iii
(Studi Terhadap Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya dengan Mashlahah Mursalah) telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal ... Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, ... Mengesahkan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H. NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.A.g. ( ...) NIP.197602132003122001
Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, M.A. ( ...) NIP. 197205312007101002
Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A. ( ...) NIP. 196906102003122001
Penguji I : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. (...) NIDN. 2021088601
Penguji II : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A., Hum., M.H. (...) NIP. 198506102019031007
iv
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang ada dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Juli 2020
v
Terhadap Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya dengan Mashlahah Mursalah). Program Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441 H/ 2020 M. xiv + 94 halaman + 19 halaman lampiran
Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan langkah apa yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam rangka mencegah perkawinan di bawah umur. Dengan mempelajari ketentuan yang ada serta mengetahui apa yang melatarbelakangi dan implementasi apa yang diterapkan dalam Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak.
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif empiris, Pendekatan motode yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini menggunakan pendekatan Perundang-Undangan (statue approach), pendekatan sosiologi (sociological approach) dan pendekatan kasus (case
approach)
Hasil penelitian ini membahas sebuah latar belakang diterbitkannya Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak terbagi kedalam tiga bagian, yaitu latar belakang filosofis, latar belakang sosiologis dan latar belakang yuridis, Dalam Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak belum berjalan dengan efektif, hal ini disebabkan. Pertama, data dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa angka perkawinan pada usia anak semakin meningkat yakni pada tahun 2017 berjumlah 23 perkara, 2018 berjumlah 24 perkara dan pada tahun 2019 berjumlah 58 perkara dispensasi nikah. Kedua, banyaknya masyarakat yang urban sehingga menyebabkan pendidikan yang kurang dan ekonomi yang sulit. Ketiga, kurang masifnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Pemrdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Dinas-Dinas terkait lainnya
Kata Kunci : Perkawinan di Bawah Umur, Kebijakan Pemerintah, Peraturan Bupati
Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A. Daftar Pustaka : 1958 s.d 2019
vi
pernah pilih kasih, syukur Alhamdulillah atas segala limpahan nikmat yang telah diberikan penulis, baik nikmat sehat, iman serta Islam dengan sebab-sebab itulah, penulis pun akhirnya mampu menyelesaikan tulisan ini sebagai tugas akhir dengan waktu yang tepat
Sholawat serta salam tak lupa penulis khidmatkan kepada junjungan seluruh alam pembawa kejayaan Islam hingga sampai saat ini. Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. Atas peran beliau kita dapat mengenal Tuhan Maha Besar Allah SWT, atas peran beliau juga kita dapat merasakan kemerdekaan kemanusiaan, atas peran beliau juga agama Islam sebagai agama yang di ridhoi oleh Allah SWT. Sehingga Islam menjadi agama yang penuh kasih dan penuh perdamaian serta kesejahteraan bagi yang mampu meresapi nilai-nilainya.
Kata syukur Alhamdulillah yang pertama kali keluar dari lisan penulis atas karunia Allah SWT yang telah memberikan nikmat sabar. Sehingga sampai detik ini penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Atas segala dorongan dan motivasi dari ayahanda Nahrawi dan Ibunda yang memberikan dorongan kasihnya Nurhayati, juga kepada adik kandungku perempuan satu-satunya Adzkia Aulia yang tahun ini ingin memasuki dunia perkuliahan. Mereka semua yang memberikan masukan, dorongan, motivasi yang tak akan pernah berhenti kepada penulis untuk menyelesaikan proses penulisan skripsi dengan penuh cinta dan sabar. Semoga dengan terselesaikannya skripsi ini menjadi ladang manfaat untuk masyarakat dan lingkungan sekitar. Aamiin.
vii
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, L.c.,M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Yang mana selalu mendorong kami dengan nasihat, motivasi dan bantuannyalah kami selalu semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Rosdiana, M.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang selalu
meluangkan waktu membantu dengan memberi masukan, nasihat dan saran yang tak kenal lelah dalam proses penyusunan tulisan ini dari awal hingga akhir, hingga dapat terselesaikan seperti sekarang ini.
5. Dr. H. Moh. Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag. selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan arahan dan banyak pelajaran yang bisa kami dapatkan dari awal masuk keliah hingga pada titik proses wisuda ini. 6. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff yang telah banyak membantu baik langsung maupun secara tidak langsung dengan menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang baik dan profesional. 7. Keluarga Besar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) dan
Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
yang tak bisa tergantikan. Tetaplah menjadi santri selayaknya santri dan jangan pernah berhenti berbuat baik.
10. Aliansi Kosan Nenek: Edo, Sholeh, Iqbal, Fiqi, Akbar, Jamet, Abu, Lani, dkk yang tak bisa disebutkan satu persatu. Yang selama ini selalu bertukar pikiran dan hal-hal positif, semoga kalian sukses menjadi manusia-manusia yang bermanfaat.
11. Keluarga Cahaya Pemuda Islam: Robby, Bikri, Fiqi, Doni, Akbar, Kahfil, Luthfi dkk yang tak bisa disebutkan satu persatu. Yang selama ini selalu membuat kegiatan-kegiatan bermanfaa.
12. Keluarga Besar, Ayahanda Nahrawi, Ibunda Nurhayati dan Adik perempuan satu-satunya Adzkia Aulia. Semua bentuk pengorbanan beliau-beliau demi melihat anak-anaknya sukses, do‟akan anak-anakmu selalu agar suatu saat tiba saatnya kami yang akan membahagiakan kalian dan membuat bangga nama keluarga. Ridhoi kami selalu karena dengan ridho kalian lah, kami menjadi kami yang sekarang dan yang akan datang. 13. Keluarga besar Saka Bakti Husada Jakarta Selatan, yang memberikan
wadah ilmu tentang kesehatan kepada penulis.
Dan terakhir, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga pada pihak-pihak yang tentunya tidak bisa disebutkan satuperastu yang turut andil dalam mendukung dan men-support secara lahir maupun batin. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua. Aamiin
Ciputat, ... Penulis
ix
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
ب B Be
خ T Te
ث Ts te dan es
ج J Je
ح H ha dengan garis bawah
خ Kh ka dan ha د D De ذ Dz de dan zet ر R Er س Z Zet س S Es ش Sy es dan ya
ص S es dengan garis bawah
ض D de dengan garis bawah
ط T te dengan garis bawah
x ق Q Qo ك K Ka ل L El م M Em ن N En و W We ه H Ha ء ˋ Apostrop ي Y Ya
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ﹶ A Fathah ﹶ I Kasrah ﹶ U Dammah
xii
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
1
حعٌزش
syarî‟ah2
حٍملاسلإا حعٌزشلا
al-syarî‟ah al-islâmiyyah3
ةهاذملا
حنراقم
muqâranat al-madzâhibUntuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh:
يراخثلا
= al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri.Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xiii
No Kata Arab Alih Aksara
1
خارىظحملا حٍثت جروزضلا
darûrah tubîhual-mahzûrât
2
ًملاسلإا داصتقلاا
al-iqtisâd al-islâmî3
هقفلا لىصأ
usûl al-fiqh4
ححاتلإا ءاٍشلأا ًف لصلأا
al-„asl fî al-asyyaﹶal-ibâhahxiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix
DAFTAR ISI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Kajian Review Terdahulu ... 7
E. Kerangka Teori ... 8
F. Metode Penelitian ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II PERKAWINAN PADA USIA ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF SERTA DISPENSASI NIKAH DI INDONESIA A. Perkawinan Pada Usia Anak 1. Pengertian Perkawinan ... 14
2. Perkawinan Pada Usia Anak Menurut Hukum Islam ... 20
xv
3. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah ... 45
BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI KABUPATEN TANGERANG DAN PERBUP NOMOR 78 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK A. Gambaran umum Kabupaten Tangerang 1. Sejarah ... 47
2. Visi Misi ... 50
3. Kondisi Geografis ... 51
4. Pemerintahan ... 53
5. Penduduk dan Pendidikan ... 54
6. Ketenagakerjaan ... 55
B. Gambaran Umum Peraturan Bupati Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 Tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak ... 61
BAB IV PERATURAN KABUPATEN TANGERANG NOMOR 78 TAHUN 2017 DALAM UPAYA MENCEGAH PERKAWINAN PADA USIA ANAK A. Faktor Yang Melatarbelakangi Terbentuknya Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak ... 78
B. Implementasi Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak ... 82
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 91
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga dan lindungi karena dalam dirinya melekat sebuah harkat, martabat dan hak-hak yang harus dijunjung tinggi sebagai generasi penerus dan pelurus cita-cita bangsa1. Oleh sebab itu orang tua berkewajiban memantau tumbuh kembang pada anak guna mempersiapkan sukses atau tidaknya anak ketika dewasa dan manfaat atau tidaknya anak untuk bangsa, nusa serta agama.
Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya. Orang tua diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk tentunya untuk mengharapkan adanya kebahagian-kebahagiaan anak2. Sudah seharusnya orang tua mencegah perkawinan pada usia anak.
Bisa dikatakan perkawinan usia anak adalah perkawinan laki-laki dan perempuan yang belum baligh, dengan demikian perkawinan pada usia anak dalam kajian kitab kuning/ fiqh klasik yaitu perkawinan laki-laki dan perempuan yang belum baligh. Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan pada usia anak, menurut mayoritas ahli fiqh mengatakan 15tahun, menurut Abu Hanifah dibawah 17 atau 18 tahun, menurut Ibnu Mundzir menganggap ijma‟ ulama fiqh mengesahkan perkawinan pada usia anak dengan alasan kriteria baligh dan berakal bukan merupakan persyaratan bagi keabsahannya.3
Adapun persoalan yang paling krusial tentang perkawinan pada usia anak dalam pandangan para ahli fiqh yang pertama adalah faktor ada tidaknya unsur kemaslahatan dan kekhawatiran terhadap mungkin terjadinya hubungan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama. Apabila perkawinan pada usia anak menimbulkan kemudharatan, kerusakan atau keburukan maka perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan, maslahah mursalah adalah salah satu alternatif dalam menetapkan hukum tentang batasan usia perkawinan di
1 Amin Suprihatini, Perlindungan Terhadap Anak, Klaten : Cempaka Putih, 2018, hal 1 2
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2018, h. 6
3 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia (Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum
Beberapa Negara seperti Indonesia contohnya, menetapkan aturan usia perkawinan anak dengan ketentuan berusia 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, Pasal 7 ayat (2) Un,dang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan menegaskan “Dalam Hal penyimpangan terhadap ayat (1) dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita” Negara Aljazair menetapkan usia 29 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan, Bangladesh 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan, Malaysia membatasi usia perkawinan bagi laki-laki berusia 18 tahun dan 16 tahun bagi perempuan, Turki membatasi usia perkawinan bagi laki-laki 18 dan 15 tahun bagi perempuan5.
Dibentuknya peraturan tersebut didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan dengan memastikan calon suami istri yang ingin melaksanakan perkawinan haruslah matang jiwa raganya, agar tujuan perkawinan dapat diwujudkan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat6.
Perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. kenyataannya, bahwa usia yang masih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran dan pertumbuhan semakin tinggi. Dengan sebab ini juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat (1) dibuat untuk menentukan batas usia perkawinan baik bagi laki-laki maupun perempuan7.
Ketentuan mengenai pembatasan usia anak menjadi penting karena beberapa hal, terutama terkait dengan hak-hak perempuan dan anak. Penulis mengutip dari suatu penelitian yang dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyebutkan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah yakni berkisar usia 19,9 tahun dan laki-laki berusia 23,4 tahun. faktor biologis bukan menjadi salah satu penyebab terjadinya perkawinan dini. Tetapi ada beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya perkawinan
4 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia (Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum
Materil), Tangerang Selatan : YASMI, 2018, h. 149
5 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia (Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum
Materil), Tangerang Selatan : YASMI, 2018, h. 167-169
6 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Depok : RajaGrafindo Persada, 2017, h. 59. 7 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Depok : RajaGrafindo Persada, 2017, h. 59
Walaupun Indonesia telah mengatur berapa batasan usia menikah yang paling ideal menurut KHI dan UUP, namun kasus perkawinan pada usia anak masih marak terjadi. Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi sorotan dunia karena banyaknya kasus perkawinan pada usia anak, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Susenas 2012 dan Sensus Penduduk 2010 Badan Pusat Statistik, 25 % perempuan usia 20-24 tahun pernah menikah sebelum usia 18 tahun9. dengan rincian 124.814 anak yang berusia 10-14 tahun telah menikah dan 2.041.180 anak yang berusia 15-19 tahun telah menikah10.
Berdasarkan data SGD (Suistainable Development Goals) Unicef mengungkapkan perkawinan dini yang terjadi di Provinsi Banten, sekitar 9 % perempuan usia 20-24 tahun sudah menikah atau hidup bersama sebelum berusia 18 tahun. tingkat pernikahan anak lebih tinggi dikalangan anak perempuan dari rumah tangga termiskin11.
Pada era modernisasi sampai saat ini, perkawinan pada usia anak dapat menciptakan dampak buruk bagi yang melaksanakannya. Seperti dampak psikologis (depresi, disharmonisasi keluarga, gila dan trauma). Lalu, dari dampak biologis menyebabkan (kehamilan berisiko, merugikan sel reproduksi wanita, kesehatan anak yang dilahirkan terganggu, risiko kekerasan seksual meningkat). Dampak dari segi ekonomi (kemiskinan meningkat, pengangguran meningkat). Dampak dari segi sosial-pendidikan (putus sekolah, menghalangi kebebasan berekspresi, pergaulan terbatas dan lahirkan budaya patriarki yang merugikan perempuan)12.
Sebagai upaya untuk mencegah perkawina pada usia anak disalah satu wilayah Provinsi Banten tepatnya di Kabupaten Tangerang, maka Bupati Kabupaten Tangerang mengeluarkan Peraturan Bupati Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Berdasarkan data yang penulis dapat dari hasil sensus penduduk tahun 2010, di Kabupaten Tangerang sendiri terdapat 9.530 anak berusia 10-14 tahun dan 73.891 anak yang berusia 15-19 tahun telah menikah. Dengan adanya peraturan tersebut
8
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, h. 203-205
9 Badan Pusat Statistik (BPS), Kemajuan yang Tertunda : Analisis Data Perkawinan Usia Anak di
Indonesia, (Jakarta : BPS, 2015) h. 2.
10 Data didapat dari https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=271&wid=0 diakses pada tanggal
2 Juli 2019
11 SGD (Suistainable Development Goals) Unicef, 2015
Dalam catatan Pemerintah Kabupaten Tangerang, jumlah kasus pernikahan dini pada tahun 2014 berjumlah 7.500 pasangan, pada tahun 2015 berjumlah 9.000 pasangan dan pada tahun 2016 mencapai 10.000 sampai 11.000 pasangan yang menikah dini.14
Berbagai kebijakan pemerintah, terutama pemerintah daerah kabupaten tangerang yang mengatur warganya untuk mencegah atau tidak melakukan perkawinan pada usia anak menjadi semangat baru kedepannya, agar dapat menciptakan generasi yang cerdas untuk menjadi penerus dan pelurus cita-cita bangsa.
Studi ini penting atas permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Tangerang yakni terkait permasalahan tingginya kasus perkawinan di bawah umur. Penulis ingin meneliti bagaimana Pemerintah Kabupaten Tangerang bisa mengatasi masalah perkawinan di bawah umur tersebut. Oleh karena itu penulis ingin membahas permasalahan tersebut menjadi skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG DALAM MENCEGAH PERKAWINAN PADA USIA ANAK (Studi Terhadap Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya Dengan Mashlahah Mursalah)
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang yang akan muncul dalam latar belakang diatas, penulis akan paparkan beberapa masalah tersebut:
a. Apa yang menyebabkan tingginya angka perkawinan pada usia anak di Kabupaten Tangerang?
b. Apa faktor yang melatarbelakangi terbentuknya Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
c. Bagaimana implementasi Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak?
13https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=271&wid=3603000000&lang=id diakses pada
tanggal 2 Juli 2019
14
Usia Anak?
e. Apa tujuan diterbitkannya Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak?
2. Pembatasan Masalah
Dengan diperlukan adanya batasan masalah didalam suatu penelitian, agar peneliti lebih terfokus dengan substansi persoalan yang akan diteliti sehingga, tujuan penelitian dapat terarah dengan baik. Oleh karena itu, batasan dalam penelitian ini ialah penulis perlu membatasi pada pembahasan terkait “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tangerang Dalam Mencegah Perkawinan Pada Usia Anak (Studi Terhadap Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya Dengan Mashlahah Mursalah)”agar lebih terarah dan sistematis.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa faktor yang melatarbelakangi terbentuknya Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak?
b. Bagaimana implementasi Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diadakan dengan harapan mampu menjawab apa yang telah dirangkum dalam rumusan diatas, adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Apa faktor yang melatarbelakangi terbentuknya Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak?
b. Bagaimana implementasi Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak?
Adanya tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam segi akademik dan praktik, yaitu:
a. Secara teoritis
1) diharapkan dapat memperluas khazanah keilmuan bagi peneliti, untuk dapat dikembangkan kedepannya. Serta diharapkan juga supaya memberikan masukan bagi perkembangan penelitian-penelitian dengan tema serta kajian yang hampir sama yang telah dilakukan oleh penulis. Dan dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga, serta agar penelitian ini dapat menjadi bahan kepada seluruh kalangan akademisi, mahasiswa, maupun dosen.
2) Memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam perkembangan ilmu hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perlindungan anak dan perempuan yang dihubungkan dengan kedudukan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan lembaga terkait dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam perlindungan anak dan perempuan lainnya. 3) Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana menganalisa
lebih mendalam mengenai perkawinan pada usia anak dan hak-hak anak.
4) Menambah literatur dalam bidang perlindungan anak dan perempuan yang dikaitkan dengan tugas dan kewenangan Kementrian PPPA, Komnas HAM dan KPAI.
5) Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan melakukan penelitian yang berkaitan dengan perkawinan pada usia anak.
b. Secara Praktis
1) Memberikan informasi dan pencerahan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya kepada pelaku yang melakukan perkawinan pada usia anak baik orang tua dan suami-istri mengenai perngaruh, dampak dan pelanggaran hak-hak anak terhadap perkawinan tersebut. 2) Menjadi pedoman akademisi yang hukum keluarga atau kesetaraan
gender yang berkeinginan untuk meninjau kembali syarat umur perkawinan yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
D. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu
Sebelum penentuan dalam judul bahasan skripsi ini, penulis melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan degan judul serta pembahasan yang akan penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis diantaranya:
1. Skripsi dengan judul “Implikasi Pernikahan Usia Dini Terhadap Hak-Hak Anak
(Studi Di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung)”oleh Ilham
Ramdani Rahmat. Penelitian ini membahas tentang bagaimana implikasi pernikahan pada usia dini yang berdampak pada pelanggaran hak-hak anak terabaikan, baik dari segi psikis, fisik, ekonomi hingga banyaknya perceraian yang terjadi di desa sutenjaya kecamatan lembang kabupaten bandung.
2. Skripsi dengan judul “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Terhadap Pernikahan Di Bawah Umur (Studi terhadap Peraturan Bupati Gunungkidul Nomor 36 Tahun 2015) oleh Ahmad Khoerul Muna. Penelitian ini membahas tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak melalui Peraturan Bupati Kabupaten Gunungkidul Nomor 36 Tahun 2015. Peraturan Bupati tersebut diharapkan dapat mencegah pada fokus peningkatan minat belajar anak, edukasi seks dan pendidikan agama pada wilayah Kabupaten Gunungkidul.
3. Skripsi dengan judul “Pandangan Masyarakat Dalam Pernikahan Usia Dini Studi Kasus Di Desa Cikurutug Kecamatan Cikreunghas Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat” oleh Muhammad Nizar Fauzi. Skripsi ini membahas bagaimana pandangan masyarakat Desa Cikurutug tentang perkawinan pada usia anak.
solusi terhadap kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini orang tua tidak perlu khawatir dengan perekonomian yang minim dikarenakan mereka sudah menunaikan kewajiban mereka dengan cara menikahkan anak-anaknya walau belum sampai umur yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan.
Dari studi review yang saya cantumkan diatas, perbedaan dengan penelitian penulis dengan penulis yang lain adalah Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dan Relevansinya dengan Mashlahah Mursalah.
E. Kerangka Teori
Batas minimal usia perkawinan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.” Dan pada ayat (2) “dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensai kepada Pengadilan dengan alas an sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”15
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan harus mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak dibawah tangan, karena perkawinan adalah sacral dan tidak dimanupulasikan dengan apapun.
Oleh karena itu kerangka Teori dalam penelitian ini munggunakan teori dari Lawrence M. Friedman. Beliau mengemukakan bahwa efektif atau berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung kepada tiga unsur, yaitu: pertama, struktur hukum (legal of law). Kedua,substansi hukum (substance of the law) dan ketiga, budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan
15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjkkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan hukum serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut. Substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum dan aparat penegak hukum) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakkan hukum tidak akan berjalan secara efektif.17 Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat ke arah lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum.18
F. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.19
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian
Dalam skripsi ini metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan hukum empiris. Istilah empiris artinya bersifat nyata. Yang dimaksud dengan pendekatan empiris adalah usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat
17 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
“Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence)”, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 181-183.
18
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Low dan Eksistensinta dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 40.
berkaitan dengan pelaksanaan Perbup Nomor 78 Tahun 2017 yaitu Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kantor Urusan Agama, Pengadilan Agama Tigaraksa serta masyarakat.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini menggunakan penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.20
3. Metode Pendekatan
Pendekatan motode yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini menggunakan pendekatan Perundang-Undangan (statue approach), pendekatan sosiologi (sociological approach) dan pendekatan kasus (case approach)
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statue approach)21
Pendekatan ini bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan Perundangan-Undangan suatu bidang tertentu, didalam perspektif hierarki. b. Pendekatan Sosiologi (sociological approach).22
Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kenyataan peraturan tersebut, apakah kenyataannya seperti yang tertera dalam bunyi peraturan atau tidak.
c. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk mencoba membangun argumentasi hukum dalam perspektif kasus yang nyata terjadi dilapangan.23
4. Bahan Hukum
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian terbagi menjadi 2 sumber, diantaranya yaitu:
20 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h.
134.
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2001), h. 14.
22 Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosilogi Hukum, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 113. 23 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, h. 14.
Perkawinan, Peraturan Bupati Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dan Peraturan Undang-Undang lainnya yang terkait penelitian penulis.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terkait tentang tulisan-tulisan tentang hukum, buku-buku tentang hukum, jurnal-jurnal hukum, buku tentang pernikahan dini, buku-buku tentang batas usia perkawinan di bawah umur, penelitian perkawinan pada usia anak dan peraturan pernikahan yang berlaku di Indonesia.
5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data yang berupa pertemuan dua orang atau lebih secara langsung untuk bertukar informasi dan ide dengan tanya jawab secara lisan sehingga dapat dibangun makna dalam suatu topik tertentu24. Terkait dengan hal ini penulis melakukan wawancara terhadap lembaga ataupun individu yang dirasa kompeten yang bersangkutan dengan permasalahan yang dibahas dalam proposal skripsi ini.
a. Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.
b. Pengolahan Data
Dalam mengelola data penulis dapatkan baik data dari wawancara maupuan data tertulis dari berbagai studi perpustakaan, kemudian penulis melakukan analisis terhadap data tersebut dengan analisis secara deskriptif.
6. Analisis data
Dalam menganalisis data yang telah terhimpun, penulis menggunakan beberapa metode analisis data, diantaranya yaitu:
24 Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian, (Jogjakarta :
menganalisa data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum, oleh karena itu dalam penelitian sebagian skripsi ini, penulis berdasarkan literatur tentang Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang No 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak, kemudian dari temuan tersebut dilakukan analisa atau kesimpulan secara umum.25
b. Metode deduktif, yaitu metode yang dipakai dengan menarik fakta atau kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesimpulan umum yang bersifat khusus.26
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syari‟ah dan Hukum tahun 2017.
G. Rancangan Sistematika Penelitian
Agar pembahasan dalam skripsi ini bisa berurutan, maka akan penulis sistematiskan sedemikian rupa, hingga menjadi beberapa bagian yang mempunyai kaitan dan saling melengkapi serta membentuk satu persatuan yang utuh dan nada garis besarnya, pembahasan skripsi ini di klasifikasikan menjadi 5 bab, yaitu:
BAB I: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Studi Review, yang terakhir adalah Sistematika Penulisan. Dengan adanya pembahasan tersebut dapat diketahui gambaran menyeluruh dari substansi yang akan disajikan dalam penelitian ini.
BAB II: akan membahas tentang batasan usia perkawinan menurut hukum islam, hukum positif, lalu bagaimana teknis dan prosedur perkawinan pada usia anak serta penerapannya di Indonesia.
25
Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, (Bandung: Sinar baru aldesindo,2003), cet.7, h.,7.
Tahun 2017.
BAB IV: akan memuat hasil penelitian yang akan dipaparkan atau dideskripsikan secara utuh kemudian penulis memberikan interpretasi/analisa terhadap hasil penelitian tersebut. Dalam bab ini akan dibahas mengenai implementasi Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dan hasil peraturan tersebut dalam menekan angka perkawinan pada usia anak di Kabupaten Tangerang dan relevansinya dengan teori Mashlahah Mursalah
BAB V: Yaitu pembahasan mengenai penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian tentang pokok masalah, saran dan rekomendasi.
14 BAB II
PERKAWINAN PADA USIA ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF SERTA PENERAPANNYA DI INDONESIA
A. Perkawinan Pada Usia Anak 1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut bahasa berasal dari kata nikah yang artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan bersetubuh (wathi).27 Menurut terminologis atau istilah menurut para Ulama Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Tegasnya, kehalalan seorang lelaki untuk bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat dengan kesengajaan.28
Pengertian anak pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Batas
usia anak yang dimaksud adalah batas usia maksimal yang dikelompokkan sebagai wujud kemampuan anak dalam aspek hukum, sampai anak tersebut beranjak usia dewasa atau subjek hukum yang normal.29
Berkaitan dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
27
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat ( Jakarta: Kencana 2019). Cet, VIII, h. 5
28 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darulfikir 2011), h. 39 29 Suhasril, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Depok: Rajawali Pers
Perkawinan menurut Pasal dua Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan merumuskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitaqan galidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.30
Dengan demikian pengertian perkawinan pada usia anak yaitu ikatan lahir batin yang dilaksanakan seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan menciptakan rumah tangga, yang dimana calon suami belum mencapai usia 19 tahun dan calon istri belum mencapai usia 19 tahun atau diantara keduanya belum memenuhi batasan umur sesuai yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena itu perkawinan yang akan dilangsungkan oleh kedua calon mempelai harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan.
a. Syarat Perkawinan Ideal
Demi mewujudkan perkawinan yang ideal, hendaknya memperhatikan beberapa aspek untuk mempersiapkannya, yaitu:31
1) Aspek Biologis 1. Usia
Usia ideal untuk menikah menurut ilmu kesehatan yaitu perempuan berusia 20 tahun dan pria berusia 25 tahun. akan tetapi jika mempertimbangkan mental serta emosi ideal untuk menikah ialah 25 tahun dan 30 tahun.
2. Kondisi Fisik
Fisik yang baik untuk menikah adalah apabila keduanya sudah baligh, kematangan fisk keduanya (organ reproduksi) harus siap untuk dibuahi dan membuahi, tidak memiliki penyakit menular seks, bukan pecandu narkoba dan bebas dari penyakit turunan.
30
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Akedemika Pressindo 2015). Cet, IV, h. 67
31Lauma kiwe, Mencegah Pernikahan Dini, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017), h.
2) Aspek Psikologis a) Kepribadian
Jangan mencari kepribadian yang sempurna ketika mencari pendamping hidup. Tapi carilah pasangan dengan kepribadian yang saling menutupi kekurangan pasangan. Setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda oleh karenanya carilah pasangan yang mampu bertanggungjawab kepada hak dan kewajiban yang telah diemban sama-sama demi terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
b) Sifat
Setiap manusia tentunya memiliki sifat yang berbeda-beda dan tentunya mengharapkan pernikahan untuk seumur hidupnya. Untuk itu setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan wajib mengenal sifat dari setiap pasangan yang akan dinikahi.
3) Aspek Pendidikan
Pada umumnya latar belakang pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara berpikirnya. Mulai dari bagaimana bersikap, merespons suatu hal dan bagaimana ia bisa memecahkan sebuah permasalahan. Dalam hal latar belakang pendidikan tidak hanya dalam bidang akademis, namun juga latar belakang pendidikan agamanya.32
4) Aspek Agama
Faktor persamaan agama merupakah merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan ketika ingin membangun rumah tangga yang aman, damai dan tentram. Idealnya sebuah pernikahan ialah pernikahan yang terjalin oleh dua manusia yang memiliki keyakinan yang sama demi menghindari resiko yang tidak diinginkan oleh kedua pasangan.
32
5) Aspek Sosial
Faktor sosial yang perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan pernikahan yang ideal yaitu :33
a) Latar belakang sosial keluarga dan budaya
Untuk menjalin sebuah hubungan yang serius, kita harus mengetahui darimana asal pasangan kita, bagaimana keluarganya, apakah berasal dari keluarga yang baik-baik atau bukan, apabila calon pasangan yang ingin dinikahi berasal dari keluarga yang baik-baik ada harapan bagi keduanya untuk membangun sebuah keluarga yang baik-baik kedepannya. Latar belakang budaya juga menjadi aspek yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja, lantaran kerap terjadi suatu kendala dalam suatu hubungan. Denga mempertimbangkan aspek ini menjadi bekal untuk menumbuhkan sikap yang saling menghormati dalam keluarga. b) Pergaulan
Pergaulan menjadi salah satu faktor untuk dipertimbangkan ketika mempersiapkan pernikahan, kedua calon pasangan harus mengetahui bagaimana pergaulan dari calonnya tersebut. Apakah terlibat dalam pergaulan yang negatif atau positif, setelah pertanyaan itu muncul tanyakan kembali kepada diri sendiri, dapatkah kita menerima pilihan pergaulaan yang diambil atau dijalankan oleh calon pasangannya? Inilah pentingnya apabila calon pengantin mempertimbangkan aspek sosial dan pergaulan. 6) Aspek Ekonomi
Membangun rumah tangga tidak hanya bermodalkan cinta belaka tapi juga biaya untuk menjalankan demi keberlangsungan kehidupan pernikahan. Untuk itu aspek ekonomi juga merupakan aspek yang sangat penting untuk dipertimbangkan, seperti pekerjaan, tabungan, investasi dan lain-lain.
33
Dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang telah disebutkan diatas kita dapat mengukur bagaimana cara membangun rumah tangga yang ideal dan dapat menjaga berlangsungan hidup di dalam pernikahan, agar pernikahan tersebut menjadi pernikahan yang membawa damai, aman dan tentram. Perkawinan ideal itu tentu saja bukanlah perkawinan pada usia anak yang dapat menimbulkan banyak efek negatif.34
b. Faktor Penyebab Perkawinan Pada Usia Anak
Kematangan jiwa dan raga menentukan pribadi yang betanggung jawab dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul dalam menghadapi lika-liku dan badai rumah tangga.35 Ada beberapa faktor pendorong berlangsungnya perkawinan pada usia anak, menurut Maria Ulfa Subadio sebab-sebab utama dari perkawinan pada usia anak adalah :36
1) Keinginan seseorang untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga.
2) Tidak ada yang menjelaskan mengenai akibat buruk dari perkawinan pada usia anak, baik bagi kedua mempelai tersebut maupun keturunannya.
3) Tidak mau menyimpang dari ketentuan-ketentuan adat yang dijalankan oleh masyarakat yang mempercayai adat tersebut, sehingga menikahkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat dan kebiasaan saja.
4) Beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan pada usia anak yang sering dijumpai dilingkungan masyarakat, yaitu :
a) Ekonomi
Beban ekonomi yang terjadi di masyarakat sering kali mendorong orang tua untuk cepat-cepat menikahkan anaknya dengan harapan
34Lauma kiwe, Mencegah Pernikahan Dini, h. 19-20. 35
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Depok: RajaGrafindo Persada, 2017) Cet, III, h. 60
36 Maria Ulfa Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, (Yogyakarta: UGM
beban ekonomi keluarga akan berkurang, karena anak perempuan yang telah dinikahkan merupakan tanggung jawab suami. hal ini sering terjadi terutama di pedesaan, orang tua menikahkan anaknya tanpa peduli masih muda, apalagi kalau yang melamar dari pihak orang kaya dengan harapan bisa meningkatkan kesejahteraan hidup. b) Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan baik orang tua, anak danmasyarakat,menyebabkan adanya kecenderungan untuk menikahkan anaknya yang masih dibawah umur dan tidak disertai dengan pemikiran yangpanjang yang mengkibatkan masa depan anak terancam.
c) Adat Istiadat
Menurut adat istiadat perkawinan sering terjadi perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dengan dalil hubungan kekeluargaan kedua orang tua calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan telah mereka inginkan bersama, supaya hubungan kekerabatan tersebut tidak putus.
d) MarriedBy Accident (MBA)
Seketat apapun orang tua melindungi anaknya dari dunia luar, tetap saja akan terkena imbasnya dari luar. Dengan berkembangnya teknologi yang begitu pesat sehingga si anak bisa mengakses internet tanpa batas sehingga dikhawatirkan terjerumus ke dalam pergaulan yang kurang baik. Pacaran bebas yang dilakukan oleh seorang anak mengakibatkan terjadinya pergaulan bebas. Karena merasa malu dan dianggap sebagai aib dalam keluarga, maka orang tua menikahkan anaknya yang masih sekolah tersebut.
c. Dampak Perkawinan Pada Usia Anak
Dampak dari perkawinan pada usia anak, sebagian besar menimbulkan keburukan masalah, sehingga dampak negatif sangat terlihat jelas, perkawinan pada usia anak akan berdampak kepada perempuan, diantaranya adalah kematian ibu dan anak, terkena kanker leher rahim yang diakibatkan
rahim untuk membuahi calong jabang bayi belum siap, risiko kekerasan seksual meningkat. Dampak selanjutnya yang akan ditimbulkan akibat perkawinan pada usia anak adalah gagal mempertahankan istana rumah tangga yang aman, damai, serta penuh dengan rasa cinta. Ketika hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis dan sulit untuk dipertahankan lagi maka keluarga tersebut terancam berakhir dengan perceraian.37
Dalam banyak kasus, anak-anak perempuan yang terjerumus dalam perkawinan usia anak, kerapkali menyandang gelar sebagai janda muda atau janda yang mempunyai anak satu dan mereka harus menerima stigma dan menanggung beban kehidupan yang lebih berat. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.38
2. Perkawinan pada Usia Anak Perspektif Hukum Islam
Di dalam ajaran agama Islam baik di dalam Al-Qur‟an dan Hadits tidak menentukan batasan umur perkawinan secara jelas dan tidak pernah mengkategorikan batasan usia yang pasti bahwa seseorang dianggap dewasa. Umur atau kedewasaan seseorang tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat perkawinan. Perkawinan itu dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat, walaupun kedewasaan atau batas usia perkawinan tidak masuk dalam kategori rukun atau syarat dalam perkawinan.39
Pada kitab-kitab fiqih klasik memberikan pengertian perkawinan usia muda dengan istilah nikah shagiratau shagirah. Kebalikannya adalah
al-kabir atau al-al-kabirah. Kitab-kitab fiqh kontemporer bahkan menyebutkan
dengan istilah al-zawaj al-mubakkir (perkawinan usia muda). shogir atau
shogiroh, secara bahasa yang artinya kecil, akan tetapi yang dimaksud arti
37 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
Cet. I, h. 213.
38
Syahrul Mustofa, Hukum Pencegahan Pernikahan Dini “Jalan Baru Melindungi Anak”(Jakarta: Guepedia 2019),h. 64.
39 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia (Sebuah Kajian dalam Hukum Islam
kecil itu ialah laki dan perempuan yang belum baligh. Pada anak laki-laki yang baligh ditandai dengan ihtilam atau keluarnya sperma (air mani), baik dalam keadaan sadar maupun tidak. Sedangkan pada anak perempuan ketentuan baligh ditandai dengan menstruasi atau haid. Dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan usia muda dalam literasi kajian kitab kuning/ fiqh klasik yaitu perkawinan laki-laki dan perempuan yang belum baligh. Menurut mayoritas ahli fiqih apabila batasan baligh ditentukan dengan umur atau hitungan tahun, maka perkawinan usia muda adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun. Menurut Abu Hanifah batas usia perkawinan yakni di bawah umur 17 atau 18 tahun.40
Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang paling utama. Hal ini dapat dilihat dalam pembebanan hukum (taklif) bagi seseorang, dengan kematangan fisik dan jiwa seseorang dianggap mampu menanggung beban hukum atau cakap melakukan perbuatan hukum (mukallaf).41
Pada umumnya perkawinan usia muda atau dibawah umur yang dilakukan oleh walinya digolongkan sebagai perkawinan yang mubah, dengan sebab tidak ada dalil di dalam nash baik al-Qur‟an maupun sunnah Rasul yang melarangnya. Sejalan dengan tujuan perkawinan menurut ajaran Islam dan demi kebaikan pihak-pihak yang berkepentingan langsung, atas dasar pertimbangan mashalih al-mursalah, perkawinan pada usia anak lebih baik jangan sampai terjadi. Dengan melalui jalan Undang-Undang penguasa dapat membuat aturan untuk menutup akses terjadinya perkawinan pada usia anak.42
Di dalam al-Qur‟an dan Hadits tidak diatur secara jelas batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu dalam masalah ini terjadi
40 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LKIS 2012), Cet. VI, h 89.
41
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Depok: RajaGrafindo Persada, 2017) Cet, III, h. 62.
42Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Banda Aceh: PeNA 2010),
perbedaan pendapat. Tentang batas usia perkawinan kitab-kitab fiqh klasik tidak membicarakan hal itu. Bahkan kitab-kitab fiqh klasik membolehkan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Setiap kitab fiqh menyebutkan setiap wali mujbir mempunyai kewenangan untuk mengawinkan anak-anak yang masih kecil atau perawan.43
Penegasan batas minimal usia kawin di Indonesia, tidak merujuk pada pendapat mayoritas ulama fiqh, seperti mazhab Syafi‟I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Diketahui bahwa menurut pandangan mazhab Syafi‟I, Maliki dan Hambali, dikenal istilah hak ijbar bagi wali mujbir. Wali mujbir ialah orang tua perempuan yang menurut mazhab Syafi‟I adalah ayah atau kakek, sedangkan hak ijbar ialah hak ayah atau kakek untuk mengawinkan anak perempuannya, baik yang sudah dewasa maupun yang masih berusia muda tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, dengan syarat anak perempuan yang akan dikawinkan tidak berstatus janda. Berbeda dengan mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa hak ijbar hanya diberlakukan terhadap perempuan di bawah umur dan tidak terhadap perempuan yang sudah dewasa (balighah
„aqilah). Dengan demikian, dalam pandangan keempat mazhab ini,
mengawinkan anak yang masih di bawah umur dan tanpa persetujuan pihak yang akan dikawinkan, itu diperbolehkan.44
Ada alasan kenapa wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. yaitu akibatnya adalah jika wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, maka keberadaan wali tidak lagi menjadi penentu sahnya perkawinan dan mungkin wali hanya berhak member pertimbangan. Kuatnya kedudukan laki-laki sebagai wali disebabkan oleh ayat-ayat dan hadis-hadis yang digunakan para ulama sebagai dalil, walaupun harus diakui tidak ada satu ayat pun yang menyebut wali sebagai rukun nikah. Meskipun, terdapat hadis Nabi yang
43
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: KENCANA 2014), Cet. IV, h. 66.
44 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan (Ciputat: el-KAHFI
menyebutkan keberadaan wali, yaitu “laa nikaha illa biwaliiyyini” (tidak ada nikah tanpa adanya wali) akan tetapi tetap saja tidak disebutkan jenis kelaminnya. Fikih masculine gender lebih mendominasi dan mengesankan masalah wali adalah hak laki-laki dan keputusan ini dipandang sebagai sesuatu yang diterima begitu saja. 45
Dalam menentukan usia minimal perkawinan, ternyata sangat berpengaruh pada kaum perempuan. Hal tersebut dapat dapat dibuktikan dengan beberapa petunjuk:46
a. Kesempatan sekolah dan masa untuk mengembangkan diri bagi anak perempuan menjadi lebih singkat dibanding laki-laki. Padahal pada dasarnya perkembangan intelektualitas, ilmu pengetahuan, bakat dan keterampilan antara perempuan dan laki-laki haruslah bertumbuh dengan seimbang.
b. Laki-laki lebih dominan menguasai alasan pembenaran dalam keluarga daripada perempuan. Artinya, suami yang berusia lebih tua cenderung merasa lebih berwenang dalam mengatur dan memutuskan kebijakan keluarga.
c. Perkawinan usia muda relatif mempercepat kehamilan dan beresiko menambah jumlah angka ibu meninggal pada saat melahirkan. Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk nash di dalam Al-Qur‟an maupun hadits Nabi tentang batas usia perkawinan namun ada ayat Al-Qur‟an dan hadits Nabi yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.47
Adapun di dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 6 :
45 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi
Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI” (Jakarta: KENCANA 2016), Cet. VI. h. 77.
46 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 221
47 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
َلَو مَُلَََٰومَأ مِهيَلِإ ْاوُعَ فدٱَف ادشُر مُهنِّم مُتسَناَءنِإَف َحاَكِّنلٱ ْاوُغَلَ ب اَذِإ َٰىتََّح َٰىَمََٰتَيلٱ ْاوُلَ تبٱَو
ْاوُرَ بكَي نَأ اًراَدِبَو افاَرسِإ اَهوُلُكأَت
ۚ
نَمَو
َناَك
ّيِنَغ
فِفعَتسَيلَف ا
ۚ
نَمَو
َناَك
ايرِقَف
لُكأَيلَف
ِفوُرعَلمٱِب
ۚ
اَذِإَف
مُتعَفَد
مِهيَلِإ
مَُلَََٰومَأ
ْاوُدِهشَأَف
مِهيَلَع
َٰىَفَكَو
ِهىللٱِب
ابيِسَح
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
Al-Maraghi menafsirkan yang dikutip oleh Mustofa, dewasa (rusydan) itu apabila seseorang mengerti bagaimana cara membelanjakan dan menggunakan hartanya dengan baik, sedangkan yang disebut baligh al-nikah adalah jika usianya telah siap menikah. Jadi artinya, Al-Maraghi menafsirkan bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu. Sedangkan menurut Rasyid Ridha, kalimat baligh al-nikah menunjukkan bahwa usia seseorang untuk menikah yaitu sampai bermimpi, pada saat seseorang telah bermimpi ia mampu melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Selain itu, juga mendapatkan beban hukum agama, seperti ibadah dan mualamalah serta diterapkannya hudud. Oleh sebab itu, rusydan adalah kepantasan seseorang dalam mendatangkan kebaikan.48
48 Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung: Pustaka
Adapun hadits Nabi yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas‟ud
Muttafaq alaih yang berbunyi:
َع ْن
َع ْب
ِد
ِللا
ْب
ِن
َم
ْس ُع
ْو د
َر
ِض
َي
ُللا
َع ْن
ُه
َق
َلا
َل َن
َر ا
ُس ْو
ُل
ِللا
َص َل
ُللا ى
َع َل
ْي ِه
َو
َس ىل
َم
َي(
َما ْع
َش
َر
ىشلا
َب
ِبا
َم
ِن
ْسا َت
َط
َعا
ِم
ْن ُك
ُم
ْلا َب
َءا َة
َف
ْلا َي َ ت
َز ىو
ْج
َف ,
ِا ىن
ُه َا
ْغ
َض
ِل ْل
َب َص
ِر
َو ,
َا ْح
َص
ُن
ِل ْل
َف َر
ِج
َو ,
َم ْن
َْل
َي ْس
َت ِط
ْع
َ ف َع َل
ْي ِه
ِب
ىصلا
ْو ِم
َف :
ِا ىن
ُه َل
ُه ِ
و
َج
ءا
ُم )
ى ت َف
ق
َع َل ْي
ِه
Artinya: “Abdullah Ibnu Mas‟ud Radliyallahu „anhu bersabda:
Rasulullah Shalallahu „alaihi wa Sallam bersabda pada kami: Wahai generasi muda, barangsiapa diantara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (H.R. Muttafaq Alaihi.)49
Di dalam hadits Nabi tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu kemampuan persiapan yang matang untuk kawin. Kemampuan dan persiapan untuk melangsungkan perkawinan hanya dapat terjadi bagi orang yang sudah dewasa.50
Berdasarkan banyaknya riwayat sejarah yang terkenal bahwa Abu Bakar menikahkan Aisyah kepada Nabi Muhammad SAW sewaktu berusia 6 (enam) tahun, kemudian Nabi baru mencampurinya ketika usia 9 (sembilan) tahun, kisah tersebut menunjukkan bahwa ayah lebih berhak untuk menikahkan anak gadisnya sendiri atau lebih dikenal dengan hak ijbar bagi wali mujbir. Hal ini dikenal dikalangan madzhab Syafi‟i, Maliki, dan Hambali yang dimana seorang wali yaitu ayah atau kakek mempunyai hak ijbar untuk menikahkan anaknya yang telah dewasa maupun masih berusia muda (belia) tanpas harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan dan bukan seorang yang
49
Imam Muslim bin al-Hajaj, Sahih MuslimJilid 2 (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah 2008), h. 327.
50Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
berstatus janda. Beberapa para sahabat yang melakukan atau menikahkan anaknya pada usia anak tanpa ada yang saling mengingkari perbuatan tersebut. Dan hal tersebut Nabi pun tidak melarangnya, diantara sahabat tersebut adalah :51
a. Ali bin Abi Tholib yang menikahkan anaknya Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab RA pada saat usianya belum baligh,
b. Zubair yang menikahkan anak perempuannya yang masih kecil ketika dilahirkan.
Adapun pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah, pernikahan beliau dilandasi oleh wahyu Allah SWT. Bukan karena tuntutan hawa nafsu. Perintah menikah itu dilakukan semata-mata demi memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin umat di Madinah. Hal tersebut sesuai dengan turunnya ayat-ayat Qur‟an di Madinah yang berisi aturan-aturan kemasyarakatan, sedangkan ayat-ayat Qur‟an yang turun di Madinah mengenai ketauhidan, sistem etika, moral dan akhlak. Rasulullah SAW. Menikahi Aisyah, bukan juga karena beliau mengidap penyakit pedofilia sebagaimana dituduhkan orang. Setelah ditinggal wafat oleh istri pertama, yakni Sayyidah Khadijah, Rasulullah merasa kehilangan dengan sosok wanita hebat yang tidak pernah berhenti menyayangi, membantu dan membela dakwah beliau dengan jiwa dan harta bendanya. Dengan sebab itu Rasulullah SAW membutuhkan sosok pendamping yang masih kuat tenaganya agar cekatan dalam bertindak, cerdas agar cepat menangkap ajaran beliau, salehah agar mampu menjadi panutan, ceria sehingga mampu memotivasi beliau dan berjiwa pejuang agar sadar akan posisinya sebagai penopang dakwah Rasulullah. Sosok tersebut tidak dimiliki oleh wanita manapun kecuali hanya seorang gadis kecil yang bernama Sayyidah „Aisyah.52
51
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 20.
52 Muhammad Makmun-Abha, Benarkah Aisyah Menikah di Usia 9 Tahun? (Yogyakarta:
Kisah perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah sering dijadikan pembelaan bagi sebagian masyarakat Islam untuk menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Dalilnya cukup terkenal, yakni hadis riwayat Hisyam bin Urwah yang menyebutkan Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah yang baru berumur 9 tahun. Dalam kajian ilmu hadis, riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat lain, sehingga sangat diragukan kebenarannya oleh para ulama. Imam Malik secara tegas menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah dikarenakan usianya yang sudah tidak muda lagi (sangat renta) dan diragukan kecerdasan dan daya ingatnya dalam meriwayatkan suatu hadis. Jika diteliti lebih dalam, banyaknya tanda-tanda yang menyebutkan bahwa Aisyah berumur lebih dari 9 tahun ketika dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW. yaitu :53
1. Menurut Imam Thabari, semua anak Abu Bakar termasuk Aisyah dilahirkan di masa Jahiliyah atau sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi (Rasul). Artinya ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, Aisyah sudah berumur 13-14 tahun. Dengan demikian ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah setahun setelah hijrah, dengan perkiraan Aisyah berumur 14-15 tahun.
2. Menurut riwayat Ahmad bin Hambal (Imam Hambali), setelah Khadijah meninggal, seorang perempuan bernama Khaulah datang dan meminta Nabi Muhammad SAW untuk menikah lagi. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada perempuan tersebut, siapa calon yang akan kamu ajukan. Khaulah menjawab: “Engkau bisa menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang janda (tsayyib). Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut. Khaulah menyebut nama Aisyah.
53 Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia, Pergulatan Antara Negara, Agama dan
3. Menurut sebagian besar ahli sejarah, termasuk Ibnu Hajar al-Asqalani, Abdurrahman bin Abi Zannad dan Ibnu Katsir. Selisih umur Asma (anak perempuan tertua Abu Bakar) yang berbeda usia diatas Aisyah 10 tahun. menurut Ibnu Katsir, dalam kitab Bidayah wa
al-Nihayah, Asma meninggal dunia pada 73 Hijriyah dalam usia 100
tahun. Dengan demikian, pada wal hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, saat itu Asma berusia sekitar 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622 Masehi.54
Terkait perkawinan usia anak, tak ada satupun hadis yang menerangkan bahwa perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan dengan wali diperbolehkan oleh Nabi Suci setelah wahyu yang terperinci mengenai undang-undang perkawinan diturunkan kepada beliau di Madinah. Untuk memperkuat pendapatnya untuk melegalkan perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh walinya. Mengenai hal tersebut ada dua hal yang mendapat perhatian, yakni:55
1. Pernikahan Siti Aisyah pada waktu itu beliau berusia sembilan tahun hanyalah semacam pertunangan, karena sempurnanya perkawinan tersebut ditunda sampai lima tahun kemudian, guna memberi kesempatan kepada Aisyah untuk mencapai usia dewasa.
2. Karena perkawinan Nabi Suci dengan Aisyah dilakukan di kota Makkah, sebelum turunnya undang-undang perkawinan yang terperinci. Dengan demikian, perkawinan Aisyah yang berumur sembilan tahun, bukanlah bukti tentang sahnya perkawinan anak di bawah umur.
Dalam menjawab permasalahan perkawinan di bawah umur, para ulama berbeda pendapat terkait hal tersebut. Berikut penjelasannya :
54
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia, Pergulatan Antara Negara, Agama dan Perempuan, h. 69.
55 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Terj. R.Kaelan & H.M.