i
TESIS
PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING TIDAK
BERBEDA DALAM MENINGKATKAN
KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL
BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC
AUDITORY STIMULATION PADA PASIEN
PASCASTROKE
JERRY MARATIS NIM 1390361006
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING TIDAK
BERBEDA DALAM MENINGKATKAN
KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL
BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC
AUDITORY STIMULATION PADA PASIEN
PASCASTROKE
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga, Program Pascasarjana Universitas Udayana
JERRY MARATIS NIM 1390361006
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 02 JULI 2015
Pembimbing I,
Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH, Ph.D NIP. 19430215196021001
Pembimbing II,
Muhammad Irfan, S.Ft, SKM, M.Fis NIDN. 0302037701
Mengetahui
Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Dr. dr. Susy Purnawati, M.K.K, AIFO NIP. 196809291999032001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 2 Juli 2015
Panitia Penguji Tesis Ini Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.: 1911/ UN. 14.4/ HK/ 2015, Tanggal 1 Juli 2015
Ketua : Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH, Ph.D
Sekretaris : Muhammad Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis
Anggota :
1. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro
2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH, AIFO
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Jerry Maratis
NIM : 1390361006
Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi
Judul Tesis : Pelatihan Visual Cue Training Tidak Berbeda dalam Meningkatkan Keseimbangan Berdiri dan Fungsional Berjalan Daripada Rhytmic Auditory Stimulationpada Pasien Pascastroke
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, Mei 2015
Pembuat pernyataan
Jerry Maratis
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis. Tesis ini berjudul “Pelatihan Visual Cue Training Tidak Berbeda dalam Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Dan Fungsional Berjalan daripada Pelatihan Rhytmic
Auditory Stimulationpada Pasien Pascastroke” dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai derajat Magister Fisiologi Olahraga pada Program Studi
Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH, Ph.D
sebagai Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan
dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program
magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya
pula penulis sampaikan kepadaBapak Muhammad Irfan S.Ft, SKM, M.Fis sebagai
Pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan
bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Pascasarjana di Universitas Udayana Denpasar. Ucapan terima kasih ini juga
ditujukan kepada direktur program Pascasarjana Universitas Udayana yang
vii
ucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Susy Purnawati, M.KK, AIFO , ketua
Program Studi Magister Fisiologi Olahraga atas ijin yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu
. Dr.dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M. OH,
AIFO dan S. Indra Lesmana, SKM, SST.Ft, M.Or, yang telah memberikan
masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti
ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing
penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan
terima kasih kepada Ibu dan Ayah yang telah mengasuh dan membesarkan
penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga
tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis
sampaikan terima kasih kepada Istri tercinta, Nasriah Damayanthie, serta
Syarifah, anak tersayang, yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan
kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada
semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta
kepada penulis sekeluarga.
Denpasar, 7 Juli 2015
viii
ABSTRAK
PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING TIDAK BERBEDA DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL
BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC AUDITORY
STIMULATIONPADA PASIEN PASCASTROKE
Stroke merupakan gangguan fungsional otak lokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan perdarahan darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan perbandingankeseimbangan berdiri dan kemampuan fungsional berjalan pada pelatihan Visual Cue Training (VCT) dan Rhythmic Auditory Stimulation (RAS).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian pre-test and post-test control group design. Jumlah sampel kelompok pertama sebesar 11 pasien diberikan pelatihan Visual Cue Training (VCT)selama 20 menit, sedangkan pada kelompok kedua sejumlah 11 pasien diberikan pelatihan Rhythmic Auditory Stimulation (RAS) selama 20 menit. Penelitian dilakukan dalam periode waktu selama 2 bulan. Setiap pasien diajarkan berbagai kemampuan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan sesuai dengan konsep panduan operasionalnya. Tes pengukuran keseimbangan berdiri menggunakan Single Limb Stance Test (SLST) dan tes kemampuan fungsional berjalan menggunakan Gait Cycle Measurement .
Hasil penelitian diketahui setelah melakukan uji normalitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri perlakuan VCT = 0,172, perlakuan RAS = 0,498, pada fungsional berjalan perlakuan VCT = 0,148, perlakuan RAS = 0,555, menyatakan distribusi datanya normal (p>0,05). Untuk uji homogenitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri = 0,882, pada fungsional berjalan = 0,359, menyatakan distribusi homogen (p>0,05). Untuk uji komparasi dengan Independent t-testyang menunjukkan pada rerata±SB post-test keseimbangan berdiri pada perlakuan VCT (3,36±0,647) dan pada perlakuan RAS (2,82±0,603) dengan nilai p = 0,829. Pada rerata±SB post-test kemampuan fungsional berjalan pada perlakuan VCT (46,64±9,77) dan pada perlakuan RAS (41,18±6,306) dengan nilai p = 0,308, menyatakan tidakadanya perbedaan yang signifikan (p>0,05)antara pelatihan Visual Cue Training dan pelatihan Rhythmic Auditory Stimulation pada pasien pascastroke.
Disimpulkan bahwa pelatihan Visual Cue Training (VCT)tidak ada perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan daripada pelatihanRhythmic Auditory Stimulation (RAS)pada pasien stroke.
Kata kunci: Stroke, keseimbangan berdiri, kemampuan fungsional berjalan, Visual Cue Training (VCT), Rhythmic Auditory Stimulation (RAS), Single Limb Stance Test (SLST), Gait Cycle Measurement.
ix
ABSTRACT
VISUAL CUE TRAINING EXERCISE WAS NOT DIFFERENT WITH RHYTHMIC AUDITORY STIMULATION EXERCISE ININCREASING
STANDING BALANCE AND FUNCTIONAL GAIT AMONG STROKE PATIENTS
Stroke is a functional disorder of the brain, local or global acute, more than 24 hours, came from disorders of brain flow and not caused by transient ischemic attack, brain tumor, secondary stroke, trauma or infection.The purpose of this study is to know the comparison of both exercise.
This study uses an experimental research with pre-test and post-test control group design. Number of samples of the first group is 11 patients given Visual Cue Training (VCT) exercise for 20 minutes , while the second group 11 patients were given Rhythmic Auditory Stimulation (RAS) exercise for 20 minutes. The research was conducted in 2 month period time. Each patient is taught a variety of standing balance and functional gait ability in accordance with the operational concept guidance. Measuring test standing balance is using Single Limb Stance Test (SLST) and functional gait is using Gait Cycle Measurement (GCM).
The result revealed after normality test pre-test exercise on standing balance exercise VCT = 0.172, exercise RAS = 0.498, in the exercises of functional walking bility exercise VCT = 0.148, exercise RAS = 0.555, indicating normal data distribution (p> 0.05). For homogeneity test before exercise on standing balance =0.882, the functional ability to walk = 0.359, indicating homogeneous distribution (p> 0.05). For a comparison test with Independent t-test that shows the mean ± SB standing balance post-test exercise of VCT (3.36 ± 0.647) and in the exercise of RAS (2.82 ± 0.603), with p = 0.829. In the mean ± SB post-test of fuctional walking ability VCT exercise (46.64 ± 9.77) and the exercise of RAS (41.18 ± 6.306) with p = 0.308, indicating the absence of a significant difference (p>0.05) between VCT and RAS in improving the standing balance and functional walking ability in poststroke patients. All of these showedno significant difference (p>0,05) between Visual Cue Tarining and Rhythmic Auditory Stimulation exercise in improving the standing balance and functional ability in poststroke patients.
