• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu

2.1.1 Landasan Teori 2.1.1.1 Teori Keagenan

Teori keagenan dalam perusahaan mengidentifikasi adanya pihak-pihak dalam perusahaan yang memiliki berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan dalam kegiatan perusahaan. Teori ini muncul karena adanya hubungan antara

principal dan agent. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu

bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik pada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para agent diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Teori ini berusaha untuk menggambarkan faktor-faktor utama yang sebaiknya dipertimbangkan dalam merancang kontrak insentif (Warsidi dan Pramuka, 2000).

Walaupun agency theory dalam studi kasus akuntansi berfokus pada hubungan manajer dan perusahaannya (Booth dan Schultz, 2004), tetapi Wajib Pajak juga dapat dilihat sebagai agent. Reinganum dan Wilde (1985) menyebutkan bahwa hubungan antara principal dan agent terjadi antara fiskus dan

(2)

Wajib Pajak. Peran dari fiskus adalah memungut pajak, sedangkan peran dari Wajib Pajak adalah melaporkan pajak terutang dan membayarkan pajaknya pada pemerintah. Dalam penelitian ini diajukan model kepatuhan Wajib Pajak yang mana fiskus (principal) menghendaki pendapatan pajak yang maksimal, tetapi tidak dapat meninjau meninjau penghasilan yang sebenarnya dari Wajib Pajak (agent).

Salah satu asumsi dari teori keagenan bahwa tujuan principal dan tujuan

agent yang berbeda dapat memunculkan konflik karena manajer perusahaan

cenderung untuk mengejar tujuan pribadi. Hal ini dapat mengakibatkan kecenderungan perusahaan yang menginginkan tingkat laba yang tinggi dengan cara meminimalisir pajak yang akan dibayarkan melalui tax planning, sedangkan fiskus yang cenderung akan tetap menghitung pajak penghasilan perusahaan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.

Eisenhardt (1989) dalam Haris (2004) menyatakan bahwa teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat manusia, yaitu (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, pemilik perusahaan yang juga seorang manusia akan bertindak

(3)

2.1.1.2 Thin Capitalization

Salah satu skema penghindaran pajak dengan menggunakan loopholes ketentuan pajak yang ada adalah dengan merubah penyertaan modal ke pihak yang memiliki hubungan istimewa menjadi pemberian pinjaman baik secara langsung ataupun melalui perantara atau sering disebut dengan thin capitalization.

Thin capitalization merupakan praktik membiayai cabang atau anak perusahaan

lebih besar dengan utang berbunga daripada dengan modal saham. Praktik thin

capitalization didasarkan pada adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas bunga

(sebagai imbalan atas hutang) dan dividen (sebagai imbalan atas modal). Biaya bunga merupakan unsur pengurang dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan dividen bukan merupakan unsur pengurang dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Pinjaman dalam konteks thin capitalization merupakan pinjaman berupa uang atau modal dari pemegang saham atau pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (related party) dengan pihak peminjam, yang biasanya melibatkan holding company di negara dengan tarif pajak rendah sehingga pajak yang seharusnya menjadi hak suatu negara dapat dialihkan ke negara lain. Modusnya adalah bahwa dalam membiayai subsidiari-nya, suatu

holding company akan memberikan kontribusi berupa hutang (bukan modal).

Dengan demikian subsidiary akan terbebani biaya bunga yang merupakan unsur pengurang dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak, sehingga pajak yang ditanggung oleh subsidiary tersebut dapat ikut mengecil.

Undang-Undang PPh di Indonesia sudah mengatur mengenai thin

(4)

Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang PPh. Untuk pelaksanaannya kemudian dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984. Dalam keputusan ini diatur bahwa:

a. Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, besarnya perbandingan antara utang dan modal sendiri (Debt to Equity Ratio/DER) ditetapkan setinggi-tingginya tiga dibanding satu (3 : 1)

b. Utang dalam rangka menghitung DER adalah saldo rata-rata pada tiap akhir bulan yang dihitung dari semua utang baik utang jangka panjang maupun utang jangka pendek, selain utang dagang

c. Modal sendiri dalam menghitung DER adalah jumlah modal yang disetor pada akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan/atau belum dibagikan d. Dalam hal besarnya perbandingan utang dan modal sendiri melebihi

besarnya perbandingan 3 : 1, maka bunga yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah sebesar bunga atas utang yang perbandingannya terhadap modal sendiri sesuai dengan perbandingan 3 : 1.

Namun demikian pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 kemudian ditangguhkan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985. Alasan penangguhan tersebut karena penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal sendiri untuk keperluan pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku umum dikhawatirkan akan

(5)

ada ketentuan secara efektif diberlakukan untuk menyelesaikan masalah thin

capitalization di Indonesia.

Dalam upaya mencegah dan mengidentifikasi adanya praktik penghindaran pajak yang mengacu pada penggelapan pajak (tax evasion), praktik melanggar hukum yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, umumnya suatu negara menerbitkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibagi menjadi 2 (dua) yaitu ketentuan umum (General Anti Avoidance Rule/GAAR) dan ketentuan khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR).

Salah satu definisi GAAR disampaikan oleh Graeme S.Cooper bahwa GAAR adalah alat untuk menangkal tax avoidance (Cooper 1997, 25). Lebih lanjut disampaikan oleh Michael Brooks dan John Head sebagai berikut :

“...a general anti-avoidance rule aims to cover a range of unspecified schemes where the dominant purpose is to avoid tax, more specific or targeted provisions may be employed to deal with particular tax avoidance practices”

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa ketentuan umum anti penghindaran pajak digunakan untuk menangkal skema-skema penghindaran pajak. Lebih lanjut, Graeme juga memberikan pendapat mengenai SAAR bahwa ketentuan khusus anti penghindaran pajak adalah alternatif bagi ketentuan umum anti penghindaran pajak.

(6)

Dalam praktik ini di beberapa negara berjalan efektif dalam pencegahan praktik penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak (Thuronyi 1998, 193).

2.1.1.3 Multinationality

Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang memiliki operasi – operasi yang signifikan di dua atau lebih negara secara bersamaan, namun keputusan utama dan kontrolnya dilakukan oleh dilakukan oleh perusahaan di negara asalnya; perusahaan multinasional adalah perusahaan yang beroperasi (memproduksi dan menjual barang atau jasanya) di lebih dari satu negara (Shapiro, 1975). Perusahaan ini terdiri dari perusahaan induk (parent company) yang berlokasi di negara asalnya dan memiliki paling sedikit lima atau enam perusahaan afiliasi / subsidiary (anak perusahaan) di luar negeri, secara khas dengan suatu interaksi derajat yang tinggi atau saling terkait antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya.

2.1.1.4 Tax Haven dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia

Tax Haven Country adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan

sengaja memberikan fasilitas pajak berupa penetapan tarif pajak yang rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali. Hal ini bertujuan agar penghasilan

(7)

penduduk negara lain bisa dialihkan ke negara tersebut. Definisi tax haven

country bisa berbeda-beda di masing-masing negara (Darussalam, 2007).

The United States Government Accountability Office memberikan lima

karakteristik tax haven country, yaitu :

a. Tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja

b. Tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain

c. Tidak ada transparansi dalam pelaksanaan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya

d. Tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada negara itu

e. Mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial

center.

Sedangkan menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and

Development) ada empat faktor utama yang digunakan apakah suatu negara

merupakan tax haven. Yang pertama adalah bahwa negara tidak mengenakan pajak atau hanya nominal saja. Kriteria tidak ada pajak atau nominal saja tidak cukup sebagai satu-satunya kriteria dianggap sebagai tax haven. OECD mengakui bahwa setiap negara memiliki hak untuk menentukan apakah perlu memberlakukan pajak langsung (pajak penghasilan) dan mengenakan pajak dengan tarif tertentu yang sesuai kepentingan negaranya. Tiga faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah:

(8)

b. Memiliki ketentuan dan praktik administrasi yang menghambat pertukaran informasi dengan negara lain terkait dengan Wajib Pajak yang mendapat keuntungan dari tidak adanya pengenaan pajak

c. Tidak ada kewajiban untuk adanya aktivitas secara substansial.

Sebagai ganti dari penerimaan negara berupa pajak, yang menjadi sumber penghasilan utama bagi tax haven country adalah biaya pendirian perusahaan, iuran tahunan, dan biaya untuk jasa-jasa tambahan lainnya.

Pada KTT G20 London pada tanggal 2 April 2009, negara-negara G20 sepakat untuk mengumumkan daftar hitam (black list) tax haven country, yang diklasifikasikan dalam empat kategori berdasarkan standar yang disepakati secara internasional (internationally agreed tax standard). Daftar hitam tersebut pertama kali diterbitkan oleh OECD, dan telah diperbaharui pada tanggal 2 April 2009 dalam rangka pertemuan G20 di London. Perubahan berikutnya dibuat 7 April 2009 untuk mengeluarkan beberapa negara yang masuk dalam kategori tidak kooperatif. Keempat kategori tersebut adalah:

1. Negara yang telah secara substansial menerapkan standar (Those that have

substantially implemented the standard) termasuk negara-negara seperti

Argentina, Australia, Brazil, Kanada, Cina, Republik Ceko, Prancis, Jerman, Yunani, Guemsey, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Jersey, Isle of Man, Meksiko, Belanda, Polandia, Portugal, Rusia, Slovakia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat.

(9)

2. Tax havens yang mempunyai komitmen, tetapi belum sepenuhnya mengimplementasikan standar (Tax havens that have committed to – but

not yet fully implemented – the standard) termasuk Andorra, Antigua dan

Barbuda, Bahama, Bahrain, Belize, Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Islands, Cook Island, Dominica, Gibraltar, Grenada, Liberia, Liechtenstein, Marshall Island, Montserrat Nauru, Monako, Netherlands Antilles, Niue, Panama, St. Kitts and Nevis, St. Lucia, Samoa, San Marino, Turks and Caicos Island, Vanuatu,

3. Pusat-pusat keuangan yang telah berkomitmen tetapi belum sepenuhnya mengimplementasikan standar (Financial centers that have committed to –

but not yet fully implemented – the standard) termasuk Chile, Guatamala,

Singapura, Swiss, dan tiga negara Uni Eropa – (Austria, Belgia, dan Luxemburg)

4. Mereka yang belum berkomitmen pada standar (Those that have not

committed to the standard).

Negara-negara di tingkat bawah standar (Those that have not committed to

the standard) digolongkan sebagai negara-negara yang tidak kooperatif (non-cooperative tax haven). Uruguay awalnya diklasifikasikan sebagai yang tidak

kooperatif. Namun setelah permohonan banding OECD menyatakan bahwa telah memenuhi ketentuan transparansi dan bergerak ke atas dari daftar. Filipina dilaporkan sudah mengambil langkah untuk menghapus dirinya dari daftar hitam dan begitu juga Malaysia dan Kosta Rika. Pada tanggal 7 April 2009, OECD mengumumkan bahwa Kosta Rika, Malaysia, Filipina, dan Uruguay telah dihapus

(10)

dari daftar hitam setelah mereka membuat komitmen penuh untuk bersedia saling bertukar informasi sesuai standar OECD.

2.1.1.5 Peraturan Pemotongan Pajak (Withholding Taxes) Berganda di Indonesia

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

Pemotong PPh Pasal 26 adalah :

1. Badan Pemerintah;

2. Subjek Pajak dalam negeri; 3. Penyelenggara Kegiatan; 4. BUT;

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.

(11)

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri berupa :

a. dividen;

b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. hadiah dan penghargaan;

f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

g. premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau h. keuntungan karena pembebasan utang.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa : a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;

b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau special purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;

(12)

4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia;

5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

2.1.1.6 Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham oleh institusi pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri serta institusi lainnya pada akhir tahun. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar (lebih dari 5%) mengindikasikan bahwa kemampuannya untuk memonitor manajemen menjadi lebih besar. Hal ini juga dikemukakan oleh Barnae dan Rubin (2005) bahwa institusional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan.

Para pemegang saham yang memiliki kedudukan pada manajemen perusahaan, dengan prosentase kepemilikan saham (>5%) dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Barnae dan Rubin juga mengatakan semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva

(13)

perusahaan dan diharapkan dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen.

2.1.2.7 Komite Audit

Pada umumnya dewan komisaris membentuk komite-komite dibawahnya sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan peraturan perundangan yang berlaku untuk membantu dewan komisaris dalam melaksanakan tanggung jawab dan wewenang secara efektif. Komite yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut adalah komite audit, komite kebijakan risiko, komite remunerasi dan nominasi, komite kebijakan good corporate governance (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Namun, menurut peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam No:KEP-339/BEJ/2001, yang sifatnya wajib dimiliki oleh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek hanya komite audit.

Komite audit pada prinsipnya memiliki tugas pokok dalam membantu dewan komisaris melakukan fungsi pengawasan atas kinerja perusahaan. Sesuai dengan keputusan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) menyatakan bahwa:

“Komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk melakukan tugas-tugas khusus atau sejumlah anggota dewan komisaris perusahaan klien yang bertanggung jawab untuk membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen.”

Komite audit erat kaitannya dengan penelaahan terhadap risiko yang dihadapi perusahaan dan ketaatan peraturan yang berlaku. Keberadaan komite

(14)

audit telah menjadi sangat penting sebagai salah satu perangkat utama dalam manajemen laba, salah satunya adalah praktik thin capitalization.

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu Nama

Peneliti

Variabel Dependen

Variabel Independen Hasil Penelitian Taylor dan Richardson (2013) Thin Capitalization Multinationality, tax haven utilization, withholding taxes, dan tax uncertainly.

Ada hubungan positif dan signifikan antara thin capitalization terhadap Multinationality, tax haven utilization, withholding taxes, dan tax uncertainly.

Annisa dan Kurniasih (2012) Tax Avoidance (Book Tax Gap) Corporate Governance: Kepemilikan Institusional, dewan komisaris, (prosentase dewan komisaris dan jumlah dewan

komisaris), kualitas audit dan komite audit

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap komite audit dan kualitas audit. Sedangkan hasil kepemilikan institusional, prosentase dewan komisaris independen dan jumlah dewan komisaris tidak signifikan, artinya tidak ada pengaruh. Novia Suci Nuraini (2014) Thin Capitalization Multinationality, Pemanfaatan Tax Haven, Pemotongan Pajak (Withholding Taxes), dan Kepemilikan Institusional Multinationality, Pemanfaatan Tax Haven, Pemotongan Pajak (Withholding Taxes), dan Kepemilikan Institusional berpengaruh signifikan terhadap

(15)

Melati Rian Putri (2015) Thin Capitalization Multinationality, Pemanfaatan Tax Haven, Pemotongan Pajak (Withholding

Taxes), dan Corporate Governance

Multinationality,

Pemanfaatan Tax

Haven, dan Dewan

Komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap thin capitalization. Sedangkan Withholding Taxes, Kepemilikan institusional, dan komite audit berpengaruh signifikan terhadap thin capitalization. Sumber : Dikembangkan oleh penulis, 2016

2.3 Kerangka Konseptual

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara multinationality, pemanfaatan tax haven, pemotongan pajak (withholding taxes), kepemilikan institusional, dan ukuran komite audit terhadap thin capitalization. Alasan perusahaan melakukan penghindaran pajak melalui thin capitalization perlu diketahui agar tidak menuju ke pengelakan pajak.

(16)

H1 H2 H3 H4 H5 Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.4 Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Multinationality terhadap Thin Capitalization

Praktik penghindaran pajak seringkali dilakukan oleh perusahaan multinasional mengingat bahwa perusahaan multinasional biasanya menerapkan perencanaan pajak yang efisien di seluruh entitas kelompok karena perusahaan multinasional memperoleh pendapatan dari berbagai sumber asing yang lebih besar, sehingga terlibat dalam kegiatan penghindaran pajak. Bahkan, Rego (2003)

Multinationality Pemanfaatan Tax Haven Pemotongan Pajak (Withholding Taxes) Kepemilikan Institusional Ukuran Komite Audit Variabel kontrol :

- Profitabilitas Perusahaan (ROA) - Inventory Intensity

- Ukuran Perusahaan (SIZE) Thin Capitalization

(17)

menemukan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional Amerika Serikat lebih berhasil menghindari pajak korporasi dari perusahaan murni domestik. Untuk menguji pengaruh multinationality terhadap thin capitalization dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Multinationality berpengaruh positif terhadap thin capitalization

2.4.2 Pengaruh Pemanfaatan Tax Haven terhadap Thin Capitalization

Desai dan Hines (2002) menunjukkan bahwa perusahaan yang tergabung dalam tax havens mampu menggeser pendapatan dari yurisdiksi pajak yang tinggi ke pajak yang rendah melalui transfer pricing, utang antar perusahaan dan pengalihan aset tidak berwujud. Bahkan, sebuah perusahaan multinasional bisa menggunakan badan pembiayaan di tax haven untuk pemotongan pajak yang aman untuk pembayaran utang bunga oleh perusahaan di negara-negara bertarif pajak tinggi (Richardson et al., 1998; Slemrod dan Wilson, 2009). Untuk menguji pada pemanfaatan tax haven terhadap thin capitalization dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H2: Pemanfaatan tax haven berpengaruh positif terhadap thin capitalization.

2.4.3 Pengaruh Pemotongan Pajak (Withholding Taxes) terhadap Thin Capitalization

Dalam penelitian yang dilakukan Magdalena (2009) dengan mengaitkan perusahaan pertambangan Indonesia, withholding tax untuk dividen atas wajib pajak dikenakan tarif 20% yang jika dibandingkan dengan negara seperti China

(18)

dan Argentina yang tidak dikenakan tarif sama sekali yaitu 0% maka tarif 20% relatif besar bagi investor. Walaupun terdapat persetujuan penghindaran pajak berganda antara dua negara dapat menurunkan tarif, hal ini tetap menjadi beban bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan melakukan praktik

transfer pricing agar laba perusahaan tidak menyusut dengan banyaknya biaya

pajak yang ada.

Dengan demikian, karakteristik ini menentukan apakah merupakan pemotongan pajak bunga atau pajak dividen yang dibayarkan pada non-resident

distributions atau apakah instrumen ini dianggap sebagai utang modal untuk

tujuan thin capitalization. Penentuan ini mengacu pada PPh pasal 26, pemotongan atas bunga dan dividen; apakah dikenakan PPh pasal 26 atau tidak.

H3: Pemotongan pajak (withholding taxes) berpengaruh positif terhadap thin

capitalization.

2.4.4 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Thin Capitalization

Kepemilikan institusional bertindak sebagai pihak yang memonitoring perusahaan dan dapat menurunkan biaya agency (Crutcley et al., 1999). Dilihat dari adanya monitoring dan biaya agency dapat disimpulkan bahwa peranan utang perusahaan dijadikan alat monitoring bagi manajer, sehingga dengan adanya pengawasan yang efektif oleh pihak institusional dapat menurunkan penggunaan utang perusahaan. Tindakan pengawasan perusahaan yang dilakukan oleh pihak investor institusional, dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan

(19)

mementingkan diri sendiri (opportunistic). Tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor institusional dapat membatasi perilaku para manajer, sehingga fungsi monitoring yang diberikan oleh investor institusional dapat memastikan bahwa manajer akan bertindak yang terbaik bagi kepentingan stakeholder.

Kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisir konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba (Jansen dan Meckling, 1976).

H4: Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap thin capitalization.

2.4.5 Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Thin Capitalization

Pedoman pembentukan komite audit telah mengatur tentang jumlah minimum anggota komite audit, yaitu 3 orang. Menurut KNKG, untuk membangun komite audit yang efektif, rentang jumlah anggota yang diperlukan adalah 3-5 orang. Karena dengan semakin besarnya ukuran komite audit akan meningkatkan fungsi pengawasan pada komite audit terhadap pihak manajemen.

Annisa dan Kurniasih (2012) membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif antara ukuran komite audit dengan praktik thin capitalization. Hasil

(20)

tersebut menunjukkan bahwa semakin besar ukuran komite audit maka kualitas pelaporan keuangan semakin terjamin. Besarnya ukuran komite audit dapat meminimalisasi terjadinya praktik thin capitalization.

Untuk menguji hubungan antara ukuran komite audit dan thin capitalization, penelitian ini menguji hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Adalah layanan yang memungkinkan pengguna melakukan komunikasi telepon dengan pengguna lain melalui internet. Dalam hal ini kita juga mengenal Internet Telephony

Beberapa aktivitas eksternal ekonomi utama dijalankan oleh Kementerian lain semisal Kementerian Perdagangan untuk aktivitas perdagangan internasional dan Badan Koordinasi

Lebih lanjut, perdagangan Zona Euro meningkat menjadi EUR 25,79 miliar pada November 2020, dari EUR 20,15 miliar pada periode yang sama tahun lalu dan dibandingkan

Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.

Diharapkan dapat menambah informasi khususnya pada keluarga yang merawat lansia yang mengalami demensia terkait burden family caregiver dengan kualitas hidup family

Berdasarkan hasil pengamatan tentang parameter sifat kimia pH, pada air limbah buangan industri tempe diperoleh nilai pH menunjukkan angka normal yaitu 7,39-7,52 dari hasil

Karena dengan tak pernah absenya Mischief Denim dalam event tahunan tersebut di tambah dengan merupakan salah satu produk jeans lokal yang memiliki followers Instagram terbanyak

1 11140048 Frendy Bayu Listyawan PGMI SD Insan Amanah. 2 11140039