• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK SAPI PESISIR SEBAGAI TERNAK LOKAL YANG MENJANJIKAN Shari Asmairicen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK SAPI PESISIR SEBAGAI TERNAK LOKAL YANG MENJANJIKAN Shari Asmairicen"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK SAPI PESISIR SEBAGAI TERNAK LOKAL YANG MENJANJIKAN

Shari Asmairicen sharli asmayricen

Balai Pengkajian Teknologii Pertanian Aceh

Jl. Panglima Nyak Makam No. 27 Lampineung.Banda Aceh Telf : (0651) 7411242 Faximile ; (0651) 7522077,

e-mail : asmairicen @gmail.com

Ternak ruminansia sebagai salah satu sumber utama protein hewani yang perlu terus digalakkan pengembangannya. Seiring dengan terus meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia maka kesejahteraan dan kesadaran akan gizipun semakin meningkat. Oleh sebab itu sapi sebagai sumber protein hewani sangat berperan penting untuk mendukung ketahan pangan nasional . Sapi Pesisir merupakan sapi asli yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatra Barat. Hendri.Y. (2013) menyatakan bahwa Sapi pesisir termasuk lima plasma nutfah sapi asliIndonesia setelah sapi bali, sapi aceh, sapi sumbawa, dan sapi madura. Penetapan sapi pesisir sebagai rumpun asli

(2)

tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)Nomor 48/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Pewilayahan Sumber Bibit Ternak.

Penentuan wilayah sumber bibit tersebut didasarkan atas ada tidaknya plasma nutfah sapi lokal yang secara genetik potensial untuk dikembangkan dan dibudidayakan. Sapi pesisir dipelihara secara tradisional dengan mengandalkan rumput di padang penggembalaan, lahan kosong, dan sawah tadah hujan. Bahkan sapi lokal ini ditemui mencari rumput di pinggir jalan atau berkeliaran di pasar-pasar tradisional. Hal ini memperlihatkan padang penggembalaan sangat berperan dalam menyediakan pakan untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas sapi pesisir . Jenis rumput yang dikonsumsi antara lain rumput pahit (Axonopus compresus) dan rumput saruik (Elisina indica) (Adrial 2010). Ditambahkan Hendri .Y. (2013) Sapi pesisir memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan pesisir yang miskin hijauan. Persentase karkas yang tinggi menunjukkan kemampuan mengonversi pakan berkualitas rendah menjadi daging. Sifat-sifat unggul yang dimiliki sapi pesisir ini telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Produksi daging sapi pesisir

(3)

menempati peringkat kedua terbesar di Sumatera Barat, yakni mencapai 1.179,8 t/tahun.

I. KARAKTERISTIK SAPI PESISIR

Saladin (1983) sifat khas dari sapi Pesisir adalah sapi jantan berkepala pendek, bertanduk pendek mengarah keluar dan sapi betina berkepala agak panjang dan halus, tanduknya kecil dan mengarah keluar. Warna bulu sapi jantan dan betina beragam dari merah muda, merah tua (merah bata), kehitam-hitaman, coklat tua dan merah putih kehitam-hitaman. Karakteristik sapi pesisir tergolong unik, yakni memiliki bobot badan kecil, tubuh pendek, kaki ramping, punuk kecil, dan jinak. Sapi jantan memiliki kepala pendek, leher pendek dan besar, belakang leher lebar, ponok besar, kemudi pendek dan membulat. Sapi betina memiliki kepala agak panjang dan tipis, kemudi miring, pendek dan tipis, tanduk kecil dan mengarah ke luar (Saladin 1983). Menurut Jakaria

et al.

(2007), sapi Pesisir digolongkan ke dalam kelompok sapi

Bos indicus. Rusfidra (2007)

menyatakan bahwa sapi Pesisir pada umumnya dipelihara secara bebas (berkeliaran) dan masih sangat sedikit perhatian peternak.

(4)

Gambar 1. Sapi Pesisir di padang pengembalaan

Sapi jantan dewasa (umur 4−6 tahun) hanya memiliki bobot badan 160 kg, jauh lebih rendah dari bobot badan sapi bali (310 kg) dan sapi madura (248 kg) (Adrial 2010). Walaupun berpenampilan kecil dan bobot badan lebih rendah dari sapi bali, sapi pesisir sangat produktif, diindikasikan tingkat kelahiran tinggi dan kemampuan beradaptasi yang baik dengan lingkungan pesisir selatan. Masyarakat Sumatera Barat menyebutnya sebagai “jawi ratuih atau bantiang ratuih” yang berarti sapi yang jumlahnya banyak dan kecil-kecil (Bamualimet al.2006). Menurut Rusfidra (2007), sapi Pesisir memiliki bobot badan relatif kecil sehingga digolongkan sebagai sapi mini (mini cattle). Sapi Pesisir dengan ukuran

(5)

kecil ini berpeluang dijadikan sebagai hewan kesayangan (fancy). Penampilan bobot badan yang kecil tersebut merupakan salah satu penciri suatu bangsa sapi, sehingga dapat dinyatakan bahwa sapi Pesisir merupakan sapi khas Indonesia (terutama di Sumatera Barat) dan merupakan sumber daya genetik (plasma nutfah) nasional yang perlu dikembangkan dan dilestarikan.

Sapi pesisir memiliki temperamen jinak sehingga mudah dipelihara. Ciri spesifik lainnya adalah ukuran tanduk pendek mengarah keluar seperti tanduk kambing. Keragaman warna bulu cukup tinggi dengan pola tunggal dan dikelompokkan menjadi lima warna dominan, yaitu merah bata (34,3%), kuning (25,5%), coklat (20%), hitam (10,9%), dan putih (9,3%) (Anwar.S. 2004).

Bobot lahir sapi pesisir tidak jauh berbeda dengan bobot lahir sapi lokal lainnya, yakni rata-rata 14−15 kg/ekor. Seiring dengan pertumbuhannya, sapi pesisir jantan memiliki rata-rata pertambahan bobot badan harian dari lahir sampai sapih sekitar 0,32 kg/hari, lepas sapih sampai umur 2 tahun 0,21 kg/ekor/hari, dan umur 3−4 tahun 0,12 kg/hari. Pertambahan bobot badan dari lahir sampai sapih pada sapi betina 0,26 kg/hari, lepas sapih sampai umur 2 tahun rata-rata 0,19

(6)

kg/hari, dan umur 3−4 tahun rata-rata 0,12 kg/hari (Saladin 1983).

Menurut Saladin (1983), persentase karkas sapi Pesisir adalah 50,6%, lebih tinggi daripada persentase karkas sapi Ongole (48,8%), sapi Madura (47,2%), sapi PO (45%) dan kerbau (39,3%), namun sedikit lebih rendah daripada persentase karkas sapi Bali (56,9%). Persentase karkas tersebut menunjukkan potensi sapi Pesisir sebagai penghasil daging dapat diperbandingkan dengan jenis sapi lain di Indonesia. Hal tersebut diperlihatkan dengan peran penting sapi Pesisir sebagai sumber daging bagi masyarakat di kota Padang; karena sebanyak 75% sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) kota Padang adalah sapi Pesisir (Rusfidra, 2007).

II. PENINGKATAN PRODUKTIFITAS SAPI PESISIR Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi sapi pesisir perlu dilakukan upaya perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan sapi pesisir melalui pemurnian genetik, peningkatan mutu genetik, pembatasan pengeluaran ternak, dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Pemurnian Genetik , Keragaman genetik ternak lokal perlu dipertahankan untuk tujuan seleksi ataupun pemanfaatan gen tertentu

(7)

untuk mendapatkan produktivitas yang diinginkan. Oleh karena itu, mempertahankan keragaman genetik melalui konservasi penting dilakukan, baik dari aspek keilmuan maupun sosial ekonomi. Kemurnian genetik sapi pesisir perlu dipertahankan sebagai cadangan plasma nutfah untuk pengembangan peternakan di masa yang akan datang tanpa mengurangi kesempatan perbaikan mutu genetiknya, melalui penetapan kawasan khusus untuk pemurnian genetik sapi pesisir. Untuk itu, pada tahun 2009 Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah menetapkan program pengembangan plasma nutfah sapi pesisir di Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan.

Peningkatan Mutu Genetik

Pola perkawinan yang tidak terkontrol atau terlalu ketat dapat menyebabkan erosi materi genetik. Upaya memperbaiki mutu genetik dilakukan melalui seleksi yang diikuti dengan sistem perkawinan dengan memanfaatkan teknologi reproduksi. Permasalahan dalam sistem reproduksi sapi pesisir adalah kurangnya ketersediaan pejantan unggul sehingga pejantan yang dijadikan pemacek adalah sapi-sapi muda yang berumur < 2 tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan regulasi pengeluaran ternak jantan

(8)

dari populasi dan seleksi terhadap pejantan yang mempunyai sifat-sifat unggul untuk digunakan sebagai pemacek. Perkawinan silang (cross breeding ) dengan bangsa sapi unggul perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan reproduksi sapi pesisir tanpa merusak kemurnian genetiknya. Wijono et al.dalam Suryana (2009) menyatakan perbaikan mutu genetik sapi bertujuan untuk meningkatkan bobot badan, laju pertumbuhan, dan efisiensi reproduksi melalui seleksi. Peningkatan produktivitas diupayakan melalui penyediaan pejantan berkualitas, memperbaiki performa induk dan sistem perkawinan, penyediaan pakan yang cukup, dan manajemen pemeliharaan yang memadai. Hasil penelitian Sulin (2008) menunjukkan bahwa perbaikan manajemen reproduksi melalui inseminasi buatan (IB) antara sapi pesisir dan sapi unggul mampu meningkatkan performa produksi dan reproduksi sapi pesisir.

Pembatasan Pengeluaran Ternak

Tingginya permintaan pasar dan desakan kebutuhan hidup menyebabkan tingginya tingkat pengeluaran ternak dari populasi, terutama ternak yang berproduktivitas tinggi, sehingga ternak yang tersisa rata-rata mempunyai kinerja produktivitas yang rendah. Bila kondisi ini tidak teratasi pada

(9)

beberapa generasi mendatang, dikhawatirkan akan terjadi penurunan produktivitas ternak. Pemecahan masalah ini harus melibatkan berbagai pihak, seperti Dinas Peternakan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, pemerintahdaerah, asosiasi, pedagang, dan peternak. Penegakan peraturan pemerintah/ undang-undang yang disertai dengan pengawasan dan peningkatan kesadaran berbagai pihak terkait perlu ditumbuhkembangkan untuk melestarikan dan meningkatkan produktivitas sapi pesisir. Upaya pemerintah melalui Dinas Peternakan yang mengatur pengeluaran ternak, terutama ternak produktif diharapkan dapat menghambat laju penurunan mutu genetik sapi pesisir.

Perbaikan Manajemen Pemeliharaan

Perbaikan manajemen pemeliharaan berpeluang memacu peningkatan produktivitas dan populasi sapi pesisir. Arzil (2000) melaporkan bahwa ukuran tubuh sapi pesisir yang dipelihara secara semi intensif di Kecamatan Bayang dan Batang Kapas lebih besar dibanding sapi yang dipelihara secara tradisional. Susilawati et al. (2005) melaporkan bahwa penerapan teknologi usaha tani terpadu dilahan pasang surut dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi 37 kg/ ekor/ siklus pemeliharaan. Sulin et al. (2006)

(10)

menyatakan bahwa pemeliharaan sapi pesisir pada peternakan rakyat memberikan pendapatan yang lebih baik dibanding usaha ternak yang dilakukan melalui perkawinan dengan IB, dengan keuntungan usaha setiap periode penggemukan sapi pesisir Rp 844.000 dan untuk sapi silangan dengan IB Rp 606.250. Agar usaha peternakan sapi pesisir mampu meningkatkan pendapatan petani, perlu dilakukan pendekatan budidaya melalui sistem produksi berkelanjutan. Sistem produksi berkelanjutan bisa diterapkan pada tingkat peternak dengan skala pemeliharaan 4−6 ekor sapi/ KK yang terdiri atas 2−3 ekor sapi jantandewasa untuk penggemukan dan 2−3 ekor sapi betina dewasa untuk pembibitan. Sapi hasil penggemukan dapat dijual sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan sapi betina tetap lestari sebagai bibit. Teknologi budi daya untuk meningkatkan produktivitas sapi pesisir mencakup penerapan manajemen usaha ternak terpadu melalui: 1) Pemilihan bibit atau bakalan unggul berdasarkan umur, ciri-ciri fisik, riwayat keturunan, dan kesehatan. 2) Manajemen perkandangan dengan teknologi kandang standar. 3) Manajemen pakan melalui introduksi hijauan makanan ternak unggul, pemanfaatan bahan pakan lokal dan hasil ikutan

(11)

produk pertanian, sistem integrasi tanaman ternak, dan teknologi ransum seimbang berbasis lowexternal input sustainable agriculture (LEISA). 4) Manajemen reproduksi dengan melakukan seleksi terhadap induk dan pejantan, mencegah terjadinya perkawinan keluarga (inbreeding ), dan menerapkan teknologi IB. 5) Pencegahan dan pengendalian penyakit secara periodik, terutama penyakit menular, vaksinasi, pemberantasan vektor penyakit, menyiagakan petugas lapang (tenaga medis veteriner), serta melaporkan kejadian penyakit kepada petugas dan dinas peternakan setempat.

Sapi pesisir merupakan sapi lokal Sumatera Barat yang berpotensi sebagai penghasil daging. Bobot badan dan ukuran tubuh yang kecil merupakan salah satu penciri bangsa sapi tersebut. Bobot badan yang kecil sangat efisien dalam pemanfaatan ruang. Daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan pesisir yang miskin hijauan pakan membuka peluang sapi ini untuk dikembangkan di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Masalah dalam pengembangan

(12)

sapi pesisir adalah rendahnya produktivitas dan terjadinya penurunan mutu genetik. Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi sapi pesisir perlu dilakukan perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan sapi pesisir melalui pemurnian genetik, peningkatan mutu genetik, pengaturan pengeluaran ternak, dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan penerapan manajemen terpadu usaha peternakan sapi pesisir melalui pemilihan bibit/ bakalan unggul, perbaikan manajemen kandang, mana jemen pakan gizi seimbang, perbaikan manajemen reproduksi, dan pengendalian penyakit.

Daftar Pustaka

Adrial. 2010. Potensi sapi pesisir dan upaya pengembangannya di Sumatera Barat. Jurnal Litbang Pertanian 29 [2]: 66-72.

Arzil. 2000. Identifikasi Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Sapi Pesisir. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.

Jakaria., D. Duryadi, R. R. Noor, B. Tappa, & H. Martojo. 2007. Hubungan polimorfisme gen hormon pertumbuhan

Msp-1

dengan bobot badan dan ukuran tubuh sapi Pesisir

(13)

Sumatera Barat. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32 [1]: 33-40.

Rusfidra. 2007. Sapi pesisir, sapi asli di Sumatera Barat. Terakhir disunting 08 Februari 2007. http://www.cimbuak.net/content/view/871/5/. [13 Oktober 2010].

Saladin, R. 1983. Penampilan Sifat-sifat Produksi dan Reproduksi Sapi Lokal Pesisir Selatan di Provinsi Sumatera Barat. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi PO dan Persilangannya sebagai Hasil IB terhadap Pemberian Jerami Padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Sarbaini Anwar. 2004. Kajian keragaman karakter eksternal dan DNA mikrosatelit sapi Pesisir di Sumetera Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi suplementasi protein ransum sapi potong berbasis jeramidan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 30 (3): 207−217.

Sugeng, B.Y. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.hlm. 5−7.

(14)

Sulin, I. 2008. Identifikasi performa produksidan service period sapi pesisir dan hasil persilangan inseminasi buatan di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Jurnal Embrio1: 29−34.

Sulin, I., Saladin, Suardi, Z. Udin, dan K. Mudikdjo. 2006. Kontribusi pendapatan usaha peternakan rakyat sapi lokal pesisir dan sapi silang pesisir hasil IB. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan IX (2): 138−148.

Suryana, A. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Pola Kemitraan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(1): 29−37. Susilawati, M. Sabran, R. Ramli, D.D. Siswansyah, Rukayah,

dan Koesrini. 2005. Pengkajian sistem usaha tani terpadu padi kedelai, sayuran ternak di lahan pasang surut. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(2): 176−191.

Syamsu, A.J., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo, dan G.Said. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1): 30−37. Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profildan permasalahan peternakan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 21(1): 45−46

Gambar

Gambar 1. Sapi Pesisir di padang pengembalaan

Referensi

Dokumen terkait

Keabsahan data dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan kriteria kredibilitas (derajat kepercayaan). Kredibilitas dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang

Penelitian ini menunjukkan bahwa akar yang direstorasi dengan pasak cor perorang menunjukkan kekuatan fraktur lebih tinggi daripada gigi yang direstorasi dengan

Desain arsitektur dari sistem penentuan urutan prioritas dalam pemberian pinjaman Kredit Pemilikan Rumah (KPR iB) kepada nasabah debitur Bank BRISyariah cabang

Menurut Handoko (2000) semangat kerja karyawan akan tercermin dari karyawan yang selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku mau bekerja dengan sungguh-sungguh,

Tanggapan responden tentang ruangan yang mempengaruhi rendahnya motivasi untuk belajar sebagai berikut : Dari 89 orang responden yang diteliti yang menyatakan jawaban

Teman-teman PPDS periode 2008 yang tidak mungkin dapat saya lupakan yang telah membantu saya dalam pendidikan, penelitian dan penyelesaian tesis ini, Linawati, Arida Muriani

Efisiensi penyisihan tertinggi dalam menurunkan kadar logam Fe yaitu 80,31% pada massa adsorben 2,5 gram dengan waktu kontak 30 menit. Kapasitas adsorpsi terhadap

Data Pegawai PT. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan prima yaitu dengan memotivasi pegawai dengan cara pemberian remunerasi atau imbalan balas