It was concluded that the Visual Cue Training exercise was no different with Rhythmic Auditory Stimulation exercise in increasing standing balance and functional gait among stroke patients.
Keywords : Stroke, standing balance, functional gait, Visual Cue Training (VCT) , Rhythmic Auditory Stimulation (RAS), Single Limb Stance Test (SLST), Gait Cycle Measurement (GCM).
x
RINGKASAN
PELATIHANVISUAL CUE TRAINING TIDAK BERBEDA DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL
BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC AUDITORY
STIMULATIONPADA PASIEN PASCASTROKE
Keseimbangan berdiri adalah kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan dalam keadaan statis, dengan menggunakan aktivitas otot yang minimal. Keseimbangan berdiri merupakan prasyarat untuk banyak aktivitas fungsional seperti mobilitas dan penghindaran terhadap jatuh. Fungsional berjalan adalah berjalan dengan kemampuan memenuhi tuntutan tugas yang kompleks dan tuntutan lingkungan, baik pada indoors ataupun outdoors. Pelatihan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan diantaranya dengan pelatihan Visual Cue Trainingdan Rhythmic Auditory Stimulation. Pelatihan Visual Cue Trainingmenggunakan isyarat visual untuk meningkatkan kontrol gerakan selama berdiri dan berjalan dengan memfasilitasi pasien untuk memodifikasi panjang langkah berdasarkan informasi visual yang telah disediakan dengan intensitas disesuaikan kemampuan pasien. Pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation(RAS) menggunakan isyarat auditori untuk meningkatkan kontrol gerakan selama berjalan dengan memfasilitasi pasien memodifikasi waktu melangkah berdasarkan informasi auditori yang digunakan dengan intensitas disesuaikan kemampuan pasien.Penelitian ini bertujuan untuk membuktikanpelatihanVisual Cue Training (VCT)lebih baik dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan daripada pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation (RAS)pada pasien pascastroke.
Tahapan pertama penelitian meliputi tahapan persiapan dan administrasi dengan mempersiapkan surat persetujuan penelitian, jadwal pelaksanaan, mempersiapkan bahan, alat ukur dan instrumen. Tahap kedua adalah tahap penentuan populasi dan pemilihan sampeldengan melakukan seleksi terhadap sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Tahap ketiga adalah tahap pengukuran pertama atau tes awal dengan mengukur skor keseimbangan berdiri menggunakan Single Limb Stance Test dan skor fungsional berjalan dengan menggunakan Gait Cycle Measurement. Tahap berikutnya adalah tahap pelatihan Visual Cue Training dan Rhythmic Auditory Stimulation. Pelatihan dilakukan selama 6 minggu. Tahap terakhir adalah tahap pengukuran kedua atau tes akhir dengan mengukur kembali skor keseimbangan berdiri menggunakan Single Limb Stance Test dan skor fungsional berjalan dengan menggunakan Gait Cycle Measurement setelah pasien mendapat pelatihan.
Hasil penelitian diketahui setelah melakukan uji normalitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri perlakuan VCT = 0,172, perlakuan RAS =
xi
0,498, pada fungsional berjalan perlakuan VCT = 0,148, perlakuan RAS = 0,555,menyatakan distribusi datanya normal (p>0,05). Untuk uji homogenitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri = 0,882, pada fungsional berjalan = 0,359, menyatakan distribusi homogen (p>0,05). Untuk uji komparasi dengan Independent t_test yang menunjukkan pada rerata±SB setelah perlakuan keseimbangan berdiri perlakuan VCT (3,36±0,647) dan pada perlakuan RAS (2,82±0,603)dengan nilai p = 0,829. Pada rerata±SB setelah perlakuan fungsional berjalan perlakuan VCT (46,64±9,77) dan pada perlakuan RAS (41,18±6,306) dengan nlai p = 0,308, menyatakan tidakadanya perbedaan signifikan (p>0,05) antara pelatihan VCT dan RAS dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan kemampuan fungsional berjalan pada pasien pascastroke.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelatihan Visual Cue Training (VCT)tidak berbeda signifikan dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalandaripada pelatihanRhythmic Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
RINGKASAN………x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR SINGKATAN ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian... 6
1.4 Manfaat Penelitian... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
2.1 Keseimbangan Berdiri ... 9
2.1.1 Pengertian ... 9
2.1.2 Single Limb Stance Test ... 10
2.2Fungsional Berjalan... 10
2.2.1 Pengertian ... 10
2.2.2 Siklus Berjalan ... 11
2.3Gait Cycle Measurement ... 16
2.3.1 Pengertian ... 16 2.3.2 Evaluasi Data ... 17 2.4Stroke ... 19 2.4.1 Pengertian ... 19 2.4.2 Klasifikasi Stroke ... 21 2.4.3 Faktor Resiko ... 22 2.4.4 Gejala Klinis ... 23 2.4.5 Neuroplasticity ... 24
2.4.6 Pola Berjalan Pasien Stroke ... 26
2.5Visual Cue Training ... 27
2.6Rhytmyc Auditory Stimulation ... 29
2.7Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien Pascastroke... 31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 33
xiii
3.2 Konsep Penelitian ... 36
3.3Hipotesis Penelitian ... 37
BAB IV METODE PENELITIAN ... 38
4.1 Rancangan Penelitian ... 38
4.2 Lokasi dan waktu Penelitian ... 39
4.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ... 39
4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian ... 40
4.4.1 Variabilitas Populasi ... 40
4.4.2 Kriteria Subjek ... 40
4.4.3 Besaran Sampel ... 42
4.4.4 Teknik Penentuan Sampel ... 44
4.5 Variabel Penelitian ... 44
4.5.1 Identifikasi dan KlasifikasiVariabel ... 44
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ... 45
4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian ... 47
4.7 Prosedur Penelitian ... 48
4.7.1 Tahap Persiapan dan Administrasi ... 48
4.7.2 Tahap Penentuan Populasi dan Pemilihan Sampel ... 49
4.7.3 Tahap Pengukuran Pertama atau Tes Awal ... 50
4.7.4 Tahap Pelatihan ... 51
4.7.5 Tahap Pengukuran Kedua atau Tes Akhir ... 55
4.8 Metode Pengukuran Parameter Jalan dengan Inked-Footprint ... 55
4.8.1 Alat-Alat yang Diperlukan ... 56
4.8.2 Langkah Pengukuran ... 56
4.8.3 Menghitung dan Mencatat Hasil Pengukuran ... 57
4.9 Metode Penetapan Dosis VCT dan RAS... 60
4.9.1 Pada Pelatihan dengan VCT ... 60
4.9.2 Pada Pelatihan dengan RAS ... 60
4.10 Analisis Data Peneltian ... 61
4.11 Alur Penelitian... 64
BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 65
5.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian ... 65
5.2 Hasil pengukuran Mingguan SLST & GCM... 69
5.3 Uji Normalitas ... 73
5.4 Uji Homogenitas ... 74
5.5Uji Hipotesis Keseimbangan Berdiri dan Kemampuan Berjalan ... 75
5.5.1 Peningkatan Keseimbangan Berdiri ... 75
5.5.2 Peningkatan Kemampuan Fungsional Berjalan ... 76
BAB VI PEMBAHASAN ... 76
6.1 Karakteristik Sampel ... 77
6.2 Pelatihan VCT dan Pelatihan RAS Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Pasien Pascastroke ... 78
6.3 Pelatihan VCT dan Pelatihan RAS Meningkatkan Kemampuan Fungsional Berjalan pada Pasien Pascastroke ... 79
xiv
6.4 Pelatihan VCT Tidak Berbeda Signifikan dengan Pelatihan RASdalam Meningkatkan Keseimbangan Berdiri dan Kemampuan Fungsional
Berjalan pada Pasien Pascastroke ... 82
6.5 Pelatihan VCT Tidak Berbeda Signifikan dalam Meningkatkan Kemampuan Fungsional Berjalan daripada Pelatihan RAS pada Pasien Pascastroke ... 84
6.6 Kelemahan Penelitian ... 85
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 86
3.1 Simpulan... 86
3.2 Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skema Fase Berjalan ... 12
xv
Gambar 3.1 Konsep Penelitian ... 36
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 38
Gambar 4.2 Contoh Visual Cue Training ... 53
Gambar 4.3 Metoda Inked-Footprint ... 58
Gambar 4.4 Contoh Footprint dan Kertas Pengukuran ... 58
Gambar 4.5 Footprint yang Telah Siap Dihitung ... 59
Gambar 4.6 Alur Penelitian ………..……... 64
Gambar 5.1 Hasil pengukuran Mingguan SLST Pelatihan VCT………..69
Gambar 5.2 Hasil Pengukuran Mingguan SLST Pelatihan RAS………..70
Gambar 5.3 Hasil Pengukuran Mingguan GCM Pelatihan VCT………..71
Gambar 5.4 Hasil Pengukuran Mingguan GCM Pelatihan RAS………..71
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Harga Rujukan Gait Cycle Measurement ... 17
xvi
Tabel 2.3 Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan
Pasien Stroke……….……….32
Tabel 4.1 Form Hasil Pengukuran Analisis Gait ... 59
Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Karakteristik Subjek Penelitian………66
Tabel 5.2 Data Kategorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian………67
Tabel 5.3 Data Kategorik Riwayat Sakit Karakteristik Subjek Penelitian…….68
Tabel 5.4 Hasil Rerata Keseimbangan Berdiri pada Perlakuan VCT & RAS…72 Tabel 5.5 Hasil Rerata Fungsional Berjalan pada Perlakuan VCT & RAS……72
Tabel 5.6 Uji Normalitas Keseimbangan Berdiri ( SLST)………..73
Tabel 5.7 Uji Normalitas Fungsional Berjalan (GCM)………...74
Tabel 5.8 Uji Homogenitas Keseimbangan Berdiri………74
Tabel 5.9 Uji Homogenitas Fungsional Berjalan………75
Tabel 5.10 Uji Independent t-test Keseimbangan Berdiri………..…75
Tabel 5.11 Uji Independent t-test Fungsional Berjalan………..…76
DAFTAR SINGKATAN
ADL : Activity Daily Living
xvii BOS : Base of Support
CCTV : Closed Circuit Television
CPG : Central Pattern Generator
GCM : Gait Cycle Measurement
MAV : Malformasi Arteriovena
MMSE : Mini Mental Status Evaluation
MMT : Manual Muscle Test
NIHSS : National Institute of Health Stroke Scale
PSA : Perdarahan Sub Arachnoid RAS : Rhythmic Auditory Stimulation
SD : Stride Length
SLST : Single Limb Stance Test
SMA : Supplementary Motor Area
SSP : Susunan Saraf Pusat
ST : Step Length
VCT : Visual Cue Training
WHO : World Health Organization
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran Form Informed Consent
xviii 3. LampiranForm MMSE
4. Lampiran NIHSS
5. Lampiran BBS
6. Lampiran MMT
7. Lampiran Lembar Pengumpulan Data Keseimbangan berdiri
8. Lampiran Lembar Pengumpulan data GCM
9. Lampiran Tabulasi Data Hasil penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi menuju ke penyakit
degeneratif dan traumatik menyebabkan prevalensi serangan stroke dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Dampak lain dari tingginya prevalensi serangan stroke
adalah meningkatnya individu yang mengalami gangguan gerak dan fungsi
termasuk gangguan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan.
Stroke adalah gangguan fungsional otak lokal maupun global akut, lebih
dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh
gangguan perdarahan darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena
trauma maupun infeksi (Setyopranoto, 2011). Stroke adalah penyebab utama
disabilitas berkepanjangan yang disebabkan oleh kerusakan sel otak karena
adanya hambatan suplai darah ke otak ataupun perdarahan pada jaringan otak
(Eng et al., 2007).
Stroke merupakan penyebab kematian nomer 3 setelah penyakit jantung
koroner dan kanker di negara berkembang. Saat ini, terdapat 15 juta jiwa di dunia
menderita stroke, di antaranya 5 juta meninggal dan 5 juta lainnya menderita
disabilitas permanen dan menjadi beban keluarga dan masyarakat (Mackay &
Mensah, 2004).
Menurut data Riskesdas (2013), prevalensi stroke berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan dan gejala di Indonesia sebesar 12,1 per 1000 penduduk.
Prevalensi stroke tertinggi di Sulawesi Utara sebesar 17,9 per 1000 penduduk,
diikuti DI Yogyakarta sebesar 16,9 per 1000 penduduk. Bangka Belitung dan DKI
Jakarta masing-masing 14,6 per 1000 penduduk. Prevalensi stroke sama tinggi
pada laki-laki dan perempuan, meningkat dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥ 75 tahun sebesar 43,1 per 1000 penduduk (Kemenkes RI, 2013).
Disfungsi motorik adalah masalah persisten dan yang paling sering
ditemukan dalam terapi pascastroke. Pemulihan fungsi motorik adalah penekanan
utama pada hampir semua usaha rehabilitasi pasien stroke. Defisit motorik
dicirikan dengan hemiparesis adalah manifestasi umum stroke hemisfer serebral
yang mengenai distribusi vaskuler arteri serebral media. Outcomes yang paling
diinginkan dari rehabilitasi adalah perbaikan fungsi ambulasi karena menentukan
besar derajat status pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari/ADL dan
berhubungan dengan kualitas hidup (Thaut et al., 1997).
Keseimbangan berdiri merupakan hal yang penting dalam mobilitas dan
pencegahan jatuh. Gangguan keseimbangan umumnya menimpa populasi yang
multiple dan menyebabkan hilangnya kualitas hidup yang sehat pada masyarakat yang menderita stroke, trauma otak, arthritis dan 75% usia lanjut. Pelatihan dapat
meningkatkan keseimbangan yang berhubungan dengan meningkatnya mobilitas
dan berkurangnya resiko jatuh (Sibley et al., 2015)
Berjalan pada aktivitas fungsional manusia terdiri atas mekanisme
melangkah (gait). Gait dapat diartikan sebagai pola atau ragam berjalan di mana
yang terkait dengan sendi dan otot. Dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase
menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing fase). Fase menapak dimulai
dari heel strike/ heel on, foot flat, mid stance , heel off dan diakhiri dengan toe off.
Sedangkan pada fase mengayun dimulai dari toe off, swing dan diakhiri dengan
heel strike (accelerasi, mid swing, decelerasi) (Irfan, 2010).
Istilah fungsional berjalan digunakan untuk mencerminkan flexible gait,
yaitu berjalan dengan kemampuan memenuhi tuntutan tugas yang kompleks dan
tuntutan lingkungan, baik pada indoors ataupun outdoors. Fungsional berjalan
dapat pula didefinisikan sebagai berjalan di bawah kondisi dan lingkungan yang
kompleks (Lord dan Rochester, 2007).
Kemampuan berjalan dapat dievaluasi secara kualitatif atau kuantitatif
dengan menggunakan uji laboratorium dan klinik (Yavuzer, 2006). Dalam
penelitian kali ini peneliti menggunakan pengukuran Gait Cycle Measurement
yang meliputi: phases of gait cycle, step length, step period, stride length, cycle
time, velocity, cadence dan stride widht.
Terapis harus mencari rute alternatif untuk membantu pasien
membangkitkan pola gerakan yang optimal. Informasi eksternal diterapkan untuk
meningkatkan kontrol gerak. Pada umumnya dapat digunakan isyarat visual dan
auditori. Isyarat- isyarat ini memfasilitasi pasien untuk memodifikasi gerakan
mereka berdasarkan informasi yang disediakan. Isyarat visual diterapkan untuk
menyediakan penyesuaian spasial/ spatial adjustment (panjang langkah),
adjustment (cadence). Penggunaan isyarat-isyarat tersebut memungkinkan pasien untuk meningkatkan kecepatan berjalan (Amatachaya, 2009).
Salah satu bentuk terbaru gait therapy adalah Rhytmic Auditory
Stimulation (RAS) yang melibatkan penggunaan isyarat sensorik berirama dari sistem motorik. RAS berdasar atas model sinkronisasi gelombang (entrainment).
Isyarat auditori berirama menyinkronkan respon motorik menjadi keterhubungan
waktu yang stabil, mirip dengan model oscillator coupling. Irama berfungsi
sebagai referensi waktu antisipatif dan berkesinambungan dimana gerakan
dipetakan dalam model (template) sementara yang stabil. Mekanisme
penyelarasan gerakan cepat fisiologis antara irama auditori dan respon motorik
berfungsi sebagai mekanisme coupling untuk menstabilkan dan meregulasi pola
berjalan (Thaut et al., 2007).
Pola suara ritmik dapat meningkatkan kepekaan neuron motor spinal
melalui jalur retikulospinal sehingga mengurangi waktu yang dibutuhkan otot
berespon terhadap perintah motorik yang diberikan (del Olmo dan Cudeiro,
2003). Rhytmic Auditory Stimulation menyebabkan perbaikan dalam kecepatan,
ketepatan, kelancaran gerakan halus dan kemampuan motorik kasar pada pasien
stroke. Terapi musik memberikan efek positif pada mood pasien stroke. Rhytmic
Auditory Stimulation dapat meningkatkan kemampuan berjalan, fleksibilitas, dan juga performa fungsi motorik pada paresis ekstremitas atas (Kall et al., 2012).
Berdasarkan penelitian Roerdink et al.(2007), irama adalah elemen
auditori berirama memfasilitasi gerakan dengan memberikan perencanaan gerak
(Cha et al., 2014). Penelitian Limyati et al., menunjukkan latihan stimulasi ritmik
sistem pendengaran (SRSP) dibandingkan degan latihan konvensional lebih baik
dalam meningkatkan pola dan kemampuan berjalan pada pasien hemiparesis
pascastroke (Limyati et al., 2012).
Pendekatan neurologi yang diidentifikasi paling menjanjikan untuk
menghasilkan pola koordinasi gait normal yaitu dengan menggunakan isyarat
auditori sebagai tujuan gerakan ekstrinsik. Walaupun ada indikasi jika stroke
survivors dapat memperoleh koordinasi gait sebagai respon terhadap isyarat auditori, beberapa penelitian telah menunjukkan jika isyarat visual lebih efektif
dalam memicu penyesuaian gait partisipan sehat untuk berjalan lurus. Informasi
visual merupakan sumber informasi yang paling baik digunakan dalam
mengontrol jalan dan tampaknya ketergantungan pada penglihatan untuk
mempertahankan stabilitas dinamik meningkat pascastroke (Hollands et al.,
2013).
Berdasarkan hal tersebut di atas yang didukung dengan hasil penelitian
sebelumnya maka peneliti mencoba mengambil topik tentang “Pelatihan Visual
Cue Training Lebih Baik dalam Meningkatkan Keseimbanganan Berdiri dan Kemampuan Fungsional Berjalan daripada Pelatihan Rhytmic Auditory
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian ini yaitu :
1. Apakah Pelatihan Visual Cue Training (VCT) lebih baik dalam
meningkatkan keseimbangan berdiri daripada Pelatihan Rhytmic
Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke?
2. Apakah Pelatihan Visual cue Training (VCT) lebih baik dalam
meningkatkan fungsional berjalan daripada Pelatihan Rhytmic
Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
tujuan penelitian ini:
1. Untuk membuktikan pelatihan Visual Cue Training (VCT) lebih baik
dalam meningkatkan keseimbangan berdiri daripada pelatihan Rhytmic
Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke.
2. Untuk membuktikan pelatihan Visual Cue Training (VCT) lebih baik
dalam meningkatkan fungsional berjalan daripada pelatihan Rhytmic
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik
Manfaat Akademik penelitian ini adalah :
1. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi dan mengembangkan teori-teori yang didapat dari
perkuliahan dan Evidence-Based Practice dari para peneliti.
2. Memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu
fisioterapi yang dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut,
khususnya tentang Visual Cue Training (VCT) meningkatkan
keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan lebih baik daripada
Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) pada Pasien Pascastroke.
1.4.2 Manfaat praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini dapat mengungkapkan seberapa baik Pelatihan
Visual Cue Training (VCT) meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan daripada Pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation
(RAS) pada pasien pascastroke
2. Dengan mengetahui hal-hal yang diteliti tersebut dapat diambil
langkah-langkah yang lebih spesifik dan efisien dalam meningkatkan
keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan pada pasien pascastroke
dengan optimal. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan
penelitian tentang manfaat pelatihan Visual Cue Training (VCT) dan
1.4.2 Bagi peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah :
1. Memperoleh satu tambahan tentang kajian manfaat pelatihan Visual
Cue Training (VCT) dan pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional
berjalan pada pasien pascastroke.
2. Mendapatkan wawasan serta pengalaman dalam melakukan penelitian,
sehingga hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk penelitian
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keseimbangan Berdiri 2.1.1 Pengertian
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam
posisi kesetimbangan dalam keadaan statis atau dinamis, dengan menggunakan
aktivitas otot yang minimal. Gangguan keseimbangan pada stroke berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan
kemampuan gerak otot yang menurun sehingga keseimbangan tubuh menurun.
Pasien stroke berusaha membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol
postur mereka (Darmawan, 2014).
Keseimbangan berdiri adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat
massa tubuh berada dalam Base of Support/ Bidang Tumpu. Keseimbangan
berdiri merupakan prasyarat untuk banyak aktivitas fungsional seperti mobilitas
dan penghindaran terhadap jatuh (Sibley et al., 2015).
Gangguan keseimbangan terutama saat berdiri tegak merupakan akibat
stroke yang paling mempengaruhi aktivitas. Hilangnya fungsi sensorik dan
motorik, kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak mengakibatkan
gangguan keseimbangan fungsi yang hilang akibat gangguan kontrol motorik
pada pasien pascastroke mengakibatkan hilangnya koordinasi dan hilangnya
merasakan kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu (Darmawan, 2014).
2.1.2 Single Limb Stance Test (SLST)
Single Limb Stance Test adalah metode yang sederhana, mudah dan efektif untuk skrining gangguan keseimbangan pada populasi dewasa. Siklus berjalan
membutuhkan dukungan berdiri satu kaki yang besar dalam mempertahankan pola
berjalan yang normal. Ketika siklus dinamik terganggu, hilangnya keseimbangan
dapat menyebabkan terjatuh. SLST mengukur stabilitas postural (keseimbangan
berdiri). Realibilitas SLST baik karena mempunyai intraclass corellation
coefficients (ICC). ICC rangenya 0,73-0,93. Pada tes ini pasien diinstruksikan berdiri dengan satu kaki tanpa penyangga. Pasien memulai tes dengan mata
terbuka menghadap fokus ke depan (Lewis et al., 2006).
2.2 Fungsional Berjalan 2.2.1 Pengertian
Istilah fungsional berjalan digunakan untuk mencerminkan flexible gait,
yaitu berjalan dengan kemampuan memenuhi tuntutan tugas yang kompleks dan
tuntutan lingkungan, baik pada indoors ataupun outdoors. Fungsional berjalan
dapat pula didefinisikan sebagai berjalan di bawah kondisi dan lingkungan yang
kompleks (Lord dan Rochester, 2007).
Berjalan adalah cara yang paling mudah untuk melakukan perjalanan
jarak dekat. Mobilitas sendi yang bebas dan kekuatan otot yang tepat
meningkatkan efisiensi jalan. Ketika tubuh bergerak ke arah depan, satu kaki
secara khusus menyangga sedangkan kaki lainnya maju dan mempersiapkan untuk
Righting reaction yaitu untuk memelihara dan mempertahankan posisi normal kepala yang berhubungan trunk dengan menormalkan alignment trunk dan
limbs sedangkan equilibrium reaction memelihara keseimbangan pada waktu
aktivitas terutama pada saat melawan gravitasi dan akan banyak membutuhkan
kontrol inhibisi pada level tinggi untuk timbal balik dari bagian perubahan pola
gerakan (Irfan, 2010)
2.2.2 Siklus Berjalan (Gait Cycle)
Berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing fase). Ada pula yang menambahkan satu fase lagi yaitu fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan jalan bertambah, bahkan pada berlari fase double support ini sama sekali hilang, dan justru terjadi fase di mana ke dua kaki tidak menginjak lantai (Irfan, 2010)
Fase menapak (60%) dimulai dari heel strike/heel on, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan toe off. Sedangkan pada fase mengayun (40%) dimulai dari toe off, swing dan diakhiri dengan heel strike (accelerasi, mid swing, decelerasi).
Gambar 2.1. Skema fase berjalan
Sumber: Irfan, 2010
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa pada aktivitas jalan, maka periode di
mana tubuh ditopang oleh satu kaki lebih dominan dibandingkan dengan periode
menapak pada dua kaki. Dengan demikian, maka kemampuan berjalan seseorang
sangat ditentukan oleh kemampuan mempertahankan tubuh pada Base of Support
(BOS) yang sempit yaitu pada area satu buah telapak kaki (Irfan, 2010).
Menurut terminologi Rancho Los Amigos yang dikutip dari Irfan (2010)
dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu:
1. Stance phase adalah fase menumpu, atau fase di mana bagian tubuh (kaki)
bersentuhan dengan lantai. Stance phase memberikan stabilitas untuk gait
cycle dan penting untuk swing phase yang benar. Pada fase ini terdapat beberapa tahapan.
Tahapan-tahapan yang terjadi pada stance phase antara lain:
a. Initial contact (interval: 0-2%)
Fase ini merupakan momen ketika tumit menyentuh lantai. Initial
contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini, menentukan pola
loading response. Menyentuhnya tumit dengan lantai membuat bayangan yang mengindikasikan tungkai yang akan bergerak.
Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari terminal stance.
Fase ini merupakan momen seluruh centre of gravity (COG) berada
pada tingkat terendah dan seseorang pada tingkat yang paling stabil.
Pada periode ini anggota bawah yang lain juga menyentuh lantai
sehingga terjadi posisi double stance.
Pada fase ini sendi panggul membentuk sudut aproksimasi 30° fleksi
dengan aktivasi otot gluteus maximus, hamstrings, adductor magnus.
Pada sendi lutut membentuk ekstensi penuh atau relative 2-5ᵒ fleksi
dengan aktivasi otot quadriceps untuk mengontrol sendi lutut. Pada
sendi pergelangan kaki membentuk sudut netral 90° dengan
mengaktivasi otot-otot pretibial (m. tibial anterior, m. ekstensor
hallucis longus dan m. ekstensor digitorum longus) untuk mengontrol plantar fleksi.
b. Loading response ( Interval: 0-10%)
Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase dilakukan
dengan permulaan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang
lain mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah ke depan
pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock
absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan menyentuh dengan lantai. Sedangkan tungkai yang berlawanan pada
c. Midstance (Interval; 10-30%)
Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai dalam mendukung
interval. Untuk awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan
sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat
ankle dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang
berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing.
d. Terminal Stance (Interval: 30-50%)
Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini dimulai
dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki menginjak
lantai. Keseluruhan dari fase ini brat badan berpindah dari forefoot.
Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan akan diikuti sedikit
fleksi. Di mana posisi tungkai yang lain berada pada fase terminal
swing.
Pada awal fase ini centre of gravity berada di depan kaki yang
menapak jadi tekanan gravitasi akan meningkatkan lingkup dari
ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle.
e. Preswing (Interval: 50-60%)
Pada akhir fase dari stance adalah interval gerakan ke dua double
stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada anggota grak
ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi plantar fleksi diikuti
anggota gerak bawah yang lain pada fase loading response.
Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan
awal dari terminal double support.
2. Swing phase adalah periode waktu di mana tubuh (kaki) tidak bersentuhan
dengan lantai, selama swing phase bagian tubuh yang berayun bergerak di
depan bagian tubuh yang menapak sehingga gerakan ke depan dapat terjadi.
Pada swing phase, tahapan-tahapan terdiri dari:
a. Initial swing (Interval: 60-73%)
Pada fase pertama adalah perkiraan satu sampai tiga dari periode
mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan diakhiri
ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang menumpu. Pada
saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik menjadi fleksi
dan ankle pada posisi setengah dorsal fleksi. Di saat yang sama sisi
kontralateral bersiap pada mid stance.
b. Mid swing (Interval: 73-87%)
Pada fase ke dua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota
gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari
fase ini ketika tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal atau lurus.
Saat mid swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi untuk merespon
gravitasi dan diikuti dengan ankle dorsi fleksi menuju posisi netral.
c. Terminal swing (Interval: 87-100%)
Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki
memijakkan lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah dengan posisi
ekstensi knee dan hip
Gambar 2.2 Tahapan satu siklus berjalan
Sumber: Tao et al., 2012
Gambar 2.2 diatas menjelaskan tentang tahapan satu siklus berjalan yang
meliputi 2 fase. Fase pertama adalah Stance Phase yang terdiri dari: Initial
Contact, Loading Response, Mid Stance dan Terminal Stance. Fase kedua adalah Swing Phase yang terdiri dari Pre-swing, Initial Swing, Mid Swing dan Terminal Swing.
2.3 Gait Cycle Measurement (GCM) 2.3.1 Pengertian
Kemampuan berjalan dapat dievaluasi secara kualitatif atau kuantitatif
dengan menggunakan uji laboratorium dan klinik. Banyak studi tentang perbaikan
pola jalan hemiparetik menggunakan skala asesmen fungsional ordinal seperti
Rivermead Mobility Index, Barthel Index, Functional Independence Measure, Functional Ambulation Categories, dan Time Up-and-Go Test. Berjalan dikategorikan menjadi 3-7 kategori berdasarkan jarak, waktu, dan perlunya
Metode Gait Cycle Measurement adalah metode pengukuran kemampuan
fungsional berjalan dengan menganalisa: phases of gait cycle, step length, step
period,stride length, cycle time, velocity, cadence, dan stride widht.
2.3.2 Evaluasi Data
Terdapat empat faktor temporal dan distance yang dapat dievaluasi:
Velocity: Jarak total antara heel strikes awal dan akhir dibagi dengan
waktu yang diperlukan menempuh jarak tersebut.
Stride Length: Jarak di antara dua heel strike ipsilateral yang berurutan
Step Length: Jarak di antara dua heel strike kontra lateral yang berurutan. Stride Widht: Jarak antara sisi kanan dan sisi kiri (walking base)
Cadance: Jumlah langkah dalam satu rangkaian berjalan dibagi dengan
waktu yang diperlukan dalam satu rangkaian jalan tersebut
(Whittle, 2003)
Tabel 2.1. Harga Rujukan Gait Cycle Measurement
NO Parameter Males Females Satuan
1 Velocity 1,5 1,5 m/sec
2 Cadance 120 120 steps/min
3 Step Length 83 73 cm
4 Stride Length 150 150 cm
5 Stride Width 5 5 cm
Sumber: Whittle, 2003. Gait Analysis. An Introduction
Tabel 2.1 menggambarkan harga rujukan Gait Cycle Measurement yang
meliputi Velocity 1,5 m/sec, Cadance 120 step/min Step Length untuk laki-laki 83
Tabel di bawah ini menggambarkan perbandingan hasil pengukuran
parameter spatiotemporal pada subjek sehat dan pasien hemiplegi:
Tabel 2.2 Parameter SpatioTemporal Pasien Hemiplegi dan Subjek Sehat
Sumber: Boudarham et al.,2013. PloS ONE 8(6); 1
Tabel ini membandingkan subjek sehat dan pasien hemiplegi dengan
menggunakan pengukuran analisis gait kuantitatif yang meliputi velocity, step
length, cadence, step width, stride length. Dari tabel ini dapat dilihat velocity pada subjek yang sehat 1,26 m/s sedangkan pada pasien hemiplegi 0,78 m/s. Cadence
pada subjek sehat 114 langkah/min sedangkan pada pasien hemiplegi 91
langkah/min. Step length pada subjek sehat 0,65 m sedangkan pasien hemiplegi
0,5 m. Stride length pada subjek sehat 1,32 m sedangkan pasien hemiplegi 1,01 m.
Step width pada subjek sehat 15,5 cm sedangkan pasien hemiplegi 19,3 cm. Kesimpulan dari tabel ini terjadi penurunan velocity, stride length, step length,
2.4 Stroke 2.4.1 Pengertian
Definisi stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal, atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab
lain yang jelas selain vaskular. Stroke atau serangan otak, suatu istilah klinis dari
gangguan fungsi otak yang mendadak, terjadi bila berhenti atau gagalnya pasokan
darah ke otak, atau dapat pula sebagai akibat pecahnya pembuluh darah di otak
(Ranakusuma, 2004).
Pada pasien stroke terjadi berbagai macam defisit pada persepsi, kekuatan
otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan keseimbangan (Yavuzer,
2006). Rehabilitasi keseimbangan pada pasien hemiplegi berkembang buruk.
Bukan hanya kegagalan kontrol motorik yang menyebabkan buruknya
keseimbangan pascastroke. Kontrol keseimbangan meliputi integrasi beberapa
tipe informasi sensorik. Beberapa peneliti berhipotesa bahwa terjadinya gangguan
organisasi informasi sensorik mendasari representasi tubuh yang terdistorsi
terhadap ruang. Hal ini tidak mendukung pemulihan keseimbangan (Bonan et al.,
2004).
Gait hemiparetik dicirikan dengan beberapa defisit spesifik, meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah yang
asimetri (Wright et al., 2013). Setelah stroke, rehabilitasi intensif dilakukan untuk
mengurangi defisit dari kecepatan, efisiensi dan simetri dalam berjalan. Pemulihan
serta untuk mengurangi resiko terjadinya jejas muskuloskeletal ekstremitas bawah
dan hilangnya densitas mineral tulang pada kaki yang paresis (Lewek et al.,
2012).
Perbaikan pascastroke khususnya yang terjadi pada beberapa minggu awal
setelah stroke mencerminkan perbaikan neurotransmission dalam jaringan dekat
dan jauh dari infark atau hemoragik. Beberapa waktu setelah stroke, kemampuan
kognitif, bahasa, ketrampilan motorik dapat meningkat dengan adanya proses
serebral melalui pembelajaran umum. Neuroplastisitas yang diinduksi pengalaman
meliputi eksitabilitas yang lebih besar dan pengerahan neuron-neuron pada kedua
hemisfer otak yang berkontribusi terhadap kinerja, penyebaran dendrit yang
berkomunikasi dengan neuron yang lain dan memperkuat koneksi sinaps (Dobkin,
2005).
Telah dibuktikan bahwa untuk meningkatkan keterampilan motorik spesifik
memerlukan latihan dengan tugas yang relevan pada pasien stroke. Latihan belajar
berjalan tradisional meliputi berjalan dengan alat bantu berjalan esensial / orthosis
yang dikombinasikan dengan petunjuk verbal dan manual. Perangkat rehabilitasi
berjalan tambahan terdiri dari tanda visual/ visual cue, tugas kognitif bersamaan
(contoh: dual tasks), feedback musical, dan/atau stimulasi elektrikal fungsional
(Peurala et al., 2014).
Usaha terdahulu untuk meningkatkan kemampuan jalan dengan
menghasilkan sinyal visual dan auditori buatan menghasilkan sistem open-loop
berpengaruh oleh gerakan pasien, seperti fixed-velocity (seperti treadmill), tanda
visual atau tanda rhythmic auditory (Baram, 2013).
2.4.2 Klasifikasi Stroke
Menurut Hartwig (2005), klasifikasi stroke berdasarkan penyebab antara
lain :
1. Stroke Iskemik
Hampir 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang
terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada
satu sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh
atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas
atau mungkin terbentuk di dalam organ seperti jantung, dan kemudian
dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Beberapa
penyebab stroke iskemik antara lain:
a. Trombosis
1) Aterosklerosis (tersering)
2) Vaskulitits: arteritis temporalis, poliarteritis nodusa
3) Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik)
4) Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel
b. Embolisme
1) Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark
miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung,
katup prostetik, kardiomiopati iskemik
2) Sumber tromboemboli arterosklerotik di arteri: bifurkasio
karotis komunis, arteri vertebralis distal
3) Keadaan hiperkoagulasi: kontrasepsi oral, karsinoma
c. Vasokonstriksi
Vasospasme serebrum setelah Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke. Stroke ini terjadi jika lesi vaskular intra serebrum mengalami
ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau
langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma vaskular
(Berry) dan malformasi arteriovena (MAV).
2.4.3 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya stroke menurut Hadi-Martono (2006) antara lain:
1. Usia, yang merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke
2. Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan faktor resiko
dominan untuk terjadinya baik hemoragik maupun non hemoragik
3. Diabetes melitus
5. Keadaaan hiperviskositas
6. Berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi
atrium), infark miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan
hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi
(endokarditis bakterialis sub akut) dan tumor atrium
7. Koagulasi karena gangguan berbagai komponen darah, antara lain
hiperfibrinogenemia, dan lain-lain
8. Faktor keturunan juga memegang peranan penting dalam epidemiolagi
stroke
2.4.4 Gejala Klinis
Menurut Ranakusuma (2004), manifestasi klinis serangan stroke dapat
berupa:
a) Baal, kelemahan atau kelumpuhan pada wajah, lengan, atau tungkai
sesisi atau kedua sisi dari tubuh
b) Penglihatan tiba-tiba kabur atau menurun
c) Gangguan bicara dan bahasa atau pengertian dalam komunikasi
d) Dizziness, gangguan keseimbangan, atau cenderung mudah terjatuh
e) Kesulitan menelan
f) Sakit kepala yang hebat secara tiba-tiba
2.4.5 Neuroplasticity
Studi yang terkini memperluas pemahaman kita tentang proses yang
mendasari proses pemulihan fungsi motorik setelah stroke. Area motorik bilateral
pada otak mengalami reorganisasi yang luas, meliputi perubahan kekuatan
interaksi inhibisi interhemisfer. Pemahaman kita tentang bentuk reorganisasi yang
berbeda-beda berkontribusi terhadap penguatan proses rehabilitasi, meskipun
masih sangat terbatas, telah menunjukkan kita strategi intervensi untuk
meningkatkan fungsi motorik (Webster et al., 2006).
Setelah terjadi kerusakan iskemik pada area motorik otak, pasien mengalami
beberapa derajat pemulihan spontan, meningkat, sejak ditemukan intervensi yang
diterapkan pada periode akut pascastroke. Lebih dari 50% survival stroke pada
stadium kronik mengalami defisit motorik permanen (Webster et al., 2006).
Pengetahuan tentang plastisitas area korteks setelah stroke menunjukkan
bahwa kerusakan korteks mempunyai potensi mengalami reorganisasi luas.
Diantara mekanisme plastisitas neural yang mungkin mengkontribusi pemulihan
fungsional adalah sprouting dendrite yang terus menerus, formasi sinaps baru,
potensiasi jangka panjang dan depresi jangka panjang. Reorganisasi setelah stroke
mungkin juga terjadi pada area korteks yang tidak rusak mengambil alih fungsi
area otak yang terkena infark. Bentuk reorganisasi yang berbeda mengkontribusi
pemulihan fungsi meliputi diaschisis, peri-infarct reorganization, aktivitas pada
ipsilesional, atau pada hemisfer kontralesional, interaksi interhemisfer, dan
Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan
reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas
merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi
terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf
(neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive), perubahan struktur neuron
saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan
kematangan sistem saraf (Irfan, 2010).
Plastisitas dapat tejadi pada level sinaps, level kortikal dan level sistem.
Reorganisasi sistem saraf dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Diaschisis (neural shock)
Merupakan suatu keadaan hilangnya komunikasi antar neuron
bersifat sementara atau merupakan gangguan laten dari aktivitas neuronal
di dekat area kerusakan. Hal ini dimungkinkan juga oleh karena
menurunnya suplai darah pada neuron.
2. Unmasking:
Merupakan proses yang dapat terjadi antara lain:
a. Denervation supersensitivity b. Silent synapses recruitment
Dalam aktivitas sehari-hari, banyak akson dan sinaps yang tidak
aktif atau belum terlibat dalam menghasilkan gerak. Apabila jalur
utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan digantikan oleh
akson dan sinaps yang tidak aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur
mekanisme homeostatik. Dimana penurunan masukan akan
menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya (Irfan, 2010).
3. Sprouting:
a. Axonal regeneration b. Collateral sprouting
Sifat plastisitas otak ini memiliki keuntungan dan kerugian
dalam hal pemulihan kemampuan gerak dan fungsi pada insan stroke.
Keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya sifat plastisitas yaitu
dimungkinkannya untuk terus dikembangkan, sehingga dengan
metode yang tepat akan menghasilkan pembentukan plastisitas yang
tepat berupa pola gerak normal. Akan tetapi, dapat merugikan jika
metode yang diterapkan tidak tepat karena dengan sifat
plastisitasnya akan terbentuk pola gerak yang tidak normal sesuai
dengan latihan yang diberikan (Irfan, 2010).
2.4.6 Pola Berjalan Pasien Stroke
Pada pasien stroke terjadi lesi pada batang otak atau hemisfer otak
sehingga terjadi tipe berjalan hemiparetik (gait hemiparetik) yaitu terjadinya
spastik pada tungkai, ekstensi dan circumduction (pola jalan melingkar seperti
kerucut) dan fleksi pada tangan. Berhubungan juga dengan terjadinya respon
pada ekstensor plantar, kelemahan tungkai, tangan dan wajah serta terjadinya
hiperrefleks (Salzman, 2010). Terdapat juga berbagai macam defisit pada
persepsi, kekuatan otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan
Gait hemiparetik dicirikan dengan stiff-legged gait (berkurangnya lingkup gerak lutut) dan drop foot (berkurangnya dorsofleksi ankle selama mengayun)
(Yavuzer, 2006). Gait hemiparetik dicirikan juga dengan beberapa defisit spesifik,
meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah
yang asimetri (Wright et al., 2013). Asimetri terjadi pada parameter berjalan
spatiotemporal, kinematik dan kinetik yang berhubungan dengan gangguan
koordinasi motorik (Balasubramanian et al., 2007).
2.5 Visual Cue training ( VCT)
Visual Cue Training (VCT) adalah pelatihan yang menggunakan isyarat visual untuk meningkatkan kontrol gerakan selama berjalan dengan memfasilitasi
pasien untuk memodifikasi panjang langkah berdasarkan informasi visual yang
telah disediakan (Amatachaya et al., 2009).
Visual memegang peranan penting dalam sistem sensorik. Keseimbangan
akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada
titik utama untuk mempertahankan keseimbangan dan sebagai monitor tubuh
selama melakukan gerakan statik atau dinamik. Penglihatan juga merupakan
sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan
memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai
lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika kita menerima sinar
yang berasal dari objek sesuai jarak pandang (Irfan, 2010).
Kenyataan bahwa posisi spatial untuk posisi penempatan kaki yang
diperlukan adalah kunci untuk memahami mengapa adaptasi gait lebih efektif
dapat melihat, terdapat penukaran akurasi kecepatan/speed accuracy trade- off,
yaitu pada saat langkah cepat terjadi kesalahan yang lebih besar dan bervariasi
dibandingkan langkah yang lambat (Reynolds dan Day, 2005).
Pengaturan jalan adalah hal yang penting ketika berjalan pada medan
yang rata ataupun yang tidak rata untuk memperoleh penempatan kaki yang
adekuat sesuai dengan fitur lingkungan setempat seperti rintangan/obstacle dan
target langkah/ stepping target (Houdjik et al., 2012). Pasien hemiplegi
pascastroke memiliki kesulitan dalam menekan input visual yang tidak bisa
diprediksi karena mereka sangat kesulitan mempertahankan keseimbangan ketika
kehilangan visual. Pada kasus konflik visuovestibular, kesulitan tersebut semakin
besar. Beberapa pasien membuktikan ketergantungan yang berlebihan pada input
visual dan tidak dapat menggunakan input somatosensorik dan vestibular dengan
benar (Bonan et al., 2004).
Vision/ penglihatan memainkan peran penting pada semua strategi reaktif, prediktif dan antisipasi karena penglihatan menyediakan informasi
spatiotemporal mengenai tempat terpencil yang sangat tepat (Higuchi, 2013).
Isyarat visual dilakukan dengan menggunakan isyarat visual di atas lantai dengan
step length yang diinginkan untuk membantu inisiasi dan pelaksanaan gait.
Isyarat visual merangsang respon melangkah yang normal selanjutnya
tanpa melihat isyarat tersebut, usaha volunter akan menjaga pasien tidak terjatuh.
Isyarat eksternal mempunyai akses ke kontrol motorik dengan menghindari
(bypass) basal ganglia-SMA loop untuk meningkatkan persiapan gerakan untuk
eksternal membuat langkah yang lebih panjang, juga memfokuskan perhatian
pasien pada berjalan dengan kriteria step length tertentu. Strategi atensi inilah
yang memungkinkan memfasilitasi pola berjalan yang lebih normal dengan
meningkatkan pengaturan motorik sepanjang urutan berjalan (Morris et al., 1996)
2.6 Rhytmic Auditory Stimulation (RAS)
Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) adalah pelatihan yang
menggunakan efek fisiologis irama auditori pada sistem motorik untuk
meningkatkan kontrol gerakan pada aktivitas fungsional, keseimbangan berdiri,
dan pola jalan adaptif pada pasien dengan defisit gait signifikan yang disebabkan
oleh kerusakan neurologis (Thaut et al., 1996).
Berjalan merupakan sebuah tugas rumit yang diatur oleh kontrol hirarkis
dari korteks motor primer, premotor dan korteks motor supplemental, ganglia
basal, cerebellum, batang otak, generator dan umpan balik pola spinal dari sistem
vestibular. Pengaruh isyarat sensorik ritmik dalam berjalan dinamik memiliki
relevansi besar dalam rehabilitasi neurologi. Isyarat auditori memberikan efek
positif terhadap variasi karakter jalan pada pasien dengan penyakit Parkinson,
stroke, dan hemiparesis (Sejdic et al., 2012).
Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) adalah salah satu tipe terapi musik neurologikal yang menggunakan rangsangan sensorik ritmik. RAS mempengaruhi
sistem kontrol motorik otak dan gerakan gait melalui isyarat waktu (timing cues),
sehingga merubah parameter gait pada temporal. Pada pasien dengan gangguan
menurunnya kemampuan sensorik dan motorik, dan yang memiliki feedback
asimetri terhadap kontrol sensorimotor, aktivitas otak akan meningkat sebagai
respon terhadap RAS, gerakan dari bagian tubuh yang paralisis menjadi lebih
normal, dan pola aktivitas otak menjadi lebih halus, yang dapat dibuktikan dengan
gambaran magnetic resonance imaging fungsional dan positron emission
tomograhy (Jung et al., 2012).
Kenyataan bahwa gerakan jasmani yang berirama sering berpasangan
dengan rangsangan akustik eksternal, seperti metronom akustik dan musik,
fenomena ini dikenal sebagai auditory-motor synchronization. Misalnya berdansa
dengan musik, melibatkan sinkronisasi seluruh tubuh dengan alunan musik (beat)
(Bood et al., 2013). Isyarat Akustik dapat meningkatkan gait dengan menciptakan
stable coupling diantara langkah kaki dan alunan musik. Karakteristik berjalan seperti simetri dan irama/ jumlah langkah jalan (cadance) dapat ditargetkan
dengan mengubah interval interbeats rangsangan akustik (Roerdink et al., 2007).
Stimulasi auditori berupa suara alam (Seperti suara burung, ombak, dan
lain-lain) disertai dengan latar belakang musik relaksasi dan meditasi. Stimulasi
auditori dengan gelombang suara melalui nada auditori (auditory tones) dinilai
lebih efektif, murah dan mudah digunakan. Terapi dengan menggunakan musik
telah terbukti efektif dalam rehabilitasi pada pasien pascastroke (Esi dkk., 2012).
Telah dilaporkan bahwa Rhythmic Auditory Stimulation dengan interval tetap
antara 1-2 detik efektif untuk meningkatkan lokomosi pasien parkinson dan
Elemen kunci RAS adalah fenomena penyelarasan auditori, yaitu
kemampuan tubuh menyinkronkan gerakannya secara ritmis. Aktivitas auditori
eksternal dimediasi oleh pembentukan persepsi internal dibawah sadar pada level
subkortikal dan dapat menaikkan dan membangkitkan kepekaan neuron motorik
spinal yang diperantarai oleh sirkuit auditory-motor pada level retikulospinal.
Tubuh manusia adalah makhluk yang kreatif dan banyak akal. Komponen otak
bervariasi yang tidak terhubung hanya dengan satu jalur, sehingga otak tidak
berhenti bekerja total ketika satu bagian rusak atau cedera. Ketika satu bagian otak
tidak berfungsi dengan baik, otak menemukan jalan kompensasi untuk fungsi
yang disepakati. RAS digunakan untuk membantu meregulasi sistem kontrol
motorik dengan menstimulasi fungsi otak lower level dari basal ganglia,
cerebellum, batang otak, medulla spinalis untuk pasien Parkinson dan penyakit
lainnya (Kwak, 2007).
RAS adalah pilihan yang menjanjikan karena aplikasi irama dapat
mengorganisasi gait seseorang dan meningkatkan pola berjalan. Latihan RAS
menguntungkan karena tidak mempunyai efek samping dan lebih hemat biaya jika
dibandingkan terapi yang lain, dan dapat digunakan bersama dengan modalitas
terapi yang lain, atau terapi independen karena merupakan prosedur yang
noninvasif (Kwak, 2007).
2.7. Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien Pascastroke
Berikut tabel perbandingan teknik penatalaksanaan VCT dan RAS pada
Tabel 2.4 Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien stroke No Visual Cue Training (VCT) Rhythmic Auditory Stimulation (RAS)
1 Memberikan stimulasi pada
Visual/Penglihatan Memberikan stimulasi pada
Auditori/Pendengaran
2 Menggunakan Strip pada
Lantai sebagai Isyarat Visual
Menggunakan Irama sebagai Isyarat auditori
3 Penyesuaian Panjang
langkah/Spatial Adjustment
Penyesuaian Tempo Langkah/Temporal Adjusment
Sumber : disadur dari Amatacaya (2009) dan Jung (2012)
Tabel 2.4 menjelaskan perbedaan antara pelatihan VCT dengan RAS. VCT
memberikan stimulasi pada visual, sedangkan RAS pada pendengaran. VCT
menggunakan strip pada lantai, sedangkan RAS menggunakan irama. VCT