• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan... i. Halaman Sampul Dalam... ii. Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum... iii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan... i. Halaman Sampul Dalam... ii. Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum... iii"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul Depan ... i

Halaman Sampul Dalam ... ii

Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum... iii

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iv

Halaman Pengesahan Ujian Skripsi ... v

Halaman Surat Pernyataan Keaslian ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi... x

Abstrak ... xiii

Abstract ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4 Orisinalitas ... 9 1.5 Tujuan Penelitian ... 10 1.5.1 Tujuan Umum ... 10 1.5.2 Tujuan Khusus ... 10 1.6 Manfaat Penelitian ... 10 1.6.1 Manfaat Teoritis ... 10 1.6.2 Manfaat Praktis ... 11

(2)

2

1.7 Landasan Teoritis ... 11

1.8 Metode Penelitian ... 18

1.8.1 Jenis Penelitian ... 18

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 18

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 19

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 20

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN 2.1 Perjanjian Kredit ... 24

2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit ... 24

2.1.2 Sistem Pemberian Kredit ... 28

2.1.3 Jaminan Kredit ... 31

2.1.4 Kredit Macet ... 35

2.2 Hak Tanggungan ... 39

2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan ... 39

2.2.2 Obyek dan Subyek Hak Tanggungan ... 40

2.2.3 Pembebanan Hak Tanggungan ... 45

2.2.4 Eksekusi Hak Tanggungan ... 48

BAB III PENGATURAN PARATE EXECUTIE 3.1 Konsep Parate Executie ... 53

3.2 Dasar Hukum Parate Executie ... 56

(3)

3

BAB IV PARATE EXECUTIE PEMEGANG SERTIFIKAT HAK

TANGGUNGAN

4.1 Sertifikat Hak Tanggungan ... 63

4.2 Pelaksanaan Parate Executie Hak Tanggungan ... 66

4.3 Keuntungan dan Kelemahan Pelaksanaan Parate Executie ... 72

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

(4)

4

ABSTRAK

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, telah membuat hak-hak dari kreditur menjadi terlindungi, khususnya dalam hal eksekusi objek Hak Tanggungan. Parate executie merupakan salah satu dari tiga macam eksekusi yang diatur didalam pengaturan UUHT menjadi harapan untuk eksekusi dengan cara yang mudah, cepat, dan biaya ringan, namun dalam saat ini masih ada cacat dalam pelaksanaannya yang menyebabkan parate executie tidak bisa terlaksana dengan baik. Maka dari itulah perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaturan parate executie.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian normatif, penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan parate executie. Adapun pendekatan masalah yang digunakan yaitu, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konsep.Dasar hukum parate executie adalah Pasal 6 UUHT, dan mengenai pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan serta melalui Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan. Parate executie ini dapat langsung dilaksanakan bilamana kreditur sudah memegang dan memiliki Sertifikat Hak Tanggungan dan eksekusinya langsung diajukan ke Kantor Lelang Negara,

(5)

5 ABSTRACT

Applicability of Act of the Republic of Indonesia Number 4 on 1996 concerning the Rights of Land and Property Relating to Land, has made the rights of the creditors to be protected, especially in the case of execution of the object of Mortgage Rights. Parate executie is one of three kinds of execution arranged in UUHT setting to be hope for execution in easy way, fast, and low cost, but in this time there are still defects in the implementation which cause parate executie can not be done properly. That's why it needs to be studied more about the parate executie setting.The type of research used in this legal research is normative research, this study is done by reviewing the applicable legislation and related to the parate executie. The problem approaches used are, the legislation approach, and the concept approach.The legal basis of the parate executie is Article 6 UUHT, and the implementation is regulated in the Regulation of the Minister of Finance as well as through a Circular Letter issued by the Ministry of Finance. Parate executie can be directly executed when the creditor already holds and has a Certificate of Mortgage Rights and execution directly submitted to the State Auction Office,

(6)

6

BAB. I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,

merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil

dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan

tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat

sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam

jumlah besar. Meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan

akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan kredit atau

perkreditan.

Kredit secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu, credere, yang

berarti kepercayaan dalam bahasa inggris disebut truth atau faith, dan berdasarkan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan (selanjutnya disebut UUPerbankan), disebutkan juga bahwa; “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu”. Kredit dapat diartikan suatu kepercayaan yang diberikan oleh bank (kreditur)

kepada nasabah (debitur), berupa pinjaman uang yang harus dibayar kembali oleh

nasabah.1

(7)

Sebelum bank memberikan kredit, bank harus menganalisa terlebih dahulu

tentang calon debitur yang akan meminjam kredit. Hal ini penting untuk

menghindari berbagai resiko yang timbul dari penyaluran kredit. Tujuan analisa

kredit adalah untuk memperoleh keyakinan terhadap kemauan dan kemampuan

calon nasabah kepada bank untuk memenuhi kewajibannya kepada bank secara

tertib, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian.2 Pelaksanaan analisa kredit harus

melalui beberapa pertimbangan, yaitu keamanan kredit (safety), terarahnya tujuan

penggunaan kredit (suitability), dan menguntungkan (profitable).

Meningkatnya penyaluran kredit maka disertai pula dengan meningkatnya

kredit yang bermasalah, walaupun presentase jumlah dan peningkatannya kecil,

tetapi kredit bermasalah ini akan dapat mempengaruhi kesehatan perbankan.

Analisa kredit tentu harus dilakukan terlebih dahulu, namun pemberian kredit

perbankan juga harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam, atau dengan istilah lain harus didahului dengan Perjanjian Kredit.

Perjanjian kredit tidak dapat lepas dari ruang lingkup Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), sebagaimana Pasal 1313

KUHPerdata menentukan, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan bahwa

satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perjanjian kredit baru mempunyai kekuatan mengikat apabila perjanjian

kredit tersebut disetujui tentang isi dan maksud dari perjanjian tersebut dan para

pihak paham dan mengerti sehingga bersedia menerima segala akibat hukum yang

2

(8)

8

timbul dengan membubuhkan tandatangan sebagai sahnya perjanjian. Agar suatu

perjanjian sah menurut hukum diperlukan 4 (empat) persyaratan sebagai mana

tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan mereka yang

mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok

persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang.

Bilamana setelah melakukan perikatan yang sah berdasarkan Pasal 1320

KUHPerdarta, kemudian debitur cedera janji atau wanprestasi atas apa yang telah

di perjanjikan, maka debitur wajib membayar kerugian atas apa yang diderita oleh

kreditur akibat wanprestasi debitur itu sendiri sebagaimana disebutkan pada Pasal

1243 KUHPerdata. Kreditur tentu ingin menghindari dan mengurangi resiko

terjadinya debitur ingkar janji, hal itu dilakukan dengan cara memintakan jaminan

dari debitur, karena dengan jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur,

barulah kreditur akan percaya dan kemudian bersedia memberikan pinjaman.3

Kebendaan yang dijaminkan untuk pelunasan hutang tidak dibatasi

macam ataupun bentuknya. Kebendaan tersebut harus mempunyai nilai secara

ekonomis serta memiliki sifat mudah dialihkan atau mudah diperdagangkan

sehingga kebendaan tersebut tidak akan menjadi suatu beban bagi kreditur untuk

menjual lelang pada waktu yaitu pada saat dimana debitur secara jelas melalaikan

kewajibannya sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku dalam

perjanjian pokok yang melahirkan hutang piutang tersebut.4

Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses

pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain

3Thomas Suyatno, 1997, Dasar-Dasar Pengkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 88.

(9)

yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat

dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang

berkepentingan, maka pada tahun 1996 sejak diberlakukannya Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, (selanjutnya disebut UUHT).

Semenjak berlakunya UUHT maka pengikatan objek jaminan utang berupa tanah

sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan.

Lembaga hak tanggungan adalah lembaga yang memberikan hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

(selanjutnya disebut UUPA). Lembaga hak tanggungan memberikan

perlindungan terhadap kreditur yang diutamakan atas sejumlah modal yang

dipinjamkannya kepada debitur dengan jaminan hak atas tanah yang telah

dibebani hak tanggungan senilai dengan nilai pinjaman tersebut. Lembaga hak

tanggungan ini merupakan pembaharuan dari lembaga hipotik dan dalam cita-cita

pembuatnya diharapkan menjadi lembaga yang lebih efisien dan memberikan

perlindungan lebih pasti kepada kreditur preferen.5

Efisiensi lembaga hak tanggungan merujuk kepada pengaturan mengenai

eksekusi objek hak tanggungan. Pertama dapat dilihat mengenai kewenangan

kreditur untuk mengeksekusi langsung yang diberikan oleh undang-undang dan

yang kedua mengenai cara eksekusi yang digunakan yaitu dengan menerapkan

5Juswito Satrio 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Cetakan Keempat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 277-278. (selanjutnya disebut Juswito Satrio I)

(10)

10

parate executie.6 Istilah parate executie secara etimologis berasal dari kata “paraat” artinya siap ditangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai

sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai

arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim.7

Kedua pembaruan ini bersifat esensial dan sesungguhnya tidak dapat ditinggalkan

karena merupakan ciri dari hak tanggungan bila dibandingkan dengan lembaga

jaminan hipotik sebagai pendahulunya yang mempunyai hak parate executie

apabila telah diperjanjikan sebelumnya.8 UUHT telah memberikan jawaban agar

hak jaminan dapat dijalankan secara efisien meski dalam praktik belum sampai

kepada keidealan undang-undang bersangkutan.

Dalam batang tubuh UUHT dasar berpijaknya pengaturan mengenai

parate executie Hak Tanggungan terdapat dalam Pasal 6, yang menentukan : “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”

Secara substansial unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 tersebut

menunjukkan adanya dua hal penting manakala debitur wanprestasi, yaitu

peralihan hak dan pelaksanaan hak menjual atas kekuasaan sendiri bagi kreditur

pemegang Hak Tanggungan pertama.9 Dalam Pasal tersebut, hak kreditur dalam

hal debitur cidera janji, untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui lelang

sudah diberikan oleh undang-undang sendiri kepada kreditur pemegang Hak

6Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 2005, Kamus Hukum, Cetakan Keenam belas, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 86.

7Ibid, h. 90

8Juswito Satrio I, Op.cit, h. 279.

9Herowati Poesoko, 2013, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, Edisi Revisi, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h.199

(11)

Tanggungan yang pertama. Diperjanjikan atau tidak diperjanjikan di dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan mengenai kewenangan kreditur untuk melakukan

parate executie Hak Tanggungan, hak kreditur untuk melakukan parate executie Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji telah diberikan oleh undang-undang,

oleh karenanya dapat dilakukan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu kepada

debitur. Pemegang hak tanggungan dapat secara langsung datang dan meminta

kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak

Tanggungan yang bersangkutan. Konsep ini merupakan terobosan atas proses

eksekusi yang ada sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan, dimana

eksekusi atas grosse akta (berdasarkan titel eksekutorial) hipotik hanya dapat

dilakukan melalui eksekusi di Pengadilan Negeri yang memakan waktu yang lama

dan biaya eksekusi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan parate eksekusi

hak tanggungan.10

Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT tak

luput dari kendala yang menjadi hambatan sehingga tidak dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Sering dijumpai debitur keberatan dan tidak bersedia

secara sukarela mengosongkan objek Hak Tanggungan, bahkan berusaha

mempertahankan dengan mencari perpanjangan kredit atau melalui gugatan

perlawanan eksekusi Hak Tanggungan kepada Pengadilan Negeri yang tujuannya

untuk menunda eksekusi Hak Tanggungan tersebut, sikap seperti ini jelas

mengganggu tatanan kepastian penegakkan hukum.

10 Remi Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan

(12)

12

Kreditur pemegang hak tanggungan bahkan mengakui kesulitan dalam

melaksanakan parate executie terhadap objek hak tanggungan jika debitur

melakukan wanprestasi. Apabila kreditur melakukan permohonan pelelangan

secara langsung kepada Kantor Lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT, sangat sering

kita jumpai permohonan lelang ditolak oleh Kantor Lelang dengan alasan untuk

melakukan eksekusi objek hak tanggungan tersbut harus dimintakan ijin atau fiat

dari pengadilan terlebih dahulu.

Secara logika, jika parate executie masih harus melalui fiat dari ketua

pengadilan, maka dimana lagi letak paraat-nya sebagai hak untuk menjual atas

kekuasaan sendiri, sedangkan parate executie merupakan penyederhanaan

eksekusi tanpa melibatkan pengadilan. Jika di dalam parate executie masih harus

ada perintah berdasarkan penetapan ketua pengadilan, maka penjualan tersebut

bukan lagi atas kekuasaan sendiri melainkan atas kekuasaan pengadilan sehingga

tidak ada bedanya lagi dengan eksekusi grosse akta, hal ini pula yang

mengakibatkan kerancuan pada pelaksanaan parate executie. Berdasarkan uraian

di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan parate

executie hak tanggungan, maka dari itu penulis mengangkat penelitian dengan judul : “Parate Executie Terhadap Objek Hak Tanggungan Dalam

Persepektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan

(13)

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan alasan pemilihan judul penelitian, maka di

rumuskan masalah-masalah untuk dijadikan pedoman penelitian agar mencapai

sasarannya. Adapun masalah-masalah yang akan di teliti sebagai berikut :

1.2.1 Bagimanakah pengaturan parate executie di dalam UUHT bila terjadi

kredit macet ?

1.2.2 Apakah pemegang Sertifikat Hak Tanggungan dapat melaksanakan

hak parate executie?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan ada kesesuaian antara

pembahasan dengan permasalahan, maka dirasa perlu untuk memberikan

batasan-batasan terhadap permasalahan tersebut di atas yang berkaitan eksekusi

objek Hak Tanggungan oleh kreditur.

Adapun permasalahan pertama yang akan dibahas ialah mengenai

pengaturan parate execetuie dalam persepektif UUHT pada saat terjadinya kredit

macet, dan pada permasalahan kedua akan dibahas mengenai hak melaksanakan

(14)

14

1.4 Orisinalitas Penelitian

Perbedaan penulisan hukum ini dengan karya peneliti lain adalah :

Tabel 1

Nomor Peneliti Judul Rumusan Masalah

1. Yordan Demesky, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2011 “Pelaksanaan Parate executie Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT Bank Permata tbk ”

1. Bagaimana peranan parate

executie hak tanggungan dalam menyelesaikan

kredit bermasalah di PT

Bank Permata tbk?

2. Apa kendala-kendala yang

dihadapi oleh PT Bank

Permata tbk dalam

melaksanakan parate

executie hak tanggungan ? 2. Lily Mahaeni, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana, tahun 2012 “ Kedudukan Benda Jaminan Yang Dibebani Hak Tanggungan Apabila Terjadi Eksekusi

Dalam Hal Debitur

Pailit Dari

Persepektif Hukum

1. Bagaimana kedudukan

jaminan yang telah

dibebani dengan hak

tanggungan apabila debitur

pailit?

2. Bagaimana pengaturan

hukum tentang eksekusi

(15)

Kepailitan ” dalam hal debitur pailit?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dan kemudian

mengkaji lebih lanjut mengenai pengaturan tentang pelaksanaan parate executie

terhadap objek Hak Tanggungan pada saat terjadinya kredit macet dalam

persepektif UUHT.

1.5.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa

pengaturan yang digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan parate

executie bila terjadi kredit macet, dan untuk mengetahui dan menganalisa lebih lanjut tentang hak yang dimiliki oleh seorang pemegang Sertifikat Hak

Tanggungan.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

positif bagi perkembangan ilmu hukum. Khususnya dalam bidang Hukum

Perdata yang berkaitan dengan parate executie, menambah bahan kepustakaan

dan memberikan wawasan yang lebih luas dalam mempelajari parate executie

(16)

16

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan memberi informasi mengenai pengaturan pelaksanaan

parate executie sebagai upaya mengatasi kredit macet, dan agar para kreditur pemegang Sertifikat Hak Tanggungan mengetahui apa yang menjadi haknya

sehingga cita-cita dari dibentuknya UUHT bisa tercapai.

1.7 Landasan Teoritis

Untuk membahas permalasahan yang diangkat dalam skripsi ini adapun

teori, asas, dan konsep yang digunakan adalah konsep kredit macet, konsep

wanprestasi, konsep parate executie, teori kepastian hukum, teori kewenangan,

dan asas publisitas, penjelasannya sebagai berikut :

1. Konsep Kredit Macet

Konsep kredit macet digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini

bermaksud membahas mengenai kredit macet. Di Indonesia dikenal dua golongan

kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di mana kredit bermasalah

digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit

macet. Kredit macet inilah yang sangat dikhawatirkan oleh setiap bank, karena

akan mengganggu kondisi keuangan bank, bahkan dapat mengakibatkan

berhentinya kegiatan usaha bank. Kredit macet atau loan problem adalah kredit

yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur

kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur.11

(17)

Untuk mencegah terjadinya kredit macet, bank seharusnya menerapkan

prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan juga mempunyai keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya. Hal ini diatur

dalam Pasal 2 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan). Prinsip kehati-hatian (prudential

banking) juga diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia.

2. Konsep Wanprestasi

Kredit macet disebabkan adanya pihak, yang dalam hal ini debitur yang

melakukan wanprestasi. Munir Fuady menyatakan wanprestasi adalah tidak

dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan

oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam

perjanjian yang bersangkutan.12 J. Satrio merumuskan wanprestasi sebagai “Suatu

peristiwa atau keadaan, di mana debitor tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitor punya unsur salah atasnya.”13

Wanprestasi menurut kamus hukum, berarti kelalaian, kealpaan, cidera

janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Menurut Munir Fuady,

12Munir Fuady, 2009, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.87

13Juswito Satrio, 2005, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.3. (selanjutnya disebut Juswito Satrio II)

(18)

18

wanprestasi, atau disebut juga dengan istilah breach of contract yang

dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana

mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti

yang disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan. J.Satrio merumuskan wanprestasi sebagai “Suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitor tidak telah

memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitor punya unsur salah atasnya.” 14

3. Konsep Parate Executie

Istilah parate executie secara implisit tidak pernah tertuang dalam

peraturan perundang-undangan. Istilah parate executie sebagaimana yang telah

diuraikan pada bagian sebelumnya, secara etimologis berasal dari kata paraat

artinya siap ditangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana eksekusi

yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti

pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan.15

Dari beberapa rumusan definisi parate executie diatas dapat diketahui

bahwa tidak hanya putusan hakim yang dapat dieksekusi, tetapi terdapat ketentuan

yang memberi hak kepada kreditur untuk melaksanakan sendiri eksekusi tanpa

perantara pengadilan apabila debitur wanprestasi yaitu yang disebut dengan

parate executie. Hal ini berarti jika debitur wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan scara langsung penjualan barang milik debitur yang dijadikan

sebagai jaminan atau agunan dengan perantara Kantor Pelayanan Piutang dan

Lelang Negara.

14Munir Fuady, loc.cit 15

(19)

4. Teori Kewenangan

Kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari

pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya dengan

hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat.

Indroharto, mengemukakan ada 3 (tiga) macam kewenangan yang

bersumber dan peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu, meliputi:16

a. Atribusi

Merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung

bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan

sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga

tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ

pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung

dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945). Dengan kata lain,

atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu,

tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan

a. Delegasi

Adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan

kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu

apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B.

Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi

tanggung jawab penerima wewenang.

(20)

20

b. Mandat

Diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahari itu

bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a/n

pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak

berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan

pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama).

5. Asas Specialitas dan Publisitas

Asas specialitas artinya pelaksanaan pendaftaran tanah diselenggarakan

atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut

masalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran peralihannya.

Asas Publisitas artinya hal pembebanan Hak Tanggungan tersebut harus

dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan

harus didaftarkan. Untuk sahnya pembebanan Hak Tanggungan dipersyaratkan

bahwa wajib disebut secara jelas piutang yang mana dan sampai sejumlah berapa

yang dijamin, serta benda-benda yang mana yang dijadikan jaminan. Hal ini yang

disebut pemenuhan syarat spesialitas, yang menurut Pasal 11 ayat (1) UUHT

selain identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, serta domisili

masing-masing wajib dicantumkan dalam APHT yang bersangkutan.Selain disebut dalam

APHTnya, hak tanggungan yang diberikan juga wajib untuk didaftarkan sehingga

adanya hak tanggungan serta apa yang disebut dalam akta itu dapat dengan mudah

diketahui oleh yang berkepentingan karena tata usaha pendaftaran yang ada di

Kantor Pertanahan terbuka bagi umum, yang merupakan pemenuhan syarat

(21)

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan

konsisten.17Jenis penelitian hukum yang digunakan pada penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang

meneliti hukum dari persepektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma

hukum.18

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan untuk membahas pokok permasalahan

penelitian ini adalah pedekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan

pendekatan konsep (conceptual approach), yang diuraikan sebagai berikut :19

1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)

Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah untuk meneliti

berbagai aturan hukum terkait dengan eksekusi hak tanggungan berdasarkan

parate executie sertifikat hak tanggugan. Alasan digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena masih perlu pemahaman lebih

mendalam mengenai parate executie pada UUHT, agar tidak terjadinya

penyimpangan didalam pelaksanaanya.

17Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, UI Press, Jakarta, h.42.

18I Made Pasek Diantha, 2017, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi

Teori Hukum, PT Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta, h.12

19Jhonny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.300

(22)

22

2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Pendekatan Konsep (conceptual approach) konsep-konsep dalam ilmu

hukum dapat dijadikan pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan

banyak mucul konsep bagi suatu fakta hukum berdasarkan teori hukum, serta

mengetahui hal yang terkait dengan eksekusi objek Hak Tanggungan berdasarkan

parate executie sertifikat hak tanggungan.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam metode penelitian hukum

normatif, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier, adalah sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer adalah segala aturan hukum yang penegakannya atau

pemaksaannya dilakukan oleh negara.20 Bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

undang-undang dan putusan-putusan hakim, yaitu :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

d. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

(23)

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi

buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.

3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk,

penunjang ataupun penjelasan terhadap data hukum primer dan data hukum

sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kualitatif dan seterusnya.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah teknik studi dokumen yaitu dengan cara mencari bahan-bahan di dalam

buku-buku terkait untuk dibaca serta dicatat kembali untuk disusun secara

sistematis sesuai dengan bahasan dalam penelitian ini. Untuk menunjang

penelitian ini, pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui penelitian

kepustakaan (library research/legal research), penelitian hukum semacam ini

tidak mengenal penelitian lapangan (field research) karena yang diteliti adalah

bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library based, focusing on

reading and analysis of the primary and secondary materials.21

Dalam rangka pengumpulan bahan hukum primer, untuk memudahkan

pembahasan permasalahan, sebaiknya bahan hukum primer tersusun atau

teridentifikasi secara sistematis. Sistematisasi bahan hukum primer dapat

dilakukan dengan cara, antara lain :

a. Pengumpulan berpatokan pada hirarki peraturan perundang-undangan;

(24)

24

b. Memperhatikan aturan-aturan yang digunakan masih atau tidak

berlaku sebagai hukum positif; dan

c. Identifikasi undang-undang, kemudian dipilah dan digolongkan ke lex

specialis ataukah lex generali.22

Untuk menunjang kegiatan mencatat dan mengutip bahan hukum yang

diperlukan, maka dilakukan juga dengan sistem kartu. Sistem kartu yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kartu kutipan untuk mencatat atau

mengutip sumber bahan hukum yang digunakan yang berisi nama

pengarang/penulis, judul buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap

penting agar bisa menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah semua bahan hukum yang diperlukan terkumpul, kemudian

dilakukan teknik analisis bahan hukum secara kualitatif yang artinya penelitian ini

akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap

permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh

kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.23

Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul,

maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa menggunakan teknik

pengolahan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis,

tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan

interpretasi data.

22I Made Pasek Diantha, Op.cit, h. 149.

23Bambang Sunggono, 2002, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 106.

(25)

Dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

a. menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi

terhadap bahan hukum tersebut;

b. mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau

berkaitan;

c. menemukan hubungan di antara pelbagai konsep, kemudian diolah;

d. menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai konsep atau

peraturan.

Untuk melengkapi teknik analisis kualitatif, juga dilakukan teknik content

analysis, yaitu yang integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis bahan hukum untuk

memahami makna, signifikansi dan relevansinya.24 Lalu dalam hal menjawab

permasalahan dalam penelitian ini, adapun metode yang digunakan dalam

penyimpulan bahan hukum dilakukan secara deskriptif analisis, yaitu dengan

pemaparan terlebih dahulu kemudian dilakukan analisa menyeluruh yang

kemudian dilakukan penyimpulan.

24Burhan Bungin, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan dan kegagalan shooting dalam setiap jenis point tembakan dan daerah tembakan di setiap serangan yang dilakukan tim

Perhatian khusus seperti pelayanan dan fasilitas pendidikan khusus memang perlu diberikan pada anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat meningkatkan potensi dan

23 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana), Cet.. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum

Apakah motivasi dan prestasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Nganjuk.. KAJIAN PUSTAKA

Menurut Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Hak Tanggungan atas

Dalam penulisan rumus struktur , untuk mempelajari kimia organik maka dapat. dilakukan dengan beberapa cara misalnya untuk rumus molekul C 5 H 12

Permodalan, Kualitas Aktiva Produktif, Manajemen, Efisiensi, Likuiditas, Kemadirian dan Pertumbuhan, juga Jatidiri Koperasi. Bilamana ketujuh aspek ini berjalan baik, maka

Penentuan kualifikasi bahan baku yang digunakan dalam produksi sangat berpengaruh terhadap hasil produksi, adanya permasalahan yang muncul berkaitan dengan