II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Wilayah PesisirMenurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, berdasarkan beberapa literatur terdapat kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross shore). Dalam Undang Undang No. 27 Tahun 2007, disebutkan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Hampir sama dengan yang telah didefinisikan oleh Bengen (2004a), yakni wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak tergenang tetapi masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang dipengaruhi proses-proses laut seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Demikian juga menurut Carter (1988) dalam Haslett (2000) bahwa wilayah pesisir adalah area arah ke darat yang masih dipengaruhi laut dan batas ke arah laut yang masih dipengaruhi daratan serta menurut Beatley et al. (1994)
dalam Dahuri (2001) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir didefinisikan
sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Kay dan Alder (2005) melaporkan bahwa ada beberapa definisi yang digunakan oleh berbagai organisasi/pemerintahan internasional dan nasional, yanng secara garis besar dapat dipilah dalam dua kecenderungan, yaitu: definisi berdasarkan pendekatan biofisika dan definisi berdasarkan pendekatan kebijakan.
Ditinjau dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif (Supriharyono 2000). Menurut Rokhmin (2001), Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi
daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat.
Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait (stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Bila konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya sehingga sumberdaya pesisir akan mengalami degradasi biofisik.
Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih (overfishing), terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong; meningkatnya laju pencemaran, berkembangnya erosi pantai, meluasnya sedimentasi serta intrusi air laut (Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Sebab itu, untuk mengeliminir degradasi biofisik di kawasan pesisir yang terus berlangsung diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu.
2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007). Selanjutnya, Dahuri (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.
Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui dengan jelas.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain dan Knecht (1998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe (2002) menyatakan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the
World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987
dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht, 1998; Kay dan Alder, 2005; Chua, 2006). Laporan ini sering disebut Laporan Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland. Di dalam laporan tersebut terdapat definisi
pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey, 1989; Daly, 1994; Dixon dan Fallon, 1989; Turner et al., 1993; Tiesdal, 1991; Cicin-Sain, 1993 dalam Haq, 1997).
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 2003). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 1988 dalam Charles 2001).
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders) sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001).
Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan (Chua 2006). Young (1992) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan adanya 3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: 1) Integritas lingkungan; 2) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi budaya selain dimensi ekonomi.
Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia,
khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe 2002).
Budiharsono (2006) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological
balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal (2002) bahwa dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik serta hukum–kelembagaan (Dahuri 2001).
1) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial; (ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan
suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan
pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 1996).
2) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.
3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini, maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4) Dimensi hukum dan kelembagaan . Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang–undangan yang berwibawa dan konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan
Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada empat faktor yaitu (1) terpadunya konsep ”equity ’ lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya.
Selanjutnya Reid (1995) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu:
1) integrasi antara konservasi dan pengembangan; 2) pemenuhan kebutuhan dasar manusia;
3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi; 4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan;
6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan sikap percaya diri; dan
7) memelihara integritas ekologi.
Pitcher dan Preikshot (2001) membagi komponen pembangunan berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika. Sedangkan Charles (2001) mengemukakan konsep pembangunan berkelanjutan mengandung dimensi :1) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, 2) Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3) Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan, dan 4) Keberlanjutan kelembagaan, yakni: menyangkut pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan pada Gambar 2.
KEBERLANJUTAN EKOLOGI
KEBERLANJUTAN KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS
Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)
Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak
KEBERLANJUTAN INSTITUSI
tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002).
Bengen dan Rizal (2002) mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia, yaitu:
1) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan; 2) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan; 3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan; 4) laut dikelola secara co-management;
5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat; 6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.
Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan jasa-jasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan ekonomi (Haq 1997).
Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan.
Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 2003) diuraikan sebagai berikut:
Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya,
misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis). Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial.
Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut, adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga keuangan, informasi pasar dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Bengen dan Rizal (2002) menyatakan bahwa kearifan masyarakat adat telah menjadi pilar yang mampu mempertahankan kelestarian sumberdaya alam.
Dimensi ekologi (lingkungan), ekonomi, sosial dan kelembagaan merupakan empat dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan (Charles 2001). Dan pada akhirnya, keberhasilan suatu pengelolaan wilayah pesisir sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang telah dibuat (Susilo, 2003).
Beberapa indikator ekosistem wilayah pesisir dapat digunakan sebagai salah satu cara memonitor keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (1993), indikator-indikator tersebut adalah:
1. Parameter fisik: luas lahan yang masih alami; luas lahan pemukiman, industri, komersial, dan rekreasi; volume dan luas pembuangan sampah, reklamasi, dan drainase tahunan; tingkat ekstraksi tahunan dari mineral, pasir, kerikil, gas, dan minyak bumi; perubahan volume pasir pantai; tingkat abrasi pantai; perubahan tingkat permukaan laut;
2. Parameter kimia/biologi: indikator kualitas air; kandungan klorofil; distribusi vegetasi wilayah pesisir; persen habitat alami yang dilindungi; jumlah species terancam punah;
3. Parameter Sosial: kepadatan populasi penduduk; perlindungan terhadap situs yang bernilai budaya dan arkeologi; rasio lahan yang telah dikembangkan terhadap yang belum dikembangkan; tingkat infrastruktur yang ada; peluang akses publik terhadap pantai; partisipasi publik dan dunia usaha (industri) dalam penentuan kebijakan dan tujuan pengelolaan; dan kemauan politik pemerintah dan politikus.
Sedangkan yang diadaptasi dari Charles (2001) dan Susilo (2003), atribut-atribut untuk rumput laut adalah:
1) Dimensi Ekologi: biofisik lingkungan, pertumbuhan rumput laut, kandungan karagenan, luasan areal yang sesuai, ketersediaan dan mutu bibit.
2) Dimensi Ekonomi: keuntungan, kontribusi terhadap PAD, sistem permintaan pasar (lokal, nasional dan internasional).
3) Dimensi Sosial budaya: kualitas SDM (tingkat pendidikan, persepsi masyarakat), penyerapan tenaga kerja, sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (gender, kemandirian, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya, jumlah rumah tangga petani rumput laut), alternatif usaha selain menanam rumput laut.
4) Dimensi Kelembagaan: Perda tentang rumput laut, aturan adat/agama, koperasi/kelompok tani rumput laut.
Bengen (2004) menyatakan bahwa, selain memiliki potensi sumberdaya yang besar, wilayah pesisir juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas yang dimaksud adalah 1) penentuan wilayah pesisir baik ke arah darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal kawasan tersebut; 2) adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan kawasan lahan atas dan laut lepas; 3) memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor pembangunan; 4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; 5) adanya sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan ancaman terhadap sumberdaya tersebut; dan 6) sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaannya adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut. Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir, maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar tidak saling mematikan sehingga pengembangan rumput laut dapat berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.
2.3 Rumput Laut
Rumput laut merupakan salah satu komoditi sub-sektor perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena menghasilkan alginat, agar-agar dan karaginan. Alginat, agar-agar dan karaginan mempunyai tingkat kegunaan tinggi dalam berbagai bidang, seperti industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Seiring dengan berkembangnya industri tersebut, menyebabkan permintaan rumput laut terus meningkat baik untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor.
Secara ekonomi rumput laut dapat memberikan sumbangan devisa bagi negara dan meningkatkan pendapatan nasional. Di samping itu budidaya rumput laut ternyata mampu mengubah tingkat sosial-ekonomi masyarakat pantai dan meningkatkan pendapatan serta dapat melindungi sumberdaya pesisir melalui pengalihan kegiatan yang dapat merusak lingkungan misalnya pengambilan karang dan penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan (Madeali et al. 1999).
Perairan Indonesia memiliki sumberdaya plasma nutfah rumput laut kurang lebih 555 jenis (Basmal 2001). Beberapa jenis rumput laut tersebut telah mampu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri. Rumput laut yang dikembangkan di Kabupaten Bantaeng adalah jenis K.alvarezii. Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena merupakan penghasil karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan, karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat, yakni digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak et al. 1990).
2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii
Menurut Doty (1985), K.alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi K.alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut K.alvarezii . Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Klasifikasi
Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Kappaphycus alvarezii (Doty)
Ciri fisik K.alvarezii adalah mempunyai tallus silindris, permukaan licin,
cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau,
hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan. Duri-duri pada tallus runcing memanjang agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari tallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996) (Gambar 3). Rumput laut bereproduksi dengan tiga cara, yaitu: vegetatif, generatif dan pembelahan sel. Berbagai faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut seperti suhu, salinitas, cahaya, arus, dan unsur hara (Departemen Pertanian 2001).
2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut
Lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya rumput laut. Faktor-faktor lainnya adalah teknis budidaya atau penanaman, bibit unggul, sosial ekonomi dan pemasaran. Wilayah perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, secara umum dapat dikatakan cukup memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut, walaupun berhadapan langsung dengan Laut Flores sehingga pada bulan Desember-Februari ombak besar. Hal tersebut terbukti dengan semakin berkembangnya usaha rumput laut di wilayah tersebut. Pertumbuhan K.alvarezii membutuhkan kondisi perairan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Kondisi dan persyaratan tumbuh K.alvarezii
No. Parameter Kondisi/Persyaratan Tumbuh 1. Kec. Arus (m/det.) 0.2-0.3
2. Substrat dasar Pasir, pecahan karang
3. Salinitas (‰) 28-34 4. Keterlindungan Terlindung 5. Tinggi gelombang (m) 0.20-0.30 6. Suhu (0C) 28-30 7. Kecerahan (%) 80-100 8. Derajat keasaman 7.5-8.5 9. Kedalaman (m) 2-10
Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Sulistijo (1996); Aslam (1998); FAO (2008).
2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut
Di dalam teknik budidaya ada dua hal yang perlu diperhatikan. yaitu pemilihan bibit dan metoda budidaya. Dikenal lima metode budidaya rumput laut, yaitu: metode lepas dasar, metode rakit apung, metode long line, metode jalur dan metode keranjang (kantung) (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 2006). Penerapan metode tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan dimana rumput laut akan dibudidayakan. Di Kabupaten Bantaeng petani rumput laut menggunakan metode long line karena dianggap cocok dengan kondisi
biofisik perairan serta biaya konstruksinya lebih murah bila dibandingkan dengan metode lainnya. Metode long line menggunakan tali panjang yang dibentangkan, pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 m diberi pelampung utama yang berupa drum plastik/styrofoam.
Aji dan Murdjani (1986) menyebutkan bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik untuk budidaya tambak dapat dicapai produksi sebanyak 1 000 sampai dengan 1 500 kg berat kering/ha/panen atau sekitar 6-9 ton/ha/tahun. Untuk budidaya dengan sistem rakit dapat mencapai produksi sekitar 2 kg/m2/tahun. Sedangkan untuk metode long line, rumput laut yang dipanen pada umur 45 hari menghasilkan rumput laut basah antara 25 600 kg-51 200 kg/ha atau setara dengan 2 800-5 600 kg/ha rumput laut kering (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 2006).
2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut
Secara umum ada beberapa permasalahan pengembangan rumput laut di Indonesia, antara lain: 1) sumberdaya manusia yang tersedia walaupun dalam jumlah cukup namun dalam hal mutu masih relatif rendah akibatnya rumput laut yang dihasilkan, produktivitas dan kualitasnya rendah; 2) belum menguasai teknologi untuk mengolah rumput laut menjadi karaginan agar bisa memperoleh nilai tambah; dan 3) petani rumput laut umumnya kesulitan dalam hal permodalan karena belum tersentuh oleh lembaga keuangan yang ada sehingga kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
Disisi lain, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan rumput laut karena didukung oleh potensi kawasan yang sesuai untuk budidaya hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan total luas lahan perairan yang potensial dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut jenis K.alvarezii seluas 1 471 532 ha (Ma’ruf 2010). Bahkan Master Plan Budidaya Laut tahun 2004 (Nurdjana 2006) menyatakan bahwa potensi indikatif mencapai 4 720 000 ha dan potensi efektif 2 350 000 ha. Kemudian, sinar matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tersedia sepanjang tahun dan sumberdaya manusia yaitu nelayan juga cukup tersedia, maka Indonesia
berpotensi besar untuk menimba untung dari bisnis ini. Proyeksi pengembangan rumput Laut 2006-2009 adalah sebagai berikut (Tabel 2).
Sulawesi Selatan memiliki potensi budidaya laut sekitar 600 500 Ha. Dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Anonim 2004). Jenis K.alvarezii merupakan salah satu komoditas ”unggulan perikanan” Sulawesi Selatan yang cenderung mengalami peningkatan produksi dan volume ekspor. Pada tahun 2003 volume ekspor mencapai 15 339 ton dengan nilai US$ 5.7 juta dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada sektor produksi, pengolahan dan pemasaran.
Gambar 4 Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010).
Kabupaten Bantaeng sebagai salah satu produsen rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai potensi lahan sekitar 6 000 ha dan sudah dikelola seluas 1 965 ha. Adapun produksi rumput laut yang dihasilkan antara 1 000-1 500 kg/ha/siklus berat kering pada musim baik (Maret-Juli) dan dari segi kualitas, rendemen yang dihasilkan berkisar 25-30% (Subdiskan Bantaeng 2006).
Tabel 2 Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 No Parameter Tahun 2006 2007 2008 2009 1 Produksi (ton) 1 120 010 1 343 696 1 611 911 1 900 000 - Gracillaria sp. 235 800 282 880 339 360 400 000 - K.alvarezii. 884 210 1 060 816 1 272 631 1 500 000 2 Luas lahan (ha) 18 220 21 453 25 336 29 283 - Pengembangan Gracillaria sp. 5 895 7 072 8 484 10 000 - Pengembangan K.alvarezii. 8 842 10 608 12 726 15 000
- Tambahan Pengembangan
K.alvarezii. 3 483 3 773 4 126 4 283
3 Pengembangan Kebun Bibit
Rumput Laut 1 474 1 767 2 121 2 500
- Gracillaria sp. 590 707 848 1 000
- K.alvarezii. 884 1 060 1 273 1 500
4 Investasi dan Modal Kerja 46 231 54 747 65 662 70 484 - Gracillaria sp. (Rp. Juta) 1 912 1 765 2 118 2 274 - K.alvarezii. (Rp. Juta) 44 319 52 982 63 544 68 210 5 Kebutuhan Mesin Pre-Processing
(unit) 88 106 127 150
6 Tenaga kerja (Orang) 150 315 180 336 216 342 255 000 Sumber: Nurdjana 2006.
2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut
Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Peningkatan produksi setiap tahun sangat signifikan. Pada tahun 2002 produksi Indonesia baru 25 700 ton, merupakan 25 % dari produksi Filipina tetapi pada tahun 2007 produksi K.alvarezii Indonesia sudah hampir menyamai jumlah produksi Filipina (Gambar 5 dan Lampiran 1).
Produk rumput laut Indonesia mayoritas diekspor dalam bentuk kering tanpa olahan lebih lanjut. Padahal beberapa pabrik pengolahan di dalam negeri masih kekurangan bahan baku dan kebutuhan Indonesia terhadap produk olahan rumput laut baik karaginan, alginat maupun agar-agar sangat tinggi (DKP 2006) Kebutuhan karaginan untuk beberapa industri di Indonesia pada tahun 2002 adalah sebesar 1 864 ton dan baru sebagian kecil (740 ton) yang bisa dipasok oleh industri pengolahan karaginan dalam negeri. Sisanya diimpor dari luar negeri (DKP 2006). Tingginya pemanfaatan karaginan menyebabkan permintaan terhadap rumput laut juga cenderung meningkat setiap tahun (Tabel 3)
Gambar 4 Produsen rumput laut (K.alvarezii) tahun 2002-2007
Gambar 5 Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007.
Tabel 3 Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun 2001-2004
No. Tahun Produksi (Ton) Volume Ekspor (Ton) Nilai Ekspor (US$ 1000) 1. 2001 212 478 27 874 17 230 2. 2002 223 080 28 560 17 230 3. 2003 231 927 40 162 20 511 4. 2004 410 570 51 011 25 296 Sumber: Nurdjana 2006.
Potensi lahan budidaya untuk lingkup Provinsi Sulawesi Selatan ± 600 500 Ha, dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Pemanfaatan lahan di Sulawesi Selatan sampai saat ini masih kurang dari 50% dengan produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581 ton kering atau baru 20% dari produksi nasional. Produksi dan luas lahan Kabupaten Bantaeng sejak tahun 2001 – 2008 tertera pada Tabel 4. 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 96,120 94,960 102,820 96,600 93,00092,700 25,700 36,150 45,000 62,300 86,000 92,000
P
roduk
s
i (
T
on)
Tahun Filipina Indonesia Malaysia Afrika Timur China Vietnam IndiaTabel 4 Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008
No. Tahun Produksi (ton) Luas Lahan (ha)
1 2001 120.10 505.20 2 2002 360.50 885.20 3 2003 720.40 1 875.00 4 2004 999.40 1 952.00 5 2005 1 395.00 1 965.00 6 2006 3 521.95 2 377.00 7 2007 5 700.25 3 102.00 8 2008 7 677.55 3 792.00
(Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009).
2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut
Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno 2001). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno 2001). Proses penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut dengan kualitas lahan pesisir. Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat penggunaan lahan tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan tergantung pada letak geografis (Diadaptasi dari FAO 1976).
Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis, ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.
Langkah awal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi ekologi. Akan tetapi menurut Aji dan Murdjani (1986), sangat sulit untuk menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan rumput laut yang optimal. Karena faktor-faktor ekologis ini sangat bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus air berperan dalam membawa nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut dan membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel.
2) Perairan terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras.
3) Airnya jernih dengan kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan terhadap sinar matahari untuk proses fotosintesis bagi pertumbuhan rumput laut.
4) Pada saat surut terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 30-60 cm agar rumput laut tidak mengalami kekeringan.
5) Dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang namun tidak ada endapan dan kotoran.
6) Tidak terdapat hewan-hewan pemangsa (ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu babi).
7) Terdapat bentos, teripang, kerang-kerangan dan lain-lain, yang tumbuh dengan baik.
8) Perubahan kadar garam tidak telalu besar. 9) Kaya akan nutrien.
10) Derajat keasaman air antara netral sampai agak basa (pH 7-8). 11) Bebas dari aliran bahan pencemar.
Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus diperhatikan (Deptan DKI, 2001), adalah sebagai berikut:
1) lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah jalur pelayaran lalu lintas laut.
2) lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan kegunaan usaha lain.
3) tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut merupakan usaha yang padat karya.
4) Mudah terjangkau dengan alat transportasi.
Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan, tersedianya lembaga yang dapat membantu petani rumput laut dalam hal permodalan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, informasi pasar dan lain-lain, akan berdampak terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang berkelanjutan.
2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut
Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sebagian besar permasalahan yang bertalian dengan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir, seperti pencemaran, overfishing, erosi dan sedimentasi pantai, kepunahan jenis, dan konflik penggunaan ruang, merupakan akibat dari terlampau tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk beserta segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap lingkungan wilayah pesisir yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri 2001). Daya dukung lingkungan atau kawasan sendiri didefinisikan sebagai kapasitas yang dimiliki oleh suatu area yang penggunaan berbagai sumberdayanya tetap berlanjut (aktivitas pembangunan) (Clark 1992). Atau menurut Turner (1988), daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Sedangkan Quano (1993), menyatakan daya dukung adalah kemampuan perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan. Mirip dengan pernyataan Krom (1986),
bahwa daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi empat macam, yaitu: 1. Daya dukung ekologis, yaitu tingkat maksimum (jumlah dan volume)
pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi; 2. Daya dukung fisik, adalah jumlah maksimum pemanfatan suatu sumberdaya
atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik;
3. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan;
4. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu suatu sumber daya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan.
Daya dukung lingkungan menurut Scones (1993) dalam Asbar (2007) dibagi atas dua, yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta tidak terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi dari usaha yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.
Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam (SDA) dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan (assessed) dengan cara menganalisis: (1) kondisi (variabel) biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan SDA dan jasa lingkungan, dan (2) variabel sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi
berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan SDA dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir (Dahuri, 2001).
Lebih lanjut Dahuri (2001) menyatakan bahwa daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan (demand) manusia akan SDA dan jasa lingkungan (goods and service). Daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural
forces), seperti bencana alam. Atau, dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan
melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper), masukan teknologi, dan impor (perdagangan). Ketika SDA dan jasa lingkungan suatu wilayah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, maka keuntungan pembangunan dari wilayah tersebut secara keseluruhan mulai menurun, yang selanjutnya akan mengakibatkan menurunnya perekonomian (economic decline) wilayah, serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan, dan devisa.
Fenomena yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, dimana masyarakat begitu antusias dalam pengembangan rumput laut menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya. Sehingga kemungkinan hal tersebut di atas, yakni menurunnya keuntungan pembangunan wilayah secara keseluruhan yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan perekonomian wilayah serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan devisa, bisa terjadi.
2.6 Pemodelan Sistem Dinamik
Sistem didefiniskan sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain (Eriyatno dan Sofyar 2007). Menurut Eriyatno (1998), sistem adalah totalitas himpunan elemen-elemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan (goals). Pengertian sistem menurut Marimin (2007), adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Menurut Handoko (2005), sistem adalah suatu mekanisme dari interaksi berbagai komponen sebagai
suatu cara untuk membentuk sebuah fungsi. Dalam suatu sistem setiap komponen dan fungsinya dapat diidentifikasi seperti interaksi diantara komponen dan di dalam komponen. Demikian juga menurut Hartrisari (2007), bahwa sistem dapat didefinisikan sebagai sekumpulan elemen (komponen) yang saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dijelaskan bahwa sistem dapat digolongkan pada 2 jenis, yaitu:
• Sistem terbuka (open system) • Sistem tertutup (closed system)
Sistem terbuka adalah sebuah sistem di mana output yang dihasilkan merupakan tanggapan dari input, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap input. Atau Sistem yang tidak menyediakan sarana koreksi, sehingga perlakuan koreksi membutuhkan faktor eksternal. Sedangkan Sistem tertutup adalah sistem di mana output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input, dan perilaku sistem akan dipengaruhi output tersebut. Atau sistem yang menyediakan sarana koreksi di dalam sistem itu sendiri dalam rangka pencapaian tujuan sistem
Para ahli sistem memberikan batasan permasalahan yang solusinya sebaiknya menggunakan teori sistem adalah yang memenuhi karakteristik, 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; 2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno dan Sofyar 2007). Manfaat utama dari sistem dinamik menurut Coyle (1996) dalam Eriyatno dan sofyar (2007) adalah mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja dan sistem yang dapat dikelola.
Langkah pertama untuk melakukan permodelan sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model. Perilaku model dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses tersebut di masa depan. Dalam pendekatan analisis sistem dinamis, struktur suatu sistem dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh ini akan
memberikan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor yang ada (Eriyatno dan sofyar 2007).
Hubungan sebab akibat yang dinyatakan dalam suatu diagram (causal loop
diagram) dapat menjelaskan dinamika yang berlaku pada sistem tersebut.
Hubungan sebab akibat dibedakan dua macam, yaitu:
1. Hubungan positif, dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibat.
2. Hubungan negatif, yaitu makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat.
Dapat pula akibat dari suatu sebab mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan sebab akibat yang lain. Sehingga terbentuk suatu untaian tertutup, yang disebut loop. Akibat dicatu balikkan ke penyebabnya, maka terbentuk untaian catu balik atau
feed back loop.
Konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya. Sehingga kaitan antara faktor-faktor ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan politik makin lama makin erat sehingga gerakan disalah satu faktor akan mempunyai pengaruh pada faktor lain (Marimin 2007).
Model merupakan representasi dari sistem. Model yang dibangun tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi (Forrester 1965 dalam Hartrisari 2007). Pemodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan model. Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1998). Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik yang diistilahkan sebab akibat. Karena suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks dari pada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai dimensi dari realitas yang sedang dikaji.
Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah. Lebih lanjut Eriyatno (1998), menyatakan bahwa model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi (1) model ikonik, adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda misalnya: foto, peta, prototip, alat; (2) model analog, dapat mewakili situasi dinamik, yaitu keadaan yang berubah menurut waktu, contohnya: kurva permintaan; (3) model
simbolik, pada hakekatnya ilmu sistem memusatkan perhatian pada model
simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik dapat berupa angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan (equation).
Sedangkan (Handoko 2005), membagi tipe model menjadi: (1) Fisik vs.
mental . Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), seperti boneka,
prototipe pesawat terbang dan mobil sedangkan model mental menggambarkan sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis; (2)
Deskriptif vs. numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan
hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep sementara model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga mempunyai kemampuan prediksi; (3) Empirik vs. mekanistik. Model empirik juga disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut ‘black
box’ karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sebaliknya model
mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada level model tersebut. Model yang tingkatannya lebih tinggi akan menjadi model ‘empirik’ jika dibandingkan model dengan tingkat yang lebih rendah. Tidak ada model yang benar-benar (100 %) mekanistik; (4) Statis vs. dinamis. Model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, tidak ada fungsi waktu sebaliknya model dinamis memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut ‘parameter’
atau ‘konstanta’ dan; (5) Deterministik vs. stokastik. Model deterministik menghasilkan keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian berbagai faktor eksternal berbeda dengan keluaran model stokastik, dengan masukan (input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model semacam ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output) model.
Dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap yang saling berhubungan yang perlu diperhatikan (Djojomartono 1993), sebagai berikut :
1) Identifikasi dan definisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan definisi masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang lingkup sistem.
2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi didalam sistem. Dalam tahap ini, sistem dapat dinyatakan diatas kertas dengan beberapa cara, yaitu : (i) diagram lingkar sebab akibat dan diagram kotak; (ii) menghubungkan secara grafis antara peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model.
3) Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan kedalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model.
4) Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Ditetapkan periode waktu simulasi.
5) Evaluasi model. Berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter-parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi.
6) Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup penggunaan model dalam menguji dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan.