1
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul Depan ... i
Halaman Sampul Dalam ... ii
Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum... iii
Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iv
Halaman Pengesahan Ujian Skripsi ... v
Halaman Surat Pernyataan Keaslian ... vi
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi... x
Abstrak ... xiii
Abstract ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8
1.4 Orisinalitas ... 9 1.5 Tujuan Penelitian ... 10 1.5.1 Tujuan Umum ... 10 1.5.2 Tujuan Khusus ... 10 1.6 Manfaat Penelitian ... 10 1.6.1 Manfaat Teoritis ... 10 1.6.2 Manfaat Praktis ... 11
2
1.7 Landasan Teoritis ... 11
1.8 Metode Penelitian ... 18
1.8.1 Jenis Penelitian ... 18
1.8.2 Jenis Pendekatan ... 18
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 19
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 20
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN 2.1 Perjanjian Kredit ... 24
2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit ... 24
2.1.2 Sistem Pemberian Kredit ... 28
2.1.3 Jaminan Kredit ... 31
2.1.4 Kredit Macet ... 35
2.2 Hak Tanggungan ... 39
2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan ... 39
2.2.2 Obyek dan Subyek Hak Tanggungan ... 40
2.2.3 Pembebanan Hak Tanggungan ... 45
2.2.4 Eksekusi Hak Tanggungan ... 48
BAB III PENGATURAN PARATE EXECUTIE 3.1 Konsep Parate Executie ... 53
3.2 Dasar Hukum Parate Executie ... 56
3
BAB IV PARATE EXECUTIE PEMEGANG SERTIFIKAT HAK
TANGGUNGAN
4.1 Sertifikat Hak Tanggungan ... 63
4.2 Pelaksanaan Parate Executie Hak Tanggungan ... 66
4.3 Keuntungan dan Kelemahan Pelaksanaan Parate Executie ... 72
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 75
5.2 Saran ... 75
4
ABSTRAK
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, telah membuat hak-hak dari kreditur menjadi terlindungi, khususnya dalam hal eksekusi objek Hak Tanggungan. Parate executie merupakan salah satu dari tiga macam eksekusi yang diatur didalam pengaturan UUHT menjadi harapan untuk eksekusi dengan cara yang mudah, cepat, dan biaya ringan, namun dalam saat ini masih ada cacat dalam pelaksanaannya yang menyebabkan parate executie tidak bisa terlaksana dengan baik. Maka dari itulah perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaturan parate executie.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian normatif, penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan parate executie. Adapun pendekatan masalah yang digunakan yaitu, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konsep.Dasar hukum parate executie adalah Pasal 6 UUHT, dan mengenai pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan serta melalui Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan. Parate executie ini dapat langsung dilaksanakan bilamana kreditur sudah memegang dan memiliki Sertifikat Hak Tanggungan dan eksekusinya langsung diajukan ke Kantor Lelang Negara,
5 ABSTRACT
Applicability of Act of the Republic of Indonesia Number 4 on 1996 concerning the Rights of Land and Property Relating to Land, has made the rights of the creditors to be protected, especially in the case of execution of the object of Mortgage Rights. Parate executie is one of three kinds of execution arranged in UUHT setting to be hope for execution in easy way, fast, and low cost, but in this time there are still defects in the implementation which cause parate executie can not be done properly. That's why it needs to be studied more about the parate executie setting.The type of research used in this legal research is normative research, this study is done by reviewing the applicable legislation and related to the parate executie. The problem approaches used are, the legislation approach, and the concept approach.The legal basis of the parate executie is Article 6 UUHT, and the implementation is regulated in the Regulation of the Minister of Finance as well as through a Circular Letter issued by the Ministry of Finance. Parate executie can be directly executed when the creditor already holds and has a Certificate of Mortgage Rights and execution directly submitted to the State Auction Office,
6
BAB. I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan
tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat
sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam
jumlah besar. Meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan
akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan kredit atau
perkreditan.
Kredit secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu, credere, yang
berarti kepercayaan dalam bahasa inggris disebut truth atau faith, dan berdasarkan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (selanjutnya disebut UUPerbankan), disebutkan juga bahwa; “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu”. Kredit dapat diartikan suatu kepercayaan yang diberikan oleh bank (kreditur)
kepada nasabah (debitur), berupa pinjaman uang yang harus dibayar kembali oleh
nasabah.1
Sebelum bank memberikan kredit, bank harus menganalisa terlebih dahulu
tentang calon debitur yang akan meminjam kredit. Hal ini penting untuk
menghindari berbagai resiko yang timbul dari penyaluran kredit. Tujuan analisa
kredit adalah untuk memperoleh keyakinan terhadap kemauan dan kemampuan
calon nasabah kepada bank untuk memenuhi kewajibannya kepada bank secara
tertib, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian.2 Pelaksanaan analisa kredit harus
melalui beberapa pertimbangan, yaitu keamanan kredit (safety), terarahnya tujuan
penggunaan kredit (suitability), dan menguntungkan (profitable).
Meningkatnya penyaluran kredit maka disertai pula dengan meningkatnya
kredit yang bermasalah, walaupun presentase jumlah dan peningkatannya kecil,
tetapi kredit bermasalah ini akan dapat mempengaruhi kesehatan perbankan.
Analisa kredit tentu harus dilakukan terlebih dahulu, namun pemberian kredit
perbankan juga harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam, atau dengan istilah lain harus didahului dengan Perjanjian Kredit.
Perjanjian kredit tidak dapat lepas dari ruang lingkup Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), sebagaimana Pasal 1313
KUHPerdata menentukan, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan bahwa
satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Perjanjian kredit baru mempunyai kekuatan mengikat apabila perjanjian
kredit tersebut disetujui tentang isi dan maksud dari perjanjian tersebut dan para
pihak paham dan mengerti sehingga bersedia menerima segala akibat hukum yang
2
8
timbul dengan membubuhkan tandatangan sebagai sahnya perjanjian. Agar suatu
perjanjian sah menurut hukum diperlukan 4 (empat) persyaratan sebagai mana
tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok
persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang.
Bilamana setelah melakukan perikatan yang sah berdasarkan Pasal 1320
KUHPerdarta, kemudian debitur cedera janji atau wanprestasi atas apa yang telah
di perjanjikan, maka debitur wajib membayar kerugian atas apa yang diderita oleh
kreditur akibat wanprestasi debitur itu sendiri sebagaimana disebutkan pada Pasal
1243 KUHPerdata. Kreditur tentu ingin menghindari dan mengurangi resiko
terjadinya debitur ingkar janji, hal itu dilakukan dengan cara memintakan jaminan
dari debitur, karena dengan jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur,
barulah kreditur akan percaya dan kemudian bersedia memberikan pinjaman.3
Kebendaan yang dijaminkan untuk pelunasan hutang tidak dibatasi
macam ataupun bentuknya. Kebendaan tersebut harus mempunyai nilai secara
ekonomis serta memiliki sifat mudah dialihkan atau mudah diperdagangkan
sehingga kebendaan tersebut tidak akan menjadi suatu beban bagi kreditur untuk
menjual lelang pada waktu yaitu pada saat dimana debitur secara jelas melalaikan
kewajibannya sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku dalam
perjanjian pokok yang melahirkan hutang piutang tersebut.4
Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses
pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain
3Thomas Suyatno, 1997, Dasar-Dasar Pengkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 88.
yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat
dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang
berkepentingan, maka pada tahun 1996 sejak diberlakukannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, (selanjutnya disebut UUHT).
Semenjak berlakunya UUHT maka pengikatan objek jaminan utang berupa tanah
sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan.
Lembaga hak tanggungan adalah lembaga yang memberikan hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA). Lembaga hak tanggungan memberikan
perlindungan terhadap kreditur yang diutamakan atas sejumlah modal yang
dipinjamkannya kepada debitur dengan jaminan hak atas tanah yang telah
dibebani hak tanggungan senilai dengan nilai pinjaman tersebut. Lembaga hak
tanggungan ini merupakan pembaharuan dari lembaga hipotik dan dalam cita-cita
pembuatnya diharapkan menjadi lembaga yang lebih efisien dan memberikan
perlindungan lebih pasti kepada kreditur preferen.5
Efisiensi lembaga hak tanggungan merujuk kepada pengaturan mengenai
eksekusi objek hak tanggungan. Pertama dapat dilihat mengenai kewenangan
kreditur untuk mengeksekusi langsung yang diberikan oleh undang-undang dan
yang kedua mengenai cara eksekusi yang digunakan yaitu dengan menerapkan
5Juswito Satrio 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Cetakan Keempat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 277-278. (selanjutnya disebut Juswito Satrio I)
10
parate executie.6 Istilah parate executie secara etimologis berasal dari kata “paraat” artinya siap ditangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai
sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai
arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim.7
Kedua pembaruan ini bersifat esensial dan sesungguhnya tidak dapat ditinggalkan
karena merupakan ciri dari hak tanggungan bila dibandingkan dengan lembaga
jaminan hipotik sebagai pendahulunya yang mempunyai hak parate executie
apabila telah diperjanjikan sebelumnya.8 UUHT telah memberikan jawaban agar
hak jaminan dapat dijalankan secara efisien meski dalam praktik belum sampai
kepada keidealan undang-undang bersangkutan.
Dalam batang tubuh UUHT dasar berpijaknya pengaturan mengenai
parate executie Hak Tanggungan terdapat dalam Pasal 6, yang menentukan : “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”
Secara substansial unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 tersebut
menunjukkan adanya dua hal penting manakala debitur wanprestasi, yaitu
peralihan hak dan pelaksanaan hak menjual atas kekuasaan sendiri bagi kreditur
pemegang Hak Tanggungan pertama.9 Dalam Pasal tersebut, hak kreditur dalam
hal debitur cidera janji, untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui lelang
sudah diberikan oleh undang-undang sendiri kepada kreditur pemegang Hak
6Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 2005, Kamus Hukum, Cetakan Keenam belas, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 86.
7Ibid, h. 90
8Juswito Satrio I, Op.cit, h. 279.
9Herowati Poesoko, 2013, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, Edisi Revisi, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h.199
Tanggungan yang pertama. Diperjanjikan atau tidak diperjanjikan di dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan mengenai kewenangan kreditur untuk melakukan
parate executie Hak Tanggungan, hak kreditur untuk melakukan parate executie Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji telah diberikan oleh undang-undang,
oleh karenanya dapat dilakukan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu kepada
debitur. Pemegang hak tanggungan dapat secara langsung datang dan meminta
kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Konsep ini merupakan terobosan atas proses
eksekusi yang ada sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan, dimana
eksekusi atas grosse akta (berdasarkan titel eksekutorial) hipotik hanya dapat
dilakukan melalui eksekusi di Pengadilan Negeri yang memakan waktu yang lama
dan biaya eksekusi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan parate eksekusi
hak tanggungan.10
Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT tak
luput dari kendala yang menjadi hambatan sehingga tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Sering dijumpai debitur keberatan dan tidak bersedia
secara sukarela mengosongkan objek Hak Tanggungan, bahkan berusaha
mempertahankan dengan mencari perpanjangan kredit atau melalui gugatan
perlawanan eksekusi Hak Tanggungan kepada Pengadilan Negeri yang tujuannya
untuk menunda eksekusi Hak Tanggungan tersebut, sikap seperti ini jelas
mengganggu tatanan kepastian penegakkan hukum.
10 Remi Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan
12
Kreditur pemegang hak tanggungan bahkan mengakui kesulitan dalam
melaksanakan parate executie terhadap objek hak tanggungan jika debitur
melakukan wanprestasi. Apabila kreditur melakukan permohonan pelelangan
secara langsung kepada Kantor Lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT, sangat sering
kita jumpai permohonan lelang ditolak oleh Kantor Lelang dengan alasan untuk
melakukan eksekusi objek hak tanggungan tersbut harus dimintakan ijin atau fiat
dari pengadilan terlebih dahulu.
Secara logika, jika parate executie masih harus melalui fiat dari ketua
pengadilan, maka dimana lagi letak paraat-nya sebagai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri, sedangkan parate executie merupakan penyederhanaan
eksekusi tanpa melibatkan pengadilan. Jika di dalam parate executie masih harus
ada perintah berdasarkan penetapan ketua pengadilan, maka penjualan tersebut
bukan lagi atas kekuasaan sendiri melainkan atas kekuasaan pengadilan sehingga
tidak ada bedanya lagi dengan eksekusi grosse akta, hal ini pula yang
mengakibatkan kerancuan pada pelaksanaan parate executie. Berdasarkan uraian
di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan parate
executie hak tanggungan, maka dari itu penulis mengangkat penelitian dengan judul : “Parate Executie Terhadap Objek Hak Tanggungan Dalam
Persepektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan alasan pemilihan judul penelitian, maka di
rumuskan masalah-masalah untuk dijadikan pedoman penelitian agar mencapai
sasarannya. Adapun masalah-masalah yang akan di teliti sebagai berikut :
1.2.1 Bagimanakah pengaturan parate executie di dalam UUHT bila terjadi
kredit macet ?
1.2.2 Apakah pemegang Sertifikat Hak Tanggungan dapat melaksanakan
hak parate executie?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan ada kesesuaian antara
pembahasan dengan permasalahan, maka dirasa perlu untuk memberikan
batasan-batasan terhadap permasalahan tersebut di atas yang berkaitan eksekusi
objek Hak Tanggungan oleh kreditur.
Adapun permasalahan pertama yang akan dibahas ialah mengenai
pengaturan parate execetuie dalam persepektif UUHT pada saat terjadinya kredit
macet, dan pada permasalahan kedua akan dibahas mengenai hak melaksanakan
14
1.4 Orisinalitas Penelitian
Perbedaan penulisan hukum ini dengan karya peneliti lain adalah :
Tabel 1
Nomor Peneliti Judul Rumusan Masalah
1. Yordan Demesky, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2011 “Pelaksanaan Parate executie Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT Bank Permata tbk ”
1. Bagaimana peranan parate
executie hak tanggungan dalam menyelesaikan
kredit bermasalah di PT
Bank Permata tbk?
2. Apa kendala-kendala yang
dihadapi oleh PT Bank
Permata tbk dalam
melaksanakan parate
executie hak tanggungan ? 2. Lily Mahaeni, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana, tahun 2012 “ Kedudukan Benda Jaminan Yang Dibebani Hak Tanggungan Apabila Terjadi Eksekusi
Dalam Hal Debitur
Pailit Dari
Persepektif Hukum
1. Bagaimana kedudukan
jaminan yang telah
dibebani dengan hak
tanggungan apabila debitur
pailit?
2. Bagaimana pengaturan
hukum tentang eksekusi
Kepailitan ” dalam hal debitur pailit?
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dan kemudian
mengkaji lebih lanjut mengenai pengaturan tentang pelaksanaan parate executie
terhadap objek Hak Tanggungan pada saat terjadinya kredit macet dalam
persepektif UUHT.
1.5.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa
pengaturan yang digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan parate
executie bila terjadi kredit macet, dan untuk mengetahui dan menganalisa lebih lanjut tentang hak yang dimiliki oleh seorang pemegang Sertifikat Hak
Tanggungan.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
positif bagi perkembangan ilmu hukum. Khususnya dalam bidang Hukum
Perdata yang berkaitan dengan parate executie, menambah bahan kepustakaan
dan memberikan wawasan yang lebih luas dalam mempelajari parate executie
16
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dan memberi informasi mengenai pengaturan pelaksanaan
parate executie sebagai upaya mengatasi kredit macet, dan agar para kreditur pemegang Sertifikat Hak Tanggungan mengetahui apa yang menjadi haknya
sehingga cita-cita dari dibentuknya UUHT bisa tercapai.
1.7 Landasan Teoritis
Untuk membahas permalasahan yang diangkat dalam skripsi ini adapun
teori, asas, dan konsep yang digunakan adalah konsep kredit macet, konsep
wanprestasi, konsep parate executie, teori kepastian hukum, teori kewenangan,
dan asas publisitas, penjelasannya sebagai berikut :
1. Konsep Kredit Macet
Konsep kredit macet digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini
bermaksud membahas mengenai kredit macet. Di Indonesia dikenal dua golongan
kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di mana kredit bermasalah
digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit
macet. Kredit macet inilah yang sangat dikhawatirkan oleh setiap bank, karena
akan mengganggu kondisi keuangan bank, bahkan dapat mengakibatkan
berhentinya kegiatan usaha bank. Kredit macet atau loan problem adalah kredit
yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur
kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur.11
Untuk mencegah terjadinya kredit macet, bank seharusnya menerapkan
prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan juga mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya. Hal ini diatur
dalam Pasal 2 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan). Prinsip kehati-hatian (prudential
banking) juga diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.
2. Konsep Wanprestasi
Kredit macet disebabkan adanya pihak, yang dalam hal ini debitur yang
melakukan wanprestasi. Munir Fuady menyatakan wanprestasi adalah tidak
dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan
oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
perjanjian yang bersangkutan.12 J. Satrio merumuskan wanprestasi sebagai “Suatu
peristiwa atau keadaan, di mana debitor tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitor punya unsur salah atasnya.”13
Wanprestasi menurut kamus hukum, berarti kelalaian, kealpaan, cidera
janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Menurut Munir Fuady,
12Munir Fuady, 2009, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.87
13Juswito Satrio, 2005, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.3. (selanjutnya disebut Juswito Satrio II)
18
wanprestasi, atau disebut juga dengan istilah breach of contract yang
dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti
yang disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan. J.Satrio merumuskan wanprestasi sebagai “Suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitor tidak telah
memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitor punya unsur salah atasnya.” 14
3. Konsep Parate Executie
Istilah parate executie secara implisit tidak pernah tertuang dalam
peraturan perundang-undangan. Istilah parate executie sebagaimana yang telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, secara etimologis berasal dari kata paraat
artinya siap ditangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana eksekusi
yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti
pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan.15
Dari beberapa rumusan definisi parate executie diatas dapat diketahui
bahwa tidak hanya putusan hakim yang dapat dieksekusi, tetapi terdapat ketentuan
yang memberi hak kepada kreditur untuk melaksanakan sendiri eksekusi tanpa
perantara pengadilan apabila debitur wanprestasi yaitu yang disebut dengan
parate executie. Hal ini berarti jika debitur wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan scara langsung penjualan barang milik debitur yang dijadikan
sebagai jaminan atau agunan dengan perantara Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara.
14Munir Fuady, loc.cit 15
4. Teori Kewenangan
Kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari
pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya dengan
hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat.
Indroharto, mengemukakan ada 3 (tiga) macam kewenangan yang
bersumber dan peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu, meliputi:16
a. Atribusi
Merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung
bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan
sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga
tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ
pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung
dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945). Dengan kata lain,
atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu,
tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan
a. Delegasi
Adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan
kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu
apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B.
Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi
tanggung jawab penerima wewenang.
20
b. Mandat
Diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahari itu
bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a/n
pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak
berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan
pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama).
5. Asas Specialitas dan Publisitas
Asas specialitas artinya pelaksanaan pendaftaran tanah diselenggarakan
atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut
masalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran peralihannya.
Asas Publisitas artinya hal pembebanan Hak Tanggungan tersebut harus
dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan
harus didaftarkan. Untuk sahnya pembebanan Hak Tanggungan dipersyaratkan
bahwa wajib disebut secara jelas piutang yang mana dan sampai sejumlah berapa
yang dijamin, serta benda-benda yang mana yang dijadikan jaminan. Hal ini yang
disebut pemenuhan syarat spesialitas, yang menurut Pasal 11 ayat (1) UUHT
selain identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, serta domisili
masing-masing wajib dicantumkan dalam APHT yang bersangkutan.Selain disebut dalam
APHTnya, hak tanggungan yang diberikan juga wajib untuk didaftarkan sehingga
adanya hak tanggungan serta apa yang disebut dalam akta itu dapat dengan mudah
diketahui oleh yang berkepentingan karena tata usaha pendaftaran yang ada di
Kantor Pertanahan terbuka bagi umum, yang merupakan pemenuhan syarat
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten.17Jenis penelitian hukum yang digunakan pada penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang
meneliti hukum dari persepektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma
hukum.18
1.8.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan untuk membahas pokok permasalahan
penelitian ini adalah pedekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan
pendekatan konsep (conceptual approach), yang diuraikan sebagai berikut :19
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah untuk meneliti
berbagai aturan hukum terkait dengan eksekusi hak tanggungan berdasarkan
parate executie sertifikat hak tanggugan. Alasan digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena masih perlu pemahaman lebih
mendalam mengenai parate executie pada UUHT, agar tidak terjadinya
penyimpangan didalam pelaksanaanya.
17Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, UI Press, Jakarta, h.42.
18I Made Pasek Diantha, 2017, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi
Teori Hukum, PT Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta, h.12
19Jhonny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.300
22
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Pendekatan Konsep (conceptual approach) konsep-konsep dalam ilmu
hukum dapat dijadikan pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan
banyak mucul konsep bagi suatu fakta hukum berdasarkan teori hukum, serta
mengetahui hal yang terkait dengan eksekusi objek Hak Tanggungan berdasarkan
parate executie sertifikat hak tanggungan.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam metode penelitian hukum
normatif, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier, adalah sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer adalah segala aturan hukum yang penegakannya atau
pemaksaannya dilakukan oleh negara.20 Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
undang-undang dan putusan-putusan hakim, yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
d. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
2. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.
3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk,
penunjang ataupun penjelasan terhadap data hukum primer dan data hukum
sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kualitatif dan seterusnya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah teknik studi dokumen yaitu dengan cara mencari bahan-bahan di dalam
buku-buku terkait untuk dibaca serta dicatat kembali untuk disusun secara
sistematis sesuai dengan bahasan dalam penelitian ini. Untuk menunjang
penelitian ini, pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (library research/legal research), penelitian hukum semacam ini
tidak mengenal penelitian lapangan (field research) karena yang diteliti adalah
bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library based, focusing on
reading and analysis of the primary and secondary materials.21
Dalam rangka pengumpulan bahan hukum primer, untuk memudahkan
pembahasan permasalahan, sebaiknya bahan hukum primer tersusun atau
teridentifikasi secara sistematis. Sistematisasi bahan hukum primer dapat
dilakukan dengan cara, antara lain :
a. Pengumpulan berpatokan pada hirarki peraturan perundang-undangan;
24
b. Memperhatikan aturan-aturan yang digunakan masih atau tidak
berlaku sebagai hukum positif; dan
c. Identifikasi undang-undang, kemudian dipilah dan digolongkan ke lex
specialis ataukah lex generali.22
Untuk menunjang kegiatan mencatat dan mengutip bahan hukum yang
diperlukan, maka dilakukan juga dengan sistem kartu. Sistem kartu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kartu kutipan untuk mencatat atau
mengutip sumber bahan hukum yang digunakan yang berisi nama
pengarang/penulis, judul buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap
penting agar bisa menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah semua bahan hukum yang diperlukan terkumpul, kemudian
dilakukan teknik analisis bahan hukum secara kualitatif yang artinya penelitian ini
akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap
permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh
kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.23
Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul,
maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa menggunakan teknik
pengolahan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis,
tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan
interpretasi data.
22I Made Pasek Diantha, Op.cit, h. 149.
23Bambang Sunggono, 2002, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 106.
Dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum
(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi
terhadap bahan hukum tersebut;
b. mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau
berkaitan;
c. menemukan hubungan di antara pelbagai konsep, kemudian diolah;
d. menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai konsep atau
peraturan.
Untuk melengkapi teknik analisis kualitatif, juga dilakukan teknik content
analysis, yaitu yang integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis bahan hukum untuk
memahami makna, signifikansi dan relevansinya.24 Lalu dalam hal menjawab
permasalahan dalam penelitian ini, adapun metode yang digunakan dalam
penyimpulan bahan hukum dilakukan secara deskriptif analisis, yaitu dengan
pemaparan terlebih dahulu kemudian dilakukan analisa menyeluruh yang
kemudian dilakukan penyimpulan.
24Burhan Bungin, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah