• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stroke

Dalam dokumen PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING (Halaman 37-45)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.4 Stroke

Definisi stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal, atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung

selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab

lain yang jelas selain vaskular. Stroke atau serangan otak, suatu istilah klinis dari

gangguan fungsi otak yang mendadak, terjadi bila berhenti atau gagalnya pasokan

darah ke otak, atau dapat pula sebagai akibat pecahnya pembuluh darah di otak

(Ranakusuma, 2004).

Pada pasien stroke terjadi berbagai macam defisit pada persepsi, kekuatan

otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan keseimbangan (Yavuzer,

2006). Rehabilitasi keseimbangan pada pasien hemiplegi berkembang buruk.

Bukan hanya kegagalan kontrol motorik yang menyebabkan buruknya

keseimbangan pascastroke. Kontrol keseimbangan meliputi integrasi beberapa

tipe informasi sensorik. Beberapa peneliti berhipotesa bahwa terjadinya gangguan

organisasi informasi sensorik mendasari representasi tubuh yang terdistorsi

terhadap ruang. Hal ini tidak mendukung pemulihan keseimbangan (Bonan et al.,

2004).

Gait hemiparetik dicirikan dengan beberapa defisit spesifik, meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah yang

asimetri (Wright et al., 2013). Setelah stroke, rehabilitasi intensif dilakukan untuk

mengurangi defisit dari kecepatan, efisiensi dan simetri dalam berjalan. Pemulihan

serta untuk mengurangi resiko terjadinya jejas muskuloskeletal ekstremitas bawah

dan hilangnya densitas mineral tulang pada kaki yang paresis (Lewek et al.,

2012).

Perbaikan pascastroke khususnya yang terjadi pada beberapa minggu awal

setelah stroke mencerminkan perbaikan neurotransmission dalam jaringan dekat

dan jauh dari infark atau hemoragik. Beberapa waktu setelah stroke, kemampuan

kognitif, bahasa, ketrampilan motorik dapat meningkat dengan adanya proses

serebral melalui pembelajaran umum. Neuroplastisitas yang diinduksi pengalaman

meliputi eksitabilitas yang lebih besar dan pengerahan neuron-neuron pada kedua

hemisfer otak yang berkontribusi terhadap kinerja, penyebaran dendrit yang

berkomunikasi dengan neuron yang lain dan memperkuat koneksi sinaps (Dobkin,

2005).

Telah dibuktikan bahwa untuk meningkatkan keterampilan motorik spesifik

memerlukan latihan dengan tugas yang relevan pada pasien stroke. Latihan belajar

berjalan tradisional meliputi berjalan dengan alat bantu berjalan esensial / orthosis

yang dikombinasikan dengan petunjuk verbal dan manual. Perangkat rehabilitasi

berjalan tambahan terdiri dari tanda visual/ visual cue, tugas kognitif bersamaan

(contoh: dual tasks), feedback musical, dan/atau stimulasi elektrikal fungsional

(Peurala et al., 2014).

Usaha terdahulu untuk meningkatkan kemampuan jalan dengan

menghasilkan sinyal visual dan auditori buatan menghasilkan sistem open-loop

berpengaruh oleh gerakan pasien, seperti fixed-velocity (seperti treadmill), tanda

visual atau tanda rhythmic auditory (Baram, 2013).

2.4.2 Klasifikasi Stroke

Menurut Hartwig (2005), klasifikasi stroke berdasarkan penyebab antara

lain :

1. Stroke Iskemik

Hampir 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang

terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada

satu sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan

(thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh

atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas

atau mungkin terbentuk di dalam organ seperti jantung, dan kemudian

dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Beberapa

penyebab stroke iskemik antara lain:

a. Trombosis

1) Aterosklerosis (tersering)

2) Vaskulitits: arteritis temporalis, poliarteritis nodusa

3) Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik)

4) Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel

b. Embolisme

1) Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark

miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung,

katup prostetik, kardiomiopati iskemik

2) Sumber tromboemboli arterosklerotik di arteri: bifurkasio

karotis komunis, arteri vertebralis distal

3) Keadaan hiperkoagulasi: kontrasepsi oral, karsinoma

c. Vasokonstriksi

Vasospasme serebrum setelah Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)

2. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua

stroke. Stroke ini terjadi jika lesi vaskular intra serebrum mengalami

ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau

langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat

menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma vaskular

(Berry) dan malformasi arteriovena (MAV).

2.4.3 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya stroke menurut Hadi-Martono (2006) antara lain:

1. Usia, yang merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke

2. Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan faktor resiko

dominan untuk terjadinya baik hemoragik maupun non hemoragik

3. Diabetes melitus

5. Keadaaan hiperviskositas

6. Berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi

atrium), infark miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan

hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi

(endokarditis bakterialis sub akut) dan tumor atrium

7. Koagulasi karena gangguan berbagai komponen darah, antara lain

hiperfibrinogenemia, dan lain-lain

8. Faktor keturunan juga memegang peranan penting dalam epidemiolagi

stroke

2.4.4 Gejala Klinis

Menurut Ranakusuma (2004), manifestasi klinis serangan stroke dapat

berupa:

a) Baal, kelemahan atau kelumpuhan pada wajah, lengan, atau tungkai

sesisi atau kedua sisi dari tubuh

b) Penglihatan tiba-tiba kabur atau menurun

c) Gangguan bicara dan bahasa atau pengertian dalam komunikasi

d) Dizziness, gangguan keseimbangan, atau cenderung mudah terjatuh

e) Kesulitan menelan

f) Sakit kepala yang hebat secara tiba-tiba

2.4.5 Neuroplasticity

Studi yang terkini memperluas pemahaman kita tentang proses yang

mendasari proses pemulihan fungsi motorik setelah stroke. Area motorik bilateral

pada otak mengalami reorganisasi yang luas, meliputi perubahan kekuatan

interaksi inhibisi interhemisfer. Pemahaman kita tentang bentuk reorganisasi yang

berbeda-beda berkontribusi terhadap penguatan proses rehabilitasi, meskipun

masih sangat terbatas, telah menunjukkan kita strategi intervensi untuk

meningkatkan fungsi motorik (Webster et al., 2006).

Setelah terjadi kerusakan iskemik pada area motorik otak, pasien mengalami

beberapa derajat pemulihan spontan, meningkat, sejak ditemukan intervensi yang

diterapkan pada periode akut pascastroke. Lebih dari 50% survival stroke pada

stadium kronik mengalami defisit motorik permanen (Webster et al., 2006).

Pengetahuan tentang plastisitas area korteks setelah stroke menunjukkan

bahwa kerusakan korteks mempunyai potensi mengalami reorganisasi luas.

Diantara mekanisme plastisitas neural yang mungkin mengkontribusi pemulihan

fungsional adalah sprouting dendrite yang terus menerus, formasi sinaps baru,

potensiasi jangka panjang dan depresi jangka panjang. Reorganisasi setelah stroke

mungkin juga terjadi pada area korteks yang tidak rusak mengambil alih fungsi

area otak yang terkena infark. Bentuk reorganisasi yang berbeda mengkontribusi

pemulihan fungsi meliputi diaschisis, peri-infarct reorganization, aktivitas pada

ipsilesional, atau pada hemisfer kontralesional, interaksi interhemisfer, dan

Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan

reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas

merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi

terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf

(neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive), perubahan struktur neuron

saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan

kematangan sistem saraf (Irfan, 2010).

Plastisitas dapat tejadi pada level sinaps, level kortikal dan level sistem.

Reorganisasi sistem saraf dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagai berikut:

1. Diaschisis (neural shock)

Merupakan suatu keadaan hilangnya komunikasi antar neuron

bersifat sementara atau merupakan gangguan laten dari aktivitas neuronal

di dekat area kerusakan. Hal ini dimungkinkan juga oleh karena

menurunnya suplai darah pada neuron.

2. Unmasking:

Merupakan proses yang dapat terjadi antara lain:

a. Denervation supersensitivity b. Silent synapses recruitment

Dalam aktivitas sehari-hari, banyak akson dan sinaps yang tidak

aktif atau belum terlibat dalam menghasilkan gerak. Apabila jalur

utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan digantikan oleh

akson dan sinaps yang tidak aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur

mekanisme homeostatik. Dimana penurunan masukan akan

menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya (Irfan, 2010).

3. Sprouting:

a. Axonal regeneration b. Collateral sprouting

Sifat plastisitas otak ini memiliki keuntungan dan kerugian

dalam hal pemulihan kemampuan gerak dan fungsi pada insan stroke.

Keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya sifat plastisitas yaitu

dimungkinkannya untuk terus dikembangkan, sehingga dengan

metode yang tepat akan menghasilkan pembentukan plastisitas yang

tepat berupa pola gerak normal. Akan tetapi, dapat merugikan jika

metode yang diterapkan tidak tepat karena dengan sifat

plastisitasnya akan terbentuk pola gerak yang tidak normal sesuai

dengan latihan yang diberikan (Irfan, 2010).

2.4.6 Pola Berjalan Pasien Stroke

Pada pasien stroke terjadi lesi pada batang otak atau hemisfer otak

sehingga terjadi tipe berjalan hemiparetik (gait hemiparetik) yaitu terjadinya

spastik pada tungkai, ekstensi dan circumduction (pola jalan melingkar seperti

kerucut) dan fleksi pada tangan. Berhubungan juga dengan terjadinya respon

pada ekstensor plantar, kelemahan tungkai, tangan dan wajah serta terjadinya

hiperrefleks (Salzman, 2010). Terdapat juga berbagai macam defisit pada

persepsi, kekuatan otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan

Gait hemiparetik dicirikan dengan stiff-legged gait (berkurangnya lingkup gerak lutut) dan drop foot (berkurangnya dorsofleksi ankle selama mengayun)

(Yavuzer, 2006). Gait hemiparetik dicirikan juga dengan beberapa defisit spesifik,

meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah

yang asimetri (Wright et al., 2013). Asimetri terjadi pada parameter berjalan

spatiotemporal, kinematik dan kinetik yang berhubungan dengan gangguan

koordinasi motorik (Balasubramanian et al., 2007).

Dalam dokumen PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING (Halaman 37-45)

Dokumen terkait