• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING TIDAK

BERBEDA DALAM MENINGKATKAN

KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL

BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC

AUDITORY STIMULATION PADA PASIEN

PASCASTROKE

JERRY MARATIS NIM 1390361006

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING TIDAK

BERBEDA DALAM MENINGKATKAN

KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL

BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC

AUDITORY STIMULATION PADA PASIEN

PASCASTROKE

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga, Program Pascasarjana Universitas Udayana

JERRY MARATIS NIM 1390361006

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 02 JULI 2015

Pembimbing I,

Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH, Ph.D NIP. 19430215196021001

Pembimbing II,

Muhammad Irfan, S.Ft, SKM, M.Fis NIDN. 0302037701

Mengetahui

Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Dr. dr. Susy Purnawati, M.K.K, AIFO NIP. 196809291999032001

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 195902151985102001

(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 2 Juli 2015

Panitia Penguji Tesis Ini Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 1911/ UN. 14.4/ HK/ 2015, Tanggal 1 Juli 2015

Ketua : Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH, Ph.D

Sekretaris : Muhammad Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis

Anggota :

1. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro

2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH, AIFO

(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Jerry Maratis

NIM : 1390361006

Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi

Judul Tesis : Pelatihan Visual Cue Training Tidak Berbeda dalam Meningkatkan Keseimbangan Berdiri dan Fungsional Berjalan Daripada Rhytmic Auditory Stimulationpada Pasien Pascastroke

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Mei 2015

Pembuat pernyataan

Jerry Maratis

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat

rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis. Tesis ini berjudul “Pelatihan Visual Cue Training Tidak Berbeda dalam Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Dan Fungsional Berjalan daripada Pelatihan Rhytmic

Auditory Stimulationpada Pasien Pascastroke” dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai derajat Magister Fisiologi Olahraga pada Program Studi

Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH, Ph.D

sebagai Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan

dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program

magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya

pula penulis sampaikan kepadaBapak Muhammad Irfan S.Ft, SKM, M.Fis sebagai

Pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan

bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

Pascasarjana di Universitas Udayana Denpasar. Ucapan terima kasih ini juga

ditujukan kepada direktur program Pascasarjana Universitas Udayana yang

(7)

vii

ucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Susy Purnawati, M.KK, AIFO , ketua

Program Studi Magister Fisiologi Olahraga atas ijin yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu

. Dr.dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M. OH,

AIFO dan S. Indra Lesmana, SKM, SST.Ft, M.Or, yang telah memberikan

masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti

ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing

penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan

terima kasih kepada Ibu dan Ayah yang telah mengasuh dan membesarkan

penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga

tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis

sampaikan terima kasih kepada Istri tercinta, Nasriah Damayanthie, serta

Syarifah, anak tersayang, yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan

kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada

semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta

kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, 7 Juli 2015

(8)

viii

ABSTRAK

PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING TIDAK BERBEDA DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL

BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC AUDITORY

STIMULATIONPADA PASIEN PASCASTROKE

Stroke merupakan gangguan fungsional otak lokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan perdarahan darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan perbandingankeseimbangan berdiri dan kemampuan fungsional berjalan pada pelatihan Visual Cue Training (VCT) dan Rhythmic Auditory Stimulation (RAS).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian pre-test and post-test control group design. Jumlah sampel kelompok pertama sebesar 11 pasien diberikan pelatihan Visual Cue Training (VCT)selama 20 menit, sedangkan pada kelompok kedua sejumlah 11 pasien diberikan pelatihan Rhythmic Auditory Stimulation (RAS) selama 20 menit. Penelitian dilakukan dalam periode waktu selama 2 bulan. Setiap pasien diajarkan berbagai kemampuan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan sesuai dengan konsep panduan operasionalnya. Tes pengukuran keseimbangan berdiri menggunakan Single Limb Stance Test (SLST) dan tes kemampuan fungsional berjalan menggunakan Gait Cycle Measurement .

Hasil penelitian diketahui setelah melakukan uji normalitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri perlakuan VCT = 0,172, perlakuan RAS = 0,498, pada fungsional berjalan perlakuan VCT = 0,148, perlakuan RAS = 0,555, menyatakan distribusi datanya normal (p>0,05). Untuk uji homogenitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri = 0,882, pada fungsional berjalan = 0,359, menyatakan distribusi homogen (p>0,05). Untuk uji komparasi dengan Independent t-testyang menunjukkan pada rerata±SB post-test keseimbangan berdiri pada perlakuan VCT (3,36±0,647) dan pada perlakuan RAS (2,82±0,603) dengan nilai p = 0,829. Pada rerata±SB post-test kemampuan fungsional berjalan pada perlakuan VCT (46,64±9,77) dan pada perlakuan RAS (41,18±6,306) dengan nilai p = 0,308, menyatakan tidakadanya perbedaan yang signifikan (p>0,05)antara pelatihan Visual Cue Training dan pelatihan Rhythmic Auditory Stimulation pada pasien pascastroke.

Disimpulkan bahwa pelatihan Visual Cue Training (VCT)tidak ada perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan daripada pelatihanRhythmic Auditory Stimulation (RAS)pada pasien stroke.

Kata kunci: Stroke, keseimbangan berdiri, kemampuan fungsional berjalan, Visual Cue Training (VCT), Rhythmic Auditory Stimulation (RAS), Single Limb Stance Test (SLST), Gait Cycle Measurement.

(9)

ix

ABSTRACT

VISUAL CUE TRAINING EXERCISE WAS NOT DIFFERENT WITH RHYTHMIC AUDITORY STIMULATION EXERCISE ININCREASING

STANDING BALANCE AND FUNCTIONAL GAIT AMONG STROKE PATIENTS

Stroke is a functional disorder of the brain, local or global acute, more than 24 hours, came from disorders of brain flow and not caused by transient ischemic attack, brain tumor, secondary stroke, trauma or infection.The purpose of this study is to know the comparison of both exercise.

This study uses an experimental research with pre-test and post-test control group design. Number of samples of the first group is 11 patients given Visual Cue Training (VCT) exercise for 20 minutes , while the second group 11 patients were given Rhythmic Auditory Stimulation (RAS) exercise for 20 minutes. The research was conducted in 2 month period time. Each patient is taught a variety of standing balance and functional gait ability in accordance with the operational concept guidance. Measuring test standing balance is using Single Limb Stance Test (SLST) and functional gait is using Gait Cycle Measurement (GCM).

The result revealed after normality test pre-test exercise on standing balance exercise VCT = 0.172, exercise RAS = 0.498, in the exercises of functional walking bility exercise VCT = 0.148, exercise RAS = 0.555, indicating normal data distribution (p> 0.05). For homogeneity test before exercise on standing balance =0.882, the functional ability to walk = 0.359, indicating homogeneous distribution (p> 0.05). For a comparison test with Independent t-test that shows the mean ± SB standing balance post-test exercise of VCT (3.36 ± 0.647) and in the exercise of RAS (2.82 ± 0.603), with p = 0.829. In the mean ± SB post-test of fuctional walking ability VCT exercise (46.64 ± 9.77) and the exercise of RAS (41.18 ± 6.306) with p = 0.308, indicating the absence of a significant difference (p>0.05) between VCT and RAS in improving the standing balance and functional walking ability in poststroke patients. All of these showedno significant difference (p>0,05) between Visual Cue Tarining and Rhythmic Auditory Stimulation exercise in improving the standing balance and functional ability in poststroke patients.

It was concluded that the Visual Cue Training exercise was no different with Rhythmic Auditory Stimulation exercise in increasing standing balance and functional gait among stroke patients.

Keywords : Stroke, standing balance, functional gait, Visual Cue Training (VCT) , Rhythmic Auditory Stimulation (RAS), Single Limb Stance Test (SLST), Gait Cycle Measurement (GCM).

(10)

x

RINGKASAN

PELATIHANVISUAL CUE TRAINING TIDAK BERBEDA DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN BERDIRI DAN FUNGSIONAL

BERJALAN DARIPADA PELATIHAN RHYTMIC AUDITORY

STIMULATIONPADA PASIEN PASCASTROKE

Keseimbangan berdiri adalah kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan dalam keadaan statis, dengan menggunakan aktivitas otot yang minimal. Keseimbangan berdiri merupakan prasyarat untuk banyak aktivitas fungsional seperti mobilitas dan penghindaran terhadap jatuh. Fungsional berjalan adalah berjalan dengan kemampuan memenuhi tuntutan tugas yang kompleks dan tuntutan lingkungan, baik pada indoors ataupun outdoors. Pelatihan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan diantaranya dengan pelatihan Visual Cue Trainingdan Rhythmic Auditory Stimulation. Pelatihan Visual Cue Trainingmenggunakan isyarat visual untuk meningkatkan kontrol gerakan selama berdiri dan berjalan dengan memfasilitasi pasien untuk memodifikasi panjang langkah berdasarkan informasi visual yang telah disediakan dengan intensitas disesuaikan kemampuan pasien. Pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation(RAS) menggunakan isyarat auditori untuk meningkatkan kontrol gerakan selama berjalan dengan memfasilitasi pasien memodifikasi waktu melangkah berdasarkan informasi auditori yang digunakan dengan intensitas disesuaikan kemampuan pasien.Penelitian ini bertujuan untuk membuktikanpelatihanVisual Cue Training (VCT)lebih baik dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan daripada pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation (RAS)pada pasien pascastroke.

Tahapan pertama penelitian meliputi tahapan persiapan dan administrasi dengan mempersiapkan surat persetujuan penelitian, jadwal pelaksanaan, mempersiapkan bahan, alat ukur dan instrumen. Tahap kedua adalah tahap penentuan populasi dan pemilihan sampeldengan melakukan seleksi terhadap sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Tahap ketiga adalah tahap pengukuran pertama atau tes awal dengan mengukur skor keseimbangan berdiri menggunakan Single Limb Stance Test dan skor fungsional berjalan dengan menggunakan Gait Cycle Measurement. Tahap berikutnya adalah tahap pelatihan Visual Cue Training dan Rhythmic Auditory Stimulation. Pelatihan dilakukan selama 6 minggu. Tahap terakhir adalah tahap pengukuran kedua atau tes akhir dengan mengukur kembali skor keseimbangan berdiri menggunakan Single Limb Stance Test dan skor fungsional berjalan dengan menggunakan Gait Cycle Measurement setelah pasien mendapat pelatihan.

Hasil penelitian diketahui setelah melakukan uji normalitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri perlakuan VCT = 0,172, perlakuan RAS =

(11)

xi

0,498, pada fungsional berjalan perlakuan VCT = 0,148, perlakuan RAS = 0,555,menyatakan distribusi datanya normal (p>0,05). Untuk uji homogenitas sebelum perlakuan pada keseimbangan berdiri = 0,882, pada fungsional berjalan = 0,359, menyatakan distribusi homogen (p>0,05). Untuk uji komparasi dengan Independent t_test yang menunjukkan pada rerata±SB setelah perlakuan keseimbangan berdiri perlakuan VCT (3,36±0,647) dan pada perlakuan RAS (2,82±0,603)dengan nilai p = 0,829. Pada rerata±SB setelah perlakuan fungsional berjalan perlakuan VCT (46,64±9,77) dan pada perlakuan RAS (41,18±6,306) dengan nlai p = 0,308, menyatakan tidakadanya perbedaan signifikan (p>0,05) antara pelatihan VCT dan RAS dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan kemampuan fungsional berjalan pada pasien pascastroke.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelatihan Visual Cue Training (VCT)tidak berbeda signifikan dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalandaripada pelatihanRhythmic Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke.

(12)

xii

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

RINGKASAN………x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Keseimbangan Berdiri ... 9

2.1.1 Pengertian ... 9

2.1.2 Single Limb Stance Test ... 10

2.2Fungsional Berjalan... 10

2.2.1 Pengertian ... 10

2.2.2 Siklus Berjalan ... 11

2.3Gait Cycle Measurement ... 16

2.3.1 Pengertian ... 16 2.3.2 Evaluasi Data ... 17 2.4Stroke ... 19 2.4.1 Pengertian ... 19 2.4.2 Klasifikasi Stroke ... 21 2.4.3 Faktor Resiko ... 22 2.4.4 Gejala Klinis ... 23 2.4.5 Neuroplasticity ... 24

2.4.6 Pola Berjalan Pasien Stroke ... 26

2.5Visual Cue Training ... 27

2.6Rhytmyc Auditory Stimulation ... 29

2.7Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien Pascastroke... 31

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 33

(13)

xiii

3.2 Konsep Penelitian ... 36

3.3Hipotesis Penelitian ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 38

4.2 Lokasi dan waktu Penelitian ... 39

4.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ... 39

4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian ... 40

4.4.1 Variabilitas Populasi ... 40

4.4.2 Kriteria Subjek ... 40

4.4.3 Besaran Sampel ... 42

4.4.4 Teknik Penentuan Sampel ... 44

4.5 Variabel Penelitian ... 44

4.5.1 Identifikasi dan KlasifikasiVariabel ... 44

4.5.2 Definisi Operasional Variabel ... 45

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian ... 47

4.7 Prosedur Penelitian ... 48

4.7.1 Tahap Persiapan dan Administrasi ... 48

4.7.2 Tahap Penentuan Populasi dan Pemilihan Sampel ... 49

4.7.3 Tahap Pengukuran Pertama atau Tes Awal ... 50

4.7.4 Tahap Pelatihan ... 51

4.7.5 Tahap Pengukuran Kedua atau Tes Akhir ... 55

4.8 Metode Pengukuran Parameter Jalan dengan Inked-Footprint ... 55

4.8.1 Alat-Alat yang Diperlukan ... 56

4.8.2 Langkah Pengukuran ... 56

4.8.3 Menghitung dan Mencatat Hasil Pengukuran ... 57

4.9 Metode Penetapan Dosis VCT dan RAS... 60

4.9.1 Pada Pelatihan dengan VCT ... 60

4.9.2 Pada Pelatihan dengan RAS ... 60

4.10 Analisis Data Peneltian ... 61

4.11 Alur Penelitian... 64

BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 65

5.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian ... 65

5.2 Hasil pengukuran Mingguan SLST & GCM... 69

5.3 Uji Normalitas ... 73

5.4 Uji Homogenitas ... 74

5.5Uji Hipotesis Keseimbangan Berdiri dan Kemampuan Berjalan ... 75

5.5.1 Peningkatan Keseimbangan Berdiri ... 75

5.5.2 Peningkatan Kemampuan Fungsional Berjalan ... 76

BAB VI PEMBAHASAN ... 76

6.1 Karakteristik Sampel ... 77

6.2 Pelatihan VCT dan Pelatihan RAS Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Pasien Pascastroke ... 78

6.3 Pelatihan VCT dan Pelatihan RAS Meningkatkan Kemampuan Fungsional Berjalan pada Pasien Pascastroke ... 79

(14)

xiv

6.4 Pelatihan VCT Tidak Berbeda Signifikan dengan Pelatihan RASdalam Meningkatkan Keseimbangan Berdiri dan Kemampuan Fungsional

Berjalan pada Pasien Pascastroke ... 82

6.5 Pelatihan VCT Tidak Berbeda Signifikan dalam Meningkatkan Kemampuan Fungsional Berjalan daripada Pelatihan RAS pada Pasien Pascastroke ... 84

6.6 Kelemahan Penelitian ... 85

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 86

3.1 Simpulan... 86

3.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skema Fase Berjalan ... 12

(15)

xv

Gambar 3.1 Konsep Penelitian ... 36

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 38

Gambar 4.2 Contoh Visual Cue Training ... 53

Gambar 4.3 Metoda Inked-Footprint ... 58

Gambar 4.4 Contoh Footprint dan Kertas Pengukuran ... 58

Gambar 4.5 Footprint yang Telah Siap Dihitung ... 59

Gambar 4.6 Alur Penelitian ………..……... 64

Gambar 5.1 Hasil pengukuran Mingguan SLST Pelatihan VCT………..69

Gambar 5.2 Hasil Pengukuran Mingguan SLST Pelatihan RAS………..70

Gambar 5.3 Hasil Pengukuran Mingguan GCM Pelatihan VCT………..71

Gambar 5.4 Hasil Pengukuran Mingguan GCM Pelatihan RAS………..71

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Harga Rujukan Gait Cycle Measurement ... 17

(16)

xvi

Tabel 2.3 Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan

Pasien Stroke……….……….32

Tabel 4.1 Form Hasil Pengukuran Analisis Gait ... 59

Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Karakteristik Subjek Penelitian………66

Tabel 5.2 Data Kategorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian………67

Tabel 5.3 Data Kategorik Riwayat Sakit Karakteristik Subjek Penelitian…….68

Tabel 5.4 Hasil Rerata Keseimbangan Berdiri pada Perlakuan VCT & RAS…72 Tabel 5.5 Hasil Rerata Fungsional Berjalan pada Perlakuan VCT & RAS……72

Tabel 5.6 Uji Normalitas Keseimbangan Berdiri ( SLST)………..73

Tabel 5.7 Uji Normalitas Fungsional Berjalan (GCM)………...74

Tabel 5.8 Uji Homogenitas Keseimbangan Berdiri………74

Tabel 5.9 Uji Homogenitas Fungsional Berjalan………75

Tabel 5.10 Uji Independent t-test Keseimbangan Berdiri………..…75

Tabel 5.11 Uji Independent t-test Fungsional Berjalan………..…76

DAFTAR SINGKATAN

ADL : Activity Daily Living

(17)

xvii BOS : Base of Support

CCTV : Closed Circuit Television

CPG : Central Pattern Generator

GCM : Gait Cycle Measurement

MAV : Malformasi Arteriovena

MMSE : Mini Mental Status Evaluation

MMT : Manual Muscle Test

NIHSS : National Institute of Health Stroke Scale

PSA : Perdarahan Sub Arachnoid RAS : Rhythmic Auditory Stimulation

SD : Stride Length

SLST : Single Limb Stance Test

SMA : Supplementary Motor Area

SSP : Susunan Saraf Pusat

ST : Step Length

VCT : Visual Cue Training

WHO : World Health Organization

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran Form Informed Consent

(18)

xviii 3. LampiranForm MMSE

4. Lampiran NIHSS

5. Lampiran BBS

6. Lampiran MMT

7. Lampiran Lembar Pengumpulan Data Keseimbangan berdiri

8. Lampiran Lembar Pengumpulan data GCM

9. Lampiran Tabulasi Data Hasil penelitian

(19)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi menuju ke penyakit

degeneratif dan traumatik menyebabkan prevalensi serangan stroke dari tahun ke

tahun semakin meningkat. Dampak lain dari tingginya prevalensi serangan stroke

adalah meningkatnya individu yang mengalami gangguan gerak dan fungsi

termasuk gangguan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan.

Stroke adalah gangguan fungsional otak lokal maupun global akut, lebih

dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh

gangguan perdarahan darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena

trauma maupun infeksi (Setyopranoto, 2011). Stroke adalah penyebab utama

disabilitas berkepanjangan yang disebabkan oleh kerusakan sel otak karena

adanya hambatan suplai darah ke otak ataupun perdarahan pada jaringan otak

(Eng et al., 2007).

Stroke merupakan penyebab kematian nomer 3 setelah penyakit jantung

koroner dan kanker di negara berkembang. Saat ini, terdapat 15 juta jiwa di dunia

menderita stroke, di antaranya 5 juta meninggal dan 5 juta lainnya menderita

disabilitas permanen dan menjadi beban keluarga dan masyarakat (Mackay &

Mensah, 2004).

Menurut data Riskesdas (2013), prevalensi stroke berdasarkan diagnosis

tenaga kesehatan dan gejala di Indonesia sebesar 12,1 per 1000 penduduk.

(20)

Prevalensi stroke tertinggi di Sulawesi Utara sebesar 17,9 per 1000 penduduk,

diikuti DI Yogyakarta sebesar 16,9 per 1000 penduduk. Bangka Belitung dan DKI

Jakarta masing-masing 14,6 per 1000 penduduk. Prevalensi stroke sama tinggi

pada laki-laki dan perempuan, meningkat dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥ 75 tahun sebesar 43,1 per 1000 penduduk (Kemenkes RI, 2013).

Disfungsi motorik adalah masalah persisten dan yang paling sering

ditemukan dalam terapi pascastroke. Pemulihan fungsi motorik adalah penekanan

utama pada hampir semua usaha rehabilitasi pasien stroke. Defisit motorik

dicirikan dengan hemiparesis adalah manifestasi umum stroke hemisfer serebral

yang mengenai distribusi vaskuler arteri serebral media. Outcomes yang paling

diinginkan dari rehabilitasi adalah perbaikan fungsi ambulasi karena menentukan

besar derajat status pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari/ADL dan

berhubungan dengan kualitas hidup (Thaut et al., 1997).

Keseimbangan berdiri merupakan hal yang penting dalam mobilitas dan

pencegahan jatuh. Gangguan keseimbangan umumnya menimpa populasi yang

multiple dan menyebabkan hilangnya kualitas hidup yang sehat pada masyarakat yang menderita stroke, trauma otak, arthritis dan 75% usia lanjut. Pelatihan dapat

meningkatkan keseimbangan yang berhubungan dengan meningkatnya mobilitas

dan berkurangnya resiko jatuh (Sibley et al., 2015)

Berjalan pada aktivitas fungsional manusia terdiri atas mekanisme

melangkah (gait). Gait dapat diartikan sebagai pola atau ragam berjalan di mana

(21)

yang terkait dengan sendi dan otot. Dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase

menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing fase). Fase menapak dimulai

dari heel strike/ heel on, foot flat, mid stance , heel off dan diakhiri dengan toe off.

Sedangkan pada fase mengayun dimulai dari toe off, swing dan diakhiri dengan

heel strike (accelerasi, mid swing, decelerasi) (Irfan, 2010).

Istilah fungsional berjalan digunakan untuk mencerminkan flexible gait,

yaitu berjalan dengan kemampuan memenuhi tuntutan tugas yang kompleks dan

tuntutan lingkungan, baik pada indoors ataupun outdoors. Fungsional berjalan

dapat pula didefinisikan sebagai berjalan di bawah kondisi dan lingkungan yang

kompleks (Lord dan Rochester, 2007).

Kemampuan berjalan dapat dievaluasi secara kualitatif atau kuantitatif

dengan menggunakan uji laboratorium dan klinik (Yavuzer, 2006). Dalam

penelitian kali ini peneliti menggunakan pengukuran Gait Cycle Measurement

yang meliputi: phases of gait cycle, step length, step period, stride length, cycle

time, velocity, cadence dan stride widht.

Terapis harus mencari rute alternatif untuk membantu pasien

membangkitkan pola gerakan yang optimal. Informasi eksternal diterapkan untuk

meningkatkan kontrol gerak. Pada umumnya dapat digunakan isyarat visual dan

auditori. Isyarat- isyarat ini memfasilitasi pasien untuk memodifikasi gerakan

mereka berdasarkan informasi yang disediakan. Isyarat visual diterapkan untuk

menyediakan penyesuaian spasial/ spatial adjustment (panjang langkah),

(22)

adjustment (cadence). Penggunaan isyarat-isyarat tersebut memungkinkan pasien untuk meningkatkan kecepatan berjalan (Amatachaya, 2009).

Salah satu bentuk terbaru gait therapy adalah Rhytmic Auditory

Stimulation (RAS) yang melibatkan penggunaan isyarat sensorik berirama dari sistem motorik. RAS berdasar atas model sinkronisasi gelombang (entrainment).

Isyarat auditori berirama menyinkronkan respon motorik menjadi keterhubungan

waktu yang stabil, mirip dengan model oscillator coupling. Irama berfungsi

sebagai referensi waktu antisipatif dan berkesinambungan dimana gerakan

dipetakan dalam model (template) sementara yang stabil. Mekanisme

penyelarasan gerakan cepat fisiologis antara irama auditori dan respon motorik

berfungsi sebagai mekanisme coupling untuk menstabilkan dan meregulasi pola

berjalan (Thaut et al., 2007).

Pola suara ritmik dapat meningkatkan kepekaan neuron motor spinal

melalui jalur retikulospinal sehingga mengurangi waktu yang dibutuhkan otot

berespon terhadap perintah motorik yang diberikan (del Olmo dan Cudeiro,

2003). Rhytmic Auditory Stimulation menyebabkan perbaikan dalam kecepatan,

ketepatan, kelancaran gerakan halus dan kemampuan motorik kasar pada pasien

stroke. Terapi musik memberikan efek positif pada mood pasien stroke. Rhytmic

Auditory Stimulation dapat meningkatkan kemampuan berjalan, fleksibilitas, dan juga performa fungsi motorik pada paresis ekstremitas atas (Kall et al., 2012).

Berdasarkan penelitian Roerdink et al.(2007), irama adalah elemen

(23)

auditori berirama memfasilitasi gerakan dengan memberikan perencanaan gerak

(Cha et al., 2014). Penelitian Limyati et al., menunjukkan latihan stimulasi ritmik

sistem pendengaran (SRSP) dibandingkan degan latihan konvensional lebih baik

dalam meningkatkan pola dan kemampuan berjalan pada pasien hemiparesis

pascastroke (Limyati et al., 2012).

Pendekatan neurologi yang diidentifikasi paling menjanjikan untuk

menghasilkan pola koordinasi gait normal yaitu dengan menggunakan isyarat

auditori sebagai tujuan gerakan ekstrinsik. Walaupun ada indikasi jika stroke

survivors dapat memperoleh koordinasi gait sebagai respon terhadap isyarat auditori, beberapa penelitian telah menunjukkan jika isyarat visual lebih efektif

dalam memicu penyesuaian gait partisipan sehat untuk berjalan lurus. Informasi

visual merupakan sumber informasi yang paling baik digunakan dalam

mengontrol jalan dan tampaknya ketergantungan pada penglihatan untuk

mempertahankan stabilitas dinamik meningkat pascastroke (Hollands et al.,

2013).

Berdasarkan hal tersebut di atas yang didukung dengan hasil penelitian

sebelumnya maka peneliti mencoba mengambil topik tentang “Pelatihan Visual

Cue Training Lebih Baik dalam Meningkatkan Keseimbanganan Berdiri dan Kemampuan Fungsional Berjalan daripada Pelatihan Rhytmic Auditory

(24)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan

masalah penelitian ini yaitu :

1. Apakah Pelatihan Visual Cue Training (VCT) lebih baik dalam

meningkatkan keseimbangan berdiri daripada Pelatihan Rhytmic

Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke?

2. Apakah Pelatihan Visual cue Training (VCT) lebih baik dalam

meningkatkan fungsional berjalan daripada Pelatihan Rhytmic

Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan

tujuan penelitian ini:

1. Untuk membuktikan pelatihan Visual Cue Training (VCT) lebih baik

dalam meningkatkan keseimbangan berdiri daripada pelatihan Rhytmic

Auditory Stimulation (RAS) pada pasien pascastroke.

2. Untuk membuktikan pelatihan Visual Cue Training (VCT) lebih baik

dalam meningkatkan fungsional berjalan daripada pelatihan Rhytmic

(25)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik

Manfaat Akademik penelitian ini adalah :

1. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,

mengidentifikasi dan mengembangkan teori-teori yang didapat dari

perkuliahan dan Evidence-Based Practice dari para peneliti.

2. Memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu

fisioterapi yang dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut,

khususnya tentang Visual Cue Training (VCT) meningkatkan

keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan lebih baik daripada

Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) pada Pasien Pascastroke.

1.4.2 Manfaat praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini dapat mengungkapkan seberapa baik Pelatihan

Visual Cue Training (VCT) meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan daripada Pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation

(RAS) pada pasien pascastroke

2. Dengan mengetahui hal-hal yang diteliti tersebut dapat diambil

langkah-langkah yang lebih spesifik dan efisien dalam meningkatkan

keseimbangan berdiri dan fungsional berjalan pada pasien pascastroke

dengan optimal. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan

penelitian tentang manfaat pelatihan Visual Cue Training (VCT) dan

(26)

1.4.2 Bagi peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah :

1. Memperoleh satu tambahan tentang kajian manfaat pelatihan Visual

Cue Training (VCT) dan pelatihan Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) dalam meningkatkan keseimbangan berdiri dan fungsional

berjalan pada pasien pascastroke.

2. Mendapatkan wawasan serta pengalaman dalam melakukan penelitian,

sehingga hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk penelitian

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Keseimbangan Berdiri 2.1.1 Pengertian

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam

posisi kesetimbangan dalam keadaan statis atau dinamis, dengan menggunakan

aktivitas otot yang minimal. Gangguan keseimbangan pada stroke berhubungan

dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan

kemampuan gerak otot yang menurun sehingga keseimbangan tubuh menurun.

Pasien stroke berusaha membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol

postur mereka (Darmawan, 2014).

Keseimbangan berdiri adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat

massa tubuh berada dalam Base of Support/ Bidang Tumpu. Keseimbangan

berdiri merupakan prasyarat untuk banyak aktivitas fungsional seperti mobilitas

dan penghindaran terhadap jatuh (Sibley et al., 2015).

Gangguan keseimbangan terutama saat berdiri tegak merupakan akibat

stroke yang paling mempengaruhi aktivitas. Hilangnya fungsi sensorik dan

motorik, kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak mengakibatkan

gangguan keseimbangan fungsi yang hilang akibat gangguan kontrol motorik

pada pasien pascastroke mengakibatkan hilangnya koordinasi dan hilangnya

merasakan kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu (Darmawan, 2014).

(28)

2.1.2 Single Limb Stance Test (SLST)

Single Limb Stance Test adalah metode yang sederhana, mudah dan efektif untuk skrining gangguan keseimbangan pada populasi dewasa. Siklus berjalan

membutuhkan dukungan berdiri satu kaki yang besar dalam mempertahankan pola

berjalan yang normal. Ketika siklus dinamik terganggu, hilangnya keseimbangan

dapat menyebabkan terjatuh. SLST mengukur stabilitas postural (keseimbangan

berdiri). Realibilitas SLST baik karena mempunyai intraclass corellation

coefficients (ICC). ICC rangenya 0,73-0,93. Pada tes ini pasien diinstruksikan berdiri dengan satu kaki tanpa penyangga. Pasien memulai tes dengan mata

terbuka menghadap fokus ke depan (Lewis et al., 2006).

2.2 Fungsional Berjalan 2.2.1 Pengertian

Istilah fungsional berjalan digunakan untuk mencerminkan flexible gait,

yaitu berjalan dengan kemampuan memenuhi tuntutan tugas yang kompleks dan

tuntutan lingkungan, baik pada indoors ataupun outdoors. Fungsional berjalan

dapat pula didefinisikan sebagai berjalan di bawah kondisi dan lingkungan yang

kompleks (Lord dan Rochester, 2007).

Berjalan adalah cara yang paling mudah untuk melakukan perjalanan

jarak dekat. Mobilitas sendi yang bebas dan kekuatan otot yang tepat

meningkatkan efisiensi jalan. Ketika tubuh bergerak ke arah depan, satu kaki

secara khusus menyangga sedangkan kaki lainnya maju dan mempersiapkan untuk

(29)

Righting reaction yaitu untuk memelihara dan mempertahankan posisi normal kepala yang berhubungan trunk dengan menormalkan alignment trunk dan

limbs sedangkan equilibrium reaction memelihara keseimbangan pada waktu

aktivitas terutama pada saat melawan gravitasi dan akan banyak membutuhkan

kontrol inhibisi pada level tinggi untuk timbal balik dari bagian perubahan pola

gerakan (Irfan, 2010)

2.2.2 Siklus Berjalan (Gait Cycle)

Berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing fase). Ada pula yang menambahkan satu fase lagi yaitu fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan jalan bertambah, bahkan pada berlari fase double support ini sama sekali hilang, dan justru terjadi fase di mana ke dua kaki tidak menginjak lantai (Irfan, 2010)

Fase menapak (60%) dimulai dari heel strike/heel on, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan toe off. Sedangkan pada fase mengayun (40%) dimulai dari toe off, swing dan diakhiri dengan heel strike (accelerasi, mid swing, decelerasi).

(30)

Gambar 2.1. Skema fase berjalan

Sumber: Irfan, 2010

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa pada aktivitas jalan, maka periode di

mana tubuh ditopang oleh satu kaki lebih dominan dibandingkan dengan periode

menapak pada dua kaki. Dengan demikian, maka kemampuan berjalan seseorang

sangat ditentukan oleh kemampuan mempertahankan tubuh pada Base of Support

(BOS) yang sempit yaitu pada area satu buah telapak kaki (Irfan, 2010).

Menurut terminologi Rancho Los Amigos yang dikutip dari Irfan (2010)

dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu:

1. Stance phase adalah fase menumpu, atau fase di mana bagian tubuh (kaki)

bersentuhan dengan lantai. Stance phase memberikan stabilitas untuk gait

cycle dan penting untuk swing phase yang benar. Pada fase ini terdapat beberapa tahapan.

Tahapan-tahapan yang terjadi pada stance phase antara lain:

a. Initial contact (interval: 0-2%)

Fase ini merupakan momen ketika tumit menyentuh lantai. Initial

contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini, menentukan pola

(31)

loading response. Menyentuhnya tumit dengan lantai membuat bayangan yang mengindikasikan tungkai yang akan bergerak.

Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari terminal stance.

Fase ini merupakan momen seluruh centre of gravity (COG) berada

pada tingkat terendah dan seseorang pada tingkat yang paling stabil.

Pada periode ini anggota bawah yang lain juga menyentuh lantai

sehingga terjadi posisi double stance.

Pada fase ini sendi panggul membentuk sudut aproksimasi 30° fleksi

dengan aktivasi otot gluteus maximus, hamstrings, adductor magnus.

Pada sendi lutut membentuk ekstensi penuh atau relative 2-5ᵒ fleksi

dengan aktivasi otot quadriceps untuk mengontrol sendi lutut. Pada

sendi pergelangan kaki membentuk sudut netral 90° dengan

mengaktivasi otot-otot pretibial (m. tibial anterior, m. ekstensor

hallucis longus dan m. ekstensor digitorum longus) untuk mengontrol plantar fleksi.

b. Loading response ( Interval: 0-10%)

Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase dilakukan

dengan permulaan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang

lain mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah ke depan

pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock

absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan menyentuh dengan lantai. Sedangkan tungkai yang berlawanan pada

(32)

c. Midstance (Interval; 10-30%)

Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai dalam mendukung

interval. Untuk awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan

sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat

ankle dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang

berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing.

d. Terminal Stance (Interval: 30-50%)

Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini dimulai

dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki menginjak

lantai. Keseluruhan dari fase ini brat badan berpindah dari forefoot.

Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan akan diikuti sedikit

fleksi. Di mana posisi tungkai yang lain berada pada fase terminal

swing.

Pada awal fase ini centre of gravity berada di depan kaki yang

menapak jadi tekanan gravitasi akan meningkatkan lingkup dari

ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle.

e. Preswing (Interval: 50-60%)

Pada akhir fase dari stance adalah interval gerakan ke dua double

stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada anggota grak

ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi plantar fleksi diikuti

(33)

anggota gerak bawah yang lain pada fase loading response.

Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan

awal dari terminal double support.

2. Swing phase adalah periode waktu di mana tubuh (kaki) tidak bersentuhan

dengan lantai, selama swing phase bagian tubuh yang berayun bergerak di

depan bagian tubuh yang menapak sehingga gerakan ke depan dapat terjadi.

Pada swing phase, tahapan-tahapan terdiri dari:

a. Initial swing (Interval: 60-73%)

Pada fase pertama adalah perkiraan satu sampai tiga dari periode

mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan diakhiri

ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang menumpu. Pada

saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik menjadi fleksi

dan ankle pada posisi setengah dorsal fleksi. Di saat yang sama sisi

kontralateral bersiap pada mid stance.

b. Mid swing (Interval: 73-87%)

Pada fase ke dua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota

gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari

fase ini ketika tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal atau lurus.

Saat mid swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi untuk merespon

gravitasi dan diikuti dengan ankle dorsi fleksi menuju posisi netral.

(34)

c. Terminal swing (Interval: 87-100%)

Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki

memijakkan lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah dengan posisi

ekstensi knee dan hip

Gambar 2.2 Tahapan satu siklus berjalan

Sumber: Tao et al., 2012

Gambar 2.2 diatas menjelaskan tentang tahapan satu siklus berjalan yang

meliputi 2 fase. Fase pertama adalah Stance Phase yang terdiri dari: Initial

Contact, Loading Response, Mid Stance dan Terminal Stance. Fase kedua adalah Swing Phase yang terdiri dari Pre-swing, Initial Swing, Mid Swing dan Terminal Swing.

2.3 Gait Cycle Measurement (GCM) 2.3.1 Pengertian

Kemampuan berjalan dapat dievaluasi secara kualitatif atau kuantitatif

dengan menggunakan uji laboratorium dan klinik. Banyak studi tentang perbaikan

pola jalan hemiparetik menggunakan skala asesmen fungsional ordinal seperti

Rivermead Mobility Index, Barthel Index, Functional Independence Measure, Functional Ambulation Categories, dan Time Up-and-Go Test. Berjalan dikategorikan menjadi 3-7 kategori berdasarkan jarak, waktu, dan perlunya

(35)

Metode Gait Cycle Measurement adalah metode pengukuran kemampuan

fungsional berjalan dengan menganalisa: phases of gait cycle, step length, step

period,stride length, cycle time, velocity, cadence, dan stride widht.

2.3.2 Evaluasi Data

Terdapat empat faktor temporal dan distance yang dapat dievaluasi:

Velocity: Jarak total antara heel strikes awal dan akhir dibagi dengan

waktu yang diperlukan menempuh jarak tersebut.

Stride Length: Jarak di antara dua heel strike ipsilateral yang berurutan

Step Length: Jarak di antara dua heel strike kontra lateral yang berurutan. Stride Widht: Jarak antara sisi kanan dan sisi kiri (walking base)

Cadance: Jumlah langkah dalam satu rangkaian berjalan dibagi dengan

waktu yang diperlukan dalam satu rangkaian jalan tersebut

(Whittle, 2003)

Tabel 2.1. Harga Rujukan Gait Cycle Measurement

NO Parameter Males Females Satuan

1 Velocity 1,5 1,5 m/sec

2 Cadance 120 120 steps/min

3 Step Length 83 73 cm

4 Stride Length 150 150 cm

5 Stride Width 5 5 cm

Sumber: Whittle, 2003. Gait Analysis. An Introduction

Tabel 2.1 menggambarkan harga rujukan Gait Cycle Measurement yang

meliputi Velocity 1,5 m/sec, Cadance 120 step/min Step Length untuk laki-laki 83

(36)

Tabel di bawah ini menggambarkan perbandingan hasil pengukuran

parameter spatiotemporal pada subjek sehat dan pasien hemiplegi:

Tabel 2.2 Parameter SpatioTemporal Pasien Hemiplegi dan Subjek Sehat

Sumber: Boudarham et al.,2013. PloS ONE 8(6); 1

Tabel ini membandingkan subjek sehat dan pasien hemiplegi dengan

menggunakan pengukuran analisis gait kuantitatif yang meliputi velocity, step

length, cadence, step width, stride length. Dari tabel ini dapat dilihat velocity pada subjek yang sehat 1,26 m/s sedangkan pada pasien hemiplegi 0,78 m/s. Cadence

pada subjek sehat 114 langkah/min sedangkan pada pasien hemiplegi 91

langkah/min. Step length pada subjek sehat 0,65 m sedangkan pasien hemiplegi

0,5 m. Stride length pada subjek sehat 1,32 m sedangkan pasien hemiplegi 1,01 m.

Step width pada subjek sehat 15,5 cm sedangkan pasien hemiplegi 19,3 cm. Kesimpulan dari tabel ini terjadi penurunan velocity, stride length, step length,

(37)

2.4 Stroke 2.4.1 Pengertian

Definisi stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal, atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung

selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab

lain yang jelas selain vaskular. Stroke atau serangan otak, suatu istilah klinis dari

gangguan fungsi otak yang mendadak, terjadi bila berhenti atau gagalnya pasokan

darah ke otak, atau dapat pula sebagai akibat pecahnya pembuluh darah di otak

(Ranakusuma, 2004).

Pada pasien stroke terjadi berbagai macam defisit pada persepsi, kekuatan

otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan keseimbangan (Yavuzer,

2006). Rehabilitasi keseimbangan pada pasien hemiplegi berkembang buruk.

Bukan hanya kegagalan kontrol motorik yang menyebabkan buruknya

keseimbangan pascastroke. Kontrol keseimbangan meliputi integrasi beberapa

tipe informasi sensorik. Beberapa peneliti berhipotesa bahwa terjadinya gangguan

organisasi informasi sensorik mendasari representasi tubuh yang terdistorsi

terhadap ruang. Hal ini tidak mendukung pemulihan keseimbangan (Bonan et al.,

2004).

Gait hemiparetik dicirikan dengan beberapa defisit spesifik, meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah yang

asimetri (Wright et al., 2013). Setelah stroke, rehabilitasi intensif dilakukan untuk

mengurangi defisit dari kecepatan, efisiensi dan simetri dalam berjalan. Pemulihan

(38)

serta untuk mengurangi resiko terjadinya jejas muskuloskeletal ekstremitas bawah

dan hilangnya densitas mineral tulang pada kaki yang paresis (Lewek et al.,

2012).

Perbaikan pascastroke khususnya yang terjadi pada beberapa minggu awal

setelah stroke mencerminkan perbaikan neurotransmission dalam jaringan dekat

dan jauh dari infark atau hemoragik. Beberapa waktu setelah stroke, kemampuan

kognitif, bahasa, ketrampilan motorik dapat meningkat dengan adanya proses

serebral melalui pembelajaran umum. Neuroplastisitas yang diinduksi pengalaman

meliputi eksitabilitas yang lebih besar dan pengerahan neuron-neuron pada kedua

hemisfer otak yang berkontribusi terhadap kinerja, penyebaran dendrit yang

berkomunikasi dengan neuron yang lain dan memperkuat koneksi sinaps (Dobkin,

2005).

Telah dibuktikan bahwa untuk meningkatkan keterampilan motorik spesifik

memerlukan latihan dengan tugas yang relevan pada pasien stroke. Latihan belajar

berjalan tradisional meliputi berjalan dengan alat bantu berjalan esensial / orthosis

yang dikombinasikan dengan petunjuk verbal dan manual. Perangkat rehabilitasi

berjalan tambahan terdiri dari tanda visual/ visual cue, tugas kognitif bersamaan

(contoh: dual tasks), feedback musical, dan/atau stimulasi elektrikal fungsional

(Peurala et al., 2014).

Usaha terdahulu untuk meningkatkan kemampuan jalan dengan

menghasilkan sinyal visual dan auditori buatan menghasilkan sistem open-loop

(39)

berpengaruh oleh gerakan pasien, seperti fixed-velocity (seperti treadmill), tanda

visual atau tanda rhythmic auditory (Baram, 2013).

2.4.2 Klasifikasi Stroke

Menurut Hartwig (2005), klasifikasi stroke berdasarkan penyebab antara

lain :

1. Stroke Iskemik

Hampir 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang

terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada

satu sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan

(thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh

atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas

atau mungkin terbentuk di dalam organ seperti jantung, dan kemudian

dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Beberapa

penyebab stroke iskemik antara lain:

a. Trombosis

1) Aterosklerosis (tersering)

2) Vaskulitits: arteritis temporalis, poliarteritis nodusa

3) Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik)

4) Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel

(40)

b. Embolisme

1) Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark

miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung,

katup prostetik, kardiomiopati iskemik

2) Sumber tromboemboli arterosklerotik di arteri: bifurkasio

karotis komunis, arteri vertebralis distal

3) Keadaan hiperkoagulasi: kontrasepsi oral, karsinoma

c. Vasokonstriksi

Vasospasme serebrum setelah Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)

2. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua

stroke. Stroke ini terjadi jika lesi vaskular intra serebrum mengalami

ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau

langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat

menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma vaskular

(Berry) dan malformasi arteriovena (MAV).

2.4.3 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya stroke menurut Hadi-Martono (2006) antara lain:

1. Usia, yang merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke

2. Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan faktor resiko

dominan untuk terjadinya baik hemoragik maupun non hemoragik

3. Diabetes melitus

(41)

5. Keadaaan hiperviskositas

6. Berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi

atrium), infark miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan

hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi

(endokarditis bakterialis sub akut) dan tumor atrium

7. Koagulasi karena gangguan berbagai komponen darah, antara lain

hiperfibrinogenemia, dan lain-lain

8. Faktor keturunan juga memegang peranan penting dalam epidemiolagi

stroke

2.4.4 Gejala Klinis

Menurut Ranakusuma (2004), manifestasi klinis serangan stroke dapat

berupa:

a) Baal, kelemahan atau kelumpuhan pada wajah, lengan, atau tungkai

sesisi atau kedua sisi dari tubuh

b) Penglihatan tiba-tiba kabur atau menurun

c) Gangguan bicara dan bahasa atau pengertian dalam komunikasi

d) Dizziness, gangguan keseimbangan, atau cenderung mudah terjatuh

e) Kesulitan menelan

f) Sakit kepala yang hebat secara tiba-tiba

(42)

2.4.5 Neuroplasticity

Studi yang terkini memperluas pemahaman kita tentang proses yang

mendasari proses pemulihan fungsi motorik setelah stroke. Area motorik bilateral

pada otak mengalami reorganisasi yang luas, meliputi perubahan kekuatan

interaksi inhibisi interhemisfer. Pemahaman kita tentang bentuk reorganisasi yang

berbeda-beda berkontribusi terhadap penguatan proses rehabilitasi, meskipun

masih sangat terbatas, telah menunjukkan kita strategi intervensi untuk

meningkatkan fungsi motorik (Webster et al., 2006).

Setelah terjadi kerusakan iskemik pada area motorik otak, pasien mengalami

beberapa derajat pemulihan spontan, meningkat, sejak ditemukan intervensi yang

diterapkan pada periode akut pascastroke. Lebih dari 50% survival stroke pada

stadium kronik mengalami defisit motorik permanen (Webster et al., 2006).

Pengetahuan tentang plastisitas area korteks setelah stroke menunjukkan

bahwa kerusakan korteks mempunyai potensi mengalami reorganisasi luas.

Diantara mekanisme plastisitas neural yang mungkin mengkontribusi pemulihan

fungsional adalah sprouting dendrite yang terus menerus, formasi sinaps baru,

potensiasi jangka panjang dan depresi jangka panjang. Reorganisasi setelah stroke

mungkin juga terjadi pada area korteks yang tidak rusak mengambil alih fungsi

area otak yang terkena infark. Bentuk reorganisasi yang berbeda mengkontribusi

pemulihan fungsi meliputi diaschisis, peri-infarct reorganization, aktivitas pada

ipsilesional, atau pada hemisfer kontralesional, interaksi interhemisfer, dan

(43)

Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan

reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas

merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi

terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf

(neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive), perubahan struktur neuron

saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan

kematangan sistem saraf (Irfan, 2010).

Plastisitas dapat tejadi pada level sinaps, level kortikal dan level sistem.

Reorganisasi sistem saraf dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagai berikut:

1. Diaschisis (neural shock)

Merupakan suatu keadaan hilangnya komunikasi antar neuron

bersifat sementara atau merupakan gangguan laten dari aktivitas neuronal

di dekat area kerusakan. Hal ini dimungkinkan juga oleh karena

menurunnya suplai darah pada neuron.

2. Unmasking:

Merupakan proses yang dapat terjadi antara lain:

a. Denervation supersensitivity b. Silent synapses recruitment

Dalam aktivitas sehari-hari, banyak akson dan sinaps yang tidak

aktif atau belum terlibat dalam menghasilkan gerak. Apabila jalur

utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan digantikan oleh

akson dan sinaps yang tidak aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur

(44)

mekanisme homeostatik. Dimana penurunan masukan akan

menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya (Irfan, 2010).

3. Sprouting:

a. Axonal regeneration b. Collateral sprouting

Sifat plastisitas otak ini memiliki keuntungan dan kerugian

dalam hal pemulihan kemampuan gerak dan fungsi pada insan stroke.

Keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya sifat plastisitas yaitu

dimungkinkannya untuk terus dikembangkan, sehingga dengan

metode yang tepat akan menghasilkan pembentukan plastisitas yang

tepat berupa pola gerak normal. Akan tetapi, dapat merugikan jika

metode yang diterapkan tidak tepat karena dengan sifat

plastisitasnya akan terbentuk pola gerak yang tidak normal sesuai

dengan latihan yang diberikan (Irfan, 2010).

2.4.6 Pola Berjalan Pasien Stroke

Pada pasien stroke terjadi lesi pada batang otak atau hemisfer otak

sehingga terjadi tipe berjalan hemiparetik (gait hemiparetik) yaitu terjadinya

spastik pada tungkai, ekstensi dan circumduction (pola jalan melingkar seperti

kerucut) dan fleksi pada tangan. Berhubungan juga dengan terjadinya respon

pada ekstensor plantar, kelemahan tungkai, tangan dan wajah serta terjadinya

hiperrefleks (Salzman, 2010). Terdapat juga berbagai macam defisit pada

persepsi, kekuatan otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan

(45)

Gait hemiparetik dicirikan dengan stiff-legged gait (berkurangnya lingkup gerak lutut) dan drop foot (berkurangnya dorsofleksi ankle selama mengayun)

(Yavuzer, 2006). Gait hemiparetik dicirikan juga dengan beberapa defisit spesifik,

meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah

yang asimetri (Wright et al., 2013). Asimetri terjadi pada parameter berjalan

spatiotemporal, kinematik dan kinetik yang berhubungan dengan gangguan

koordinasi motorik (Balasubramanian et al., 2007).

2.5 Visual Cue training ( VCT)

Visual Cue Training (VCT) adalah pelatihan yang menggunakan isyarat visual untuk meningkatkan kontrol gerakan selama berjalan dengan memfasilitasi

pasien untuk memodifikasi panjang langkah berdasarkan informasi visual yang

telah disediakan (Amatachaya et al., 2009).

Visual memegang peranan penting dalam sistem sensorik. Keseimbangan

akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada

titik utama untuk mempertahankan keseimbangan dan sebagai monitor tubuh

selama melakukan gerakan statik atau dinamik. Penglihatan juga merupakan

sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan

memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai

lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika kita menerima sinar

yang berasal dari objek sesuai jarak pandang (Irfan, 2010).

Kenyataan bahwa posisi spatial untuk posisi penempatan kaki yang

diperlukan adalah kunci untuk memahami mengapa adaptasi gait lebih efektif

(46)

dapat melihat, terdapat penukaran akurasi kecepatan/speed accuracy trade- off,

yaitu pada saat langkah cepat terjadi kesalahan yang lebih besar dan bervariasi

dibandingkan langkah yang lambat (Reynolds dan Day, 2005).

Pengaturan jalan adalah hal yang penting ketika berjalan pada medan

yang rata ataupun yang tidak rata untuk memperoleh penempatan kaki yang

adekuat sesuai dengan fitur lingkungan setempat seperti rintangan/obstacle dan

target langkah/ stepping target (Houdjik et al., 2012). Pasien hemiplegi

pascastroke memiliki kesulitan dalam menekan input visual yang tidak bisa

diprediksi karena mereka sangat kesulitan mempertahankan keseimbangan ketika

kehilangan visual. Pada kasus konflik visuovestibular, kesulitan tersebut semakin

besar. Beberapa pasien membuktikan ketergantungan yang berlebihan pada input

visual dan tidak dapat menggunakan input somatosensorik dan vestibular dengan

benar (Bonan et al., 2004).

Vision/ penglihatan memainkan peran penting pada semua strategi reaktif, prediktif dan antisipasi karena penglihatan menyediakan informasi

spatiotemporal mengenai tempat terpencil yang sangat tepat (Higuchi, 2013).

Isyarat visual dilakukan dengan menggunakan isyarat visual di atas lantai dengan

step length yang diinginkan untuk membantu inisiasi dan pelaksanaan gait.

Isyarat visual merangsang respon melangkah yang normal selanjutnya

tanpa melihat isyarat tersebut, usaha volunter akan menjaga pasien tidak terjatuh.

Isyarat eksternal mempunyai akses ke kontrol motorik dengan menghindari

(bypass) basal ganglia-SMA loop untuk meningkatkan persiapan gerakan untuk

(47)

eksternal membuat langkah yang lebih panjang, juga memfokuskan perhatian

pasien pada berjalan dengan kriteria step length tertentu. Strategi atensi inilah

yang memungkinkan memfasilitasi pola berjalan yang lebih normal dengan

meningkatkan pengaturan motorik sepanjang urutan berjalan (Morris et al., 1996)

2.6 Rhytmic Auditory Stimulation (RAS)

Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) adalah pelatihan yang

menggunakan efek fisiologis irama auditori pada sistem motorik untuk

meningkatkan kontrol gerakan pada aktivitas fungsional, keseimbangan berdiri,

dan pola jalan adaptif pada pasien dengan defisit gait signifikan yang disebabkan

oleh kerusakan neurologis (Thaut et al., 1996).

Berjalan merupakan sebuah tugas rumit yang diatur oleh kontrol hirarkis

dari korteks motor primer, premotor dan korteks motor supplemental, ganglia

basal, cerebellum, batang otak, generator dan umpan balik pola spinal dari sistem

vestibular. Pengaruh isyarat sensorik ritmik dalam berjalan dinamik memiliki

relevansi besar dalam rehabilitasi neurologi. Isyarat auditori memberikan efek

positif terhadap variasi karakter jalan pada pasien dengan penyakit Parkinson,

stroke, dan hemiparesis (Sejdic et al., 2012).

Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) adalah salah satu tipe terapi musik neurologikal yang menggunakan rangsangan sensorik ritmik. RAS mempengaruhi

sistem kontrol motorik otak dan gerakan gait melalui isyarat waktu (timing cues),

sehingga merubah parameter gait pada temporal. Pada pasien dengan gangguan

(48)

menurunnya kemampuan sensorik dan motorik, dan yang memiliki feedback

asimetri terhadap kontrol sensorimotor, aktivitas otak akan meningkat sebagai

respon terhadap RAS, gerakan dari bagian tubuh yang paralisis menjadi lebih

normal, dan pola aktivitas otak menjadi lebih halus, yang dapat dibuktikan dengan

gambaran magnetic resonance imaging fungsional dan positron emission

tomograhy (Jung et al., 2012).

Kenyataan bahwa gerakan jasmani yang berirama sering berpasangan

dengan rangsangan akustik eksternal, seperti metronom akustik dan musik,

fenomena ini dikenal sebagai auditory-motor synchronization. Misalnya berdansa

dengan musik, melibatkan sinkronisasi seluruh tubuh dengan alunan musik (beat)

(Bood et al., 2013). Isyarat Akustik dapat meningkatkan gait dengan menciptakan

stable coupling diantara langkah kaki dan alunan musik. Karakteristik berjalan seperti simetri dan irama/ jumlah langkah jalan (cadance) dapat ditargetkan

dengan mengubah interval interbeats rangsangan akustik (Roerdink et al., 2007).

Stimulasi auditori berupa suara alam (Seperti suara burung, ombak, dan

lain-lain) disertai dengan latar belakang musik relaksasi dan meditasi. Stimulasi

auditori dengan gelombang suara melalui nada auditori (auditory tones) dinilai

lebih efektif, murah dan mudah digunakan. Terapi dengan menggunakan musik

telah terbukti efektif dalam rehabilitasi pada pasien pascastroke (Esi dkk., 2012).

Telah dilaporkan bahwa Rhythmic Auditory Stimulation dengan interval tetap

antara 1-2 detik efektif untuk meningkatkan lokomosi pasien parkinson dan

(49)

Elemen kunci RAS adalah fenomena penyelarasan auditori, yaitu

kemampuan tubuh menyinkronkan gerakannya secara ritmis. Aktivitas auditori

eksternal dimediasi oleh pembentukan persepsi internal dibawah sadar pada level

subkortikal dan dapat menaikkan dan membangkitkan kepekaan neuron motorik

spinal yang diperantarai oleh sirkuit auditory-motor pada level retikulospinal.

Tubuh manusia adalah makhluk yang kreatif dan banyak akal. Komponen otak

bervariasi yang tidak terhubung hanya dengan satu jalur, sehingga otak tidak

berhenti bekerja total ketika satu bagian rusak atau cedera. Ketika satu bagian otak

tidak berfungsi dengan baik, otak menemukan jalan kompensasi untuk fungsi

yang disepakati. RAS digunakan untuk membantu meregulasi sistem kontrol

motorik dengan menstimulasi fungsi otak lower level dari basal ganglia,

cerebellum, batang otak, medulla spinalis untuk pasien Parkinson dan penyakit

lainnya (Kwak, 2007).

RAS adalah pilihan yang menjanjikan karena aplikasi irama dapat

mengorganisasi gait seseorang dan meningkatkan pola berjalan. Latihan RAS

menguntungkan karena tidak mempunyai efek samping dan lebih hemat biaya jika

dibandingkan terapi yang lain, dan dapat digunakan bersama dengan modalitas

terapi yang lain, atau terapi independen karena merupakan prosedur yang

noninvasif (Kwak, 2007).

2.7. Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien Pascastroke

Berikut tabel perbandingan teknik penatalaksanaan VCT dan RAS pada

(50)

Tabel 2.4 Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien stroke No Visual Cue Training (VCT) Rhythmic Auditory Stimulation (RAS)

1 Memberikan stimulasi pada

Visual/Penglihatan Memberikan stimulasi pada

Auditori/Pendengaran

2 Menggunakan Strip pada

Lantai sebagai Isyarat Visual

Menggunakan Irama sebagai Isyarat auditori

3 Penyesuaian Panjang

langkah/Spatial Adjustment

Penyesuaian Tempo Langkah/Temporal Adjusment

Sumber : disadur dari Amatacaya (2009) dan Jung (2012)

Tabel 2.4 menjelaskan perbedaan antara pelatihan VCT dengan RAS. VCT

memberikan stimulasi pada visual, sedangkan RAS pada pendengaran. VCT

menggunakan strip pada lantai, sedangkan RAS menggunakan irama. VCT

Gambar

Gambar 2.1. Skema fase berjalan  Sumber: Irfan, 2010
Gambar 2.2 Tahapan satu siklus berjalan  Sumber: Tao et al., 2012
Tabel 2.2 Parameter SpatioTemporal Pasien Hemiplegi  dan Subjek Sehat
Gambar 3.1 Konsep Penelitian Pelatihan VCT   Postural Kontrol   Fungtional Integration  Distance Fasilitation Pelatihan RAS   Postural Kontrol    Fungtional Integration   Temporal Fasilitation PASIEN STROKE  Keseimbangan Berdiri  Kemampuan Fungsion
+7

Referensi

Dokumen terkait

berkaitan yang membentuk suatu sistem/rerangka terpadu yang dapat menghasilkan standar akuntansi yang konsisten dan yang menetapkan sifat, fungsi, dan keterbatasan

[r]

[r]

Sedikit banyak penulis memaparkan rencana penghitungan resiko dengan menghitung analisa rasio perbankan, analisa rasio permodalan yang bertujuan menghitung apakah

Berdasarkan hasil penelitian hampir seluruh responden di Rumah Sakit Kamar Medika Kota Mojokerto memberikan inisiasi menyusu dini yaitu 52 orang (87%), hampir seluruh

Data hasil dari analisis tekstur kayu jati dengan Metode GLCM akan diklasifikasi dengan metode k-NN lalu untuk proses validasi akan dilakukan holdout di mana data yang

Keseluruhannya kawasan ini terletak di bawah bidang kuasa Majlis Perbandaran Bentong (MPB) sebagai Pihak Berkuasa Tempatan.. Dalam kajian ini, penulis hanya memberi tumpuan

Bila hasil produksi tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan, maka dilakukan komplain kepada kepala produksi untuk dilakukan tindakan perbaikana. Mengisi laporan hasil