• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Dunia pendidikan sedang goncang oleh berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta di tantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Keprofesionalan guru terlihat dari kinerja yang dihasilkan dan dalam bab ini akan dibahas berbagai fenomena terkait dengan kinerja guru pada umumnya dan secara khusus pada guru SMA Kristen di Salatiga.

1.1 LATAR BELAKANG

Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara. Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan pergesekan kepentingan antar-bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah yang semakin kompleks. Batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi pemBatas-batas bagi kepentingan masing-masing bangsa dan negara. Setiap bangsa di dunia dewasa ini tidak dapat terlepas satu dengan yang lain. Oleh karena itu, satu sama lain harus melakukan kerjasama guna mencapai tujuan bangsa tersebut. Globalisasi merupakan salah satu hal yang harus dihadapi

(2)

2 oleh berbagai macam bangsa yang ada di dunia (Winarto, 2009).

Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia pasti tidak dapat dan tidak akan mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Indonesia menjadi salah satu Negara yang turut dipengaruhi oleh perubahan global. Ada berbagai aspek dalam kehidupan di Negara ini yang mengalami perubahan sebagai akibat dari globalisasi. Saat ini, pendidikan menjadi begitu penting di kacamata nasional dan internasional. Dalam rangka mewujudkan tatanan pendidikan yang mandiri dan berkualitas sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, perlu dilakukan berbagai upaya strategis dan integral yang menunjang penyelenggaraan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas berlaku untuk semua (education for all), mulai dari usia dini sebagai masa the golden age sampai jenjang pendidikan tinggi. Konsep yang diterapkan oleh UNESCO ini memerlukan dukungan yang kuat dari semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan (stakeholders). Tanpa partisipasi aktif dari semua pihak, tentunya akan sulit menghasilkan pendidikan yang berkualitas di Indonesia ini. Saat ini, persaingan global tidak terjadi di sektor ekonomi saja tetapi itu juga terjadi di sektor pendidikan. Pendidikan di Indonesia juga dituntut agar berkualitas seperti di luar negeri (Rachmawati & Kurniati, 2010).

(3)

Dunia pendidikan di Indonesia mengalami berbagai perubahan seiring dengan bergeraknya arus globalisasi. Dalam persaingan global, pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat dijadikan pengembangan modal sosial (social capital). Modal sosial sendiri dapat berarti SDM (Sumber Daya Manusia) yang mempunyai kejujuran, kepercayaan, kesediaan, dan kemampuan untuk bekerjasama, berkoordinasi, penjadwalan waktu dengan tepat, dan kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya pembangunan (Kapahang, 2001). Jadi, pengembangan modal sosial dapat berarti terciptanya insan yang sempurna.

Jika ini yang diharapkan, berarti era globalisasi merupakan tantangan sendiri. Pada era ini lembaga pendidikan harus menciptakan SDM yang mampu berkompetensi dan berprestasi serta mampu menghadapi akulturasi budaya yang luar biasa, terutama dari negara-negara Barat (Miftahuddin, 2011).

Kenyataan yang terjadi, SDM Indonesia menempati posisi yang cukup memprihatinkan dalam EDI (Education Development Index). Pada Desember 2009, Indeks Pembangunan Pendidikan yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) yang dipublikasikan dalam Global Monitoring Report serta dikeluarkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebutkan peringkat Indonesia berada pada posisi 71. Data ini

(4)

4 merupakan sebagian kecil bukti bahwa peningkatan kualitas SDM di Indonesia saat ini menjadi hal yang perlu diprioritaskan.

Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui berbagai upaya, salah satunya yakni peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan memang erat kaitannya dengan pembentukan mental yang berakhlak. Pendidikan tidak hanya berarti memberikan pelajaran kepada subjek didik agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi kehidupan nyata. Tetapi, lebih dari itu adalah tempat meningkatkan kualitas hidup manusia dengan mempertinggi pengalaman moral. Di samping itu, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk pembentukan kecerdasan, namun juga bagaimana pendidikan dapat membentuk tingkah laku yang cerdas sebagai tujuan utama. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan adalah sarana tempat pembentukan watak atas nilai-nilai budaya yang luhur. Sementara itu, terbentuknya watak, kepribadian, dan kualitas manusia yang lain tidak dapat dilepaskan dari kecerdasan tingkah laku seseorang (Barnadib, 1996). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka guru sebagai pelaksana pendidikan di sekolah menjadi penggerak utama.

Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, biaya, dan sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik

(5)

tidak berkualitas. Semua komponen lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru. Begitu pentingnya peran guru dalam mentransformasikan input-input pendidikan, sehingga tidak akan ada perubahan atau peningkatan guru (Atmojo, 2009). Lebih lanjut Atmojo (2009) menyatakan kualitas tanpa adanya perubahan dan peningkatan kualitas bahwa guru merupakan komponen vital, penggerak utama sebagai faktor kesuksesan dari sistem pendidikan dan pengajaran yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas sekolah. Dalam keadaan seperti ini guru mengembangkan “multi fungsi atau multi peran” antara lain, sebagai motivator dan pembimbing dalam proses belajar-mengajar agar siswa dapat menemukan, melengkapi serta mendiskusikan berbagai alternatif jawaban terhadap masalah-masalah tertentu.

Guru merupakan sosok penting yang memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan. Peran dan fungsinya sebagai “ujung tombak” dalam proses pendidikan, bahkan guru merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas pendidikan (Bernadib, 1996). Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu penting, sehingga pemerintah melindungi hak dan kewajibanguru melalui Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.Melalui undang-undang ini diharapkan kinerja guru dapat meningkat yang jugadiikuti dengan meningkatnya kualitas pendidikan. Guru memegang perananpenting dan strategis terutama dalam upaya

(6)

6 membentuk watak bangsa melaluipengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan, sehinggakedudukannya sulit untuk digantikan.Mencermati peran guru yang begitu kompleks, maka salah satu upaya yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas sekolah adalah melalui peningkatan kinerja guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumastuti (2001), yang menyatakan bahwa pengembangan mutu pendidikan dapat ditempuh melalui pengembangan mutu para pendidiknya dengan jalan peningkatan kinerja.

Sebagai pengajar atau pendidik, guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Kinerja guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, merupakan faktor utama dalam pencapaian tujuan pengajaran (Musarofah, 2008). Adanya peningkatan dalam mutu pendidikan tidak terlepas dari peran guru sebagai unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan. Guru mempunyai tugas untuk membimbing, mengarahkan, dan juga menjadi teladan yang baik bagi para peserta didik. Jadi dengan setumpuk tugas serta tanggung jawab yang diembannya guru, mampu menunjukkan bahwa dia dapat menghasilkan kinerja yang baik demi terciptanya pendidikan yang bermutu.

Kinerja sangat penting bagi sebuah organisasi di sekolah dalam upaya mencapai tujuannya. Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia kinerja seorang guru dalam sebuah organisasi sekolah sangat dibutuhkan untuk

(7)

mencapai kinerja yang baik bagi guru itu sendiri dan juga untuk keberhasilan sekolah mencapai tujuannya. Guru yang memiliki kinerja baik akan terlihat dari hasil yang dicapai yakni berjalannya pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Namun, hal ini masih jauh dari yang diharapkan. Dalam harian Kompas (Kompas.com) pada tanggal 7 Maret 2012 menyatakan bahwa secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini, dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.Begitu pun dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Adapun 861.67 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut profesional.

Pada suatu kesempatan, Musarofah (2008) menyatakan bahwa kinerja individu dapat bersifat positif maupun negatif, serta mendatangkan dampak yang berbeda pada masing-masing sifat tersebut. Lebih lenjut dikatakan bahwa jika individu memiliki kinerja positif, maka hal utama yang akan diuntungkan adalah tercapainya tujuan organisasi. Selain itu, pekerjaan yang diberikan terselesaikan dengan baik serta adanya kepuasan dari dalam diri individu tersebut terhadap pekerjaannya sendiri. Sementara itu, individu yang memiliki kinerja negatif

(8)

8 berdampak pada menurunkan citra perusahaan karena tidak tercapainya tujuan organisasi.

Kinerja guru juga dapat dilihat dari persiapan materi ketika kegiatan belajar mengajar akan berlangsung. Penelitian yang dilakukan oleh Musarofah (2008) menemukan bahwa dari delapan belas guru yang menjadi subjek penelitian, sebelas diantaranya kurang mempersiapkan materi pelajaran sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Dampak dari kurangnya persiapan adalah materi yang diajarkan tidak mendalam, sehingga peserta didik yang mengikuti proses belajar tidak memperoleh makna dari materi yang disampaikan. Hal ini bertolak belakang dengan kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh setiap guru, di mana kompetensi profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran. Guru harus selalu meng-update, dan menguasai materi pelajaran yang disajikan. Persiapan diri tentang materi diusahakan dengan jalan mencari informasi melalui berbagai sumber seperti membaca buku-buku terbaru, mengakses dari internet, selalu mengikuti perkembangan dan kemajuan terakhir tentang materi yang disajikan (Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007). Dengan demikian, SDM yang dihasilkan melalui proses belajar seperti ini

(9)

adalah individu-individu yang memiliki daya saing rendah dalam masyarakat.

Selain itu, guru memiliki karakter yang dapat diteladani juga merupakan salah satu ciri dari guru yang berkinerja tinggi. Hal ini sejalan dengan Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dengan kinerja tinggi adalah kompetensi kepribadian, dimana guru bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini bertolak belakang dengan peristiwa yang terjadi di Provinsi Banten pada bulan Oktober 2010 dimana seorang oknum guru dilaporkan ke pihak yang berwajib karena kedapatan melakukan tindakan asusila terhadap muridnya sendiri (www.metrotvnews.com, 2010). Tindakan asusila yang dilakukan tersebut bertolak belakang dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dengan adanya tindakan-tindakan seperti ini, menggambarkan bahwa kinerja guru saat ini mengalami penurunan dan perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak.

Selain itu, kinerja guru juga diukur berdasarkan tingkat kelulusan peserta didik dalam mengikuti ujian nasional (UN). Musharofah (2008) dalam suatu kesempatan

(10)

10 menyatakan bahwa dari 14.200 peserta UN SMP tahun 2010 di Sragen, terdapat 500 siswa yang tidak lulus. Selain itu, Mendiknas dalam suatu kesempatan (dikutip oleh Republika.co.id pada tanggal 29 Juli 2011) menyatakan bahwa pada tahun 2011 terdapat 561 sekolah yang angka kelulusannya nol persen dengan jumlah siswa 9.283. Selain itu, secara Nasional, ada 11.443 Siswa SMA / MA dinyatakan tidak lulus UN pada tahun 2011 (Disdik Lampung, 2011). Tingkat ketidak lulusan peserta didik yang masih cukup tinggi membentuk paradigma masyarakat bahwa kinerja guru di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Widyastono (2010) bahwa ketidak berhasilan peserta didik dalam mengikuti ujian merupakan gambaran nyata dari menurunnya produktivitas guru.

Atas dasar berbagai fenomena tersebut, maka kinerja guru merupakan masalah utama yang sedang dihadapi saat ini. Kinerja guru perlu ditingkatkan, karena hal itu merupakan tugas utama yang harus dikerjakan oleh pihak-pihak yang terkait, termasuk didalamnya peningkatan kinerja guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di Salatiga. Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di Salatiga terdiri dari dua sekolah yakni SMA Kristen 1 yang beralamat di Jl. Osamaliki No.32 Salatiga dan SMA Kristen 2 yang beralamat di Jl. Argoluwih No. 15 Argomulyo Salatiga.

Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 22 Mei 2013 dengan kepala sekolah SMA Kristen 1 diperoleh

(11)

data bahwa ada beberapa guru sampai saat ini belum merampungkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berfungsi sangat besar dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dijelaskan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan ke-giatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi siswa. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Namun sayangnya, ada beberapa guru yang belum memenuhi ketentuan dalam penyusunan RPP. Hal senada juga diungkapkan oleh kepala sekolah SMA Kristen 2 bahwa perencanaan pembelajaran merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. RPP sebagai panduan dalam mengajar, sehingga pada saat terjun di kelas, guru semakin mantap dalam mengajar. Selain itu, guru yang rajin membuat RPP berarti telah menjalankan kegiatan administrasi guru dengan baik. Tetapi untuk mencapai hal ini masih sangat sulit karena ada guru yang belum mematuhi peraturan tersebut.

Penulis juga melakukan wawancara dengan pengurus Osis (ketua Osis) dan menemukan data bahwa dalam proses

(12)

12 belajar mengajar berlangsung, ada beberapa guru yang kurang memiliki kemampuan untuk mengelola kelas sehingga menjadi kelas yang interaktif. Situasi belajar yang sering terjadi adalah komunikasi satu arah, yakni dari guru ke murid. Sementara menurutnya, ketika proses belajar mengajar berlangsung, hendaklah terjadi komunikasi dua arah. Karena dengan adanya komunikasi dua arah, siswa dapat mengemukakan pendapat atau pertanyaan tentang materi yang kurang dipahami. Dengan demikian siswa tertolong untuk memahami materi yang disampaikan oleh guru.

Penguasaan dan penggunaan fasilitas belajar merupakan salah satu faktor yang penting bagi guru dalam menunjang proses belajar mengajar. Dari data yang diperoleh, fasilitas belajar di SMA Kristen 1 sudah cukup memadai, ditandai dengan adanya LCD di beberapa ruang kelas. Para guru sudah mulai memanfaatkan fasilitas tersebut, tetapi ada beberapa guru yang belum memanfaatkan fasilitas belajar tersebut. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa penguasaan teknologi dan kurangnya waktu untuk mempersiapkan bahan ajar (power-point) merupakan faktor kendala bagi para guru dalam memanfaatkan fasilitas yang ada.

Dengan adanya berbagai fenomena di atas, maka penulis tergerak untuk melakukan penelitian sehubungan dengan kinerja guru karena guru merupakan sosok penting yang memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan.

(13)

Peran dan fungsinya sebagai “ujung tombak” dalam proses pendidikan menjadikan guru sebagai individu yang paling bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Jadi, jika guru menunjukkan kinerja yang negatif, maka sudah pasti SDM yang dihasilkan melalui proses belajar di sekolah adalah SDM yang kurang mampu bersaing dalam dunia global. Oleh sebab itu, kinerja guru perlu menjadi perhatian utama dalam dunia pendidikan saat ini.

Kinerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik eksternal maupun internal. Kartini (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru meliputi kecerdasan, etos kerja dan kecakapan, motif, kesehatan, kepribadian, kepuasan kerja, lingkungan keluarga, lingkungan kerja, komunikasi dengan kepala sekolah, serta sarana prasarana sekolah.

Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja akan meningkat secara optimal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mone (2005), Bowling (2007), Bolin (2007), Hernadi (2009), Demirtas (2010), dan Pardosi (2012) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh positif signifikan

(14)

14 terhadap kinerja. Adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tinggi rendahnya kinerja guru. Dengan kata lain, jika individu puas dengan pekerjaannya maka akan semakin tinggi kinerja yang ditampilkan. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja individu, maka semakin rendah kinerja individu tersebut. Tetapi hasil penelitian di atas bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utamie (2009) dan Warsidi (2004) dimana dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja guru tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hasil penelitian yang tidak signifikan ini terlihat dari adanya kepuasan kerja yang rendah yang terlihat dari rendahnya kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena mata pelajaran yang diberikan kepada guru untuk diajarkan di kelas tidak sesuai dengan kompetensi akademik yang dimiliki oleh guru sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kinerja guru.

Etos kerja merupakan salah satu faktor yang juga turut memengaruhi kinerja.Sinamo (2005) menerangkan bahwa etos kerja mencakup konsep utama tentang kerja itu sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari, prinsip-prinsip yang mengatur, nilai-nilai yang menggerakkan, sikap-sikap yang dilahirkan, standar-standar yang hendak dicapai termasuk karakter utama, pikiran dasar, kode etik,

(15)

kode moral, dan kode perilaku bagi para pemeluknya. Dengan memiliki etos kerja yang tinggi, maka diharapkan kinerja para guru juga semakin meningkat.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratikto (2009) terhadap guru-guru mata pelajaran ekonomi/akutansi SMA/MA/SMK di wilayah Malang raya, dengan pendekatan metode mixed, menemukan bahwa etos kerja berpengaruh terhadap kinerja profesional. Mone (2005) juga melakukan penelitian dengan hasil yang menyatakan bahwa bahwa adanya hubungan yang positif signifikan antara etos kerja dengan kinerja guru. Evans (1998) juga melakukan penelitian dengan hasil bahwa etos kerja mempengaruhi kinerja guru. Fitnaini (2009) menyatakan dalam peneltiannya bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara etos kerja guru dengan kinerja.

Pada kesempatan yang berbeda, Dammy (2011) juga melakukan penelitian untuk melihat seberapa besar hubungan kepuasan kerja dan etos kerja dengan kinerja guru SMA Methodist 1 Palembang. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebesar 22% kepuasan kerja dan etos kerja memiliki hubungan dengan kinerja guru. Lebih lanjut dijelaskan, hal ini berarti bahwa kinerja guru akan menjadi baik apabila didukung oleh kepuasan kerja dan etos kerja guru yang baik. Sebaliknya kinerja guru akan menjadi tidak baik apabila kepuasan kerja dan etos kerja guru tidak baik. Dengan demikian jika kinerja guru ingin ditingkatkan, maka

(16)

16 seyogyanya kepuasan kerja guru dan etos kerja guru harus menjadi bagian yang diberi perhatian. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepuasan dan etos kerja berguna untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan ketika kinerja guru menurun, seberapa besar usaha dan seberapa lama perlu dilakukan. Oleh karena itu guru dengan kinerja tinggi cenderung akan berusaha menyelesaikan tugas yang memang harus dikerjakannya dan masalah-masalah kerja yang ada serta mampu mempertanggung jawabkan apa yang telah dikerjakan secara terbuka dan jujur.

Sementara itu, Siregar (2012) juga melakukan penelitian hubungan etos kerja dan kepuasan kerja dengan prestasi kerja guru SMA Negeri di kota Binjai. Hasil penelitian menunjukan R = 0,310 pada taraf kepercayaan α = 0,05. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi etos kerja dan kepuasan kerja secara bersama-samamaka akan semakin meningkatkan prestasi kerja guru SMA Negeri di Kota Binjai.

Bertolak dari berbagai fenomena dan hasil penelitian yang ada, maka penulis berasumsi bahwa kepuasan kerja dan etos kerja merupakan dua faktor yang bersumber dari internal individu yang jika dimaksimalkan maka akan mewujudkan kinerja kerja yang maksimal dari seorang guru. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang dirasakan oleh individu dibarengi dengan etos kerja yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Hal

(17)

senada juga dialami oleh guru sebagai individu yang bekerja meningkatkan mutu pendidikan. Oleh sebab itu, berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian yang ada, peneliti tergerak untuk melakukan penelitian lebih lanjut sehubungan dengan pengaruh kepuasan kerja dan etos kerja terhadap kinerja guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di Salatiga.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, maka masalah penelitian adalah apakah kepuasan kerja dan etos kerja secara simultan memiliki pengaruh terhadap kinerja guru di SMA Kristen Saltiga?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian pada penelitian ini adalah untuk menentukan kepuasan kerja dan etos kerja secara simultan sebagai prediktor terhadap kinerja guru di SMA Kristen Salatiga.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini, manfaat teoritis yang diharapkan adalah:

1. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan khususnya sumbangan ilmiah

(18)

18 bagi perkembangan ilmu psikologi mengenai pengembangan sumber daya manusia khusunya di bidang pendidikan.

2. Menguji kembali beberapa teori yang berhubungan dengan masalah kepuasan kerja, etos kerja, dan kinerja. 1.4.2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini, manfaat praktis yang diharapkan adalah:

1. Memberikan kontribusi positif bagi lembaga-lembaga pendidikan dimanapun, secara khusus lembaga pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Salatiga. 2. Memberikan masukan dan evaluasi perbaikan kinerja

bagi para guru di SMA Kristen di Salatiga.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman atau referensi untuk penelitian berikutnya yang sejenis.

Referensi

Dokumen terkait

Petisi, yang pertama diselenggarakan oleh ilmuwan individu yang mendukung teknologi RG telah menghasilkan lebih dari 1.600 tanda tangan dari ahli ilmu tanaman mendukung pernyataan

Secara parsial, variabel kualitas layanan yang terdiri dari: dimensi variabel bukti fisik (tangibles) dan empati (emphaty) berpengaruh secara signifikan dan

Berbagai dikotomi antara ilmu – ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagimana dilakukan Abduh dan

Sekolah harus melakukan evaluasi secara berkala dengan menggunakan suatu instrumen khusus yang dapat menilai tingkat kerentanan dan kapasitas murid sekolah untuk

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR