• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau kecacatan. Kesehatan dapat terwujud apabila tersedia sumber daya untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau kecacatan. Kesehatan dapat terwujud apabila tersedia sumber daya untuk"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Kesehatan

Kesehatan berarti lebih dari sekedar tanpa penyakit, sebagaimana dinyatakan dalam definisi WHO tentang kesehatan: sehat adalah suatu keadaan

yang baik dari fisik, mental, dan sosial, dan tidak hanya sekedar tanpa penyakit atau kecacatan. Kesehatan dapat terwujud apabila tersedia sumber daya untuk

memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan hidup yang bebas polutan, patogen, dan gangguan fisik yang mengancam kehidupan dan kesehatan, karena kesehatan juga mencakup kesejahteraan dan rasa aman. Lingkungan hidup dan pekerjaan yang kurang memadai berkaitan dengan masalah-masalah fisik maupun psikososial dapat mengganggu kesehatan. Kekerasan dan alienasi tidak hanya berhubungan dengan prospek pekerjaan yang jelek, tetapi juga dengan kepadatan berlebihan, perumahan yang tidak memadai, pelayanan-pelayanan yang tidak mencukupi dan kekurangan penyediaan sarana rekreasi, tempat bermain, dan perkembangan anak. Pemahaman yang semakin baik terhadap keterkaitan ini telah mengarahkan pada konsep lingkungan yang membawa kesehatan, yang tidak hanya meminimalkan risiko penyakit, tetapi mendorong pemenuhan kebutuhan personal serta komunitas, harga diri, dan rasa aman (Widiati, 2001).

Keselamatan pasien merupakan upaya yang harus diutamakan dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Pasien harus memperoleh jaminan keselamatan selama mendapatkan perawatan atau pelayanan di lembaga pelayanan kesehatan,

(2)

yakni terhindar dari berbagai kesalahan tindakan medis (medical error) maupun kejadian yang tidak diharapkan (adverse events) (Koentjoro, 2007).

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu kesejahteraan umum. Peranan obat dalam upaya kesehatan sangat besar dan merupakan suatu unsur penting dengan biaya cukup besar (Anief, 2007).

Standar pelayanan kesehatan harus dapat memenuhi 10 karakteristik standar, yaitu valid, menunjukkan efektifitas biaya, dapat dikembangkan (reproducible), reliabel, representatif, dapat diterapkan (applicable), fleksibel, jelas (clear), didokumentasikan dengan baik, dan dikaji ulang secara berkala (Koentjoro, 2007).

2.2 Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah berubah paradigmanya dari orientasi obat kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian

(pharmaceutical care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut,

apoteker/asisten apoteker sebagai tenaga farmasi dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat berinteraksi langsung dengan pasien (Depkes RI, 2006).

Pada penelitian Purwastuti, John Griffith (2002) menggolongkan pelayanan farmasi sebagai salah satu pelayanan penunjang medik terapeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti ruang operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien menghadapi beraneka ragam pilihan

(3)

cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk pelayanannya saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya (Purwastuti, 2005).

Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas adalah apoteker (Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Kompetensi apoteker di Puskesmas sebagai berikut:

- mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu,

- mampu mengambil keputusan secara professional,

- mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal, maupun bahasa lokal, dan

- selalu belajar sepanjang karier baik pada jalur formal maupun informal, sehingga ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu baru (up to date). Sedangkan asisten apoteker hendaknya dapat membantu pekerjaan apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian tersebut (Depkes RI, 2006).

2.2.1 Perencanaan Obat

Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat untuk Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh pengelola obat dan perbekalan kesehatan di Puskesmas (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

(4)

2.2.2 Permintaan Obat

Sumber penyediaan obat di Puskemas berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Obat yang disarankan tersedia di Puskesmas adalah obat esensial yang jenisnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional. Selain itu, sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Kesehatan No. 085 tahun 1989 tentang Kewajiban Menuliskan Resep dan Menggunakan Obat Generik di Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang disarankan tersedia di Puskesmas (Kementrian Kesehatan, 2010).

2.2.3. Penerimaan Obat

Petugas penerima obat bertanggung jawab atas pemeriksaan fisik, penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan, dan penggunaan obat berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat yang diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis dan jumlah obat, bentuk sediaan obat sesuai dengan isi dokumen (LPLPO), dan ditandatangani oleh petugas penerima serta diketahui oleh Kepala Puskesmas. Petugas penerima dapat menolak apabila terdapat kekurangan dan kerusakan obat. Setiap penambahan obat, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

(5)

2.2.4 Penyimpanan Obat

Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang) dan terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia sehingga mutunya tetap terjamin. Aturan dalam penyimpanan obat meliputi: persyaratan gudang, pengaturan penyimpanan obat, tata cara penyusunan obat, dan pengamatan mutu.

1. Persyaratan gudang

a. Luas minimal 3x4 m2 dan atau disesuaikan dengan jumlah obat yang disimpan.

b. Ruangan kering dan tidak lembab. c. Memiliki ventilasi yang cukup.

d. Memiliki cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai pelindung untuk menghindarkan adanya cahaya langsung dan berteralis.

e. Lantai dibuat dari semen/tegel/keramik/papan (bahan lain) yang tidak memungkinkan bertumpuknya debu dan kotoran lain. Harus diberi alas papan (palet).

f. Dinding dibuat licin dan dicat warna cerah.

g. Hindari pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam. h. Gudang digunakan khusus untuk penyimpanan obat. i. Mempunyai pintu yang dilengkapi kunci ganda.

j. Tersedia lemari/laci khusus untuk narkotika dan psikotropika yang selalu terkunci dan terjamin keamanannya.

k. Harus ada pengukur suhu dan higrometer ruangan. 2. Pengaturan penyimpanan obat

(6)

a. Obat di susun secara alfabetis untuk setiap bentuk sediaan. b. Obat dirotasi dengan sistem FEFO dan FIFO.

c. Obat disimpan pada rak.

d. Obat yang disimpan pada lantai harus di letakan di atas palet. e. Tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk. f. Sediaan obat cairan dipisahkan dari sediaan padatan.

g. Sera, vaksin, dan supositoria disimpan dalam lemari pendingin. h. Lisol dan desinfektan diletakkan terpisah dari obat lainnya.

Untuk menjaga mutu obat, perlu diperhatikan kondisi penyimpanan seperti kelembaban, sinar matahari, temperatur/panas, kerusakan fisik, kontaminasi, dan adanya pengotoran.

3. Tata Cara Penyusunan Obat

a. Penerapan sistem FEFO dan FIFO.

b. Pemindahan harus hati-hati supaya obat tidak pecah/rusak.

c. Golongan antibiotik harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya matahari, dan disimpan di tempat kering.

d. Vaksin dan serum harus dalam wadah yang tertutup rapat, terlindung dari cahaya, dan disimpan dalam lemari pendingin (suhu 4 – 8o C). Kartu temperatur yang ada harus selalu diisi setiap pagi dan sore.

e. Obat injeksi disimpan dalam tempat yang terhindar dari cahaya matahari langsung.

f. Bentuk dragee (tablet salut) disimpan dalam wadah tertutup rapat dan pengambilannya menggunakan sendok.

(7)

g. Untuk obat dengan waktu kadaluarsa yang sudah dekat supaya diberi tanda khusus, misalnya dengan menuliskan waktu kadaluarsa pada dus luar dengan mengunakan spidol.

h. Penyimpanan obat dengan kondisi khusus, seperti lemari tertutup rapat, lemari pendingin, kotak kedap udara, dan lain sebagainya.

i. Cairan diletakkan di rak bagian bawah. j. Kondisi penyimpanan beberapa obat.

- beri tanda/kode pada wadah obat,

- beri tanda semua wadah obat dengan jelas,

- apabila ditemukan obat dengan wadah tanpa etiket, jangan digunakan, - apabila obat disimpan di dalam dus besar maka pada dus harus

tercantum: jumlah isi dus, kode lokasi, tanggal diterima, tanggal kadaluarsa, nama produk/obat, dan

- beri tanda khusus untuk obat yang akan habis masa pakainya pada tahun tersebut, jangan menyimpan vaksin lebih dari satu bulan di Puskesmas. 4. Pengamatan mutu

Setiap pengelola obat perlu melakukan pengamatan mutu obat secara berkala setiap bulan. Pengamatan mutu obat dilakukan secara visual.

a. Tablet

- Terjadi perubahan warna, bau dan rasa, serta lembab.

- Kerusakan fisik seperti pecah, retak, sumbing, gripis, dan rapuh. - Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat. - Untuk tablet salut, disamping informasi di atas, juga basah dan lengket

(8)

- Wadah yang rusak. b. Kapsul

- Cangkangnya terbuka, kosong, rusak, atau melekat satu dengan lainnya. - Wadah rusak.

- Terjadi perubahan warna baik cangkang ataupun lainnya. c. Cairan

- Cairan jernih menjadi keruh, timbul endapan. - Cairan suspensi tidak bisa dikocok.

- Cairan emulsi memisah dan tidak tercampur kembali. d. Salep

- Konsistensi warna dan bau berubah (tengik). - Pot/tube rusak atau bocor.

e. Injeksi - Kebocoran

- Terdapat partikel untuk sediaan injeksi yang seharusnya jernih sehingga keruh atau partikel asing dalam serbuk untuk injeksi.

- Wadah rusak atau terjadi perubahan warna. Laporkan perubahan yang terjadi kepada Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota untuk diteliti lebih lanjut.

Jangan menggunakan obat yang sudah rusak atau kadaluarsa. Hal ini penting untuk diketahui terutama penggunaan antibiotik yang sudah kadaluarsa karena dapat menimbulkan resistensi mikroba. Resistensi mikroba berdampak terhadap mahalnya biaya pengobatan. Obat dapat berubah menjadi toksik

(9)

selama penyimpanan. Beberapa obat dapat terurai menjadi substansi-substansi yang toksik (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

2.2.5 Distribusi Obat

Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien. Sistem distribusi yang baik harus:

- menjamin kesinambungan penyaluran/penyerahan, - mempertahankan mutu,

- meminimalkan kehilangan, kerusakan, dan kadaluarsa, - menjaga ketelitian pencatatan,

- menggunakan metode distribusi yang efisien dengan memperhatikan peraturan perundangan dan ketentuan lain yang berlaku, dan

- menggunakan sistem informasi manajemen (Pengurus Pusat IAI, 2011).

Tujuan distribusi dan pelayanan obat adalah:

a. terlaksananya distribusi obat yang berdaya guna dan berhasil guna dengan penyebarannya yang merata, teratur, serta dapat diperoleh bagi yang membutuhkan pada saat diperlukan,

b. terjamin mutu obatnya serta ketepatan, kerasionalan, dan efesiensi penggunaan obat, dan

(10)

Dalam pemberian obat, perlu dipertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. efek apa yang dikehendaki, lokal atau sistemik,

b. onset bagaimana yang dikehendaki, yang cepat atau yang lambat, c. duration bagaimana yang dikehendaki, yang lama atau yang pendek, d. apakah obatnya tidak rusak di dalam lambung atau di usus,

e. rute relatif aman mana yang mau digunakan, melalui mulut, suntikan, atau melalui dubur,

f. melalui jalan mana yang menyenangkan bagi dokter atau pasien (sukar menelan atau takut disuntik), dan

g. obat mana yang relatif murah (Anief, 2007).

2.2.6 Pengawasan Obat

Pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian dan pengawasan obat, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Pemerintah perlu membina upaya-upaya dibidang obat agar tercapai tujuan dan sasaran pembangunan dibidang obat. Unsur-unsur kebijakan obat nasional terdiri dari:

a. penilaian, pengujian, dan pendaftaran, b. konsepsi daftar obat esensial,

c. pengadaan dan produksi, d. distribusi dan pelayanan,

(11)

g. pengamanan peredaran dan penggunaan, h. obat tradisional,

i. sistem informasi obat,

j. peraturan perundang-undangan, k. penelitian dan pengembangan, dan l. pengembangan dan tenaga (Anief, 2007).

2.2.7 Monitoring dan Evaluasi Obat

Pelayanan kefarmasian di Puskesmas perlu melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan secara berkala. Monitoring merupakan kegiatan pemantauan terhadap pelayanan kefarmasian dan evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian itu sendiri. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan memantau seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian mulai dari pelayanan resep sampai kepada pelayanan informasi obat kepada pasien sehingga diperoleh gambaran mutu pelayanan kefarmasian sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian di Puskesmas selanjutnya. Hal-hal yang perlu dimonitor dan dievaluasi dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah:

- Sumber Daya Manusia (SDM),

- pengelolaan sediaan farmasi (perencanaan, dasar perencanaan, pengadaan, penerimaan, dan distribusi),

- pelayanan farmasi klinik (pemeriksaan kelengkapan resep, skrining resep, penyiapan sediaan, pengecekan hasil peracikan, dan penyerahan obat yang disertai informasinya serta pemantauan pemakaian obat bagi penderita penyakit tertentu seperti TB, Malaria, dan Diare), dan

(12)

- mutu pelayanan (tingkat kepuasan konsumen) (Depkes RI, 2006).

Manajemen obat di Puskesmas bertujuan agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Puskesmas (Depkes RI, 2003).

2.3 Puskesmas

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar-Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Depkes RI, 2006).

Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurang-kurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni:

- pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, - pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan - pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.

Sekurang-kurangnya ada enam jenis pelayanan tingkat dasar yang harus dilaksanakan oleh Puskesmas, yakni:

(13)

- perbaikan gizi,

- kesehatan lingkungan,

- pemberantasan penyakit menular, dan - pengobatan dasar (Depkes RI, 2004).

2.4 Mutu Pelayanan

Apoteker adalah profesional terakhir yang berinteraksi dengan pasien, terutama pasien yang berobat jalan. Apoteker harus bekerja sama dengan dokter dalam memberikan informasi kepada pasien mengenai obatnya dan memberikan arahan demi berhasilnya terapi obat yang diberikan. Penyuluhan kepada pasien, terutama yang tergolong kurang cerdas ataupun tidak dapat baca dan tulis adalah merupakan kewajiban apoteker sebagai drug informer. Dalam hal pemberian terapi yang rasional dan optimal, kerjasama antara dokter dan apoteker sangat diperlukan (Zaman, 2002).

Goetsch dan Davis (1994) mengatakan bahwa kualitas/mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2001). Organisasi yang peduli terhadap mutu memiliki sistem nilai yang mendukung terwujudnya lingkungan yang kondusif untuk menerapkan perbaikan mutu yang berkesinambungan. Budaya mutu dalam organisasi tersebut meliputi tata nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang mendukung terwujudnya upaya-upaya perbaikan mutu (Koentjoro, 2007).

(14)

Agar dapat tersusun sistem manajemen mutu dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. persiapan,

b. pembakuan sistem,

c. pengendalian dan pembinaan agar sistem yang dibakukan berjalan dengan baik,

d. perbaikan sistem berkesinambungan, dan

e. penilaian dan surveilan terhadap berjalannya keseluruhan sistem manajemen mutu, melalui pengukuran kinerja, surveilan kepuasan pelanggan, audit, dan tinjauan manajemen (Koentjoro, 2007).

Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut:

- papan nama “apotek” atau “kamar obat” yang dapat terlihat jelas oleh pasien,

- ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,

- peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan miligram, mortir-stamper, gelas ukur, corong, rak alat-alat, dan lain-lain,

- tersedia tempat dan alat untuk mendisplai informasi obat bebas dalam upaya penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, dan majalah kesehatan,

(15)

terakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI),

- tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai, - tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria,

serum dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,

- tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau komputer agar pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat dipantau dengan baik, dan

- tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan informasi obat.

Untuk mengukur kinerja pelayanan kefarmasian tersebut, harus ada indikator yang digunakan. Indikator yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah:

a. tingkat kepuasan konsumen: dilakukan dengan survei berupa angket melalui kotak saran atau wawancara langsung,

b. dimensi waktu: lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan),

c. prosedur tetap (protap) pelayanan kefarmasian: untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan, dan

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mendapatkan shared key maka user B akan mengirimkan pesan kepada user A, setelah memasukkan nomer telepon beserta shared key maka user B kemudian meminta sistem

Penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran pekerjaan forklift , gambaran tingkat risiko ergonomi, dan mengetahui hubungan antara faktor risiko individu (usia,

JUMLAH MAHASISWA TERDAFTAR MENURUT JENJANG PROGRAM DAN JENIS KELAMIN TIAP PERGURUAN TINGGI (PT) NEGERI JUMLAH MAHASISWA TERDAFTAR MENURUT JENJANG PROGRAM DAN JENIS KELAMIN

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur dan penentuan informan ditentukan secara purposive, dimana peneliti menggunakan pedoman

41 tahun 2011, Kantor Otoritas Bandar Udara mempunyai tugas penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian di bidang keamanan, keselamatan dan kelancaran penerbangan serta

Pertama sekali saya ucapkan kepada Dzat Yang Maha Segalanya ALLAH SWT karena rahmat, hidayah dan karunia yang diberikan saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “WISATA

1) Resiko terjadinya syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan banyak... Pada diagnosa diatas, penulis melakukan asuhan keperawatan selama tiga hari yaitu