BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.4 Stroke
Definisi stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal, atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab
lain yang jelas selain vaskular. Stroke atau serangan otak, suatu istilah klinis dari
gangguan fungsi otak yang mendadak, terjadi bila berhenti atau gagalnya pasokan
darah ke otak, atau dapat pula sebagai akibat pecahnya pembuluh darah di otak
(Ranakusuma, 2004).
Pada pasien stroke terjadi berbagai macam defisit pada persepsi, kekuatan
otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan keseimbangan (Yavuzer,
2006). Rehabilitasi keseimbangan pada pasien hemiplegi berkembang buruk.
Bukan hanya kegagalan kontrol motorik yang menyebabkan buruknya
keseimbangan pascastroke. Kontrol keseimbangan meliputi integrasi beberapa
tipe informasi sensorik. Beberapa peneliti berhipotesa bahwa terjadinya gangguan
organisasi informasi sensorik mendasari representasi tubuh yang terdistorsi
terhadap ruang. Hal ini tidak mendukung pemulihan keseimbangan (Bonan et al.,
2004).
Gait hemiparetik dicirikan dengan beberapa defisit spesifik, meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah yang
asimetri (Wright et al., 2013). Setelah stroke, rehabilitasi intensif dilakukan untuk
mengurangi defisit dari kecepatan, efisiensi dan simetri dalam berjalan. Pemulihan
serta untuk mengurangi resiko terjadinya jejas muskuloskeletal ekstremitas bawah
dan hilangnya densitas mineral tulang pada kaki yang paresis (Lewek et al.,
2012).
Perbaikan pascastroke khususnya yang terjadi pada beberapa minggu awal
setelah stroke mencerminkan perbaikan neurotransmission dalam jaringan dekat
dan jauh dari infark atau hemoragik. Beberapa waktu setelah stroke, kemampuan
kognitif, bahasa, ketrampilan motorik dapat meningkat dengan adanya proses
serebral melalui pembelajaran umum. Neuroplastisitas yang diinduksi pengalaman
meliputi eksitabilitas yang lebih besar dan pengerahan neuron-neuron pada kedua
hemisfer otak yang berkontribusi terhadap kinerja, penyebaran dendrit yang
berkomunikasi dengan neuron yang lain dan memperkuat koneksi sinaps (Dobkin,
2005).
Telah dibuktikan bahwa untuk meningkatkan keterampilan motorik spesifik
memerlukan latihan dengan tugas yang relevan pada pasien stroke. Latihan belajar
berjalan tradisional meliputi berjalan dengan alat bantu berjalan esensial / orthosis
yang dikombinasikan dengan petunjuk verbal dan manual. Perangkat rehabilitasi
berjalan tambahan terdiri dari tanda visual/ visual cue, tugas kognitif bersamaan
(contoh: dual tasks), feedback musical, dan/atau stimulasi elektrikal fungsional
(Peurala et al., 2014).
Usaha terdahulu untuk meningkatkan kemampuan jalan dengan
menghasilkan sinyal visual dan auditori buatan menghasilkan sistem open-loop
berpengaruh oleh gerakan pasien, seperti fixed-velocity (seperti treadmill), tanda
visual atau tanda rhythmic auditory (Baram, 2013).
2.4.2 Klasifikasi Stroke
Menurut Hartwig (2005), klasifikasi stroke berdasarkan penyebab antara
lain :
1. Stroke Iskemik
Hampir 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang
terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada
satu sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh
atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas
atau mungkin terbentuk di dalam organ seperti jantung, dan kemudian
dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Beberapa
penyebab stroke iskemik antara lain:
a. Trombosis
1) Aterosklerosis (tersering)
2) Vaskulitits: arteritis temporalis, poliarteritis nodusa
3) Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik)
4) Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel
b. Embolisme
1) Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark
miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung,
katup prostetik, kardiomiopati iskemik
2) Sumber tromboemboli arterosklerotik di arteri: bifurkasio
karotis komunis, arteri vertebralis distal
3) Keadaan hiperkoagulasi: kontrasepsi oral, karsinoma
c. Vasokonstriksi
Vasospasme serebrum setelah Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke. Stroke ini terjadi jika lesi vaskular intra serebrum mengalami
ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau
langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma vaskular
(Berry) dan malformasi arteriovena (MAV).
2.4.3 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya stroke menurut Hadi-Martono (2006) antara lain:
1. Usia, yang merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke
2. Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan faktor resiko
dominan untuk terjadinya baik hemoragik maupun non hemoragik
3. Diabetes melitus
5. Keadaaan hiperviskositas
6. Berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi
atrium), infark miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan
hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi
(endokarditis bakterialis sub akut) dan tumor atrium
7. Koagulasi karena gangguan berbagai komponen darah, antara lain
hiperfibrinogenemia, dan lain-lain
8. Faktor keturunan juga memegang peranan penting dalam epidemiolagi
stroke
2.4.4 Gejala Klinis
Menurut Ranakusuma (2004), manifestasi klinis serangan stroke dapat
berupa:
a) Baal, kelemahan atau kelumpuhan pada wajah, lengan, atau tungkai
sesisi atau kedua sisi dari tubuh
b) Penglihatan tiba-tiba kabur atau menurun
c) Gangguan bicara dan bahasa atau pengertian dalam komunikasi
d) Dizziness, gangguan keseimbangan, atau cenderung mudah terjatuh
e) Kesulitan menelan
f) Sakit kepala yang hebat secara tiba-tiba
2.4.5 Neuroplasticity
Studi yang terkini memperluas pemahaman kita tentang proses yang
mendasari proses pemulihan fungsi motorik setelah stroke. Area motorik bilateral
pada otak mengalami reorganisasi yang luas, meliputi perubahan kekuatan
interaksi inhibisi interhemisfer. Pemahaman kita tentang bentuk reorganisasi yang
berbeda-beda berkontribusi terhadap penguatan proses rehabilitasi, meskipun
masih sangat terbatas, telah menunjukkan kita strategi intervensi untuk
meningkatkan fungsi motorik (Webster et al., 2006).
Setelah terjadi kerusakan iskemik pada area motorik otak, pasien mengalami
beberapa derajat pemulihan spontan, meningkat, sejak ditemukan intervensi yang
diterapkan pada periode akut pascastroke. Lebih dari 50% survival stroke pada
stadium kronik mengalami defisit motorik permanen (Webster et al., 2006).
Pengetahuan tentang plastisitas area korteks setelah stroke menunjukkan
bahwa kerusakan korteks mempunyai potensi mengalami reorganisasi luas.
Diantara mekanisme plastisitas neural yang mungkin mengkontribusi pemulihan
fungsional adalah sprouting dendrite yang terus menerus, formasi sinaps baru,
potensiasi jangka panjang dan depresi jangka panjang. Reorganisasi setelah stroke
mungkin juga terjadi pada area korteks yang tidak rusak mengambil alih fungsi
area otak yang terkena infark. Bentuk reorganisasi yang berbeda mengkontribusi
pemulihan fungsi meliputi diaschisis, peri-infarct reorganization, aktivitas pada
ipsilesional, atau pada hemisfer kontralesional, interaksi interhemisfer, dan
Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan
reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas
merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi
terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf
(neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive), perubahan struktur neuron
saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan
kematangan sistem saraf (Irfan, 2010).
Plastisitas dapat tejadi pada level sinaps, level kortikal dan level sistem.
Reorganisasi sistem saraf dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Diaschisis (neural shock)
Merupakan suatu keadaan hilangnya komunikasi antar neuron
bersifat sementara atau merupakan gangguan laten dari aktivitas neuronal
di dekat area kerusakan. Hal ini dimungkinkan juga oleh karena
menurunnya suplai darah pada neuron.
2. Unmasking:
Merupakan proses yang dapat terjadi antara lain:
a. Denervation supersensitivity b. Silent synapses recruitment
Dalam aktivitas sehari-hari, banyak akson dan sinaps yang tidak
aktif atau belum terlibat dalam menghasilkan gerak. Apabila jalur
utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan digantikan oleh
akson dan sinaps yang tidak aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur
mekanisme homeostatik. Dimana penurunan masukan akan
menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya (Irfan, 2010).
3. Sprouting:
a. Axonal regeneration b. Collateral sprouting
Sifat plastisitas otak ini memiliki keuntungan dan kerugian
dalam hal pemulihan kemampuan gerak dan fungsi pada insan stroke.
Keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya sifat plastisitas yaitu
dimungkinkannya untuk terus dikembangkan, sehingga dengan
metode yang tepat akan menghasilkan pembentukan plastisitas yang
tepat berupa pola gerak normal. Akan tetapi, dapat merugikan jika
metode yang diterapkan tidak tepat karena dengan sifat
plastisitasnya akan terbentuk pola gerak yang tidak normal sesuai
dengan latihan yang diberikan (Irfan, 2010).
2.4.6 Pola Berjalan Pasien Stroke
Pada pasien stroke terjadi lesi pada batang otak atau hemisfer otak
sehingga terjadi tipe berjalan hemiparetik (gait hemiparetik) yaitu terjadinya
spastik pada tungkai, ekstensi dan circumduction (pola jalan melingkar seperti
kerucut) dan fleksi pada tangan. Berhubungan juga dengan terjadinya respon
pada ekstensor plantar, kelemahan tungkai, tangan dan wajah serta terjadinya
hiperrefleks (Salzman, 2010). Terdapat juga berbagai macam defisit pada
persepsi, kekuatan otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan
Gait hemiparetik dicirikan dengan stiff-legged gait (berkurangnya lingkup gerak lutut) dan drop foot (berkurangnya dorsofleksi ankle selama mengayun)
(Yavuzer, 2006). Gait hemiparetik dicirikan juga dengan beberapa defisit spesifik,
meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah
yang asimetri (Wright et al., 2013). Asimetri terjadi pada parameter berjalan
spatiotemporal, kinematik dan kinetik yang berhubungan dengan gangguan
koordinasi motorik (Balasubramanian et al., 2007).