang besar serta arus sepeda menerus (lurus) yang besar. Beberapa studi lain yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa proporsi pengguna sepeda (cyclist) yang besar menggunakan sisi dekat lajur pendekat sepeda untuk belok kiri atau menerus. Hanya sedikit sepeda menggunakan panjang lajur sisi dekat hingga ke garis henti untuk belok kanan. Mayoritas sepeda yang akan belok kanan menggunakan bagian atau tidak lajur sepeda. Ditemukan juga bahwa lajur sepeda yang dibuatkan di tengah seperti ditunjukkan pada Gambar-2.3 memainkan fungsi untuk memudahkan penempatan sepeda ke kanan kendaraan.

Menggunakan hasil-hasil studi yang telah dilakukan, beberapa pedoman (guideline) penerapan ASLs yang telah di buat, antara lain menyarankan agar:

1) menggunakan desain lay-out ASLs terbaru tanpa menggunakan sinyal tambahan, 2) menggunakan warna permukaan berbeda dari warna lajur lalu lintas untuk lajur

(7)

3) menggunakan logo sepeda baik pada lajur sepeda maupun pada area tunggu sepeda.

4) menyediakan lajur pendekat untuk sepeda dengan lebar minimum 1.5 meter. 5) menggunakan lajur pendekat sepeda bukan sisi dekat jika terdapat lebih dari satu

lajur kendaraan dan proporsi arus belok kanan yang besar.

6) menghilangkan semua gangguan samping pada lajur sepeda seperti parkir atau aktifitas yang dapat mengganggu pergerakan sepeda.

2.4. Performansi Indikator

Di dalam perencanaan transportasi, kajian terhadap sistem secara keseluruhan dapat dilakukan dari kajian komponen-komponen sistem. Seringkali di dalam pengkajian diperlukan suatu penilaian terhadap kondisi yang ada. Oleh karenanya, pengkajian harus diawali dengan penemukenalan paramater-parameter sistem yang dinilai memiliki pengaruh terhadap sistem tersebut. Sistem pergerakan, misalnya, dinilai baik jika performansinya baik, di mana indikator penilaian sistem pergerakan tersebut ditunjukkan oleh suatu kondisi pergerakan yang lancar, aman, nyaman, murah, dsb.

Performansi indikator (Idwan S, 1996) merupakan besaran kuantitatif yang menggambarkan kondisi objektif dari sistem yang ditinjau dari suatu aspek tertentu dengan skala tertentu dan satuan tertentu yang berlaku untuk suatu rentang waktu tertentu. Performansi indikator dimaksudkan untuk menyimpulkan kondisi dari sistem atau komponen sistem yang dikaji dari aspek tertentu dan dari sudut pandang tertentu, dengan tujuan untuk menyimpulkan kondisi suatu sistem secara umum dan menilai performansi komponen sistem dari aspek tertentu. Sedangkan manfaatnya adalah untuk mengkomunikasikan suatu acuan sistem yang bisa digunakan semua fihak, menilai atau mengevaluasi suatu kondisi sistem, menetapkan skala prioritas, dan memilih suatu kondisi tertentu.

Kondisi objektif dari suatu sistem transportasi, pada dasarnya dapat ditinjau dari masing-masing kondisi objektif elemen sistem transportasi yang mencakup prasarana dan sarana transportasi, pola intensitas pergerakan, pola dan distribusi aktivitas, dan organisasi dan kelembagaan. Secara sederhana, performansi indikator elemen transportasi yang dimaksudkan di atas adalah sebagai berikut:

(8)

a) Prasana transportasi; mencakup jaringan jalan (geometri jalan, kualitas perkerasan jalan, dsb), fasilitas pejalan kaki, kapasitas jalan, parkir (off atau on street parking)

b) Sarana transportasi, yang meliputi jenis moda transportasi yang melewati suatu ruang dengan deskripsi operasional yang mencakup kapasitas, headway, frekuensi, dsb.

c) Pengaturan yang antara lain mencakup pengaturan lalu lintas, pengaturan parkir, pengaturan terminal, pengaturan route angkutan, regulasi tentang pemanfaatan ruang, pengaturan pedagang kaki lima, dsb

Performansi indikator komponen sistem transportasi (Idwan S, 1996) lebih menunjukkan spesifikasi, standar, kemampuan teknis, ataupun kondisi operasional dari komponen-komponen yang dimaksud. Secara umum parameter performansi indikator komponen sistem yang lebih spesifik komponen sistem sebagai pembentuk sistem yang antara lain mencakup prasarana dan sarana; sistem operasi; pola dan intensitas pergerakan; pola dan distribusi aktivitas; serta organisasi dan kelembagaan.

Secara umum, parameter performansi indikator yang dapat digunakan untuk menilai performansi persimpangan bersinyal antara lain kapasitas, tundaan, panjang antrian, konflik lalu lintas, kecelakaan, dan sebagainya. Berdasarkan pengembangan konsep ASLs, maka indikator yang digunakan di dalam tesis ini untuk menilai kemudahan bermanuver serta keselamatan pada penerapan RHK sepeda motor adalah konflik lalu lintas.

2.5. Konflik Lalu Lintas

Teknik konflik lalu lintas (TCT: traffic conflict technique) atau studi konflik lalu lintas pertama kali dikembangkan oleh General Motor, Amerika. Di dalam pengertian yang lebih luas, konflik lalu lintas merupakan suatu peristiwa lalu lintas yang melibatkan interaksi dua kendaraan, di mana salah satu atau kedua pengemudi kendaraan harus melakukan tindakan mengelak untuk menghindari kecelakaan (Glauz & Migletz, 1980). Lebih lanjut Glauz & Miglezt menyatakan bahwa konflik lalu lintas bukan penyebab kecelakaan lalu lintas akan tetapi merupakan suatu gejala (symptomatic) dari berbagai pegerakan yang pada akhirnya dapat berkontribusi ke kejadian kecelakaan. Di dalam

(9)

penhertian lain, suatu kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu bentuk konflik lalu lintas dimana tindakan mengelak yang dilakukan sudah terlalu kecil atau terlalu lambat dilakukan.

2.5.1. Definisi Konflik Lalu Lintas

Berdasarkan hasil konferensi Internasional di Oslo, menyepakati “konflik lalu lintas merupakan suatu stuasi yang menggambarkan di mana dua pengguna jalan atau lebih saling mendekati satu sama lain di dalam ruang dan waktu sehingga sedemikian rupa berkembang menjadi suatu resiko kecelakaan (tabrakan) jika pergerakan kendaraan-kendaraan tersebut tetap tidak berubah” (Glauz & Migletz, 1980; TRL, 1987).

Lebih lajut Glauz & Migletz memodifikasi definisi tersebut menjadi lebih sepesifik untuk tujuan penelitian yang dilakukannya.“Konflik lalu lintas didefinisikan sebagai kejadian lalu lintas yang melibatkan dua atau lebih pengguna jalan, di mana salah satu pengguna jalan (pengemudi) membuat tipikal tindakan yang tidak biasa, seperti mengubah arah, mengubah kecepatan yang menempatkan pengguna jalan lainnya berada dalam situasi berbahaya tabrakan kecuali tanpa pergerakan mengelak dilakukan”. Bagulay CJ (1984) menggunakan definisi konflik lalu lintas sebagai situasi di mana seorang pengguna jalan atau lebih yang saling mendekati objek lain pada suatu ruang dan waktu sedemikian sehingga menyebabkan resiko tabrakan bila pergerakan salah satu atau kedua pergerakan kendaraan tidak dapat diubah, di dalam risetnya yang lebih berorientasi untuk mengidentifikasi keseriusan konflik lalu lintas.

Analisis konflik lalu lintas, oleh berbagai peneliti sering juga dimanfaatkan untuk menganalisis pergerakan atau manuver pergerakan kendaraan pada suatu lokasi rawan kecelakaan. Analisis ini terutama dimanfaatkan untuk memprediksi atau memperkirakan kemungkinan- kemungkinan manuver kendaraan yang dapat mendekati suatu kejadian tabrakan. Biasanya analisis konflik lalu lintas dimanfaatkan untuk menangani suatu persimpangan.

2.5.2. Titik Konflik

Di dalam berbagai penelitian, konflik lalu lintas ini kemudian berkembang jauh, hingga menjadi salah satu alat yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis kondisi

(10)

kecelakaan lalu lintas pada persimpangan. Bahkan data konflik lalu lintas menjadi data suplemen penting yang dapat melengkapi analisis kecelakaan, bila data kecelakaan yang dimiliki tidak cukup akurat. Analisis konflik lalu lintas, oleh berbagai peneliti sering juga dimanfaatkan untuk menganalisis pergerakan atau manuver pergerakan kendaraan pada suatu lokasi rawan kecelakaan. Analisis ini terutama dimanfaatkan untuk memprediksi atau memperkirakan kemungkinan-kemungkinan manuver kendaraan yang dapat mendekati suatu kejadian tabrakan.

Pada dasarnya konflik lalu lintas pada persimpangan terjadi karena berbagai bentuk pergerakan lalu lintas seperti pergerakan lurus, belok, memotong, jalinan, berpisah, menyatu, dan sebagainya. Di tinjau dari pergerakan kendaraan, secara umum konflik lalu lintas pada persimpangan dimungkinkan dapat dapat terjadi pada beberapa titik konflik. Pada persimpangan-T seperti ditunjukkan pada Gambar-2.4a, konflik lalu lintas dapat terjadi pada 9 titik konflik. Untuk persimpangan dengan 4-kaki konflik lalu lintas dimungkinkan terjadi pada 32 titik konflik (Gambar-2.4b). Sedangkan untuk bundaran-4 kaki dingkinkan dapat terjadi pada 8 titik konflik (Gambar-2.4c).

Gambar-2.4a. Titik konflik pada persimpangan-T

Gambar-2.4b. Titik konflik pada

(11)

Gambar-2.4c. Titik konflik pada bundaran dengan empat kaki

2.5.3. Kategori Konflik

Secara umum konflik lalu lintas pada persimpangan (TRB, 1979; FHWA, 1989) dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam) kelompok, yaitu konflik sama arah, konflik belok kiri berlawanan (left opposing left turn), konflik memotong lalu lintas (cross traffic), konflik belok kanan, konflik pejalan kaki, dan konflik sekunder. Keenam kelompok konflik tersebut terbagi ke dalam beberapa tipe konflik. Penjelasan mengenai masing-masing konflik diberikan sebagai berikut:

a) Konflik sama arah

Konflik sama arah pada dasarnya terjadi ketika kendaraan pertama bergerak lambat dan atau berubah hakuan dan tempat atau lajur (lane change) yang menempatkan kendaraan berikutnya ke situasi bahaya tabrak depan-belakang (rear-end). Untuk menghindari terjadinya tabrakan, kendaraan kedua yang berada di belakang kendaraan pertama harus melakukan tindakan berupa merem (brakes) atau berubah haluan (swerves). Konflik sama arah pada persimpangan antara lain:

1) Konflik belok kiri-sama arah

Konflik belok kiri-sama arah terjadi ketika kendaraan pertama melakukan pergerakan belok kiri dengan lambat, yang menyebabkan kendaraan berikutnya ke dalam situasi bahaya tabrak depan-belakang seperti ditunjukkan pada Gambar-2.5.a.

(12)

Gambar-2.5a. Konflik belok kiri-sama arah

Gambar-2.5b. Konflik belok kanan-sama arah

2) Konflik belok kanan-sama arah

Konflik belok kanan sama arah pada prinsipnya sama halnya dengan konflik belok kiri sama arah, hanya saja pergerakan kendaraan adalah belok kanan. Kedua kendaraan yang terlibat konflik belok kanan sama arah juga berpotensi tabrak depan-belakang seperti diberikan pada Gambar-2.5b.

1) Konflik kendaraan lurus-sama arah

Konflik ini terjadi ketika kendaraan pertama bergerak lurus yang terlalu lambat, yang menyebabkan gangguan pada kendaraan di belakangnya. Kendaraan kedua harus melakukan tindakan merem dan atau mengubah haluan untuk menghindari terjadinya tabrak depab belakang seperti ditunjukkan pada Gambar-2.6a.

2) Konflik berubah lajur

Konflik berubah lajur (lane change) terjadi ketika kendaraan pertama berusaha mendahului kendaraan lain dan kembali masuk ke lajurnya (Gambar-2.6b). Pada kondisi seperti ini, sering menimbulkan konflik akibat kurang antisipasi, sehingga kendaraan kedua harus merem kendaraannya untuk menghindari terjadinya tabrakan.

(13)

Gambar-2.6a. Konflik lurus-sama arah kendaraan lambat

Gambar-2.6b. Konflik lurus-sama arah, berubah lajur

b) Konflik arus melawan belok kanan (opposing right turn)

Konflik ini terjadi ketika kendaraan pertama yang akan berbelok kanan, pada saat bersamaan kendaraan kedua bergerak dari depan yang akan memotong pergerakan kendaraan pertama. Kondisi pergerakan seperti ini sangat berpotensi terjadinya tabrak depan saamping atau depan-depan. Untuk menghindari terjadinya tabrakan, kendaraan kedua harus melakukan tindakan menginjak rem dan atau mengubah haluan. Konflik belok kanan melawan arus diillustrasikan seperi pada Gambar-2.7.

Gambar-2.7. Konflik belok kanan-berlawanan arah

c) Konflik belok kanan-memotong arus

Konflik ini terjadi ketika kendaraan pertama belok kanan, di mana kendaraan kedua yang memotong pergerakan dari arah kiri 2.7a) atau dari arah kanan

(14)

(Gambar-2.8b). Untuk menghindari terjadinya tabrakan samping-samping atau depan samping, kendaraan kedua harus mengerem dan atau mengubah haluan.

Gambar-2.8a. Konflik belok kanan dan memotong arus dari arah kiri

Gambar-2.8b. Konflik belok kanan dan memotong arus dari arah kanan

d) Konflik belok kiri dan memotong arah

Konflik belok kiri dan memotong arah merupakan konflik yang terjadi ketika kendaraan pertama belok kiri dan pada saat bersamaan kendaraan kedua yang bergerak lurus dari arah kanan (Gambar-2.9a), atau kendaraan kedua yang belok kanan dari arah berlawanan (Gambar-2.9b). Untuk konflik pergerakan kendaraan pertama belok kiri dengan pergerakan kendaraan kedua lurus dari arah kanan, maka untuk menghindari terjadinya tabrakan kendaraan kedua harus melakukan tindakan mengerem dan atau mengubah arah. Sedangkan untuk konflik akibat pergerakan kendaraan pertama belok kiri dengan kendaraan kedua yang belok kanan, maka untuk menghindari tabrakan kendaraan kedua juga harus melakukan mengerem dan atau menhubah haluan.

(15)

Gambar-2.9a Konflik belok kiri dan memotong arus dari arah kanan

Gambar-2.9b Konflik belok kiri dan belok kanan dari arah berlawanan

e) Konflik sekunder

Konflik sekunder merupakan koflik lalu lintas yang terjadi akibat konflik lalu lintas lainnya. Konflik sekunder sering terjadi akibat dampak konflik lurus sama arah seperti ditunjukkan pada Gambar-2.10a atau dampak konflik belok kanan sama arah seperti pada Gambar-2.10b. Tipikal konflik sekunder lainnya antara lain akibat konflik belok kiri atau kanan dengan pergerakan memotong (Gambar-2.10c), atau akibat konflik pejalan kaki (Gambar-2.10d). Umumnya konflik sekunder berpotensi menimbulkan tabrakan depan-belakang. Untuk menghindari terjadinya tabrakan, maka kendaraan ketiga harus melakukan tindakan mengerem dan atau mengubah haluan.

Gambar-2.10a Konflik sekunder lurus sama arah

Gambar-2.10b Konflik sekunder belok kanan sama arah

(16)

Gambar-2.10c Konflik sekunder belok kiri dan berpotongan

Gambar-2.10d Konflik sekunder lurus – pejalan kaki

f) Konflik pejalan kaki

Konflik pejalan kaki terjadi ketika pejalan kaki menyeberang tanpa memperhatikan situasi lalu lintas. Pada saat pejalan kaki menyeberang lajur lalu lintas, secara bersamaan muncul kendaraan dari arah lain yang bergerak memotong lintasan pergerakan pejalan kaki. Untuk menhindari terjadinya tabrakan, pada umumnya kendaraan yang melakukan tindakan mengerem dan atau mengubah haluan. Ditinjau dari posisi pejalan kaki terhadap kendaraan, dikenal dua tipe konflik pejalan kaki yaitu konflik pejalan kaki dengan kendaraan yang terjadi pada satu pendekat yang sama (near-side conflict) seperti ditunjukkan pada Gambar-2.11a. Jenis lainnya adalah konflik pejalan kaki dengan kendaraan yang terjadi tidak dalam satu pendekat (far-side conflict) seperti diberikan pada Gambar-2.11b.

Gambar-2.11a Konflik pejalan kaki near-side

Gambar-2.11b Konflik pejalan kaki far-side

(17)

g) Tipe konflik lainnya

Pada umumnya tipe konflik yang dikemukakan di atas merupakan tipikal konflik yang umum terjadi pada suatu persimpangan empat lengan. Tipe konflik lainnya bisa saja terjadi di luar dari tipe-tipe konflik tersebut. Hal ini dimungkinkan akibat kondisi lalu lintas setempat yang tidak diperkirakan sebelum melihat kondisi lalu lintas persimpangan yang akan diobservasi.

Gambar-2.12a Konflik putar arah sama arah

Gambar-2.12b Konflik putar arah berlawanan arah

Perhatikan konflik pada suatu persimpangan yang memperbolehkan kendaraan untuk putar arah pada kaki persimpangan, maka kemuingkinan tipe konflik yang terjadi adalah konflik putar arah-sama arah 2.12a) atau putar arah-berlawanan arah (Gambar-2.12b). Tipe konflik lainnya baru dapat teridentifikasi setelah pengamatan awal di lapangan dilakukan sebelum dilaksanakannya survey sesuai disain penelitian yang dibuat sebelumnya.

2.5.4. Tingkat Keparahan Konflik a. Klasifikasi keparahan konflik

Tingkat keparahan konflik (severity conflict) merupakan suatu ukuran seberapa seriusnya suatu konflik lalu lintas yang ditinjau dari tipikal manuver kendaraan untuk menghindari suatu tabrakan. Risser R et al (1984) mengklasifikasikan keseriusan konflik atas konflik ringan dan konflik serius, sebagai berikut:

(18)

1) Konflik ringan (slight conflict); mengontrol rem atau pindah lajur yang cukup untuk menghindari tabrakan. Terdapat waktu yang cukup untuk mengontrol kendaraan atau pejalan kaki secara tidak langsung terlibat dalam konflik lalu lintas.

2) Konflik serius (serious conflict); mengurangi kecepatan secara cepat atau mengerem secara darurat, melakukan perubahan arah yang keras (violent). Waktu untuk melakukan manuver pergerakan terlalu pendek untuk mempertimbangkan kendaraan atau pejalan kaki secara tidak langsung melibatkannya dalam konflik lalu lintas.

Muhlrad N et al (1984) memasukkan faktor waktu, jarak dan tipikal tindakan menghindar serta membagi tingkat keseriusan konflik ke dalam 5 (lima) kelas, yaitu: 1) Konflik ringan (light conflict); satu dari pengguna jalan terlibat ke dalam suatu

kejadian yang tidak diharapkan, akan tetapi masih memiliki waktu yang cukup atau jarak yang cukup untuk menghindari tabrakan.

2) Konflik sedang (moderate conflict); suatu konflik lalu lintas yang melibatkan beberapa kendaraan, di mana tindakan merubah haluan dinilai penting. Pada kondisi konflik sedang ini akan menjurus ke suatu situasi yang dekat ke peristiwa tabrakan bila tidak melakukan tindakan merubah haluan.

3) Konflik serius (serious conflict); suatu konflik lalu lintas di mana tindakan merubah haluan terbentuk sangat brutal untuk menhindari tabrakan. Biasanya konflik serius ini bisa menjurus kepada tabrakan ringan dengan kerusakan ringan (contoh: kedua bumper bersentuhan).

4) Konflik yang menghasilkan tabrakan ringan; suatu konflik di mana tidak memiliki waktu dan jarak yang cukup untuk menghindari tabrakan yang menghasilkan kerusakan ringan.

5) Konflik yang menghasilkan tabrakan serius; suatu konflik di mana situasinya berkembang dengan sangat cepat, tanpa waktu dan jarak yang cukup untuk melakukan tindakan menghindar terjadinya tabrakan yang menhasilkan luka-luka atau paling tidak menghasilkan kerusakan material berat

Lebih lanjut Bagulay CJ (1984) mengklasifikasikan tingkat konflik lalu lintas ke dalam 5 (lima) tingkatan (grade) seperti ditunjukkan pada Tabel-2.1. Kelima tingkatan konflik

(19)

tersebut masing-masing dinilai dari faktor waktu, tipe tindakan, keseriusan menghindar, dan kedekatan atau jarak. Kriteria penilaian tingkat konflik tersebut diberikan pada Tabel-2.2.

Tabel-2.1 Tingkat keparahan konflik lalu lintas Keparahan

Konflik

Grade

Konflik Penjelasan

Ringan 1

Mengontrol rem atau pindah lajur untuk menghindari terjadinya tabrakan, tetapi memiliki waktu yang cukup untuk melakukan manuver

2

Mengerem atau berpindah lajur untuk menghindari terjadinya suatu tabrakan dengan waktu yang relatif kurang untuk melakukan manuver dibandingkan dengan konflik ringan atau yang membutuhkan lebih dari satu tindakan (mengerem dan atau mengelak) atau yang membutuhkan tindakan yang lebih keras

3

Melakukan pengurangan kecepatan secara cepat, pindah lajur atau berhenti untuk menghindari terjadinya tabrakan yang menghasilkan suatu situasi yang sangat dekat dengan suatu kejadian tabrakan. Pada kondisi ini tidak cukup banyak waktu untuk mengendalikan manuver yang tetap

4

Melakukan pengereman darurat atau mengelak dengan keras untuk menghindari tabrakan yang menghasilkan suatu situasi yang sangat dekat dengan terjadinya tabrakan, biasanya berakhir dengan tabrakan ringan

Serius

5 Tindakan darurat yang diikuti dengan tabrakan

Sumber: Bagulay CJ (1984) International Calibration Study of Traffic Conflicts Studies hal-60

b. Kriteria peringkatan konflik

Labih lanjut Bagulay CJ (1984) dan TRL (1987) membuat kriteria penilaian keseriusan konflik dengan memasukkan keseriusan tindakan menghindar selain faktor waktu, tipe tindakan, dan jarak atau kedekatan seperti di berikan pada Tabel-2.2.

Tabel-2.2 Kriteria faktor-faktor peringkatan konflik lalu lintas

No. Faktor Konflik Tingkat Pengaruh Faktor Konflik 1 WAKTU, waktu sebelum

kemungkinan terjadinya tabrakan hingga tindakan menghindar berakhir 1) Waktu panjang (L) 2) Waktu sedang (M) 3) Waktu pendek (S) 2 KESERIUSAN, tingkat keseriusan tindakan menghindar

1) Pengereman ringan dan atau berubah haluan (L) 2) Pengereman sedang dan atau berubah haluan (M) 3) Pengereman berat dan atau berubah haluan (H) 4) Pengeraman darurat dan atau berubah haluan (E) 3 TIPE, kekompleksan tipe

tindakan untuk mengindari

1) Simpel, mengerem atau berubah haluan (S) 2) Kompleks, mengerem dan berubah haluan (C)

(20)

tabrakan

4 KEDEKATAN, jarak antara kendaraan yang berkonflik hingga pada saat tindakan menghindar berakhir 1) >2 panjang kendaraan (>2C) 2) 1-2 panjang kendaraan (1-2C) 3) [1 panjang kendaraan ([1C) 4) Tabrakan ringan (Lc) 5) Tabrakan berat (Hc)

Sumber: Bagulay CJ (1984) International Calibration Study of Traffic Conflicts Studies hal-61

1) Waktu untuk menghindar (time to collision)

Faktor waktu yang dimaksud adalah lama waktu (detik) yang dibutuhkan oleh kendaraan yang berkonflik ke situasi tabrakan (time to collision). Bagulay membagi waktu ini ke dalam tiga kelas, yaitu panjang (L: long), sedang (M: moderat), dan pendek (S: short). Waktu Panjang didefinisikan bahwa salah satu di antara kendaraan berkonflik memiliki waktu yang cukup panjang untuk melakukan tindakan pengereman atau berubah haluan. Waktu Sedang, bila kendaraan berkonflik memiliki waktu yang cukup untuk melakukan tindakan penghindaran kecelakaan. Waktu Pendek, bila waktu yang dibutuhkan untuk menghindari tabrakan sangat pendek.

2) Keseriusan menghindar (severity of evasive action)

Keseriusan menghindar dapat dilihat dari upaya yang dilakukan oleh kendaraan berkonflik dalam menghindari tabrakan, misalnya dari cara pengereman atau cara penghindaran (mengelak atau berubah haluan). Bagulay membagi keseriusan menghindar ini atas empat tingkatan yaitu ringan (L: light), sedang (M: moderat), berat (H: heavy), dan darurat (E: emergency). Keseriusan menghindar karegori Ringan bila mana salah satu atau kedua kendaraan hanya melakukan pengereman ringan dan atau mengelak secara ringan secara terkendali. Tingkat keseriusan Sedang, bila mana terjadi pengereman ringan dan panjang serta penghindaran sedikit lebih keras dari kategori ringan. Berat, bila mana pengereman dilakukan secara cepat dan keras yang kadang-kadang disertai bunyi rem dan dengan tindakan mengelak yang keras. Darurat, bila mana pengereman dilakukan secara keras dan tidak terkendali serta penghindaran yang tidak terkendali pula, biasanya situasi ini berujung kepada kejadian tabrakan.

(21)

3) Kekomplekan tipe menghindar (complexity of evasive action)

Kekomplekan tipe menghindar oleh Bagulay di bagi dalam dua kategori, yaitu sederhana (S: simple) dan kompleks (C: complex). Tipe menghindar Sederhana bila mana upaya menhidari tabrakan berupa pengereman saja atau mengelak (mengubah haluan) saja. Tipe Kompleks, bila mana upaya menghindari tabrakan dilakukan baik mengerem atau upaya mengelak (pindah haluan).

4) Kedekatan jarak antara kendaraan yang berkonflik (proximity of conflict vehicles)

Bagulay membagi jarak kedekatan antara kendaraan berkonflik atas tiga kriteria, yaitu panjang (L: long), sedang (M: moderat), dan pendek (S: short). Jarak Panjang, bila mana kedekatan jarak antara kendaraan berkonflik lebih dari 2 kali panjang kendaraan mobil penumpang (>2C). Sedang, bila mana jarak antara kendaraan sekitar satu hingga dua kali panjang kendaraan mobil penumpang (1-2C), dan Pendek bila mana jarak antara kedua kendaraan berkonflik kurang dari satu kali panjang kendaraan mobil penumpang (<1C)

Tabel-2.3 Tingkat konflik berdasarkan pembobotan

Waktu Panjang (L) Sedang (M) Pendek (S)

Keseriusan L M L M H M H E Tipe S/C S/C S C S/C S/C S C S/C S/C >2 C 1 1 1 1 1 2 1 1 2 3 1-2 C 1 2 1 2 2 3 1 3 3 3 [[[[1 C 2 3 2 3 3 3 3 3 4 4 Tabrakan Ringan (Lc) 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 Ke- dekat- an Tabrakan Berat (Hc) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Sumber: Bagulay CJ (1984) International Calibration Study of Traffic Conflicts Studies hal-62

2.5.5. Pengambilan Data Konflik

a. Teknik pengambilan data konflik

Teknik pengambilan data konflik selain menggunakan cara manual melalui beberapa orang observer, Gelennon (1977) melakukan pengamatan menggunakan bantuan kamera video. Kamera video ditempatkan pada suatu tempat yang lebih tinggi atau menara yang dimaksudkan agar kamera dapat merekam semua pergerakan kendaraan

(22)

berkonflik. Penempatan kamera baik jarak dan posisi disesuaikan dengan titik pandang yang memungkinkan untuk dapat merekam semaksimal mungkin pergerakan kendaraan. Oleh karena itu, sebelum melakukan pengambilan data konflik terlebih dahulu dilakukan pengamatan awal, sedemikian hingga diperoleh titik penempatan kamera yang paling optimal.

Pengamatan konflik yang akan dilakukan pada thesis ini dilakukan menggunakan kamera CC-TV, di mana kamera CC-TV terhubung langsung dengan PC-Computer sehingga hasil rekaman kamera dapat terrekam ke komputer. Tinggi tiang kamera yang digunakan dapat diatur hingga 9 meter, di mana jangkauan kamera bisa mencapai 50 meter.

b. Durasi waktu pengambilan data konflik

Beberapa studi konflik lalu lintas yang dilakukan di Eropa dan Amerika, waktu pengambilan data konflik sangat bervariasi. Berkisar antara 1 sampai 3 hari, dan durasi waktunya juga cukup bervariasi mulai dari 7 jam/hari hingga 24 jam/hari. Amundsen (1974) di Norwegia melakukan pengambilan data konflik di 31 persimpangan masing-masing 1 hari dengan durasi waktu 7 jam/hari. Pengambilan sampel dengan durasi waktu tersebut dilakukan pada persimpangan yang memiliki volume yang rendah. Demikian juga dengan Perkin dan Harris (1963) di Amerika pada 30 persimpangan bersinyal dan tak bersinyal masing-masing selama 3 hari dengan durasi waktu 12 jam/hari.

Cooper PJ (1984) dalam studi konfliknya di 7 persimpangan di Hamilton, Ontario-Canada mengatakan bahwa konflik yang paling sering terjadi adalah antara jam 07.30-18.00 dalam 2 kali 24 jam observasi yang dilakukannya. Cooper lebih lanjut membuat klasifikasi pengambilan data yang terbagi ke dalam 3 kelompok waktu selama 10,5 jam/hari, yaitu periode 07.30-10.00; periode jam 10.00-15.30; dan periode 15.30-18.00.

Bagulay CJ (1984) mengatakan bahwa sebagaimana halnya kejadian kecelakaan yang dapat terjadi pada setiap waktu, konflik lalu lintas juga seharusnya terjadi seperti itu. Idealnya observasi dilakukan selama 24 jam/hari agar merepleksikan kondisi lalu lintas. Dalam validasi data hasil observasi konflik yang dilakukannya, merekomendasikan

(23)

pengamatan konflik lalu lintas dalam durasi waktu 10 jam/hari, dari jam 08.00 pagi hingga jam 18.00 sore. Periode waktu tersebut telah mencakup waktu padat pagi dan waktu padat sore. Robertson (1994) menyatakan studi konflik dilakukan pada siang hari dalam cuaca baik serta permukaan jalan yang baik dalam periode waktu antara 07.00 s.d. 18.00. Lebih lanjut Bagulay CJ (1984) di dalam papernya menyebutkan bahwa Spicer (1980) dan Hauer (1978) menyatakan bahwa pengambilan sampel konflik lebih dari 3 hari tidak terlalu banyak membawa manfaat.

c. Ukuran sampel konflik

Pada dasarnya ukuran sampel yang dibutuhkan untuk studi konflik lalu lintas bergantung kepada tingkat tipe konflik yang akan dinalisis. Terdapat dua ukuran tingkat konflik yang biasa digunakan yaitu konflik per unit waktu atau konflik per unit kendaraan yang diobservasi (Robertson D H et all, 1994). Ukuran tingkat konflik per unit waktu untuk persimpangan diperlukan untuk menjugedment problem keselamatan pada suatu lokasi atau untuk menyusun daftar penanganan kecelakaan berdasarkan unit waktu. Konflik per unit waktu juga cukup menguntungkan bilamana data pergerakan belok tidak tersedia atau tidak dibutuhkan.

Lebih lanjut Robertson mengatakan bahwa konflik per unit kendaraan dapat dihitung menggunakan persamaan 2.1, di mana persamaan tersebut memerlukan variabel yang telah tersedia seperti ditunjukkan pada Tabel-2.4. Tabel-2.5 memperlihatkan beberapa tipikal tingkat konflik per unit waktu yang mengacu kepada tingkat konflik yang dikeluarkan oleh Glauz & Migletz (1980) dan Migletz et al (1985) (Robertson DH et al, 1994). 2 2 var 100 mean PC t NT ×               × = ... (2.1) dengan:

NT = jumlah unit waktu yang perlu diobservasi t = konstanta tingkat kepercayaan (lihat Tabel-2.4) PC = tingkat kesalahan estimasi rata-rata tingkat konflik var = ekspektasi variansi dari tingkat konflik (lihat Tabel-2.5) mean = ekspektasi rata-rata dari tingkat konflik (lihat Tabel-2.5)

(24)

Tabel-2.4 Statistik tipikal tingkat konflik untuk persimpangan dengan 4 pendekat

Tipe Konflik Konflik/jam Konflik/hari

Percentile

Rata-rata Variansi Rata-rata Variansi 90th 95th

Persimpangan bersinyal dengan volume kendaraan masuk > 25.000 kendaraan per hari

Belok kri sama arah 7,6 22 83 12000 270 360

Kendaraan lambat 61 34 670 24000 870 940

Berubah haluan 1,7 n.a. 18 160 35 43

Belok kanan sama

arah 20 11 220 7600 470 510

Belok kri berlawanan 2 1,2 22 380 48 60

Semua sama arah 90 74 990 67000 1300 1500

Persimpangan bersinyal dengan volume kendaraan masuk 10.000-25.000 kendaraan per hari

Belok kiri sama arah 12 22 130 10000 270 340

Kendaraan lambat 34 22 380 4900 470 500

Berubah haluan 0,7 n.a. 8 53 17 22

Belok kanan sama

arah 11 12 120 2400 190 220

Belok kiri berlawanan 2,6 1,2 29 210 49 56

Semua sama arah 59 95 640 25000 860 930

Sumber: Robertson DH,1994 (Glauz & Miglezt, 1980; Miglezt et al 1985)

Persamaan-2.1 dapat digunakan untuk tingkat konflik per unit waktu jika estimasi rata-rata dan variansi tingkat konflik dimungkinkan. Jika estimasi variansi dari rata-rata-rata-rata memungkinkan tetapi bukan rata-rata itu sendiri, maka persamaan 2.1. dapat ditulis menjadi: var 2 ×       = PC t PQ ... (2.2)

(25)

Tabel-2.5 Konstanta t dari tingkat kepercayaan. Konstanta, t Level kepercayaan (%)

1,28 1,50 1.64 1,96 2,00 2,50 2,58 80,0 86,6 90,0 95,0 95,5 98,8 99,0

Sumber: Robertson DH,1994 (Glauz & Miglezt,, 1980; Miglezt et al 1985)

Jika konflik per unit kendaraan yang diinginkan, maka kecukupan ukuran sampel yang mendekati suatu ketelitian di dalam estimasi dari rata-rata konflik adalah:

2 2 PP t q p NV = × × ... (2.3) dengan:

NV = jumlah sampel (kendaraan yang diobservasi) t = kontanta tingkat kepercayaan (lihat Tabel-2.5) p = ekspektasi proporsi kendaraan yang telibat konflik q = ekspektasi proporsi kendaraan yang tidak terlibat konflik

PP = estimasi kesalahan proporsi dari kendaraan yang terlibat konflik

Jika tingkat kepercayaan yang bersesuaian dengan t yang diambil adalah 95% dan PP adalah 0.01, maka aktual tingkat konflik perkendaraan akan menjadi 0.01 dari estimasi level 95% dari waktu. Sedangkan jumlah dari p dan q adalah 1,00. Bila nilai p dan q tidak diketahui, maka p dan q dapat diasumsikan 0,5 sehingga persamaan 2.3 dapat ditulis menjadi: 2 2 25 . 0 PP t NV = × ... (2.4)

(26)

Tabel-2.6 Koefisien variasi yang bersesuaian dengan jumlah konflik Koefisien variasi (%) Jumlah Konflik

50 33 25 20 15 10 5 3 6 11 18 27 46 102 401 1100

Sumber: Robertson DH,1994 (Glauz & Miglezt,, 1980; Miglezt et al 1985)

2.6. Analisis Statistik 2.6.1. Uji Hipotesis

Uji hipotesis diperlukan manakala data statistik yang dikumpulkan melalui survey lapangan berhubungan dengan pengambilan sampel. Hipotesis (Sugiyono, 2003) merupakan pernyataan statistik tentang parameter populasi. Statistik adalah ukuran-ukuran yang dikenakan pada sampel yang antara lain rata-rata x, simpangan baku (s), variansi (s2), koefisien korelasi (r). Sedangkan parameter merupakan ukuran-ukuran yang dikenakan pada populasi yaitu rata-rata (µ), simpangan baku (σ), variansi (σ2), dan koefisien korelasi (ρ). Dengan demikian, hipotesis dapat diartikan sebagai taksiran terhadap parameter populasi melalui data-data sampel.

Perlu dijelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar mengenai pengertian hipotesis di dalam statistik dan di dalam penelitian. Pengertian hipotesis dalam penelitian merupakan jawaban sementara atau asumsi yang ditarik dari rumusan masalah pada penelitian. Walpole (1990) menyatakan hipotesis statistik merupakan pernyataan atau dugaan mengenai satu atau lebih populasi. Sutarno (200x) lebih lanjut mengatakan hipotesis statistik sebagai suatu pengandaian fungsi probabilitas dari suatu variabel random, berarti pengandaian parameter-parameter fungsi probablilitas dari suatu variabel random. Selanjutnya, uji-hipotesis adalah prosedur penentuan menerima atau menolak hipotesis penelitian. Oleh karena itu pengujian hipotesis perlu dirancang sedemikian rupa mulai dari perumusan hipotesis, penentukan uji-statistik yang

(27)

digunakan serta tingkat signifikansi yang digunakan yang digambarkan melalui daerah penolakan (daerah kritis) dan daerah penerimaan (daerah tak-kritis) dari suatu hipotesis.

Di dalam memformulasikan pengujian hipotesis, dikenal ada dua jenis hipotesis, yaitu hipotesis nol (Ho) dan hipotesis penelitian atau lebih dikenal dengan hipotesis alternatif

(H1). Hipotesis nol (Sugiyono, 2003) merupakan penyataan atau asumsi tidak adanya

perbedaan antara parameter dengan statistik, atau tidak adanya perbedaan antara ukuran populasi dan ukuran sampel. Sedangkan hipotesis alternatif merupakan lawan dari hipotesis nol yang dibuat dalam bentuk pernyataan negasi dari asumsi yang diberikan pada hipotesis nol. Dalam hal ini, hipotesis yang diuji adalah hipotesis nol, melalui pembuktian terhadap hipotesis alternatif.

2.6.2. Uji Keseragaman

Uji keseragaman diperlukan guna mengenali keseragaman data yang terkumpul sehingga variansi proporsi sampel tidak terlalu besar dengan perkataan lain terdapat keselarasan proporsi frekuensi data dengan variansi yang kecil. Uji homogenitas yang digunakan adalah uji Chi-Kuadrat dengan tingkat kepercayaan (α) dan derajat kebebasan (dk) tertentu. Rumus Chi-Kuadrat yang digunakan untuk uji hipotesis keseragaman data adalah:

(

)

∑∑

= =         = r i c j ij ij ij E E O 1 1 2 2

χ

……… 2.5

Untuk menguji keseragaman menggunakan menggunakan rumus tersebut, datanya harus telebih dahulu disusun dalam tabel kontingensi r ×c, di mana r menyatakan populasi ke-r dan c menyatakan kategori ke-c. Derajat kebebasan (dk) dari rumus tersebut adalah db=(r-1)(c-1). Hipotesis yang diberikan untuk menguji hipotesis keseragaman sampel adalah:

Ho : proporsi frekuensi sampel adalah seragam untuk tingkat kepercayaan tertentu

H1 : proporsi frekuensi sampel adalah tidak seragam untuk tingkat kepercayaan

tertentu

Bila nilai Chi-kuadrad dari hasil observasi

χ

observasi2 yang dihitung menggunakan rumus-2.5 lebih besar dari nilai Chi-kuadrad tabel

χ

tabel2 ; atau

χ

observasi2 >

χ

tabel2 untuk db=1 dan

(28)

tingkat kepercayaan tertentu (misalkan α =5%), maka hipotesis menerima Ho dan

sebaliknya menolak Ha.

2.6.3. Uji Komparatif Dua Sampel Berkorelasi

Uji Chi-Kuadrad merupakan salah satu uji statistik yang banyak dimanfaatkan untuk menguji hipotesis statistik. Chi-kuadrad didefinisikan sebagai jumlah kuadrad variabel-variabel yang menyebar secara normal dan bebas dengan nilai tengah nol dan ragam satu seperti diberikan pada persamaan atau rumus-2.2 (Steel RGD et al, 1993).

2 2

      − = i i i i Y

σ

µ

χ

……… 2.6 dengan: µ : rata-rata populasi

σ : simpangan baku populasi Yi : variabel acak

Sugiyono (2003) menyatakan menguji komparatif berarti menguji parameter populasi yang berbentuk perbandingan melalui ukuran sampel yang juga berbentuk perbandingan. Uji hipotesis komparatif yang dikenal adalah hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi dan yang independen. Uji hipotesis komparatif yang berkorelasi, bila mana ingin membandingkan dua kelompok sampel eksperimen dan kelompok sampel kontrol. Statistik non-parameter yang digunakan untuk menguji dua sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk nominal atau diskrit. Teknik statistik yang digunakan adalah teknik Mc. Nemar Tes, di mana model rancangan penelitian yang menggunakan teknik statistik ini berbentuk sebelum dan sesudah (before-after), di mana objeknya diasumsikan sama hanya saja mendapatkan perlakuan berbeda.

Mc. Nemar test berdistribusi Chi-kuadrad (Siegel S, 1994; Sugiyono, 2003), oleh karena itu rumus yang digunakan untuk pengujian hipotesis ini adalah rumus Chi-kuadrad seperti diberikan pada rumus-2.7.

= − = k i h h o i i i f f f 1 2 2 ( )

χ

……….. 2.7

(29)

dengan:

i

o

f : banyaknya frekuensi yang diobservasi dalam kategori-i

i

h

f : banyaknya frekuensi yang diharapkan di bawah Ho dalam kategori-i

Untuk menguji hipotesis dengan uji ini Mc. Nemar menggunakan tabel kontingensi 2x2, seperti diberikan pada Tabel-2.7. Misalkan terdapat suatu sampel data suatu penelitian terhadap sejumlah orang berkaitan dengan suatu perlakuan tertentu. Adanya perubahan setelah ada perlakuan dari a ke b serta dari c ke d. Di dalam uji Mc. Nemar, untuk signifikasi perubahan hanya berkepentingan dengan data a dan d.

Tabel-2.7 Tabel kontingensi 2x2 Sesudah Sebelum

- +

- a b

+ c d

Jika a = banyaknya kasus yang diobservasi dalam sel a, dan d = banyaknya kasus dalam sel d, dan 12(a+d) = banyaknya kasus-kasus yang diharapkan pada sel a dan d, maka rumus Chi-kuadrad dapat disederhanakan menjadi:

d a d a + − = 2 2 ( )

χ

……….. 2.8

dengan derajat kebebasan dk =1

Lebih lanjut Yates pada tahun 1934 (Siegel S, 1994) memberikan koreksi terhadap rumus-2.8 yang dikenal dengan koreksi kontinuitas, yaitu dengan mengurangi dengan nilai 1, seperti diberikan pada rumus-2.9 berikut.

(

)

d a d a + − − = 2 2 1

χ

……….. 2.9

(30)

Di dalam prakteknya, pemanfaatan uji Mc. Nemar di dalam menguji hipotesis diawali dengan pendefinisian hipotesis yang diperlukan, seperti:

Ho : tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah adanya perlakuan

H1 : terdapat perbedaan yang signifikan setelah adanya perlakuan

Bila nilai Chi-kuadrad dari hasil observasi

χ

observasi2 yang dihitung menggunakan rumus-2.9 lebih besar dari nilai Chi-kuadrad tabel

χ

tabel2 ; atau

χ

observasi2 >

χ

tabel2 untuk dk=1 dan tingkat kepercayaan tertentu (misalkan α =5%), maka hipotesis menerima Ho dan

sebaliknya menolak H1.

2.6.4. Uji Komparatif Dua Sampel Bebas

Sampel data yang akan dianalisis di dalam tesis ini merupakan dua kelompok data konflik lalu lintas sebelum dan sesudah adanya perlakuan terhadap kondisi lalu lintas pada pendekat persimpangan. Rancangan penelitian yang dikembangkan diarahkan untuk menguji kondisi sebelum dan sesudah adanya perlakuan dari dua kelompok sampel data yang dikumpulkan. Sekalipun objek penelitiannya merupakan persimpangan yang sama, akan tetapi data yang terkumpulkan antara sebelum dan sesudah adanya perlakuan diasumsikan saling bebas (independent). Oleh karena itu dua kelompok sampel data konflik tersebut dikatakan tidak berkorelasi, mengingat kondisi jumlah lalu lintas yang masuk ke persimpangan adalah tidak sama untuk dua kondisi berbeda yang diasumsikan bukan objek yang sama.

Uji statistik komparatif dua sampel data independen dilakukan dengan menggunakan Uji-Chi kuadrat, di mana sampel datanya disusun menggunakan tabel kontingensi. Rumus Chi-kuadrat yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel data independen adalah rusmus Chi-Kuardat dengan koreksi Yates (Sugiyono, 2003):

(

)

(

a b

)(

a c

)(

b d

)(

c d

)

n bc ad n + + + + − − × = 2 2 1 2

χ

………... 2.10

(31)

Variabel-variabel yang terdapat pada rumus-2.10 mengacu kepada tabel kontingensi yang digunakan untuk dua sampel data diberikan seperti pada Tabel-2.8.

Tabel-2.8 Tabel kontingensi 2x2 untuk dua sampel Frekuensi Data Sampel Sebelum Sesudah Jumlah Sampel-A a b a+b Sampel-B c d c+d

Jumlah a+c b+d n=( a+b)+( c+d)

Rumus Chi-Kuadrat yang digunakan untuk uji komparatif lebih dari dua sampel diberikan pada rumus-2.11, sedangkan tabel kontingensinya diberikan pada Tabel-2.9.

= − = k i h h o i i i f f f 1 2 2 ( )

χ

………. 2.11

Tabel kontingensi yang digunakan untuk uji hipotesis lebih dari dua sampel diberikan sebagai berikut:

Tabel-2.9 Tabel kontingensi untuk uji hipotesa lebih dari dua sampel

Kondisi Kategori fo fh (fo-fh) (fo-fh)2 (fo-fh)2/fh 1 a b … n 2 a b … n Jumlah

Di dalam prakteknya, pemanfaatan uji Chi-Kuadrat di dalam menguji hipotesis diawali dengan pendefinisian hipotesis yang diperlukan, seperti:

H0 : tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah adanya perlakuan

(32)

Bila nilai Chi-kuadrad dari hasil observasi

χ

observasi2 yang dihitung menggunakan rumus-2.10 atau 2.11 lebih besar dari nilai Chi-kuadrad tabel

χ

tabel2 ; atau

χ

observasi2 >

χ

tabel2 untuk db=1 dan tingkat kepercayaan tertentu (misalkan α =5%), maka hipotesis menerima Ho

dan sebaliknya menolak H1.

Gambar

Tabel  kontingensi  yang  digunakan  untuk  uji  hipotesis  lebih  dari  dua  sampel  diberikan  sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Pengembalian akan menyebabkan promosi, kredit, komisi dan bonus akan disesuaikan atau ditarik kembali, untuk orang yang melakukan pengembalian dan untuk semua upline

Orang, proses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat di luar sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri, jadi walaupun

Sedangkan perbedaan penelitiaan yang dilakukan Paina dengan penelitian ini adalah pada objek kajian yang mana pada penelitian Paina meneliti tindak tutur komisif khusus

Aspek assurance (kepastian) mengukur kemampuan dosen, tenaga pendidikan, dan pengelola untuk memberikan keyakinan kepada mahasiswa bahwa pelayanan yang diberikan

Tidak terdapat hubungan antara frekuensi makan sehari, kebiasaan sarapan pagi, dan kesukaan jajan dengan status gizi (p &gt;0.05), namun demikian frekuensi makan pada contoh

Dalam penelitian terkait pada penilaian peringkat pada laporan keuangan perusahaan, penulis memusatkan objek pada perusahaan-perusahaan yang sahamnya tetap

Kajian ini merupakan penelitian lapangan field research dengan populasi dan sampelnya adalah para pegawai dan anggota koperasi yang melakukan transaksi wadi’ah, maka

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, beberapa kabupaten di Kepulauan Bangka merupakan kabupaten yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan