6 2.1 Visum et Repertum
2.1.1 Definisi
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis (resmi) dari penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, dibawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan (Afandi, 2011 ; Idries et al, 2009 ; Darmabrata, 2003 ).
2.1.2Dasar hukum Visum et Repertum
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara PidanaDasar hukum VeR adalah sebagai berikut:
Pasal 133 KUHAP menyebutkan :
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yangmerupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Penjelasan terhadap pasal 133 KUHAP:
(2) Keterangan yang diberikan ahli oleh kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7 (1) butir h dan pasal 11
KUHAP.Penyidik yang dimaksud adalah sesuai dengan pasal 6 (1) butir a yaitu penyidik pejabat Polisi Negara RI.Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing Pasal 7(2) KUHAP(Afandi, 2010). Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan VeR telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1983 yang menyatakan penyidik Polri berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (sersan), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya sersan dua. Untuk mengetahui apakah suatu surat permintaan pemeriksaan telah ditanda tangani oleh yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa si penanda tangan menandatangani suart tersebut selaku penyidik (Budiyanto et al, 1997).
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang telah disebutkan dalam pasal 179 KUHAP sebagai berikut :
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Nama VeR tidak pernah disebut dalam KUHAP maupun hukum acara pidana sebelumnya yaitu RIB ( Reglemen Indonesia yang diBarui). Nama VeR sendiri hanya disebut dalam Staatsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi :
(1). Visa et reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus sebagai dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam
perkara-perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.
(2). Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Negeri belanda maupun di Indonesia, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh mengikrarkan sumpah (atau janji) sebagai berikut: “….”
Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa:
1. Nilai daya bukti Visum et Repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang dilihat atau ditemukannya saja pada diri korban. Dalam hal demikian dokter hanya dianggap memberikan kesaksian (mata) saja.
2. Visum et Repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan sumpah sewaktu menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter seperti yang tertera pada Staatsblad No. 97 pasal 38, tahun 1882. Lafal sumpah dokter memang tepat bila digunakan sebangai landasan pijak pembuatan Visum et Repertum adalah pasal 186 dan pasal 187( Ardi, 2012).
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan VeR adalah pasal 186 dan 187 yang berbunyi :
Pasal 186 : keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan sidang pengadilan.
Penjelasan pasal 186 KUHAP : keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengungat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Pada pasal 187: (c) disebutkan surat kerteangan ahli dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi padanya.
Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP pada pasal 184 ayat 1 :
Alat bukti yang sah adalah : 1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli 3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan dalam Undang-Undang RI No.8 Tahun 1988 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan: “Dalam hal penyidik menganggap perlu, penyidik dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang peradilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan (Syamsuddin, 2011).
Keterangan ahli sebagaimana yang disebutkan dalam pasal KUHAP tersebut diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir 28 KUHAP, yang menyatakan : „ Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana ( Syamsuddin, 2011).
Nama VeR hingga saat ini masih dipertahankan, walaupun dengan konsep yang berbeda dengan konsep yang lama. Nama VeR ini digunakan untuk
membedakan surat atau keterangan ahli yang dibuat dokter dengan surat atau keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter (Budiyanto et al, 1997).
2.1.3Peranan dan Fungsi Visum et Repertum
Menurut Achadiat dan Chrisdiono (2007) Kedudukan Visum et Repertum dalam suatu proses peradilan adalah sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana yang tertulis di pasal 184 KUHAP ayat (1). Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia artinya dokter bukan lagi memeriksa pasien tetapi memeriksa saksi/korban tindak pidana.Pemeriksaan tersebut dilakukan secara rinci dan diuraikan kemudian dituang kedalam tulisan dalam bentuk Visum et Repertum.
Keterangan dan pendapat dokter setelah melakukan pemeriksaan di tulis di bagian Kesimpulan. Dengan demikian Visum et Repertum telah menjadi penghubung antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et Repertumbisa dipertimbangkan dan diterapkan sesuai dengan norma hukum menyangkut tubuh atau jiwa seseorang ( Nuraga, 2012).
Visum et Repertum berbeda dengan catatan medik dan surat keterangan medik lainnya karena Visum et Repertum dibuat atas kehendak undang-undang yang berlaku, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien dan selama Visum et Repertum dibuat untuk dipergunakan dalam proses peradilan (Budiyanto et al, 1997).
2.1.4 Jenis-jenis dan bentuk Visum et Repertum
Visum et Repertum memiliki 5 bagian yang tetap, yaitu (Idries, 2008 ; Afandi, 2009 ; Budiyanto et al, 1997 ; Amir, 2005 ; Dahlan, 2007)
1) Kata Pro justicia yang dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu bermaterai.
2) Bagian pendahuluan, pendahuluan memuat : identitas pemohon Visum et Repertum, tanggal dan pukul diterimanta permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa :
nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan dan tempat dilakukan pemeriksaan.
3) Bagian Pemberitaan (hasil pemeriksaan). Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, tertama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu muka dari letak anatominya, koordinat (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen terdekat), jenis luka atau cidera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapt dihadirkan kembali.
4) Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul “Kesimpulan” dan berisi pendapat dokter berdasarkan keilmuannya mengenai jenis perlukaan/cidera yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya serta derajat perlukaan atau sebab kematiannya. Pada kejahatan susila diterangkan juga apakah telah terjadi persetubuhan dan kapan perkiraan kejadiannya serta usia korban atau kepantasan korban untuk dikawin.
5) Bagian Penutup. Yang memuat pernyataan nahwasanya VeR tersebut dibuat atas sumpah dokter dan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.
Berdasarkan kepentingannya Visum et Repertum dibagi menjadi beberapa jenis yaitu (Afandi, 2011) :
1. Visum hidup :
A. VeR perlukaan (termasuk keracunan ) B. VeR kejahatan susila
C. VeR jenazah D. VeR psikiatrik
2. Visum mati
Jenis a,b dan c adalah VeR mengenai tubuh manusia yang dalam hal ini berstatus korban tindak pidana, sedangkan jenis d adalah mengenai jiwa/ mental terdakwa tindak pidana.
A. Visum et repertum perlukaan
Didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk memberikan kejelasan dari permasalahan sebagai berikut :
a. jenis luka apakah yang terjadi?
b. Jenis kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka? c. Bagaimanakah kualifikasi luka itu?
Pengertian luka disini semata-mata pengertian berdasarkan ilmu kedokteran forensik yang hanya baru dipahami setelah mempelajari pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bersangkutan dengan Bab XX terutama pasal 351 dan pasal 352 dan Bab IX yaitu pasal 90 (Idries et al, 2009).
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka/sakit tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi rumusan delik dalam KUHAP. Jelaslah disini pemeriksaan kedokteran forensik tidak ditujukan untuk pengobatan. Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan medik atas semua hasil pemeriksaan mediknya. Pada korban yang diduga korban tindak pidana pencatatan harus lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan VeR. Catatan medik yang tidak lengkap dapat menghilangkan sebagian barang bukti didalam bagian Pemberitaan VeR. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa surat permintaan VeR. Sedangkan korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan VeR akan datang terlambat. Keterlambatan surat permintaan VeR tersebut dapat diperkecil dengan
diadakannya kerjasama yang baik antara dokter atau institusi kesehatan dengan penyidik atau instansi kepolisian (Kiswara, 2014).
B. Visum et repertum korban kejahatan asusila
Kejahatan seksual (sexual offences) sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia mempunyai kaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik yaitu di dalam pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran Forensik dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam KUHP dan KUHAP yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual (Idries et al, 2009).
Pada umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan VeR nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP.Yang meliputi pemerikosaan, persetubuhan pada wanita yang tidak berdaya, dan persetubuhan dengan wanita dibawah umur. Untuk kepentingan peradilan dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan,adanya kekerasan (termasuk pemberian racun/obat/zat agar korban menjadi tidak berdaya) serta usia korban. Selain itu dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan dan kelainan psikiatrik/kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana tersebut (Budiyanto et al, 1997).
Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan dengan pemriksaan fisik terhadap kemungkinan adanya robekan hymen,laserasi vulva atau vagina,serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama dalam forniks posterior. Pembuktian sel sperma dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan usap vagina, baik langsung maupun denga pewarnaan khusus. Selain sel sperma, adanya ejakulat juga dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk cairan mani. Komponen yang terdapat dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah enzym asam fostafase, kholin dan spermin. Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi,
dengan sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik todak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan, maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan yang mencakup dua kemungkinan yaitu yang pertamamemangtidak ada persetubuhan dan kedua persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan (Idries, 2008).
C. Visum et repertum psikiatrik
Menurut Darmabrata (2003) Visum et repertumdibidang psikiatrik disebut Visum et repertum Psychiatricum.Visum et repertumpsikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi “ Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) tidak dipidana”.
VeR psikiatrik diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana VeR lainnya.Selain itu VeR psikiatrik menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik manusia.VeR psikiatrik lebih baik dibuat oleh dokter spesialis psikiatri yang bekerja dirumah sakit jiwa atau rumah sakit umum (Budiyanto et al,1997; Darmabrata, 2003).
Visum et Repertum psikiatrik diterbitkan hanya atas suatu permintaan dan yang berhak meminta adalah hakim,jaksa,polisi dan yang bersangkutan (pelaku,korban, atau walinya). Persyaratan untuk kelengkapan pembuatan Visum et repertum psikiatrik selain surat permintaan pembuatan surat adalah berita acara. Apabila kelengkapan ini telah memnuhi persyaratan perawatan di rumah sakit dapat dimasukkan ke dalam ruang perawatan untuk di observasi (Darmabrata, 2003).
D. Visum et repertum jenazah
1. Visum dengan pemeriksaan luar
2. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam (autopsi)
Jenazah yang akan dimintakan Visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat di-lak dengan diberikan cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagain tubuh lainnya. Pada surat permintaan Visum et repertumharus jelas tertulis pemeriksaan apa yang diminta, apakah pemeriksaan luar atau pemeriksaan dalam (Budiyanto et al, 1997).
Bila pemeriksaan dalam yang diinginkan, maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan tujuan pemeriksaan. Seperti yang tertera pada pasal 134 KUHAP yang berbunyi : 1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberikan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah dengan pemeriksaan luar jenazah dilakukan dengan tanpa tindakan yang merusak keutuhan jaringan. Pemeriksaan dilaukan dengan teliti dan sistematik serta kemdia dicatat dirinci mulai dari pembungkus atau penutup jenazah, pakaian, perhiasan, benda-benda disekitar jenazah, ciri-ciri umum, tanda-tanda thanatologi, gigi geligi dan cedera yang ditemukan dipermukaan seluruh tubuh bagian luar (Budiyanto et al, 1997).
2.2 Perlukaan
2.2.1 Definisi perlukaan
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Jong, 2012).
Luka dapat di definisikan sebagai kerusakan pada bagian tubuh yang merupakan akibat dari penekanan mekanik.Luka sembuh melalui reaksi radang, tujuan utamanya untuk membentuk jaringan parut yang keras, untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya (Sabiston, 2011). 2.2.2 Klasifikasi perlukaan
Berdasarkan pada sifat atau ciri dari luka ataupun kelainan yang terdapat pada tubuh korban, dapat ditentukan jenis kekerasan yang menyebabkan luka, jenis kekerasan luka dapt dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu (Satyo, 2006) :
a) Luka akibat kekerasan mekanik b) Luka akibat kekerasan fisik c) Luka akibat kekerasan kimiawi d) Luka akibat kekerasan jiwa.
2.2.2.1 Luka akibat kekerasan mekanik
Luka akibat kekerasan mekanik dalam praktek pembuatan VeR dan didalam proses penyidikan diabagi lebih spesifik lagi yaitu luka akibat benda tumpul, benda tajam dan tembakan senjata api (Budiyanto et al, 1997).
a) Luka akibat benda tumpul
Trauma tumpul adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul, seperti batu, kayu, martil, terkena bola, ditinju, jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu luka memar (contusio), luka lecet (abrasio), dan luka robek (vulnus laceratum) (Satyo, 2006).
Memar adalah suatu pendarahan di bawah akibat pecahnya kapiler dan vena yang disebabkan oleh dampak mekanik. Luka memar kadang kala memberi petunjuk tentang bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya adalah suatu pendarahan tepi (marginal haemorrhage). Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan memalui perubahan warnanya. Pada saat timbul memar berwarna merah,kemudian berubah menjadi ungu atau hitam, setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau
yang kemudian akan berubah menjadi kuning dalam 7 sampai 10 hari dan akhirnya menghilang dalam waktu 14 hari. Ukuran memar bervariasi, mulai dari sebesar kepala jarum pentul sampai yang besar sekali. Pada jaringan tubuh yang jaringannya longgar, cedera ringan dapat menimbulkan memar yang luas. Bentuk memar biasanya bundar tetapi kadang bisa juga menunjukkan senjata yang digunakan (Idrieset al, 2009 ; Knight, 2004).
Luka lecet atau abrasi adalah cedera pada lapisan superfisial kulit (epidermis) yang diakibatkan oleh gesekan terhadap permukaan yang kasar atau kompresi. Antemortem luka lecet memiliki tampilan berwana cokeat kemerahan dan sembuh tanpa jaringan parut. Sesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan sebagai luka lecet gores (scrape or brush abrasion), luka lecet serut, luka lecet tekan ( impression, impact abrasion) dan paterned abrasions ( DiMaio, 2001). Luka robek atau luka terbuka yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul dapat terjadi bila kekerasan yang terjadi sedemikian kuatnya sehingga malampaui elastisitas kulit atau otot dan lebih dimungkinkan bila arah dari kekerasan tumpul tersebut membentuk sudut dengan permukaan tubuh yan terkena benda tumpul. Luka robek mempunyai tepi yang tidak teratur, terdapat jembatan jaringan yang meghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur, atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut, disekitar luka robek sering tampak adanya luka lecet atau luka memar (Idries et al, 2009).
b) Luka akibat benda tajam
Benda-benda yan dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seprti ini adalah benda yang memiliki sisi tajam, baik berupa garis maupun runcing yang bervariasi dari alat-alat seperti pisau, golok dan sebagainya hingga keping kaca, gelas, logam, sembilu bahkan tepi kertas atau rumput (Afandi, 2011).
Gambaran umum luka yang diakibatkannya adalah tepi dan dinding luka yang rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan dasar
luka berbentyk garis atau titik. Luka akibat benda tajam dapat berupa luka iris atau luka sayat, luka tusuk dan luka bacok (Afandi, 2011).
Ciri-ciri umum dari luka akibat benda tajam adalah sebagai berikut (Sherwood, 2012) :
1) Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata dan sudutnya runcing.
2) Bila ditautkan akan menjadi rapat (karena benda tersebut hanya memisahkan, tidak menghancurkan jaringan) dan membentuk garis lurus atau sedikit lengkung.
3) Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan. 4) Daerah disekitar garis batas luka tidak ada memar.
c) Luka akibat tembakan senjata api
Senjata api adalah suatu senjata yang menggunakan tenaga hasil peledakan mesiu, dapat melontarkan proyektil (anak peluru) yang berkecepatan tinggi melalui larasnya. Tembakan senjata api yang mengenai tubuh akan menimbulkan luka tembak yang gambarannya tidak hanya terjadi sebagai akibat terjangan anak peluru pada sasaran, tetapi juga oleh produk ikutan yang terjadi saat tembakan dilepaskan yaitu partikel logam akibat geseran anak peluru dengan laras, butir mesiu yang tidak sempurna terbakar, asap serta panas akibat ledakan mesiu (Budiyanto et al, 1997). Akibat yang ditimbulkan oleh anak peluru pada sasarannya tergantungpada berbagai faktor, yaitu (Chadha,1995):
1. Besar dan bentuk anak peluru
2. Balistik (kecepatan, energi kinetik, stabilitas anak peluru) 3. Jarak antara senjata api dengan tubuh korban saat penembakan
Beratnya cidera akibat luka tembak tidak hanya tergantung dari jaringan yang terkena tetapi juga dari jenis senjata atau peluru yang dipakai. Beratnya cedera akibat luka tembak tergantung dari energi kinetik yang membentur jaringan. Besarnya energi tersebut dipengaruhi oleh massa, kecepatan dan gaya berat peluru (Sherwood, 2012).
2.2.2.2 Luka akibat kekerasan fisik
Luka akibat kekerasan fisik disebabkan oleh benda-benda yang ersofat fisik antara lain suhu, listrik dan petir.
a. Luka akibat suhu atau tempratur
Suhu tinggi dapat menyebabkan luka bakar yang cirinya tergantung dari jenis bendanya, ketinggian suhunya , serta lamanya kontak dengan kulit.Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga ( Jong, 2012).
Luka bakar yang terjadi dapat dikategorikan ke dalam 4 derajat luka bakar yaitu (Amir, 2005; Nuraga, 2012) :
1. Luka bakar derajat I :eritema (kemerahan) hanya mengenai epidermis
2. Luka bakar derajat II : vesikel dan bullae
3. Luka bakar derajat III : nekrosis koagulatif / dermisnya sudah terkena
4. Luka bakar derajat IV : karbonisasi / hangus
Luka akibat suhu rendah biasanya dialami oleh bagian tubuh yang terbuka seperti tangan, kaki, telinga dan hidung. Reaksi yang pertama kali terjadi adalah vasokonstriksi pembulih darah superfisial, efeknya tubuh akan terlihat pucat. Kemudian akan terjadi paralisis dari vasomotor kontrol yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi kemerahan. Jika keadaan berat maka akan timbul gangren (Dahlan, 2007).
Frosbite adalah pembekuan jaringan yang diakibatkan oleh pembentukan kristal es intraseluler dan bendungan mikrovaskuler sehingga terjadi anoksia jaringan (American College of Surgeons, 2008). Sedangkan hypothermia adalah penurunan suhu tubuh, terjadi apabila pendinginan suhu tubuh secara umum mengalahkan kemampuan
mekanisme pembentukan paas dan konversi panas mengimbangi pengeluaran panas yang berlebihan (Sherwood, 2012).
Berdasarkan dalamnya kerusakan jaringan yang ditimbulkan, Frosbite dibagi menjadi 4 derajat kerusakan, yaitu (American College of Surgeons, 2008) :
1. Derajat I : Hiperemia dan edema tanpa nekrosis kulit 2. Derajat II : Pembentukan vesikel atau bulla disertai hiperemi
dan edema dengan nekrosis sebagian lapisan kulit. 3. Derajat III : Nekrosis seluruh lapisan kulit dan jaringan
subkutan, biasanya juga disertai denan pembentukan vesikel hemoragik.
4. Derajat IV : Nekrosis seluruh lapisan kulit dengan ganggren otot serta tulang.
b. Luka akibat trauma listrik
Faktor yang berperan pada cidera listrik adalah tegangan (volt), kuat arus (ampere), tahan kulit (ohm), luas dan lama kontak. Sengatan oleh benda yang bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai akibat berubahnya energi listrik menjadi panas (Kiswara, 2014; Atmadja, 2004). Arus listrik menimbulkan kelainan karena rangsangan terhadap saraf dan otot. Energi panas yang timbul akibat tahanan jaringan yang dilalui arus menyebabkan luka bakar pada jarngan tersebut. Energi panas dari loncatan arus listrik tegangan tinggi yang mengenai tubuh akan menimbulkan luka akar yang dalam karena bunga api listrik dapat mencapai 2.500‟C. arus bolak-balik dapat menimbulkan rangsangan otot yang hebat berupa kejang-kejang. Kelancaran arus masuk tubuh tergantung pada basah atau keringnya kulit yang kontak dengan arus ( Jong, 2012).
Gambaran makroskopis jejas listrik pada daerah kontak berupa kerusakan lapisan tanduk kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol disekitarnya terdapat daerah yang pucat dikelilingi oleh kulit yang hiperemi. Bentuknya sering sesuai dengan benda penyebabnya. Metalisasi
dapat juga ditemukan pada jejas listrik. Sesuai dengan mekanisme terjadinya, gambaran berupa jejas listrik secara makroskopik juga timbul akibat persentuhan kulit dengan benda atau logam panas (membara). Walaupun demikian keduanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan makroskopik (Budiyanto et al, 1997).
c. Luka akibat petir
Petir adalah loncatan arus listrik tegangan tinggi antar awan dengan tanah. Teganga dapat mencapai 10 mega volt, dengan kuat arus mencapai 100.000 A. Kematian dapat terjadi karena efek arus listrik (kelumpuhan susuna saraf pusat, fibrilasi ventrikel), panas dan ledakan gas yang timbul (American College of Surgeons, 2008).
Pada korban akan ditemukan aboresentmark (kemerahan kulit seperti percabangan pohon), metalisasi (pemindahan partikel metal dari benda yang dipakai ke kulit), magnetisasi (benda metal yang dipakai berubah menjadi magnet). Pakaian sering terbakar dan robek-robek akibat ledakan/panas (Atmadja, 2004).
2.2.2.3 Luka Akibat Trauma Bahan Kimia
Luka akibat zat kimia merupakan luka bakar dan ini dapat terjadi akibat kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja dan kecelakaan di industri atau di laboratorium. Kerusakan yang terjadi sebanding dengan kadar dan jumlah bahan yang mengenai tubuh, cara dan lamanya kontak, serta sifat dan cara kerja zat kimia tersebut. Zat kimia kan tatap merusak jaringan sampai bahan tersebut habis bereaksi dengan jaringan tubuh (Jong, 2012).
Bahan-bahan kimia yang bersifat korosif dapat menyebabkan luka bakar. Bahan-bahan kimia yang bersifat korosif dibagi dalam empat golongan yaitu (Idries, 2008) :
1) Asam-asam organik yang bersifat korosif : asam oksalat, asam asetat, asam sitrat, asam karbol.
2) Asam-asam anorganik yang bersifat korosif : asam fluorida, asam khlorida, asam nitrat dan asam sulfat.
3) Kaustik alkali : kalium hidroksida, kalsium hdroksida, natrium hidroksida dan ammoniak.
4) Garam-garam dari logam berat : merkuri khlorida, zinc khlorida dan stibium khlorida.
2.2.3 Derajat kualifikasi luka
Penentuan kualifikasi luka pada dasarnya memenuhi keinginan undang-undang dalam hal ini KUHP pasal 351 ayat 1 dan ayat 2, pasal 352 ayat 1 , pasal 353 ayat 2, pasal 354 ayat 1 dan pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 (Idrieset al, 2009).
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP penaganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan utuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, sebagimana bunyi pasal 352 KUHP. Umumnya luka ringan tidak menimbulkan halangan dalam menjalankan mata pencaharian dan tidak mengganggu kegiatan sehari-hari (Budiyanto et al,1997; Amir, 2005).
Luka sedang adalah luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan untuk sementara waktu ( hari/minggu/bulan). Sedangkan luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah (Budiyanto et al, 1997):
a. Penyakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.
b. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian.
c. Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra. d. Mendapat cacat besar.
e. Lumpuh (kelumpuhan).
f. Akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu. g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
2.2.4 Akibat Perlukaan
2.2.4.1 Aspek Medik
Akibat dari luka yang ditimbulkan oleh luka adalah sebagai berikut (Amir, 2005) :
1. Kelainan fisik atau organik, ditandai dengan hilangnya jaringan tubuh atau hilangnya sebagian maupun seluruh organ tubuh.
2. Gangguan fungsi dari organ tubuh. 3. Infeksi
4. Penyakit 5. Kelainan psikis 2.2.4.1 Aspek Yuridis
Dari segi hukum luka merupakan kelainan yang disebabkan oleh suatu tindak pidana. Untuk menentukan berat ringannya suatu luka, perlu diterapkan terlebih dahulu berat ringannya luka tersebut. Kebijakan hukum pidana didalam penentuan berat ringannya luka tersebut didasarkan atas pengaruhnya terhadap (Amir, 2005) :
1. Kesehatan jasmani 2. Kesehatan rohani 3. Estetika jasmani
4. Pekerjaan jabatan atau mata pencaharian 5. Fungsi alat indera
2.3 Visum et Repertum pada kasus perlukaan
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa surat permintaan VeR. Sedangkan korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan VeR akan datang terlambat. Keterlambatan surat permintaan visum et repertum tersebut dapat diperkecil dengan diadakannya kerjasama yang baik antara dokter atau institusi kesehatan dengan penyidik atau instansi kepolisian (Budiyanto et al, 1997).
Baik terhadap surat permintaan VeR yang datang bersamaan dengan korban maupun yang datang terlambat, harus dibuatkan VeR. VeRini dibuat setelah
perawatan atau pengobatan selesai, kecuali pada VeR sementara. VeR sementara berisikan keterangan bahwa hingga saat visum et repertum dibuat, korban masih dalam perawatan di institusi kesehatan tersebut dan juga diperlukan bila korban dipindah rawatkan ke institusi kesehatan lainnya (Budiyanto et al, 1997).
Dokter harus membuat catatan medik atas semua hasil pemeriksaan mediknya terhadap setiap pasien. Pada korban yang diduga melakukan tindak pidana, pencatatan harus lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan VeR. Hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian pemberitaan VeR, disebabkan oleh catatan medik yang tidak lengkap (Dahlan, 2007).
Dibagian pemberitaan VeRbiasanya memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dari ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Didalam bagian kesimpulan, dokter harus menuliskan luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebabnya serta derajat perlukaan. Derajat luka dituliskan dalam kalimat yang mengarah ke rumusan delik dalam KUHP (Budiyanto et al, 1997 ; Afandi, 2010).
2.4 Teknik PembuatanVisum et Repertum
Setiap Visum et Repertum harus memenuhi ketentuan sebagai berikut (Afandi, 2011) :
a. Ditulis diatas kertas berkepala surat instansi pemeriksa b. Bernomor dan bertanggal
c. Mencantumkan “Pro Justicia” dibagian kiri ataus atau tengah atas d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama ketika mendeskripsikan temuan pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing g. Ditandatanganin dan diberi nama jelas
h. Berstempel instalasi yang memeriksa tersebut i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan pada penyidik yang meminta Visum et Repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi yang meminta, maka keduanya dapat diberikan masing-masing Visum et Repertum yang asli.
k. Salinan diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsp pada umumnya dan disimpan sebaiknya 20 tahun.
Unsur penting dalam VeR yang diusulkan banyak ahli adalah sebagai berikut (Afandi, 2011) :
1. Pro Justicia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu bermaterai.
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat :
a. Identitas pemohon Visum et Repertum
b. Tanggal dan pukul diterimanya permohonan Visum et Repertum c. Identitas dokter yang melakukan pemeriksaan
d. Identitas obyek yang diperiksa : nama , jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan
e. Kapan dilakukan pemeriksaan f. Dimana dilakukan pemeriksaan
g. Alasan dimintakannya Visum et Repertum h. Rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya i. Waktu korban meninggal dunia
j. Keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit
3. Pemberitaan ( Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang obyektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama dilihat dan ditemukan ada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antar luka dengan garis tengah badan, ordinat
adalah ajrak antara luka dengan titik anatomisnya permanen yang terdekat), jenis luka atau cidera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut penting terutama pada pemeriksaan korban mati yang saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali (Afandi, 2010).Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari :
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang „penyakit‟ yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan. b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan korban ati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, „alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan‟. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
d. Keadaan akhir korban, terutama tentang sejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesa, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan (Afandi, 2010).
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggung jawaban secara ilmia dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil
pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil namanesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati (Afandi et al., 2008)
5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis doter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau ani lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR (Afandi, 2010).
2.5 Metode pengukuran kualitas Visum et Repertum
Metode pengukuran kualitas VeR, diukur dengan menggunakan metode skoring yang telah dikembangkan dalam penelitian pendahuluan disempurnakan departemen Ilmu Kedokteran Forensik FKUI. Terdapat 13 variabel yang dinilai terdiri dari 5 variabel bagian pendahuluan, 6 variabel bagian pemberitaan dan 2 variabel bagian kesimpulan. Masing-masing variabel diberikan skor 0-2 (Herkutanto, 2005).
Setelah masing-masing variabel mendapat skor, kemudian dilakukan penghitungan nilai skor rata-rata dan pembobotan. Pembobotan dilakukan dengan cara mengalikan nilai skor rata-rata dengam suatu faktor pengali, sebagai berikut :
a. Skor rata-rata bagian pendahuluan dikalikan 1 b. Skor rata-rata bagian pemberitaan dikalikan 5 c. Skor rata-rata bagian kesimpulan dikalikan 8
Nilai kualitas VeR merupakan jumlah nilai dari kelompok variabel 1,2 dan 3 dibagi bobot total dikalikan dengan 100%. Kualitas VeR buruk bila nilai persentase (<50%), sedang (50%-75%) dan baik (>75%) (Herkuntanto, 2005).
Adapun unsur-unsur VeR yang dinilai dengan makna skornya sebagai berikut (Herkutanto, 2005) :
Tabel 2 Metode Skoring Herkutanto
Bagian Pendahuluan
No Unsur yang dinilai Skor Makna
1 Tempat pemeriksaan 0 1 2
Tidak mencantumkan tempat pemeriksaan Hanya mencantumkan salah satu nama RS, instansi pemeriksan dan bagian/instalasi
Mencantumkan lengkap nama RS, instansi pemeriksa dan bagian/instalasi
2 Waktu pemeriksaan 0 1 2
Tidak mencantumkan waktu pemeriksaan sama sekali Hanya mencantumkan tanggal / bulan / tahun tanpa jam Mencantumkan lengkap tanggal / bulan / tahun dan jam
3 Data subyek yang diperiksa 0 1 2
Tidak mencantumkan data subyek sama sekali Mencantumkan salah satu unsur
Mencantumkan dua unsur (nama, jenis kelamin, umur, alamat)
4 Data peminta pemeriksaan 0 1 2
Tidak mencantumkan nama penyidik yang meminta Hanya mencantumkan nama atau unit/satuan kerja Mencantumkan nama atau unit/satuan kerja
5 Data dokter pemeriksa 0 1 2
Tidak mencantumkan data dokter sama sekali Hanya mencantumkan nama dokter
Mencantumkan nama dokter dan kualifikasinya
Bagian Pemberitaan
No Unsur yang dinilai Skor Makna
1 Anamnesa 0
1 2
Tidak mencantumkan anamnesis / allloanamnesis Hanya mencantumkan keluhan atau penyakit yang pernah/tengah diderita
Mencantumkan dua unsur (keluhan subyektif, penyakit yang pernah/tengah diderita
2 Tanda vital 0 1 2
Tidak mencantumkan tanda-tanda vital sama sekali Hanya mencantumkan salah satu tanda vital Mencantumkan lebih dari satu unsur tanda vital 3 Lokasi luka 0
1 2
Tidak mencantumkan lokasi luka sama sekali Hanya mencantumkan region luka
Mencantumkan region dan sisi luka 4 Karakteristik luka 0
1 2
Tidak mencantumkan karakteristik luka sama sekali Mencantumkan jenis luka saja
Mencantumkan jenis dan bentuk luka atau dinding luka 5 Ukuran luka 0
1 2
Tidak mencantumkan ukuran luka sama sekali Mencantumkan ukuran luka secara kualitatif Mencantumkan ukuran luka secara kuantitatif 6 Pengobatan dan perawatan 0
1 2
Tidak mencantumkan pengobatan atau perawatan Hanya menyebutkan secara singkat
Mencantumkan lengkap jenis pengobatan/ perawatan
Bagian Kesimpulan
No Unsur yang dinilai Skor Makna
1 Kesimpulan jenis luka dan kekerasan
0 1 2
Tidak mencantumkan kesimpulan
Hanya mencantumkan jenis luka atau kekerasan Mencantumkan jenis luka dan kekerasan 2 Kualifikasi luka 0
1
2
Tidak mencantumkan kualifikasi luka
Mencantumkan kualifikasi luka tetapi tidak menggunakan rumusan dalam pasal 351, 352, dan 90 KUHP
Mencantumkan kualifikasi luka sesuai dengan rumusan dalam pasal 351, 352, dan 90 KUHP
2.6 Kerangka teori
VeR Korban Hidup
VeR Kejahatan Seksual
Visum dengan pemeriksaan luar
VeR Jenazah
VeR Perlukaan VeR Psikiatrik Visum dengan
pemeriksaan luar dan dalam Luka akibat Mekanik Luka akibat Fisik Luka akibat Kimia Kualitas Visum et Repertum Perlukaan Bagian Pendahuluan Bagian Pemberitaan Bagian Kesimpulan Metode Skoring Herkutanto a. Baik (>75%) b. Sedang (50%-75%) c. Buruk (<50%)
Visum et
Repertum
Penutup Pro Justicia2.7 Kerangka konsep
Visum et Repertum Perlukaan
Kriteria inklusi :
Tempat : Puskesmas Mlati 2, Puskemas Ngempak I, Puskesmas Kalasan, Puskesmas Minggir, Puskesmas Sleman, Puskesmas Turi Waktu : 1 Januari 2009 – 31 Desember 2014
Kriteria ekslusi :
a. Puskesmas yang baru ditetapkan menjadi puskesmas rawat inap oleh DinKes Sleman
b. Ada lembaran yang hilang c. Lembar kosong
d. Identitas tidak lengkap
e. Tidak ada otorisasi & tanda tangan penulis
f. Tidak mencakup semua bagian visum
Metode skoring Herkutanto
Nilai skor terdiri dari skor 0-2 berisi Bagiaan Pendahuluan, Bagian Pemberitaan, Bagian Kesimpulan
Analisis Kualitas Visum
a. Baik (>75%) b. Sedang (50%-75%) c. Buruk (<50%)